Dilanjutpun...
Cerita Sebelumnya...
“Suamimu kemana emangnya Mba Ine?” tanyaku sambil menyuapinya bubur setelah tadi mengantarkannya pipis. Pake acara nyebokin segala. Astagah!!
“Ga punya…”
“Eh? Tapi kamu tau kalau kamu hamil kan?”
“Tau”
“Eh? Trus kamu hamil ama siapa?”
“Ga-tau…”
“Eh?” aku garuk-garuk kepala
Mampus gue!
Ini bakalan jadi Ruwet bin kacau beneran… Allakhazam !!!
Expecto Patronum
(Kuharapkan Kebahagiaan)
“Wah, mahal banget ya?” kata Ine yang membaca kuitansi Rumah Sakit yang ku letakkan secara sembarangan di dashboard ketika perjalanan pulang ke rumahku, sarangku, the Nest. Aku hanya meliriknya, tidak tahu harus berkata apa. Yep, aku memang harus merogoh kantong cukup dalam untuk menyelesaikan administrasi Rumah-Sakit. Jam digital di dashboardku menunjukkan angka 16:44
Ini adalah hari ke-2, dan dia sudah di perbolehkan pulang. Namun karena dia sendiri bingung mau pulang ke mana, akhirnya dengan berat hati aku bersedia menampungnya sementara sampai dia siap untuk pulang atau dapet kost.
Jadi ceritanya, karena kehamilannya, dia terpaksa tidak berani pulang ke rumah dan meninggalkan kuliahnya yang sekarang sudah memasuki smester ke 4. Berarti kurang lebih dia adik kelasku tiga tingkat. Menurut keterangannya juga, kehamilan ini terjadi (kurang lebih) ketika pesta ulang tahun salah satu temannya. Mereka kebablasan, lalu melakukan ‘Party X’ saling bertukar pasangan dan sebagainya. Aku hanya geleng-geleng kepala saat mendengarkan penuturannya. Hampir saja aku terjebak dalam hal ini di Bandungan tahun lalu bersama Winda, Ani, Desi dan Yuli. Ani…Dimanakah gerangan mahluk itu sekarang?
--
“Selamat datang di sarang-ku” desisku lirih pada Ine saat aku memapahnya masuk. Ine memang masih sedikit limbung
“Makasih ya, kamu mau nampung aku…”
“What can I do?” desahku lagi
“Ya, kamu bisa mengusirku atau menurunkan aku di jalan…”
“Ya udah, sana pergi!” desahku lagi, setengah becanda, setengah serius juga sih…
Ine hanya menatapku, sok memelas, dan aku luluh, lalu sepontan minta maaf. Sial !!
“Kamu adalah cewe pertama yang memasuki sarang-ku” ungkapku saat mendudukkannya di sofa ruang tengah. Kuil-ku yang sakral
“Kok kamu bilang rumahmu sarang sih mas? Orang rumahnya nyaman dan bagus gini…”
“Panjang ceritanya
(1)” desisku “Mau minum apa? Dan eee…jangan panggil aku mas, aku kurang suka kalau ada temen yang panggil aku begitu…panggilan itu exclusive untuk satu dan satu-satunya cewek…”
(1) Yep, sangat panjang…kalau mau tau lengkapnya, baca dunk
REFLECTION - Elo dapat download versi PDF nya di halaman 1, atau search aja di sub forum cerbung kita tercinta ini <<
Promo Promo Promo !!
“Pacarmu?”
“Jauh lebih berarti dari pacar” aku meliriknya, enggan memberikan keterangan lebih lanjut
“owg…trus panggil apa dunk?”
“Suka-suka kamu aja, asal jangan mas…”
“Hmmm…gimana kalau Uda?”
“Macam pelayan di rumah makan Padang: Uda! tambah nasi sama ayam Pop satu…! ah, tapi ya OK lah…” aku masih sempet becanda, padahal serius, aku beneran dalam posisi kebingungan saat itu
“Hihihi… Uda lucu, eh, Uda tinggal sendiri ya?”
