Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUJUH (Kolaborasi Enam Penulis)

Tujuh bidadari, tujuh cerita. Yang mana favorit anda?

  • Nisa

  • Amy

  • Shinta

  • Intan

  • Aida

  • Ayu

  • Reva

  • Maya


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Bimabet
Mending close aja, ga kompeten ini penulisnya. Percuma yg nulis byk tp bisa selama ini updatenya🙄
 
TUJUH - SEBUAH CERITA KOLABORASI
BAGIAN 22 | PENCARIAN DEMI HATI

Cerita oleh @fathimah | Disunting oleh @killertomato






Bila ada daftar hal-hal yang tidak akan pernah berubah di dunia ini, mungkin suasana pagi hari di Cluster Kembang Arum Asri akan termasuk di dalamnya. Hawa yang sejuk, dilengkapi dengan kicauan burung yang bersahutan, selalu melingkupi daerah di lereng Gunung Mandiri tersebut, membuat para penghuninya betah untuk berdiam diri di dalam rumah.

Lokasi perumahan yang cukup jauh dari perkotaan membuat daerah yang seperti terjepit antara Kampung Growol dan Kampung Bawukan tersebut tampak begitu asri dan tenang.

Namun suasana rumah pasangan Maya dan Ervan di pagi ini justru berkebalikan dengan kondisi tersebut. Sang istri terlihat sudah sibuk menyiapkan makanan di dapur, sedangkan sang suami tengah fokus mengancingkan baju sambil mengawasi buah hati mereka yang sedang tidur di sofa ruang tamu. Bunyi berdentang dari peralatan dapur yang tengah digunakan Maya, serta bunyi derik yang muncul saat Ervan memindahkan perlengkapan kerjanya, seperti bersahut-sahutan di seantero rumah.

Tak lama kemudian, Maya pun menghampiri suaminya dengan membawa sebuah piring berisi telur mata sapi, lengkap dengan nasi putih dan saos tomat. Secangkir kopi hangat pun turut meluncur kemudian. Setelah bertahun-tahun membina bahtera keluarga bersama, ia jelas tahu jenis makanan yang paling disukai oleh Ervan di pagi hari.

“Terima kasih ya istriku yang cantik...”

“Sama-sama suamiku yang ganteng...” Jawab Maya, meski dengan perasaan hati yang sedikit gundah. Hal itu pun tidak bisa ia sembunyikan dengan baik, dan jelas tertangkap oleh tatapan mata suaminya.

“Kok ngomong gantengnya kayak nggak niat. Malah manyun begitu bibirnya. Ada masalah apa sih, Sayang? Gantengnya aku sekarang sudah berkurang gitu? Hehehe.”

“Bukan begitu, Mas. Tapi...”

“Tapi apa, Sayang? Ngomong aja sama aku, nggak usah malu-malu.”

“Mas benar-benar harus ke pos pemantauan gunung hari ini?”

“Ya itu kan memang tempat kerja aku, Sayang. Masa aku nggak boleh ke sana?”

“Maksudku, kita kan baru pindah ke Cluster ini, jadi aku belum tahu karakter penghuninya seperti apa.”

“Bukannya kita kemarin sudah ketemu Pak Hamzah dan Pak Santo? Mereka berdua sepertinya baik-baik perangainya. Cuma ya, suka lirik-lirik tubuh kamu yang seksi itu saja, hehehe.”

“Ishhh, Mas Ervan ini. Bercanda mulu. Iya sih, kalau mereka berdua sepertinya memang baik. Tapi kan aku nggak tahu penghuni yang lainnya seperti apa.”

“Lalu maksud kamu? Sepertinya Mas masih belum paham arah pembicaraan ini ke mana.”

“Aku takut kalau di rumah sendirian, Mas. Tanpa seorang pun yang aku kenal dengan baik di sekitar sini. Masa gitu aja nggak ngerti sih?” Jawab Maya dengan nada yang sedikit meninggi.

Sebagai istri dari seorang pemantau aktivitas gunung berapi, Maya sebenarnya sudah cukup paham tentang dinamika profesi suaminya. Apabila sedang ada aktivitas gunung yang di luar kebiasaan, Ervan memang sering tidak pulang ke rumah dalam waktu lama. Di tempat tinggal mereka sebelumnya, Maya tidak pernah keberatan, dan biasanya ia akan menghabiskan waktu dengan pekerjaan atau bertemu teman-temannya. Sayangnya, di tempat baru ini, ia sama sekali tidak mempunyai pekerjaan maupun teman.

Ervan pun memahami kegundahan sang istri, dan langsung tersenyum. Perlahan ia tarik tubuh sang istri ke dalam dekapannya. Tak hanya itu, rambut Maya yang kini tengah tergerai indah tanpa tertutup jilbab panjang yang biasa ia kenakan, pun dielus-elus oleh sang suami dengan penuh rasa cinta.

“Aku janji akan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, untuk menjaga kamu dan Athar, Sayang. Asalkan memang sedang tidak ada tuntukan pekerjaan.”

“Beneran janji?”

“Iya. Kapan sih aku pernah bohong?”

“Pernah.”

“Kapan coba?”

“Waktu nikah katanya belum mau punya anak dulu, jadi kalau ML nggak mau keluarin di dalam. Eh buktinya, malah lebih suka keluarin di dalam, ngomongnya ‘tanggung’ melulu. Sampai akhirnya jadi Athar tuh.”

“Hahaa... Ya maaf, habis siapa sih yang bisa tahan kalau udah genjot tubuh kamu yang sintal ini, Sayang. Apalagi kalau udah ngerasain goyangan pinggul kamu yang muter-muter itu. Mhhhh...”

“Tuh kan, mulai nggilani. Huu...”

“Tapi kamu nggak nyesel kan punya Athar?”

“Nggak lah. Aku cuma kesel sama kamu, Mas. Tukang bohong!”

“Kamu tambah cantik deh kalau ngambek, hehehe.”

“Jangan gombal! Udah gak mempan.”

“Masa sih? Kalau diginiin masih mempan nggak?”

Ervan seperti tak mengenal kata berhenti untuk menggoda istrinya tersebut. Ia terus saja mengusap tengkuk Maya, membelai lengannya, hingga mengusap-usap paha sang istri. Diperlakukan layaknya kekasih kesayangan seperti itu, Maya pun jadi tidak bisa melanjutkan kemarahannya.

“Jadinya hari ini mau tetap di rumah? Nemenin aku sama Athar?”

“Kalau hari ini sepertinya nggak bisa, Sayang. Kemarin ada perkembangan dari kondisi Gunung Mandiri yang harus aku perhatikan, dan mungkin harus dilaporkan ke pusat. Ada tim asesmen mau datang di shift mendatang, jadi harus dipersiapkan dengan sungguh-sungguh.”

“Tuh kan...”

“Tapi aku janji, kalau aku bisa pastikan bahwa perkembangan ini tidak akan tereskalasi ke situasi yang lebih parah atau terus berkelanjutan, aku akan sering-sering tinggal di rumah, nemenin kamu sama Athar. Oke?”

“Terserah kamu lah, Mas.”

“Jangan ngambek gitu dong, sini aku kecup dulu.”

Ervan kemudian menarik kepala sang istri, dan tidak menyia-nyiakan waktu untuk langsung melumat bibirnya yang ranum. Tubuh indah Maya yang berada di dalam dekapannya pun seperti tidak ingin dilepas.

Kenangan akan masa-masa pacaran dan tahun-tahun pertama pernikahan mereka seperti kembali ke permukaan, di saat Ervan benar-benar mengagumi Maya yang memang mempunyai fisik yang lebih menarik dibanding perempuan-perempuan lain yang pernah ia kenal. Tak hanya itu, Ervan jadi makin tertarik dengan Maya karena selain cantik dan seksi, perempuan itu ternyata juga mempunyai otak yang cerdas. Istrinya tersebut selalu bisa menanggapi semua pembicaraan, mulai dari yang receh sampai yang level akademisi.

Satu-satunya hal yang membuat Ervan sempat berpikir keras sebelum memutuskan untuk menyunting Maya sebagai seorang istri adalah karakternya yang begitu keras. Bila perempuan tersebut menginginkan sesuatu, ia akan melakukan segala hal untuk mendapatkannya. Walau keinginan tersebut tidak berkaitan langsung dengan Ervan, tapi tetap saja hubungan mereka berdua sempat beberapa kali terganggu karena karakter Maya yang seperti itu.

Saat mendengar berita kematian orang tua Maya beberapa tahun lalu, Ervan sempat khawatir kalau hal itu akan mengakibatkan Maya menjadi perempuan yang sangat sulit untuk dikontrol. Namun sejauh ini, hal tersebut untungnya tidak menjadi kenyataan. Istrinya tersebut justru terlihat cukup tenang dalam menghadapi kejadian menyedihkan tersebut, membuat Ervan luar biasa bersyukur.

Ervan tidak tahu. Ada sesuatu yang berbeda dalam hati Maya sejak orang tuanya meninggal. Ada yang mengerikan dan disembunyikan dengan sempurna di balik façade

“Mas Ervan jangan elus-elus di bagian situ,” ujar Maya sambil menepis tangan sang suami yang mulai meremas-remas lembut payudaranya.

“Mmmph, kenapa Sayang? Sakit ya?”

“Memang sakit, tapi tidak sampai sakit banget. Tapi dada aku justru jadi lebih sensitif di masa menyusui seperti sekarang. Bisa kacau kan kalau aku lagi pengen tapi Mas nggak ada di sini!”

“Hahaa, iya sih. Nggak mungkin kan kamu tiba-tiba panggil Bapak-Bapak di cluster ini buat tolongin kamu.”

“Husshh, kamu ini kalau ngomong nggak pernah dijaga lho, Mas. Memangnya kalau nanti jadi kejadian beneran, kamu nggak akan nyesel?”

“Masa iya beneran bisa kejadian sih, Sayang? Memangnya aki-aki jelek itu masih masuk ke selera kamu yang tinggi? Mustahil!”

“Tapi...”

“Kalau pun kamunya mau, aku juga ragu kalau anunya mereka masih bisa berdiri. Jangan-jangan baru kamu pegang sedikit ujungnya udah langsung nyembur tuh cairan putihnya. Hahaa...”

Maya hanya merengut saat mendengar kata-kata suaminya tersebut. Ia tentu menolak apabila ada yang mengatakan bahwa ada kemungkinan dirinya tertarik dengan para pria tua yang entah kenapa justru memenuhi daerah Kembang Arum ini. Namun Maya juga tidak bisa mungkir bahwa dia merasakan gejolak yang aneh saat memeluk tubuh Pak Santo, atau saat memijat kaki Pak Hamzah.

“Aku berangkat sekarang ya, Sayang. Kamu baik-baik di rumah.”

“Iya, Mas.”



.::..::..::..::..::.



Baru beberapa jam ditinggal oleh sang suami untuk bekerja di pos pemantauan yang terletak di lereng Gunung Mandiri, Maya yang hanya berdiam diri di dalam rumah langsung merasa bosan. Karena itu, ia memutuskan untuk berkeliling di sekitar cluster tempatnya tinggal saat ini, sembari berkenalan dengan para tetangga barunya. Toh kalau dia perlu bantuan dan sang suami sedang tidak ada di rumah, siapa lagi yang bisa ia harapkan kalau bukan para tetangga.

“Eh, kebetulan anak kesayangan Mama belum tidur. Jalan-jalan sebentar yuk, Athar. Biar kamu kena angin dan bisa cepet bobo siang,” ujar Maya saat melirik ke arah anaknya yang masih tergeletak di atas tempat tidur.

Sang anak yang belum bisa bicara hanya tersenyum dengan manis, lalu tertawa-tawa dengan riang. Ia seperti mengerti kalau sang Mama hendak mengajaknya jalan-jalan, dan jadi bersemangat karenanya.

“Kamu ini, baru dibilang begitu saja sudah ketawa-ketawa. Sepertinya kamu memang nurunin karakter Mama, paling nggak bisa kalau lama-lama di rumah, selalu perlu refreshing,” ujar Maya kepada anaknya.

Perempuan tersebut pun langsung menyiapkan gendongan bayi yang biasa ia pakai dan mengenakannya. Sang bayi yang mungil dan lucu kemudian ia letakkan di atasnya, dengan posisi menghadap ke payudaranya. Maya memutuskan untuk tidak membawa keperluan tambahan Athar seperti popok dan cemilan, karena memang tidak ingin berkeliling terlalu jauh. Apabila sang anak tiba-tiba buang air kecil atau lapar, tinggal kembali saja ke rumah.

“Drrrrttt... Drrrrrtttt...”

Baru saja hendak melangkah ke luar rumah, Maya merasakan ponsel yang ada di kantong celananya sedikit bergetar, tanda ada sebuah pesan masuk. Ia pun bertanya-tanya siapa kira-kira yang mengirimi dia pesan di hari yang mulai menjelang siang ini.

“Apa jangan-jangan Mas Ervan tiba-tiba pekerjaannya sudah selesai, dan bisa langsung kembali pulang? Ah, tapi kok rasanya terlalu ngarep banget,” gumam Maya.

Dan benar saja, sebagai manusia memang sebaiknya tidak menggantungkan harapan terlalu tinggi, khawatir akan terjatuh dengan keras apabila harapan tersebut tidak kesampaian. Pesan tersebut memang datang dari seorang pria, tapi bukan dari pria yang paling ia sayang, melainkan pria yang paling ia benci.

“Astaghfirullah...”

Hampir saja ponsel tersebut melayang dari tangan Maya dan terjatuh ke lantai, karena saat ia membuka aplikasi pengiriman pesan, muncul sebuah foto close-up alat kelamin berwarna gelap. Baru setelah itu, ada pesan yang turut datang.

Kangen nggak sama pentungan hitam saya, Maya? Kamu pasti suka kan? Makanya sini kembali lagi ke kota, biar kamu dan saya bisa enak-enakan bersama, hehehe.”

Meski jijik, Maya sempat memperhatikan bentuk kemaluan tersebut yang memang terlihat cukup besar. Karena itu, darahnya pun terasa sedikit berdesir.

Saya yakin punya suami kamu pasti nggak sebesar ini kan? Kalau sama saya, kamu pasti akan merasa lebih puas. Suami kamu juga tidak perlu tahu tentang hubungan kita.”

Tapi perempuan tersebut tak bergeming, dan memutuskan untuk mengacuhkan pesan dari pria tersebut.

“Andai saja ada orang yang bisa membantu mengenyahkan Pak Ronggo dari hidupku, aku pasti akan sangat berterima kasih.”

Maya menghapus pesan itu.



.::..::..::..::..::.



Baru sekitar 10 menit berkeliling cluster, Maya terlihat melewati sebuah rumah bercat putih dengan beberapa tanaman di halamannya. Di balik pagar yang hanya setinggi pinggang, seorang pria paruh baya tampak tengah membuat pot beton dari adukan pasir dan semen. Beberapa pot yang sudah jadi terlihat tengah dikeringkan di sudut halaman.

Ibu muda yang tengah menggendong anaknya tersebut merasa mengenal sang pria, tetapi ragu untuk memanggil namanya. Bukan karena takut salah orang, melainkan karena merasa pakaian yang dikenakan pria itu seperti kurang pantas.

Siang-siang begini Si Bapak kok malah ngaduk pasir sambil telanjang dada gitu, cuma pakai celana pendek doang pula? Mana kelihatan jelas banget keringatnya bercucuran dari atas ke bawah. Memangnya nggak malu apa?

Maya pun berniat untuk langsung melewati rumah tersebut tanpa sedikit pun menyapa sang pemilik rumah. Namun baru saja ia hendak mengambil langkah maju, sang pria sudah terlebih dahulu menyadari keberadaan perempuan tersebut.

“Eh, ternyata ada Dek Maya. Sedang jalan muter-muter komplek ya?” Sapa sang pria sambil menyeka keringat yang menetes dari dahinya, membuat cairan tersebut berpindah ke lengan tangannya.

“I-Iya, Pak Hamzah. Tadi baru jalan-jalan, dan sekarang sebenarnya saya baru mau kembali lagi ke rumah.”

“Kalau mau ke rumah kok malah ke arah Barat, bukannya rumah kamu ada di arah Timur.”

“Hmm... Itu...”

Maya tampak tidak berkutik karena ia memang tengah berjalan meninggalkan rumahnya, bukan sebaliknya. Dengan begitu, pernyataannya barusan pun jadi tidak logis. Kebingungannya tersebut pun dimanfaatkan Pak Hamzah untuk menghentikan aktivitasnya, lalu mendekati tempat Maya berdiri.

“Sudah keliling ke mana saja, Maya? Sudah sampai ke ujung belakang cluster?” Tanya sang pria tua sambil tersenyum penuh arti.

Ia seperti tidak malu menunjukkan bentuk tubuh bagian atasnya yang tidak tertutup sehelai benang pun di hadapan Maya. Padahal, perempuan di depannya tersebut sudah berkali-kali memalingkan pandangan karena merasa risih.

“Baru juga keluar, Pak. Ingin cari angin segar sama Athar. Bapak sedang buat apa?”

“Oh, ini lho... Saya lagi bikin pot beton buat tanaman. Jadi nanti tinggal diisi tanah, biar rapih. Istri saya sedang gandrung-gandrungnya bercocok tanam, jadi minta dibuatkan beberapa pot seperti ini.”

“Kenapa nggak nyuruh tukang saja Pak untuk membuatkan seperti itu?”

“Lah saya kan memang tukang.”

“Eh, maksudnya bagaimana?”

“Sebelum pindah ke daerah Kembang Arum ini, saya kan tinggal di kota. Nah, di sana itu salah satu pekerjaan sampingan saya ya jadi mandor buat ngerjain proyek. Jadi kalau urusan ngaduk semen sama pasir begini sih, sudah jadi makanan sehari-hari saya. Buat apa nyuruh orang.”

“Ohh... Tapi sekarang masih suka terima pekerjaan sebagai tukang, Pak?”

“Ya, kadang-kadang saja. Maklum, sudah dimakan umur, hehehe.”

Nah itu tahu kalau sudah dimakan umur, makanya jangan suka goda-godain cewek muda, Pak.

Maya sebenarnya sudah ingin pergi meninggalkan rumah Pak Hamzah. Namun belum sempat ia pamit, seorang perempuan paruh baya tampak keluar dari rumah tersebut dan menghampiri mereka berdua.

“Walah, ada tamu ya ternyata,” ujar sang perempuan sambil tersenyum. “Kok nggak bilang-bilang tho, Pak.”

Saat posisi berdiri keduanya telah saling berdekatan, Maya pun langsung menjabat tangan perempuan tersebut. Meski sudah terlihat keriput di sana-sini, perempuan itu seperti masih bisa memancarkan kecantikannya yang pasti sangat luar biasa di masa lalu.

Cah ayu jenenge sopo?

“Nama saya Maya, Bu. Kalau Ibu?”

“Nama saya Mirna, Nduk. Istrinya Pak Hamzah.”

“Ini lho Bu, sing jenenge Maya. Penghuni baru cluster yang menempati rumah di pojok itu,” ujar Pak Hamzah saat melihat dua perempuan tersebut saling menyapa satu sama lain.

“Owalahh... Ternyata benar kata Bapak. Orangnya memang benar-benar cantik.”

“Bu Mirna ini bisa saja. Kalau di mata Pak Hamzah, pasti lebih cantik Ibu ke mana-mana.”

“Hahaa, bisa saja kamu. Anaknya sudah umur berapa, Nduk?” Tanya Bu Mirna sambil melirik ke arah Athar yang berada di gendongan Maya.

“Oh, baru satu tahun Bu.”

“Masih minum ASI?”

“Insya Allah masih, Bu. Saya rencananya mau kasih air susu sampai dia usia dua tahun.”

“Nah bagus kalau begitu. Jangan kayak kebanyakan ibu-ibu di kota. Belum apa-apa anaknya sudah berhenti minum air susu ibunya, dan langsung dikasih susu formula. Bukannya jadi tinggi, malah diabetes nanti.”

Mbok ya kalau ngobrol itu di dalam rumah gitu, jangan di depan pagar begini. Pamali kalau kata orang tua,” tiba-tiba Pak Hamzah mengingatkan.

Dalam hati, ia merasa canggung juga mendengar kedua perempuan tersebut bicara tentang air susu. Hal tersebut membuat Pak Hamzah tidak tahan untuk melirik ke arah payudara Maya yang memang sudah menjadi perhatiannya sejak pertama kali bertemu.

“Oh iya, saya sampai lupa karena keasyikan mengobrol. Masuk ke dalam dulu yuk, Nduk.”

“Hmm, mungkin kapan-kapan saja, Bu. Saya mau pulang dulu ke rumah,” jawab Maya.

Ia memang merasa enggan untuk mampir ke rumah tersebut karena kondisi Pak Hamzah yang hingga saat ini belum juga mengenakan pakaian untuk menutupi dadanya yang penuh keringat. Tidak mungkin kan kalau dia masuk ke dalam sementara Pak Hamzah harus diusir dulu ke tempat lain.

“Sudah ditunggu sama suaminya ya?”

“Hmm, suami saya kebetulan hari ini sedang tugas, Bu.”

“Lho, memangnya suami kamu itu kerja di mana tho, Nduk?”

“Di pos pemantauan gunung berapi.”

“Di mana itu?”

“Itu lho Bu, yang di lereng Gunung Mandiri. Kalau Ibu naik menyusuri jalur pendakian dari pos pertama, nanti akan ketemu bangunan bercat putih.”

“Bukannya itu jalur yang biasa Bapak susuri kalau sedang jalan-jalan ke gunung?”

Leres. Kemarin juga Bapak sempat ketemu Maya dan suaminya di sana.”

“Owalah, itu namanya pos penjagaan gunung berapi, tho. Kirain cuma bangunan lama yang dibiarkan begitu saja sama penduduk sekitar, bukan tempat orang kerja.”

“Hehehe, iya itu sekarang tempat kerja suami saya, Bu. Kami pun pindah ke sini karena suami saya dipindahkan kerja ke Gunung Mandiri, menggantikan pemantau sebelumnya yang juga dipindah ke gunung lain,” ujar Maya, “mereka bekerja dalam tim, tapi suami saya ditunjuk sebagai salah satu pemantau utama.”

“Kalau begitu daripada sendirian di rumah, mending kamu mampir dulu ke rumah. Sebentar saja. Mau kan, Nduk?”

“Hmm, bagaimana ya? Kebetulan anak saya kurang suka tempat baru, Bu. Takutnya nanti dia rewel,” jawab Maya yang masih mencari alasan untuk menghindari berdekatan dengan Pak Hamzah.

“Tapi itu anaknya juga sudah tidur.”

Maya melirik ke arah anaknya, dan ternyata memang benar. Sang bayi tampak sudah terlelap, dengan dada yang bergerak naik turun secara beraturan, tanda bahwa ia tengah beristirahat dengan tenang. Di sisi lain, Maya pun mulai merasa tidak enak kalau terus menolak, khawatir dianggap sombong oleh tetangga barunya itu.

“Ba-baiklah kalau begitu, Bu,” ujar Maya.

“Nah gitu dong, ayo masuk bareng saya, Nduk.”

“Bapak nggak diajak neh?” Tanya Pak Hamzah kepada istrinya.

“Ya ikut aja, tapi jangan lupa pakai baju dulu! Ngisin-ngisini wae.

“Oh iya, hehehe...”

Pak Hamzah hanya cengengesan melihat kedua perempuan tersebut berjalan santai menuju pintu rumahnya. Dari belakang, ia bisa melihat dengan jelas bagaimana bentuk pinggul Maya yang bergerak ke kiri dan kanan dengan gemulai. Celana panjang berbahan kain yang dikenakan ibu muda tersebut pun tak bisa menutupi bokongnya yang bahenol. Bahkan, Pak Hamzah merasa bisa melihat pinggiran celana dalam Maya yang nyeplak di balik celana panjangnya.

Nghh, apa rasanya ya kalau bisa merasakan nyodok-nyodok tubuh indahmu itu dari belakang, Maya? Pasti nikmat banget. Ugghhh...



.::..::..::..::..::.



Begitu masuk ke dalam rumah, Bu Mirna langsung mempersilakan Maya untuk duduk di sebuah sofa yang ada di ruang tamu. Ia kemudian mengangkat anaknya yang sudah tertidur dari gendongan, lalu membaringkannya di sofa. Perempuan muda tersebut pun menggunakan waktu untuk meregangkan tubuhnya yang sedikit pegal, meski baru beberapa menit menggendong sang buah hati berkeliling cluster.

“Saya buatkan minum dulu ya, Nduk. Kamu mau minum apa? Kopi atau teh mungkin?”

“Nggak usah repot-repot, Bu. Air putih saja.”

“Nggak ngerepotin kok. Lagipula kalau air putih kan Dek Maya bisa minum sendiri di rumah. Saya buatkan teh saja ya, Nduk? Ini teh spesial lho, pasti rasanya beda sama yang biasa kamu minum.”

“I-Iya Bu. Teh juga boleh,” jawab Maya yang tidak mau terlalu memperpanjang perdebatan basa-basi tersebut.

“Baiklah, sebentar saya buatkan dulu di dapur.”

Setelah Bu Mirna pergi meninggalkan Maya dan anaknya di ruang tamu, ibu muda jelita itu bisa melihat bentuk rumah yang ditinggali pasangan paruh baya tersebut. Secara umum, ukurannya sama persis dengan rumah yang ditempati Maya sekarang. Ya, namanya juga cluster, pasti bentuk rumahnya mirip-mirip semua.

Namun sang pemilik rumah telah melakukan beberapa modifikasi, seperti membuat sekat pemisah antara ruang tamu dan dapur. Maya jadi mempunyai ide untuk membuat sekat yang sama di rumahnya, agar tamu yang berkunjung tidak bisa langsung memandang ke seantero rumah. Ia sempat terpikir untuk meminta bantuan Pak Hamzah yang katanya seorang tukang bangunan, tapi ragu apakah itu adalah keputusan yang baik mengingat suaminya sekarang sedang sering tidak berada di rumah.

Apa jadinya kalau Pak Hamzah bekerja di rumah, sedangkan di dalamnya hanya ada aku dan Athar? Apakah dia akan…

Beberapa foto kebersamaan Pak Hamzah dan Bu Mirna terlihat tergantung di dinding, membuat Maya sedikit kagum akan kelanggengan rumah tangga mereka yang sudah berjalan puluhan tahun. Foto-foto tersebut merekam dengan baik betapa gagahnya Pak Hamzah di saat muda, serta betapa cantik istrinya bu Mirna dulu.

Sampai sekarang pun, Pak Hamzah dan Bu Mirna kelihatannya begitu bahagia. Kalau saja mereka berdua mempunyai momongan, pasti hidup mereka akan jauh lebih ceria.

Tak lama kemudian, Bu Mirna kembali ke ruang tamu, sambil membawa secangkir teh. Di belakangnya menyusul Pak Hamzah, yang kini sudah mengenakan kaos untuk menutupi tubuh bagian atasnya, sesuai perintah sang istri.

Hal itu pun membuat Maya sedikit bersyukur. Ia menarik napas lega.

Nah, begini dong. Ternyata masih tahu tata krama juga Bapak tua ini.

Mereka berdua pun duduk di sofa lain yang posisinya berhadapan dengan Maya, yang mulai merasa diperlakukan dengan begitu sopan dan terhormat oleh kedua tuan rumah tersebut.

“Silakan diminum dulu tehnya, Dek Maya.”

“Iya Bu. Terima kasih. Maaf neh jadi ngerepotin.”

“Nggak ngerepotin kok. Ayo cepat diminum, mumpung masih hangat.”

Maya coba mengangkat cangkir tersebut dan mendekatkannya ke bibir. Namun minuman tersebut ternyata masih terlalu panas. Karena itu, ia pun coba meniupnya sebelum kemudian meletakkannya kembali, tanpa menyeruput sedikit pun cairan di dalamnya. Agar tidak dianggap kurang sopan, Maya pun coba mengalihkan pembicaraan ke topik lain, sambil menunggu tehnya menjadi lebih hangat dan bisa diminum.

“Saya lihat fotonya Bapak sama Ibu banyak sekali, sepertinya sering banget bepergian dan jalan-jalan keluar kota ya di masa muda?”

“Hahaha, hanya untuk melewatkan masa dan menyimpan kenangan saja, Dek Maya. Di masa muda dulu kami sama-sama suka traveling. Kalau sekarang saya lebih suka cooking, sedangkan Pak Hamzah ini malah cuma suka mancing sama nyari kepiting.”

Pak Hamzah menimpali, “asal nggak naik kuda lumping sambil makan beling.”

Mereka tertawa.

“Ngomong-ngomong, Ibu sama Bapak dulu bagaimana bisa ketemu? Seperinya klop banget satu sama lain.”

Mendengar pertanyaan tersebut, Pak Hamzah dan Bu Mirna pun saling menatap, lalu saling melempar senyum.

“Eh, mohon maaf ya kalau pertanyaan saya dirasa sedikit lancang,” ujar Maya lagi.

“Tidak lancang kok, Nduk. Saya cuma ragu apakah kamu beneran mau dengar cerita pasangan tua seperti kami? Takutnya malah bosan, hehehe.”

“Apabila Bu Mirna berkenan saja.”

“Baiklah. Jadi begini, dulu itu orang tua saya pernah ingin membangun rumah, dan menyewa beberapa tukang. Nah, salah satu tukangnya ya Pak Hamzah ini. Dan waktu kami berdua bertemu, apa ya namanya, mungkin jatuh cinta pada pandangan pertama, hehehe,” jelas Bu Mirna.

“Wah, romantis sekali ya, Bu. Seperti cerita sinetron aja.”

“Judul sinetronnya apa tuh, Maya?”

“Cintaku bersemi di antara adukan pasir dan semen, hahaa.”

Mereka bertiga pun tertawa, meski masih sedikit tertahan karena khawatir sang bayi yang tengah terlelap di ruang tamu tersebut jadi terbangun.

Di saat yang sama, Maya teringat bahwa sebelumnya ia berhasil menggali sedikit cerita tentang kasus kematian keluarganya dari Pak Hamzah. Ia membayangkan bahwa ibu-ibu seperti Bu Mirna pun pasti punya informasi lebih tentang kejadian tersebut. Bukannya para perempuan itu biasanya lebih tahu gosip dibanding para lelaki?

“Bu Mirna, saya sebenarnya punya sebuah pertanyaan.”

“Pertanyaan apa tuh, Nduk? Kalau saya tahu, pasti akan saya jawab.”

“Ibu pernah tahu tentang kejadian aneh di desa ini?”

“Hmm, maksudnya kejadian aneh seperti apa ya Dek Maya? Kejadian kemunculan genderuwo atau kuntilanak gitu? Kalo gosip soal tuyul atau pocong lontong sih ada dulu, tapi sudah lama sekali.”

“Hahaa, bukan yang mistis-mistis gitu Bu.”

“Lalu kejadian aneh apa yang dimaksud?”

“Hmm, mohon maaf kalau saya menyela. Tapi ini maksudnya soal hobi yang kemarin Dek Maya ceritakan itu ya?” Tanya Pak Hamzah yang masih ingat dengan obrolan mereka saat pulang dari lereng Gunung Merapi di hari sebelumnya.

“Hehehehe, iya Pak. Itu maksud saya.”

“Maksudnya hobi bagaimana tuh Pak?”

“Jadi begini, Bu. Dek Maya ini salah satu hobinya adalah suka sekali dengan kejadian-kejadian misterius dan mencatatnya untuk entah dijadikan buku atau apa, dan Bapak bilang kalau satu-satunya kejadian yang membuat polisi sampai datang ke sini ya yang kasus satu keluarga terbakar yang dulu itu pernah terjadi, itu lho yang di rumah sebelah sana. Sepertinya Dek Maya masih ada rasa penasaran soal kasus tersebut.”

“Oh, ceritanya Pak Budi dan Bu Sulastri itu ya?”

Leres, Bu.”

Mendengar nama kedua orang tuanya disebut, nafas Maya seperti tercekat. Kenangan akan masa-masa indah bersama ayah dan ibunya seperti kembali ke permukaan, memunculkan rasa duka yang begitu melimpah ketika keduanya pergi untuk selamanya. Apalagi, sang adik yang bernama Retno pun turut berpulang ke haribaan Tuhan di kejadian yang sama.

Maya memang tidak pernah menunjukkan kesedihannya di depan sang suami, sehingga Ervan mungkin menganggap bahwa istrinya tersebut memang bisa mengatasi rasa sedih dengan baik. Padahal, saat tengah sendirian di rumah, Maya selalu menangis sekeras-kerasnya untuk meratapi kepergian keluarganya. Selain itu, ia pun terus menyimpan dendam akan kematian mereka, yang ia yakini bukanlah karena sebab yang biasa, bahkan hingga sekarang. Perempuan tersebut bahkan bertekad untuk melakukan segala cara agar bisa membalaskan dendam kepada orang yang telah menyebabkan kejadian tersebut.

“Saya ingat kejadian tersebut karena keluarga yang meninggal itu sebenarnya cukup ramah. Walau bisa dibilang masih pendatang baru, mereka selalu menyapa setiap warga di sekitar kampung sini, ya kalau dibayangkan mirip lah dengan kamu sekarang Maya,” jelas Bu Mirna, “datang dan langsung akrab dengan kami semua.”

“Ibu juga pernah ngobrol dengan mereka?”

“Ya pernah, tapi tidak terlalu sering karena rumah mereka kan cukup jauh dari sini. Cuma ya beberapa penduduk suka cerita berbagai hal tentang mereka, dan saya sering curi-curi dengar.”

“Memang ada cerita apa tentang mereka, Bu?”

“Hmm, setelah kejadian kebakaran itu, ada yang bilang kalau si Bapak sempat terjerat utang yang nilainya sangat besar. Karena itu, ada yang bilang jangan-jangan mereka sekeluarga bunuh diri karena tidak bisa membayar utang tersebut.”

Maya langsung terhenyak saat mendengar informasi tersebut. Ia tidak pernah tahu kalau Ayahnya mempunyai utang. Apalagi sampai terpikir bahwa ia akan sampai bunuh diri untuk menutupi utang-utang tersebut. Ayahnya bukan tipe orang yang seperti itu. Sedari kecil, Maya selalu diajarkan untuk mencari jalan keluar dari semua permasalahan hidup, dan prinsip tersebut selalu ia pegang sampai sekarang.

Sepertinya apa yang diceritakan Bu Mirna masih berdasar gosip saja, tapi kalau sampai benar Ayah mempunyai utang yang tak terbayarkan, jangan-jangan karena itulah ada orang yang berniat jahat pada keluargaku? Aku harus mengorek informasi lebih lanjut tentang hal itu dari Bu Mirna.

“Terus bagaimana Bu?”

“Ya nggak ada terusannya, Nduk. Ibu cuma tahu sampai situ saja. Karena setelah mereka meninggal dan rumahnya terbakar habis, tidak ada petunjuk apapun yang bisa dijadikan bukti. Polisi pun memutuskan untuk menghentikan penyelidikan tidak lama sesudahnya dan menyatakan kebakaran itu akibat kecelakaan karena kelalaian.”

Jawaban tersebut kembali membangkitkan rasa sakit hati di dada Maya. Ia membayangkan kalau para polisi setempat mau menyelidiki kasus tersebut secara baik dan profesional, mungkin ia tidak perlu bertanya-tanya tentang penyebab kematian orang tuanya seperti ini. Mereka seharusnya menelusuri semua motif yang mungkin muncul, dan mengejar siapa pun yang berpotensi menjadi pelakunya.

“Ibu tinggal ke belakang sebentar ya, Nduk. Tadi Ibu sekalian memanaskan sayur, siapa tahu sekarang sudah mendidih.”

“Oh iya Bu, silakan.”

“Saya juga mau nemenin Ibu ke dapur ya, Maya,” kali ini giliran Pak Hamzah yang pamit. “Kamu nggak apa-apa kan kalau kami tinggal sebentar?”

“Iya, nggak apa-apa kok Pak.”

Dalam hati, Maya justru bersyukur karena tidak perlu duduk berduaan dengan Pak Hamzah, yang sedari tadi terus saja memandang ke arah tubuhnya yang sintal ini, terutama di bagian payudaranya. Ukurannya yang membusung karena memang tengah berisi air susu untuk dinikmati sang buah hati, membuat bagian tubuhnya tersebut juga turut menjadi perhatian lawan jenis, baik yang muda maupun yang tua seperti Pak Hamzah.

Ia sebenarnya sudah ingin segera pulang, agar tidak perlu berlama-lama di rumah ini. Namun di sisi lain, Maya juga berniat untuk mengorek lebih banyak hal dari Bu Mirna, yang sepertinya mempunyai informasi lebih banyak tentang kejadian tragis yang menimpa orang tuanya.

Bu Mirna bahkan sempat bertemu dengan kedua orang tuaku. Mungkin saja ia bisa memberi penjelasan tentang detail kehidupan mereka di lereng Gunung Mandiri ini, sebelum kematian mereka.

Demi mengisi waktu karena ditinggal sendirian, Maya mengambil HP untuk memeriksa apakah ada pesan yang masuk. Namun ternyata ponselnya tersebut sangat sepi dari pesan, layaknya kuburan. Suaminya yang biasa selalu memeriksa kabar pun tidak kelihatan mengirim pesan sama sekali.

Saat Maya sudah hampir bosan dan bingung harus berbuat apa, ia mendengar sayup-sayup pembicaraan Pak Hamzah dan istrinya di dapur. Alih-alih menggunakan Bahasa Indonesia seperti biasa, mereka justru menggunakan bahasa daerah, mungkin agar Maya tidak mengerti obrolan mereka apabila sempat mendengar. Untungnya, Maya justru memahami bahasa tersebut.

“Ibu kenapa nggak kasih tahu aja lanjutan dari cerita tadi, yang tentang Pak Budi dan Bu Sulastri? Dan siapa tuh nama anak mereka yang ikut mati waktu itu?”

“Retno?”

“Iya, itu maksud Bapak. Habis kebiasaan dipanggil No, No, gitu sih.”

“Tadi saya mau menjelaskan, tapi takut malah bahaya.”

“Bahaya bagaimana?”

“Ya, bahaya. Kita kan nggak tahu bagaimana kejadian sebenarnya. Khawatir jadi fitnah. Lagipula, untuk apa pula Maya perlu tahu keluarga itu punya utang sama siapa? Dia kan hanya orang baru yang penasaran cerita-cerita aneh di sini.”

“Iya sih. Tapi...”

“Tapi apa tho, Pak?”

“Menurut Ibu, memangnya mereka benar-benar punya utang?”

“Sudah beberapa ibu-ibu yang bilang, jadi kecil kemungkinannya kalau informasi itu salah.”

“Utangnya sama siapa?”

“Hush, jangan dibicarakan di sini, nanti Maya dengar bagaimana? Dia kan masih bangun. Bapak tahu sendiri betapa tipisnya dinding di rumah ini.”

“Coba Bapak intip sebentar.”

Mendengar kata-kata Pak Hamzah tersebut, Maya langsung panik dan berusaha berpikir dengan cepat. Apabila ia membiarkan pasangan suami istri tersebut menemukannya masih terjaga, mereka pasti tidak akan melanjutkan obrolan mereka. Kemungkinan terburuknya, ia mungkin akan kehilangan kesempatan untuk mendapat informasi tentang kematian keluarganya, yang sudah sedikit lagi bisa ia dapatkan.

Maya pun mengambil pilihan lainnya, yaitu mengikuti sangkaan pasangan suami istri tersebut bahwa ia tengah tertidur. Mungkin dengan begitu, Bu Mirna dan Pak Hamzah bisa lebih ‘cerewet’ berbagi informasi.

Perempuan tersebut langsung pura-pura memejamkan mata. Ia melakukannya setenang mungkin, agar tidak tampak mencurigakan. Kepalanya pun ia rebahkan di punggung sofa, dengan posisi kepala sedikit menoleh ke samping, agar posisi tidurnya terlihat lebih natural.

“Orangnya malah sudah tidur Bu,” ujar Pak Hamzah saat melihat ke arah ruang tamu, “sepertinya kecapekan.”

Maya hanya tertawa saja dalam hati mendengar aktingnya berhasil menipu pria tua tersebut. Ia pun tak lupa memicingkan telinga, agar tetap bisa mendengar percakapan pemilik rumah tempatnya berada saat ini.

“Hah? Masa sih? Masa bisa gitu ketiduran di rumah orang? Coba Ibu lihat,” terdengar suara Bu Mirna yang seperti tidak percaya.

Karena situasi rumah yang cukup sepi, Maya jadi bisa mendengar langkah kaki Pak Hamzah dan Bu Mirna yang kian lama kian dekat dengan tempatnya berbaring. Keberadaan Bu Mirna membuat perempuan tersebut merasa sedikit tenang. Tak mungkin kan Pak Hamzah berbuat macam-macam di depan istrinya sendiri?

“Wah benar, Pak. Dek Maya ternyata sudah tidur pulas. Tapi kok cepet banget sih?” Ujar Bu Mirna kembali dalam Bahasa Indonesia, karena merasa orang ketiga di rumah tersebut sudah tidak bisa mendengar pembicaraan antara dirinya dengan sang suami.

“Mungkin memang dia sudah lelah setelah berjalan keliling cluster. Plus ada efek dari hal ‘itu’ juga,” jawab Pak Hamzah.

Hati Maya tiba-tiba menjadi tegang. Ia merasa bingung apa sebenarnya yang dimaksud Pak Hamzah dengan hal ‘itu’, yang menjadi salah satu faktor ia bisa tertidur dengan cepat. Apa pun itu, Maya punya firasat bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang baik. Apalagi setelah itu, ia bisa merasakan bagaimana Pak Hamzah duduk tepat di sampingnya, dan tidak ada tanda-tanda sang istri coba melarangnya.

“Dek Maya cantik banget kan Bu?”

“Iya, Pak. Ayune wes ra karuan. Pantes saja Bapak ngomongin dia terus, sejak dia pindah ke cluster ini.”

Firasat buruk Maya tampaknya semakin mendekati kenyataan. Ia tidak tahu seberapa normal obrolan yang baru saja ia dengar. Namun yang pasti, ia tidak akan mungkin membicarakan kecantikan perempuan lain di hadapan Mas Ervan.

“Untung Dek Maya sudah tidur ya, Bu. Sehingga dia tidak akan mendengar percakapan kita.”

“Iya, Pak. Nggak mungkin kan saya ngomong begini kalau Dek Maya masih terjaga.”

Woy, saya sekarang masih terjaga dan bisa mendengar semua kata-kata kalian. Dasar pasangan kurang ajar!

Maya hanya bisa meyimpan dongkol di dalam hati, karena ia sendiri masih takut untuk membuka mata, dan membongkar kedoknya yang tengah pura-pura tertidur.

Jantung Maya berdegup lebih kencang saat ia merasakan sentuhan tangan Pak Hamzah yang sedikit kasar di pipinya. Sentuhan tersebut menjalar dari bagian atas wajahnya ke bawah, tepat di tepian jilbab yang ia kenakan. Lama kelamaan, sentuhan tersebut pun berubah menjadi usapan.

“Lihat deh Bu, pipinya Dek Maya ini tembam sekali kan? Persis pipi Ibu waktu masih muda dulu.”

Sudah kepalang tanggung, Maya memutuskan untuk tetap terdiam di tengah kepura-puraannya. Usapan demi usapan yang dilancarkan pak Hamzah jelas membuatnya risih. Namun, tiba-tiba terbangun begitu saja pun dirasa bukan keputusan yang baik. Selain hal itu bisa membuat hubungan dia dengan pasangan suami istri tersebut memburuk, ia juga mungkin tidak akan pernah mendapatkan jawaban atas kematian orang tuanya.

Sejauh mana sih Pak Hamzah ingin menyentuh tubuhku? Paling juga tidak akan lebih jauh dari ini. Karena tidak mungkin kan Bu Mirna akan mengizinkan hal tersebut. Lagipula, apa mereka tidak takut kalau aku tiba-tiba terbangun kalau mereka memutuskan melakukan hal yang lebih gila lagi?

“Tapi Ibu tahu nggak, apa yang bikin saya begitu tergila-gila sama Dek Maya?”

“Apa Pak?”

“Ini lho, Bu. Susunya.”

A-apa!? Gila! Bajingan tua ini berani sekali melakukan hal seperti ini di depan istrinya! Apa bu Mirna tidak… tidak… tidak mungkin Pak Hamzah berani.

Maya tidak akan pernah menyangka kalau pria tua yang kemarin selalu berbaik muka di hadapannya, kini justru berani menyentuh payudaranya secara langsung. Maya memang sadar kalau sejak pertama kali mereka bertemu, Pak Hamzah sudah melirik-lirik ke arah gunung kembarnya tersebut. Namun bukankah semua lelaki mempunyai tendensi untuk melirik bagian tubuh perempuan yang membuat mereka terangsang? Dan hal itu tidak masalah menurut Maya, selama mereka tidak melakukan aksi lebih lanjut.

Namun sekarang, Pak Hamzah sudah berani menyentuh langsung buah dadanya. Meski payudara tersebut masih tertutup oleh pakaian, tetap saja ini namanya pelecehan! Dan lebih gilanya lagi, pria tua itu melakukan aksi terkutuk tersebut di hadapan Bu Mirna, istrinya sendiri, yang entah kenapa juga seperti tidak ada keinginan untuk melarang sang suami.

Sialaaaannn... Apa yang harus aku lakukan di situasi seperti ini? Kenapa bu Mirna tidak marah atau melarang!? Ah, sial. Jangan-jangan mereka berdua sama-sama punya penyakit?

Maya yang bingung akan keputusan yang perlu dia ambil.

Awalnya Pak Hamzah memang hanya mengelus dan mengusap kedua payudara Maya dari luar, karena tubuh perempuan tersebut masih tertutup blus lengan panjang yang terbuat dari katun. Namun sentuhan tersebut kemudian berubah menjadi remasan, seiring dengan semakin gemasnya sang pria tua pada tubuh Maya yang begitu menggiurkan.

“Bajunya tipis sekali lho, Bu. Saya jadi bisa merasakan bentuk tetek di dalamnya, benar-benar lembut,” desis Pak Hamzah.

“Nggak mau dikeluarkan saja teteknya, Pak?”

“Memangnya bisa, Bu?”

“Itu kan Maya sedang pakai baju menyusui. Di bagian dadanya ada celah yang bisa digunakan untuk mengeluarkan payudara, agar bisa lebih mudah saat anaknya ingin minum susu.”

“Masa sih?”

Ketiadaan buah hati di tengah-tengah bahtera pernikahan Pak Hamzah dan Bu Mirna, membuat sang suami tidak terlalu mengerti bahwa ada pakaian yang sengaja didesain dengan model seperti itu. Ia memang melihat ada sebuah lekukan di kiri dan kanan payudara Maya, tetapi awalnya ia hanya menganggap lekukan tersebut sebagai motif biasa saja.

Pria tua tersebut kemudian coba menelusupkan tangannya ke dalam lekukan tersebut, dan voila... ia bisa langsung menyentuh kulit halus nan lembut di buah dada Maya. Bentuk bra yang dikenakan perempuan tersebut pun hanya menutupi di bagian bawah saja, agar mudah dikeluarkan ketika sang buah hati ingin menetek. Namun bra dengan model seperti itu justru membuat Pak Hamzah bisa dengan mudah mengeluarkan dan menyentuh puting payudara perempuan cantik berjilbab tersebut.

Sentuhan tiba-tiba dari sang pria tua seperti mengalirkan energi listrik bertegangan tinggi ke sekujur tubuh Maya. Perempuan tersebut berusaha bertahan demi mendengar informasi lebih lanjut dari Bu Mirna tentang kejadian tragis yang menimpa keluarganya.



Tetapi colekan dan sentuhan jemari Pak Hamzah yang sudah keriput di ujung putingnya membuat tubuh ibu muda tersebut sedikit menegang. Apalagi ketika jari telunjuk pria tua tersebut bergerak memutar-mutar di daerah areolanya.

Ngghh... Tahu gitu aku tadi pakai baju biasa saja, tidak perlu pakai baju menyusui seperti ini. Habis lah aku jadi bulan-bulanan bandot tua seperti Pak Hamzah.

“Wah benar, Bu. Jadi mudah dikeluarkan teteknya Dek Maya. Hehe.”

“Apa Ibu bilang. Para perempuan muda sekarang sukanya pakai busana seperti itu kalau sedang menyusui, agar tidak repot kalau ingin kasih nenen.”

“Bapak juga jadi lebih mudah sih buat nenen sama Dek Maya. Hehe.”

Perlahan tapi pasti, Pak Hamzah terus mendekatkan wajahnya ke buah dada perempuan cantik tersebut. Maya bisa merasakan betapa hembusan nafas sang pria tua begitu menderu, sehingga hembusan udara yang hangat bertubi-tubi menyapu ujung putingnya yang kini sudah mengacung tegak. Ingin sekali rasanya Maya menggeser sedikit posisi tubuhnya, agar bisa menjauh dari Pak Hamzah. Namun ia tahu bahwa itu tidak mungkin ia lakukan.

Karena itu, bibir Pak Hamzah pun bisa dengan mudah menyentuh ujung puting Maya. Pria tua tersebut kemudian turut menjulurkan lidahnya untuk menjilat puting berwarna kecoklatan tersebut, sebelum kemudian memasukkannya ke dalam mulut.

Ketika puting tersebut telah berhasil terperangkap di rongga mulutnya, Pak Hamzah kemudian memainkan daging lembut nan mungil itu dengan lidahnya yang kasar. Ke atas, ke bawah, lalu dengan gerakan memutar. Ujung lidah Pak Hamzah tak henti-henti menowel puting perempuan muda tersebut. Hingga akhirnya, sesuatu yang sudah sangat ia impikan berhasil mengucur keluar dan membasahi rongga mulutnya, sebuah cairan berwarna putih yang tidak seharusnya berada di sana.

Mata Pak Hamzah sontak terbelalak, merasakan cairan yang rasanya ternyata cukup manis, meski tanpa gula buatan. Cairan tersebut tidak kental, sehingga bisa langsung meluncur masuk ke kerongkongan pria tua tersebut. Dan ketika lidahnya mengusap kembali puting payudara Maya yang masih bersarang di dalam mulutnya, cairan tersebut pun kembali keluar, membuat Pak Hamzah menjadi ketagihan.

“Ouuughh…”

“Kenapa, Pak? Kok jadi merem melek begitu?” Tanya Bu Mirna yang mulai khawatir karena suaminya hanya diam saja saat mengemut payudara Maya.

“Rasanya enak, Bu.”

“Apa yang enak, Pak?”

“Susunya Dek Maya.”

“Oh, keluar ya susunya?”

“Iya, Bu. Ternyata begini ya rasanya air susu seorang perempuan muda, manis tapi gurih.”

Bu Mirna pun tersenyum melihat tingkah suaminya. Dalam hati, ia menyesali nasib karena tidak pernah mempunyai keturunan, yang membuatnya tidak bisa mempunyai air susu yang bisa membuat suaminya ketagihan seperti itu. Namun karena rasa cintanya yang begitu melimpah, Bu Mirna pun ikut bahagia melihat suaminya merem melek seperti itu.

Maya sebenarnya masih berharap Bu Mirna akan marah ketika melihat tingkah laku suaminya yang sudah kelewatan ini. Namun harapan Maya langsung sirna begitu mendengar kata-kata perempuan paruh baya tersebut setelahnya.

“Untung tadi Ibu kasih obat tidur dengan dosis yang cukup banyak di tehnya Dek Maya ya, Pak. Meski belum habis, dia sudah tidur nyenyak sekali seperti ini.”

“Iya Bu. Memang Ibu ini pasangan idaman banget. Istri mana coba yang mau bantu suaminya untuk dapetin cewek bahenol seperti Dek Maya ini, hehe.”

“Selama Bapak senang, apa pun akan Ibu lakukan, Pak.”

Sialaaaaannn... Ternyata mereka berdua memang sudah sekongkol untuk membuatku tertidur, dan melakukan pelecehan terhadap tubuhku. Dasar pasangan edan!!

Meski hatinya seperti mendidih karena merasa dilecehkan tanpa persetujuannya, namun ia tidak bisa memungkiri bahwa tubuhnya turut merasakan sebuah sensasi yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Sang suami memang cukup sering memainkan payudaranya, termasuk mengemut puting dadanya.

Namun aktivitas tersebut seperti terhenti saat Maya mulai hamil hingga sekarang ketika Athar sudah lahir ke dunia. Ketika ditanya, Ervan menyatakan enggan mengecup-ngecup payudara Maya karena khawatir air susunya keluar, dan sang suami seperti menjadi saudara sepersusuan anaknya sendiri.

Itulah mengapa Maya memang tidak pernah tahu bagaimana rasanya ketika air susunya dihisap oleh sosok selain buah hatinya tersebut. Apalagi, sosok tersebut adalah tua bangka berotak mesum seperti Pak Hamzah, sungguh sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Ku-kurang ajar! Entah kenapa emutan Pak Hamzah di putingku ini justru membuatku terangsang. Harusnya kan aku tidak boleh seperti ini! Atau jangan-jangan ini adalah efek aku terlalu lama ditinggal oleh Mas Ervan? Celakaaa! Kalau begini terus…. Aku tidak akan kuat untuk…

Maya sedikit bersyukur karena ia sebenarnya belum meminum teh yang disajikan Bu Mirna sama sekali, sehingga tidak ada efek apapun dari obat tidur yang ternyata telah dimasukkan ke dalamnya. Tapi apa gunanya juga kalau sekarang ia justru tidak bisa bangun dari tidur pura-puranya, dan melabrak pasangan paruh baya tersebut.

Maya sempat berkeinginan untuk mengakhiri aksi palsunya tersebut, tetapi Pak Hamzah dan Bu Mirna malah melanjutkan obrolan tentang kasus kematian keluarganya.

“Tapi Ibu benar-benar tahu siapa orang yang dihutangi oleh Bapak keluarga yang meninggal itu?”

“Tahu lah, Pak.”

“Siapa memangnya?”

“Dia berutang pada salah satu anggota keluar Sukir.”

“Yang mana, kan ada tiga tuh? Pak RT Sukirman, Sukirno, atau bujang lapuk Sukirlan?”

“Nah, kalau itu Ibu nggak tahu tepatnya si Bapak utang sama yang mana. Karena yang melakukan penagihan itu kan si Pak Barsono, dan dia memang bekerja untuk ketiga kakak-beradik Sukir. Jadi ya nggak jelas juga dia menagih untuk siapa.”

“Ibu nggak pernah tanya langsung sama mereka?”

Wedi, Pak. Mereka bertiga kan mata cewekan. Yang muda dan yang tua, semuanya juga diembat sama mereka. Memangnya Bapak mau kalau Ibu diapa-apain sama mereka?”

“Ya nggak mau lah, Bu.”

“Makanya.”

“Susah memang kalau sudah punya utang sama mereka, karena pengaruh mereka bertiga kan sangat besar di kampung ini.”

“Makanya bapak juga hati-hati. Tiap malam masih suka begadang main catur sama Pak Sukirman, tho? Awas saja kalau sampai terjebak jadi bagian dari gerombolan mesum mereka.”

“Tapi kalau Bapak mesum sambil ngelonin Dek Maya ya, boleh kan Bu? Hehe.”

“Selama Bapak ngomong sama Ibu, dan ngelakuinnya juga di hadapan Ibu. Nggak apa-apa. Tapi...”

“Tapi apa Bu?”

“Tapi emangnya Bapak cuma mau ngelonin Dek Maya saja? Nggak mau ngelonin Ibu juga?”

“Habis puas ngelonin Dek Maya, ya ngelonin Ibu juga, hehe.”

“Dasar laki-laki, kalau sudah punya yang muda, selalu menomor duakan yang tua.”

“Duh Ibu kok ngambek sih, hehehe.”

“Memangnya masih kuat main lebih dari satu ronde?”

“Ya dibantu dengan obat kuat sedikit-sedikit boleh lah. Hehe.”

Obrolan mesum dengan istrinya tersebut membuat Pak Hamzah jadi makin bergairah. Seperti tak puas dengan air susu Maya yang hanya keluar sedikit-sedikit, ia pun menyedotnya dengan lebih kuat, agar cairan gurih tersebut bisa keluar lebih banyak. Ia pun tampak seperti bayi tua yang sedang menetek ke payudara Maya.

“Sluurrpphh... Sluurrrppphhh...”

Mulai terdengar bunyi kecipak yang terbentuk dari pertemuan air liur sang pria tua dengan kulit lembut di buah dada Maya. Suara tersebut bahkan sampai memenuhi seantero ruangan, menambah panas suasana di rumah tersebut.

Setelah sekitar 10 menit menyedot air susu sang ibu muda berparas cantik itu tanpa henti, Pak Hamzah bisa merasakan bagaimana penisnya kini sudah begitu tegak berdiri di balik celana. Ia tidak tahan untuk segera membuka seluruh pakaian ibu muda yang tengah berbaring pulas di hadapannya, dan menikmati tubuh indahnya.

“Tempik cewek cantik kayak Dek Maya ini pasti legit banget rasanya. Nggak tahan banget deh buat segera nyelupin kontol hitamku yang besar ini ke dalam tempik sempit itu, ughh. Kapan lagi coba aku bisa dapat kesempatan seperti ini,” ujar Pak Hamzah.

Namun tiba-tiba, ingatan Pak Hamzah melayang ke kejadian semalam, saat ia tengah berkumpul dengan Pak Santo, Pak Sukirman dan Pak Barsono, di pos ronda. Ia tidak bisa melupakan kata-kata Pak Sukirman, yang meski ditujukan untuk Pak Santo, tetap masuk ke dalam hati Pak Hamzah.

“Akan lebih enak kalau para bidadari itu mau kasih memeknya ke kita secara sukarela, tanpa paksaan. Mereka naik ke atas tubuh kita dengan kemauan mereka sendiri, terus naik turunin sendiri pinggulnya di atas pangkuan kita. Behh, pasti lebih legit rasanya.”

Pak Hamzah pun tersenyum akan rencana yang tengah coba ia susun untuk bisa mendapat kepuasan menikmati tubuh Maya di lain waktu, tanpa perlu membuat perempuan tersebut tidak sadar seperti sekarang.

“Ibarat lagi ngejar ayam, kamu itu jangan cuma bisa lari ke sana ke sini nggak pakai perhitungan. Yang ada ya lari semua itu ayam-ayam. Bagaimana sih?”

Perkataan lain dari Pak Sukirman kembali meresap ke pikiran Pak Hamzah. Seketika, pria tua tersebut merasa lebih cerdas berpuluh-puluh kali lipat dibanding sebelumnya. Ia memutuskan bahwa ini bukanlah saat yang tepat untuk menyetubuhi Maya.

Karena itu, tiba-tiba ia melepaskan kulumannya dari puting payudara Maya, lalu menoleh ke arah istrinya.

“Bu...”

“Ya, Pak?”

“Bapak sudah puas neh. Kita lanjut main di kamar yuk.”

“Bapak yakin? Setelah ini mungkin Bapak nggak akan punya kesempatan menikmati tubuh Maya seperti sekarang lho.”

“Yakin, Bu.”

“Baiklah kalau itu mau Bapak. Ibu tunggu di kamar ya. Bapak benahi dulu pakaiannya Dek Maya. Biar dia tidak curiga ketika bangun nanti.”

“Siap, Bu.”

Dengan perlahan, Pak Hamzah pun kembali memasukkan payudara Maya yang membusung itu ke dalam tempatnya semula. Ia pun tidak lupa mengambil secarik tisu untuk mengelap ujung puting buah dada tersebut, agar tidak meninggalkan bekas sama sekali. Sebelum benar-benar meninggalkan perempuan cantik itu, Pak Hamzah menyempatkan diri untuk mengecup bibirnya yang indah.

“Cuppp... Manis sekali bibir kamu, Maya. Seperti madu yang baru diambil dari sarang lebah, hehehe. Tunggu saatnya nanti, kamu akan bertekuk lutut di hadapanku.”



.::..::..::..::..::.



Ketika sudah yakin kalau Pak Hamzah dan Bu Mirna sudah masuk ke dalam kamar, seperti yang mereka berdua katakan tadi, Maya pun bangkit dari akting tidurnya. Ia coba melihat sekeliling dan langsung merasa aman, karena memang ia hanya sendirian di ruang tamu tersebut.

Ketika melirik ke samping, sang anak tampak masih tertidur pulas, tanpa mengetahui apa yang baru saja terjadi kepada Mamanya.

Maya menghembuskan nafas panjang-panjang, demi mengeluarkan kekesalan dan kemarahan yang selama ini ia tahan. Ia sedikit menyesali keputusannya untuk diam saja saat diperlakukan seperti itu oleh Pak Hamzah, tanpa sedikit pun perlawanan.

Sial. Kenapa aku dengan tololnya membiarkan dadaku dinikmatin sama bandot tua seperti Pak Hamzah? Kenapa aku malah diam saja? Bodoh! Karena tidak ingin ada masalah, karena takut, atau karena… enak?

Meskipun marah, Maya juga tidak bisa memungkiri bahwa rangsangan yang diberikan Pak Hamzah telah membuat libidonya meninggi. Saat ujung putingnya diemut-emut oleh pria tua tersebut, Maya sebenarnya tidak tahan untuk mengeluarkan desahan. Ia bahkan sampai menggigit bibir bawahnya agar suara birahinya tidak terdengar keluar, dan untung saja Pak Hamzah tidak sampai menyadari hal tersebut. Bila tidak, akting tidur yang dilakukan perempuan itu pasti akan langsung ketahuan.

Maya kemudian memasukkan tangannya ke balik blus katun yang ia kenakan, dan menyentuh puting payudaranya yang baru saja disedot oleh Pak Hamzah, hingga air susunya keluar. Ada sedikit rasa gatal yang tertinggal di situ, yang seperti memantik sebuah hasrat terpendam di dalam tubuh perempuan cantik itu.

Ketika tangannya merogoh ke bagian selangkangannya, Maya menemukan bahwa celah surgawinya pun telah sedikit lembab akibat rangsangan bertubi-tubi yang baru saja ia terima. Ia pun jadi rindu perasaan melayang saat kemaluannya tersebut dipenuhi oleh penis sang suami saat mereka tengah bersetubuh.

Sialaaaaannn... Kenapa aku bisa-bisanya horny sama pria tua bangka seperti Pak Hamzah sih? Sampai gatel semua gini tetek sama memek aku? Bandot tua sialaaaaaan!

Namun Maya kemudian teringat alasan mengapa ia memutuskan untuk tetap pura-pura tidur, meski akhirnya harus dilecehkan oleh Pak Hamzah. Karena itu, ia langsung membuka ponsel untuk mencatat semua pembicaraan pasangan suami istri pemilik rumah tempat Maya berada saat ini, agar tidak terlupa.

Tapi tiba-tiba, perhatian Maya teralihkan pada suara aneh yang muncul dari dalam kamar utama yang berada tepat di samping ruang tamu. Ia pun berusaha mendekat agar bisa mendengar suara tersebut dengan lebih jelas.

“Nghhh, terus Pak. Terus tusuk yang dalam...”

“Ahhh... Enak sekali tubuhmu, Cantik...”

Suara desahan dan erangan yang seperti bersahut-sahutan dari dalam kamar, membuat birahi Maya kembali muncul ke permukaan. Ia pun tidak bisa memungkiri bahwa dirinya merasa terangsang mendengar suara tersebut.

“Suka nggak sama goyangan aku, Pak Hamzah?”

“Suka banget Maya. Aku suka sekali dengan kemolekan tubuhmu.”

Maya sungguh terkejut. Ia sampai mencubit lengannya sendiri khawatir bahwa saat ini ia tengah berada di alam mimpi. Tapi ternyata tidak, ini adalah kenyataan. Dan ia tidak salah dengar, karena sosok pria yang berada di dalam ruangan tersebut memang menyebut-nyebut namanya.

“Aku ingin terus menikmati tubuhmu seutuhnya, Maya. Aku ingin kamu meninggalkan suamimu itu untuk aku.”

“Ahhh, aku juga hanya ingin melayani kamu dan kontol besarmu, Pak Hamzah. Cuma kamu yang bisa memuaskanmu. Tubuhku ini hanya untukmu seorang.”

“Boleh nggak kalau aku keluarkan pejuku di dalam memekmu yang sempit ini, Sayang?”

“Boleh, Pak. Muncratin yang banyak ya di dalam tempik aku.”

“Iya, Sayang. Kita buat adik untuk Athar yaa. Kamu mau kan?”

“Mau Paaaakk... Maauuuuu!”

Maya menutup mulutnya dengan tangan karena terkejut. Kedua orang tua itu!? Rupanya mereka tengah berakting? Apa-apaan!? Aneh sekali Pak Hamzah dan istrinya! Mereka punya tabiat yang di luar nalar. Terlebih lagi… Pak Hamzah menjadikan Maya sebagai objek seksnya!

Gilaaaa... Ini benar-benar gilaaaa!



.::..::..::..::..::.



Ketika Pak Hamzah dan Bu Mirna akhirnya keluar dari kamar, Maya pun kembali mengeluarkan akting, seolah-olah ia baru saja bangun dari waktu tidur yang cukup lama. Tidak percuma dia memiliki wajah yang innocent yang membuat orang mudah percaya apapun yang dilakukan dan dikatakannya.

“Lho, rupanya kamu sudah bangun, Nduk?” sapa Bu Mirna dengan wajah yang begitu polos dan keibuan.

Dalam hati, Maya mengutuk kemunafikan perempuan paruh baya tersebut, yang masih bisa-bisanya memasang wajah ramah seperti itu. Jangan pura-pura baik di depan tapi bangsat di belakang. Amit-amit punya ibu yang seperti ini. Perempuan munafik ini layak dijadikan makanan anj…

Tahan. Tahankan dirimu. Tahan semua amarahmu, Maya.

“I-Iya Bu. Maaf ya Bu, saya yang bertamu kok malah jadi tidur di sini.”

“Tidak apa-apa, namanya juga kamu mungkin sedang lelah. Anggap saja ini rumah kamu sendiri. Sudah lama bangunnya, Nduk?”

“Baru sebentar kok,” dalih Maya. “Ngomong-ngomong, saya izin pulang dulu ya Bu. Takut kesorean, eh nanti suami saya malah sudah sampai rumah duluan.”

“Oh iya, silakan Nduk. Aduh saya tidak bisa nyangoni apa-apa ini.”

Di perjalanan pulang, Maya berusaha mencerna apa yang sebenarnya baru saja terjadi. Mengapa ia mengizinkan tubuhnya digerayangi, hingga susunya diisap-isap keluar oleh Pak Hamzah.

Bajingan itu berani-beraninya menyentuh tubuhku. Aku tidak akan membiarkannya begitu saja. Dia beruntung aku membiarkannya karena berhasil mendapatkan informasi tentang keluargaku. Dia beruntung saat ini, lain kali – dia tidak akan seberuntung itu.

Maya yang masih berjalan berpikir keras.

Setelah ini, ia harus mencari informasi secara langsung dari keluarga Sukir, yang tadi disebutkan oleh Bu Mirna. Namun bagaimana caranya? Salah satu petunjuk penting yang ia dapatkan adalah perangai keluarga Sukir yang paling disebutkan Bu Mirna.

Aku harus memanfaatkan itu dan mendekati mereka satu per satu.



.::..::..::..::..::.



Keesokan harinya, Ervan benar-benar memenuhi janjinya untuk menghabiskan lebih banyak waktu di rumah, bersama istri dan anaknya. Untungnya, pekerjaan pemantauan gunung berapi bisa ditinggal hari ini karena ada shift pengganti dari tim pemantau, sehingga Ervan pun merasa sedikit tenang.

Saat matahari sudah sepenggalah naik, pasangan suami istri Ervan dan Maya tengah asyik menonton film kartun di televisi, dengan sang anak semata wayang yang bernama Athar tengah duduk santai di antara keduanya.

“Gitu dong, Mas. Kalau ada istri di rumah itu ditemenin, bukan malah ditinggalin,” ledek Maya sambil melirik ke arah suaminya.

“Kamu ini lho… dari pulang semalam sampai sekarang, masih aja disindir terus. Giliran aku tinggal kerja malah ngambek bukan main. Bingung aku jadinya sama kamu,” jawab Ervan.

“Ya kalau bingung pegangan aja, Mas. Gitu aja kok pusing amat. Salah sendiri Mas habis pulang langsung tidur, bukannya ngelonin aku dulu. Padahal udah janji… bete. Emangnya mas tahu gimana aku bersiap semalem?”

“Duh, dibahas lagi. Mas kan sudah bilang kalau Mas capek. Kalau mau, ayo kita main malam ini sampai pagi. Berani nggak?”

“Males. Udah nggak mood.” Maya menjulurkan lidah.

Sayangnya, belum lama kemesraan pasangan muda tersebut berlangsung, tiba-tiba terdengar suara ramai di depan rumah mereka. Teriakan para penduduk yang sepertinya sedang berjalan ke salah satu rumah di cluster tersebut, sambil menyebut-nyebut sebuah nama, jelas sekali terdengar.

“Hmm, ada apa ya? Kok ramai banget di luar. Jangan-jangan ada gunung meletus?” Ujar Maya.

“Hushh, jangan mengada-ada. Dari pantauan semalam tidak ada tanda-tanda apapun. Tim yang sedang bekerja juga tidak mengumumkan apa-apa di grup. Sebagai anggota tim pemantauan resmi, Mas pasti akan dipanggil oleh tim yang sedang melakukan asesmen jika ada anomali. Mereka sedang bekerja makanya Mas bisa istirahat hari ini.”

“Kalau begitu coba Mas lihat ke luar, siapa tahu ada penghuni cluster yang sedang dalam kesulitan dan butuh bantuan. Rame banget, Mas.”

“Kamu nggak mau ikut lihat ke luar juga?”

“Sebenarnya mau sih, tapi ini Athar pasti rewel kalau ditinggal. Mas saja duluan lihat.”

“Oke deh. Tunggu sebentar ya.”

Suaminya sudah pergi sekitar 15 menit, dan Maya pun mulai tidak sabar untuk menunggu. Ia baru saja hendak bangkit dan membawa Athar untuk menyusul sang suami, ketika Ervan tiba-tiba membuka pintu dan masuk ke dalam rumah.

Wajah Ervan terlihat berbeda. Maya tahu ada sesuatu yang terjadi dan itu tidak baik jika melihat wajah sang suami.

Sang istri pun langsung memberondongnya dengan ribuan pertanyaan.

“Ada apa Mas? Ada kejadian apa? Siapa yang terlibat? Kok ramai banget sih tadi? Sudah selesai ramai-ramainya?”

“Kamu ini kalau nanya tuh selalu saja borongan. Satu-satu dulu dong, biar gampang jawabnya!” Ervan terengah-engah saat duduk di depan Maya. Mereka berdua memang sedang tidak eye-to-eye. Sejak semalam chemistry mereka seperti sedang tidak menyatu.

“Iya deh, maaf. Jadi sebenarnya ada kejadian apa? Kok di luar kayak ribut banget?”

“Ada yang ketahuan selingkuh.”

“Hah, kok bisa?”

“Ya bisa lah. Namanya juga ada cowok ada cewek, bukan pasangan suami istri, ketahuan telanjang berdua di ranjang. Ya mungkin aja mereka selingkuh kan?”

“Maksudku bagaimana ceritanya kok bisa sampai ketahuan dan bikin rusuh satu kampung seperti itu? Di luar sana juga banyak pasangan selingkuh, tapi ya nggak bikin ribut kayak begini juga.”

“Katanya ada video pendek yang menyebar di grup warga. Isinya seorang perempuan yang sudah punya suami dan anak, sedang tidur bareng sama pria tua yang sering bantu-bantu di rumahnya. Sekarang istri si cowok lagi maki-maki si cewek, parah banget deh pokoknya.”

“Kamu sempat lihat videonya, Mas?”

“Mana bisa lihat, aku kan belum dimasukkan ke dalam grup WhatsApp RT. Tapi tadi aku ketemu Pak RT di sana, dan sudah minta tolong untuk dimasukkan ke dalam grup.”

“Biar bisa lihat video perselingkuhan?”

Masya Allah, Sayang. Pikirannya kok begitu amat sih sama aku. Maksudnya biar kita update sama informasi di lingkungan sini gitu lho. Biar nggak kuper.”

“Kirain...”

“Tapi Mas bingung sebenarnya.”

“Bingung kenapa, Mas?”

“Kok ya bisa terjadi perselingkuhan seperti itu. Sekilas lihat tadi perempuannya seperti shalihah banget, pakai jilbab panjang juga.”

“Ya mungkin udah nggak tahan, Mas. Memang suaminya si perempuan lagi ke mana sih? Kok bisa sampai selingkuh begitu?”

“Katanya sih sedang dinas ke luar kota.”

“Nah itu dia sebabnya!”

“Maksud kamu?”

“Kalau kata Bang Napi, kejahatan itu terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan.”

“Waspadalah... Waspadalah...”

“Haishhh, jangan dipotong dulu dong. Maksudku, istri kalau sering ditinggal-tinggal, besar kemungkinan jadi nggak tahan dan melampiaskan hasrat seksualnya ke orang lain. Makanya kamu jangan sering-sering tugas ke luar rumah, Mas!”

“Yah, kok malah balik ke situ lagi sih? Aku kan cuma kerja di luar rumah, Sayang, bukan luar kota. Yang ada kamu tuh, jadi perempuan kalau punya nafsu itu ditahan, jangan sampai terumbar ke mana-mana kalau lagi aku tinggal.”

Mendengar perkataan suaminya, Maya langsung teringat akan apa yang baru saja terjadi kemarin di rumah Pak Hamzah. Apa yang terjadi saat itu sebenarnya lebih pantas disebut pelecehan, atau bahkan pemerkosaan, karena Maya sama sekali tidak mengizinkannya.

Namun… bukankah Maya juga pada akhirnya turut menikmati? Bahkan liang senggamanya pun sampai dibuat basah karenanya? Maka apakah itu sudah layak untuk disebut sebagai perselingkuhan?

Maya tidak ingin membayangkannya. Maya tidak ingin memikirkannya. Maya sampai pusing dibuatnya. Maya ingin menyembunyikan wajahnya di balik tirai palingt tebal yang ada di dunia.

Melihat istrinya terdiam, Ervan segera memberikan reaksi.

“Nah. Tuh kan kamu malah diam begitu. Jangan-jangan kamu memang ada niatan buat selingkuh di belakang aku? Hayo ngaku?” tentu Ervan hanya bercanda saja dan berniat menggoda.

“Enak saja. Kamu kali yang pengen selingkuh, Mas!”

“Hahaa, nggak mungkin lah, Sayang. Sudah punya istri secantik kamu, masa iya aku nyari perempuan lain. Bego kali aku lho.”

“Terus yang kemarin itu maksudnya apa? Salaman sama cewek pakai lama banget. Kalau aku nggak keburu datang, mungkin sudah cium-ciuman kalian berdua.”

“Ya ampun, Sayang. Itu kan cuma sebatas saling kenalan sesama penghuni cluster. Nggak lebih. Ya memang sih, dia cantik sekali. Tapi buat aku kamu itu sempurna, sayang.”

“Yakin? Pokoknya awas ya, aku nggak akan maafkan kamu kalau nanti benar-benar selingkuh. Aku bisa nekat nanti...”

“Nekat bagaimana?”

“Kalau kamu selingkuh, aku akan balas perlakuan kamu.”

“Gimana balasnya?”

“Aku akan balas selingkuh dengan lelaki lain, lalu pergi tinggalin kamu buat dia,” ujar Maya spontan. Perempuan tersebut sama sekali tidak tahu dari mana dia mendapat ide gila seperti itu.

“Ooooh gitu? Silakan aja. Toh Mas nggak mungkin selingkuh sama cewek lain. Mus-ta-hil!”

“Berani janji?”

“Berani... Deal!”

Deal juga!”

Maya dan Ervan benar-benar tidak tahu janji seperti apa yang baru saja mereka buat. Masa depan adalah sesuatu yang misterius, unik, dan bisa membolak-balikkan hati setiap manusia.

Apa yang mereka janjikan sebagai sesuatu yang main-main hari ini, akan menjadi sesuatu yang mereka sesali di kemudian hari. Manusia memang tidak tahu apa yang telah digariskan, kadang pernah diberikan peringatan sebelumnya.

Waspadalah.



BAGIAN 22 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 23
 
asoy dibikin kentang, wkkkk
karakter Maya dimana-mana selalu meresahkan
 
Bimabet
BAGIAN 23 | GELAS-GELAS KACA
Cerita oleh @CemplungKalen | Editing oleh @killertomato





.:: PADA SUATU KETIKA






“Reva Dwi Adinda, maukah engkau menikah denganku? Maukah engkau menjadi istriku dan menjadi ibu dari anak-anakku?”

Reva berdiri mematung.

Kedua telapak tangannya menyatu, menutup separuh wajah cantiknya. Dia tak percaya, hal ini terjadi juga. Jelas, dia memang sudah menantikannya. Namun ia benar-benar tak menyangka, Prima melakukannya saat ini. Di sini.

Reva dilamar.

Ya, benar. Gadis cantik bertubuh indah itu baru saja dilamar oleh sang kekasih. Sesuatu hal spesial yang meski tak pernah ia ungkap, namun dalam hati dan doanya selalu terucap. Ia menunggu dalam diam, tak ingin memaksa karena tahu sang kekasih tengah berjuang untuk memantaskan diri meminang dirinya.

Hanya saja, Reva benar-benar terkejut. Masih saja terkejut.

Bagaimana tidak? Dia tidak sedang dilamar di tempat yang sepi. Dia tidak dilamar di area yang lebih privat. Dia tidak dilamar dengan suasana romantis layaknya candle light dinner. Tapi, dia baru saja dilamar, di pernikahan kakaknya.

Ya, benar sekali. Reva baru saja dilamar, di resepsi pernikahan kakak kandungnya.

Reva jelas tak tahu kalau sang calon suami itu sudah minta ijin kepada kedua orang tuanya, juga kakak kandung dan kakak iparnya. Prima telah meminta ijin kepada mereka semua untuk melamar Reva. Sebuah skenario yang manis telah dirancang bersama, oleh Prima, kakak Reva dan calon suaminya saat itu.

Nantinya, akan ada acara lempar bunga oleh kedua mempelai. Mereka akan mengatur sedemikian rupa hingga Prima lah yang dapat menangkap bunga yang dilempar itu. Dan benar saja, saat tadi Prima telah menangkap bunga itu, segera ia menghampiri Reva lalu duduk bersimpuh di hadapannya. Prima memberikan bunga itu kepada Reva, dan sebelum sang dara sempat mengatakan apapun, Prima mengambil kotak kecil yang telah ia siapkan sebelumnya, dan disodorkan kepada Reva. Sebuah kotak kecil berisi cincin emas yang begitu indah.

Reva terbelalak melihat cincin itu. Ia tak menyangka cincin itu ternyata disiapkan untuknya.

Beberapa hari sebelumnya, Prima memang mengajak Reva pergi ke sebuah toko perhiasan. Ia mengatakan ingin membelikan cincin untuk adiknya di kampung. Ia mengajak Reva untuk memberi saran mana cincin yang bagus, juga untuk mengukurnya, karena menurut Prima, ukuran jari Dena sama dengan jari Reva.

Di sana, Reva memilihkan cincin yang menurutnya terbaik di toko itu. Harganya memang cukup mahal, tapi Prima mengatakan harga bukan masalah, karena itu adalah untuk orang yang ia sayangi. Bahkan saat itu, sebenarnya ada sedikit rasa iri yang muncul di hati Reva, karena ia juga menyukai cincin itu. Namun ia relakan, karena semua itu adalah untuk calon adik iparnya.

Namun ternyata, semua itu adalah rencana dari Prima, untuk bisa mendapatkan cincin yang paling pas dan paling disukai oleh Reva. Dan kini, cincin itu benar-benar telah berada di depan mata Reva. Semua yang dilakukan oleh Prima benar-benar membuat Reva speechless, meskipun Reva tahu, apa jawaban dari pertanyaan Prima tadi.

Sebelum menjawab, Reva melihat ke arah kedua orang tuanya. Bagaimanapun, dia hanya akan memberi jawaban berdasarkan dengan restu dari orang tuanya. Jika direstui, dengan senang hati ia akan menerima lamaran dari Prima. Namun jika kedua orang tuanya menolak, maka dengan berat hati ia harus menolak, meskipun dirinya sudah sangat jatuh cinta kepada lelaki yang telah dekat dengannya dalam beberapa tahun belakangan ini.

Rona bahagia langsung terpancar di wajahnya, kala kedua orang tua yang berdiri di samping kakaknya itu dengan kompak dan mantap menganggukkan kepala mereka. Keduanya merestui pemuda dari desa itu untuk menjadi suaminya. Bahkan, bukan hanya kedua orang tuanya, namun juga dengan kakak dan kakak iparnya. Bahkan ia sempat melihat ke arah teman-temannya, dan semuanya sama, menganggukan kepala seperti halnya kedua orang tuanya.

Reva sebenarnya sudah yakin kalau Prima pasti akan direstui. Kedua orang tuanya sudah lama kenal, dan tahu seperti apa pemuda desa yang tengah melamarnya itu. Meski berasal dari kampung, namun Prima adalah seorang pria yang pintar, baik hati, bertanggung jawab, serta ulet. Pemuda itu menyelesaikan kuliah yang dibiayai penuh oleh beasiswa tepat waktu dan dengan nilai yang sangat memuaskan, ia meraih summa cum laude dan menjadi lulusan terbaik angkatan mereka.

Selepas kuliah Prima bekerja di sebuah perusahaan yang bonafit di ibukota. Papa Reva cukup tahu bagaimana Prima bekerja keras hingga kini memiliki karir yang bagus, karena atasan Prima adalah sahabatnya sendiri. Dari situlah mereka thau bagaimana bertanggungjawabnya Prima terhadap pekerjaan, serta bagaimana uletnya ia dalam mengejar sesuatu yang telah ia targetkan. Sehingga tak ada keraguan sedikitpun dari kedua orang tua Reva untuk merestui pemuda dari kampung itu untuk masuk ke dalam keluarga mereka, menjadi suami dari putri kesayangan mereka.

“Iya, Mas Prima. Aku mau jadi istrimu, jadi ibu dari anak-anakmu.”

Suara riuh memenuhi gedung saat jawaban Reva terlontar dari mulutnya. Bibir tipis itu bergerak pelan dan begitu indah, seindah kata-kata yang keluar. Keluarga, sahabat dan rekan-rekan menyambut bahagia momen ini.

Tak terbayangkan betapa bahagianya perasaan Prima. Ia hanya butuh sebuah anggukan saja, namun Reva memberikan sebuah jawaban yang tegas di hadapan semua orang yang ada di gedung ini. Impiannya untuk memiliki pendamping hidup dengan spek bidadari, rasanya selangkah demi selangkah akan segera terwujud.

Memang hampir tak pernah terucap oleh Prima, bahwasanya ia sangat memuja kecantikan dari kekasihnya itu. Kecantikan yang sempurna, luar dalam. Secara fisik, wajahnya nan ayu dan manis, terbalut sempurna oleh keindahan akhlaknya. Tutur katanya yang sopan, menunjukkan betapa beradabnya dara cantik itu. Dan sebagai bonus untuk Prima, bayangan dari lekukan tubuh indah Reva yang begitu sempurna, adalah hal yang didambakan semua kaum adam di dunia ini.

Bohong jika Prima tak pernah punya khayalan mesum dari sang kekasih. Bohong jika Prima tak pernah punya keinginan untuk menjamah tubuh indah milik sang bidadari. Dia lelaki normal, tentu saja dia pernah membayangkan seperti apa tubuh indah Reva tanpa terbalut sehelai kainpun. Bahkan ia harus merelakan calon penerus-penerusnya berakhir di kamar mandi akibat tak tahan membayangkan tubuh telanjang sang kekasih.

Prima juga pernah, bahkan berkali-kali ingin menyentuh, menjamah tubuh indah itu. Ingin sekali ia tahu sehalus apa kulit tubuh kekasinya. Ia ingin sekali mengetahui sekenyal apa buah dada milik Reva. Ia juga ingin tahu seindah apa bukit kemaluan sang bidadari. Namun semua itu ia tahan, demi bisa merasakan itu semua dengan penuh keindahan setelah keduanya resmi menjadi sepasang suami istri, seperti halnya kakak reva dan suaminya yang kini tengah berdiri di pelaminan.

Bagaimanapun ceritanya nanti, kini akhirnya Prima bisa lega, setelah mendapatkan kepastian dari sang kekasih, juga dari semua keluarga Reva. Prima tahu, seberapa banyak lelaki yang harus ia kalahkan untuk bisa mendapatkan hati Reva. Prima tahu para lelaki itu memiliki segalanya yang lebih hebat dari dirinya. Lebih kaya, lebih pintar, lebih mapan, lebih tampan. Apapun itu, Prima bukanlah yang terbaik dari semua lelaki yang pernah mendekati Reva.

Namun beruntungnya ia, Reva tak melihat itu semua saat menentukan pilihan. Reva yang mengenal Prima sejak kuliah, tahu persis bagaimana karakter lelaki dari kampung itu. Ia sama sekali tak mempermasalahkan asal dari sang kekasih. Ia melihat bahwa Prima adalah seorang lelaki yang tangguh, bertanggung jawab. Ia yakin akan memiliki pemimpin, imam yang sempurna jika pilihannya adalah Prima.

Bahkan ketika Reva telah memilih Prima, dan kedua orang tua serta keluarga Reva telah menyetujui dan merestui pilihannya, tak berarti godaan berhenti untuk datang. Masih banyak lelaki yang berusaha untuk mendekati Reva, namun semua berakhir dengan kecewa. Reva tak bergeming akan pilihannya. Dia sudah terlanjur mantap. Dia hanya inginkan Prima saja.

Reva kini telah mantap memilih Prima. Ia telah mantap untuk menutup pintu hatinya kepada lelaki lain. Hatinya sudah terisi oleh Prima. Hanya Prima seorang. Ia telah berjanji kepada dirinya sendiri, untuk tidak akan membiarkan ada pria lain yang memasuki hatinya.

Hanya hatinya.

Ia tak tahu, apakah suatu saat nanti, akan ada pria selain Prima yang memasukinya. Bukan hatinya, tentu saja. Tapi…



.::..::..::..::..::.



.:: MASA SEKARANG



Reva menggelengkan kepalanya begitu cepat. Kenangan demi kenangan tentang indahnya hari saat ia dilamar oleh Prima, berkelebat cepat mengitari kepalanya. Bisa ia lihat kembali, bagaimana rona bahagia Prima saat itu. Bukan hanya Prima, namun juga kedua orang tuanya, kakak dan kakak iparnya, keluarganya, sahabat-sahabatnya, juga rekan-rekannya. Bahkan, ia saat ini bisa melihat rona kebahagiaan di wajahnya sendiri, saat menerima lamaran Prima.

Bahkan kilasan memori tentang hari-hari sebelumnya pun datang. Hari-hari dimana ia menjalani hubungannya dengan Prima, yang ia rasakan penuh dengan kebahagiaan. Saat pertama kali saling berkenalan. Saat pertama kali Prima menyatakan cintanya. Saat pertama kali jalan berdua. Saat pertama kali mereka bersentuhan. Saat pertama kali bahunya dirangkul oleh Prima. Saat pertama kali tubuhnya dipeluk dengan hangat oleh Prima. Saat pertama kali bibir tipisnya dicium dengan lembut oleh Prima. Semua hal romantis itu sekelebat datang menyapa, membuat air mata Reva turun begitu deras tanpa bisa ia kendalikan.

Tangis Reva kian menjadi, saat kenangan demi kenangan indah yang berkelebat itu perlahan memudar dari matanya, berganti dengan wajah ganjil seorang pria yang baru ia kenal beberapa hari lalu, yang tengah meringis penuh kenikmatan. Seorang pria yang telah menghancurkan semua harapan-harapan indah Reva.

Gadis cantik itu seperti baru terbangun, dari ketidaksadarannya. Reva seperti baru saja terbangun dari entah apapun itu yang menguasai dirinya semenjak tadi.

Kini ia bisa melihat dengan jelas bagaimana tubuhnya telah terbuka bebas sebebas-bebasnya. Tak ada satupun kain yang kini menutupi tubuhnya. Hanya tinggal jilbabnya saja, yang itupun sudah berantakan hingga rambut indahnya terlihat keluar sebagian.

Tak hanya dirinya, namun lelaki berwajah ganjil yang ia lihat pun, juga sudah tak memakai pakaian sama sekali. Dia sudah telanjang bulat. Reva bisa melihat dengan jelas seperti apa bentuk tubuh Sukirlan. Wajah ganjil Sukirlan yang tadinya terlihat biasa-biasa saja oleh mata Reva, kini berubah menjadi wajah yang benar-benar menjijikkan.

Tak berhenti disitu, Reva melihat ke arah bawah. Ia bisa melihat dengan jelas dan sangat menyadari, bahwa batang penis perkasa milik Sukirlan, yang pernah ia lihat kemarin di toilet kios buahnya, kini tengah berada di dalam tempat yang tidak seharusnya.

Batang perkasa itulah, yang tadi sempat mengembalikan memori-memori indah saat ia dilamar oleh Prima, juga termasuk semua kenangan indah yang ia jalani bersama Prima, namun dengan sangat cepat pula menghancurkan semua kenangan-kenangan indah itu. Batang penis perkasa milik preman kampung inilah, yang telah mengambil segala hal yang telah dijaga dengan sangat baik oleh Reva selama ini.

“Ooohhh… asyuuu juancoooookkkIki enaaak coookk… Memekmuuuh bener-bener nikmat, Reva sayang…”

Erangan panjang Lan seperti palu gada yang memukul telak kepala Reva. Perasaannya kian hancur saat batang penis itu bergerak mundur, Reva bisa melihat permukaan kulitnya terhias cairan merah kental. Dia ingin menolaknya, dia ingin menyanggahnya. Dia menggelengkan kepala, tak ingin mempercayainya.

Tapi dia tahu, itu adalah pertanda bobolnya keperawanannya. Hancur seperti gelas-gelas kaca yang tak bisa disusun kembali selamanya.

Kenapa? Kenapa bisa seperti ini? Kenapa?

Plok… Plok… Plok…

Plok… Plok… Plok…

“Uugghh… inihh… beneran… nikmatthhh…”

Desahan demi desahan justru keluar duluan dari mulut Sukirlan. Sang juragan buah itu seperti tak bisa mengendalikan dirinya untuk menikmati tubuh Reva. Biasanya, dia akan bermain lembut saat baru memerawani gadis yang menjadi mangsanya. Dia selalu berhasil menaklukan gadis-gadis itu dan membuat mereka ikut menikmati permainannya. Tapi entah kenapa, kali ini Lan tak bisa melakukan itu.

Reva terlalu sempurna.

Wajahnya terlalu cantik. Tubuhnya terlalu indah. Dan keperawanannya terlalu nikmat untuk bisa dikalahkan oleh Sukirlan. Lelaki yang biasanya mudah menaklukan mangsanya itu, kini bahkan harus berjuang keras agar tak lepas kendali dan terlihat cupu oleh Reva. Ia harus bisa bertahan, untuk menaklukan Reva mbuh piye carane, entah bagaimanapun caranya.

Erangan Sukirlan berbanding terbalik dengan Reva yang begitu erat menutup mulutnya. Ia tak lagi peduli bagaimana sepasang buah dadanya bergerak naik turun dengan indahnya mengikuti goyangan si Lan. Ia tak menutupnya, hingga menjadi pemandangan yang begitu menarik untuk pria bajingan yang memperkosanya itu. Kedua tangannya kini tengah sibuk menutup erat mulutnya, berusaha untuk tak mengeluarkan suara sedikitpun.

Semua yang Reva rasakan tergambar jelas dari air matanya yang turun tanpa henti. Kain jilbab yang sebagian masih menutupi kepalanya itu jadi terlihat basah. Beberapa kali matanya pun memejam erat, seperti menahan sakit yang teramat sangat. Pun ia tak ingin melihat senyum penuh kepuasan dan kenikmatan dari pria yang telah dengan lancang mendahului Prima menikmati tubuhnya.

“Jangan nangis gitu, sayang… uuh ini kan, kamu yang minta… uuugghhh jaaaan… uenaak pooll…”

Reva menggelengkan kepala saat mendengar ucapan Sukirlan.

Nggak!

Itu bukan aku! Aku nggak pernah minta! NGGAAAKKK!!!

Lan tersenyum. Ia tentu paham dengan maksud gelengan kepala Reva itu.

“Hehehe… tadi kamu yang minta, sayang. Kamu minta memekmu digaruk kan? Uuugghhh… masa kamu nggak ingat sihhh?”

Reva kembali menggeleng. Dia bukan tak percaya dengan ucapan Sukirlan, bukan juga karena tak ingat. Dia kini bisa mengingat apa yang tadi terjadi. Dia hanya tidak ingin mengakui bahwa itu adalah dirinya yang meminta.

“Maassshhh… sssssshhhhhh…”

“Kenapa, gadisku? Apa yang kamu mau?”

Percakapan beberapa saat lalu, tiba-tiba saja terdengar menggema dalam kepala Reva. Gadis cantik itu kembali menggelengkan kepala, berusaha untuk mengenyahkan ingatan itu dari kepalanya.

“Ga-Gateell… Sssshhhhh…”

“Mau digarukin?”

Reva kembali menggeleng.

Gelengan itu seperti ingin menjawab pertanyaan Sukirlan itu. Berbanding terbalik dengan yang sebenarnya terjadi, saat ia justru mengangguk dengan cepat.

“Maaaaasssshhhhh… aaaaaggghhhhh… Maaaaassshhhhhh…”

“Tenang… akan kubantu, sayang.”

“Uuuugghhhh… Maaaassshhhhhh…”

Tubuh Reva bergidik, menggigil geli. Ia tak percaya, mendesah dan mengerang untuk mengundang Sukirlan menyentuh dirinya, menyetubuhi dirinya. Lagi-lagi, kepalanya menggeleng.

“Aaaccckkkk Maaasssshhh… Sakiiiiittt…”

“Tahan sebentaaaaar…”

“Aaaaaaaarrrggghhhhh… Maaassshhh… Uuuuughhhhh…”

Kembali tubuh Reva menggigil, mengingat momen sepersekian detik saat kegadisannya akan direnggut oleh Sukirlan. Momen yang tidak ia lawan sama sekali, namun di saat bersamaan datanglah kilasan demi kilasan indah, yang dengan cepat pula menghilang begitu saja saat ujung penis pria kampung itu menghantam dinding rahimnya, memunculkan rasa sakit yang teramat sangat. Rasa sakit di tubuhnya, juga di hatinya.

Reva hanya bisa menangis kini. Ia menyesal sejadi-jadinya, kala ia justru membuka pahanya lebar-lebar saat Sukirlan memasukkan rudal perkasanya. Dia justru mempersilahkan pria yang bukan tunangannya itu, menghisap madu kenikmatan dari keperawanan yang telah ia jaga mati-matian selama ini.

Ia hanya bisa menyesal. Segalanya telah hancur. Semua yang ia pertahankan, yang sangat ingin ia serahkan kepada Prima saat nanti telah resmi menjadi suaminya, saat dirinya menyandang status sebagai nyonya Prima, kini justru telah dinikmati seutuhnya begitu saja oleh Sukirlan.

Plok… Plok… Plok…

Plok… Plok… Plok…

Penis besar dan panjang Sukirlan masih terus bekerja. Tanpa perlawanan batang perkasa itu menghujam setiap inci lubang kenikmatan Reva. Gadis ayu itu memejamkan mata dan menutup mulutnya erat-erat, berusaha sekuat tenaga untuk tak mengijinkan datangnya sensasi nikmat yang tadi sempat ia rasakan.

Ia masih merasakan sakit. Betapa tidak? Selaput daranya baru saja dikoyak oleh orang yang seharusnya tak berhak. Namun ia merasakan, perlahan rasa nikmat yang tadi datang dan sempat menghilang, perlahan mulai muncul kembali. Reva terus berusaha untuk menolak rasa itu kembali, mengingat siapa yang saat ini sedang menggumuli dirinya.

Melihat hal itu, Sukirlan tersenyum penuh kemenangan. Ia tahu, Reva memang kesakitan, marah dan tak terima. Obat perangsang yang ia berikan sejak tadi, seharusnya dengan mudah menaklukan Reva tanpa perlawanan. Ia cukup heran, sekaligus takjub dengan perlawanan Reva. Tapi mau bagaimanapun, jelas semua sudah terlambat. Ia telah berhasil mengoyak kesucian sang dara. Dan Lan tahu, dari kerasnya Reva memejamkan mata dan menutup mulut, ada sesuatu yang sedang ditolak oleh sang bidadari.

Lan tahu persis apa itu.

“Aacchh… Gimana sayangku? Apa masih gatel memekmu?”

Pertanyaan Sukirlan dijawab dengan gelengan cepat oleh Reva, yang masih saja memejamkan matanya. Lan yang semakin bisa menguasai dirinya, mulai memainkan ritme sodokan penisnya di vagina Reva. Sesekali ia sodok dengan cepat namun dangkal, sesekali dengan lambat namun mentok sampai ke dalam.

Reva makin kesulitan melawan sensasi yang hadir. Ia masih terlalu hijau untuk hal ini. Ia tak tahu seberapa berpengalamannya si Lan dalam menaklukan gadis lugu seperti dirinya.

Sluuurrpphhh…

Sukirlan mulai menyentuh, mencium dan melumat bibir Reva yang masih tertutup rapat, di sela-sela genjotan penisnya. Pria buruk rupa itu mulai berbisik, “Aaahh sayangku… kamu nikmat banget… memekmu legit… enaak…”

“Mmmpphh… mmmpphhh…”

Reva berusaha untuk menghindari ciuman si Lan, tapi lelaki itu langsung memegang kepalanya hingga tak bisa bergerak lagi. Sang preman kampung mulai menjelajahi wajah cantik Reva dengan lidah kasarnya, membuat Reva semakin merasa jijik pada pria itu. Telinga Reva yang sudah tak tertutup jilbab pun mulai mendapat usapan basah dari lidah Sukirlan.

“Sssshhhh… Mmmpphhh…”

Lan seperti ingin bersorak ketika ia sempat mendengar sang bidadari mendesis, meskipun singkat. Rasa nikmat yang perlahan datang, mulai memporak porandakan pertahanan kuat yang dimiliki Reva.

Plok… Plok… Plok…

Sluuurrpphhh…

Plok… Plok… Plok…

Sluuurrpphhh…

“Mmmpphh… sssshhhh… mmmpphhh… Maasshhh…”

Kombinasi serangan atas bawah yang dilakukan oleh Sukirlan semakin sulit untuk dilawan oleh Reva. Sekeras apapun ia berusaha menutup erat mulutnya, serangan dari Sukirlan yang kian bertambah dengan memilin-milin puting susunya, membuatnya kini diselimuti perasaan geli nan nikmat, yang mulai menggantikan rasa sakit di vaginanya.

Nggak! Nggak boleh! Ini nggak boleh terjadi!

Aku nggak mau! Aku… Aaahhh… Ini… Nggak… Tapi… Ini… Aaaaaahhh…


Batinnya bergolak. Ia masih tak rela menikmati rasa yang ada. Tapi tubuhnya seperti punya pikiran dan keinginan sendiri, yang tak disadari oleh Reva membuat pinggulnya mulai ikut bergerak mengimbangi gerakan si Lan. Ketidakberdayaan ini membuat Reva kembali menangis merutuki dirinya sendiri yang bisa dengan mudahnya dikalahkan dan ditaklukan oleh Sukirlan.

“Aahh… mmpphhh… udaahhh… mmmpphhh…”

Di sela tangisan dan ketidakberdayaannya, Reva masih berusaha untuk membuat Sukirlan berhenti memperlakukan dirinya seperti ini. Meskipun Reva sadar kalau usahanya akan sia-sia. Dan benar saja, mendengar lenguhan dan desahan dari Reva membuat Sukirlan makin bernafsu untuk menggauli calon istri Prima ini. Mulutnya yang mulai terbuka tak disia-siakan oleh si Lan. Lelaki itu langsung melumat bibir Reva yang sedikit terbuka. Bibir atas dan bawah Reva bergantian dilumat, dan dihisap-hisap oleh Sukirlan.

Puas dengan bibir sang bidadari, mulut si Lan mulai bergeser ke samping, menemui telinga kiri milik Reva. Tanpa membuang waktu lelaki berwajah ganjil itu langsung mengecup daun telinga sang dara.

Cup…

“Aaaaassshhhhhh…”

Reva yang tak siap dengan serangan itu tanpa sadar mendesah panjang tepat di depan telinga si Lan. Terang saja hal itu seperti isyarat bagi sang pejantan untuk mengulangi, bahkan memberikan sentuhan yang jauh lebih dalam lagi di telinganya.

Cup…

Sluuurrpphhh…


“Sssshhhhhh aaaasssshhhh…”

Lagi, tanpa bisa ditahan sama sekali desahan Reva terdengar dengan begitu jelasnya. Sebuah ciuman dan hisapan yang dilakukan bahkan sampai membuat tubuh Reva menggelinjang. Geli yang ditimbulkan di telinganya, seperti menjalar ke seluruh tubuh, membuat semua bulu kuduknya makin meremang.

Sukirlan jadi tahu, ternyata telinga merupakan salah satu titik rangsang di tubuh Reva. Menyadari hal itu Lan berusaha mengulanginya, dan itu berhasil membuat Reva mendesah-desah kembali, membuat nafsu si Lan makin naik tak terkendali.

Reva yang ternyata juga menyadari hal itu, berusaha mengelak. Ia berusaha untuk menggerakkan kepalanya, menjauhkan telinganya dari mulut jahanam sang pejantan. Namun penolakannya tak berarti apa-apa, karena pelukan erat Sukirlan membuatnya tak bisa banyak bergerak. Kepalanya tetap berada di dekapan sang penjantan, dan telinganya pun tak luput dari kejaran mulut sang preman. Belum lagi, di bagian bawah sana pinggul Sukirlan masih bergerak maju mundur dengan tempo yang teratur, membuat Reva makin kewalahan menghadapi serangan si Lan.

“Mmpphh… aaaahhhh Maaasssshhh…”

Plok… Plok… Plok…

Sekali lagi serangan Sukirlan masuk telak di telinga Reva. Gadis itu semakin tak mampu menahan desahannya, karena jilatan itu dibarengi dengan sodokan penis Sukirlan yang tiba-tiba menghujam dengan kencang. Namun kemudian dicabut lagi dengan perlahan hingga menyisakan kepalanya saja, lalu kembali dihujam dengan kencang sambil bibir sang juragan buah monyong menghisap lubang telinga Reva dalam-dalam.

Plok… Plok… Plok…

Plok… Plok… Plok…

“Aaaaaaaaaahhhhhhh…”

Tubuh Reva menggelinjang tak karuan. Serangan demi serangan yang dilakukan oleh penjahat kelamin berpengalaman itu benar-benar membuat pertahanannya luluh lantak. Kenikmatan yang kini ia rasakan di sela rasa sakit di rongga kewanitaannya, terlalu kuat untuk dilawan oleh gadis yang baru mengenal kenikmatan birahi seperti dirinya ini.

“Aaahhhhh Maaasssshhh… Aaaahhh… Aaaahhh… Udaaahh…”

Reva terus mengerang tak karuan. Penolakannya terdengar di sela desahannya yang kian sering terdengar. Mendengar permohonan Reva bukannya membuat Sukirlan berhenti, ia malah makin intens menghujamkan penis perkasanya ke dalam vagina Reva. Juga mulut dan lidahnya tak lupa memberikan rangsangan di setiap bagian yang dilewati olehnya.

Sukirlan yang berpengalaman, tahu apa yang dirasakan oleh Reva. Terlebih saat kemudian tanpa disadari oleh sang dara, kedua tangannya mulai memeluk erat tubuh Sukirlan. Lelaki jahanam itu tersenyum lebar mendapati sang bidadari akan segera sampai pada gerbang kenikmatan pertamanya, dan betapa bangganya si Lan karena menyadari dirinyalah yang mengantarkan Reva mendapatkan kenikmatan itu, bukan si Prima.

“Aaahhh maaasss… A-akuuu… akhuuuu… akuuuuuhhh… Aaaaaaaaaaahhhhhhh…”

Tubuh Reva menggelinjang hebat dalam dekapan Sukirlan. Dinding vaginanya berkedut tak kalah hebat meremas-remas penis perkasa Sukirlan. Kedua tangannya mencengkram erat punggung Sukirlan.

Sakit? Tentu saja punggung si Lan sakit. Tapi itu tak ada apa-apanya ketimbang rasa nikmat yang dirasakan oleh penisnya, yang sedang dipijat-pijat oleh dinding vagina Reva yang sedang orgasme.

Lan menghentikan aktivitasnya. Ia lega pertahanannya tak ikut jebol bersamaan dengan Reva. Hampir, sebenarnya. Tapi ia masih bisa menahannya. Ia tak ingin secepat ini menikmati tubuh Reva. Ia ingin berlama-lama, dan sepertinya ia memang tak akan pernah bosan.

Sedangkan Reva, tubuhnya perlahan mulai lemas. Pelukan tangannya di tubuh Sukirlan perlahan mulai mengendur. Matanya masih terpejam, namun mulutnya terbuka lebar. Hidungnya kembang kempis saat udara keluar masuk dengan cepat melalui kedua lubangnya. Bahkan si Lan bisa melihat, tubuh Reva sesekali menggelinjang meskipun puncak orgasmenya sudah lewat. Sepertinya, apa yang ia rasakan saat ini memang benar-benar keterlaluan enaknya.



Setelah tak terasa hampir 5 menit Sukirlan memberikan waktu kepada Reva untuk menikmati orgasme pertamanya yang luar biasa, preman kampung itu mulai sedikit menggerakkan pinggulnya. Reva yang nafasnya berangsur normal, membuka mata menyadari kalau permainan ini belumlah selesai. Iapun bisa merasakan, penis besar Sukirlan masih berdiri dengan kokoh di dalam lubang vaginanya.

“Kita lanjut lagi, sayang. Hup…”

“Aahh… Maashh… Apa yang… Aaahhh…”

Tubuh Reva yang mungil terlihat begitu ringan diangkat oleh Sukirlan. Begitu tubuhnya terangkat dengan reflek Reva mengalungkan kedua tangannya di leher si Lan. Lelaki itu menggendong sang dara, dengan posisi kelamin yang masih menyatu. Penis panjang Sukirlan yang tiba-tiba menekan sampai ke dinding rahim Reva, membuat gadis itu mengerang dan menggelinjang.

“Aahh… Masshh… Mau apaahh…”

Diantara rasa nikmat dari vaginanya yang masih dikerjai oleh penis perkasa si Lan, Reva mulai khawatir saat Lan berjalan mendekat ke arah tempat Prima sedang tertidur. Ia tak tahu apa yang dipikirkan oleh Sukirlan, tapi Reva jelas khawatir calon suaminya akan terbangun dan melihat dirinya digendong oleh si Lan, dengan kondisi telanjang bulat, dan lubang vaginanya dipenuhsesaki oleh batang penis Sukirlan yang begitu besar dan panjang.

“Aahhh… Maasshhh… Jangan kesituuuh… Aaaahh… Aaahhh…”

Semakin dekat mereka dengan Prima, semakin besar kekhawatiran yang timbul di hati Reva, namun semakin kuat pula sensasi aneh yang muncul dari bagian pangkal pahanya itu. Kekhawatiran dan ketakutan Reva kalau calon suaminya terbangun dan melihat dirinya seperti itu, membuat dinding vaginanya menjepit lebih erat penis si lan yang ada di dalamnya.

“Uughh… Tenang ajaah, sayangkuuh… Prima udah tak kasih obat tidur… Aaahhh… Dia baru akan bangun besok pagiihh…”

Aaaaaaaahhhhhh…

Ada perasaan lega setelah Reva mendengar ucapan Sukirlan. Setidaknya, sang calon suami tidak perlu melihat dirinya dalam kondisi seperti ini. Tak perlu Prima melihat dirinya yang telanjang bulat, sedang disetubuhi oleh si Lan. Namun di satu sisi ia juga khawatir, karena sang kekasih dibuat tidur oleh Sukirlan menggunakan obat. Ia khawatir nantinya Prima akan kenapa-kenapa.

“Aaahhh… Maaashhhh…”

Sukirlan hanya tersenyum. Ia benar-benar menikmati momen ini, menyetubuhi seorang gadis lugu nan cantik jelita, dengan tubuh yang putih mulus, payudara bulat kencang sempurna, tepat di samping kekasihnya yang tertidur dan sadar kalau calon istrinya digarap pria lain. Semua sensasi ini benar-benar nikmat, hingga Sukirlan tak mampu lagi menahan dirinya. Reva pun demikian, yang mulai menggerakkan tubuhnya naik turun dengan cepat, seperti ingin menjemput sesuatu yang sudah ada di depan mata.

“Aaaahhh… Aaaahhh… Maashhh Laaannn… Aaaahhh… Akkhuuuuuhhh…”

“Oougghh… Revaaa… uedaaaan… memekmuuu… Aaahh nggak tahaaaaan…”



.::..::..::..::..::.



“A-Ampuun Mas Lan… Udah Mas… ampuni saya Maasshhh…”

Sukirlan duduk pongah menatap keji Sadikin yang masih terikat. Wajahnya babak belur, tubuhnya lemas tak bertenaga. Benar-benar menyedihkan.

Lebih menyedihkan lagi, karena ia tak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkan istrinya, yang saat ini tergolek tak sadarkan diri tak jauh dari tempatnya. Yeni bahkan terlihat begitu menyedihkan, dengan tubuh polosnya terekspos tanpa penutup, penuh dengan cairan putih kental para pemerkosanya, juga terlihat bekas-bekas merah di sekujur tubuhnya, tanda betapa kerasnya para pria itu memperlakukan istri Sadikin.

“Ampun, kamu bilang?!” gertak Sukirlan. “Saya itu sudah berbaik hati lho, menolong kamu, kasih pinjam kamu uang, yang katanya untuk biaya berobat anak kamu itu! Sudah saya kasih tugas yang enak, biar kamu bisa dapat uang dengan mudah, kok masih bisa-bisanya mau nusuk saya dari belakang?!”

Sadikin benar-benar ketakutan kali ini. Seolah nyawanya sudah benar-benar berada di ujung tanduk.

“Tak minta istrimu buat kerja di kiosku, itu bukan mau tak apa-apain! Itu buat jaminan aja, biar kalian nggak kabur! Aku udah punya target sendiri, Reva, yang jauh lebih cantik daripada istrimu itu! Tapi, bisa-bisanya kamu malah ngincer targetku, mau jatuhin aku!”

Sadikin masih sedikit beruntung, karena mood Sukirlan sedang baik. Bagaimana tidak, sang preman Kampung Bawukan itu baru saja mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia benar-benar berhasil merenggut kesucian bidadari incarannya, calon istri dari Prima, pria yang sejak dulu ia anggap sebagai saingannya. Kenikmatan paripurna yang ia peroleh dari tubuh dan tentunya kemaluan Reva, membuat dirinya sedang diliputi rasa bahagia yang teramat sangat.

Namun tetap saja ada hal yang harus ia selesaikan saat ini, yang tak lain adalah pengkhianatan Sadikin.

Sukirlan bukanlah orang yang bisa mentolerir adanya pengkhianatan. Dia adalah seorang bajingan, preman, begundal, apapun itulah namanya. Dia masih bisa memaafkan kesalahan anak buahnya kalau misal mereka gagal menjalankan tugas, atau salah sasaran, atau kegagalan-kegagalan remeh lainnya. Dia bisa memaklumi karena paham kalau tingkat kepintaran anak buahnya, tidak jauh berbeda dengan dirinya.

Tapi untuk pengkhianatan, itu lain soal.

Sudah menjadi rahasia umum di kawasan ini, dengan pengaruh besarnya keluarga Sukirlan sejak dulu bisa bertindak apapun di Kampung Bawukan ini tanpa ada yang berani melawan. Sudah pernah ada kasus orang yang tiba-tiba hilang setelah berselisih dengan keluarga Sukirlan. Ada juga orang yang harus kehilangan tempat tinggal setelah dibakar habis oleh orang-orang dari keluarga Sukirlan. Dan semua itu tak pernah membuat satupun anggota keluarga, termasuk orang-orang yang dekat dengan mereka, tersentuh oleh hukum.

Hal inilah yang saat ini sedang sangat ditakutkan oleh Sadikin.

Dia sudah babak belur dihajar oleh para anak buah Sukirlan. Istrinya juga sudah habis-habisan diperkosa oleh mereka. Entah nasib buruk seperti apa lagi yang akan mereka terima, akibat dari niatnya mengkhianati Sukirlan.

Sadikin merutuki dirinya sendiri. Jika saja ia tak punya niat yang aneh-aneh. Jika saja ia manut pada apa yang disuruh oleh Sukirlan. Jika saja ia mau merelakan istrinya bekerja di kios buah Sukirlan, meskipun berpotensi sang istri akan mendapatkan pelecehan. Tapi setidaknya, hidupnya dan keluarga kecilnya masih akan bisa diselamatkan. Paling tidak, mereka masih bisa menjalani kehidupan yang normal di Kampung Bawukan.

Sekarang, Sadikin hanya bisa pasrah menerima kemarahan dari Sukirlan. Ia tahu, setelah ini tak akan ada tempat untuk dirinya dan keluarganya di Kampung Bawukan, Kampung Growol, atau dimananpun di kawasan lereng Gunung Mandiri ini. Kalau beruntung, dan mereka masih hidup sampai besok pagi, ia bertekad akan pindah sejauh-jauhnya dari tempat ini.

Kemana?

Belum tahu. Yang penting, pergi saja dulu. Sudah cukup penderitaan yang harus ia tanggung akibat kesalahan yang ia buat sendiri, yang sampai harus mengorbankan istrinya juga. Luka batin pastinya harus mereka tanggung. Tapi setidaknya, di tempat lain mereka akan punya waktu untuk menyembuhkan, dan berdamai dengan luka itu.

Tapi, jika tidak beruntung?

Mungkin ini adalah hari terakhir mereka bisa menghirup udara segar. Mungkin ini adalah hari terakhir mereka bisa melihat matahari yang sedang terbenam. Mungkin besok, mereka hanya tinggal kenangan saja, untuk beberapa orang yang masih mengenal mereka.

Piye iki Ndos? Har? Set? Enake diapain orang ini?” tanya Sukirlan tiba-tiba kepada 2 anak buahnya.

Gandos, Kohar dan Seto yang sedang duduk santai kaget, bingung dan saling pandang. Tidak biasanya mereka ditanyai seperti ini. Tidak biasanya juragan mereka itu minta pendapat di saat seperti ini. Biasanya Sukirlan akan langsung memutuskan, dan para anak buah tinggal melaksanakan saja. Mereka itu eksekutor, kok malah disuruh mikir?

“Kok malah pada bengong? Heh! Ditakoni kok malah plonga plongo!

“Ehh… A-Anu boss… Nganu… begini lho… anu…”

Anu opo? Anune njaluk diapakne?

Pertanyaan itu membuat ketiga anak buah Sukirlan tambah kebingungan. Kohar dan Gandos yang pernah punya pengalaman seperti ini sebelumnya, sebenarnya tadi sudah menebak kalau mereka harus mengeksekusi Sadikin dan istrinya. Hal yang sebenarnya enggan mereka lakukan. Sebajingan bajingannya mereka, melenyapkan nyawa adalah pilihan terakhir yang akan mereka ambil untuk menyingkirkan seseorang.

“Kalian masih pengen ngentot si Yeni nggak?”

Sekali lagi, ketiga anak buah Sukirlan saling pandang dengan wajah yang sama-sama bingung. Tapi mereka paham, kalau pertanyaan bosnya itu harus dijawab.

“I-iya bos. Kalau saya, saya masih pengen,” jawab Kohar ragu-ragu tapi jujur. Yeni kan seksi, siapa yang tidak mau nambah lagi? Gandos dan Seto saling berpandangan sebelum kemudian mengamini dengan menganggukkan kepala.

Jawaban dari Kohar itu membuat Sukirlan menganggukkan kepala, lalu menatap kembali ke arah Sadikin, yang terlihat pasrah menunggu vonis dijatuhkan.

Sampeyan denger sendiri tho Mas Dikin? Mereka bertiga, masih pengen bisa ngentotin Mbak Yeni, istrinya sampeyan.”

Baik Sadikin, maupun ketiga anak buahnya terkejut mendengar ucapan Sukirlan. Preman penguasa Pager Jurang itu seperti sudah melunak dengan situasi yang terjadi. Entah dorongan darimana, hal ini membuat Sadikin cepat-cepat menganggukkan kepalanya. Ia merasa, ada harapan untuk lolos dari vonis maut Sukirlan. Entah apapun yang harus ia jalani nantinya, entah apapun yang akan terjadi nantinya, tapi sepertinya ia masih punya harapan untuk hidup setelah hari ini.

“Apa sampeyan rela, kalau Mbak Yeni bisa dinikmati dengan bebas oleh mereka bertiga. Kapanpun. Dimanapun. Rela, Mas Dikin?”

Glek.

Terasa sulit sekali Sadikin menelan ludahnya. Dia berusaha untuk mencerna pertanyaan Sukirlan sebelum menjawabnya. Akan kemana arah dari pertanyaan itu? Apakah Sukirlan akan mengampuninya? Atau hanya istrinya yang akan diampuni, sedangkan dirinya tetap akan mati?

Seolah memahami kebingungan Sadikin, Sukirlan pun tersenyum.

“Kalau sampeyan rela, Mbak Yeni jadi pelayan kami, saya bisa mengampuni ulah Mas Dikin kali ini. Tapi, tentunya dengan syarat-syarat yang harus Mas Dikin lakukan.”

“A-Apa aja, syaratnya, Mas Lan?” dengan cepat Sadikit merespon, setelah mendengar kalau Sukirlan kemungkinan memaafkannya.

“Sekarang sih saya belum kepikiran ya, syaratnya apa saja. Tapi yang jelas, Mas Dikin dan Mbak Yeni harus tunduk sepenuhnya sama kami, terutama sama saya sih. Apapun yang kami perintahkan kalian harus melakukan tanpa ada penolakan. Itu syarat pertamanya, gimana?”

Syarat pertama saja sudah seperti memberikan hidup mereka sekeluarga untuk menjadi budak Sukirlan. Lalu, bagaimana dengan syarat-syarat lainnya? Tapi, rasanya hanya dengan menyanggupi hal ini, kesalahannya bisa diampuni oleh Sukirlan. Benar-benar tidak ada pilihan lain. Dia yang sudah sempat terpikirkan rencana untuk mempecundangi Sukirlan, nyatanya malah berakhir menjadi pecundang. Sadikin benar-benar tidak tahu, sampai sejauh mana kekuasaan Sukirlan, dan juga keluarga besarnya. Salah membuat keputusan, rasanya nasib keluarganya akan benar-benar habis. Berakhir.

Hal itu pulalah, yang pada akhirnya membuat Sadikin menganggukkan kepalanya perlahan. Sukirlan tersenyum senang. Pun dengan Kohar dan Gandos. Setidaknya saat ini mereka tak perlu lagi melumuri kedua tangan mereka dengan darah orang yang menjadi korban kekejaman Sukirlan.

“Ya sudah kalau begitu. Kohar, Gandos, anterin Mas Dikin dan istrinya pulang. Biarin Mbak Yeni istirahat dulu, jangan kalian pakai lagi habis ini, besok-besok lagi aja. Kalau masih pengen ngentot, pakai yang lain dulu aja.”

Kohar dan Gandos segera mengangguk dan melaksanakan tugas mereka. Kohar langsung mengangkat tubuh Yeni yang masih pingsan, sedangkan Gandos menarik paksa Sadikin untuk berdiri lalu menyeretnya keluar. Sukirlan masih bisa mendengar berkali-kali Sadikin mengucapkan terima kasih kepadanya, yang telah memberi kesempatan kedua, yang sepertinya belum pernah diberikan oleh Sukirlan kepada siapapun sebelumnya.

“Saya, ngapain bos?” tanya Seto.

Dalam benaknya, Seto memiliki harapan kalau bosnya itu akan berbaik hati memberi sedikit kesempatan baginya untuk mencicipi tubuh bidadari yang baru ditaklukan oleh Sukirlan. Meskipun mustahil, tapi ya, siapa tahu?

“Kamu bawa obat tidur itu kan? Masih ada?”

Seto mengangguk, “Masih bos.”

“Kasih lagi ke si Prima, buat dia tidur pulas sampai besok pagi. Setelah itu kamu pergi ke rumahnya, kasih tahu Pak Yus dan Bu Rum kalau Prima dan Reva lanjut acara di kota, bilang aja HP mereka lowbat, jadi nggak sempat ngabarin.”

“Oke bos, paham. Terus, habis itu?”

“Habis itu? Ya terserah kamu lah, mau pulang, mau kemana lagi, ya terserah kamu! Masa kayak gitu aja harus saya juga yang mikir?”

“Hehehe.”

Kecewa? Pastinya. Tapi memang angan-angan Seto terlalu tinggi.

Meskipun Sukirlan suka berbagi, tapi sepertinya hampir tidak mungkin hal itu akan berlaku juga pada Reva. Reva adalah bidadari surga yang terlalu sayang untuk dibagi. Kalaupun Seto ada di posisi Sukirlan, ia pasti juga akan selama mungkin menikmati keindahan sang bidadari.

Akhirnya dengan berusaha menyembunyikan kekecewaannya, Seto melangkah kearah Prima yang masih tertidur, akibat obat yang dicampurkan di minuman yang memang sudah disiapkan secara khusus untuknya. Seto mengeluarkan sebuah alat suntik kecil yang masih terbungkus rapi. Seperti sudah terbiasa melakukannya, dengan cepat ia buka dan ia tusukkan ujung tajam jarum suntik itu ke lengan Prima.

Setelahnya, ia angkat tubuh Prima untuk dibawa masuk ke dalam salah satu warung, dan dibiarkan saja terbaring di salah satu bangku. Seto tersenyum kasihan pada Prima.

Seharusnya kamu nggak perlu bawa tunanganmu pulang kesini Mas. Bahkan mungkin, seharusnya kamu nggak perlu pulang lagi kesini. Berurusan sama Sukirlan atau keluarganya adalah sebuah kesalahan besar. Kamu beruntung kalau nanti masih bisa nikah sama Reva, tapi percuma Mas, kamu cuma dapat sisanya. Kamu nggak tahu, apa yang bisa dilakukan Sukirlan setelah berhasil mendapatkan mangsa buruannya.

Setelah itu Seto langsung merapikan alat-alat fotonya, kemudian tanpa pamit pergi meninggalkan kawasan Pager Jurang. Ia baru akan kembali kesini besok, untuk menjemput bosnya, juga Prima dan Reva. Sebuah pekerjaan yang sudah beberapa kali ia jalani, sehingga tanpa perlu lagi diperintah ia sudah tahu apa yang harus dilakukan.

Sementara itu Sukirlan dengan santainya berjalan ke salah satu warung. Ke bagian belakang warung itu, lebih tepatnya. Pintu masih tertutup, seperti saat ia tinggalkan tadi. Perlahan ia buka pintunya, terlihat seorang gadis nan cantik jelita, dengan tubuh yang mustahil gagal membuat pria manapun terpesona, menatap nanar kehadiran Sukirlan. Gadis itu, tak lagi menampakkan rona ketakutan. Ada tersirat rasa khawatir dari wajahnya, namun ia justru lebih terlihat seperti sedang menunggu sesuatu.

“Udah bangun kamu sayang?” tanya Sukirlan, yang dijawab dengan anggukan lemah oleh Reva.

“Mas Prima mana, Mas?” tanya Reva.

“Ada, di sana. Udah dipindahkan ke dalam, biar nggak kedinginan,” jawab Sukirlan yang berjalan mendekati Reva sambil satu persatu pakaiannya ia lepas.

Glek.

Reva menelan ludah saat melihat tubuh Sukirlan, tubuh pejantan yang telah menggagahinya tadi, yang telah menaklukkan dirinya tadi, mulai terbuka sedikit demi sedikit.

“Ta-tapi… dia…” ucap Reva yang terputus karena saat ini sedang tidak fokus, karena pakaian terakhir Sukirlan telah terlepas.

“Sshh…” Sukirlan menempatkan telunjuknya di bibir Reva, membuat dara itu terdiam. Lan tersenyum dan berkacak pinggang tepat di depan wajah sang bidadari.

Kedua tangan Lan kemudian berkacak pinggang dengan pongahnya, seolah menunjukkan betapa berkuasa ia sekarang atas Reva. Hal itu kembali membuat Reva menelan ludah, terlebih batang kejantanan Sukirlan mulai bangun menantang dirinya.

“Tenang aja sayang. Dia cuma tidur kok. Aku jamin, dia akan baik-baik saja. Yang penting sekarang, kita bisa menikmati malam panjang ini berdua saja.”

Reva terdiam.

Lan mengelus-elus rambut dara jelita itu dan memindahkan rambutnya ke samping. Lalu memainkan tangannya untuk mengelus dagu dan pipi sang bidadari.

“Cantik sekali kamu.”

Reva masih diam, tak sepatah kata pun terucap dari mulutnya. Namun begitu, perlahan mulutnya terbuka, menyambut kepala penis Sukirlan yang perlahan mulai membesar, sedikit demi sedikit, yang perlahan mendekatinya.



.::..::..::..::..::.



.:: HARI BERIKUTNYA



“Halo? Badalah! Kowe to, Lek? Wasyu! Opo sih? Isuk-isuk wes ngganggu wae!

Sukirlan mendengus kesal karena istirahatnya terganggu.

Dia letih, setelah semalam memacu birahi dengan begitu menggelora bersama bidadari surga yang baru saja ia taklukan. Tak pernah Sukirlan sampai lepas kontrol seperti ini, sampai-sampai ia terkapar lemas di atas tubuh Reva yang sudah lebih dulu menyerah.

Pengalamannya sebagai penjahat kelamin kelas kakap, tak mampu membantunya menahan diri untuk berhenti menikmati tubuh Reva. Benar-benar telalu lezat untuk dilewatkan. Terlalu nikmat untuk berhenti. Sampai pada akhirnya, tubuhnya yang mencapai batas.

Baru saja ia mengantar Reva dan Prima yang masih linglung pulang. Dia tentu tahu Pak Yus dan Bu Rum sudah berangkat ke sawah. Juga dengan Dena yang sudah berangkat sekolah. Jadi, kondisinya sangat aman untuk mengantar Prima dan Reva tanpa mengundang banyak pertanyaan dari keluarga itu. Biar saja nanti, Reva sendiri yang memikirkan bagaimana menjawab pertanyaan calon mertuanya, juga menjelaskan kepada Prima.

Baru saja ia memejamkan mata, HP nya menyala tanpa henti. Sebenarnya Sukirlan sedang tidak ingin mengangkat panggilan yang masuk itu. Dia benar-benar capek dan ingin istirahat. Staminanya benar-benar terkuras semalaman. Apalagi, rasanya ingin ia banting saja HP itu saat melihat nama kontak orang yang menghubunginya.

Lek Sobri.

“Hehehe, kamu udah lihat foto yang tak kirim belum Lan?”

“Foto? Foto apa?”

Iku lho, lihaten dulu. Barusan tak kirim ke HP mu, ada foto sama videonya juga.”

“Halah opo sih? Aku belum buka HP Lek. Aku baru mau tidur ini. Capek. Kesel. Ngantuk aku lek!”

“Jam segini kok baru mau tidur? Habis darimana kamu? Ngentot mesti. Hahaha. Wes tho, deloken sek iku fotone.”

“Opo sih? Tinggal ngomong aja apa susahnya?”

“Wooo, angel e dikandani. Itu, foto telanjangnya Nisa. Kamu tahu Nisa kan? Yang punya toko kue itu, hehehe. Obatmu manjur tenan Lan, tak kasih ke Nisa kemarin, udah tak entotin memeknya yang legit itu. Jan, uenak tenan Lan, hehehe.”

“Hah? Opo? Ojo guyon sampeyan! Jangan bercanda!”

Kandani og. Makane deloken iku ng HP mu…”

Sukirlan yang sudah benar-benar mengantuk, tiba-tiba seperti punya energi baru mendengar cerita dari Uwak Sobri. Dia ingat lelaki renta itu pernah membeli sebuah obat darinya dengan harga mahal, tapi saat itu dia memang tak bertanya akan diberikan kepada siapa obat itu. Ia pikir hanya salah satu warga Kampung Bawukan saja. Tak disangka tak dinyana, ternyata yang menjadi sasaran pria tua bangka itu adalah Nisa, sang kembang cluster.

Lan melihat ke ponselnya dan matanya terbelalak.

Jingaaaaaaaaan… Ini beneran Nisa? Wuasyuuu… Seksi ngene cooookk.

“Halo. Lek, ini beneran Nisa Lek?”

“Hehehehe, piye? Percaya tho sekarang?”

“Tapi kok itu, malah sama si Juki?”

“Nanti aja tak ceritain detailnya kayak gimana. Yang jelas sekarang aku mau ngikut warga nggerebek rumahnya si Nisa.”

“Loh, nggrebek gimana? Kok bisa warga tahu?”

“Hehehehe. Tadi pagi tak sebarin fotonya di grup RT. Orang-orang pada marah, ngamuk. Meskipun aku tahu, yang bapak-bapak pasti pada ngaceng lihat tubuh moleknya Nisa, hehehehe.”

Wasyuuuu! Pekokmuuu! Kok bisa malah disebar di grup tho Lek?”

Yo ndak papa tho? Makanya si Juki tak taruh disitu, jadi kan kesannya si Nisa lagi selingkuh sama dia. Banyangin aja, Nisa yang alim, ternyata aslinya lonte. Mana ngelontenya sama Juki si tukang serabutan lagi. Aku nggak sabar ngelihat betapa marahnya warga, hehehe. Kamu mau ikut nggak Lan?”

“Halaah, aneh-aneh aja tho Lek! Kenapa nggak dibagi ke aku dulu, kan aku bisa ikut ngentotin dia duluan. Kalau gini kan malah jadi susah nantinya!”

“Lho tenang aja. Kalau kamu mau ngerasain memeknya yang super legit itu, tinggal bilang sama aku. Lagian, palingan habis ini Sukirman bakalan dipanggil ke rumahnya Nisa. Aku yakin, masmu itu pasti juga akan cari-cari kesempatan. Ujung-ujungnya apa? Kamu juga bakal ikut ngerasain Lan, hehehehe.”

“Ah mbuh lah Lek, pusing aku.”

Sukirlan langsung menutup begitu saja panggilan dari Uwak Sobri, karena ia yakin lelaki renta itu juga sudah selesai memberinya informasi.

Rasa kantuk yang tadi ia rasakan teramat sangat, kini mulai memudar. Ia kembali membuka HP dan melihat foto yang dikirimkan oleh Uwak Sobri. Sukirlan menggeleng-gelengkan kepala, melihat keindahan tubuh Nisa.

Ia memang sudah lama tahu siapa itu Nisa. Bahkan sudah ada ketertarikan juga pada ibu 2 anak itu. Tapi sosok suaminya yang kerap memberikan ‘upeti’ baik kepada dirinya maupun kakaknya Sukirman, membuatnya jadi segan untuk mencari-cari kesempatan menggoda Nisa.

Ah, tapi aku udah punya Reva. Kalau mau dibanding-bandingkan, Reva nggak kalah sama Nisa. Apalagi Reva masih gadis, masih perawan. Tubuhnya bener-bener masih kencang. Memang sih, susunya masih kalah besar dibandingkan Nisa, tapi kan dengan kehandalan tangan Sukirlan si mekanik susu, nggak akan lama lagi susunya Reva juga bakal lebih montok kayak susunya Nisa itu, hehehehe.

Oh iya, aku ke rumah mas Man aja lah, siapa tahu nanti dapat jackpot, hehehe.


Rasa kantuk yang masih terasa tak menghalangi Sukirlan untuk bangkit. Ia menggeliat sebentar lalu memaksakan kakinya melangkah menuju rumah Sukirman, kakaknya yang menjabat sebagai ketua RT. Rumah mereka yang tak saling berjauhan membuat sebentar saja Sukirlan sudah sampai. Dari kejauhan, ia bisa melihat kakaknya itu nampak tersedak dan memuntahkan cendol yang ia minum.

Wahahahaha. Kenapa itu Mas Man? Pasti lagi lihat fotonya si Nisa.

Terlihat Sukirman tengah tersenyum dan menggumam sambil menatap HP. Semakin yakinlah Sukirlan kalau kakaknya itu sedang melihat dan menikmati foto telanjang Nisa.

“Mas Man! Woy! Mas!”

Lagi-lagi Sukirlan terkekeh melihat saudara tuanya itu nampak kaget dan meletakkan HP nya buru-buru, seperti tidak ingin ketahuan apa yang sedang dia lakukan.

“Walah, ga usah sok imut, Mas. Aku juga sudah lihat kok. Wkwkwkwk. Marai kepengen ya. Ga nyangka itu Mbak Nisa lonte juga. Hahahaha. Tahu gitu dari dulu aku ajak party di Pager Jurang. Suaminya pergi, istrinya mainan kontol tukang sendiri. Hihihi.”

Ndasmu. Haris itu termasuk salah satu yang sering kasih kita jajan bulanan, hormat sedikit. Aku mau hati-hati menangani laporan warga yang seperti ini. Bagaimana tanggapan mereka, Lan? Mereka ngamuk liat berita ini?”

“Pasti dong. Mas mau panggil polisi atau gimana?”

Sukirman menggeleng. Tepat seperti dugaan Sukirlan, kakaknya tidak akan melibatkan pihak kepolisian dalam hal ini. Ia tahu, tentu saja kakaknya tidak akan melewatkan kesempatan untuk bisa mencuri-curi kesempatan mendekati Nisa. Siapa tahu, tak hanya sekedar membantu menyelesaikan masalah, tapi mungkin saja Sukirman mendapatkan kesempatan untuk melihat, bahkan menikmati tubuh molek milik Nisa. Lagipula, dengan begini Sukirlan bisa memastikan kalau tidak akan ada polisi yang terlibat dalam hal ini. Dengan begitu, dirinya masih akan berada pada posisi aman.

“Kita coba lihat kondisinya. Siapa tahu masih bisa terkendali. Sebentar lagi warga pasti menjemputku. Mau ikut kesana?”

Lan menggeleng, “Ga usah, Mas. Aku ngantuk. Urus dewe lah ya, aku arep turu wae,” jawab Lan sambil menyeruput kopi milik Sukirman. “Puaaaah. Paite koyo setan. Wes ya, Mas. Aku tidur dulu,” ucap Lan sambil masuk ke dalam. Ia masih sempat mendengar kakaknya mengumpat, tapi ia tak peduli.

Sebenarnya Sukirlan bukannya tidak mau. Tapi dia benar-benar capek, dan mengantuk. Dia sebenanrya juga penasaran dengan kondisi Nisa saat ini, tapi dia sudah cukup terpuaskan dengan semalaman bersama Reva. Sangat puas, malah. Sekarang, tinggal beristirahat saja.



.::..::..::..::..::.



Drrrrttt… Drrrrttt… Drrrrttt…


“Sssshhhh… Aaaaakkkkhh sopo sih iki! Dari tadi pengen tidur aja banyak amat yang gangguin. Aku ngantuk gaeeesss… aku pengen turuuuu…!!!”

Rasanya baru sebentar Sukirlan memejamkan mata, HP nya terus bergetar membuatnya sangat terganggu. Hampir saja benar-benar ia banting HP nya kalau tak sempat terbaca nama kontak yang menghubunginya.

Bos Lele.

Buru-buru Lan menekan tombol terima.

“Halo, Bos. Ada apa? Hehehehe. Baru bangun tidur ini.”

Wedhus! Ditelpon ora diangkat-angkat! Darimana saja kamu?”

“Hehehehe. Selow dikit lah Bos. Baru tidur ini, semalam habis dapat mangsa baru Bos, hehehe. Mau nggak Bos?”

Sekedar basa-basi, Sukirlan menawarkan ‘mangsa’ barunya, yang tak lain adalah Reva. Meskipun ia tahu kalau kemungkinan besar pria yang merupakan bos preman itu akan mau saat ini pastilah sangat kecil, karena dia sendiri saja koleksi mangsanya jauh lebih banyak dari Sukirlan, dan lebih bening-bening.

“Halah… Mangsa baru mangsa baru. Alesanmu basi! Kalau sudah urusan sama memek, susah mau nyari kamu! Jingan! Ini ada urusan penting yang mesti kamu ketahui…”

“Hehehe, serius nih Bos nggak mau? Cakep lho, baru tak perawanin kemarin, hehehe.”

“Wes, itu kapan-kapan aja! aku lagi nggak minat yang begituan! Aku ada berita penting buat kamu, sekaligus kasih kamu peringatan!”

Lan mengernyitkan dahinya. Peringatan? Ada apa ini? Sepertinya orang ini benar-benar sedang marah.

“Emang ada apa sih, Bos?”

“Obat itu. Kamu masih punya stok?”

“Masih kok Bos, masih lumayan ini stoknya.”

“Oke. Untuk sementara tahan, jangan diedarin.”

“Oke. Tapi, emangnya ada apa sih Bos?”

“Kamu tahu kan, ada sesuatu yang terjadi di cluster Kembang Arum Asri di lereng Gunung Mandiri? Ada kehebohan di sana. Aku tertarik dengan itu jadinya aku datang. Ada sesuatu yang menurutku mencurigakan dari peristiwa ini.”

“Loh, Bos kok sampai tahu ada kejadian di cluster Kembang Arum Asri? Emang bos lagi ada di sana?”

“Iya, aku lagi di sini. Barusan aku lihat juga si Sukirman lewat mau ke rumah si Nisa yang ayu itu. Tidak apa-apa, kita biarkan saja dia mengamankan situasi untuk saat ini, toh memang itu tugas dia. Tapi yang pasti, kita tidak ingin ada keterlibatan polisi. Kalau ada mereka, bakal merembet kemana-mana urusannya.”

“Iya Bos.”

“Apalagi aku melihat ada sesuatu yang mencurigakan.”

“Mencurigakan? Apa yang mencurigakan Bos?”

Sukirlan mulai tertarik dengan informasi dari Sarmanto, orang yang selama ini menjadi tempat ia mengambil obat-obatan yang dia gunakan untuk menaklukkan para wanita.

“Iya. Aku lihat ada orang yang mencurigakan. Kalau menurut tebakanku, dia orang yang jadi dalang si Nisa digerebek. Aku juga tahu ada keterlibatan obat itu dalam peristiwa ini, pasti orang itu dapat obat itu dari kamu! Siapa lagi kalau bukan kamu! Satu-satunya dealer di sini kan kamu!”

Untuk kesekian kalinya Sukirlan harus mengakui kecerdasan Sarmanto dalam membaca situasi. Entah bagaimana ceritanya suplayer obat-obatannya itu bisa sampai di cluster Kembang Arum Asri, tapi analisanya sangat tajam. Dan dia sudah tahu, siapa orang yang dimaksud oleh Sarmanto.

“Maksud Bos, mungkin Lek Sobri. Dia tadi…”

“Iya siapalah namanya, aku nggak peduli. Yang penting, sekarang kamu tahan dulu stok yang masih ada, jangan diedarin dulu! Jangan sampai ada orang lain yang tahu peredaran obat itu sudah sampai di Lereng Gunung Mandiri. Wedhus pancene!

“Baik Bos. Nanti akan saya peringatkan orang-orang yang beli obat di saya, untuk tiarap dulu. Bisa bahaya kalau sampai keberadaan obat-obat ini terendus pihak yang berwajib. Apalagi tempat ini nggak jauh dari obyek wisata, siapa tahu ada intel nggak jauh dari sini.”

“Betul sekali. Kemungkinan ada intel di daerah ini. Aku tidak tahu dia siapa dan aku tidak peduli juga dia yang mana. Yang penting namaku tidak disangkutpautkan dengan urusan apapun di tempat ini, apalagi yang ada urusannya dengan selangkangan kalian! Polisi bisa dengan mudah mengendus masalah obat ini gara-gara diekspos seperti ini dan aku tidak mau terlibat.”

“Jadi, menurut bos, kira-kira di tempat ini, atau di dekat sini, sudah mulai ada intel kepolisian?”

“Iya. Aku belum yakin, nanti aku cari informasi lagi. Makanya, untuk saat ini kamu tiarap dulu. Kasih tau semua anak buahmu untuk tidak gegabah, jangan gunakan dulu apa-apa sampai suasana aman. Beritahu semuanya tanpa terkecuali!”

“Baik Bos. Selain anak buah saya, pelanggan saya juga bakal saya peringatkan.”

“Iya. Ingat baik-baik dan jangan lengah! Apa yang barusan aku bicarakan ini masalah serius. Kenapa aku benar-benar menegaskan ke kamu, karena aku kenal kamu, Lan! Kamu itu bakal lengah kalau sudah ada cewek buka selangkangan lebar-lebar! Begitu ada memek kamu sering meleng dan tidak fokus. Kali ini kamu harus benar-benar serius, jangan macam-macam!”

Klik.

Tuutt… Tuutt… Tuutt…


Panggilan diputus secara sepihak oleh Sarmanto. Itu artinya dia tidak sedang bercanda.

Kini, rasa kantuk Sukirlan benar-benar sudah hilang, berganti dengan emosi yang membuncah. Ia kesal, benar-benar kesal. Bukan karena kata-kata dari Sarmanto, tapi karena keadaan saat ini ternyata sangat serius, jauh lebih serius daripada yang ia kira. Dan semua itu, berawal dari seseorang yang pekok selangit.

“Jingaaaaaaaaan… Ini gara-gara si Sobri! Wuasyuuuu! Ngapain pakai disebar di grup sih?!! Kan tinggal pakai fotonya buat ngancam Nisa, biar bisa ngentotin memeknya terus. Ngapain pakai bikin rusuh kayak gini sih!”

Lan memijat kepalanya yang tiba-tiba pusing. Harus dia akui, dia memang tidak pintar dalam hal-hal seperti ini. Tadinya dia pikir ini hanya akan menjadi skandal di perumahan saja. Ia sama sekali tak berpikir jauh ke depan, tentang resiko besar yang bisa mereka terima akibat kelakuan si tua bangka Sobri itu.

Dengan amarah yang masih membara, ia membuka aplikasi pesannya, dan membuka salah satu grup yang berisikan para anak buahnya. Sebuah kalimat singkat, namun ia yakin semua anak buahnya paham kalau ini adalah hal yang urgent.

KUMPUL DI MARKAS, SEKARANG!



.::..::..::..::..::.



Sudah lewat tengah hari, tapi matahari masih terik sekali. Belakangan ini cuaca memang sedang panas-panasnya. Mandi di siang hari dengan guyuran air dingin terasa begitu segar di badan, tapi langsung hilang seketika saat semua pakaian selesai dikenakan. Rasanya langsung gerah lagi.

“Kok masih panas banget sih ini, perasaan kemarin nggak sepanas ini deh.”

Prima keluar dari kamarnya. Ia merasa sudah jauh lebih segar sekarang. Air di dalam bak mandi sampai ia habiskan sendiri, karena memang guyuran air itu membuat badannya terasa amat segar. Tapi sekarang dia sudah merasa gerah lagi, padahal pakaian yang ia kenakan saat ini hanyalah kaos oblong dan celana pendek saja.

Ia berjalan menghampiri calon istrinya yang sedang menyiapkan makan siang untuk mereka. Ia merasa perutnya benar-benar lapar. Prima sampai lupa kapan terakhir kali ia mengisi perutnya sampai bisa-bisanya selapar ini. Rasanya seperti abis puasa seharian saja.

Seandainya ia ingat, kalau terakhir dia makan adalah saat sarapan bersama keluarganya kemarin. Setelah itu, belum sempat makan siang ia sudah dibuat tertidur dengan sangat nyenyak oleh Sukirlan, bahkan hingga pagi ini. Hampir 24 jam. Wajar jika sekarang ia sangat kelaparan.

“Sudah selesai Mas, mandinya?” sapa Reva yang sudah duduk di tikar menunggu kedatangan sang calon suami.

Reva juga lapar, meski tak merasa selapar Prima. Ada hal lain yang membuat rasa laparnya teralihkan.

“Udah Dek, tapi ini udah gerah lagi. Hawane sumuk banget, panas banget ya dari tadi,” jawab Prima yang langsung duduk dan mengambil nasi. Tak lupa ia tambahkan beberapa lauk sederhana yang dimasak oleh Reva.

Memang tak banyak yang dihidangkan oleh calon istrinya, karena tidak banyak bahan yang tersedia di dapur. Mau belanja juga sudah terlalu siang. Akhirnya apa yang ada saja yang bisa diolah oleh Reva, dan jadilah menu makan siang dadakan ini. Meski begitu Prima terlihat begitu lahap. Selain karena sebenarnya masakan Reva memang enak, perut Prima sudah tak mau menunggu lagi untuk diisi.

Berbeda dengan Prima, Reva hanya mengambil sedikit. Secukupnya. Ia makanpun dengan santai, tak tergesa-gesa seperti Prima. Sesekali Reva tersenyum melihat sang calon suami yang sampai belepotan makannya, tapi ia juga tak ingin menghentikan apa yang dilakukan oleh Prima. Biar saja, biar calon suaminya itu kenyang dulu.

Saking lahapnya Prima makan, ia tak menyadari kalau mata calon istrinya masih terlihat sembab. Lelaki itu tak tahu kalau Reva menghabiskan waktu berjam-jam untuk menangis.

Keduanya diantar pulang oleh Sukirman dan Seto sekitar jam 8 tadi. Prima yang masih berada dalam pengaruh obat tidur terlihat seperti orang linglung, namun kemudian ia tertidur lagi. Sedangkan Reva langsung menuju ke kamar mandi untuk mengguyur tubuhnya.

Gadis cantik itu menangis sejadi-jadinya. Berkali-kali ia mengguyur badannya, berharap tubuhnya yang telah kotor itu bisa ia bersihkan lagi. Berkali-kali Reva membasuh lubang surgawinya, mengorek bagian dalamnya, berharap sperma Sukirlan yang sudah masuk entah berapa banyaknya, bisa ia keluarkan semuanya.

Reva tak tahu, tak menghitung, dalam semalaman itu berapa kali rahimnya disiram oleh cairan kental sang juragan buah. Reva tak ingin, tapi tak bisa menolak ketika penis besar nan panjang milik pejatannya menghujam begitu dalam dan melepaskan benih-benihnya dalam rahim sang bidadari.

Reva bergidik membayangkan, bagaimana dirinya akhirnya bisa menikmati permainan sang preman dengan penis monsternya itu. Meskipun membuat pangkal pahanya hingga kini terasa ngilu, bahkan untuk berjalan saja ia merasa sedikit kesakitan, tapi tak bisa ia pungkiri bahwa semalam ini ia seperti telah diajari oleh si Lan, telah diperkenalkan oleh sang penjahat kelamin, tentang kenikmatan yang selama ini belum pernah ia rasakan.

“Dek… Dek…”

“Eh… I-Iya, kenapa Mas?”

Reva terkejut saat ternyata Prima sedang memanggilnya. Reva benar-benar malu pada dirinya sendiri, bisa-bisanya dia malah teringat betapa penis perkasa Sukirlan telah membuat dirinya terlena.

“Itu, lauknya boleh Mas minta nggak? Hehehe.”

Reva tersenyum lebar. “Oalaah, ya ambil aja tho Mas. Kalau kurang, mau digorengin lagi?”

“Emang masih ada tempenya?”

“Masih dikit sih, tapi sebenarnya itu aku sisain buat Dena, gimana Mas?”

“Eemm… Nanti Dena suruh beli makan di luar aja deh, hehehe.”

Reva menggelengkan kepalanya. Tapi sejurus kemudian dia mengangguk. “Ya udah, aku masakin lagi, Mas.”

“Makasih ya sayangku, hehehe.”

Reva yang memang sudah menyelesaikan makan siangnya yang hanya sedikit itu, mulai berdiri dan berjalan ke arah dapur. Lagi-lagi, karena saking sibuknya sang calon suami makan, Prima sama sekali tak memperhatikan gaya berjalan Reva, yang sedikit mengangkang itu.

Duh, rasanya masih gini aja, kayak masih ada yang mengganjal.

Sambil menggorengkan tempe untuk calon suaminya, berkali-kali Reva menatap Prima yang masih asyik makan. Ia bahkan sudah 3 kali mengambil nasi dari bakulnya. Tak heran jika lelaki itu meminta tambahan lauk, yang sebenarnya merupakan jatah untuk Dena, adiknya.

Terenyuh rasanya, hati Reva. Ia berusaha sangat keras untuk menahan tangisnya. Ia takut membayangkan, bagaimana jika nanti Prima tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia tak bisa membayangkan apa jadinya masa depan pernikahannya, apakah akan lanjut, atau batal, jika Prima tahu semuanya.

Reva takut, jika akhirnya Prima tak bisa menerimanya karena ia sudah tak suci lagi. Ia sudah tak bisa mempertahankan keperawanan, yang sejatinya akan ia berikan kepada Prima. Ia sudah tak bisa mempertahankan tubuhnya dari jamahan orang lain seperti Sukirlan. Ia takut akan apa yang terjadi, jika nantinya Prima tahu kalau rahimnya sudah berkali-kali diisi oleh sperma laknat milik si Lan.

Yang paling ia takutkan adalah...

Gimana nanti kalau Mas Prima tahu, kalau aku… kalau aku malah mulai menikmati… batang kejantanan besar Mas Lan?





BAGIAN 23 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 24
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd