The EX 01 - Chapter 55
Timeline : 2010 April
--POV Tono--
“Ah sialan...kenapa Rency hamil lagi sih...kenapa juga dia gak pakai pengaman...” aku jadi melamun sendirian di kampus dan tidak konsen untuk mengerjakan skripsi ku. Jujur saja aku suka dengan cewek yang “nakal dan kotor”. Tetapi hasilnya sekarang yang membuatku tidak siap mengambil tanggung jawab.
Bila Rency mau berpindah ke “sisi” ku setidaknya aku lebih tenang dan tidak galau mengambil sikap. Tetapi kenyataannya Rency yang ingin aku berpindah ke “sisi” nya. Hati nuraniku mengatakan tidak. Sudah cukup berdosa saat ini aku dengan semua kelakuanku. Aku tidak ingin lebih berdosa lagi dan menjadi kekal di neraka. Baru saat seperti ini saja aku ingat akan dosa. Sedangkan kemarin-kemarin, aku terus diumbar dengan hawa nafsu.
Lamunan ku di kampus tiba-tiba dibuyarkan dengan nada dering dari hape ku. Ada telpon masuk dari nomor yang sudah lama tidak aku lihat. Ternyata Rasti yang menelpon ku. Ada apa kah ini, tumben sekali dia menelponku sekarang. Sudah hampir 1 tahun rasanya kami tidak kontak-kontakan.
Tono : “halo...”
Rasti : “hai Ton...aku lagi di rumah nih...bisa ketemuan gak?” aku mendengar nadanya agak berat.
Tono : “Rasti...tumben?”
Rasti : “iya Ton… aku mau ketemu kamu nih sekarang… bisa?”
Tono : “kok mendadak banget? Diluar aja gimana?”
Rasti : “boleh deh… dimana Ton?”
Tono : “di mall **** aja aku tunggu di depan food court nya.”
Rasti : “ok Ton...aku berangkat sekarang...sampai ketemu ya...”
Akhirnya aku pun segera ke mall **** yang cukup dekat dengan kampus ku. Kurang lebih 30 menit menunggu akhirnya Rasti datang juga.
Rasti : “hai Ton. udah lama ya nunggunya?”
Tono : “enggak juga kok Ti. kamu apa kabar?” sebenarnya aku sudah malas bertemu dengan Rasti setelah dia lebih memilih teman kampus nya dibanding aku yang selama ini berjuang untuknya.
Rasti : “baik… kamu gimana kabar? Sudah lama loh kita gak kontak-kontakan.”
Tono : “iya...kan kamu sudah gak single lagi Ti… gak enak lah aku call kamu. Nanti cowok mu cemburu. Eh ya mana cowok mu? Gak kamu ajakin kesini?”
Rasti : “emmm… enggak Ton. aku sudah putus sama dia 1 bulan ini.”
Tono : “hah? Kok bisa? Emang putus kenapa?”
Rasti : “hmm...aku gak bisa cerita kenapanya Ton...”
Tono : “hmm...ayolah...aku penasaran nih...jadi kepo aku...hehe” karena aku penasaran akhirnya ku desak terus Rasti untuk cerita.
Rasti : “emm ya sudah aku ceritain. Tapi sambil jalan-jalan yuk.” akhirnya Rasti mau cerita juga dan dia mengajakku ngobrol sambil jalan.
Rasti : “emm Ton… sebelumnya aku minta maaf ya ke kamu. Soal kemarin aku lebih memilih teman SD ku yang ketemu lagi di kampus. Padahal aku tau kamu sayang banget kan sama aku.”
Tono : “ah sudah lah Ti...yang lalu lalu udah gak usah dipikirin.”
Rasti : “iya aku merasa sudah salah memilih Ton. kamu sudah maafin aku kan?”
Tono : “Ti Ti… aku sudah gak ada masalah, gak perlu ada yang dimaafkan dari kamu kok. Itu pilihanmu kan. Aku cuma berjuang sekuat tenaga ku saja dulu. Keputusannya kan tetap di kamu. Kalau kamu sudah memilih yang lain ya sudah aku gak apa apa kok. Santai.”