“Kamu liat ada orang lain di sini?” jawabku pendek
“Owg…Uda udah punya pacar?”
“Udah”
“Ntar pacarnya gak marah, Uda bawa cewe ke rumah?”
“Kamu satu-satunya cewe yang pernah masuk ke sarangku, tidak ada yang tau sarang-ku, bahkan Dia…”
“Senangnya…langsung jadi yang special buat Uda…”
Aku meliriknya lagi, enggan berkomentar “Jadinya mau minum apa? Aku punya teh, kopi, sirup, susu…”
“Ine udah punya susu sendiri ‘Da…hihihi…”
Aku meliriknya lagi. Tajam. Tanpa senyum. Aku memang sedang tidak dalam mood untuk becanda.
Pikiranku kacau, aku membawa orang asing masuk ke sarangku. Zona nyamanku. Rahasia terdalamku. Aku melanggar sumpahku sendiri. Dunia Multidimensi-ku terkoyak. Aku merasa tertelanjangi. Area psikopatku dilanda gempa. Dalam anganku, Vika adalah orang pertama yang akan ku berikan akses ke Sarang. Vika… wanita yang kutitipi hati dan asa ku. Sial, aku tambah kangen sama dia…
--
Aku tersentak bangun. Damput! rupanya aku tertidur di sofa. Dalam keadaan duduk pula. Kulirik ke bawah, ternyata si Ine dengan pulasnya tergeletak dan menaruh kepalanya di pangkuanku. Hampir jam 11 malam, batinku selepas melirik jam tangan di pergelanganku. Tadi Ine pamit mau mandi, setelah menunjukkan letak lemari handuk lalu aku kembali duduk di sofa, kelihatannya aku tenggelam dalam lamunanku sendiri dan keterusan tidur. Huft, efek ronda malam 2 hari berturut-turut, ngejagain cewek dari antah berantah.
Ine…Ineke. Entah siapa nama panjang wanita aneh semi gila ini. Aku belum nanya, dan sampai saat ini belum ada niat untuk nanya. Dia tidur dengan pulas di pangkuan-ku kini, lelaki yang sama asingnya dengan asingnya dia buatku. Wajah tidurnya kelihatan damai dan polos. Wajah yang sama, yang telah kupandangi dua malam saat menemaninya di Rumah-Sakit. Wajah yang tidak menunjukkan, bahwa si pemilik sedang dalam masalah besar. Masalah yang akan menempel kepadanya seumur hidup.
Sebuah janin telah tertanam di rahimnya. Bakal seorang manusia. Manusia yang suatu saat nanti pasti akan menanyakan asal usulnya. Aku bisa di katakan tumbuh tanpa sosok ayah. Dan didalam hati kecilku selalu bertanya, mengapa ayahku seakan tidak menginginkanku? Dan anak dalam rahim Ine ini kelak, bahkan mungkin tidak akan pernah tahu siapa ayahnya…
Lalu kulihat perutnya. Kalau dilihat dengan seksama, bagian itu memang sudah Nampak membuncit, walau kadang tersamarkan karena body Ine yang termasuk langsing. 3 bulan? 4 bulan? Mungkin sekitar itu usia kehamilannya, tebak-ku. Aku menelan ludah pada tenggorokanku yang kering. Mencoba menahan air mata yang mendesak untuk keluar. Mencoba untuk tegar melihat kenyataan yang menyayat ini.
Aku ingat waktu Rara mengatakan kalau dia hamil dengan selingkuhannya dulu. Tanpa mempedulikan perihku, tanpa mempedulikan hancurnya asa yang kupupuk, tanpa mempedulikan janin siapa yang dia kandung, aku sepontan melamarnya. Satu hal yang aku ingat ada di pikiranku dulu. Aku tidak akan membiarkan wanita menanggung perihnya hidup sendirian. Tidak didepan mataku. Tidak dalam hidupku. Tidak Rara, tidak juga wanita manapun. Aku lemah terhadap hal-hal seperti itu. Dan aku sering terjerumus masalah karenanya.
