Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUJUH (Kolaborasi Enam Penulis)

Tujuh bidadari, tujuh cerita. Yang mana favorit anda?

  • Nisa

  • Amy

  • Shinta

  • Intan

  • Aida

  • Ayu

  • Reva

  • Maya


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Terima kasih bro PB dan rekan2..
Setelah lama menanti terobati juga dahaga ini, walaupun tetap selalu ga puas klo cerita bagus...hhahaha
 
TUJUH - SEBUAH CERITA KOLABORASI
BAGIAN 24-A | HATI YANG LUKA

Story dan editing oleh @killertomato
Story parts dibantu oleh @Topi_Jerami






Matahari sudah semakin meninggi, masakan pun sudah jadi dan tersaji di meja makan. Anak-anak sudah mandi dan saat ini menonton televisi di ruang tengah. Nisa baru saja menyelesaikan semua pekerjaan pagi. Ia pun baru saja selesai mandi dan keramas.

Seketika hapenya berbunyi. Nisa buru-buru melihat layar ponsel untuk memeriksa siapa yang baru saja menghubunginya.

“Mas Haris kah? Eh bukan… Ini… Aida?” Nisa yang masih trauma dengan kejadian kemarin mengelap air matanya. Ia mencoba bersikap biasa saja sebelum dirinya pun mengangkat panggilan telepon tersebut.

“Haloo?” Jawab Nisa dengan lesu.

“Tante Nisaa… Haloo…” Baru satu kata yang Nisa keluarkan. Aida sudah merasa tidak enak. Tidak biasanya tantenya berbicara selesu ini.

“Iya, Aida… Gimana? Ada apa?”

“Engga tante… Tante baik-baik aja? Semalem Aida telpon kok gak diangkat.” Aida tidak langsung membicarakan kejadian yang barusan terjadi di depannya. Ia ingin mengetahui dulu keadaan tantenya itu.

“Eh apa iya? Tante… Euhm… Lagi gak enak badan sih… Hehe…” Nisa menjawab sekenanya. Bukan ia tidak mau berbicara dengan keponakannya yang cantik itu. Ia hanya ingin waktu sendiri. Ia sedang ingin menata hatinya terlebih dahulu.

“Eh beneran tante? Terus sekarang gimana kabarnya?” Tanya Aida khawatir.

“Ya mendingan, tapi kata dokter harus istirahat lagi… Gak boleh banyak aktifitas dulu.” Nisa pun sampai berbohong. Ia tidak mau keponakannya itu tahu kabar yang sebenarnya dari tantenya.

“Oh ya sudah tante… Maaf ganggu… Tante cepet sehat ya…” Aida pun merasa tidak enak karena sudah mengganggu waktu istirahat tantenya.

“Iya sayang… Makasih… Oh ya, tante mau nanya dong… Gimana keadaan disana? Apa kamu masih sendirian bekerja di sana?” Tanya Nisa kepikiran keadaan keponakannya.

“Iya tante… Hehehe… Dari pagi Aida sendirian… Yang lain belum pada dateng…”

“Kalau kamu capek, kamu bisa langsung tutup aja ya…. Jangan dipaksakan… Tante jadi gak enak deh sama kamu yang udah bekerja sendirian terus akhir-akhir ini…”

“Hehe iya tante makasih… Aida gak capek kok… Cuma kalau nanti Aida merasa capek, Aida tutup tokonya aja gapapa kan ya?”

“Iya gapapa… Makasih ya sekali lagi, keponakan Tante yang paling cantik.”

“Iya tante sayang… Terima kasih…”

Nisa tersenyum dari ujung panggilan. Setelah itu panggilan berakhir. Nisa pun terduduk lesu di tepi ranjangnya lalu melepas hijab bergonya.

Entah kenapa obrolannya sekilas dengan Aida cukup untuk melegakan hatinya. Memang betul, dirinya tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Memang hidupnya sedang diuji. Dan namanya ujian yang dialami manusia pasti tidak ada yang tidak berhasil. Semuanya pasti berhasil. Tinggal waktu saja yang akan menjawab sisanya.

Nisa merasa termotivasi kembali berkat bantuan kenalan-kenalan terdekatnya. Ia pun berterima kasih pada Aida dan juga… Mang Juki.

Dengan hanya mengenakan pakaian apa adanya, Nisa membangunkan Mang Juki yang masih terlelap.

“Mang, Bangun. Sudah siang. Aku berangkat dulu ya. Mau ke ruko.”

“Hmm? Masih ngantuk ini…”

Nisa tersenyum, tentu saja masih ngantuk. Semalam ia menjaga Nisa tanpa tidur, memastikan dirinya aman dan tenang baru istirahat, Nisa-lah yang dini hari tadi meminta Mang Juki tidur di ranjang sementara ia pindah ke kamar Ceny.

“Bangun, Mang. Nanti kalau Yuna datang, bakal repot kita menjelaskan kenapa kok Mamang sampai tidur di sini. Sudah, mandi dulu sana. Aku rapikan pembaringannya.”

Dengan malas Mang Juki beringsut dan bangkit.

Tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh dari luar. Suara yang membuat kedua orang yang bukan pasangan suami istri itu saling berpandangan.

“Itu apa ya?” tanya Nisa.

Mang Juki menggeleng.

Ceny dan Abay berlari-lari dengan panik, mereka memasuki kamar dan langsung menghampiri Nisa. Keduanya memeluk sang bunda dengan ketakutan.

Nisa yang baru saja membersihkan diri dan hanya mengenakan pakaian apa adanya tanpa pakaian dalam mulai menyadari suara berisik itu ternyata sangat dekat dan jelas. Ia mengencangkan cardigan yang ia kenakan.

Nisa membungkuk untuk berbicara dengan kedua buah hatinya, “Kalian berdua kenapa?”

Ceny dan Abay berteriak dan mengucapkan kata-kata yang tak jelas karena panik, tapi mereka menunjuk-nunjuk keluar jendela.

Nisa memandang ke arah Mang Juki dengan khawatir, wajah Mang Juki pun terlihat menegang. Pria yang baru saja terbangun dari tidurnya itu melangkah ke jendela, bersembunyi di balik tirai, dan langsung terbelalak setelah ia melihat keluar.

“A-apa yang…” ia menengok ke arah Nisa, wajahnya tegang, “Bu, sebaiknya lihat ini. Di luar ramai sekali.”

Nisa buru-buru menyusul Mang Juki dan melihat keluar melalui jendela kamarnya.

“Hah, a-ada apa ini?”

Nisa terkejut saat melihat kerumunan yang berdiri di luar rumahnya. Wajah mereka terlihat marah dan penuh kebencian. Bahkan sampai ada yang membawa kertas karton yang ditulis dengan huruf teramat besar. Rumahnya bagaikan kantor pemerintah yang sedang didemo oleh massa karena kenaikan BBM.

Nisa mencoba mencari penjelasan, tapi Mang Juki pun sama bingungnya. Tak tahu apa yang terjadi, sepertinya keluar rumah untuk mencari penjelasan dan menenangkan massa merupakan satu-satunya pilihan. Mereka harus tahu apa masalahnya.

Melihat Mang Juki hanya mengenakan kemeja yang tak dikancingkan, Nisa buru-buru mencari pakaian yang lebih pantas di lemari pakaian sang suami. Ia melemparkan kaos polo milik suaminya kepada Mang Juki. “Ini, Mang. Pakai ini saja. Takutnya mereka menuduh yang tidak-tidak.”

Mang Juki pun bergegas mengenakannya. Sayang pakaian itu sangat ketat di badan Mang Juki yang cukup berotot. Sementara Mang Juki berganti pakaian, Nisa pun buru-buru mengenakan hijab bergonya. Sekali lagi ia menghampiri Ceny dan Abay yang duduk ketakutan sambil berpelukan di atas ranjang. “Kalian jangan keluar dulu, oke? Sembunyi di kamar kalian. Semuanya akan baik-baik saja. Jangan khawatir.”

Keduanya mengangguk dan bergegas.

Sekilas lirik, Mang Juki sudah siap. Nisa pun bergegas keluar bersama Mang Juki mengikuti di belakangnya. Nisa tadinya ingin mengenakan pakaian yang lebih pantas, tapi rasa-rasanya tidak akan sempat, suasana di depan makin gemuruh.

Saat pintu dibuka, massa yang melihat Nisa dan Mang Juki keluar bersama dari rumah Nisa semakin ricuh. Mereka mulai mencemoh mereka berdua. Bahkan tak jarang ada yang menggunakan kata kasar untuk menghina wanita berhijab yang selama ini dikenal baik dan ramah itu.

“Perrggiiiii!!! Peerrgiiiii kamu dari sini, dasar lonte sok alim! Pelacur sepertimu tidak layak untuk tinggal disiniiii!”

“Pelacuuuuuur! Hinaaaaa sekali kamuuuu! Pelacur murahaaaan!”

Nisa terkesiap! Apa-apaan ini? Kenapa tiba-tiba sekali semua orang marah kepadanya?

Nisa yang mendengar semua tuduhan itu langsung terluka. Bagaimana bisa dirinya disebut sebagai seorang pelacur secara tiba-tiba? Apa yang terjadi? Kenapa mereka begitu kompak sekali dalam menghinanya?

Mang Juki yang memperhatikan Nisa tenggelam dalam ketakutan langsung mencoba pegang kendali, “DIAM! DIAAAAM SEMUANYAAAA!! DIAAAAM! APA YANG TERJADI!? INI ADA APA!? TOLONG JELASKAN! ADA APA SEBENARNYA?”

Niat hari berusaha untuk menenangkan massa, namun massa yang mendengar ucapan lantang dan tegas dari Mang Juki justru semakin marah. Beberapa warga cluster dan desa yang membawa tomat dan telur busuk langsung melempari kedua pasangan itu.

“Gak usah sok polos kalian! Gak usah pura-pura gak tahu! Kami jijik dengan perbuatan kalian! Menjijikkan!”

Winda istri Mang Juki menyeruak keluar dari massa dan maju ke depan ke arah Nisa. Perempuan bertubuh besar itu langsung menampar Nisa!

Plaaaaaaaaak!

Nisa terbanting ke belakang. Pipinya memerah, air matanya meleleh, “Ke-kenapa? Aku salah apa?”

Mang Juki yang melihat itu berusaha menghalangi istrinya, “HEH! KAMU INI KENAPA!?”

“KAMU ITU YANG KENAPA! DASAR OTAK DI SELANGKANGAN! KEPALA ISINYA MEMEK MELULU! ENAK YA MEMEK DIA? PASTI ENAK KAN? PASTI WANGI KAN? KAMU SUDAH DARI DULU MENGINCAR MEMEKNYA KAN?”

Winda kembali menatap Nisa dan meludahinya, Nisa berusaha melindungi diri sendiri dengan ketakutan. Winda akan kembali menampar Nisa namun dihalangi oleh Mang Juki, “Baguuuus! Lindungi saja dia! Lindungi saja lontemu, dasar lelaki tidak berguna!! Aku minta cerai! Ceraikan saja aku!”

Mang Juki terkejut dengan kemarahan Winda. Dia sungguh-sungguh tidak paham apa yang tejadi. Winda menunjuk ke arah sang ibu muda berkerudung yang saat ini menangis, “Aku kecewa sama kamu, Nisa! Di luar terlihat alim dan anggun, eh ternyata kamu gak ada bedanya dengan pelacur jalanan di luar sana. Bahkan lebih hina! Dasar munafik! Dasar pelacur rendahan! Sudah punya suami masih saja berbuat seperti itu! Pelakoooor kamuuuu! Pelakoooor!”

Warga lain membantu Winda, “Kamu pasti menggoda Mang Juki untuk tidur denganmu kan? Iya kan? Dasar wanita murahan! Aku kecewa mengenalmu, Nisa! Kami semua kecewa! Penampilan saja yang anggun, ayu, dan alim – ternyata di dalamnya busuuuuuk!!”

“Nisa! Kamu itu rendah sekali! Kamu itu gak punya harga diri ya?”

“Pelacur!”

“Kita panggil polisi! Panggil polisi!”

Hampir semua hinaan tertuju pada diri Nisa. Tangisan Nisa makin menjadi-jadi. Ia pasrah dan ketakutan, ia hanya bisa bersembunyi di belakang perlindungan Mang Juki yang pasang badan di depannya.

“Sebentar! Sebentar! Kami benar-benar tidak tahu ini ada apa sebenarnya?! Tolong jangan asal menuduh yang tidak-tidak ya! Apa bukti dari ucapan kalian? Kenapa kalian memfitnah Bu Nisa?” tanya Mang Juki yang mencoba membela Nisa.

“Dibela teruuus!” sindir Winda, “Begini kalau sudah dapat enaknya! Enak ya memeknyaaa!?”

“DIAM KAMU!” bentak Mang Juki tidak sabar melihat kelakuan istrinya. Meskipun ia tahu kalau Nisa kemarin lusa baru saja diperkosa, tapi Ia bingung dengan tuduhan massa yang mengatakan Nisa telah menggoda dirinya. Lah, memang kapan Nisa menggoda dirinya? Dia saja tidak merasa digoda. Ia tahu persis Nisa bukan orang yang seperti itu, “Jangan memfinah kecuali kalian punya bukti! Jangan asal tuduh!”

“Bukti? Perlu bukti apa lagi? Kehadiran Mamang di rumah Nisa saja sudah cukup untuk menjadi bukti! Kalian tertangkap basah! Jangan-jangan kalian juga baru saja berzina kan? Gimana Mang? Enak? Enak ya memeknya Nisa?! Bajingan kamu! Coba lihat di grup WA! Butuh penjelasan!? Lihat di saaanaa!” tegas salah satu bapak-bapak warga cluster yang marah.

“Lihat grup WA?” Mang Juki menoleh ke arah Nisa.

Nisa yang kebetulan membawa hape segera memeriksa grup yang dimaksud. Grup yang dimaksud pasti grup WA bersama warga cluster Kembang Arum Asri. Betapa terkejutnya Nisa saat melihat foto dirinya dan Mang Juki yang telanjang dipamerkan di grup itu. Ia dituduh berzina dengan mang Juki oleh Uwak Sobri.

“A-APAAA INIIII!?” Nisa berteriak kencang dan melemparkan ponselnya, tangisannya meledak lebih kencang, “TIDAAAAAAK!!”

Mang Juki memungut ponsel yang dilempar Nisa dan melotot melihat apa yang sebenarnya terjadi, “BAAJJJIINGGAANN KAU SOBRIII…. SIAAALLAAANNN… AKAN SAYAA BUNUUHH KAMUUU… SOBRIIIIII!!!”

Mang Juki murka. Ia akhirnya paham kenapa dirinya terbangun dalam keadaan telanjang bulat di sebelah Nisa kemarin malam.

Kerumunan semakin ramai. Massa yang mayoritas terdiri dari ibu-ibu serta beberapa dari suami-suami mereka mulai memadati halaman depan rumah Nisa. Mereka semua marah. Mereka semua mulai mengeluarkan kata-kata yang menjelek-jelekkan diri Nisa, istri dari seorang dosen yang mau-maunya ditiduri oleh seorang tukang.

Ketika kerumunan itu merangsek maju, Mang Juki hanya bisa pasang badan untuk melindungi bidadari surganya.

Namun sebenarnya, di antara kerumunan itu, ada satu orang yang sejatinya tidak marah atas perbuatan yang Nisa lakukan. Ia justru tertawa. Ia cekikikan dari kejauhan saat melihat massa mengamuk dan menyudutkan Nisa dan Mang Juki.

Siapa dia? Siapa lagi kalau bukan… Uwak Sobri.

“Heheheh. Maaf, Nisa. Harap bersabar beberapa saat lagi. Maaf karena sudah membuatmu terlibat. Jangan khawatir. Aku pasti akan melindungimu dari massa ini. Aku masih sangat ingin merasakan memek lezatmu. Hahahaha.”



Suasana kian tak terkendali di depan rumah Nisa.

“Pergi kaliaaann…! Kehadiran kalian hanya akan menodai kampung kita yang asri ini! Kami tidak akan pernah menerima pezina dan pendosa! Kami tidak menerima pelaku maksiat yang hanya akan membawa bencana di perumahan kami ini…!”

Para ibu-ibu mulai tidak sabar lagi. Mereka mendekat. Bahkan ada yang menarik-narik tangan Nisa untuk mengusirnya keluar dari cluster Kembang Arum Asri. Dia salah satu dari penghuni yang kesal karena suaminya selalu diam-diam mengambil gambar Nisa dari kejauhan.

“Lepaasskaannn! Lepaskaann akuu ibuuuu! Aku bisa jelaskaannn! Aku tidak pernah berzina dengan mang Juki, Bu…! Akuu...” Nisa terus meronta-ronta. Ia menolak diusir atas tuduhan berzina dengan mang Juki, apalagi karena memang dia tidak melakukannya.

“Kamu juga Juki! Sialan sekali kamu berani menikmati tubuh Nisa! Lebih baik kamu juga pergi! Pergi dari kampung ini! Mau menikmati tubuh Nisa? Silahkan lakukan di luar cluster ini! Sana berzina saja di hotel! Tak tahu diri! Memalukan! Menjijikkan!”

Tak hanya ibu-ibu. Para bapak-bapak yang ada juga kesal karena mendapati ada lelaki lain yang mampu menikmati tubuh indah Nisa. Itupun seorang Mang Juki yang tidak hanya kelas rendah, tapi juga buruk rupa.

Tubuh kekar mang Juki pun ditarik. Bahkan kaus yang dikenakannya juga ditarik.

“Woy! Apa-apaan ini!? Hehh! Lepaskaaan sayaa paakkkk…! Apa yang kalian lakukan!” Mang Juki terkejut. Ia kaget mengetahui massa hendak melucuti pakaiannya. Terutama oleh para bapak-bapak yang marah kepadanya.

“Apa yang kami lakukan? Kami akan mengarak kalian! Enak kan bisa main sama Nisa? Coba main lagi! Lakukan lagi sekarang di depan mata kami!”

Bapak-bapak itu juga mulai menurunkan celana kolor yang mang Juki kenakan. Kedua tangannya dipegangi oleh Pak Irwan dan Pak Gunawan. Tubuh bagian bawahnya pun diangkat oleh bapak-bapak lainnya hingga tubuhnya pun kini sudah bertelanjang bulat di depan rumah Nisa.

“Aaaaahhhhhhhh.” Nisa berteriak yang membuat mang Juki menoleh.

Rupanya tidak hanya Mang Juki yang tengah dilucuti pakaiannya. Nisa pun juga demikian. Hijabnya sudah dilepas dengan mudah oleh amukan para ibu-ibu yang sedang marah. Rambut dari wanita cantik itu pun tersingkap untuk pertama kalinya di hadapan kerumunan massa yang memadati bagian depan rumah Nisa.

“Ayo telanjangi dia! Wanita sepertinya harus kita ajari rasa malu! Bisa-bisanya kamu memilih menggoda lelaki lain di saat lelakimu pergi keluar kota… Bayangkan ibu-ibu! Bisa jadi lelaki kalian lah yang akan digoda oleh pelacur murahan ini! Ayo telanjangi dia! Lucuti pakaiannya!” Ibu Juminten selaku salah satu ibu-ibu yang dituakan di kompleks perumahan ini mulai bersuara. Ia membakar semangat ibu-ibu lainnya untuk menelanjangi Nisa lalu mengaraknya keliling kompleks perumahan.

“Ayoo telanjangiii!!”

“Bugili diaaa!!! Jangan sampai suami-suami kita menjadi korban selanjutnya!”

“Betuullll!! Telanjangii diaaa!! Ayo beri pelajaran pada lonte murahan itu!”

“Jangaaaaan! Lepaskaaann Bu! Lepaskaaannn aku! Ampuun! Ampuuun! Maaf! Maafkan aku! Maaf…” Nisa hanya bisa menangis. Ia merintih, memohon, meminta, dan mencari pengampunan. Nisa harus memelas agar bisa dibebaskan dari amukan ibu-ibu tersebut.

Kobaran api kemarahan yang sudah Bu Juminten letupkan membuat para ibu-ibu itu melampiaskannya pada diri Nisa. Tangan Nisa dipegangi. Rok dasternya mulai diangkat hingga paha mulusnya terlihat. Saat roknya terangkat hingga ke perut. Amarah ibu-ibu itu makin menjadi saat bidadari cantik bertubuh indah itu mencoba meronta.

“Emang ya sekalinya lonte yang tetep lonte…! Mau sealim apapun pakaiannya kalau dalemannya lonte ya lonte…!”

Sudah jatuh ditimpa tangga. Sudah malamnya difitnah, paginya dituduh yang tidak-tidak. Bermacam kesialan menghampiri pasangan tua-muda yang tidak memiliki ikatan pernikahan itu.

Daster Nisa ditarik ke atas dengan paksa. Daster itu pun hampir lolos dari tubuh indah Nisa. Kedua tangan Nisa diangkat. Tapi Nisa berusaha bertahan, dia melawan terus. Sampai akhirnya ada yang merobek daster Nisa di bagian paha dan dadanya, menunjukkan kemolekan sang bidadari.

Para bapak-bapak yang ada di sana terdiam membisu melihat keindahan tubuh molek Nisa. Bahkan ada yang nyaris bersiul setelah melihat keindahannya. Nisa sendiri jatuh terduduk sambil menangis menutupi tubuh indahnya sebisa mungkin. Mang Juki lagi-lagi tak bisa berbuat apa-apa. Ia begitu kesal karena melihat bidadari surganya dipermalukan dihadapan banyak orang tepat di depan matanya.

“Hentikaannn…! Jangan gila kalian! Dia tidak bersalah! Bu Nisa tidak bersalah! Hentikaann kaliaaannn…! Tolongg hentikaannn…! Ini cuma kesalahpahaman…! Saya tidak pernah berzina dengan Bu Nisa!!! Tidak pernah sekalipun!!!”

Mang Juki berteriak di depan kerumunan orang yang berdiri menatap ketelanjangan mereka berdua. Pria itu sudah tidak peduli lagi kalau ia telanjang, tapi ia tak akan pernah mengijinkan laki-laki lain melihat Nisa telanjang.

Nisa hanya bisa menangis. Ia terduduk malu di depan tatapan mata kerumunan massa yang selain marah tapi juga menikmati keindahan tubuhnya. Para ibu-ibu itu sudah tidak memegangi Nisa lagi. Sebaliknya, mereka mengeluarkan hapenya lalu merekam ketelanjangannya untuk membuat Nisa merasa malu.

“Sa-saya tidak pernah melakukannya… saya setia dengan suami saya… saya mohon ibu-ibu dan bapak-bapak mendengarkan saya… saya mohon…” Nisa terisak.

“Tidak pernah berzina…? Lha kok iso-isone ngapusi! Tidak pernah apanya? Sudah jelas-jelas itu di foto dan video kamu sama Nisa lonte ini! Masih mau mengelak? Kamu ini memang…”

Salah satu ibu-ibu di kerumunan yang terbawa emosi hendak menampar pipi Nisa. Beruntung sebuah suara teriakan yang keras menghentikan niatan itu.

“Jangan sakiti Tantekuuuuuu!”

Seorang perempuan muda berlari untuk melindungi Nisa dari amukan warga yang tengah main hakim sendiri kepada pasangan yang dituduh berzina itu. Perempuan itu adalah Aida. Dengan gagah dia berdiri dan membentangkan tangannya melindungi Nisa.

“Ka-kalian punya bukti apa untuk menyakiti Tante Nisa, hah!? Apakah kalian sudah tahu dengan pasti foto dan video itu asli? Bukan hoax? Jangan main hakim sendiri! Aku mohon hentikan semua ini!”

“Aish! Jangan dengarkan diaaaa! Dia kan keponakan Nisa! Jelas lah mau membantu Tante-nya!” salah satu ibu-ibu yang tengah emosi mendorong Aida menyingkir sampai-sampai gadis itu terjatuh!

“AIDA!” Nisa hendak bangkit dan menolong Aida tapi di saat bersamaan, ibu-ibu mulai buas mendekat hendak menelanjanginya.

Saat itulah ada satu lagi sosok perempuan muda hadir di depan Nisa dan melindunginya.

Sttooppppp! Bapak dan Ibu! Mo-mohon jangan dilanjutkan! Jangan sampai anda-anda semua menghakimi seseorang tanpa ada bukti yang kuat! Bukankah seorang polisi pun harus mengumpulkan bukti yang valid sampai benar-benar tak terbantahkan agar bisa menghukum seorang penjahat? Kalau belum terbukti bersalah, tidak bisa dituduh bersalah! Saya mohon hentikan!”

Perempuan muda itu adalah Ayu yang berdiri dengan teman-teman KKP-nya di hadapan penghuni kampung yang emosi. Dia tahu tindakannya itu sangat berbahaya. Tapi dia adalah seorang idealis yang tak ingin melihat ada seorang wanita dilecehkan di depan matanya. Dengan mengajak teman-temannya yang kebetulan sudah datang, Ayu langsung pasang diri.

Seorang wanita cantik lekas berlari lalu menutupi ketelanjangan Nisa dengan daster yang tadi dipakai olehnya. Wanita cantik itu lekas memeluk tubuh Nisa. Wanita cantik yang tidak lain adalah kawan dekat Nisa itu pun menenangkan Nisa dengan mengelus punggung mulusnya.

“Ma-maaf aku terlambat, Kak. Maaf aku selalu saja terlambat bereaksi. Tadi aku takut sekali. A-aku takut. Tapi sekarang aku tidak lagi takut. Sekarang yang tenang ya… ada aku di sini… Kak Nisa tidak usah khawatir,” ucap Amy sambil memeluk tubuh polos Nisa.

Nisa menangis tersendu-sendu. Ia tak kuasa menahan beban berat yang memenuhi rongga dadanya. Ia menangis di pelukan Amy.

Rupanya, selain Aida, Ayu, dan Amy… Ge suami Amy juga hadir di sana.

“Mbak ini benar, Bapak dan Ibu,” ujar Ge menimpali. “Kita tidak bisa semena-mena berlaku tanpa bukti yang pasti dan bisa dipertanggungjawabkan. Jangan hanya gara-gara hoax, justru njenengan-njenengan yang nantinya kena pasal!”

“Tapi mas Ge… Sudah jelas-jelas loh buktinya… Mas Ge sendiri juga liat kan?” Ujar salah satu bapak-bapak yang didukung oleh mayoritas lelaki di kerumunan itu.

“Iya betul itu.”

“Sudah pasti mereka berzina!”

“Lihat saja mereka berdua keluar bersama dari rumah si Nisa!”

Ge dengan sabar pun berusaha meredam amukan masa.

“Oke, anggap saja seperti itu. Tapi kalian juga mesti tahu. Sekarang itu sudah zamannya AI! Bisa saja kan foto dan video itu dipermak di aplikasi AI?” Ayu kembali bersikokoh membela Nisa. Wanita yang sebenarnya tidak ia kenal sama sekali, “Menggunakan AI itu bisa kalian lakukan segampang memencet tombol di hape! Sudah gampang sekali sekarang! Jangan gegabah!”

Ge mengangguk untuk membantu, “Njenengan-njenengan tahu AI mboten? AI meniko singkatan, Bapak Ibu. Singkatan dari Artificial intellegence, kecerdasan buatan. Jadi gampangannya AI itu program komputer yang dapat membantu kita membuat foto dan video tapi tidak asli, semuanya dibuat oleh komputer tapi bisa seakan-akan asli. Tidak kelihatan seperti gambar, kelihatannya seperti asli. Nah, dengan menggunakan AI, mudah sekali bagi kita untuk memfitnah orang dengan menukar wajah orang itu dengan wajah orang lain.”

Massa mulai bercakap-cakap, mempertimbangkan ucapan Ge dan Ayu. Bisikan demi bisikan terdengar. Mereka mulai ragu-ragu.

Sesosok pria datang untuk menambahkan, ia berdiri di samping Ayu. Sosok berwibawa itu adalah Sukirman, sang ketua RT. “Lagipula seandainya mereka beneran berzina, apakah kalian bisa memastikan di mana mereka melakukannya?” Pak Man menunjuk ke rumah Haris dan Nisa, “Di rumah ini? Ada tidak satu orang pun yang sudah memeriksa apakah ranjang yang ada di dalam rumah Bu Nisa itu sama dengan ranjang yang ada di grup WA?”

Para kerumunan itu kembali terdiam. Bahkan beberapa saling memandang. Sebagian dari mereka sudah pernah masuk ke rumah Nisa, memang berbeda sekali suasana di video dan suasana rumah Nisa.

Ge mengangguk, “Coba pak Irwan dan pak Gunawan bisa memeriksa ke dalam rumah… Oh ya, Kak Nisa. Bolehkan mereka masuk ke dalam untuk memastikannya?”

Nisa mengangguk lemah.

Pak Irwan dan pak Gunawan pun bergegas masuk untuk memeriksa ranjang di dalam rumah Nisa. Tak lama kemudian mereka berdua kembali keluar. Aida, Ayu, Ge, Amy, dan Pak Man yang sudah menunggu pun bertanya kepada mereka berdua.

“Bagaimana? Apakah ada kemiripan?” tanya Pak Man.

Kedua bapak-bapak yang tadi memeriksanya itu menggelengkan kepala yang membuat kerumunan heboh.

Sang Ketua RT berujar kembali, “Oke, sekarang perwakilan dari ibu-ibu deh bisa memeriksa sendiri ke dalam.”

Bu Juminten dan Bu Sarminem pun bertugas mewakili para ibu-ibu untuk memeriksa ranjang di dalam. Setelah mereka memeriksanya. Mereka keluar dengan raut wajah menyesal.

“Bagaimana bu? Mirip dengan ada yang di video?” tanya Pak Man dengan nada tegas.

Keduanya menggelengkan kepala.

Pak Man yang ikut kesal karena kerumunan massa yang ada di hadapannya terlampau cepat mengambil kesimpulan dan sudah menghakimi ibu muda jelita itu pun mulai berbicara.

“Bapak dan Ibu mohon didengarkan. Sekarang itu sudah tahun 20xx. Nopo-nopo niku sampun maju sanget. Semuanya sudah sangat maju. Njenengan-njenengan niku seharusnya sudah tidak bisa dibodohi lagi oleh teknologi. Semua harus dicek ulang dengan seksama tanpa terprovokasi dengan mudah. Saya memohon dengan sangat kepada Bapak dan Ibu semua. Tolong, jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi. Sebagai orang yang didapuk memimpin kawasan ini jujur saya tidak nyaman. Saya tidak mau kejadian ini terulang, entah kepada siapapun. Tolong kalau ada berita menyesatkan, silakan crosscheck dulu. Jangan langsung main hakim sendiri. Tolong atur emosinya. Demi kenyamanan kita bersama dalam tinggal di cluster ini maupun di desa Growol dan Bawukan.”

Satu persatu orang yang memprotes Nisa dan memenuhi halaman rumah sang ibu muda itu akhirnya mulai paham. Mereka pun saling berbicara, saling berbisik. Satu persatu mulai menyesali tindakan mereka barusan.

Pak RT kembali berucap, “Sekarang saya mau kalian semua meminta maaf ke Bu Nisa juga kepada Mang Juki. Saya benar-benar kesal. Asli. Saya kecewa pada keputusan kalian yang main hakim sendiri.Bagaimana kalau hal ini terjadi pada diri kalian, istri-istri kalian, anak-anak kalian. Apa kalian puas dengan berbuat barbar begini? Apa kalian senang? Kalian juga pasti sedih kan?”

Para kerumunan terdiam. Mereka tak bisa menjawab apa-apa. Memang ucapan Sukirman begitu masuk akal. Mereka belum memastikan kevalidan beritanya, tapi sudah tersulut. Mereka hanya terpancing emosi sesaat. Mereka juga tidak memberikan Nisa dan Mang Juki kesempatan untuk berbicara, setidaknya untuk menjelaskan kenapa ada Mang Juki di rumah Nisa.

Pak Man meggertak semuanya, “Sekarang minta maaf!”

“Maafkan kami, Bu Nisa… Mang Juki…”

“Maaf. Saya emosi.”

“Maaf… maaf…”

Njaluk ngapuro yo, Juk…”

Sepurane, Juk.”

“Maaf, cantik. Aku tidak sengaja menarik bajumu tadi…”

Setelah sudah banyak yang meminta maaf, Pak Man melambaikan tangannya. “Sudah sudah! Bubar semuanya! Jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi!”

Para kerumunan pun bubar. Satu persatu mulai meninggalkan rumah Nisa untuk kembali ke rumah masing-masing.

“Silahkan dipakai baju kalian lagi,” ujar Sukirman dengan wibawa. Dia meneguk ludah saat melihat kemolekan tubuh mulus istri Haris tepat di depan matanya.

Tidak hanya Pak Man, Ge pun demikian.

Ge berpura-pura menjauhkan pandangannya dari Nisa meski dalam hati ia sangat ingin melihatnya. Kehadiran istrinya di sebelahnya menjadi alasannya. Namun sesekali, ia melirik ke arah Nisa. Entah kenapa tubuh Nisa begitu menggiurkan. Andai mang Juki berzina dengannya, pasti sangat beruntung sekali ia bisa merasakan kemolekan tubuh istri dari sahabatnya tersebut.

Piye, Juk. Kowe rapopo? Kamu tidak apa-apa?” tanya Sukirman beralih ke Mang Juki untuk menanyakan kondisinya. “Apa benar kamu melakukan hal seperti yang di video itu?”

Mang Juki yang sudah berpakaian terkejut mendengarnya. Ia kecewa. Ia mempertanyakan status Pak Man yang tadi membelanya.

“Apa Pak RT juga tidak percaya dengan saya? Demi Tuhan saya tidak pernah berzina dengan Bu Nisa, Pak.”

Jawaban tulus dari Mang Juki membuat Pak Man tersenyum. Ia lalu menepuk bahu Mang Juki yang sudah terbalut pakaian kembali.

“Bukannya tidak percaya, Juk. Hanya memastikan. Syukur kalau tidak. Saya pribadi juga ragu kok dengan berita semalam.”

Ketua RT itu pun lekas berbalik menuju Ge, Amy, Aida, dan Nisa. Ayu dan teman-temannya juga ikut membantu pak RT menenangkan massa yang memohon maaf.

Di saat itulah, Mang Juki yang merasa kecewa karena sudah dipermalukan secara tak sengaja menatap wajah seorang pria tua yang masih berdiri tak jauh dari rumah Nisa sambil nyengir lebar menatapnya. Pria tua itu terus tersenyum saat menatap Mang Juki. Ia lalu mengedipkan mata, tertawa, dan pergi meninggalkan rumah Nisa.

Mang Juki pun menggemeretakkan gigi.

Sialan kau Sobri! Tunggu pembalasan saya nanti!

“Kak Nisa, kakak tidak apa-apa?” Tanya Ge yang membuat Nisa kembali menangis.

Seolah menjawab pertanyaan Ge. Tangisan Nisa membuat Ge paham apa yang sedang dirasakan oleh wanita cantik itu.

“Kak Nisa yang sabar ya. Cobaan setiap individu memang berat. Kakak termasuk sosok yang kuat karena diuji dengan cobaan seberat ini. Ingat, setiap manusia tidak akan diuji melebihi batasnya. Dengan kata lain, Kakak pasti sanggup melalui cobaan ini. Kakak hanya perlu bersabar. Jangan lagi mikirin hal yang bikin kamu sedih dan kecewa,” ucap Ge sambil tersenyum menatap wajah ayu Nisa yang sudah kembali berhijab.

“I-Iya tuh kak. Bener apa yang dibilang mas Ge. Kak Nisa itu kuat loh. Mentalnya baja. Jujur kalau masalah ini menimpa aku, Aku bakalan stress parah. Tapi aku beda sama kak Nisa. Aku yakin Kak Nisa pasti sanggup melalui semua ini.” Amy tersenyum sambil memeluk erat tubuh Nisa.

Nisa ikut tersenyum. Ia lalu membalas pelukan Amy.

“Terima kasih ya, Dek. Aku beruntung bisa mempunyai sahabat yang baik seperti kalian. Makasih juga ya mas Ge, Aida, dan mbak mahasiswa sudah membelaku di depan kerumunan. Gak tau deh bakal apa nanti jadinya kalau tidak ada kalian.” Ujar Nisa tersenyum dengan tulus sambil menatap Ge.

Mang Juki yang melihatnya dari kejauhan merasa kecewa. Ia cemburu pada tatapan ketulusan yang Nisa berikan pada Ge. Ia juga kesal karena lagi-lagi tidak bisa berubat apa-apa untuk melindungi Nisa.

“Sama-sama, Kak. Ya sudah saya sama Amy pulang dulu. Kakak tidak apa-apa kan sendiri dulu? Biar anak-anak dirawat atau dititipkan ke Yuna untuk beberapa hari. Atau Kakak mau ditemani Amy?” tanya Ge sambil berjongkok lalu menatap Amy.

“Iya kak, kalau kak Nisa butuh temen… Aku siap nemenin kok.” ujar Amy sambil tersenyum.

“Tidak usah, Dek. Terima kasih. Tapi aku mau istirahat aja. Kepalaku rasanya kayak mau pecah. Aku capek banget.” kata Nisa sambil menggelengkan kepala.

“Ya sudah kalau gitu, kami pamit pergi dulu ya. Kalau ada apa-apa, silahkan hubungi kami. Kami siap bantu kok,” ujar Ge sambil tersenyum. Amy yang berdiri di sebelahnya pun ikut tersenyum.

Nisa pun menatap kedua pasangan itu juga sambil tersenyum.

“Iya mas Ge. Dek. Makasih yah sudah datang membantu.”

Ge mengangguk. Ia dan istrinya pun pergi meninggalkan Nisa sendirian di depan rumahnya.

Di tengah perjalanan pulangnya, Ge diam-diam melirik ke belakang untuk menatap Nisa. Nisa rupanya masih menatap dirinya. Ge pun tersenyum dalam hati. Sialan, memang cantik banget istri mas Haris.

Untung foto telanjang Nisa sudah kuamankan. Bisa buat bahan coli nanti kalau sudah sampai di rumah. Hihihiihi.

Batin Ge yang diam-diam bernafsu pada istri sahabatnya itu.

Setelah Ge dan Amy keluar melewati gerbang pagar rumah Nisa. Giliran Aida yang mendekati sang Tante.

“Tante…”

“Aida….”

Aida, sang keponakan yang biasa diminta Nisa untuk kios kuenya itu bergegas berlari lalu memeluk tubuh Nisa. Ia ikut menangis. Ia ikut berempati melihat apa yang terjadi pada diri sang Tante-nya tercinta.

“Maafin Aida, Tante. Aida tidak bisa berbuat apa-apa melihat Tante direndahkan oleh ibu-ibu brengsek tadi.” Rengek Aida sambil memeluk tubuh ramping Nisa, “Aida pengen membantu tapi… tapi…”

“Sudah tidak apa-apa, Aida. Se-semuanya sudah selesai.” Nisa jadi ingat sesuatu, “Anak-anakku! Bagaimana anak-anakku!?”

“Anak-anak aman di rumah depan… di rumah Mbak Yuna. Tante Nisa tidak usah khawatir. Mereka diselamatkan kakak-kakak KKP. Mereka tidak tahu kok apa yang tadi terjadi pada Tante.”

“Syukurlah kalau gitu, aku lega, Aida.”

“Iya. Tante tidak usah khawatir. Untuk saat ini, Tante sebaiknya istirahat dan tidak perlu berpikir macam-macam dulu. Tante full istirahat aja ya di rumah sampai om Haris pulang.”

Nisa terkejut, ia juga langsung teringat.

Haris! Apakah mas Haris juga tahu!? Celaka… apa yang harus aku lakukan?

Aida dan Ayu meninggalkan Nisa sebentar sementara mereka membersihkan bagian depan rumah Nisa, Pak RT masih terus berkomunikasi dengan beberapa orang, sepertinya memastikan keamanan di dalam cluster.

Kini, hanya tersisa mang Juki dan Nisa saja di depan rumah Nisa. Mang Juki terdiam membeku. Nisa juga duduk terdiam di halaman rumahnya.

“Aku mau masuk dulu, Mang.” Ujar Nisa memecah keheningan.

“Oh ya, iyya.” Mang Juki yang terkejut hanya iya iya saja. Namun sebelum Nisa masuk ke dalam rumah. Ia kembali memanggil Mang Juki untuk mengatakan sesuatu yang membuat tukang serabutan itu merasa sakit namun memahami perkataannya.

“Dalam waktu dekat, mungkin kita tidak bisa bertemu, Mang. Aku tidak mau dicurigai oleh warga kalau kita terus-terusan bersama. Terima kasih atas bantuannya. Maaf.”

“Sa-saya paham. Tapi…”

Nisa pun masuk ke dalam rumah, lalu terdengar suara pintu terkunci dari dalam.

Klkgh!

Mang Juki kesal. “Hah, sialan Sobri! Bajingan tua itu benar-benar sudah menghancurkan hidupku! Mempermalukanku di depan khalayak ramai! Hubunganku dengan Bu Nisa hancur! Aku tidak menyangka dia akan mempermalukan Bidadari Surgaku sampai seperti itu! Bisa-bisanya dia! Apakah dia mempunyai dendam pribadi pada keluarga Haris?”

Mang Juki hanya bisa mengeluh. Tangannya pun mengepal. Ia berjalan keluar dari halaman rumah Nisa sambil membulatkan tekadnya.

“Tunggu saja waktunya. Aku pasti akan membunuhmu… Sobri!”

Mang Juki sudah kehilangan respek kepadanya. Persetan dengan status tetua Cluster Kembang Arum Asri. Baginya, dia hanyalah bajingan tua licik, manusia musang, pemerkosa bejad dan keji. Darahnya sah baginya untuk dibunuh.

Mang Juki pergi dengan dendam.

Sementara itu Nisa hanya bisa terdiam tanpa mengucapkan kata-kata. Ia berjalan menuju kamar tidurnya sambil merenungkan masalah-masalah yang menimpa dirinya. Ia hancur. Hatinya remuk. Harga dirinya rusak. Ia telah dipermalukan. Ia merasa tidak memiliki apa-apa lagi yang harus ia jaga saat ini. Seluruh aibnya tersebar. Ia merasa sudah menjadi wanita paling hina di seluruh alam semesta.

“Kenapa? Kenapa cobaan seberat ini harus kualami?” Nisa berbaring diatas ranjang tidurnya sambil menangis.

Ia hanya bisa meratap. Yang ia ingat hanyalah tatapan penuh amarah dari para kerumunan tadi saat dirinya hampir ditelanjangi dan diarak keliling kampung.

“Mas Haris… cepatlah pulang… Aku tidak betah lagi tinggal di sini… bisakah kita pindah ke tempat lain setelah mas Haris pulang?” Nisa tersedu dan terbata.

Ia jadi teringat Mang Juki semalam yang telah menenangkannya dari rasa shock-nya. Entah kenapa sosoknya yang kekar dan penuh perhatian telah memberinya rasa aman dan nyaman yang akhir-akhir ini tidak ia dapati dari suaminya yang bernama Haris.

Jujur ia merindukan sosoknya lagi di sisinya. Tapi ia perlu menjaga jarak darinya agar warga sekitar tidak mencurigainya memiliki hubungan sesuatu dengan Mang Juki.

Tapi jujur, tiap kali Mang Juki berada disisinya. Jantungnya merasa berdebar. Ada apa demikian?

Entahlah, ia tidak mau kepikiran yang tidak-tidak. Ia lelah. Ia butuh istirahat sekarang.



.::..::..::..::..::.



“Serius! Aku tidak pernah melakukannya, Yuna. Tidak pernah!”

“Okeeee, Yuna percaya sama kamu, Mang. Mamang gak pernah menduakan perasaan Yuna. Tapi ini jujur kan?”

“Tidak pernah! Ayolah, Yun. Kamu tahu aku ini hanya korban. Mana mungkin aku bisa berpaling dari wanita secantik kamu?”

Yuna tersipu. Ya sudahlah, boleh diakui kalau dirinya memang cantik. Tapi, wanita yang tengah digosipkan berzina dengan Mang Juki adalah Nisa. Wanita paling didamkan sebagai istri paling sempurna sekompleks perumahan ini.

“Tapi mbak Nisa juga cantik. Cantik banget malah.”

“Iya aku juga tahu, tapi mana mungkin aku berpaling darimu, sayang. Terutama bibir manismu ini.”

Mang Juki yang tahu kalau wanita selingkuhannya ini butuh validasi darinya. Ia mulai melancarkan physical touch-nya. Yakni dengan mendekap kedua pipi Yuna lalu mengecupnya secara perlahan. Perlakuan tiba-tiba dari pria kekar itu membuat Yuna terkejut. Pipinya memerah. Ia tersipu. Namun menikmati cumbuan yang sudah pria tua itu berikan.

Wanita yang seumuran dengan Nisa itu pun tersentuh. Ia pun jadi yakin akan perasaan Mang Juki padanya yang masih sama seperti dulu.

“Apa kamu masih ragu, Yuna?” Tanya Mang Juki dengan penuh perhatian.

Yuna menggeleng. Ia tersenyum malu-malu. Wajahnya menunduk. Ia benar-benar puas pada apa yang sudah mang Juki berikan.

“Aku mau pulang dulu, lelah sekali hari ini. Aku mau istirahat.” Ujar Mang Juki bersiap-siap.

“Tapi Mang… apa tidak sebaiknya menetap di sini dulu? Mumpung anak-anak lagi tidur. Mas Agung juga tidak ada di rumah.” Yuna ingin berlama-lama dengan selingkuhannya.

“Maunya begitu, Yun. Tapi, aku sudah terlalu capek. Butuh istirahat sebentar. Kamu tahu kan? Akhir-akhir ini hidupku berantakan,” kata Mang Juki dengan memasang wajah tertekannya.

“Hmmm, iya maaf. Yuna paham kok. Maaf sudah memaksa Mamang untuk selalu menetap di sini bersama Yuna.”

“Gapapa Yuna. Tapi, aku mau minta tolong apa boleh?” pinta Mang Juki pada kekasih gelapnya itu. “Ada sesuatu yang… aku ingin kamu lakukan.”

“Apa, Mang?” tanya Yuna penasaran.

“Rumah kamu kan ada di depan rumah Bu Nisa. Bahkan pas nih. Bisakah aku minta tolong ke kamu untuk mengawasi siapa saja yang keluar masuk ke rumah Bu Nisa?” tanya Mang Juki yang masih mengkhawatirkan Nisa.

“Mbak Nisa? Tuh kan, Mamang masih peduli ke mbak Nisa kan?”

“Peduli bukan berarti sayang kan?” elak Mang Juki berbohong, “aku hanya khawatir ada orang yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan situasi ini. Kamu tahu sendiri aku kerja buat mas Haris. Situasi tidak menguntungkan di sana berdampak pada dompetku.”

“Iya sih.” Yuna terus saja dilanda api cemburu. Ia sungguh tak rela kalau sampai kehilangan rasa cinta mang Juki kepadanya.

“Tolonglah, Yuna. Demi kita berdua… Aku khawatir kalau saja masih ada warga yang tidak suka pada Bu Nisa dan melakukan yang tidak-tidak kepadanya.”

Yuna paham. Ia pun mencoba menekan rasa cemburunya dan berusaha menggunakan akal sehatnya. “Yuna juga gak mau Mbak Nisa kenapa-kenapa kok. Oke Mang. Akan Yuna usahakan. Mamang bisa sepenuhnya percaya ke Yuna.” Ucap Yuna sambil tersenyum.

Mang Juki ikut tersenyum. Ia lantas pamit lalu meninggalkan kekepannya itu sendiri bersama anak-anak yang tertidur di rumahnya.

Mang Juki terus berjalan.

Entah kenapa perasaannya terasa tidak enak.



.::..::..::..::..::.



.:: SIANG HARINYA




Siang sudah semakin sore sementara matahari terik masih menawarkan perkasanya ke muka bumi. Terik yang ditebarkan sang surya membuat hawa panas amat terasa. Rasa kantuk menguasai masing-masing insan yang menghuni mimbar di bawah langit, tinggal di bawah naungan angkasa.

Mungkin memang benar kalau siang hari itu waktu yang pas untuk beristirahat. Cuaca yang panas tidak cocok untuk beraktifitas di luar ruangan, tidur rasa-rasanya menjadi kegiatan yang paling pas.

Begitu juga yang dirasakan oleh Yuna. Ia mulai mengantuk. Ia juga bosan. Sudah berjam-jam ia duduk di depan rumah demi menjalankan amanat dari kekasih gelapnya, mengawasi rumah Nisa yang kini tak lagi ramai oleh masyarakat yang mengamuk.

Halaman depan rumah tetangganya itu kini rusak.

Tanaman hancur, pintu pagar jebol, dinding bercak karena lemparan berbagai macam benda, bau busuk telur dan sampah comberan yang ditebarkan ke rumah sang ibu muda terasa menyengat tanpa sempat dibersihkan.

Meski kotor begitu, Yuna tahu Nisa tak akan berani keluar untuk membersihkan karena masih ketakutan dan trauma dengan warga setempat. Kalau dipikir-pikir, kasihan juga Nisa yang baik dan lembut itu karena harus mengalami kejadian yang tak mengenakkan seperti ini.

Yuna sendiri sebenarnya juga masih kurang yakin apakah Nisa tidur atau tidak dengan Mang Juki. Semuanya begitu janggal dan tiba-tiba.

“Hoaheeeemmm… Malah jadi ngantuk…” ucap Yuna pada dirinya sendiri setelah menguap lebar. Hari ini terasa membosankan. Anak-anaknya dan anak-anak Nisa sudah tertidur lelap di kamar. Nisa memang menitipkan anak-anak kepadanya karena takut mereka akan terkena dampak trauma amukan massa – sekaligus mencegah seandainya masih ada yang akan datang.

Yuna benar-benar lelah. Sepertinya sudah saatnya ia tidur. Kondisi sudah aman jadi rasa-rasanya ia tidak perlu mengawasi rumah Nisa terlampau ketat. Watt di matanya semakin berkurang, sungguh Ia ingin tidur. Kalau orang lain sudah terhempas di pulau kapuk, kenapa dia malah melek dan mengawasi rumah tetangga?

Apa aku mesti istirahat sebentar ya? Sepertinya tidak apa-apa. Toh dari tadi tidak ada satupun orang yang masuk ke halaman rumah mbak Nisa. Suasana sudah kondusif sejak Pak Sukirman turun tangan.

Yuna yang tak kuat lagi beranjak berdiri. Ia merenggangkan tangan dan kakinya yang lelah setelah kejadian pagi yang luar biasa di rumah depan. Di tengah rasa kantuk dan lelahnya, tiba-tiba saja, ia didatangi oleh seseorang yang masuk ke halaman rumahnya.

“Permisi mbak Yuna. Hehehe.” Seorang pria tua berjalan tertatih masuk ke halaman rumah sang ibu muda, “Wah sedari tadi menguap melulu. Kayaknya mengantuk nih nungguin mas Agung pulang.”

Yuna tersipu malu.

“Hehehe, tahu aja Uwak Sobri. Tumben ke rumah aku, Wak? Ada yang bisa dibantu?” Ujar Yuna sambil mengucek-ngucek matanya.

Pria tua licik itu tersenyum lebar.

“Ini lho… kebetulan buah jeruk di depan rumah contoh sedang panen. Tadi saya petik dan saya jus. Hasilnya ada sedikit minuman dari saya untuk mbak Yuna dan juga mbak Nisa.”

Yuna mengerutkan kening.

Uwak Sobri memasang wajah sedih, “Terutama sekali mbak Nisa, saya sedih melihat apa yang terjadi padanya pagi tadi. Saya percaya Mbak Nisa bukan wanita murahan yang mau-maunya berselingkuh dengan lelaki lain, apalagi pria seperti Mang Juki. Mbak Nisa adalah tipe istri yang setia. Ini semua pasti kesalahpahaman. Pasti ada orang yang dengan tega memfitnahnya demi menghancurkan nama baiknya. Banyak sekali yang iri pada keluarga kecil mereka.”

Uwak Sobri lantas memberikan dua botol minuman berwarna oranye.

“Waaah ini ya jus jeruknya? Terima kasih ya, Wak. Kebetulan memang lagi panas-panasnya. Saya butuh yang seger-seger nih. Hihihihi.” tawa Yuna dengan manis.

“Hahaha pas kalau begitu. Ya wes, saya pulang dulu ya. Nah yang ini tolong diberikan ke mbak Nisa. Sudah ada namanya ya di bagian bawah botol. Sengaja saya beri nama supaya saya tidak lupa. Siapa-siapa saja yang harus saya beri minuman jus ini, hehehe.” ucap Uwak Sobri sambil tersenyum penuh arti.

“Oh iyaaa ada namanya, hahahaha. Baik deh, Wak. Nanti yang satu ini saya berikan ke mbak Nisa. Hihihi… sampai dikasih nama lho. Bener-bener deh Uwak ini.”

“Maklum sudah tua… mudah lupa… Hahaha,” Uwak Sobri memberikan alasan.

“Oalaaah. Ya ya…. Eh, tapi gak juga kok, Wak. Saya juga gampang lupa kok orangnya. Ya udah, makasih ya, Wak,” ucap Yuna dengan polosnya.

Sebelum Uwak Sobri pergi, seketika ia ingat sesuatu yang buru-buru ia sampaikan pada diri Yuna. “Oh iya… kalau diberikan ke mbak Nisa, tolong jangan bilang dari saya ya. Saya tidak enak lah. Kalau mbak Nisa-nya tanya ya bilang saja ada orang yang perhatian yang memberinya minuman ini supaya pikirannya lebih segar. Begitu ya?” ujar Uwak Sobri sembari tersenyum lebar.

“Oalaaah, ya ya… Uwak. Siap.”

Uwak Sobri melangkah pergi. Ia tersenyum dengan penuh kemenangan.

Yuna memang cantik tapi agak oon. Pantes saja dengan mudahnya dia jadi mangsa si Juki bangsat itu. Agung-nya juga ****** istri cantik ditinggal terus tiap hari. Mungkin suatu hari nanti dia bisa juga menikmati tubuh si Yuna. Ah, tapi tidak ada tantangannya. Kepala si Yuna agak kosong. Buktinya saja apa yang baru dia lakukan tidak membuat Yuna curiga.

Hehehe. Dasar bloon. Yuna ini memang pelupa atau tidak tahu ya? Apa dia tidak menyimpan nomorku di grup? Kok bisa-bisanya tidak mencurigaiku sama sekali. Apa dia tidak tahu kalau semalam yang menyebarkan foto-foto dan video Nisa itu aku? Huahahaha.

Tadi pagi saja ada banyak warga yang datang kepadaku untuk mempertanyakan kevalidan video tersebut, aku hanya cengengesan saja. Ah tapi biarlah. Justru kepolosan Yuna dapat memudahkan langkah selanjutnya. Hahahha
.

Alih-alih pulang, laki-laki tua bangka itu memutar arah dan diam-diam melalui pagar rumah Nisa yang rusak dan mengendap-ngendap untuk bersembunyi di samping rumah sang ibu muda yang sudah ia gagahi.

Di seberang sana, Yuna yang mengantuk tidak fokus pada apa yang terjadi. Ia benar-benar lupa kalau orang yang telah menyebarkan aib Nisa dan Mang Juki adalah si musang licik Uwak Sobri.

Dengan menahan kantuk dan berulangkali menguap, Yuna berjalan menuju rumah Nisa untuk menjalankan amanat dari salah satu tetua desa tersebut.

Tokkk. Tokkk. Tokkk.

Assalamuaikum, Mbak Nisa?” Yuna melakukan salam. Ia pun berdiri menanti hingga Nisa keluar untuk membukakan pintu untuknya. Membutuhkan waktu lebih lama dari biasanya sebelum pintu akhirnya dibuka.

Yuna agak terkejut dengan penampilan Nisa yang tidak seperti biasanya. Dengan mengenakan jilbab instan, wajah putih Nisa yang ayu terlihat sayu. Matanya sembab karena terus menerus menangis, tubuhnya lunglai, letih, dan lesu. Ia terlihat kurang tidur, meskipun masih saja kecantikan Nisa tetap terpancar mempesona.

Walaikumsalam, eh Yuna. Ada apa?”

Melihat penampilan Nisa, Yuna yang awalnya tersenyum menjadi iba.

“Gimana kabarnya, Mbak? Sudah baikan? Ini, ada sesuatu buat Mbak. Panas-panas begini enaknya minum jus.” ucap Yuna sambil memberikan botol minuman dari Uwak Sobri itu.

Dari kejauhan, pria tua itu senyum-senyum melihat Yuna langsung menjalankan apa yang ia sarankan. Ia senang karena rencananya berjalan begitu mulus.

“A-aku tidak apa-apa. Hanya masih shock saja. Wah kamu yang buat, Yun? Terima kasih, ya. Cuaca memang sedang panas-panasnya,” kata Nisa dengan berkaca-kaca. Rupanya masih ada orang yang baik kepadanya setelah sepagian dia dicaci-maki, dihina, dan dianiaya.

“He’em santai aja. Pokoknya kalau ada apa-apa, bilang aja sama aku ya.”

Nisa mengangguk, ia lantas memperhatikan “Ini kamu yang buat, Yun? Dapet jeruk dari mana?”

“Ada deh. Hihhi. Pokoknya yang buat jus itu orang baik. Hihihi.”

Yuna mengatakan tepat seperti apa yang diinginkan oleh Uwak Sobri tanpa menyadari apa yang diincar oleh si musang tua itu. Celakanya bahkan Nisa pun tak mencurigainya. Ia malah berasumsi kalau Yuna yang membuat minuman itu namun tidak ingin mengatakan yang sebenarnya pada dirinya.

“Anak-anak bagaimana, Yun?”

“Aman, Mbak. Mereka tertidur. Seharian aku biarkan mereka di kamar sama anak-anakku supaya mereka main game dan lupa waktu. Aku sediakan makanan dan minuman juga. Aku pikir itu cara terbaik supaya mereka tidak keluar dan takut menghadapi orang yang menyerang rumah mereka pagi tadi.”

“Syukurlah…” Nisa berkaca-kaca, “Maaf ya Yun, jadi merepotkan. Aku benar-benar tidak…”

“Sudah, Mbak. Yang sudah ya sudah. Aku ikhlas kok membantu Mbak Nisa. Kita sudah bertetangga dan kenal sejak lama. Aku yakin sekali Mbak Nisa bukan orang seperti yang dituduhkan oleh warga yang membabi-buta tadi pagi.”

Nisa mengangguk, “Makasih ya, Yun. Makasih juga minumannya.”

“Iya sama-sama, Mbak. Ya udah aku mau balik ke rumah dulu ya. Mau istirahat, ngantuk banget.” Yuna melambaikan tangan, “Wassalamualaikum.”

Walaikumsalam.”

Yuna pun kembali ke rumahnya.

Sedangkan Nisa langsung menutup pintu lalu mengambil gelas untuk meminum minuman segar itu. Mungkin Yuna benar, pikirannya bisa segar setelah meminum jus jeruk.

Nisa duduk di salah satu kursi yang berada di ruang dapur miliknya. Wanita cantik itu dengan anggun menuangkan jus jeruk dari dalam botol ke gelas beling miliknya. Ibu uda itu saat ini hanya mengenakan pakaian kaos tipis tanpa mengenakan dalaman apapun. Ia juga mengenakan celana pendek yang memamerkan paha mulusnya. Cuaca memang sedang panas-panasnya. Ia pun tengah sendirian. Jadi ia mengenakan pakaian yang menurutnya nyaman.



Nisa menyiapkan gelas jus di depannya.

“Syukurlah masih ada Yuna dan teman-teman lain, termasuk Aida dan anak-anak muda tadi. Di tengah cobaan yang menerpa, masih ada yang baik padaku,” Nisa terisak, “Mudah-mudahan semua lekas membaik.”

Ia pun lekas meminumnya. Namun ia masih kepikiran satu hal, yakni suaminya.

“Mas Haris pasti sudah tahu. Dia tidak mungkin tidak memeriksa grup yang ramai. Aku harus meyakinkan mas Haris kalau ini semua jebakan dan hoax belaka.”

Nisa mencoba menghubungi Haris. Baik melalui WhatsApp ataupun menelepon langsung, sayang tidak ada jawaban. Tidak ada balasan dan tidak ada panggilan balik. Entah di mana suaminya berada.

Akhir-akhir ini memang Nisa menjauhkan diri dari smartphone karena tak kuat dengan banyaknya notif yang masuk ke hapenya. Banyak pesan dari nomor-nomor yang dikenalnya yang mempertanyakan kevalidan foto semalam. Ia muak. Ia kelelahan untuk meladeni pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Bukan berarti ia tidak memegang hape sama sekali. Sebenarnya sekali-kali ia mengaktifkan kuotanya untuk melihat adakah pesan dari suaminya atau tidak. Ternyata tidak ada. Bahkan panggilan telepon pun tidak ada.

Nisa berharap penuh pada suaminya untuk bisa menyelamatkannya dari situasi ini. Kepada siapa lagi ia bisa berharap? Hanya sang suami-lah yang ia jadikan harapan terakhir. Nisa terus saja meminum jus jeruknya hingga tak sadar sudah menghabiskan satu botol penuh.

“Loh udah habis aja? Gak kerasa?”

Nisa heran dengan rasa hausnya. Siang-siang panas-panas seperti ini memang cocok untuk meminum yang dingin-dingin dan manis seperti jus jeruk ini. isinya mungkin hanya setengah liter, jadi wajar kalau habis dengan cepat.

Nisa pun berjalan dari dapurnya menuju ruang tamu. Namun, baru beberapa langkah ia berjalan. tiba-tiba nafasnya terengah-engah. Deru nafasnya berlalu begitu cepat. Selain itu, vaginanya tiba-tiba terasa gatal. Detak jantungnya pun bergemuruh. Ada sesuatu yang salah pada tubuhnya. Ia terkejut dan terheran-heran.

Rasanya hampir sama seperti yang terjadi di rumah Uwak Sobri semalam.

“Hhh… Hhhhh… Hhhhh… Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba tubuhku seperti ini? Hhh… Hhhh… Hhhh.”

Nisa ngos-ngosan. Rasa gatal di vaginanya pun makin menjadi. Tubuhnya terasa panas. Ada lonjakan gairah yang membuat tangannya ingin menyentuh vaginanya yang tiba-tiba saja sudah basah oleh cairan cintanya.

“Ga-gawat! Apakah aku lagi-lagi…!?T idak! Jangan lagi…! Kenapa? Aku kenapa ini? Akuu…. Mmppphhh…”

Nisa mendesah hebat di kala jemarinya menekan vaginanya dari luar celana hotpants yang ia kenakan. Rasanya begitu nikmat. Sesekali ia pun meremas buah dadanya dan merasakan lonjakan gairah yang begitu luar biasa.

“Celakaaaaa… Aaaahhhhh nikmatnyaaa… Aaahhh ada apa ini? Kenapa aku jadi begini lagi? Aku tidak maaaauuu…! Hhhh… Hhhh… Hhhh. Enaaaaakghh… aku tidak mauuu…!”

Ucapan demi ucapan bertentangan keluar dari mulut sang bidadari. Desahan kenikmatan beradu dengan perasaan ngeri dan ketakutan. Nisa meremas-remas kedua payudarannya dengan gemas karena kesal sekaligus horny.

Tiba-tiba dari arah belakang, terdengar suara pintu terbuka.

Nisa tentu saja terkejut mendengarnya. Ibu muda itu menoleh. Ia mendapati sesosok pria tua berwajah buruk berbadan tambun dengan perut yang menggelembung tiba-tiba saja masuk melalui pintu depan rumahnya.

Rambutnya yang sudah beruban serta kulitnya yang sudah berkeriput mekar karena menyeringai nafsu. Wajahnya jelas sudah tidak asing lagi. Ini adalah pria yang sama yang telah menggagahinya semalam. Nisa mengenalinya. Nisa sangat mengenalinya.

“Uwak Sobri!!!”





BAGIAN 24-A SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 24-B
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd