Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT TRAMPOLINE - Re Upload

Bimabet
Terimakasih master dan suhu yang telah membaca cerita sederhana nubi. Eps terakhir segera release

Mohon masukannya, eps kali ini agak panjang, enaknya d bikin 2 chapter atau langsung d upload saja?


langsung aja om... nggak mau setengah setengah hehe
 
langsung aja om :D
 
Dilanjutpun

Eps Lalu…

…..Dan aku melihat sepasang sayap tiba-tiba keluar dari punggungnya…

Lalu dia terbang…

Shit! Apa-apaan ini?

Ilusi-kah ini?

Atau Halusinasi?

“Hoiiii… Malaikat cantik… jangan terbang… tunggu aku…” teriakku galau..

“Sial! Hei! Jangan pingsan disini! Shit!” itu kata-kata terakhir yang kuingat keluar dari mulutnya…

Lalu gelap…

Sial…

Obatnya… Tidak manjur???

Atau lukaku terlalu parah?

Shit!




Stairway to Heaven


“Hei, anak pintar… kamu udah siuman?” kata-kata menyejukkan itu berasal dari seorang pria tua yang begitu ku kenal

“Dok….?” Erangku pendek mengenalinya. Seluruh tubuhku terasa remuk, perih dan nyeri di tempat-tempat yang bahkan tidak biasa kamu bayangkan. Ledakan ingatan membanjiriku, namun semua seakan terputus pada moment saat sayap bidadari itu muncul

“Iya, ini aku, kamu akan baik-baik saja…” desisnya lagi menenangkan

“Aku… tidak bisa bergerak… sakit…” rintih ku lagi

“Iya, aku mengoperasi paru-paru-mu tiga kali, tapi kau akan baik-baik saja… istirahatlah, bernafas dengan biasa saja” imbuhnya lagi

“Dok…” Erangku lagi, kali ini air mata entah mengapa terasa membanjiri pipiku. Aku takut. Ya, aku sangat takut. Hidupku, entah mengapa terasa sudah berakhir. Aku membayangkan tidak dapat lagi bertemu dengan Bunda, dengan Ayah dan adik-adikku. Dan seluruh badanku tidak bisa kugerakkan…

Aku begitu ketakutan karenanya…

Namun ada yang aneh dengan tubuhku, seakan inderaku meningkat tajam. Tajam dan sensitif

Aku bisa mendengar dengan jelas, dan menemukan perbedaan bermacam-macam ketukan-ketukan ritmik dan desisan aneh yang dikeluarkan oleh alat-alat elektronik yang dipasang disekeliling tubuhku. Aku bisa melihat dengan jelas juga kerutan-kerutan dari yang terdalam sampai yang paling halus pada wajah Dokter tua itu. Bahkan, aku mendengar ada suara langkah-langkah kaki yang tergesa-gesa mendekat. Dan dokter-ku pun kelihatannya juga mendengar langkah itu

“Tutup matamu, dan jangan dibuka kecuali aku suruh!” perintahnya pendek yang langsung aku turuti.

Tetapi walaupun mataku segera kututup, pendengaranku, yang kurasakan mengalami peningkatan dalam skala yang aneh ini bisa mengikuti hampir apapun yang terjadi didalam ruangan itu. Dan segera, kudengar pintu terbuka. Dan tiga jenis suara langkah kaki mendekat. Tiga orang kah?

“Bagaimana?” kudengar suara berat bertanya dengan nada kasar memerintah meminta informasi dengan segera

"Ya… Dia masih dalam keadaan MIC- medically induced coma-, baru-saja kemarin kami melakukan Intubasi Orotrakeal - kuharap jantungnya tidak terpengaruh, dia mengalami trauma yang cukup parah pada paru-paru kanannya, berpusat di sekitar reses costodiaphragmatic, kami sudah melakukan prosedur Thoracentesis untuk mengangkat infeksinya...lalu…" kali ini aku hafal suara tua yang sabar itu, dokterku. Yang di sela dengan kurang ajar oleh si pria

“Sudah! Sudah! Sudah! Sudah! Simpan omong-kosong kedokteranmu sendiri, yang kutanyakan adalah; kapan dia akan bisa bangun?! Kita membutuhkan keterangan darinya! Segera!”

“Keterangan apa? Dia hanya anak kecil, dia tidak tahu apa-apa!” bantah doterku

“Kami yang menentukan dia tahu apa-apa atau tidak! Bukan kamu! Tugasmu hanyalah membuat dia bangun!”

“Dia Hanya Anak-Anak! Dan Dia Berada Dalam Pengawasanku!” Doker tua itu tak kalah menekankan suaranya

“Aku tak peduli dia ada dalam pengawasan siapa! Ini menyangkut Keamanan Negara, dan siapapun yang menghalangi aku akan…”

“Keamanan apa? Dia hanya anak-anak” Dokterku masih berusaha berargumen

“HEI !! Bapak tidak seharusnya berada disini!” bentak suara yang baru-saja masuk secara tergesa-gesa dengan langkah yang sangat ringan kedalam ruangan ini. Suara seorang wanita. Langkah ini terdengar begitu harmonis dan seimbang, Pe-beladiri kah?

“Apa katamu?!!” bentak si-Pria tak kalah galak

“Saat ini Bapak tidak seharusnya ada di sini!” suara wanita itu merendah

“Dengar Nona! Selama ini masih Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka saya BERHAK berada dimanapun dan kapanpun! Dan ini bukan urusan Interpol, jadi sebaiknya kau dan gerombolan-mu kemas koper-koper mengkilat-kalianlalu pergi dari sini!!” Si pria malah balik mengusir

“Pak! Ini dibawah juridiksi Interpol sampai SAYA mengatakan sebaliknya! Jadi selama keadaannya seperti itu, saya minta bapak agar segera meninggalkan ruangan ini!!” jawabnya adu galak sambil menekankan kata ‘Saya’, untuk menunjukkan kewenangan. Aku hampir yakin bahwa wanita ini adalah sang bidadari yang kemarin. Kemarin? Kemarin kapan? Kemarin Lusa? Dua – Tiga hari yang lalu? Ah, Sudah berapa lama aku disini?

Sial !!

“Saya ingin melihat sendiri saat anak ini diinterogasi!” si-pria masih saja ketus

“Tidak ada yang akan di-interogasi pak, saya bisa yakinkan bapak tentang itu, anak ini hanya akan di sterilisasi, lalu kita lepaskan. Dia tidak tau apa-apa…” jawabnya dengan lebih lembut lagi. Inilah kelebihan wanita, bisa dengan mudah mengatur emosimu dengan manipulasi cara bicara yang… ah…

“Darimana kau tau kalau dia tidak tau apa-apa tanpa interogasi?” intonasi bicara si-pria pun sedikit melunak

“Karena ada yang ingin bicara dengan bapak…” kudengar dokterku menyela, lalu kudengar gemerisik lirih suara dari… sebuah telepon genggam?

“Halo! Ini… oh, iya pak… siap pak… baik pak… siap… siap… baik pak, siap… laksanakan pak…” lalu telepon itu ditutup dengan banyak sekali dengusan ketidak-puasan. Lalu tiga jenis suara langkah kakipun kudengar meninggalkan ruangan ini

“Dan kau bisa membuka matamu sekarang, bocah!” perintah wanita itu dengan tegas, setelah suara-suara langkah kaki itu semakin tidak terdengar, perintah itu ditujukan kepadaku, kurasa…

“Kau sudah tau?” tanya dokterku terheran, menebak bahwa si Wanita sudah tahu kalau aku sudah siuman. Aku juga heran. Tau dari mana? Kan dia dateng setelah gerombolan itu dateng, dan aku yakin akting pingsanku sempurna, menurutku, dengan akting se-sempurna itu, aku akan dikatakan berbakat menjadi aktor. Terutama aktor dengan bagian akting mati atau pingsan. Dan aku membuka mata, tepat saat wanita itu menunjuk ke atas, seolah menyatakan dari mana dia bisa tahu kalau aku sudah siuman.

“Tuhan yang memberitahumu?” tanyaku songong dengan pandangan takjub, gatel pengen ngomong, padahal tenggorokanku sakitnya tuh disini…

Lagipula dia kan malaikat, lha wong seingetku, dari punggungnya aja keluar sayap. Jadi barangkali wajar aja kalau sering ngobrol-ngobrol sama Tuhan, pikirku bego.

“CCTV, Genius !!” dengusnya mengejek sambil masih menunjuk ke-atas, yang kemudian segera berlalu dari sana dengan acuh

Oh…

---

“Hmmm, jadi begitu…” dengus wanita itu pendek, setelah sekali lagi mendengar ceritaku

Ya… ya… ya… katanya tidak akan ada interogasi, tapi disinilah aku sekarang. Dalam ruangan remang-remang sempit yang seakan menggecet ruh dan kesadaranku-ku sampai gepeng, menggerusnya secara kejam, lalu seperti sebuah balon naas yang pasrah, menggelembungkannya lagi secara tidak manusiawi, membiarkanku menggapai-gapai harapan hidup dengan frustrasi dalam udara ber-atmosfir dingin dan tajam. Setajam silet. Dan apakah aku sudah memberitahumu kalau aku juga dicecar ratusan (atau mungkin ribuan) Pertanyaan?

Mana sih majas yang benar buat meng-ekpresi-kan sesuatu yang sangat banyak? Ratusan atau ribuan? Ah, Lebih! Ah, aku gak ngitungin, yang pasti banyak.

Satu minggu. Itu waktu yang kubutuhkan untuk ‘pulih’ dari keadaan-ku sebelumnya. Entah obat Dokterku yang ciamik, atau daya pulihku yang jos gandos.

Gak pengen sombong sih, tapi… satu minggu?

Oh, ayolah, bolehkan kalau aku merasa menjadi Son-Go-Ku sekarang?

Anak yang tangkas dan juga pemberani!!

Ya, tentu saja aku masih berada diatas kursi-roda. Habis ini, sesi Fisioterapi yang panjang juga masih menanti untuk benar-benar memulihkan kondisiku. Karena segala aktivitas yang melibatkan ketariknya otot dada, atau organ apapun di daerah itu, seperti ngupil atau berusaha nyingkirin bayem yang nyempil di gigi, atau sekedar garuk-garuk pantat sial yang selalu gatel diatas kursi-roda bangsat ini, membuatku megap-megap gak karuan. Jangan bicara tentang nikmatnya ngejan pas be’ol !!

Maklum, paru-paru bolong gimana sih? Mau ngerasain?

Hadeh…

Yah, tapi selain hal-hal kecil seperti; Harus berjuang setiap kali menarik nafas, infeksi akut pada trakea, aku gak tau kenapa itu bisa terjadi, dan cairannya yang tertelan (secara tidak sengaja – kamu mau nelan nanah dari luka infeksi-mu sendiri kah?) membuat lambungku juga ikutan iritasi. Belum menyebutkan Apnea – suatu kondisi dimana elo tiba-tiba berhanti bernafas, paling parah kalau terjadi saat kamu tidur, yang membuat-ku beberapa kali bolak-balik ICU dalam bulan-bulan pertama, selain hal-hal kecil itu, pada dasarnya aku baik-baik saja

Nasib...

“Kau yakin tidak melewatkan sesuatu dalam kesaksianmu ini?” Wanita itu bertanya lagi dengan intonasi yang semakin tegas

“Enggak kak, udah ku-cek lagi, ya cuman itu yang aku tahu…” jawabku tak kalah serius

“Yakin?”

“Iya kak…”

“Kau tidak tahu kenapa Iksan menyuruhmu mencuri laptop itu?”

“Enggak kak”

“Kau tau data apa yang ada didalam hardisk yang kau hancurkan?”

“Enggak kak”

“Lalu kenapa kau mati-matian bersikeras untuk menghancurkannya dengan taruhan nyawamu?”

“Sudah kubilang dalam laporan kan kak, aku tuh menghancurkannya hanya untuk memancing emosinya, biar jurusnya kacau”

“Bukan perintah Iksan? Curi atau hancurkan?”

“Bukan kak, permintaannya hanya untuk mencuri laptopnya”

“Yakin?”

“Yakin kak”

“Sudah kubilang jangan panggil aku kak!”

“Iya beb…”

Wanita muda manis itu hanya melirikku, tanpa ekspresi, tak ada senyum geli, tersanjung, tersipu, marah, jengkel, dongkol atau apapun. Candaanku ditanggapi-nya dengan dingin, sedingin silet! Eh?

Ah, pokoknya datar banget. Seperti manekin cantik yang menyeramkan

Cantik, tapi menyeramkan…

Dan sampai sekarang-pun aku tidak mengetahui namanya

Miss “B”, mereka memanggilnya begitu

“B” Stand for Bitch? How the hell I know?!

“Miss B, berapa lama aku akan di-isolasi?” tanyaku lagi, kali ini dengan sangat sopan

“Delapan belas bulan. Semua sudah diatur, skenarionya kamu keterima kerja di Singapore, orang tuamu sudah kami kondisikan. Kamu boleh kontak mereka maksimal dua minggu sekali. Kontakmu dengan dunia luar hanya dengan mereka. Ingat, kalau sampai isolasi ini bocor, masa karantinamu akan kami perpanjang sampai batas yang kami rasa aman! Dan itu bisa berarti seumur hidup! Mengerti?”

“Iya miss…” dengusku pendek…

Ah…

Kelar sudah kehidupanku…

Hadeh…

Delapan belas bulan isolasi…

Ini sama saja kamu disihir berubah menjadi sperma lagi. Sperma yang sedang siap-siap di-garis start untuk perlombaan renang dalam cairan yanglengket dan amis menuju sel-telur calon ibumu yang menanti di ujung garis finish. Dan yang lebih buruk dari itu, kau tahu dari awal, bahwa apabila kamu yang keluar sebagai juara dalam perlombaan itupun, seusai perjalananan penuh perjuangan itupun, kau akan menjadi sosok yang sama-sekali berbeda. Asing, tak ber-masa lalu dan sendirian. Terlahir sebagai bayi. Nol besar!

NOL BESAR!!

Yep! Kamu tidak akan punya kehidupan sosial masa lalu – Ah, setahuku sebuah sperma memang tidak punya kehidupan sosial masa lalu kan? Atau aku salah?

Pokoknya, dengan ‘isolasi’ maka masa lalumu akan di-Reset

Dan mereka akan menyapu bersih apapun yang berhubungan dengan masa-laluku…

Semua…

Lalu aku menggelosoh lemas di kursi-roda yang segera mencekeram-ku dengan cakar-cakar spektralnya, lalu menenggelamkanku, menarik bokongku semakin jauh kedalam samudera kemalasan-nya yang terasa semakin tanpa harapan dan tak bertepi ini…

Walaupun begitu, masih ada satu hal yang sangat ku-syukuri…

Kenyataan bahwa aku masih hidup!

Ya, artinya aku masih akan punya kesempatan untuk bertemu dengan Bunda-ku tercinta lagi…

Sebagai apapun!

Dan aku akan bertahan serta berjuang untuk alasan itu!

Ah…

"Kamu bener-bener gak tahu, siapa Vincent?" kata wanita seram itu lagi sambil berpaling melirik-ku dengan gaya sok dramatis, saat sudah bangkit dari kursinya dan bersiap meninggalkan ruangan ini

"Enggak miss..." jawabku lemas. Dan aku gak mau tau, batinku

"Dia adalah hantu selebritis di kalangan Triad, kami melakukan pekerjaan berat dalam membersihkan nama-mu, jadi kusarankan, ikuti protokol isolasi ini sebaik mungkin, dan satu lagi..." desisnya kelam, walau diikuti dengan senyuman yang ah...

Aku memandangnya dengan memelas

"Kamu punya hutang besar pada organisasi kami, suatu saat... ah, kukira kamu tau bagaimana semua ini nanti harus diperhitungkan" lanjutnya ringan sambil tersenyum. Manis, namun begitu mengintimidasi

Ah...

Kalimat sialan, yang benar-benar tidak aku harapkan...

Hidupku...