Kalau di pikir lagi, konyol juga…tapi, memang aku tidak bisa menahan dorongan rasa yang seperti itu. Sebut aku bodoh, gila atau apapun, terserah. Dan memandang wajah polos dalam pangkuanku ini, entah kenapa aku jadi merasa sedih banget
“Jangan berhenti dulu membelaiku Uda, nyaman banget…” desah Ine lirih
Eh? Sial, ternyata secara tidak sadar, aku membelai-belai rambutnya waktu tenggelam dalam lamunanku tadi
Aku memandang wajahnya. Ine balik memandangku. Mata kami bertemu
“Makasih uda…” bisiknya lirih dalam senyum yang getir
Sial…
Gara-gara kalimat jelek pendek gak bermutu itu, trik menelan ludah-ku jadi sia-sia. Aku masih berusaha keras melawan, mengeluarkan segala macam jurus dan trik, namun…gagal juga akhirnya. Dan kesedihan tak ber-ujung-pangkal sialan itu membuat Air-Mata ini mulai… menetes…
Aku benci menangis di depan cewe! Enggak, aku benci menangis di depan siapapun! Lebih dari itu, aku benci sama tangisan itu sendiri! Aku seharusnya adalah laki-laki yang kuat. Aku adalah master Karate Shotokan Dan Empat. Aku adalah pewaris tunggal Silat Tejokusuman aliran Ponosoemarto yang dalam kompetisi apapun yang pernah kuikuti, sampai sekarang belum pernah terkalahkan. Aku laki-laki kuat, ya, aku Seharusnya menjadi laki-laki kuat…aku…aku…
Kenapa aku harus menangis saat melihat kepedihan wanita ini? Wanita yang bahkan hampir tidak aku kenal…
Sial!
--
“Sssstttt…udah…semua-nya akan baik-baik saja kok…” Ujar Ine dengan tegar sambil beringsut duduk lalu mengusap air mataku yang entah kenapa dari tadi masih memaksa untuk keluar. Mungkin mataku kemasukan debu tadi, begitu aku terus meyakinkan diriku sendiri, sebuah argument tolol yang hanya kupakai untuk menyelimuti ego-ku yang bodoh… Whatever…
Wanita mungil ini ternyata begitu tegar. Atau ndablek? Entahlah. Namun, pancaran matanya yang jelas terlihat merefleksikan berjuta kepedihan, entah bagaimana caranya dapat di-taklukannya dengan elegan. Seperti Coup de Etat yang sempurna. Mengesampingkan kondisi dan kesalahan yang pernah ia perbuat, Ine ini menurutku adalah wanita yang hebat. Amat sangat hebat. Dan luar biasa tegar. Wanita yang menarik…
Aku menatapnya, menggeleng dan mencoba tersenyum, walau air mata masih belum berhasil aku bendung. Dan hanya lembut usapan jari Ine yang menyingkirkan ‘cairan-simbol-kelemahan-manusia’ itu dari pipiku. Mengembalikan sisa-sisa ‘harga-diri-laki-laki-kuat’ ku…
“Nah gitu dong, kalau tersenyum kan Uda kelihatan gantengnya…”
“Dasar cewek gila…”
“Ember!”
“Kemarin mungkin aku agak kacau, tapi sekarang jauh lebih baik…karena ada orang baik, yang berbaik hati menolongku…makasih…eh, aku sampai gak tau caranya berterimakasih dan membalas…kamu…Uda…” lanjutnya
“Be fine…jadilah baik-baik aja, kalau memang kamu harus membalasnya, hanya itu balasan yang ku inginkan darimu…Ine…”
Dan kami sama-sama tersenyum. Tenggelam dalam benak masing-masing. Entah yang kami pikirkan sama…atau malah luar biasa berbeda…
--
“Pelan-pelan makannya atuh neng…”
“ooowwg…lapelg taugh…” jawabnya dengan mulut penuh
Aku garuk-garuk kepala. Satu meat lover medium, Sepiring penuh salad buah, Satu splitza medium, Seporsi garlic bread, dua jus tomat. Dan aku hanya memandangi-nya memakan semua itu berbekal segelas jus alpukat. Ini anak sebenernya hamil apa kesurupan sih? Heran juga, semua cewek yang aku kenal makan-nya pada ugal-ugalan. Gak Rara, gak Ani, gak Vika… mungkin originally gini kali ya porsi standar makanan cewek, cuman mereka sok jaim aja kalo di depan orang. Lha tapi aku apa bukan orang?? Amit-amit, walau kadang kupikir evolusiku memang belum begitu sempurna, tapi aku ni juga termasuk mirip orang, woi!! Puas loe?!
Ini adalah hari ke-tiga Ine berada di sarangku. Kemaren nyariin baju, karena jujur aku suka gak nahan kalau dia minjem bajuku dan memakainya tanpa daleman. Takut khilaf. Ine nih walau hamil, masih sedikit seduktif sih. Oke deh aku ngaku, nggak begitu sedikit juga sih. Fine, kalau kamu memaksa aku nyeritain sejujurnya; sangat seduktif. Sering bikin sport jantung, tepatnya.
Dan sore tadi, dia bilang pengin banget makan Pizza. Jadi, di sinilah kami…Pizza Hut… biaya lagi… padahal saat ini aku praktis tidak ada pemasukan. Hanya mengandalkan tabungan sisa-sisa dulu dan gaji berlayar kemaren.
Miara jin hamil emang mahal maintenance-cost-nya…
--
Sesampainya kembali di Sarang, aku langsung menggelosoh di sofa, ngalamun lagi. Biasa, tentang Vika, siapa lagi yang ada di sana? Di otak buntu bego-ku akhir-akhir ini Vika memang sering gentayangan… Ine keluar dari kamar, sudah berganti baju dia. Kali ini dia pakai… Shit!
Baju you-can-see putih ketat yang dipakainya tanpa BH. Entah dia sadari atau tidak, baju itu mengekspose kedua payudara dari balik ketipisan kainnya. Memperlihatkan siluet lengkungan, belahan dan putting yang entah kenapa nampak begitu eksotis pada tubuh mungil itu. Dipadu dengan perut membuncitnya, membuatnya nampak begitu…entahlah…menggoda?
Dibawahnya ia mengenakan celana Hot-Pants kain berbahan kaos yang nyeplak pinggul-dan-paha dengan ukuran yang menurutku sedikit keterlaluan. Heran, nambah kain se-centi-dua-centi lagi nambah harga berapaan sih? Irit bener ama kain…
Over all, ini yang bikin aku sport jantung, nuraniku bertarung antara dua fakta yang aku yakini:
Satu-Aku tau dia pasti tidak menolak kalau ku ajak gituan.
Dua-Aku tentu saja tidak mau ngajak dia gituan karena…karena…eh? Kemaren alasanku karena apa ya? Sial, aku lupa sekarang…gara-gara pemandangan bejat lahnat ini sih…
“Ahhh…kenyang banggeett…makacih Udaa…dedek dalam perutku juga pasti seneng banget deh…” katanya sembari duduk di sofa sampingku sambil mengusap-usap perut. Ine membuat mimik muka lucu saat mencoba meng-konde rambut ikal sepunggungnya dengan… Sumpit kali ya? Ya pokoknya dengan benda mirip itu deh. Memperlihatkan keseluruhan wajah polos yang di topang oleh leher jenjang putih dan sempurnanya lengkung dagu yang membatasi muka pemilik beribu ekspresi lucu-aneh-dan-unik itu.
Bulu kalong yang berserabut di batas pertumbuhan rambutnya, di dahi, di depan telinga maupun di lehernya nampak begitu menggoda ketika berpadu dengan bentuk wajah-unik type Acha Septriasa-nya. Acha Septriasa? Apa gak ketinggian aku ngebandingin ya? Tapi emang hampir mirip sih. Bukan lihat lewat sedotan, beneran deh…
“Iihh Uda, lirik-lirik terus, kalau suka kirim surat dong…”
Merasa ke-gep, aku geleng-geleng kepala, melengos, lalu menyambar sebuah buku dari atas meja kecil di samping sofa dan mulai pura-pura membaca
“Bubu ahhh…awas minggir tangannya!” kata Ine sambil menyingkirkan tangan dari pangkuanku dan meletakkan kepalanya di sana. Aku geleng-geleng kepala. Sekilas kupandangi wajah polos di pangkuanku itu. Dan dia balik memandangku. Mata kami bertemu. Canggung…
“In…kamu…” kataku sambil meletakkan buku ke meja lagi, namun tanpa melepaskan pandanganku ke wajahnya
“Aku apa Da?”
“Kamu gak mikirin…”
“Mikir apa?” sahutnya
“Ya ini semua, maksudku…masa depanmu…ee…rencana-rencana…kandunganmu…” aku sengaja menghindari kata ‘masalah’. Ya maksudku biar agak enak aja ngomongnya
“Mikir”
“Kok riang gini?”
“Harus sedih ya?”
“Eh? Ya nggak juga sih…maksudku, kamu sudah ada rencana ke depan? Eee…kamu pernah memikirkan alternative? Maksudku…menggugurkannya misal?” jujur aku bener-bener tarbata-bata waktu mengatakan kalimat itu
“Menggugurkan? Nope! Gak pernah kepikiran ke sana…kalau yang terjadi padaku ini mau disebut kesalahan, aku akan mempertanggung-jawabkan kesalahan ini…apapun resikonya…tapi aku lebih suka memikirkannya sebagai bagian hidup yang harus ku tempuh…” kata Ine enteng
Jujur, aku terperanjat dengan keteguhan hatinya
“Trus, bapaknya? Maksudku, pasti ada salah satu dong dari…berapa orang yang melakukan? Maksudku…”
“hihihi…waktu itu kita ada 5 pasang, jadi ya 5 cowo…”
“Lha iya, maksudku, masa…mereka semua…maksudku…keluar di dalem? Atau mungkin…yang pertama keluar di dalem?”
“Emang yang jadi musti yang pertama ya? Gak bisa begitu juga kan? Dan…hihihi…mereka semua emang keluar di dalem…huft…bego juga kalau kupikir-pikir sekarang….” dengusnya
Hal kaya gituan baru dipikir-pikir sekarang? Aje gile… aku garuk-garuk kepala…”Gimana dengan test DNA?”
“Aku pernah menantang mereka untuk test itu, walau emang harus menunggu janin ini lahir…tapi gak ada satupun yang berani…mereka beralasan…cemen…dan menurutku, aku jauh-jauh-jauh lebih bisa hidup sendiri daripada bersuamikan cowok cemen hanya demi status…”
“Kamu gila In !”
“Aku optimis ‘Da…”
“Optimis yang menjurus gila”
“Hmmm... kurang lebih begitu, hehehe...”
“Trus kamu ngapain di halte? Maksudku sampe pingsan di sana…”
“Aku tuh mau ke Surabaya…”
“Ada sodara di sana?”
“Enggak, justru itu, aku menjauhi sodara, mereka kan kalau ada kejadian seperti ini malu trus berusaha nyingkirin ya minimal sok gak kenal lah, ini aib bagi sodara dan keluarga…ya memang aib sih, aku aja yang songong…”
“Anjir, baru nyadar ni anak… trus di Surabaya mau ngapain?”
“Kerja lah! Buat nambahin uang persiapan kelahiran, trus abis itu kerja lagi buat hidup”
“Kerja apaan?”
“Apa aja, aku bisa jaga counter, aku bisa jadi pelayan warung, apa aja… dan kalau memungkinkan, aku bisa sambil usaha kecil-kecilan…”
“Usaha?”
“Yup… kemaren aku tuh punya usaha, aku ngumpulin bunga-bunga, sisa-sisa karet-busa industri karpet anak, kertas bekas, trus ku bikin macem-macem, ya ada gantungan kunci, frame foto, sampul buku diary, album foto, album perangko, pop up…macem-macem lah, dan kujual laku kok, lumayan hasilnya…aku sampai punya dua pegawai…hihihi…”
“O?” Jujur aku tambah kagum ama ni anak
“Tapi uangnya kamu ilangin semua, bareng ama tas dan baju-bajuku… huft! Ayo tanggung jawab!”
“Enak aja! mana aku tau kamu bawa tas? Orang awalnya aku cuman berniat nganterin ke rumah-sakit aja kok…”
“Ahhh…jadi kere deh gue sekarang…” keluhnya becandaan sambil menggeliat manja, aku tidak melihat penyesalan berlebih di matanya karena kehilangan itu, sepertinya itu hanya hal kecil baginya, dan dia juga kelihatan yakin bisa meraihnya kembali dengan mudah. Wanita yang menarik…
Ine menggeliat lagi, memringkan badannya dan memeluk pinggangku. Menenggelamkan mukanya di perutku. Ya, sedikit di bawah perut sih…
“Eh, Da…” katanya masih sambil nyungsep
“Hmmm…”
“Kamu berdiri ya?”
“Eh? Aku Duduk!” jawabku ketus nutupin tengsin. Anjing, ke-gep lagi…
“Hihihi…masa sih kamu berdiri liat aku ‘Da?”
“Bodo! Crewet ah!” kataku sambil mendorong kepalanya menjauhi ‘kepala bawah’ ku, tapi Ine malah bertahan dengan memeluk pinggangku semakin kuat. Dan kami kuat-kuatan. Udah kubilang kan, ini anak emang rese!
“Iiiiii…berdiri…” Ine masih ngeledek waktu aku berhasil juga mendorongnya, dan sambil beringsut duduk, dia dengan kurang ajar meremas ke-arah selangkanganku
“TUHANKU AMPUN !!! Gila lo ‘Da… Guede bangeettt!” ledeknya kaget ketika berhasil menggenggam si junior dari luar celanaku
“Anjrit! Elo emang bawaan reseh ya?” ujarku ketus sambil nyingkirin tangannya dari rudal-pribadi ku
“Uhhhsssstttt…” Ine masih meledek dengan menarik nafas yang di desiskan dan melakukan gerakan mengocok-ngocok lengan kirinya, yang mungkin maksudnya membandingkan ukuran, sambil menaik-naikan alis matanya dengan konyol
“Njengkelin nih mukanya lama-lama…” becandaku sambil nunjuk-nunjuk mukanya
“Mau dunk!” katanya masih dengan mengangkat-angkat alis dengan konyol
“Mau apa?” hardikku ketus
“Liat dunk” angkat-angkat alisnya tambah di binal-binalin, make melet-meletin lidah segala
“Weks!” jawabku sambil meleletkan lidah juga
“Ntar tak liatin punya ku deh…”
“Ogah!”
“Hehehe…becanda lagi… santai napa?” dia masih konyol
“Becanda loe jelek!”
“Hehehe…kamu jijik ya sama aku?”
“Apa?!?” Entah kenapa aku tiba-tiba tersinggung sama kalimatnya barusan
“Kamu jijik ya sama aku? Ya karena…ini…dan…ee…” katanya lagi mencoba masih becanda sambil memegang perutnya
“Apa? Coba bilang sekali lagi !!” Intonasiku mulai beneran meninggi, aku inget Desi, anak itu pernah mengatakan hal yang sama, dan aku tidak suka. Sama sekali tidak suka. Menurutku, manusia tidak boleh dilihat begitu. Sama sekali tidak boleh…
“Aku salah ngomong ya? Sorry…” ucapnya sambil mulai nunduk
Aku mengangkat dagunya, menegakkan kepalanya, memandang matanya
“Ine jangan sekali-kali ngomong gitu lagi, dan selama aku masih bernafas, akan aku pastikan, tak ada yang boleh ngomong jijik pada Ine…tidak seorangpun…” dan aku mendekatkan kepala kami, ku cium bibirnya…
Dan dia membalas ciumanku…lalu ritme ciuman kami pun meningkat. Semakin dalam. Semakin panas…
- End of Expecto Patronum –
Expecto Patronum… Kuharapkan kebahagiaan…
To be Conticrot!
INDEX