Rasti : “kamu baik banget sih Ton”
(gak tau aja Rasti aslinya aku bejad banget...) pikirku
Tono : “iya sudah gak apa jangan memuji muji gitu deh...jadi gak enak aku hahaha. Btw tadi katanya mau cerita kenapa putus.”
Rasti : “iya deh aku cerita tapi janji ya ini rahasia. Tadi aku mau cerita ke kamu dirumahku aja mumpung sepi jadi aku bisa leluasa cerita.”
Tono : “ya udah buruan cerita, mumpung kita lagi di lorong yang sepi loh.” kami berjalan sampai di lorong yang tokonya masih belum ada yang menempati karena mall ini sebagian baru selesai di renovasi untuk menambah space.
Rasti : “emm...gimana ya...aku malu ceritanya...”
Tono : hem..sudah kayak sama siapa aja kamu nih...cerita gih...aku ada disini kan buat dengerin kamu...”
Rasti : “iya Ton… emm aku yang putusin si samsul kemarin soalnya… dia sudah berani-beraninya gituin aku.”
Tono : “hah? Gituin gimana?” aku sedikit shock.
Rasti : “iya Ton. dia perkosa aku di kosannya bulan lalu. Akhirnya aku putusin dia.”
Tono : “hah? Serius?”
Rasti : “iya Ton mangkanya, aku merasa salah pilih kemarin dan bersalah banget ke kamu.”
Akhirnya Rasti melanjutkan ceritanya sambil berjalan. Aku yang mendengar cerita Rasti seperti antara simpatik dan juga tidak menutupi kalau aku puas Rasti kena batunya. Sambil terus berjalan-jalan, aku mulai menggandeng tangan Rasti dan dia tidak ada penolakan. Dia pun memeluk tanganku erat-erat.
Tono : “sudah ya Ti… gak usah dipikirin lagi yang kemarin. Sekarang aku temani kamu mau ngapain juga hayuk.”
Rasti : “beneran Ton… temani aku nonton yuk… aku yang bayarin deh...”
Tono : “ok… karena kamu yang bayarin, film nya juga terserah kamu aja.”
Rasti : “siap Ton”
Akhirnya sore itu kami menonton film di bioskop. Memang dasarnya aku saja yang sudah bejad, aku beranikan diri untuk mencoba mencium Rasti saat nonton. Saat Rasti aku cium, dia tidak menunjukkan penolakan dan justru menerimanya. Kami seperti bertukar ludah di dalam bioskop dan sudah tidak fokus untuk menonton. Kami berdua sudah terhanyut dalam perasaan yang mungkin selama ini kami pendam.
Setelah itu kami pergi ke arena bermain, untuk bermain bersama, mulai dari basket, pingpong meja, balapan, DDR, bahkan sampai mesin gacha ticket. Sudah seperti orang pacaran rasanya kami berdua sore ini. Setelah itu kami makan dulu di food court lalu aku mengantarkannya pulang. Saat diatas motor Rasti memelukku erat. Tapi seketika itu juga aku ingat kembali dengan Rency. Orang yang sebenarnya aku cintai bukan Rasti, tapi Rency.
Sekitar 1 jam kemudian kami sudah sampai di rumah Rasti.
Rasti : “makasih ya Ton buat hari ini.”
Tono : “iya Ti...sama-sama, sudah gak sedih lagi kan?”
Rasti : “iya Ton...makasih ya… emm… Ton...” Rasti memegang tanganku.
Tono : “iya Ti?kenapa?”
Rasti : “emm...kita jadian yuk...”
Mendengar hal ini seketika itu aku sedih. Air mata ku mengalir tak bisa kubendung lagi. Aku harus tegas kali ini.
Tono : “emmm...Ti...maaf ya… aku gak bisa. Aku sebenarnya sudah punya pacar. Meski beda agama. Tapi aku sayang sama dia. Doain aja ya biar dia mau ikut aku. Diluar sana juga masih banyak kok yang lebih baik dari aku.”
Dengan menangis juga Rasti menjawab.
Rasti : “iya Ton… maaf ya… ini salah ku juga. Aku yang melewatkanmu demi cinta pertamaku yang ternyata tidak sebaik kamu. Tapi… kita tetep berteman kan?”
Tono : “iya Ti… sampai kapanpun, kamu tetap sahabatku kok. Aku janji...”
Akhirnya kami mengikat janji kelingking (pinky swear) untuk tetap bersahabat.
Tono : “sudah ya Ti… aku balik dulu… kalau ada yang gangguin kamu, bilang aja ke aku ya. Hehe… sudah jangan sedih...” aku mengusap kepalanya.
Rasti : “iya Ton...hati-hati ya pulangnya...”
Setelah itu aku tancap gas dan berfikir lagi dijalan.
(Bego banget sih Tono, seharusnya sudah tinggalkan saja Rency. Rasti kan sudah open buat kamu. Dia yang kamu kejar-kejar dari SMP akhirnya baru ngasih lampu hijau sekarang. Malah kamu sia-siakan dan pengen sahabatan aja. Sudah gak waras mungkin kamu Tono Tono.) rasanya hati nuraniku mengumpat karena kebodohanku “LAGI”.
Timeline : 2010 Agustus
--POV (masih) Tono--
Tak terasa sudah bulan Agustus dan kehamilan Rency menginjak usia yang ke 6 bulan. Perutnya yang semakin membesar sudah tidak bisa ditutupi lagi. Hal ini membuatku bingung. Terlebih lagi skripsi ku yang gagal semester kemarin harus ku ulangi lagi. Aku yang semakin down tidak tahu harus bagaimana sekarang.
Kalau aku dan Rency menghadap ke orang tuanya, yang ada aku semakin dipersalahkan. Sedangkan anak yang berada di dalam kandungan Rency bukan anak ku. Ingin ku teriak rasanya dan mungkin saja sebentar lagi aku jadi gila bila tak kuat mental. Aku cinta dengan Rency, tapi aku tak siap untuk bertanggung jawab. Terlebih lagi aku belum punya penghasilan sendiri. Selama ini aku masih meminta uang ke orang tua ku. Bagaimana nanti aku bisa menghidupi Rency dengan statusku yang masih pelajar pengangguran ini.
Rency juga seperti selalu memaksaku untuk ikut beribadah dengannya setiap hari minggu. Mulai dari memintaku mengantar jemputnya, bahkan sampai terkadang aku dikenalkan ke teman di tempat ibadahnya. Ini sungguh bertentangan dengan jiwa ku. Aku tak ingin sama sekali pindah ke “sisi” Rency. Entah karena ego ku sebagai laki-laki yang harus memimpin atau memang iman ku masih tebal. Aku tak ingin ikut ke sisi Rency.
Aku semakin sering bengong dan melamun sekarang menghadapi semua ini. Aku dan Rency tidak bisa menutupi masalah ini terus menerus. Dan benar saja, akhirnya semua terbongkar saat keluarga Rency mengunjunginya di kost karena sudah tidak pernah pulang. Keluarganya shock melihat Rency yang tengah hamil 6 bulan sekarang dan aku kembali dipanggil untuk disidang.
Orang tuanya bertanya kepadaku, kapan aku akan menikahi Rency, kapan aku ikut beribadah dengan mereka. Tetapi aku hanya bisa diam saja tidak menjawab. Pukulan dan tamparan papa Rency kembali kuterima dan aku hanya bisa tetap diam. Sahabat-sahabat Rency juga shock mengetahui Rency sekarang “hamil” lagi. Sahabat-sahabat Rency tak begitu saja menyalahkanku, karena sebelumnya mereka sudah mendapatkan penjelasan dari Rency tentang siapa bapak dari anak ini sebenarnya. Mereka hanya marah kepadaku karena aku tidak bisa menjaga Rency dan menjadi laki-laki dengan bertanggung jawab.
“Ah yang benar saja, masa aku harus bertanggung jawab atas apa yang tidak kulakukan” ego ku pun muncul. Sebenarnya ini semua juga salahku. Kalau saja Rency tidak aku suruh untuk tampil sexy dan menunjukkannya agar orang-orang tergoda. Mungkin sekarang hal ini semua tak akan terjadi. Mungkin juga aku bisa mengajak Rency pindah ke “sisi” ku. Tetapi semua rasanya sudah terlambat.
Dihadapan orang tua Rency, aku cuma bisa meminta maaf dan meminta waktu. Karena jujur saja aku tidak tahu harus bagaimana saat ini. Terlebih lagi bila orang tua ku tahu. Tak mungkin aku bilang yang sejujurnya kalau aku yang menyuruh Rency untuk bermain dengan “Bos” nya. Tak mungkin juga aku cerita semua kejadian yang terjadi pada Rency ke orang tua ku. Terlebih lagi tak mungkin juga aku cerita kalau keluarga Rency ingin aku untuk pindah ke “sisi” mereka.
Timeline : 2010 September
--POV (masih) Tono (lagi)--
Akhirnya kandungan Rency menginjak 7 bulan dan orang tuanya tetap menagih ku untuk bertanggung jawab segera menikahi Rency. Aku sadar mereka menekan ku karena aku sebagai pacar dari Rency. Dalam tekanan seperti ini rasanya sudah tidak bisa lagi aku untuk fokus segera menyelesaikan skripsi ku. Itu artinya semakin lama aku akan lulus. Semakin lama juga aku tidak bekerja.
Saat aku galau seperti ini tiba-tiba saja ada panggilan masuk dari nomor yang tidak aku kenal.
“Halo...ini Tono ya? Pacarnya Rency?” ternyata suara cowok yang menelpon
Tono : “iya ini siapa ya?”
Nico : “ini gua Nico. lu pasti tau gua siapa kan?”
Tono : “oh Nico… ada apa Nic? Kamu tau nomer hape ku darimana?”
Nico : “dari Rency. Bisa ketemuan gak?” wah ini Nico mengajakku ketemuan bisa bahaya bila aku berangkat sendiri dan di tempat yang tidak aku ketahui. Apalagi nada nya kelihatannya tinggi.
Tono : “boleh, di parkiran motor mall **** jam 7 malam ini ya.”
Nico : “ok gua tunggu lu disana.”
Aku pun mengajak Handy sore ini untuk ke mall ****. Untuk jaga-jaga saja bila terjadi apa-apa. Aku memilih parkiran motor karena tempat itu terbuka dan ada cctv untuk meminimalisir bila ada kejadian pengeroyokan kepadaku. Setelah mendekati jam 7 malam, aku menuju ke parkiran motor dan aku menunggu disana. Tak lama kemudian Nico muncul.
Nico : “Lu Tono ya?”
Tono : “iya...” ternyata dia cukup sopan datang sendiri dan mengajakku bersalaman.
Nico : “gini Ton. gua sudah tau Rency sekarang hamil. Dia selama ini gak mau gua temui soalnya pengen nyembunyiin ini. Dan gua juga udah tau bukan lu pelakunya.”
Tono : “terus? Mau lu apa nih ngajakin gua ketemuan disini?” ingin rasanya aku bilang kalau pelakunya bapaknya.
Nico : “ok to the point aja. Gua mau lu pergi dari kehidupan Rency. Biar gua yang tanggung jawab anak dari Rency nanti.”
Nico : “gua tau lu beda agama kan sama Rency. Dan lu juga gak bisa kan pindah ke dia. Gua mau lu sudah gak ngehubungi Rency lagi. Menghilang dari kehidupan Rency.”
Tono : “enak aja lu. Meski yang lu omongin itu bener. Gua gak bisa pindah ke Rency.”
Nico : “sudah lah Ton. jangan keras kepala. Lu lebih tua dari gua. Lu gak mikir sama sekali itu anak di perut Rency gak ada yang tanggung jawab? Buat kebaikan bersama, gua yang ambil tanggung jawab ini. Pikirin lagi deh. Lu mau Rency sedih terus terusan hah?”
Kata-kata Nico seperti menampar ku saat ini. Aku yang tidak berani mengambil sikap, sudah keduluan sama bocah yang aku anggap masih ingusan ini.
Nico : “sudah gini deh. Lu pergi aja sudah dari kehidupan Rency. Biar gua yang tanggung jawab. Ini dari gua ada 25 juta buat lu.” Nico lalu menyodorkan amplop coklat berisi uang kepadaku.
Tono : “apaan nih? Lu mau gua pergi dari hidup Rency dengan ngebayar gua gini?”
Nico : “gini ya Ton. bukan gua mau nge hina lu atau gimana. Anggep aja ini pemberian dari gua. Rency juga lebih bisa gua cukupi kebutuhannya. Lu kan juga belum kerja. Anggep aja ini uang dari gua buat lu bikin usaha atau lu kelarin kuliah lu. Urusan Rency biar gua yang tanggung jawab.”
Mendengar kata-kata dari Nico ini membuatku sadar. Siapa aku yang sebenarnya. Cuma pengangguran yang kuliahnya tidak selesai selesai dan masih jadi beban orang tua.
Nico : “sudah ya Ton. gua cabut dulu. Gua harap lu bisa ngejauh dari Rency demi kebaikannya dia juga.”
Akhirnya Nico pergi dan meninggalkan segepok uang disebelahku. Aku pun mengambilnya dan memikirkan lagi kata-katanya. Benar juga rasanya. Aku akan hanya jadi beban Rency bila tetap berada disisinya tanpa memberi kejelasan.
Akhirnya kuputuskan sudah untuk tidak lagi menemui Rency dan benar-benar menghilang darinya. Semenjak itu aku tidak lagi membalas sms dari Rency dan mengangkat telponnya. Aku putuskan untuk menjauh dan pergi ke kota P**** menginap di rumah Ramdan. Aku sudah izin ke orang tua ku untuk ke kota P**** demi mencari materi skripsi.
Beribu-ribu sms dari Rency tak ku balas. Rasanya aku sedih juga harus meninggalkannya seperti melarikan diri sekarang. Bahkan aku sering menangis sendiri membaca sms darinya. Sampai suatu malam Rency menelponku dan akhirnya aku angkat karena aku tak kuat lagi. Jujur saja dalam hati ku, aku sangat mencintai Rency. Walau aku telat menyadarinya dan menyia-nyiakan dia selama ini.
Rency : ”yank...kamu kemana aja sih? Hiks hikss...” aku mendengar suaranya yang menangis disana.
Tono : “maaf sayang...aku sengaja pergi...maafin aku...aku sudah gagal buat kamu...aku gak bisa jaga kamu dan bertanggung jawab buat kamu...maafin aku...”
Rency : “kamu mau ninggalin aku? Hikss hikss..”
Tono : “aku gak mau sebenarnya… tapi aku juga gak bisa ikut ke agamamu… maafin aku...”
Rency pun terdiam mendengarkan ucapanku lalu agak lama kemudian…
Rency : “yank… kamu yakin? Hiks hikss...”
Tono : “iya yank… maafin aku… aku gak layak buat ngedampingi kamu… aku gak bisa pindah ke sisi mu… maafin aku...”
Rency : “iya yank..aku ngerti pasti berat buat kamu juga sekarang...hikss..aku juga...ngerasain berat...hikss..aku gak mau pisah sama kamu...hiks hikss...”
Tono : “maafin aku yank...maafin aku….” aku pun mulai menangis…
Rency : “iya yank...mungkin ini jalan kita sekarang sudah harus begini...maafin aku juga ya...hikss...hiks… aku berdoa… semoga kamu… orang yang aku sayang dan aku cintai… mas Tono… selalu dalam lindunganNya dan sehat selalu ya mas… aku sayang sama kamu...”
Karena aku sudah tak kuat lagi akhirnya aku tutup telponnya.
Malam itu merupakan malam terakhir aku menerima telepon dari Rency. Aku mendapatkan kabar dari Fredy kalau Rency akhirnya dilamar oleh Nico dan mereka menikah di bulan Oktober. Tetapi mereka baru akan mengadakan pesta setelah Rency melahirkan terlebih dahulu. Fredy mengatakan kepadaku kalau sebaiknya aku datang ke pesta pernikahan mereka. Tetapi aku yang masih tak sanggup untuk menemui Rency, tidak datang ke pesta itu.
--ARC 1 : RENCY TAMAT--