---

“Eh, maaf!” kataku spontan saat tas laptop selempang yang kusampirkan dipundak dengan tidak hati-hati itu melorot dan mengenai bahu seseorang yang duduk

Empat tahun berlalu dari masa ‘Isolasi’ yang harus kujalani. Aku sudah kembali lagi ke Kotaku. Semarang oh Semarang. Dalam empat tahun ini, waktu benar-benar kuhabiskan untuk menata kehidupan. Tidak ada main-main sembarangan lagi

“Iya mas, gak papa…” jawabnya lembut

“Iya, bener-bener minta maaf ya mba…” aku masih mengulangi lagi untuk meminta maaf sambil membungkukkan kepala se-sopan mungkin

“Apaan sih mas, iya dimaafin, aku gak papa kok…” jawabnya lagi riang, sambil tersenyum manis, dengan lesung pipi yang…

Eh?

“Eee… maaf lagi mba…kayaknya… i… ine?”

“Iya… siapa ya?”

“E… aku Denny, eh… ee… Dede… temen… rara?!” jawabku ragu yang diikuti oleh belalakan mata si cewek manis

“Ya ampun…. Dede? Ya Ampun… Eh, gimana kabar? Ya Ammpuunn… Kamu gondrong gini sih, jadinya aku pangling… kemana aja? Kamu tiba-tiba menghilang…” kata-nya kaget sambil berdiri lalu mengguncang-guncang lenganku

“Eh… iya, sudah lama juga sih ya…”

“Iyaa… empat-lima tahun? Kamu kemana aja??”

“Ya, kesana kemari… aneh banget ya ketemu di sini… hehehe…”

“Iya, aku… kerja di seberang jalan, di HSBC…” terangnya

“Di bank HSBC?” tanyaku lagi - Yups, kita emang ketemu-nya di exelso, salah satu lokasi favoritku kalau pengen tongkrong dan ngupi yang terletak di Citraland, sebuah mall di seberang Gedung HSBC. Disini menurutku lucu, sementara kamu bisa nyante dan menikmati kesendirian, tapi ada di tengah keramaian. Semacam paradox yang dapat ternikmati

“Bukan, di wismanya, perusahaan asuransi..ee…” Ah, cara dia mengatakan kerja di perusahaan asuransi begitu manis. Membawa berbagai kenangan indah masa lalu. Eh? Cara dia mengatakan? Absurd banget ya? Maksudku, dia emang kelihatan manis sih dengan rambut yang di sanggul gitu, dengan blazer resmi abu-abu dan rok span selutut. Terlihat formal dan tegas, namun feminim. Walau wajahnya Nampak sedikit lebih tirus dibandingkan seingetku pas kuliah dulu

“Temen kamu In?” suara seorang pria mengagetkanku dari belakang

“Eh, Pak…” Ine tiba-tiba aja gagap lucu, dia tuh ekspresinya emang lucu gitu dari dulu, aku sampai tersenyum sendiri liatnya

“Jangan pak dong In, kan udah diluar jam kerja” katanya sambil mengulurkan tangan kepadaku. Pria muda itu berpenampilan rapi sekali. Menjurus metrosexual. Dengan kemeja yang sangat rapi dan dasi yang juga trendy serasi, dipadu jam tangan merk mahal yang melilit dipergelangan tangan kirinya dengan elegan. Walaupun kupikir, celana bahan yang dipakainya sedikit terlalu ketat. Entah bagaimana dia bisa bergerak dengan celana sesempit itu. Kurasa, kalau ingin kentut-pun harus mengeluarkan tenaga ekstra buat ngejan agar anginnya bisa nerobos sempitnya himpitan celana dibagian bokongnya. Serius, ngeliatnya aja rasanya gerah. But anyway, dia emang rapi jali.

Sedangkan aku?

Dalam kurun waktu lebih dari lima tahun ini, tak ada seorang wanita-pun dalam hidupku. Kalau ada diantara kalian yang bilang Jones, tentu akan merasakan pembalasan-ku yang sangat kejam dan pedih! Eh, tapi emang Jones ding.

Waktuku kufokuskan kepada kegiatan-kegiatanku yang memang menuntut perhatian sedikit lebih. Alhasil, badanku pun sedikit kurang terurus. Rambutku kubiarkan gondrong sebahu, dan jambangku-pun jarang kucukur. Tentu saja aku masih rutin mandi, kalau-kalau kamu menanyakan hal itu!

Dan pakaianku. Ah, saat itu aku hanya mengenakan celana jeans item belel yang robek di bagian lutut dan kaos oblong polos warna yang sama. Dan sekarang pun, aku hobby memakai gelang-gelang etnik. Jadi, rencengan gelang butut berwarna warni ceria selalu bertengger di pergelangan kedua tanganku. Jam tangan G-Shock yang nyempil berbagi ruangan dengan gelang-gelang itupun dekilnya sudah saingan sama sepatu boot tactical anti-cuci yang selalu kupakai tahun-tahun belakangan ini. Bukan berarti aku tak punya sepatu lain lho ya, aku hanya gak inget aja kalau punya. Atau, emang ga punya ya?

Intinya, aku, baju dan aksesorisku, bersama-sama, seakan berlomba-lomba adu dekil. Yang secara dramatis memberikan efek fulgar—dalam konotasi terburuk puisi jalanan yang jorok atau prosa cabul manapun – secara keseluruhan, seperti kombinasi komedi-hantu-porno yang nekat di-filem-in. Tanpa kejelasan plot dan alur cerita dan hanya bikin malu, bahkan buat yang nonton. Fulgar bin Dekil! Itulah gambaran umum diriku saat ini.

Hadeh…

Hei! Jangan tanya baunya!

Wangi!!

Aku tuh dekil, bukan kemproh!

Sial, keliatannya besok aksesoris-aksesorisjahat ini musti gue rendem make obat pel lantai atau karbol…

“Dede” sambutku pendek sambil memperkenalkan diri, minder

“Rodi” jawabnya pendek

“Hai… Hai… Hai… Hai…” seorang cewek menyapa gerombolan ini dengan ramai dari belakang

“Hai…” sapa seorang cewe satu lagi yang sedikit lebih kalem

“Hai… maaf telat dikit, Nina nih, lama banget milih Beha…” Si cowok yang berkata gitu tadi. Disambut cibiran nyinyir dari cewek yang kutebak bernama Nina. Tiga temannya -yang kelihatannya emang udah janjian- menyusul dengan kemunculan yang hebring. Dua cewek yang tak kalah manis sama Ine dan seorang cowok yang tak kalah ganteng dengan aku.

Kalau elo sampe komentar, ah pasti cowoknya absurd banget karena bandingan-ganteng-nya cuman gue! Maka beneran deh, kita mending ribut aja!

“Eh, pada janjian mau jalan ya? Silahkan lho dilanjut…” kataku sambil bersiap untuk hengkang dari kelompok asing itu. Abis aku merasa jadi kayak Alien di sana. Enggakblend-in babar blas. Semua pada rapi-rapi dan necis, aku?

“Nyantai aja lagi mas, kita juga cuman hang-out bentar kok, sambil nunggu film, jam berapa main In?” Rodi yang bicara, sambil berbasa-basi ‘menahanku’ yang kelihatan akan hengkang

“19.45” sahut Ine pendek, cenderung kaku. Aku yang mendengar jawaban tentang jam itu, sepontan melirik jam tangan juga. 18:22:16 – Jam enam lebih dua puluh dua menit dan enam belas detik. Hoi! ini jam tangan digital original bung, tepat se-detik-detik nya!

“Kenalin dong in temennya!” kata Rodi lagi

“Eh, iya… Ini Dede, temen kuliah dulu. Yang ini Nina, yang ini Anggi, yang ini Samuel” jawab Ine seperlunya

“Halo… saya Dede…” balasku sopan, yang diikuti oleh balasan sopan juga dari mereka

Dan akhirnya aku terpaksa duduk se-meja sama kelompok heboh itu. Ine duduk bersebelahan dengan Rodi, sedangkan dua cewek manis Nina dan Anggi dikursi seberangnya, lalu aku berhadapan dengan Samuel. Kau tau, saat kau join dengan sebuah grup yang bahan gosipannya kamu gak-ngeh sama-sekali, pasti akan merasa awkward banget. Tul gak?

“Eh, masnya di ajak ngobrol dong, masa di anggurin, kan kasihan. Eh mas, mase kerja di sini?” kali ini yang bicara Rodi

“Iya mas…” jawabku singkat, masih canggung

“Kerja apa?” tanyanya lagi

“Ya serabutan mas, apapun yang bisa dikerjakan…”

“Ohh, kami semua kerja di Generalli, tau kan? Nih si Nina dan Anggi di CS, Sam, Aku sama Ine di Marketing. Nah, kalau mase butuh asuransi, hubungi kami aja… nih kartu nama-ku mas” terang Rodi panjang lebar sambil mengulurkan kartu nama kepadaku

Rodi Handoko Putro, SE, MM
Marketing Manager
For Southeast Asia
Reg. Indonesia


Lirikku singkat pada kartu-nama itu yang mendisplay informasi super komplit tentang si-Rodi. Jangankan nomor telepun (ada beberapa sih – aku masih enggak paham, mengapa orang-orang perlu banyak sekali nomor telepon) dan alamat e -mail serta website perusahaan dan beberapa alamat kantor; dari kantor pusat sampai cabang-cabang-nya, kukira, kalau tempatnya masih cukup, foto kucing pelihraan-nya juga akan di cetak dengan lebay disana, disebelah peta petunjuk jalan menuju ruangan kantor-nya dimulai dari meja resepsionis – kau tau, semacam peta-nya Dora the explorer.

Ngasih kartu nama itu ada beberapa kepentingan, menurutku. Dan dalam hal ini, kurasa si Rodi hanya ingin pemer jabatan dan title-nya. Atau aku aja yang terlalu sensi?

“OK, makasih mas. OK… ee… kelihatannya aku agak menggangu, aku tak pindah ke-meja sebelah aja…” yup, aku udah mengambil keputusan. Harusnya langsung cabut, tapi… rasanya kok sayang ya, masih pengen liatin wajah Ine. Ok, ini bullshit, tapi… kok rasanya kayak… mendadak kangen banget sama tu anak…

Ahh..

Moso sih?

“Oooh, kalau mase pengen gitu ya monggo, nyantai aja mas bro…” celetuk Rodi lagi. Dan aku mulai berdiri, sambil mencoba tersenyum, walau gak tau kenapa tiba-tiba canggung banget

“Kalau gitu aku nemenin dede sebentar ya…” Ine ikutan berdiri

“Lho, trus aku yang nemenin siapa dong?” sergah Rodi, sambil memegang tangan Ine

“Eee… sebentar aja kok pak…”

“Lah, kan udah kubilang jangan panggil pak kalau di luar jam kerja…” kata Rodi lagi sambil masih memegang tangan Ine. Aku garuk-garuk kepala

“Cuman sebentar aja kok, mau ada sesuatu yang perlu saya sampaikan… Pak…” jawab Ine sambil menepiskan tangan Rodi yang sengaja memengang tangan Ine kuat-kuat. Lalu berlalu mengejarku yang memang sudah berbalik badan. Gak kuat liat adegan gajen, takut kebawa emosi…

Kakeane!

Nah, kan?

“Dede… tunggu dong…” kejar Ine

Aku balik badan lagi dan tersenyum ke-arah Ine

“Katanya cuman mau pindah meja, kok cabut sih?” protes Ine saat liat aku emang gak pindah meja, tapi langsung nggeloyor ke arah kasir

“Awkward banget, gak enak nih, mending aku cabut aja deh…” jawabku meresume semuanya

“Yawdah deh, tapi kamu telpun aku ya!” kata Ine lagi yang seakan mengerti untuk tidak berusaha menahanku – ni anak dari dulu emang selalu ngertiin aku, Hadeh. Ine buru-buru merogoh saku depan kemeja dibalik blazernya dan mengeluarkan kartu nama

“Kelihatannya lagi trend ya sekarang pada nyimpen kartu nama di kantong kemeja…” selorohku becandaan

“SOP perusahaan. Nih, beneran lho ya nelpun!” katanya sambil mengulurkan kartu nama

“Ocree nona manis… baidewai, selain kartu, ada apalagi tuh di balik kantong kemeja depan?” candaku lagi sambil nerima kartu nama dan dengan songong melonggok ke arah dada Ine

Ine meninju lenganku ku manja “Apaan sih! Dasar Jorok!” rajuknya ngalem

“Heleh, becanda keles… hehehe…”

“Call me lho ya!” rajuknya lagi

“Siap Nona!” jawabku pendek kalem sambil membuat isyarat hormat dengan dua jari nempel di kening lalu balik badan, melanjutkan perjalananku yang sempat terhenti ke-arah kasir. Helah, perjalanan…

“Bro! Bro! Kalau mau cabut, cabut aja! Ntar bill nya di kita aja!” tereak Rodi dari belakang

“Gak usah mas, makasih” jawabku sambil membalik badan

“Mbak-mbak, bill nya mas-nya ini masukin ke kita ya!” Tereak Rodi lagi, kali ini ke mba-mba pelayannya

Aku cuman angkat bahu, trus nggeloyor pergi dari sana

Seterah!

---

“Halo? Halo… Halo… siapa nih?” kata suara di seberang speaker handphone ku. Aku yang men-dial nomor itu malah canggung. Bingung mau ngomong apa

“hi In, Dede…” desahku singkat sambil menelan ludah, gugup

“Dede siapa ya? Gak kenal!” jawabnya ketus gak kalah singkat, setelah tadi kudengar dia ambil nafas panjang

“Hehehe… gitu deh… katanya suruh nelpun…” desahku pasrah

“Nelpun aku tuh gak penting banget!” Semprot-nya

“Kok gitu sih?”

“Iya lah, aku tau, pasti kamu sangat sibuk, atau banyak cewek-cewek yang lebih penting buat kamu telpunin! Sampe ngerasa nelpun aku tuh cuman buang-buang waktu berhargamu!” Ine masih nyinyir

“Hahaha… masa sih?” godaku lagi. OK fix! Aku tau sekarang kalau Ine sebenernya juga nunggguin teleponku dari statement nyinyir-ala cewe ngambek itu. Hoi! Aku ga bego-bego amat buat tau hal-hal dan isyarat macam ini keless…

Huft, akhirnya, ganjelan itu agak mereda. Jujur, setelah melihat opera-sabun-roman-picisan di exelsso tempo hari, atau lebih tepatnya kukatakan disini lebih dari seminggu yang lalu, aku memang ngerasa canggung banget mau nelepon Ine. Walau hati ini rasanya gembrebeg. Pengen banget nelpun. Setelah mati-matian kutahan, akhirnya malam itu ku-berani-berani-in nelpun juga

“Habis, napa lama baru nelpun? Udah gitu gak ngasih nomor lagi! Sok banget sih!” Ine nih beneran ngambek apa gimana?

“Iye… Iye… maaf… abis takut dimarahin mas ganteng Southeast Asia manager apalah itu…”

“Apaan sih? Lebay!”

---

Dan sejak saat itu intensitas komunikasi kami meningkat. Dalam beberapa minggu ini, hampir tiap malam kita telponan. Dan beberapa kali dia kujemput buat makan siang.

