Chapter 4
Pagi harinya, aku dibangunkan oleh dering HP dari sebuah notifikasi pesan. Entah pukul berapa pagi itu tapi yang jelas terlalu pagi untukku. Ternyata si Devushka yg mengirimkanku pesan lewat FB. Ada tiga pesan bahkan.
"Morning @! So, what time we go to the beach?" bunyi pesan pertama yang ia kirim bersama dengan foto jidatnya berlatar sprei one piece dan kerokeroppi. Lalu, ia lanjut:
"I ate your bread and made omelet for breakfast. I hope you dont mind. I made one for you also."
"Hi. Just wanna check if you're awake already. You're omelet is already cold now I guess."
Ketika aku sedang membaca semua pesan ini, datang lagi pesan yg ke-empat, lima dan enam:
"Hey you're online."
"Morning!"
"Are you awake now?"
Aku membalas pesan itu dengan berteriak dari dalam kamar,
"YES VI, I'M AWAKE! UNO MOMENTO, IM GATHERING MY SOUL."
"OKAY," teriaknya balik.
Aku tak mengerti kenapa bangunin orang saja harus lewat messenger, "lah, jarak kamar kita kan cuman beda sepercik air," pikirku.
Kala itu aku berasumsi ini karena perbedaan generasi maka perbedaan gaya komunikasi. Kami selisih 6-7 tahun, usiaku ketika itu di senja 20an, doi awal 20an. Padahal mungkin, kayak-kayaknya, dia cuman segan saja membangunkanku secara langsung, apalagi setelah kejadian semalam.
Tak lama, aku bangun, cuci muka, sarapan lalu mandi. Kami lalu berangkat ke pantai. Dari kemarin si Devushka memang sudah meminta diajak ke pantai. Katanya sejak di Indonesia, satu2nya pantai dia pernah datangi cuma Pantai Tuban.
Kali ini aku memilih naik mobil walaupun si Devuska bilang dia lebih senang naik motor.
"I can see the surrounding better and feel the air," alasan doi.
"Iyes elu can feel the air, tp klo ntar ujan gw yg ber-air," dalam benakku.
Di dalam mobil seingatku kami tidak banyak ngobrol, juga tidak ada membahas soal kejadian semalam. Selain si Devushka ini memang cenderung pendiam, sepertinya jg ada kendala kenyamanan berbahasa. Bahasa inggris Vi memang belum ceplas-ceplos. Jika topiknya mulai kompleks, selalu terasa ada jeda 1-2 detik sebelum dia bisa mengutarakan pikirannya.
Aku pun terlalu sombong untuk memulai percakapan, memilih untuk menikmati perjalanan, pemandangan dan musik. Sampai pada satu titik.
Mungkin karena mulai tidak nyaman dengan keheningan di antara kami, mungkin juga dia tahu aku agak bete, atau mungkin karena ingin saja, Vi menjemput tanganku yang sedang berada di atas persneling dan menggenggamnya hangat untuk hampir seluruh sisa perjalanan. Dari situ, karena itu, hawa kedinginan yg sunyi mulai cair dan berubah menjadi
summer.
Aku memilih pantai yang jauh dari keramaian walaupun agak susah karena itu akhir pekan. Kami harus berjalan 1-2km dari parkiran untuk menemukan spot yang pas. Di pantai ini kami hanya berdua ditemani sekelompok burung camar. Pantai ini pas bukan hanya karena terhindar dari mata-mata yg jelalatan dan ketidaknyamanan turis lain karena Vi pasti akan memakai two-pieces bikini, tapi juga karena kami bisa bebas untuk nakal-nakal sedikit.
Kemarin malam aku belum betul-betul bisa melihat bentuk bagian bawah bodi si Devushka. Kini aku leluasa menikmati pemandangan badannya dengan santai dilatarbelakangi langit biru yang cerah dan hembusan angin laut.
Bentuk badannya Vi seperti setengah
hourglass, atau lebih tepatnya berbentuk segitiga: mungil di perut ke atas, melenggok agak besar di pinggul ke bawah. Betis dan terutama pahanya lumayan besar untuk seorang perempuan yg bukan pesepakbola. Bulu-bulu tipis di kakinya selaras dengan jembut rindangnya yang mengintip sedikit dari balik bikini. Yang paling bikin air liur keluar sih bentuk pantatnya Vi yang sempurna.
(Sayangnya pembaca, folder foto di pantai ini lupa gw taro di HDD mana. Nanti gw coba cari foto doi dr tmpt lain sbg bantuan imajinasi)
Saat ia berbaring terbalik, di bawah teriknya matahari sambil membaca sebuah buku berbahasa Russia, terlihat jelas kedua pipi pantatnya yang bulat membal seperti adonan roti surgawi. Betul-betul menggodaku untuk membenamkan kepalaku di dalamnya. Kuurungkan niatku, "jangan guobloq! jangan cari2 derita sendiri," hardikku ke diri.
Jadinya, aku hanya mencium pucuk kepalanya dan lalu mengambil posisi berbaring di sebelahnya. Dia membalas mencium bibirku singkat. Kubalas lagi. Dan lalu lagi sampai pada akhirnya kami bercumbu cukup panas. Awalnya aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk hanya made out, bercium-ciuman saja dengan Vi tapi kedua-tanganku seperti punya pikiran sendiri. Mereka, kedua-tanganku, mulai menggerayangi pantatnya Vi. Mereka meremas, mencubit-cubit, lalu sekali menampar pantat Vi, semua dilakukan tanpa persetujuanku. Si otong mulai bereaksi. "Wah ini gawat! Main api ini namanya!" terlintas di otakku.
Entah sengamuk apa si penguasa laut selatan jika aku memaksakan bersenggama dengan perempuan yang sedang
nggarap sari alias datang bulan di dekat teritorinya. Bagaimanapun, mitos Nyi Roro Kidul sudah bersemayam di alam bawah sadarku.
Sebelum terlalu panas kentangnya, jauh sebelum gosong, aku buru-buru berinisiatif meniriskan dan mendinginkan kentang...Maksudku, suasana.
"Parah kalo gini terus. Pergi maen aer ajalah biar dingin si otong," aku berusaha solutip.
Kudinginkan si otong dan diriku di terpaan ombak-ombak kecil laut selatan. Ombak-ombak yang besar sudah pecah lebih dulu oleh karang-karang di sebelah sana. Tidak lama, Vi berlari kecil menyusulku lalu memelukku dari belakang, sepertinya meminta main gendong-gendongan. Aku yang ragu apakah ini sopan atau tidak, cepat-cepat menurunkannya dan mencoba cari permainan lain yang tidak bersentuhan fisik terlalu banyak. Yah, supaya si Devushka tidak terlalu baper dan penguasa laut selatan tetap tenang. Ini lebih mudah daripada harus menjelaskan tentang mitos sang Nyai ke orang Russia.
Tentu kami tidak berenang di pantai, hanya orang gila atau sakti (atau keduanya) yang berani berenang di pantai selatan. Kami cuma bermain air dan membasahkan kaki. Kenakalan yang kusebut di atas, kami lakukan di pantai, di belakang garis pasang, 20-30 meter dari buih-buih ombak putih.
Hari menjelang sore, sepertinya ashar pun sudah lewat. Kami berberes, mengenakan baju ganti dan mulai berjalan ke mobil.
Kami tidak pulang ke rumah tapi aku langsung mengantarkannya ke stasiun kereta setelah makan malam singkat di suatu kedai.
Di kedai dan juga lalu stasiun, kami tidak ada membahas tentang kelanjutan hubungan ini. Itupun kalau memang ini sebuah hubungan. Aku juga sebenarnya tidak berharap banyak. Walaupun kentang parah, penasaran setengah hidup, aku cukup senang bisa dekat lagi dengan lawan jenis semenjak delapan bulan kemarau panjang, dihitung dari kandasnya hubunganku yang terakhir.
Hampir tujuh tahun aku berhubungan dengan mantanku yang terakhir tersebut. Tujuh tahun pula aku tidak pernah mencari perempuan lain.
Seven years out of the game. Ketika akhirnya jomblo lagi, rimba persilatan sudah berubah banyak.
Wartel tempat banyak laki-laki melepas rindu tinggalah sebuah monumen sejarah yang bahkan neonboxnya kini dianggap antik dan diburu remaja-remaja edgy untuk dikoleksi; telpon rumah hanyalah hiasan ruang tamu di rumah-rumah kuno; metode telepon 3 detik ala Mentari yang baru dekade lalu ngetren pun sekarang terlihat amat primitif; dulu dapat pesan SMS satu kata dari yayang sudah seharian girang, sekarang SMS hanyalah untuk ibu-ibu yang minta transfer dan tukang gadai BPKB; tante, bu lik, teman arisan ibu yang dulu berguna sebagai mak comblang sekarang sudah disingkirkan Tinder.
Bukan hanya teknologi dan rimba persilatan yang berubah banyak, tapi terutama adalah kepercayaan diri yang mendem di dasar parung kesadaran. Pertemuan dengan Vi sedikit banyak mengubah ini. Kalaupun harus berakhir di stasiun penuh kenangan ini sekalipun, tak masalah besar. Yang lebih penting,
I'm back in the game.
Tapi takdir ternyata berbicara lain.
Bersambung...
ket:
@=namaku
baru sadar, ternyata kata 'g0bl0k' otomatis disensor yah