6
Hidup Amanda beserta keuangannya lancar jaya. Tapi seminggu setelah pertemuannya dengan Dodi, hari-hari Amanda sedikit kosong. Dia tidak ada kegiatan karena memang pengangguran. Mau lanjut morotin Riki, orangnya kerja ke luar kota. Perusahaan Riki punya beberapa lokasi pertambangan pasir di daerah jadi dia sering kunjungan ke sana. Yoweslah, toh, kalau dia sibuk uangnya tambah banyak.
Ketika weekend datang, Dodi mengabari bahwa rancangan anggaran dan kontrak sudah siap. Dodi bertanya apa dia mesti ke tempat Amanda atau Amanda yang ke Kota B. Amanda bilang dia yang akan ke kota B.
Seperti biasa, Amanda mengontak Riki dan mereka check in hotel lagi. Sampai di Kota B sekitar sore dan langsung ke tempat Dodi. Sambil mengurusi kontrak dan anggaran, Amanda menyuruh Dodi untuk check in duluan di hotel. Nanti habis selesai baru jemput Amanda lagi. Riki menyanggupi.
"Pacarnya, Mbak?" tanya Dodi.
"Iya," kata Amanda.
"Baik banget."
"Ya, gitu, deh," jawab Amanda cuek sambil baca kontrak yang dibuat Dodi.
Di situ Dodi tahu kalau Amanda tidak cinta sama Riki. Feeling.
Negosiasi sana sini sedikit dan kontrak ditandatangani. Riki jemput, Amanda dan Dodi salaman, lalu mereka berpisah.
Amanda dan Riki balik ke hotel lalu, seperti biasa, mulailah acara kissing dan petting. Awalnya santai terus lama-lama mulai naik tensi dan tempo. Tidak terasa, baju Amanda sudah entah ke mana dan lidah Riki sudah menjalar-jalar di puting sampai perut.
Riki menyentuh celana Amanda dan membuka kancingnya.
"Riki, denda, ya…."
Riki berhenti. Dia mundur dan berdandar di ranjang. "Sumpah, ya…."
"Kenapa?"
"Dikit-dikit denda…. Capek."
"Kan, udah sepakat."
"Iya, sih, tapi kemarin aku baru kasih kamu 17 juta, Amanda. Sekarang minta lagi."
"Denda tetap denda."
"Denda tai babilah. Matre lu," Riki berdiri terus pakai baju.
"Heh, jaga omongan kamu. Kan, aku bilang kalau kamu serius sama aku ada dendanya."
"Kalau mau tahu aku serius, kenalin aku ke orang tua kamu. Bukan morotin cowok. Dasar, Perek."
Jleb.
Sakit banget dikatain begitu.
"Riki! Jangan kurang ajar! Ini yang bikin aku enggak percaya sama kamu! Mau ketemu orang tua aku gimana? Aku tahu kamu punya cewek lain! Lusi, kan, namanya? Aku lihat dia kirim chat ke kamu!"
Riki syok tapi tidak menyangkal. "Kamu buka-buka HP aku? Privasi aku itu, Amanda."
"Aku itu pacar kamu. Kalau ada yang mencurigakan wajar kalau aku buka."
"Terserahlah, anjing, capek gua sama perek."
Riki mengambil kunci mobil dan keluar kamar.
Amanda tidak mengejar Riki padahal kalau tidak ada Riki dia tidak bisa pulang. Tapi perkataan Riki terlalu menyakitkan.
Amanda menangis sampai tidur.
Besoknya dia bangun dengan mata sembap. Dia mandi terus sarapan dan memeriksa parkiran mobil. Mobil Riki tidak ada.
Gimana dia pulang?
Amanda bingung. Dia tidak mau minta uang ke orang tuanya apalagi sampai harus menceritakan kenapa Riki marah. Uang di tabungannya tinggal 13 juta yang tidak boleh dia pakai sepeser pun. Dia sudah teken kontrak dengan Dodi yang isinya kalau dalam 3 bulan omset cabang barunya bisa sebesar cabang awal, dia harus setor 32 juta. Keuangannya masih defisit, masa harus dipakai buat pulang?
Sekitar jam 11 pagi, Amanda mulai desperate. Ya, sudahlah, ketimbang tidak bisa pulang, mau tidak mau Amanda merogoh uang sendiri untuk pulang. Dia menelepon Dodi untuk menanyakan cara pulang ke Ibukota.
"Cowoknya ke mana?" tanya Dodi.
"Ngambek. Kita marahan terus dia pulang duluan."
Dodi diam sebentar.
"Sebetulnya saya bisa antar kamu ke Ibukota, sekalian saya juga ada yang mau diurusin di sana. Tapi kalau kamu lebih nyaman pulang sendiri, biar saya pesankan travel. Saya ada teman yang kerja di travel."
Amanda lebih nyaman naik travel. Dia belum kenal sekali dengan Dodi. Tapi dia berterima kasih atas tawarannya.
Akhirnya Amanda bisa pulang. Tanpa ongkos karena rupanya teman Dodi ini menggratiskan ongkosnya.
Hasil investasi Amanda mulai bekerja. Seminggu setelah transfer uang, cabang Dodi mulai buka. Hari ke-8 ada laporan keuangan setiap jam 11 malam dari Dodi untuk dua cabang warungnya. Akhir bulan, uang yang diterima Amanda sebesar 4 juta. Bulan kedua, 6 juta. Dodi memang pebisnis yang mantap.
Uang Amanda ada 24 juta. Kalau bulan depan Dodi bisa bagi hasil sebesar 8 juta, maka Amanda bisa memenuhi kewajibannya menyuntik 32 juta, tapi Amanda khawatir takutnya angka itu tidak tercapai.
Dia mulai mencari cara untuk dapat uang lagi. Tapi tetap dia tidak mau kerja. Mending morotin cowok lagi. Lebih gampang.
Maka dia mencari mangsa barunya. Pilihannya jatuh pada Bili. Teman sekelasnya waktu SMA dan sekarang kerja di bank. Melihat dari postingan medsosnya dia cukup berduit.
Janjianlah dia dengan Bili. Bili ini tampangnya lebih oke dari Riki dan lebih stylish. Kerja di bank soalnya jadi groomingnya oke.
Mereka langsung klop waktu ngobrol. Mantap, nih, bisa banget diporotin.
"Sori, mau tanya yang agak sensitif. Boleh?" tanya Bili.
"Boleh?"
"Kamu beneran mantannya Riki?"
Isss. Ngapain bawa nama itu?
"Iya. Bentar doang tapi."
"Kenapa putus?"
"Enggak cocok."
Bili diam.
"Kenapa?" tanya Amanda.
"Sori. Saya tanya gitu soalnya mau klarifikasi aja. Supaya tahu cerita dua belah pihak."
"Maksudnya?"
"Riki bilang di grup alumni SMA kalau kamu itu wanita bayaran matre yang pacaran sama dia demi duit doang."
Wajah Amanda panas seketika. Jantungnya berdegup kencang.
Setan alas.
Amanda pengin menangis jadi dia langsung pamit. Bili panik tapi Amanda tidak acuh. Dia cusss pulang.
Di rumah, dalam keadaan kesal, Amanda mengontak teman SMA-nya untuk menanyakan apa benar Riki bilang begitu. Semua menjawab "iya."
Berengseeeeek.
Amanda uring uringan. Dia kesal luar biasa.
Wait.
Amanda baru ingat kalau dia punya nomor Lusi, pacar Riki.
Dengan penuh dendam kesumat, Amanda menelepon Lusi.
Hidup Amanda beserta keuangannya lancar jaya. Tapi seminggu setelah pertemuannya dengan Dodi, hari-hari Amanda sedikit kosong. Dia tidak ada kegiatan karena memang pengangguran. Mau lanjut morotin Riki, orangnya kerja ke luar kota. Perusahaan Riki punya beberapa lokasi pertambangan pasir di daerah jadi dia sering kunjungan ke sana. Yoweslah, toh, kalau dia sibuk uangnya tambah banyak.
Ketika weekend datang, Dodi mengabari bahwa rancangan anggaran dan kontrak sudah siap. Dodi bertanya apa dia mesti ke tempat Amanda atau Amanda yang ke Kota B. Amanda bilang dia yang akan ke kota B.
Seperti biasa, Amanda mengontak Riki dan mereka check in hotel lagi. Sampai di Kota B sekitar sore dan langsung ke tempat Dodi. Sambil mengurusi kontrak dan anggaran, Amanda menyuruh Dodi untuk check in duluan di hotel. Nanti habis selesai baru jemput Amanda lagi. Riki menyanggupi.
"Pacarnya, Mbak?" tanya Dodi.
"Iya," kata Amanda.
"Baik banget."
"Ya, gitu, deh," jawab Amanda cuek sambil baca kontrak yang dibuat Dodi.
Di situ Dodi tahu kalau Amanda tidak cinta sama Riki. Feeling.
Negosiasi sana sini sedikit dan kontrak ditandatangani. Riki jemput, Amanda dan Dodi salaman, lalu mereka berpisah.
Amanda dan Riki balik ke hotel lalu, seperti biasa, mulailah acara kissing dan petting. Awalnya santai terus lama-lama mulai naik tensi dan tempo. Tidak terasa, baju Amanda sudah entah ke mana dan lidah Riki sudah menjalar-jalar di puting sampai perut.
Riki menyentuh celana Amanda dan membuka kancingnya.
"Riki, denda, ya…."
Riki berhenti. Dia mundur dan berdandar di ranjang. "Sumpah, ya…."
"Kenapa?"
"Dikit-dikit denda…. Capek."
"Kan, udah sepakat."
"Iya, sih, tapi kemarin aku baru kasih kamu 17 juta, Amanda. Sekarang minta lagi."
"Denda tetap denda."
"Denda tai babilah. Matre lu," Riki berdiri terus pakai baju.
"Heh, jaga omongan kamu. Kan, aku bilang kalau kamu serius sama aku ada dendanya."