“Kamu tuh sebenernya kerjanya pa sih De?” tanya Ine dengan mulut penuh. Saat itu kita maem siang di Lombok Ijo. Maklum, ga bisa jauh-jauh dari kantor dia kalau siang

“Kamu tuh, sebenernya maem nya masih kayak dulu pas kuliah tapi kok kurusan ya In?” jawabku ga nyambung malah balik nanya

“Masa sih? Makasih ya udah dibilang kurus, aku tuh diet! Tapi gak tau tuh setiap kali ama kamu tiba-tiba nafsu makanku jadi balik lagi kayak dulu. Kalo sampe dietku gagal, ini semua salahmu!” jawabnya selebor dengan acting marah yang jatohnya malah lucu

“Alibi!” jawabku singkat “Tapi bener, Ine kelihatan tirus banget…”

“Kamu suka aku yang chuby kayak dulu?” tanya-nya dengan arah dan jurusan embuh

“Ah, perasaan dulu juga ga chubby-chubby banget deh…Yaaa, aku suka Ine kayak apapun Ine…” jawabku sambil tersenyum menatap ekspresi maem Ine yang manis nggemesin

“Cieee…” jawabnya gak nyambung, dan aku cuman garuk-garuk kepala. Sial! Pake tangan yang abis megang sambel lagi. Maklum, maem kita muluk. “Eh, tapi pertanyaanku lom kamu jawab deh, kamu kerja di apaan sih de? Perasaan nyante banget kerjanya. Bisa jemputin aku maem siang. Udah gitu nraktirin lagi. Kamu juga punya mobil…” katanya lagi dengan muka sok ala-ala detektif swasta

“Perasaan aku dari kuliah udah punya mobil deh… kan tiap kali aku ke jogja juga pake mobil…” jawabku

“Masa sih?”

“Lah? Masa kamu gak inget?”

“Gak ngeh iq…”

“Lah?!Lha kan aku parkir didepan kost kamu, kamu juga beberapa kali anterin aku ke parkiran…”

“Masa sih? Gak ngeh bener deh…”

“Lah?” aku garuk-garuk kepala lagi. Kali ini aware. Pake tangan kiri!

“Aku tuh, tiap kali kamu ke kost dulu, cuman liatin wajahmu doang, gak ngeh yang lain-lain…”

“Napa? Terpesona ama kegantenganku?” Oh, come-on, aku aja yang ngomong jadi jijik sendiri

“Apaan sih, Njijiki!” jawab Ine sok begidik-geli. tuh kan bener, jijik? -- “Wajah kamu tuh lucu, kayak Puppies yang dibuang di kardus dipinggir jalan trus dikasih tulisan; please adopt me! Please… Rara… Please… Take me back… I love you so much…please…please…please… padahal kamu ditinggal selingkuh mulu sama dia… hahahaha…”

Aku nyambit Ine make potongan timun lalapan yang udah separuh kugigit sambil prengas-prenges nunjuk-nunjuk “kakeamu…”

“Bener deh!”

“Prek!”

“Trus?” tanyanya lagi

“Trus apanya? Kerjaanku? Ya, kalau kamu mau tau, besok sabtu ikut aku ke kerjaan… kan kamu sabtu libur?”

“Asyikkk… beneran?”

“Ya iyalah! Berangkatnya pagi tapi, jam setengah tujuh tak jemput di kosanmu…”

“Abis subuh juga boleh Om, paling juga aku gak bisa tidur semaleman, deg-degan nungguin kamu jemput” katanya selebor sambil masih ngunyah

“Bicara lu neng… ”

“Cieee… pasti hatimu berbunga-bunga ya, aku omongin kaya gitu… ciee…cie…” ledeknya lagi

Anyir! Gue sambit bener ni anak lama-lama…

---

“Udah sampe…” kataku riang saat mobilku berhenti di depan halaman rumah sederhana didaerah terminal ungaran

“Ini kerjaanmu?” jawab Ine. Pagi ini dia memakai kaos lengan panjang putih garis-garis hitam besar dari bahan semi wol dipadu dengan celana jeans pensil yang serasi. Tidak seperti pas bisanya kujemput maem siang dari kantor yang rambutnya selalu di sanggul, kali ini dibiarkannya tergerai. Dandan-nya walau terkesan sederhana, tapi kok keliatannya manis banget ya?

“Yup, sebagian dari project ku… tapi yang paling penting…”

Kami disambut oleh Nuggie, orang yang ku pasrahi untuk mengelola ini. Nugroho nama aslinya. Badannya penuh tattoo, dari ujung kaki sampe ujung kepala. Literally. Bahkan di wajahnya pun tattoo-an. Panjang ceritanya aku sampai join sama dia. Kita panggil dia Nug

“Gimana bro, ngejer nggak?” aku menanyakan langsung hasil diskusi kita via telepon kemarin mengenai produksi kepada Nug sambil salaman ala jalanan

“Cieh! Baru sekali-kalinya nih si bos dateng bawa awewe… Udah tobat bos?” ditanya kemana, jawabnya kemana ni anak

“Maksudlo?” aku mendelik

“Hallo, aku Nuggie…” katanya kalem sambil prengas-prenges ngulurin tangan kearah Ine, ngajak salaman

“Nggak usah takut In, dia jinak kok!” sahutku selebor kearah Ine yang kelihatannya takut-takut liat si Nug

Aku geli liat ekspresi Ine yang masih kayak ketakutan. Lalu kami mulai membahas kerjaan sambil jalan kearah belakang rumah. Yup, disinilah kita punya workshop. Dibelakang rumah itu, ada gudang kecil buat produksi Handycraft dan Souvenir. Pekerjanya rata-rata memang anak-anak jalanan yang putus sekolah dan butuh bimbingan. Hampir semua kalau gak tattoo-an, ya punya tindikan ala punk dengan lobang berdiameter selebar piring. Belum menyebutkan gaya rambut yang… Ah… Aku yang mungkin lo sebut berantakan aja, jadi kelihatan paling rapi kalau jejer ama anak-anak itu

Aku ngatur kerjaan sambil ngejelasin ke Ine. Ide ini timbul dari kenyataan bahwa sebenernya anak-anak itu punya daya kreatifitas yang tinggi. Tapi minim penyaluran. Jadi pikirku, kenapa tidak di salurkan? Sembari mengangkat mereka dari jalanan. Menjauhkan mereka dari tindak kejahatan dan resiko kekerasan. Mengajarkan nilai-nilai hidup kepada anak-anak yang termajinalkan, sekaligus memberikan mereka tujuan. Aku tentunya bukan malaikat. Namun, aku akan sangat sedih kalau tidak berbuat apapun melihat kenyataan seperti ini. Dan kebetulan aku ketemu sama mas Nug ini. Beliau bisa menfasilitasi dan here we are…

R&R Handycraft, kudirikan cuman dalam tempo hitungan bulan dari masa isolasiku dulu. Road & Road, kalau kamu tanya singkatan R&R, jadi bukan singkatan dari RaRa lho ya!

Profit dari usaha ini, 50% masuk lagi ke R&R Fondation; Yayasan buat buat anak-anak pekerja R&R itu sendiri. Dana itu buat biaya datengin konselor, buat rehabilitasi yang masih ketergantungan narkoba, buat biaya kursus keterampilan anak baru, buat datengin guru ngaji dan lain-lain. Lebih detailnya lo bisa nanya Mas Nug. Beliau yang lebih paham soal beginian. Ah, juga buat anak-ku. Dan 50% profit ku bagi-dua ama Nug. Hoi, aku juga butuh beli celana lho ya, masa dekil mlulu. Hehehe…

“Anak-mu? maksudnya?” tanya Ine heran

“Ya anak-anaknya si Bos lah mba…” Jawab Nug sekenanya. Sadar gak sih si Nug ini kalau jawaban-nya sama sekali tidak menjelaskan apapun?

“Anakmu?” tanya Ine semakin heran

“Bisa juga jadi anak-nya Ine, kalau Ine mau… yuk kita mampir ke-rumah…” Ajakku yang masih diikuti sama wajah berkerut Ine “Cabut dulu bro! jangan lupa e-mail apdetnya ya! Mo ngabarin Mr. Reinhard!” tereakku sama Nug yang dengan songognya udah ngeloyor ke belakang

“86!!” jawabnya tereak juga sambil mengangkat tangan cuek

---

Aku mengambil beberapa bungkusan kresek di mobil dan mengajak Ine berjalan ke Rumah yang ku maksud. Rumah itu hanya berjarak beberapa tikungan dari Gudang kami

“Assalamualaikum… Mak’e…” tereakku memberi salam setelah masuk ke halaman rumah

“Kak Deeedeee…” Sambut anak-anak kecil yang segera berhamburan dari dalam rumah mendengar salamku tadi

“Haaaaiiii…. Kakak kangen sama kalian semua…” kataku sambil berlutut menyambut untuk memeluk mereka semuanya

“Kak, bawa oleh-oleh enggak?” tanya salah satu dari mereka

“Oooo… tentu dong Mia cantiik… nih, dibagi ya, sama kakak-kakak yang belum pulang juga, jangan dihabisin…” kataku riang sambil memberikan kantung-kantung kresek itu kepada mereka

“Eeehhh! Wong kakaknya baru saja datang kok ya langsung ditanyain oleh-oleh to? Salim dulu…” kata mak’e yang sekarang juga sudah bergabung dengan kami dan langsung aku sungkemi diikuti oleh Ine

“udah mak’e” jawab mereka kompakan

---

“Lha mbak Ine…eh Ine ya? Ini siapa?” tanya mak’e sok excited dengan kehadiran sosok asing itu. Haiyah, asing owg! Alien kali...

“Saya temen kuliah Dede, mak’e…” kata Ine kagok

“Pacar?”

“Bukan Mak, Belom, semoga sebentar lagi, mohon do’a restunya mak…” jawabku selebor sambil merangkul pundak mak-ku ini

“Pinter kamu nyari calon mas, cantik!” seloroh mak’e sambil ngelihatin Ine yang berekspresi aneh

“Ah mak’e, belum calon mak, perjuanganku masih Panjang! Masih ada mayat seorang Manager south east asia atau apalah gitu buat di langkahi, mak” jawabku selebor lagi yang langsung diikuti oleh cubitan Ine yang berdiri disebelahku

“Ayo masuk, mak’e tadi baru masak lodeh di belakang, nanti ma’em sini sekalian to? Nunggu anak-anak pulang sekolah sebentar…” oceh mak’e sambil mengamit kami berdua masuk ke dalam rumah

Mak Pon ini memang spesial. Wonder woman asli. Original. Genuine. Sebelum kami masuk ke rumah itu, mak’e merawat sendiri belasan anak yatim dan tidak mampu dari lingkungan sekitar. Padahal beliau sendiri juga bukan tergolong orang mampu. Berstatus janda dengan pekerjaan sebagai penjual gorengan, lalu mengabdikan diri kepada lingkungan seperti itu, amat memalukan buatku kalau aku tidak bisa berbuat sesuatu juga. Jadi begitu kita mendirikan work-shop disana, kita bantu-bantu semampu kami. Anak-anak ini jugalah cambuk semangat kami untuk selalu berkarya. Demi kami sendiri, dan demi mereka.

Aku inget, dulu waktu pertama kali rembukan dengan mas Nug tentang menyalurkan sebagian dari keuntungan R&R untuk mereka. Mas Nug memelukku sambil menangis, katanya, meng-gadai-kan nyawa aja dia bersedia untuk bisa bersamaku berjibaku demi menjalankan apa yang kami yakini adalah sesuatu yang benar.

Lalu ku bilang: Mas Nug Lebay!

---

“Nah, sekarang ke kerjaan yang satu lagi” ucapku kepada Ine yang gak tau tuh, dari tadi malah ngalamun. Kita sudah meninggalkan rumah-nya mak’e, di mobil, dalam perjalanan menuju ke kantor unit usaha developer-ku di daerah Ambarawa

Yup, aku membuka unit usaha property disana. Ini yang sebenernya datengin duit. Tapi fokusku memang lebih banyak ke R&R. Asyik aja. Lagian, di-Unit property itu sudah ada Pak Ronny yang aku percaya untuk menjalankan usaha. Dan beliau orangnya sangat amanah. Mendapatkan rekan kerja yang baik juga merupakan sebagian dari rizki lho. Investor yang join pun, alhamdullilah baek-baek semua.

“Ine udah capek?” tanyaku lagi yang belum juga direspon “Ine kenapa?” tanyaku lagi

“Kamu tuh… penuh kejutan…” jawabnya pendek

“Ine gak suka dengan kerjaanku? Ya memang tidak berkantor dengan glamour sih, tidak di tower elite, tidak pakai dasi serasi, tidak bersepatu mengkilat, tidak…” -- desahku lirih-- “Gaul-ku dengan anak-anak jalanan, sumber kekuatanku bukan kapital, hanya sekedar…”

“Dede, kamu serius sama aku?” tanyanya tiba-tiba gak nyambung

“Maksudmu?”

“Hubungan kita… mau kamu bawa kemana?”

“Armada banget sih kamu In…” candaku garing

“Aku Serius” jawabnya pendek

“Yah… kita kan udah lama gak ketemu, baru beberapa minggu juga komunikasi…”

“Aku selama ini nungguin kamu” potongnya tiba-tiba

“Eh?”

“Ini konyol, tapi… aku gak pernah pacaran sekalipun dari semenjak kamu menghilang… entah kenapa, aku seperti yakin, kamu akan… balik… di kehidupanku…”

“Boongan deh…” candaku

Ine hanya menoleh dan menatapku tajam

“Eh, Kamu serius beneran ya?” tanyaku lagi dengan songong

Ine malah membungkuk, aku gak tau detailnya karena sedang nyetir, tiba tiba…

PLOK!

Sepatu-nya mendarat ke bahu-ku

“Wadaww…” tereakku kaget

“Aku tuh ya! Rasanya pengen ngruwes-ngruwes kamu!” katanya dengan gemes, lalu beneran mulai melakukan penyerangan…

“Iyaaa…. iyaaa… ampun Tuan Putrii… Ampuunn… wooiii bahaya woii… lagi nyupir!!!”

---

Aku menatap wajahnya. Ine ini imut. Dalam arti yang sebenernya, tingginya aja cuman sampe ke bahuku, sedangkan aku sendiri juga tidak terlalu tinggi. Ya rata-rata orang Jawa lah. Wajahnya lucu, bulet tapi gak bulet, gimana ya? Ah, dan kecil, cuman seukuran kepingan CD. Ah, masa kusamain dengan CD sih? Dan matanya juga unik, melengkung gitu, kayak ketawa terus. Kaya mata guguk. Agak sipit, tapi kadang-kadang kelihatan lumayan lebar juga. Terutama kalau pas melotot ngambek. Dan lesung pipi-nya. Waduh, kalau elo sempet ngumpulin sari tetes tebu trus lo pake berendem sebulan, juga masih kalah manis sama lesung pipi-nya. Tapi deskripsi ini subjektif lho ya, dari kaca mata Jones akut menahun stadium empat yang sedang naksir dan kesengsem berat sama cewek yang di deskripsikan.

Dan Ine masih didepanku, melotot dengan mata-lucu-nya yang tiba-tiba keliatan lebar, mengedip-ngedipkan dengan gerakan slow-motion plus lagak sok marah plus sedikit ngerutin alis, mungkin pikirnya biar serem, tapi jatuhnya malah nggemesin.

“Oh, ayolah In, jangan gitu lah, mana aku tahu kalau kamu serius soal nungguin… ee… maksudku, kayak Drama Korea banget gitu lho… ahh… kamu bikin aku tersanjung banget iq…. Jadi…. Ahh… isin aku… aduhhh…Gomawo… naleul salanghae jusyeoseo gamsahabnida… Ahiiiih… maeu gwiyeobda…” candaku niruin adegan lebay di drama korea yang emang lagi digandrunginya

PLUK!

Pisang goreng mampir jidatku!

“Aduuhh… aku disambit picang goyeng…” godaku lagi, sambil mengambil pisang itu dan menggigitnya cuek

Dan ine mengangkat sendok kopi, siap di sambitin

“Oh, ayolah Ine… please… please… forgive me ya… please… janji deh, gak godain Ine lagi, kecuali lagi iseng sih… hihihi…” kataku sok imut sambil mohon-mohon ganjen. Sambil ngedip-ngedipin mata tak-cute-cutin, ga tau hasilnya. Paling elo muntah kalau liat. Puas?

