19-Striptease
Kejadian dengan Janet dan Rendi membuat Adelaide trauma. Selama 1 bulan dia menolak keluar rumah dan jadi pendiam. Di bulan kedua, ada bibinya dari Australia yang berkunjung. Adelaide dekat sekali dengan bibinya itu dan bibinyalah yang berhasil membujuk Adelaide untuk keluar rumah.
Adelaide dan bibinya berkunjung ke satu mall paling tua di kota kami untuk shopping sambil curhat.
Di sana Adelaide bilang kalau dia kecewa sekali sama hidupnya. Semenjak dia SMA sampai sekarang, hidupnya bisa dibilang buruk. Di obrolan itu nama saya disebut-sebut. Adelaide bilang kalau sejauh hidupnya ini, baru sayalah lelaki baik yang dia temui. Sayang kami harus putus.
Di situ bibinya bilang kalau kami memang tidak mungkin jadian karena kami berbeda agama. Bibinya juga bilang kalau masih banyak cowok yang pasti mau sama Adelaide.
Setelah obrolan dengan bibinya, Adelaide menjadi lebih protektif terhadap dirinya sendiri dan memilih-milih teman. Selama sembilan bulan lamanya dia menganggur tanpa sedikit pun mencari kerja. Tapi, dia menyibukkan diri dengan bergabung ke komunitas penulis muda.
Di sinilah dia bertemu dengan seorang lelaki berumur 41 tahun yang kita sebut sebagi Joni.
Joni seorang Katolik sehingga Adelaide merasa nyaman dengannya karena keyakinan mereka tidak terlalu berbeda. Lalu mereka makin dekat dan makin dekat. Karena mereka tergabung di komunitas penulis, Adelaide dan Joni sering berkolaborasi untuk menelurkan cerpen-cerpen yang sering menang lomba.
Setelah trauma karena pengalamannya dengan Rendi, Adelaide merasa dia bisa membuka diri pada Joni. Joni yang jauh lebih tua sangatlah dewasa dan mengayomi. Dia tahu kapan harus bicara dan kapan harus mendengarkan. Joni tahu harus menggunakan intonasi dan pilihan seperti apa tergantung kepada siapa lawan bicaranya. Seorang lelaki dewasa yang, bagi Adelaide, belum pernah ia temui sebelumnya. Adelaide merasa aman bersamanya.
Di waktu yang sama, saya yang tinggal di Ibukota mulai nakal-nakal. Senior saya, Helmi, mulai mengajak saya ke kehidupan malam Ibukota.
Waktu itu hari Kamis malam yang panas. Saya dan 2 orang teman saya sedang menunggu Helmi yang berjanji akan membawa kita ke sebuah hotel yang ada pertunjukan stripteasenya. Saya excited plus grogi. Belum pernah saya ke tempat begituan.
Teman saya yang dua, kita sebut R dan A, juga belum pernah ke tempat begituan. Saya lebih senior soal seks karena sudah sempat mencicipi threesome. A sudah punya pengalaman ML dengan mantannya. Tapi, R ini paling cupu. Punya pacar belum pernah, pegangan tangan belum pernah, apalagi kissing. Jadi ini akan menjadi pengalaman pertama bagi kami semua.
Datanglah Helmi dan kami menumpang taksi ke hotel yang dimaksud. Dari tampilan luarnya pun, hotel ini sudah pasti hotel yang tidak-tidak. Warnanya emas-emas dan lampunya remang-remang. Tidak ada lobi, yang ada cuma security di sana.
Lantai 1 berisi tempat-tempat karaoke. Kami naik ke lantai 2. Masih tempat karaoke. Tujuan kami di lantai 3 dan setibanya di sana, saya baru sadar kalau HP saya tidak ada sinyal. Saya makin grogi. Kalau terjadi apa-apa di sini, saya tidak akan bisa telepon polisi.
Kemudian, Helmi memboyong kami ke pojok gedung. Ada pintu merah yang tertutup rapat dan dijaga 2 orang yang kekar. Di sana, Helmi menyuruh saya untuk menaruh tas dan semua barang-barang di tempat penitipan. Lalu, kami diberi gelang elektronik dengan nomor. Katanya jangan dilepas gelangnya sampai nanti mau pulang.
Saya dan 2 teman saya yang inosen menurut saja. Kemudian Helmi menggiring kami ke depan pintu. Di sana, 2 orang yang kekar itu menggeledah badan kami dengan tangan. Setiap sudut badan saya dipegang-pegang dan bikin saya jijik.
Setelah melewati itu, pintu dibuka dan kami masuk. Di balik pintu ada ruangan yang luas tapi gelap. Di depan ruangan ada panggung dengan alat musik lengkap yang diterangi oleh lampu-lampu. Cuma panggung itu yang terang di ruangan itu.
Ada meja-meja bundar di sana sini untuk duduk dan terisi penuh. Ada meja billiard di pojokan. Itulah kali pertama saya melihat PSK. Ada beberapa lelaki yang main billiard dengan gelas minuman di tangannya ditemani perempuan-perempuan yang cuma pakai bra dan celana dalam. Beuh! Langsung berdiri tegaplah penis saya.
Ternyata, pemandangan yang begitu masih banyak. Makin dalam saya berjalan, saya melewati sofa yang memanjang sepanjang tembok. Di sana duduk puluhan perempuan berbaju mini semini-mininya mini.
Helmi mendapat meja dan kami duduk di sana. Saya masih celingak celinguk melihat perempuan-perempuan seksi yang jumlahnya tidak terhitung.
Lalu, seorang pelayan datang dan menawarkan minuman. Helmi sudah langganan dan dia pesan alkohol yang saya lupa jenisnya apa. Saya dan A pesan Pocari Sweat sementara R pesan es jeruk.
Lima menit kemudian, pelayan yang sama datang membawa pesanan kami. Setelah dia pergi, ada 2 perempuan yang menghampiri. Satu berbadan imut dengan pakaian waitress, yang satu cuka pakai BH dan celana dalam. Yang berpakaian waitress membawa senampan gelas kecil berisi minuman beralkohol. Dia mendekati R yang langsung canggung.
"Minum, ya, Bang," kata perempuan dengan BH itu sambil langsung melompat ke pangkuan R.
R membeku. Dia diam macam kuda. Perempuan itu lalu mengambil gelas kecil dari nampan lalu menenggaknya. Satu, dua, sampai tujuh gelas dia habis.
"Lagi, ya, Bang," katanya.
R menggeleng. "Udah, udah."
"Ayo, Bang," perempuan itu kemudian membuka branya dan menaruh tangan R dj payudaranya. "Lagi, ya."
"Iya," seperti kena sihir, R bilang iya.
Perempuan itu minum lagi sampai habis 12 gelas. Lalu, dia senyum dan pergi.
"Anjir, gue kayaknya keluar sedikit," kata R.
"Gue lupa bilang. Gelasnya 1 biji harga 15 ribu," kata Helmi.
"Oh."
"Itu lu yang bayar."
"Hah? Kok, gue? Kan, dia yang minum!"
"Itu cara mereka jualan di sini."
R baru sadar kalau dia ditipu. Dia maki-maki perempuan barusan. Anjir, pikir saya, untung benar tempat ini. Cara jualannya pakai taktik toket, pastilah banyak cowok yang tertipu.
Kemudian musik mulai berbunyi. Band di atas panggung mulai bernyanyi dan ada lima perempuan berbadan luar biasa bagus naik lalu menari.
"Nih. Stripteasenya mulai," kaya Helmi.
Benar saja. Makin lama musik mengalun, setiap perempuan mulai menanggalkan satu per satu baju mereka, hingga mereka hanya memakai celana dalam saja.
Saya, R dan A terpukau menontonnya. Dalam hati, saya mulai menilai wajah-wajah para penari itu. Yang cantik ada di sebelah kanan. Yang paling kiri saya tidak suka. Wajahnya mirip Lia Waode. Maaf, ya, Lia Waode asli.
Sesi berikutnya, para penari itu turun dari panggung dan beredar di antara pengunjung. Mereka berjalan diikuti waitress yang membawa nampan berisi alkohol tadi.
Saya sudah pasrah kalau didekati, asalkan sama yang cantik. Tapi, nasib buruk jatuh dan yang datang ke meja saya itu Lia Waode. Daaamn!
Saya tidak selera sama dia, tapi dia agresif sekali. Lia melompat ke pangkuan, merangkul leher saya lalu minta cium. Tidaaaaak! Tapi saya tidak mengelak. Dia mencium bibir saya lalu mengambil satu gelas. Lalu dia menarik kepala saya dan membenamkannya di payudara. Enak. Ini sensasi yang paling indah di Ibukota setelah saya pindah. Tahunya, selama muka saya tenggelam di antara dada Waode, dia minum 7 gelas alkohol. Kurang ajar!
Waode lompat lalu pergi. Saya menengok ke A, dia sedang meremas-remas dada salah satu penari. Penari itu sudah habis alkohol satu nampan.
Setelah para penari itu selesai, saya, R dan A terdiam sambil menghitung biaya yang harus kami keluarkan. Karena takut tidak bisa bayar, kami memutuskan untuk pulang. Helmi tidak ikut karena dia malah pergi sama salah satu PSK ke ruang yang sudah disediakan. Terserah dia, kami bubar.
Di kasir, saya dag dig dug lihat perhitungan harga. Gelas alkohol 15 ribu kali 7 gelas, tambah 25 ribu harga Pocari Sweat, dan 250 ribu harga masuk. Hampir 400 ribu saya membayar dan hanya dapat toket Waode. Not worth it.
Setelah itu kami berjanji tidak akan ke tempat seperti itu lagi. Selain karena kapok, kami juga kere.
Kembali ke Adelaide yang tinggal di Kota Kelahiran. Adelaide mulai menunjukkan ketertarikannya pada Joni secara terang-terangan, dan Joni sangat baik sehingga Adelaide merasa kalau Joni pun menyukainya. Dia menaruh harapan pada Joni untuk mengembalikan kepercayaan Adelaide pada lelaki yang telah hilang.
Adelaide dengan natural dan tanpa paksaan, jatuh cinta pada Joni yang lebih tua 20 tahun darinya.