"Kalau mau tahu aku serius, kenalin aku ke orang tua kamu. Bukan morotin cowok. Dasar, Perek."
Jleb.
Sakit banget dikatain begitu.
"Riki! Jangan kurang ajar! Ini yang bikin aku enggak percaya sama kamu! Mau ketemu orang tua aku gimana? Aku tahu kamu punya cewek lain! Lusi, kan, namanya? Aku lihat dia kirim chat ke kamu!"
Riki syok tapi tidak menyangkal. "Kamu buka-buka HP aku? Privasi aku itu, Amanda."
"Aku itu pacar kamu. Kalau ada yang mencurigakan wajar kalau aku buka."
"Terserahlah, anjing, capek gua sama perek."
Riki mengambil kunci mobil dan keluar kamar.
Amanda tidak mengejar Riki padahal kalau tidak ada Riki dia tidak bisa pulang. Tapi perkataan Riki terlalu menyakitkan.
Amanda menangis sampai tidur.
Besoknya dia bangun dengan mata sembap. Dia mandi terus sarapan dan memeriksa parkiran mobil. Mobil Riki tidak ada.
Gimana dia pulang?
Amanda bingung. Dia tidak mau minta uang ke orang tuanya apalagi sampai harus menceritakan kenapa Riki marah. Uang di tabungannya tinggal 13 juta yang tidak boleh dia pakai sepeser pun. Dia sudah teken kontrak dengan Dodi yang isinya kalau dalam 3 bulan omset cabang barunya bisa sebesar cabang awal, dia harus setor 32 juta. Keuangannya masih defisit, masa harus dipakai buat pulang?
Sekitar jam 11 pagi, Amanda mulai desperate. Ya, sudahlah, ketimbang tidak bisa pulang, mau tidak mau Amanda merogoh uang sendiri untuk pulang. Dia menelepon Dodi untuk menanyakan cara pulang ke Ibukota.
"Cowoknya ke mana?" tanya Dodi.
"Ngambek. Kita marahan terus dia pulang duluan."
Dodi diam sebentar.
"Sebetulnya saya bisa antar kamu ke Ibukota, sekalian saya juga ada yang mau diurusin di sana. Tapi kalau kamu lebih nyaman pulang sendiri, biar saya pesankan travel. Saya ada teman yang kerja di travel."
Amanda lebih nyaman naik travel. Dia belum kenal sekali dengan Dodi. Tapi dia berterima kasih atas tawarannya.
Akhirnya Amanda bisa pulang. Tanpa ongkos karena rupanya teman Dodi ini menggratiskan ongkosnya.
Hasil investasi Amanda mulai bekerja. Seminggu setelah transfer uang, cabang Dodi mulai buka. Hari ke-8 ada laporan keuangan setiap jam 11 malam dari Dodi untuk dua cabang warungnya. Akhir bulan, uang yang diterima Amanda sebesar 4 juta. Bulan kedua, 6 juta. Dodi memang pebisnis yang mantap.
Uang Amanda ada 24 juta. Kalau bulan depan Dodi bisa bagi hasil sebesar 8 juta, maka Amanda bisa memenuhi kewajibannya menyuntik 32 juta, tapi Amanda khawatir takutnya angka itu tidak tercapai.
Dia mulai mencari cara untuk dapat uang lagi. Tapi tetap dia tidak mau kerja. Mending morotin cowok lagi. Lebih gampang.
Maka dia mencari mangsa barunya. Pilihannya jatuh pada Bili. Teman sekelasnya waktu SMA dan sekarang kerja di bank. Melihat dari postingan medsosnya dia cukup berduit.
Janjianlah dia dengan Bili. Bili ini tampangnya lebih oke dari Riki dan lebih stylish. Kerja di bank soalnya jadi groomingnya oke.
Mereka langsung klop waktu ngobrol. Mantap, nih, bisa banget diporotin.
"Sori, mau tanya yang agak sensitif. Boleh?" tanya Bili.
"Boleh?"
"Kamu beneran mantannya Riki?"
Isss. Ngapain bawa nama itu?
"Iya. Bentar doang tapi."
"Kenapa putus?"
"Enggak cocok."
Bili diam.
"Kenapa?" tanya Amanda.
"Sori. Saya tanya gitu soalnya mau klarifikasi aja. Supaya tahu cerita dua belah pihak."
"Maksudnya?"
"Riki bilang di grup alumni SMA kalau kamu itu wanita bayaran matre yang pacaran sama dia demi duit doang."
Wajah Amanda panas seketika. Jantungnya berdegup kencang.
Setan alas.
Amanda pengin menangis jadi dia langsung pamit. Bili panik tapi Amanda tidak acuh. Dia cusss pulang.
Di rumah, dalam keadaan kesal, Amanda mengontak teman SMA-nya untuk menanyakan apa benar Riki bilang begitu. Semua menjawab "iya."
Berengseeeeek.
Amanda uring uringan. Dia kesal luar biasa.
Wait.
Amanda baru ingat kalau dia punya nomor Lusi, pacar Riki.
Dengan penuh dendam kesumat, Amanda menelepon Lusi.