Ine tersenyum sinis manis “Apaan sih?!!… lebaymu ni lho, gak cocok ama tampang! Dah gondrong acak-acakan kayak preman gitu, sok imut!” masih nyinyir dia…

“Oooo… Gwiyeoun… Salanghae…” aku masih nerusin acting nggilani-ku

“Gue sambit bener nih!” ancamnya lucu

Yup, alih-alih ke kantor ku di Ambarawa, kita emang malah nyangkut di Banaran Café Bawen, setelah tadi acara penyerangan kalapnya hampir aja membuat kita berdua mati konyol. Ya, dia berhak kesel sih, udah nyatain gitu aku-nya bego ga ketulungan. Akhirnya, kita sepakat nyari tempat yang enak buat marahan, sekaligus nyelesaiin pembicaraan. Tapi sayangnya, dia jadi keliatan imut banget, jadi gemes ngebet ngedodain, trus gak nemu caranya buat bisa marahan sama Ine… Hedeh…

“Kemana?” tanya-nya judes

“Apanya?”

“Tiba-tiba kamu ngilang gitu aja. Raib seperti di telan bumi, bahkan Rara aja gak tau kamu di mana, nomor handphone gak aktif, bahkan Icha, adikmu pun gak tau kamu kemana. Kamu kemana?” tanya-nya judes lucu

“Ah, itu… Aku…” yup, pereode itu, aku sedang di reset – di sterilisasi. Ah, gimana cara jelasin ke Ine?

“Aku tau, aku ni bukan siapa-siapa kamu, gak pernah kamu anggap siapa-siapa, tapi apa aku gak berhak tahu kalau kamu baik-baik aja? Atau kamu kenapa kek? Aku tau aku memang gak pernah kamu anggap. Aku cuman mainan, aku cuman cadangan. Orang kedua kalau kamu lagi renggang sama Rara… tapi aku terima itu, kamu tau, itu sakit, tapi aku terima itu! Dan kamu merasa aku tidak berhak kamu kasih kabar?” Waduh, keluar semua deh…

Aku menelan ludah…

“Waktu itu, aku berada dalam masa yang paling kelam, dan tidak mau kuungkit lagi dalam kehidupanku…” jawabku lirih, mencoba me-resume semua dalam satu kalimat. Kalimat absurd, kalau kamu tanya pendapatku

“Hih! Alasan apa ini? Kamu anggap pertanyaanku main-main? Kamu anggap ini semacam sinetron hidayaah, film holiwood, drama korea? Aku tanya beneran, aku minta jawaban beneran! Karena aku… aku ingin memastikan sesuatu, tentang aku, dan hidupku! Aku… aku gak mau… aku gak mau hidupku keganjel sama kamu lagi…” entah bagaimana caranya menggambarkan ekspresi Ine saat ini. Marah? Bingung? Benci? Ragu? Cinta? – Masa cinta sih?

Aku kembali menelan ludah

Dan aku mulai membuka kancing kemejaku…

“Ini adalah masa kelamku. Masa yang aku-tidak-ingin Ine terlibat didalamya, masa yang aku tidak ingin SIAPAPUN terlibat didalamnya… masa dari bagian perjalanan hidupku yang benar-benar ingin kulupakan… ingin kututup halaman-nya, dan aku berhasil kembali ke-kehidupanku lagi sekarang, walaupun sebagai individu yang sama sekali asing, maka dari itu, aku ingin membuka lembaran baru… aku… hanya ingin jadi orang baik…” jawabku dengan intonasi datar, namun tetap mencoba menatap mata Ine secara langsung, seraya mencoba menekan emosiku sendiri saat menunjukkan bekas luka didadaku kepada Ine.

Karena setiap kali aku membuka baju dan bercermin. Sepuluh lobang bekas luka cakaran naga gila di-dada-ku ini – belum menyebutkan bekas luka yang lain–seakan menjadi monument yang berdiri secara menyedihkan. Sebuah pengingat, bahwa hidup ini tidak seyogyanya di-sia-siakan dengan aksi dan tindakan yang dilandasi egoisme. Aku mendapatkan kesempatan ke-dua setelah kejadian itu. Dan aku berjanji kepada diriku sendiri untuk selalu mencoba menjadi orang baik setiap kali aku menghela nafas. Langkah demi langkah. Titik demi titik…

Ine menutup mulutnya dengan kedua tangannya dan membelalak melihat bekas luka yang – buat ku aja, yang sering liat wajah mesummu itu – masih menganggapnya menjijikkan.

“Apa… yang sudah kamu lalui De?” desis Ine

“Banyak…” desisku “Aku… bahkan tidak pernah bermimpi untuk bisa kembali lagi… diriku, sudah menjadi sedemikian rusak-nya saat itu… tetapi aku berusaha bangkit, aku berusaha kembali, aku… hanya ingin membuka lembaran baru… aku… hanya ingin menjadi orang baik…”

Ine bangkit dari duduknya dan menghampiriku “Kamu… mau aku temani untuk menjalani lembaran barumu?” tanya-nya sok puitis sambil berdiri didepanku dan memegang pipiku dengan kedua tangan mungilnya

Kuakui, Ine ini memang luar biasa. Kalem-nya, Adem-nya, Pengertian-nya dan yang barusaja dia tunjukkan; Keberanian-nya. Apa aku sudah menyebutkan kata cantik-nya dan manis-nya? Ato, bilang kalau Ine ini anaknya adem? Ah, kali-kali aja lupa. Maklum, lagi bego…

“Hhhooohhh…” Aku mengambil dan menghembuskan nafas Panjang “Ine… kamu gak tau, gimana dalam minggu-minggu belakangan ini aku mencoba dan selau mencoba buat ngumpulin keberanian yang tak kunjung terkumpul, hanya untuk menanyakan hal yang sama; Ine maukah kamu menerimaku apa ada-nya dan menemaniku menghabiskan sisa hidup ini?” pintaku serius

Dan Ine tersenyum, manis banget…

“Sakit?” tanya-nya, sambil membantu mengancingkan kemejaku lagi

“Apanya?” tanyaku balik dengan songong

“Tadi, aku timpuk di mobil…” jawabnya cengengesan

“Itu? Oh? Untuk cowok se-macho dan sekeren aku tuh tidak ada apa-apanya… mau nimpuk lagi?” tantangku cengengesan

Ine cuman tersenyum sedikit, matanya masih menatap ku dengan sayu

“Aku… tidak akan membiarkanmu terluka lagi, Aku… akan menjagamu… melindungimu…” -- kata Ine sambil mengelus rambut acakadul ku -- “Dan gak peduli kamu sok macho, sok preman atau apapun…” – lanjutnya, kali ini dengan nada gemes plus keliatanya masih agak kesel -- “Saat kamu merasa lemah dan letih, aku akan selalu ada disisimu, untukmu, menjagamu, melindungimu dan memberimu kekuatan…” tutup nya dengan lembut… ah…

“Itu… kelihatannya, harusnya jadi kata-kata ku deh…” protesku cemen

Ine tersenyum lagi. Kali ini sedikit lebih banyak dari senyum sedikitnya yang tadi. Hadeh…

“Owalah De… Dede… kamu tuh ya, boleh sok kuat didepan siapapun, sok preman, sok gondrong, sok serem atau apapun, tapi di mataku, untuk ukuran cowok, hati-mu tuh rapuh banget… jadi sama aku, gak usah deh sok-sok-an! Because, I see you…” -- katanya sambil menunjuk ke tengah dada-ku -- “The real you…”

Aku memandang wajah Ine lekat-lekat, dan menelan ludah…

Aku tau ini kayak sinetron banget, tapi matanya…

Matanya memancarkan sebuah tekad dan kesungguhan…

“Dan itu yang membuat aku… dulu mulai suka sama kamu…” lanjut Ine lirih

---

19 April 2007

Malem…

“Aaahhh… capek banget…” desahku sambil membanting tubuh ke ranjang

“Mau dipijitin?” tanya Ine yang ada di depan cermin rias, sibuk cabutin sesuatu dari rambutnya

“Enggak lah, Ine pastinya juga capek seharian nyalamin tamu banyak banget…” kataku sambil bangkit dari tempat tidur yang ditebarin bunga secara lebay. Menghampiri ine dan membantunya mencabuti konde yang dicantolin bunga melati dalam kuantitas lebay yang sebagian masih menancap di sanggulannya sambil sesekali memijit-mijit lembut bahunya

“Jam berapa sih?” tanya Ine lagi

“Jam Sembilanan lebih dikit…”

“Oppa capek banget ya?” tanya Ine lagi – Oppa, hadeh. Ini resiko punya pasangan yang gandrung sama feminisme lelaki jejadian putih bersih nan halus mulus dari negeri gingseng beserta sinetron alay-mehek-mehek-nya. Yang sayangnya, aku sekarang, kadang, hanya kadang-kadang, suka ikut baper juga pas nemenin doi nonton… hanya kadang-kadang, tolong catat itu dengan jelas!

“Ahh… enggak juga deh say… kalau liat tuan putri, capek juga jadi hilang…” jawabku lebay

“Apaan sih?! Oppa Lebay!” sahut Ine pendek. tuh kan bener, lebay…

“Yang! Yuk…” kataku genit sambil mengangkat-angkat alis

“Apaan sih?”

“Sini lah, kan malam pertama kita…” aku masih bergenit genit ria, sambil menuntun Ine ke ranjang dan memangkunya

“Apaan sih?” tanyanya sok cemberut yang kini sudah kupangku sambil masih berkebaya

“I Love You…” ucapku mantap sambil menatap mata Ine

“I Love You More…” balasnya

Yep, aku memang si brengsek yang paling beruntung sedunia…

Aku mencium lembut bibirnya, dan dibalas Ine dengan ciuman penuh kasih sayang

“Eh Oppa…”

“He’eh” jawabku

“Kelihatannya malam ini kita gak bisa deh”

“Ine capek?”

“Ya iya sih emang capek, tapi bukan itu…”

“Trus?” hadeh, firasat buruk! Gelagat, posisi dan arahnya kelihatannya ber-fengshui kurang baik!

Ine mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik…

Membuatku lemas…

Nah kan? Firasat burukku terbukti?

“Kok bisa sih?” tanyaku putus harapan akan malam pertamaku yang indah, romantis dan memorable.

Karena jujur, setelah Ine ngaku kalau dia masih virgin, aku bener-bener jagain dia semasa kita pacaran. Jagain, terutama dari jablay bermental mesum dan berotak cabul sepertiku

“Ya bisa lah! Namanya juga siklus bulanan! Bisa maju-mundur juga!”

“Iya sih, tapi masa iya Ine ‘Dapet’ pas malam pertama pernikahan kita…?”

Ine hanya ngikik

Hadeh…

Ini memang memorable !!

Gak bakalan kelupaan seumur-umur!

Gelitikin aja sekalian!



TAMAT

End of Trampoline



Epilog

Dunia bukan hanya tentang hitam dan putih, juga bukan hanya ditempeli kelabu di antaranya

Dunia juga tidak hanya seluas apa yang bisa dimanifestasikan maupun dikalkulasi dengan hitungan serta rumus Matematika

Dalam Dunia ini, masih banyak warna yang belum dapat diidentifkasi, bahkan angka juga belum ketemu ujungnya

Maka dari itu, kita seyogyanya tidak perlu menilai apalagi menghakimi benar-salah-nya, maupun tinggi-rendah-nya sebuah kehidupan hanya dari hasil pemikiran kita

Karena kita hanyalah titik di luasnya semesta

Sejatinya kita, bukanlah apa-apa

Hanyalah mahluk fana yang diatur oleh Takdir sang Kuasa

Tetapi

Menerima takdir kehidupan bukan berarti harus bersikap Apatis dan Acuh terhadapnya,
karena bersikap Apatis dan Acuh justru menandakan kita tidak menerima takdir itu sendiri
- Siti Djenar -



.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.​


---

Di-suatu pagi di sebuah ranjang di Mondu, Kanatang – Sumba Timur

“Selamat pagi istriku yang cantik…” kataku sambil menatap mata Ine, istriku, yang barusaja terbuka

“Selamat pagi juga suamiku yang baik…” jawab Ine dengan suara pagi-nya yang masih setengah serak

“Kedengeran agak absurd ya hun?”

“Iya, dikit…”

“Gimana kalau, morning beb… gitu aja…”

“Sound better…”

“yawdah, morning beb…”sahutku pendek

“yep, morning too… oppa…” jawabnya sambil tersenyum nggemesin. Lah, kok oppa sih?

Aku hanya menatap wajahnya. Damn, gak bosen-bosen aku mensyukuri Ine-ku ini…

“Apaan sih liat-liat?” hardiknya sok ngalem-ngalem manja

Aku hanya menaik-naikkan alisku sebagai jawaban, sambil tersenyum mesum, tentu-saja.

Dan entah dari sejak kapan, Ine juga sekarang mahir bener tersenyum mesum dan menaik-naik-kan alis sepertiku… Bales nih ceritanya!

“Cini!” perintahnya dengan nada mesum sambil membuka kedua tangannya lebar-lebar

Ah Ayang…

Haiyah, ga-pa-pa to?

Toh ini adalah liburan hanimun kita…

Hihihihi….

KALI INI TAMAT BENERAN CERITA TRAMPOLINE NYA!!

---

Terimakasih untuk Semua master dan Suhu yang sudah menyempatkan diri membaca dan mengikuti cerita sederhana ini. Suhu @Deriridwan @hippopotamus @beyut_bugil @RAYxy @Ancukerr @menggalarabus @Ardi croot @areke @wungusare @ryan_delilo @DiExel007 @joe1206 @bdevils @ilalanghening @piahu @entog @RedSpcy @petarung cinta @idefix @keluh @korakngr @momotko @ja6brik @sekseeh @RezaSLC @Iban_ajahhh @frypiero @ngopidulu @Little_Hulk @Sonic110 @ajibleh @miss_renata @Mokiman @usrrr @susutepung @lacudud @tarikPULL @choco max @Don_Bin_Gibs @raja gopal @Vegilover @acoung78 @all1977 @noe_bangets @Aldyputra01 @Starwir @Az17 @tuetta @areke @yakalideh @cucakrowo2013 @Kunjuicy @denok_mambo @siho88 @botolbesar @Ymmor1984 @Baksoikanbulat @Ary0Bay @Aryueshol @pentul97 @HanriVM @Dinansatria @xiahu @h412yo77 @bobcool002 @numpaki @kkaze30 @123hellobec @handukbiru @wirasena @petapa_genit_08 @akunkupalsu @Mandai_tiwadak @doubtfulman @garudaperkasa @Miku45 @Joni_otong @ahyau @neitvalen @asaloy @tailalat @lakondalang @kooji @BadFace @maverick174 @oksigen @Nyaakz @sapphire5h @itilers @getlucky @Chale @enakbgt @tarikPULL @ShNKai @repos_ @018kaisar @murbaut @Chanzzz @Bunyaminakbar @Abuete @shiethols @Querique @kakalutvian @vanhall @Bakpao46 @kebo_nderum @Fr33d @1899dd @oyeckpunkerz @sweet_babe @Lemek @TukangJengkolBusuk @Jaya Suporno

Dan semua suhu yang tidak bisa nubi sebutkan satu persatu dimari. Mohon maaf kalau cerita nubi masih banyak kurangnya dan jauh dari kata sempurna

:ampun::ampun::ampun::ampun::ampun:
 
Dilanjutpun

Eps Lalu…

…..Dan aku melihat sepasang sayap tiba-tiba keluar dari punggungnya…

Lalu dia terbang…

Shit! Apa-apaan ini?

Ilusi-kah ini?

Atau Halusinasi?

“Hoiiii… Malaikat cantik… jangan terbang… tunggu aku…” teriakku galau..

“Sial! Hei! Jangan pingsan disini! Shit!” itu kata-kata terakhir yang kuingat keluar dari mulutnya…

Lalu gelap…

Sial…

Obatnya… Tidak manjur???

Atau lukaku terlalu parah?

Shit!




Stairway to Heaven


“Hei, anak pintar… kamu udah siuman?” kata-kata menyejukkan itu berasal dari seorang pria tua yang begitu ku kenal

“Dok….?” Erangku pendek mengenalinya. Seluruh tubuhku terasa remuk, perih dan nyeri di tempat-tempat yang bahkan tidak biasa kamu bayangkan. Ledakan ingatan membanjiriku, namun semua seakan terputus pada moment saat sayap bidadari itu muncul

“Iya, ini aku, kamu akan baik-baik saja…” desisnya lagi menenangkan

“Aku… tidak bisa bergerak… sakit…” rintih ku lagi

“Iya, aku mengoperasi paru-paru-mu tiga kali, tapi kau akan baik-baik saja… istirahatlah, bernafas dengan biasa saja” imbuhnya lagi

“Dok…” Erangku lagi, kali ini air mata entah mengapa terasa membanjiri pipiku. Aku takut. Ya, aku sangat takut. Hidupku, entah mengapa terasa sudah berakhir. Aku membayangkan tidak dapat lagi bertemu dengan Bunda, dengan Ayah dan adik-adikku. Dan seluruh badanku tidak bisa kugerakkan…

Aku begitu ketakutan karenanya…

Namun ada yang aneh dengan tubuhku, seakan inderaku meningkat tajam. Tajam dan sensitif

Aku bisa mendengar dengan jelas, dan menemukan perbedaan bermacam-macam ketukan-ketukan ritmik dan desisan aneh yang dikeluarkan oleh alat-alat elektronik yang dipasang disekeliling tubuhku. Aku bisa melihat dengan jelas juga kerutan-kerutan dari yang terdalam sampai yang paling halus pada wajah Dokter tua itu. Bahkan, aku mendengar ada suara langkah-langkah kaki yang tergesa-gesa mendekat. Dan dokter-ku pun kelihatannya juga mendengar langkah itu

“Tutup matamu, dan jangan dibuka kecuali aku suruh!” perintahnya pendek yang langsung aku turuti.

Tetapi walaupun mataku segera kututup, pendengaranku, yang kurasakan mengalami peningkatan dalam skala yang aneh ini bisa mengikuti hampir apapun yang terjadi didalam ruangan itu. Dan segera, kudengar pintu terbuka. Dan tiga jenis suara langkah kaki mendekat. Tiga orang kah?

“Bagaimana?” kudengar suara berat bertanya dengan nada kasar memerintah meminta informasi dengan segera

"Ya… Dia masih dalam keadaan MIC- medically induced coma-, baru-saja kemarin kami melakukan Intubasi Orotrakeal - kuharap jantungnya tidak terpengaruh, dia mengalami trauma yang cukup parah pada paru-paru kanannya, berpusat di sekitar reses costodiaphragmatic, kami sudah melakukan prosedur Thoracentesis untuk mengangkat infeksinya...lalu…" kali ini aku hafal suara tua yang sabar itu, dokterku. Yang di sela dengan kurang ajar oleh si pria

“Sudah! Sudah! Sudah! Sudah! Simpan omong-kosong kedokteranmu sendiri, yang kutanyakan adalah; kapan dia akan bisa bangun?! Kita membutuhkan keterangan darinya! Segera!”

“Keterangan apa? Dia hanya anak kecil, dia tidak tahu apa-apa!” bantah doterku

“Kami yang menentukan dia tahu apa-apa atau tidak! Bukan kamu! Tugasmu hanyalah membuat dia bangun!”

“Dia Hanya Anak-Anak! Dan Dia Berada Dalam Pengawasanku!” Doker tua itu tak kalah menekankan suaranya

“Aku tak peduli dia ada dalam pengawasan siapa! Ini menyangkut Keamanan Negara, dan siapapun yang menghalangi aku akan…”

“Keamanan apa? Dia hanya anak-anak” Dokterku masih berusaha berargumen

“HEI !! Bapak tidak seharusnya berada disini!” bentak suara yang baru-saja masuk secara tergesa-gesa dengan langkah yang sangat ringan kedalam ruangan ini. Suara seorang wanita. Langkah ini terdengar begitu harmonis dan seimbang, Pe-beladiri kah?

“Apa katamu?!!” bentak si-Pria tak kalah galak

“Saat ini Bapak tidak seharusnya ada di sini!” suara wanita itu merendah

“Dengar Nona! Selama ini masih Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka saya BERHAK berada dimanapun dan kapanpun! Dan ini bukan urusan Interpol, jadi sebaiknya kau dan gerombolan-mu kemas koper-koper mengkilat-kalianlalu pergi dari sini!!” Si pria malah balik mengusir

“Pak! Ini dibawah juridiksi Interpol sampai SAYA mengatakan sebaliknya! Jadi selama keadaannya seperti itu, saya minta bapak agar segera meninggalkan ruangan ini!!” jawabnya adu galak sambil menekankan kata ‘Saya’, untuk menunjukkan kewenangan. Aku hampir yakin bahwa wanita ini adalah sang bidadari yang kemarin. Kemarin? Kemarin kapan? Kemarin Lusa? Dua – Tiga hari yang lalu? Ah, Sudah berapa lama aku disini?

Sial !!

“Saya ingin melihat sendiri saat anak ini diinterogasi!” si-pria masih saja ketus

“Tidak ada yang akan di-interogasi pak, saya bisa yakinkan bapak tentang itu, anak ini hanya akan di sterilisasi, lalu kita lepaskan. Dia tidak tau apa-apa…” jawabnya dengan lebih lembut lagi. Inilah kelebihan wanita, bisa dengan mudah mengatur emosimu dengan manipulasi cara bicara yang… ah…

“Darimana kau tau kalau dia tidak tau apa-apa tanpa interogasi?” intonasi bicara si-pria pun sedikit melunak

“Karena ada yang ingin bicara dengan bapak…” kudengar dokterku menyela, lalu kudengar gemerisik lirih suara dari… sebuah telepon genggam?

“Halo! Ini… oh, iya pak… siap pak… baik pak… siap… siap… baik pak, siap… laksanakan pak…” lalu telepon itu ditutup dengan banyak sekali dengusan ketidak-puasan. Lalu tiga jenis suara langkah kakipun kudengar meninggalkan ruangan ini

“Dan kau bisa membuka matamu sekarang, bocah!” perintah wanita itu dengan tegas, setelah suara-suara langkah kaki itu semakin tidak terdengar, perintah itu ditujukan kepadaku, kurasa…

“Kau sudah tau?” tanya dokterku terheran, menebak bahwa si Wanita sudah tahu kalau aku sudah siuman. Aku juga heran. Tau dari mana? Kan dia dateng setelah gerombolan itu dateng, dan aku yakin akting pingsanku sempurna, menurutku, dengan akting se-sempurna itu, aku akan dikatakan berbakat menjadi aktor. Terutama aktor dengan bagian akting mati atau pingsan. Dan aku membuka mata, tepat saat wanita itu menunjuk ke atas, seolah menyatakan dari mana dia bisa tahu kalau aku sudah siuman.

“Tuhan yang memberitahumu?” tanyaku songong dengan pandangan takjub, gatel pengen ngomong, padahal tenggorokanku sakitnya tuh disini…

Lagipula dia kan malaikat, lha wong seingetku, dari punggungnya aja keluar sayap. Jadi barangkali wajar aja kalau sering ngobrol-ngobrol sama Tuhan, pikirku bego.

“CCTV, Genius !!” dengusnya mengejek sambil masih menunjuk ke-atas, yang kemudian segera berlalu dari sana dengan acuh

Oh…

---

“Hmmm, jadi begitu…” dengus wanita itu pendek, setelah sekali lagi mendengar ceritaku

Ya… ya… ya… katanya tidak akan ada interogasi, tapi disinilah aku sekarang. Dalam ruangan remang-remang sempit yang seakan menggecet ruh dan kesadaranku-ku sampai gepeng, menggerusnya secara kejam, lalu seperti sebuah balon naas yang pasrah, menggelembungkannya lagi secara tidak manusiawi, membiarkanku menggapai-gapai harapan hidup dengan frustrasi dalam udara ber-atmosfir dingin dan tajam. Setajam silet. Dan apakah aku sudah memberitahumu kalau aku juga dicecar ratusan (atau mungkin ribuan) Pertanyaan?

Mana sih majas yang benar buat meng-ekpresi-kan sesuatu yang sangat banyak? Ratusan atau ribuan? Ah, Lebih! Ah, aku gak ngitungin, yang pasti banyak.

Satu minggu. Itu waktu yang kubutuhkan untuk ‘pulih’ dari keadaan-ku sebelumnya. Entah obat Dokterku yang ciamik, atau daya pulihku yang jos gandos.

Gak pengen sombong sih, tapi… satu minggu?

Oh, ayolah, bolehkan kalau aku merasa menjadi Son-Go-Ku sekarang?

Anak yang tangkas dan juga pemberani!!

Ya, tentu saja aku masih berada diatas kursi-roda. Habis ini, sesi Fisioterapi yang panjang juga masih menanti untuk benar-benar memulihkan kondisiku. Karena segala aktivitas yang melibatkan ketariknya otot dada, atau organ apapun di daerah itu, seperti ngupil atau berusaha nyingkirin bayem yang nyempil di gigi, atau sekedar garuk-garuk pantat sial yang selalu gatel diatas kursi-roda bangsat ini, membuatku megap-megap gak karuan. Jangan bicara tentang nikmatnya ngejan pas be’ol !!

Maklum, paru-paru bolong gimana sih? Mau ngerasain?

Hadeh…

Yah, tapi selain hal-hal kecil seperti; Harus berjuang setiap kali menarik nafas, infeksi akut pada trakea, aku gak tau kenapa itu bisa terjadi, dan cairannya yang tertelan (secara tidak sengaja – kamu mau nelan nanah dari luka infeksi-mu sendiri kah?) membuat lambungku juga ikutan iritasi. Belum menyebutkan Apnea – suatu kondisi dimana elo tiba-tiba berhanti bernafas, paling parah kalau terjadi saat kamu tidur, yang membuat-ku beberapa kali bolak-balik ICU dalam bulan-bulan pertama, selain hal-hal kecil itu, pada dasarnya aku baik-baik saja

Nasib...

“Kau yakin tidak melewatkan sesuatu dalam kesaksianmu ini?” Wanita itu bertanya lagi dengan intonasi yang semakin tegas

“Enggak kak, udah ku-cek lagi, ya cuman itu yang aku tahu…” jawabku tak kalah serius

“Yakin?”

“Iya kak…”

“Kau tidak tahu kenapa Iksan menyuruhmu mencuri laptop itu?”

“Enggak kak”

“Kau tau data apa yang ada didalam hardisk yang kau hancurkan?”

“Enggak kak”

“Lalu kenapa kau mati-matian bersikeras untuk menghancurkannya dengan taruhan nyawamu?”

“Sudah kubilang dalam laporan kan kak, aku tuh menghancurkannya hanya untuk memancing emosinya, biar jurusnya kacau”

“Bukan perintah Iksan? Curi atau hancurkan?”

“Bukan kak, permintaannya hanya untuk mencuri laptopnya”

“Yakin?”

“Yakin kak”

“Sudah kubilang jangan panggil aku kak!”

“Iya beb…”

Wanita muda manis itu hanya melirikku, tanpa ekspresi, tak ada senyum geli, tersanjung, tersipu, marah, jengkel, dongkol atau apapun. Candaanku ditanggapi-nya dengan dingin, sedingin silet! Eh?

Ah, pokoknya datar banget. Seperti manekin cantik yang menyeramkan

Cantik, tapi menyeramkan…

Dan sampai sekarang-pun aku tidak mengetahui namanya

Miss “B”, mereka memanggilnya begitu

“B” Stand for Bitch? How the hell I know?!

“Miss B, berapa lama aku akan di-isolasi?” tanyaku lagi, kali ini dengan sangat sopan

“Delapan belas bulan. Semua sudah diatur, skenarionya kamu keterima kerja di Singapore, orang tuamu sudah kami kondisikan. Kamu boleh kontak mereka maksimal dua minggu sekali. Kontakmu dengan dunia luar hanya dengan mereka. Ingat, kalau sampai isolasi ini bocor, masa karantinamu akan kami perpanjang sampai batas yang kami rasa aman! Dan itu bisa berarti seumur hidup! Mengerti?”

“Iya miss…” dengusku pendek…

Ah…

Kelar sudah kehidupanku…

Hadeh…

Delapan belas bulan isolasi…

Ini sama saja kamu disihir berubah menjadi sperma lagi. Sperma yang sedang siap-siap di-garis start untuk perlombaan renang dalam cairan yanglengket dan amis menuju sel-telur calon ibumu yang menanti di ujung garis finish. Dan yang lebih buruk dari itu, kau tahu dari awal, bahwa apabila kamu yang keluar sebagai juara dalam perlombaan itupun, seusai perjalananan penuh perjuangan itupun, kau akan menjadi sosok yang sama-sekali berbeda. Asing, tak ber-masa lalu dan sendirian. Terlahir sebagai bayi. Nol besar!

NOL BESAR!!

Yep! Kamu tidak akan punya kehidupan sosial masa lalu – Ah, setahuku sebuah sperma memang tidak punya kehidupan sosial masa lalu kan? Atau aku salah?

Pokoknya, dengan ‘isolasi’ maka masa lalumu akan di-Reset

Dan mereka akan menyapu bersih apapun yang berhubungan dengan masa-laluku…

Semua…

Lalu aku menggelosoh lemas di kursi-roda yang segera mencekeram-ku dengan cakar-cakar spektralnya, lalu menenggelamkanku, menarik bokongku semakin jauh kedalam samudera kemalasan-nya yang terasa semakin tanpa harapan dan tak bertepi ini…

Walaupun begitu, masih ada satu hal yang sangat ku-syukuri…

Kenyataan bahwa aku masih hidup!

Ya, artinya aku masih akan punya kesempatan untuk bertemu dengan Bunda-ku tercinta lagi…

Sebagai apapun!

Dan aku akan bertahan serta berjuang untuk alasan itu!

Ah…

"Kamu bener-bener gak tahu, siapa Vincent?" kata wanita seram itu lagi sambil berpaling melirik-ku dengan gaya sok dramatis, saat sudah bangkit dari kursinya dan bersiap meninggalkan ruangan ini

"Enggak miss..." jawabku lemas. Dan aku gak mau tau, batinku

"Dia adalah hantu selebritis di kalangan Triad, kami melakukan pekerjaan berat dalam membersihkan nama-mu, jadi kusarankan, ikuti protokol isolasi ini sebaik mungkin, dan satu lagi..." desisnya kelam, walau diikuti dengan senyuman yang ah...

Aku memandangnya dengan memelas

"Kamu punya hutang besar pada organisasi kami, suatu saat... ah, kukira kamu tau bagaimana semua ini nanti harus diperhitungkan" lanjutnya ringan sambil tersenyum. Manis, namun begitu mengintimidasi

Ah...

Kalimat sialan, yang benar-benar tidak aku harapkan...

Hidupku...

---

“Eh, maaf!” kataku spontan saat tas laptop selempang yang kusampirkan dipundak dengan tidak hati-hati itu melorot dan mengenai bahu seseorang yang duduk

Empat tahun berlalu dari masa ‘Isolasi’ yang harus kujalani. Aku sudah kembali lagi ke Kotaku. Semarang oh Semarang. Dalam empat tahun ini, waktu benar-benar kuhabiskan untuk menata kehidupan. Tidak ada main-main sembarangan lagi

“Iya mas, gak papa…” jawabnya lembut

“Iya, bener-bener minta maaf ya mba…” aku masih mengulangi lagi untuk meminta maaf sambil membungkukkan kepala se-sopan mungkin

“Apaan sih mas, iya dimaafin, aku gak papa kok…” jawabnya lagi riang, sambil tersenyum manis, dengan lesung pipi yang…

Eh?

“Eee… maaf lagi mba…kayaknya… i… ine?”

“Iya… siapa ya?”

“E… aku Denny, eh… ee… Dede… temen… rara?!” jawabku ragu yang diikuti oleh belalakan mata si cewek manis

“Ya ampun…. Dede? Ya Ampun… Eh, gimana kabar? Ya Ammpuunn… Kamu gondrong gini sih, jadinya aku pangling… kemana aja? Kamu tiba-tiba menghilang…” kata-nya kaget sambil berdiri lalu mengguncang-guncang lenganku

“Eh… iya, sudah lama juga sih ya…”

“Iyaa… empat-lima tahun? Kamu kemana aja??”

“Ya, kesana kemari… aneh banget ya ketemu di sini… hehehe…”

“Iya, aku… kerja di seberang jalan, di HSBC…” terangnya

“Di bank HSBC?” tanyaku lagi - Yups, kita emang ketemu-nya di exelso, salah satu lokasi favoritku kalau pengen tongkrong dan ngupi yang terletak di Citraland, sebuah mall di seberang Gedung HSBC. Disini menurutku lucu, sementara kamu bisa nyante dan menikmati kesendirian, tapi ada di tengah keramaian. Semacam paradox yang dapat ternikmati

“Bukan, di wismanya, perusahaan asuransi..ee…” Ah, cara dia mengatakan kerja di perusahaan asuransi begitu manis. Membawa berbagai kenangan indah masa lalu. Eh? Cara dia mengatakan? Absurd banget ya? Maksudku, dia emang kelihatan manis sih dengan rambut yang di sanggul gitu, dengan blazer resmi abu-abu dan rok span selutut. Terlihat formal dan tegas, namun feminim. Walau wajahnya Nampak sedikit lebih tirus dibandingkan seingetku pas kuliah dulu

“Temen kamu In?” suara seorang pria mengagetkanku dari belakang

“Eh, Pak…” Ine tiba-tiba aja gagap lucu, dia tuh ekspresinya emang lucu gitu dari dulu, aku sampai tersenyum sendiri liatnya

“Jangan pak dong In, kan udah diluar jam kerja” katanya sambil mengulurkan tangan kepadaku. Pria muda itu berpenampilan rapi sekali. Menjurus metrosexual. Dengan kemeja yang sangat rapi dan dasi yang juga trendy serasi, dipadu jam tangan merk mahal yang melilit dipergelangan tangan kirinya dengan elegan. Walaupun kupikir, celana bahan yang dipakainya sedikit terlalu ketat. Entah bagaimana dia bisa bergerak dengan celana sesempit itu. Kurasa, kalau ingin kentut-pun harus mengeluarkan tenaga ekstra buat ngejan agar anginnya bisa nerobos sempitnya himpitan celana dibagian bokongnya. Serius, ngeliatnya aja rasanya gerah. But anyway, dia emang rapi jali.

Sedangkan aku?

Dalam kurun waktu lebih dari lima tahun ini, tak ada seorang wanita-pun dalam hidupku. Kalau ada diantara kalian yang bilang Jones, tentu akan merasakan pembalasan-ku yang sangat kejam dan pedih! Eh, tapi emang Jones ding.

Waktuku kufokuskan kepada kegiatan-kegiatanku yang memang menuntut perhatian sedikit lebih. Alhasil, badanku pun sedikit kurang terurus. Rambutku kubiarkan gondrong sebahu, dan jambangku-pun jarang kucukur. Tentu saja aku masih rutin mandi, kalau-kalau kamu menanyakan hal itu!

Dan pakaianku. Ah, saat itu aku hanya mengenakan celana jeans item belel yang robek di bagian lutut dan kaos oblong polos warna yang sama. Dan sekarang pun, aku hobby memakai gelang-gelang etnik. Jadi, rencengan gelang butut berwarna warni ceria selalu bertengger di pergelangan kedua tanganku. Jam tangan G-Shock yang nyempil berbagi ruangan dengan gelang-gelang itupun dekilnya sudah saingan sama sepatu boot tactical anti-cuci yang selalu kupakai tahun-tahun belakangan ini. Bukan berarti aku tak punya sepatu lain lho ya, aku hanya gak inget aja kalau punya. Atau, emang ga punya ya?

Intinya, aku, baju dan aksesorisku, bersama-sama, seakan berlomba-lomba adu dekil. Yang secara dramatis memberikan efek fulgar—dalam konotasi terburuk puisi jalanan yang jorok atau prosa cabul manapun – secara keseluruhan, seperti kombinasi komedi-hantu-porno yang nekat di-filem-in. Tanpa kejelasan plot dan alur cerita dan hanya bikin malu, bahkan buat yang nonton. Fulgar bin Dekil! Itulah gambaran umum diriku saat ini.

Hadeh…

Hei! Jangan tanya baunya!

Wangi!!

Aku tuh dekil, bukan kemproh!

Sial, keliatannya besok aksesoris-aksesorisjahat ini musti gue rendem make obat pel lantai atau karbol…

“Dede” sambutku pendek sambil memperkenalkan diri, minder

“Rodi” jawabnya pendek

“Hai… Hai… Hai… Hai…” seorang cewek menyapa gerombolan ini dengan ramai dari belakang

“Hai…” sapa seorang cewe satu lagi yang sedikit lebih kalem

“Hai… maaf telat dikit, Nina nih, lama banget milih Beha…” Si cowok yang berkata gitu tadi. Disambut cibiran nyinyir dari cewek yang kutebak bernama Nina. Tiga temannya -yang kelihatannya emang udah janjian- menyusul dengan kemunculan yang hebring. Dua cewek yang tak kalah manis sama Ine dan seorang cowok yang tak kalah ganteng dengan aku.

Kalau elo sampe komentar, ah pasti cowoknya absurd banget karena bandingan-ganteng-nya cuman gue! Maka beneran deh, kita mending ribut aja!

“Eh, pada janjian mau jalan ya? Silahkan lho dilanjut…” kataku sambil bersiap untuk hengkang dari kelompok asing itu. Abis aku merasa jadi kayak Alien di sana. Enggakblend-in babar blas. Semua pada rapi-rapi dan necis, aku?

“Nyantai aja lagi mas, kita juga cuman hang-out bentar kok, sambil nunggu film, jam berapa main In?” Rodi yang bicara, sambil berbasa-basi ‘menahanku’ yang kelihatan akan hengkang

“19.45” sahut Ine pendek, cenderung kaku. Aku yang mendengar jawaban tentang jam itu, sepontan melirik jam tangan juga. 18:22:16 – Jam enam lebih dua puluh dua menit dan enam belas detik. Hoi! ini jam tangan digital original bung, tepat se-detik-detik nya!

“Kenalin dong in temennya!” kata Rodi lagi

“Eh, iya… Ini Dede, temen kuliah dulu. Yang ini Nina, yang ini Anggi, yang ini Samuel” jawab Ine seperlunya

“Halo… saya Dede…” balasku sopan, yang diikuti oleh balasan sopan juga dari mereka

Dan akhirnya aku terpaksa duduk se-meja sama kelompok heboh itu. Ine duduk bersebelahan dengan Rodi, sedangkan dua cewek manis Nina dan Anggi dikursi seberangnya, lalu aku berhadapan dengan Samuel. Kau tau, saat kau join dengan sebuah grup yang bahan gosipannya kamu gak-ngeh sama-sekali, pasti akan merasa awkward banget. Tul gak?

“Eh, masnya di ajak ngobrol dong, masa di anggurin, kan kasihan. Eh mas, mase kerja di sini?” kali ini yang bicara Rodi

“Iya mas…” jawabku singkat, masih canggung

“Kerja apa?” tanyanya lagi

“Ya serabutan mas, apapun yang bisa dikerjakan…”

“Ohh, kami semua kerja di Generalli, tau kan? Nih si Nina dan Anggi di CS, Sam, Aku sama Ine di Marketing. Nah, kalau mase butuh asuransi, hubungi kami aja… nih kartu nama-ku mas” terang Rodi panjang lebar sambil mengulurkan kartu nama kepadaku

Rodi Handoko Putro, SE, MM
Marketing Manager
For Southeast Asia
Reg. Indonesia


Lirikku singkat pada kartu-nama itu yang mendisplay informasi super komplit tentang si-Rodi. Jangankan nomor telepun (ada beberapa sih – aku masih enggak paham, mengapa orang-orang perlu banyak sekali nomor telepon) dan alamat e -mail serta website perusahaan dan beberapa alamat kantor; dari kantor pusat sampai cabang-cabang-nya, kukira, kalau tempatnya masih cukup, foto kucing pelihraan-nya juga akan di cetak dengan lebay disana, disebelah peta petunjuk jalan menuju ruangan kantor-nya dimulai dari meja resepsionis – kau tau, semacam peta-nya Dora the explorer.

Ngasih kartu nama itu ada beberapa kepentingan, menurutku. Dan dalam hal ini, kurasa si Rodi hanya ingin pemer jabatan dan title-nya. Atau aku aja yang terlalu sensi?

“OK, makasih mas. OK… ee… kelihatannya aku agak menggangu, aku tak pindah ke-meja sebelah aja…” yup, aku udah mengambil keputusan. Harusnya langsung cabut, tapi… rasanya kok sayang ya, masih pengen liatin wajah Ine. Ok, ini bullshit, tapi… kok rasanya kayak… mendadak kangen banget sama tu anak…

Ahh..

Moso sih?

“Oooh, kalau mase pengen gitu ya monggo, nyantai aja mas bro…” celetuk Rodi lagi. Dan aku mulai berdiri, sambil mencoba tersenyum, walau gak tau kenapa tiba-tiba canggung banget

“Kalau gitu aku nemenin dede sebentar ya…” Ine ikutan berdiri

“Lho, trus aku yang nemenin siapa dong?” sergah Rodi, sambil memegang tangan Ine

“Eee… sebentar aja kok pak…”

“Lah, kan udah kubilang jangan panggil pak kalau di luar jam kerja…” kata Rodi lagi sambil masih memegang tangan Ine. Aku garuk-garuk kepala

“Cuman sebentar aja kok, mau ada sesuatu yang perlu saya sampaikan… Pak…” jawab Ine sambil menepiskan tangan Rodi yang sengaja memengang tangan Ine kuat-kuat. Lalu berlalu mengejarku yang memang sudah berbalik badan. Gak kuat liat adegan gajen, takut kebawa emosi…

Kakeane!

Nah, kan?

“Dede… tunggu dong…” kejar Ine

Aku balik badan lagi dan tersenyum ke-arah Ine

“Katanya cuman mau pindah meja, kok cabut sih?” protes Ine saat liat aku emang gak pindah meja, tapi langsung nggeloyor ke arah kasir

“Awkward banget, gak enak nih, mending aku cabut aja deh…” jawabku meresume semuanya

“Yawdah deh, tapi kamu telpun aku ya!” kata Ine lagi yang seakan mengerti untuk tidak berusaha menahanku – ni anak dari dulu emang selalu ngertiin aku, Hadeh. Ine buru-buru merogoh saku depan kemeja dibalik blazernya dan mengeluarkan kartu nama

“Kelihatannya lagi trend ya sekarang pada nyimpen kartu nama di kantong kemeja…” selorohku becandaan

“SOP perusahaan. Nih, beneran lho ya nelpun!” katanya sambil mengulurkan kartu nama

“Ocree nona manis… baidewai, selain kartu, ada apalagi tuh di balik kantong kemeja depan?” candaku lagi sambil nerima kartu nama dan dengan songong melonggok ke arah dada Ine

Ine meninju lenganku ku manja “Apaan sih! Dasar Jorok!” rajuknya ngalem

“Heleh, becanda keles… hehehe…”

“Call me lho ya!” rajuknya lagi

“Siap Nona!” jawabku pendek kalem sambil membuat isyarat hormat dengan dua jari nempel di kening lalu balik badan, melanjutkan perjalananku yang sempat terhenti ke-arah kasir. Helah, perjalanan…

“Bro! Bro! Kalau mau cabut, cabut aja! Ntar bill nya di kita aja!” tereak Rodi dari belakang

“Gak usah mas, makasih” jawabku sambil membalik badan

“Mbak-mbak, bill nya mas-nya ini masukin ke kita ya!” Tereak Rodi lagi, kali ini ke mba-mba pelayannya

Aku cuman angkat bahu, trus nggeloyor pergi dari sana

Seterah!

---

“Halo? Halo… Halo… siapa nih?” kata suara di seberang speaker handphone ku. Aku yang men-dial nomor itu malah canggung. Bingung mau ngomong apa

“hi In, Dede…” desahku singkat sambil menelan ludah, gugup

“Dede siapa ya? Gak kenal!” jawabnya ketus gak kalah singkat, setelah tadi kudengar dia ambil nafas panjang

“Hehehe… gitu deh… katanya suruh nelpun…” desahku pasrah

“Nelpun aku tuh gak penting banget!” Semprot-nya

“Kok gitu sih?”

“Iya lah, aku tau, pasti kamu sangat sibuk, atau banyak cewek-cewek yang lebih penting buat kamu telpunin! Sampe ngerasa nelpun aku tuh cuman buang-buang waktu berhargamu!” Ine masih nyinyir

“Hahaha… masa sih?” godaku lagi. OK fix! Aku tau sekarang kalau Ine sebenernya juga nunggguin teleponku dari statement nyinyir-ala cewe ngambek itu. Hoi! Aku ga bego-bego amat buat tau hal-hal dan isyarat macam ini keless…

Huft, akhirnya, ganjelan itu agak mereda. Jujur, setelah melihat opera-sabun-roman-picisan di exelsso tempo hari, atau lebih tepatnya kukatakan disini lebih dari seminggu yang lalu, aku memang ngerasa canggung banget mau nelepon Ine. Walau hati ini rasanya gembrebeg. Pengen banget nelpun. Setelah mati-matian kutahan, akhirnya malam itu ku-berani-berani-in nelpun juga

“Habis, napa lama baru nelpun? Udah gitu gak ngasih nomor lagi! Sok banget sih!” Ine nih beneran ngambek apa gimana?

“Iye… Iye… maaf… abis takut dimarahin mas ganteng Southeast Asia manager apalah itu…”

“Apaan sih? Lebay!”

---

Dan sejak saat itu intensitas komunikasi kami meningkat. Dalam beberapa minggu ini, hampir tiap malam kita telponan. Dan beberapa kali dia kujemput buat makan siang.

“Kamu tuh sebenernya kerjanya pa sih De?” tanya Ine dengan mulut penuh. Saat itu kita maem siang di Lombok Ijo. Maklum, ga bisa jauh-jauh dari kantor dia kalau siang

“Kamu tuh, sebenernya maem nya masih kayak dulu pas kuliah tapi kok kurusan ya In?” jawabku ga nyambung malah balik nanya

“Masa sih? Makasih ya udah dibilang kurus, aku tuh diet! Tapi gak tau tuh setiap kali ama kamu tiba-tiba nafsu makanku jadi balik lagi kayak dulu. Kalo sampe dietku gagal, ini semua salahmu!” jawabnya selebor dengan acting marah yang jatohnya malah lucu

“Alibi!” jawabku singkat “Tapi bener, Ine kelihatan tirus banget…”

“Kamu suka aku yang chuby kayak dulu?” tanya-nya dengan arah dan jurusan embuh

“Ah, perasaan dulu juga ga chubby-chubby banget deh…Yaaa, aku suka Ine kayak apapun Ine…” jawabku sambil tersenyum menatap ekspresi maem Ine yang manis nggemesin

“Cieee…” jawabnya gak nyambung, dan aku cuman garuk-garuk kepala. Sial! Pake tangan yang abis megang sambel lagi. Maklum, maem kita muluk. “Eh, tapi pertanyaanku lom kamu jawab deh, kamu kerja di apaan sih de? Perasaan nyante banget kerjanya. Bisa jemputin aku maem siang. Udah gitu nraktirin lagi. Kamu juga punya mobil…” katanya lagi dengan muka sok ala-ala detektif swasta

“Perasaan aku dari kuliah udah punya mobil deh… kan tiap kali aku ke jogja juga pake mobil…” jawabku

“Masa sih?”

“Lah? Masa kamu gak inget?”

“Gak ngeh iq…”

“Lah?!Lha kan aku parkir didepan kost kamu, kamu juga beberapa kali anterin aku ke parkiran…”

“Masa sih? Gak ngeh bener deh…”

“Lah?” aku garuk-garuk kepala lagi. Kali ini aware. Pake tangan kiri!

“Aku tuh, tiap kali kamu ke kost dulu, cuman liatin wajahmu doang, gak ngeh yang lain-lain…”

“Napa? Terpesona ama kegantenganku?” Oh, come-on, aku aja yang ngomong jadi jijik sendiri

“Apaan sih, Njijiki!” jawab Ine sok begidik-geli. tuh kan bener, jijik? -- “Wajah kamu tuh lucu, kayak Puppies yang dibuang di kardus dipinggir jalan trus dikasih tulisan; please adopt me! Please… Rara… Please… Take me back… I love you so much…please…please…please… padahal kamu ditinggal selingkuh mulu sama dia… hahahaha…”

Aku nyambit Ine make potongan timun lalapan yang udah separuh kugigit sambil prengas-prenges nunjuk-nunjuk “kakeamu…”

“Bener deh!”

“Prek!”

“Trus?” tanyanya lagi

“Trus apanya? Kerjaanku? Ya, kalau kamu mau tau, besok sabtu ikut aku ke kerjaan… kan kamu sabtu libur?”

“Asyikkk… beneran?”

“Ya iyalah! Berangkatnya pagi tapi, jam setengah tujuh tak jemput di kosanmu…”

“Abis subuh juga boleh Om, paling juga aku gak bisa tidur semaleman, deg-degan nungguin kamu jemput” katanya selebor sambil masih ngunyah

“Bicara lu neng… ”

“Cieee… pasti hatimu berbunga-bunga ya, aku omongin kaya gitu… ciee…cie…” ledeknya lagi

Anyir! Gue sambit bener ni anak lama-lama…

---

“Udah sampe…” kataku riang saat mobilku berhenti di depan halaman rumah sederhana didaerah terminal ungaran

“Ini kerjaanmu?” jawab Ine. Pagi ini dia memakai kaos lengan panjang putih garis-garis hitam besar dari bahan semi wol dipadu dengan celana jeans pensil yang serasi. Tidak seperti pas bisanya kujemput maem siang dari kantor yang rambutnya selalu di sanggul, kali ini dibiarkannya tergerai. Dandan-nya walau terkesan sederhana, tapi kok keliatannya manis banget ya?

“Yup, sebagian dari project ku… tapi yang paling penting…”

Kami disambut oleh Nuggie, orang yang ku pasrahi untuk mengelola ini. Nugroho nama aslinya. Badannya penuh tattoo, dari ujung kaki sampe ujung kepala. Literally. Bahkan di wajahnya pun tattoo-an. Panjang ceritanya aku sampai join sama dia. Kita panggil dia Nug

“Gimana bro, ngejer nggak?” aku menanyakan langsung hasil diskusi kita via telepon kemarin mengenai produksi kepada Nug sambil salaman ala jalanan

“Cieh! Baru sekali-kalinya nih si bos dateng bawa awewe… Udah tobat bos?” ditanya kemana, jawabnya kemana ni anak

“Maksudlo?” aku mendelik

“Hallo, aku Nuggie…” katanya kalem sambil prengas-prenges ngulurin tangan kearah Ine, ngajak salaman

“Nggak usah takut In, dia jinak kok!” sahutku selebor kearah Ine yang kelihatannya takut-takut liat si Nug

Aku geli liat ekspresi Ine yang masih kayak ketakutan. Lalu kami mulai membahas kerjaan sambil jalan kearah belakang rumah. Yup, disinilah kita punya workshop. Dibelakang rumah itu, ada gudang kecil buat produksi Handycraft dan Souvenir. Pekerjanya rata-rata memang anak-anak jalanan yang putus sekolah dan butuh bimbingan. Hampir semua kalau gak tattoo-an, ya punya tindikan ala punk dengan lobang berdiameter selebar piring. Belum menyebutkan gaya rambut yang… Ah… Aku yang mungkin lo sebut berantakan aja, jadi kelihatan paling rapi kalau jejer ama anak-anak itu

Aku ngatur kerjaan sambil ngejelasin ke Ine. Ide ini timbul dari kenyataan bahwa sebenernya anak-anak itu punya daya kreatifitas yang tinggi. Tapi minim penyaluran. Jadi pikirku, kenapa tidak di salurkan? Sembari mengangkat mereka dari jalanan. Menjauhkan mereka dari tindak kejahatan dan resiko kekerasan. Mengajarkan nilai-nilai hidup kepada anak-anak yang termajinalkan, sekaligus memberikan mereka tujuan. Aku tentunya bukan malaikat. Namun, aku akan sangat sedih kalau tidak berbuat apapun melihat kenyataan seperti ini. Dan kebetulan aku ketemu sama mas Nug ini. Beliau bisa menfasilitasi dan here we are…

R&R Handycraft, kudirikan cuman dalam tempo hitungan bulan dari masa isolasiku dulu. Road & Road, kalau kamu tanya singkatan R&R, jadi bukan singkatan dari RaRa lho ya!

Profit dari usaha ini, 50% masuk lagi ke R&R Fondation; Yayasan buat buat anak-anak pekerja R&R itu sendiri. Dana itu buat biaya datengin konselor, buat rehabilitasi yang masih ketergantungan narkoba, buat biaya kursus keterampilan anak baru, buat datengin guru ngaji dan lain-lain. Lebih detailnya lo bisa nanya Mas Nug. Beliau yang lebih paham soal beginian. Ah, juga buat anak-ku. Dan 50% profit ku bagi-dua ama Nug. Hoi, aku juga butuh beli celana lho ya, masa dekil mlulu. Hehehe…

“Anak-mu? maksudnya?” tanya Ine heran

“Ya anak-anaknya si Bos lah mba…” Jawab Nug sekenanya. Sadar gak sih si Nug ini kalau jawaban-nya sama sekali tidak menjelaskan apapun?

“Anakmu?” tanya Ine semakin heran

“Bisa juga jadi anak-nya Ine, kalau Ine mau… yuk kita mampir ke-rumah…” Ajakku yang masih diikuti sama wajah berkerut Ine “Cabut dulu bro! jangan lupa e-mail apdetnya ya! Mo ngabarin Mr. Reinhard!” tereakku sama Nug yang dengan songognya udah ngeloyor ke belakang

“86!!” jawabnya tereak juga sambil mengangkat tangan cuek

---

Aku mengambil beberapa bungkusan kresek di mobil dan mengajak Ine berjalan ke Rumah yang ku maksud. Rumah itu hanya berjarak beberapa tikungan dari Gudang kami

“Assalamualaikum… Mak’e…” tereakku memberi salam setelah masuk ke halaman rumah

“Kak Deeedeee…” Sambut anak-anak kecil yang segera berhamburan dari dalam rumah mendengar salamku tadi

“Haaaaiiii…. Kakak kangen sama kalian semua…” kataku sambil berlutut menyambut untuk memeluk mereka semuanya

“Kak, bawa oleh-oleh enggak?” tanya salah satu dari mereka

“Oooo… tentu dong Mia cantiik… nih, dibagi ya, sama kakak-kakak yang belum pulang juga, jangan dihabisin…” kataku riang sambil memberikan kantung-kantung kresek itu kepada mereka

“Eeehhh! Wong kakaknya baru saja datang kok ya langsung ditanyain oleh-oleh to? Salim dulu…” kata mak’e yang sekarang juga sudah bergabung dengan kami dan langsung aku sungkemi diikuti oleh Ine

“udah mak’e” jawab mereka kompakan

---

“Lha mbak Ine…eh Ine ya? Ini siapa?” tanya mak’e sok excited dengan kehadiran sosok asing itu. Haiyah, asing owg! Alien kali...

“Saya temen kuliah Dede, mak’e…” kata Ine kagok

“Pacar?”

“Bukan Mak, Belom, semoga sebentar lagi, mohon do’a restunya mak…” jawabku selebor sambil merangkul pundak mak-ku ini

“Pinter kamu nyari calon mas, cantik!” seloroh mak’e sambil ngelihatin Ine yang berekspresi aneh

“Ah mak’e, belum calon mak, perjuanganku masih Panjang! Masih ada mayat seorang Manager south east asia atau apalah gitu buat di langkahi, mak” jawabku selebor lagi yang langsung diikuti oleh cubitan Ine yang berdiri disebelahku

“Ayo masuk, mak’e tadi baru masak lodeh di belakang, nanti ma’em sini sekalian to? Nunggu anak-anak pulang sekolah sebentar…” oceh mak’e sambil mengamit kami berdua masuk ke dalam rumah

Mak Pon ini memang spesial. Wonder woman asli. Original. Genuine. Sebelum kami masuk ke rumah itu, mak’e merawat sendiri belasan anak yatim dan tidak mampu dari lingkungan sekitar. Padahal beliau sendiri juga bukan tergolong orang mampu. Berstatus janda dengan pekerjaan sebagai penjual gorengan, lalu mengabdikan diri kepada lingkungan seperti itu, amat memalukan buatku kalau aku tidak bisa berbuat sesuatu juga. Jadi begitu kita mendirikan work-shop disana, kita bantu-bantu semampu kami. Anak-anak ini jugalah cambuk semangat kami untuk selalu berkarya. Demi kami sendiri, dan demi mereka.

Aku inget, dulu waktu pertama kali rembukan dengan mas Nug tentang menyalurkan sebagian dari keuntungan R&R untuk mereka. Mas Nug memelukku sambil menangis, katanya, meng-gadai-kan nyawa aja dia bersedia untuk bisa bersamaku berjibaku demi menjalankan apa yang kami yakini adalah sesuatu yang benar.

Lalu ku bilang: Mas Nug Lebay!

---

“Nah, sekarang ke kerjaan yang satu lagi” ucapku kepada Ine yang gak tau tuh, dari tadi malah ngalamun. Kita sudah meninggalkan rumah-nya mak’e, di mobil, dalam perjalanan menuju ke kantor unit usaha developer-ku di daerah Ambarawa

Yup, aku membuka unit usaha property disana. Ini yang sebenernya datengin duit. Tapi fokusku memang lebih banyak ke R&R. Asyik aja. Lagian, di-Unit property itu sudah ada Pak Ronny yang aku percaya untuk menjalankan usaha. Dan beliau orangnya sangat amanah. Mendapatkan rekan kerja yang baik juga merupakan sebagian dari rizki lho. Investor yang join pun, alhamdullilah baek-baek semua.

“Ine udah capek?” tanyaku lagi yang belum juga direspon “Ine kenapa?” tanyaku lagi

“Kamu tuh… penuh kejutan…” jawabnya pendek

“Ine gak suka dengan kerjaanku? Ya memang tidak berkantor dengan glamour sih, tidak di tower elite, tidak pakai dasi serasi, tidak bersepatu mengkilat, tidak…” -- desahku lirih-- “Gaul-ku dengan anak-anak jalanan, sumber kekuatanku bukan kapital, hanya sekedar…”

“Dede, kamu serius sama aku?” tanyanya tiba-tiba gak nyambung

“Maksudmu?”

“Hubungan kita… mau kamu bawa kemana?”

“Armada banget sih kamu In…” candaku garing

“Aku Serius” jawabnya pendek

“Yah… kita kan udah lama gak ketemu, baru beberapa minggu juga komunikasi…”

“Aku selama ini nungguin kamu” potongnya tiba-tiba

“Eh?”

“Ini konyol, tapi… aku gak pernah pacaran sekalipun dari semenjak kamu menghilang… entah kenapa, aku seperti yakin, kamu akan… balik… di kehidupanku…”

“Boongan deh…” candaku

Ine hanya menoleh dan menatapku tajam

“Eh, Kamu serius beneran ya?” tanyaku lagi dengan songong

Ine malah membungkuk, aku gak tau detailnya karena sedang nyetir, tiba tiba…

PLOK!

Sepatu-nya mendarat ke bahu-ku

“Wadaww…” tereakku kaget

“Aku tuh ya! Rasanya pengen ngruwes-ngruwes kamu!” katanya dengan gemes, lalu beneran mulai melakukan penyerangan…

“Iyaaa…. iyaaa… ampun Tuan Putrii… Ampuunn… wooiii bahaya woii… lagi nyupir!!!”

---

Aku menatap wajahnya. Ine ini imut. Dalam arti yang sebenernya, tingginya aja cuman sampe ke bahuku, sedangkan aku sendiri juga tidak terlalu tinggi. Ya rata-rata orang Jawa lah. Wajahnya lucu, bulet tapi gak bulet, gimana ya? Ah, dan kecil, cuman seukuran kepingan CD. Ah, masa kusamain dengan CD sih? Dan matanya juga unik, melengkung gitu, kayak ketawa terus. Kaya mata guguk. Agak sipit, tapi kadang-kadang kelihatan lumayan lebar juga. Terutama kalau pas melotot ngambek. Dan lesung pipi-nya. Waduh, kalau elo sempet ngumpulin sari tetes tebu trus lo pake berendem sebulan, juga masih kalah manis sama lesung pipi-nya. Tapi deskripsi ini subjektif lho ya, dari kaca mata Jones akut menahun stadium empat yang sedang naksir dan kesengsem berat sama cewek yang di deskripsikan.

Dan Ine masih didepanku, melotot dengan mata-lucu-nya yang tiba-tiba keliatan lebar, mengedip-ngedipkan dengan gerakan slow-motion plus lagak sok marah plus sedikit ngerutin alis, mungkin pikirnya biar serem, tapi jatuhnya malah nggemesin.

“Oh, ayolah In, jangan gitu lah, mana aku tahu kalau kamu serius soal nungguin… ee… maksudku, kayak Drama Korea banget gitu lho… ahh… kamu bikin aku tersanjung banget iq…. Jadi…. Ahh… isin aku… aduhhh…Gomawo… naleul salanghae jusyeoseo gamsahabnida… Ahiiiih… maeu gwiyeobda…” candaku niruin adegan lebay di drama korea yang emang lagi digandrunginya

PLUK!

Pisang goreng mampir jidatku!

“Aduuhh… aku disambit picang goyeng…” godaku lagi, sambil mengambil pisang itu dan menggigitnya cuek

Dan ine mengangkat sendok kopi, siap di sambitin

“Oh, ayolah Ine… please… please… forgive me ya… please… janji deh, gak godain Ine lagi, kecuali lagi iseng sih… hihihi…” kataku sok imut sambil mohon-mohon ganjen. Sambil ngedip-ngedipin mata tak-cute-cutin, ga tau hasilnya. Paling elo muntah kalau liat. Puas?

Ine tersenyum sinis manis “Apaan sih?!!… lebaymu ni lho, gak cocok ama tampang! Dah gondrong acak-acakan kayak preman gitu, sok imut!” masih nyinyir dia…

“Oooo… Gwiyeoun… Salanghae…” aku masih nerusin acting nggilani-ku

“Gue sambit bener nih!” ancamnya lucu

Yup, alih-alih ke kantor ku di Ambarawa, kita emang malah nyangkut di Banaran Café Bawen, setelah tadi acara penyerangan kalapnya hampir aja membuat kita berdua mati konyol. Ya, dia berhak kesel sih, udah nyatain gitu aku-nya bego ga ketulungan. Akhirnya, kita sepakat nyari tempat yang enak buat marahan, sekaligus nyelesaiin pembicaraan. Tapi sayangnya, dia jadi keliatan imut banget, jadi gemes ngebet ngedodain, trus gak nemu caranya buat bisa marahan sama Ine… Hedeh…

“Kemana?” tanya-nya judes

“Apanya?”

“Tiba-tiba kamu ngilang gitu aja. Raib seperti di telan bumi, bahkan Rara aja gak tau kamu di mana, nomor handphone gak aktif, bahkan Icha, adikmu pun gak tau kamu kemana. Kamu kemana?” tanya-nya judes lucu

“Ah, itu… Aku…” yup, pereode itu, aku sedang di reset – di sterilisasi. Ah, gimana cara jelasin ke Ine?

“Aku tau, aku ni bukan siapa-siapa kamu, gak pernah kamu anggap siapa-siapa, tapi apa aku gak berhak tahu kalau kamu baik-baik aja? Atau kamu kenapa kek? Aku tau aku memang gak pernah kamu anggap. Aku cuman mainan, aku cuman cadangan. Orang kedua kalau kamu lagi renggang sama Rara… tapi aku terima itu, kamu tau, itu sakit, tapi aku terima itu! Dan kamu merasa aku tidak berhak kamu kasih kabar?” Waduh, keluar semua deh…

Aku menelan ludah…

“Waktu itu, aku berada dalam masa yang paling kelam, dan tidak mau kuungkit lagi dalam kehidupanku…” jawabku lirih, mencoba me-resume semua dalam satu kalimat. Kalimat absurd, kalau kamu tanya pendapatku

“Hih! Alasan apa ini? Kamu anggap pertanyaanku main-main? Kamu anggap ini semacam sinetron hidayaah, film holiwood, drama korea? Aku tanya beneran, aku minta jawaban beneran! Karena aku… aku ingin memastikan sesuatu, tentang aku, dan hidupku! Aku… aku gak mau… aku gak mau hidupku keganjel sama kamu lagi…” entah bagaimana caranya menggambarkan ekspresi Ine saat ini. Marah? Bingung? Benci? Ragu? Cinta? – Masa cinta sih?

Aku kembali menelan ludah

Dan aku mulai membuka kancing kemejaku…

“Ini adalah masa kelamku. Masa yang aku-tidak-ingin Ine terlibat didalamya, masa yang aku tidak ingin SIAPAPUN terlibat didalamnya… masa dari bagian perjalanan hidupku yang benar-benar ingin kulupakan… ingin kututup halaman-nya, dan aku berhasil kembali ke-kehidupanku lagi sekarang, walaupun sebagai individu yang sama sekali asing, maka dari itu, aku ingin membuka lembaran baru… aku… hanya ingin jadi orang baik…” jawabku dengan intonasi datar, namun tetap mencoba menatap mata Ine secara langsung, seraya mencoba menekan emosiku sendiri saat menunjukkan bekas luka didadaku kepada Ine.

Karena setiap kali aku membuka baju dan bercermin. Sepuluh lobang bekas luka cakaran naga gila di-dada-ku ini – belum menyebutkan bekas luka yang lain–seakan menjadi monument yang berdiri secara menyedihkan. Sebuah pengingat, bahwa hidup ini tidak seyogyanya di-sia-siakan dengan aksi dan tindakan yang dilandasi egoisme. Aku mendapatkan kesempatan ke-dua setelah kejadian itu. Dan aku berjanji kepada diriku sendiri untuk selalu mencoba menjadi orang baik setiap kali aku menghela nafas. Langkah demi langkah. Titik demi titik…

Ine menutup mulutnya dengan kedua tangannya dan membelalak melihat bekas luka yang – buat ku aja, yang sering liat wajah mesummu itu – masih menganggapnya menjijikkan.

“Apa… yang sudah kamu lalui De?” desis Ine

“Banyak…” desisku “Aku… bahkan tidak pernah bermimpi untuk bisa kembali lagi… diriku, sudah menjadi sedemikian rusak-nya saat itu… tetapi aku berusaha bangkit, aku berusaha kembali, aku… hanya ingin membuka lembaran baru… aku… hanya ingin menjadi orang baik…”

Ine bangkit dari duduknya dan menghampiriku “Kamu… mau aku temani untuk menjalani lembaran barumu?” tanya-nya sok puitis sambil berdiri didepanku dan memegang pipiku dengan kedua tangan mungilnya

Kuakui, Ine ini memang luar biasa. Kalem-nya, Adem-nya, Pengertian-nya dan yang barusaja dia tunjukkan; Keberanian-nya. Apa aku sudah menyebutkan kata cantik-nya dan manis-nya? Ato, bilang kalau Ine ini anaknya adem? Ah, kali-kali aja lupa. Maklum, lagi bego…

“Hhhooohhh…” Aku mengambil dan menghembuskan nafas Panjang “Ine… kamu gak tau, gimana dalam minggu-minggu belakangan ini aku mencoba dan selau mencoba buat ngumpulin keberanian yang tak kunjung terkumpul, hanya untuk menanyakan hal yang sama; Ine maukah kamu menerimaku apa ada-nya dan menemaniku menghabiskan sisa hidup ini?” pintaku serius

Dan Ine tersenyum, manis banget…

“Sakit?” tanya-nya, sambil membantu mengancingkan kemejaku lagi

“Apanya?” tanyaku balik dengan songong

“Tadi, aku timpuk di mobil…” jawabnya cengengesan

“Itu? Oh? Untuk cowok se-macho dan sekeren aku tuh tidak ada apa-apanya… mau nimpuk lagi?” tantangku cengengesan

Ine cuman tersenyum sedikit, matanya masih menatap ku dengan sayu

“Aku… tidak akan membiarkanmu terluka lagi, Aku… akan menjagamu… melindungimu…” -- kata Ine sambil mengelus rambut acakadul ku -- “Dan gak peduli kamu sok macho, sok preman atau apapun…” – lanjutnya, kali ini dengan nada gemes plus keliatanya masih agak kesel -- “Saat kamu merasa lemah dan letih, aku akan selalu ada disisimu, untukmu, menjagamu, melindungimu dan memberimu kekuatan…” tutup nya dengan lembut… ah…

“Itu… kelihatannya, harusnya jadi kata-kata ku deh…” protesku cemen

Ine tersenyum lagi. Kali ini sedikit lebih banyak dari senyum sedikitnya yang tadi. Hadeh…

“Owalah De… Dede… kamu tuh ya, boleh sok kuat didepan siapapun, sok preman, sok gondrong, sok serem atau apapun, tapi di mataku, untuk ukuran cowok, hati-mu tuh rapuh banget… jadi sama aku, gak usah deh sok-sok-an! Because, I see you…” -- katanya sambil menunjuk ke tengah dada-ku -- “The real you…”

Aku memandang wajah Ine lekat-lekat, dan menelan ludah…

Aku tau ini kayak sinetron banget, tapi matanya…

Matanya memancarkan sebuah tekad dan kesungguhan…

“Dan itu yang membuat aku… dulu mulai suka sama kamu…” lanjut Ine lirih

---

19 April 2007

Malem…

“Aaahhh… capek banget…” desahku sambil membanting tubuh ke ranjang

“Mau dipijitin?” tanya Ine yang ada di depan cermin rias, sibuk cabutin sesuatu dari rambutnya

“Enggak lah, Ine pastinya juga capek seharian nyalamin tamu banyak banget…” kataku sambil bangkit dari tempat tidur yang ditebarin bunga secara lebay. Menghampiri ine dan membantunya mencabuti konde yang dicantolin bunga melati dalam kuantitas lebay yang sebagian masih menancap di sanggulannya sambil sesekali memijit-mijit lembut bahunya

“Jam berapa sih?” tanya Ine lagi

“Jam Sembilanan lebih dikit…”

“Oppa capek banget ya?” tanya Ine lagi – Oppa, hadeh. Ini resiko punya pasangan yang gandrung sama feminisme lelaki jejadian putih bersih nan halus mulus dari negeri gingseng beserta sinetron alay-mehek-mehek-nya. Yang sayangnya, aku sekarang, kadang, hanya kadang-kadang, suka ikut baper juga pas nemenin doi nonton… hanya kadang-kadang, tolong catat itu dengan jelas!

“Ahh… enggak juga deh say… kalau liat tuan putri, capek juga jadi hilang…” jawabku lebay

“Apaan sih?! Oppa Lebay!” sahut Ine pendek. tuh kan bener, lebay…

“Yang! Yuk…” kataku genit sambil mengangkat-angkat alis

“Apaan sih?”

“Sini lah, kan malam pertama kita…” aku masih bergenit genit ria, sambil menuntun Ine ke ranjang dan memangkunya

“Apaan sih?” tanyanya sok cemberut yang kini sudah kupangku sambil masih berkebaya

“I Love You…” ucapku mantap sambil menatap mata Ine

“I Love You More…” balasnya

Yep, aku memang si brengsek yang paling beruntung sedunia…

Aku mencium lembut bibirnya, dan dibalas Ine dengan ciuman penuh kasih sayang

“Eh Oppa…”

“He’eh” jawabku

“Kelihatannya malam ini kita gak bisa deh”

“Ine capek?”

“Ya iya sih emang capek, tapi bukan itu…”

“Trus?” hadeh, firasat buruk! Gelagat, posisi dan arahnya kelihatannya ber-fengshui kurang baik!

Ine mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik…

Membuatku lemas…

Nah kan? Firasat burukku terbukti?

“Kok bisa sih?” tanyaku putus harapan akan malam pertamaku yang indah, romantis dan memorable.

Karena jujur, setelah Ine ngaku kalau dia masih virgin, aku bener-bener jagain dia semasa kita pacaran. Jagain, terutama dari jablay bermental mesum dan berotak cabul sepertiku

“Ya bisa lah! Namanya juga siklus bulanan! Bisa maju-mundur juga!”

“Iya sih, tapi masa iya Ine ‘Dapet’ pas malam pertama pernikahan kita…?”

Ine hanya ngikik

Hadeh…

Ini memang memorable !!

Gak bakalan kelupaan seumur-umur!

Gelitikin aja sekalian!



TAMAT

End of Trampoline



Epilog

Dunia bukan hanya tentang hitam dan putih, juga bukan hanya ditempeli kelabu di antaranya

Dunia juga tidak hanya seluas apa yang bisa dimanifestasikan maupun dikalkulasi dengan hitungan serta rumus Matematika

Dalam Dunia ini, masih banyak warna yang belum dapat diidentifkasi, bahkan angka juga belum ketemu ujungnya

Maka dari itu, kita seyogyanya tidak perlu menilai apalagi menghakimi benar-salah-nya, maupun tinggi-rendah-nya sebuah kehidupan hanya dari hasil pemikiran kita

Karena kita hanyalah titik di luasnya semesta

Sejatinya kita, bukanlah apa-apa

Hanyalah mahluk fana yang diatur oleh Takdir sang Kuasa

Tetapi

Menerima takdir kehidupan bukan berarti harus bersikap Apatis dan Acuh terhadapnya,
karena bersikap Apatis dan Acuh justru menandakan kita tidak menerima takdir itu sendiri
- Siti Djenar -



.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.​


---

Di-suatu pagi di sebuah ranjang di Mondu, Kanatang – Sumba Timur

“Selamat pagi istriku yang cantik…” kataku sambil menatap mata Ine, istriku, yang barusaja terbuka

“Selamat pagi juga suamiku yang baik…” jawab Ine dengan suara pagi-nya yang masih setengah serak

“Kedengeran agak absurd ya hun?”

“Iya, dikit…”

“Gimana kalau, morning beb… gitu aja…”

“Sound better…”

“yawdah, morning beb…”sahutku pendek

“yep, morning too… oppa…” jawabnya sambil tersenyum nggemesin. Lah, kok oppa sih?

Aku hanya menatap wajahnya. Damn, gak bosen-bosen aku mensyukuri Ine-ku ini…

“Apaan sih liat-liat?” hardiknya sok ngalem-ngalem manja

Aku hanya menaik-naikkan alisku sebagai jawaban, sambil tersenyum mesum, tentu-saja.

Dan entah dari sejak kapan, Ine juga sekarang mahir bener tersenyum mesum dan menaik-naik-kan alis sepertiku… Bales nih ceritanya!

“Cini!” perintahnya dengan nada mesum sambil membuka kedua tangannya lebar-lebar

Ah Ayang…

Haiyah, ga-pa-pa to?

Toh ini adalah liburan hanimun kita…

Hihihihi….

KALI INI TAMAT BENERAN CERITA TRAMPOLINE NYA!!

---

Terimakasih untuk Semua master dan Suhu yang sudah menyempatkan diri membaca dan mengikuti cerita sederhana ini. Suhu @Deriridwan @hippopotamus @beyut_bugil @RAYxy @Ancukerr @menggalarabus @Ardi croot @areke @wungusare @ryan_delilo @DiExel007 @joe1206 @bdevils @ilalanghening @piahu @entog @RedSpcy @petarung cinta @idefix @keluh @korakngr @momotko @ja6brik @sekseeh @RezaSLC @Iban_ajahhh @frypiero @ngopidulu @Little_Hulk @Sonic110 @ajibleh @miss_renata @Mokiman @usrrr @susutepung @lacudud @tarikPULL @choco max @Don_Bin_Gibs @raja gopal @Vegilover @acoung78 @all1977 @noe_bangets @Aldyputra01 @Starwir @Az17 @tuetta @areke @yakalideh @cucakrowo2013 @Kunjuicy @denok_mambo @siho88 @botolbesar @Ymmor1984 @Baksoikanbulat @Ary0Bay @Aryueshol @pentul97 @HanriVM @Dinansatria @xiahu @h412yo77 @bobcool002 @numpaki @kkaze30 @123hellobec @handukbiru @wirasena @petapa_genit_08 @akunkupalsu @Mandai_tiwadak @doubtfulman @garudaperkasa @Miku45 @Joni_otong @ahyau @neitvalen @asaloy @tailalat @lakondalang @kooji @BadFace @maverick174 @oksigen @Nyaakz @sapphire5h @itilers @getlucky @Chale @enakbgt @tarikPULL @ShNKai @repos_ @018kaisar @murbaut @Chanzzz @Bunyaminakbar @Abuete @shiethols @Querique @kakalutvian @vanhall @Bakpao46 @kebo_nderum @Fr33d @1899dd @oyeckpunkerz @sweet_babe @Lemek @TukangJengkolBusuk @Jaya Suporno

Dan semua suhu yang tidak bisa nubi sebutkan satu persatu dimari. Mohon maaf kalau cerita nubi masih banyak kurangnya dan jauh dari kata sempurna

:ampun::ampun::ampun::ampun::ampun:



mantul om 7.6k nya hehehe
 
oiya om, selamat atas title tamatnya hehe

sukses selalu untuk berkarya....
 
dan saat sempat kaget dg 7.6k nya ternyata tamat :papi:
Selamat! Akhirnya salah satu cerita lejen ini selesaipun :beer: :beer: :papi:
 
selamat atas title tamatnya om

19 ap 2007
berarti pernikahan Ts ama bininya yah hoho
Kok ane jadi kepikiran kalo cerita ini 40:60 real+fiction.
apa lagi cerita soal rika dan cerita ine Ntar , sepertinya real di kasih bumbu Hayo wkwkwk;)
 
Terakhir diubah:
tamat...bneran? he3.
surprais ada notif dengan kata tamat.
selamat ya Dede akhire berakhir di Ine.

( rasa2ne jik lnjut..lha mb'e bersuwiwi kn ngomong nek bakal nagih sukmben..
hhmmm.. )
 
Lho lhaaa...
Jebul tamat tenan ki..
Tak kiro endinge karo Ine si jin botol.
Kabare piye cah kuwi?
 
Congrats dech master.... See you in the next stories.... Eureka.... :semangat:
 
Bimabet
Akhirnya tamat. Selamat buat TS :beer:



Ada beberapa point review dari gue di thread ini:

-gaya penulisannya "cerita forum" banget :D

Kyk cerita "My Name is Joko" di detik dot com. Dan menurut gue bagus sih, toh forum buat sharing, biar gk kaku amat. Apalagi nih forum esek2, bkn forum W yg pada ngejar pingin ngerilis buku stlh beberapa part *uhuk*

-alur cerita tetap bagus walaupun SS ditiadain(CMIIW)

Kyknya SS cuman "syarat" aja di cerita ini. Kyk "Jendela Kenangan" karya om @willdick ,yg jg jadi favorit gue dimari.

-minim orang nge-junk

Gk ada yg ngejang gk rame sih :D cuman di satu sisi selain hemat page, pembaca jg lebih enak buat nyari update-an, terutama yg modal "last seen", bukan ngikutin index. Plus gak "nambah berat" di forum(entah bisa ampe brp kilo satu trit cerbung), iye gak mod? :pandaketawa:



Buat ending udah bagus sih, memorable. Biarin aja pembaca "kentang" dan bermain ama imajinasinya sendiri ttg "Malam-malam Bersama Ine". Udah dikasih tau belom? Kalo Ine tuh manis banget?

tp terserah sih kalo mau dibuat epilog lagi . Terutama kalo nyeritain karakter lain, si jin botol misal. Cuman udah gk terlalu penting sih. Kan udah usai juga masalahnya. :ngupil:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd