Chapter 09. Lorong Waktu
Udin menatap Nurul yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Matanya berkaca kaca.
Udin mendekati ranjang Nurul. Nurul sedang tertidur. Bahkan disaat seperti ini kecantikan tidak juga hilang.
"Nurulku yang malang,"batin Udin Digenggamnya tangan Nurul. Luka di badan Nurul belum mengering. Terisak Udin berdiri disamping ranjang Nurul.
Dan,PLAAKKKK.....
"Aduhhh....,"kesakitan Udin memegang kepalanya.
"Woiii,dodol! Ngapaen lu pake acara nangis2 segala?"bentak si Ujang.
Udin bengong.
Pak RT turut bengong.
Dan Nurul terbangun. Heran melihat Udin berdiri disampingnya dengan mata yang basah.
"Nih,gue kasih tau. Dokter barusan bilang ma Pak RT,Nurul ndak apa apa. Cuma luka lecet doang. Jeroannya aman!"
Dan,PLAAKKKK.....
"Aduhhh....,"giliran Ujang mengaduh kesakitan sambil memegang kepalanya.
"Ape lu kate? Lu bilang jeroan? Lu kira Nurul tuh kambing?"maki Pak RT.
Nurul tersenyum melihat tingkah ketiga pria yang berada didepannya. Andai kalau tidak menahan rasa perih di lukanya mungkin dia akan tertawa terbahak bahak.
Berdiri di pintu,pandangan Rita jatuh ke Nurul. Inikah wanita yang dicintai si Udin?
Rita tersadar. Selama ini Udin bukan mencintainya. Udin menghormatinya. Raga Udin memang dia 'miliki',namun tidak dengan jiwanya.
Rita terduduk di bangku panjang rumah sakit. Di lorong rumah sakit ini dia menangis.
Dia tidak membenci Udin. Udin tidak memanfaatkannya. Apa yang didapatkannya selama ini dari Udin adalah karena kemauannya. Rita baru paham. Kenapa selama ini Udin tidak pernah memintanya bercinta. Kenapa selama ini dia yang selalu menginginkan si Udin.
Udin tak pernah membutuhkannya.
Dia yang membutuhkan Udin.
Diambilnya saputangan dan diusapkannya ke matanya. Dalam hati Rita berterimakasih telah bertemu dengan Udin. Ingin sekali dirinya bangkit dan meninggalkan si Udin. Selamanya. Tapi tubuhnya tidak mau bergerak. Dia hanya duduk terdiam.
-----
Malam itu Nurul memandang laki laki yang menungguinya di rumah sakit ini. Laki laki yang memaksa untuk menjaganya. Laki laki yang meneteskan airmata untuknya.
Tak pernah disangkanya,laki laki ini yang selama ini mengaguminya. Tak ada kata cinta terucap. Tak ada kata sayang tercetus. Hanya rasa yang diberikan oleh lelaki didepannya.
Lelaki yang bukan Oka Antara,idolanya. Dia hanya lelaki dengan perawakan sejuta umat.
Apakah aku bisa mencintainya?
Apakah aku bisa menyayanginya?
Nurul memejamkan mata.
Biarlah waktu yang akan menjawabnya.
Saat yang sama.
Bapaknya dan Ibunya si Nurul sedang berada di kamar. Mereka berdua bersyukur Nurul,anak bungsu mereka tidak apa-apa. Dan mereka semakin senang akhirnya Nurul ketemu jodohnya.
Ya,jodohnya. Si Udin. Udin yang polos dan jujur. Soal tampang dan rejeki mereka berdua tidak khawatir. Toh semuanya uda ada yang ngatur. Walaupun cuma rejeki supir rental.
Dan kujedutkan kepalaku ke tembok. Andai mereka tau seberapa 'polosnya' si Udin. Andai mereka tau 'jam terbang' si Udin. Dan seandainya mereka tau ada benih Udin yang tercecer di rahim Miranda. Mungkin Bapak dan ibunya Nurul bakal menyusulku menabrakkan kepala mereka ke tembok ini. Tembokku Sayang,Tembokku Malang..
Dan kini kedua tubuh tua itu saling berpelukan. Pak RT mencium kening istrinya. Begitu lembut. Mengingatkan Bu RT akan malam pertama mereka. Malam pertama yang sudah berlalu puluhan tahun lalu.
Perlahan bibir kasar Pak RT mencium bibir istrinya. Tangannya membelai kepala istrinya yang mulai memutih. Perlahan tangan dan bibirnya turun menjelajahi leher istrinya.
Bahkan setelah tubuh yang dicumbunya sekarang sudah berbeda dengan tubuh yang dikenalnya dulu, rasa cintanya kepada istrinya tidak pernah surut. Dia tidak pernah tertarik untuk menjamah tubuh lain yang lebih muda. Atau tubuh lain yang berbeda dari 'kuda nil' dihadapannya.
Ia takkan tega menyakiti istrinya yang selama ini begitu setia mendampingi dan melayaninya. Istri yang begitu sayang padanya bahkan disaat mereka harus berbagi rasa lapar. Ketulusan istrinya dalam melayani yang menginspirasinya untuk bersaing dalam Pilkate (Pemilihan ketua eRTe).
Tangannya beranjak membuka daster istrinya. Ibu dari anak2nya. Tangannya menyusuri pundak dan punggung istrinya. Dibukanya kaitan BH yang membungkus payudara yang sudah kendor. Sekejap payudara istrinya jatuh bergelantungan. Seakan ujung putingnya ingin menyentuh perutnya yang penuh timbunan lemak.
Ciumannya berubah jadi kuluman. Pak RT mengulum payudara istrinya. Jilatan dan kenyotan berulang kali jatuh di payudara istrinya. Berulang kali pula tangannya harus mendorong dan menahan payudara istrinya agar tidak jatuh dari mulutnya.
Pak RT menurunkan celananya. Menjatuhkannya ke lantai. Istrinya bergidik ngeri memandang ke selangkangan suaminya.
Dia ngeri membayangkan betapa pegal tangannya membangunkan belut sawah milik suaminya.
Pak RT menggenggam kejantanannya yang masih layu. Perlahan dikokang senjatanya. Mulut pak RT komat kamit bagai sedang membaca mantra. Pak RT berkonsentrasi penuh dalam upayanya membangunkan si belut didepan istrinya yang setia menunggu dengan selangkangan terbuka lebar.
Usaha Pak RT berhasil. Belutnya mulai bangun. Pak RT meludahi telapak tangannya. Kemudian diusapkannya ke tubuh si belut. Kini kejantanannya sudah mengeras dan licin. Tidak sekeras dodol garut. Tapi lumayan untuk mengenang kembali masa muda.
Perlahan didorong kejantanan memasuki kemaluan yang sudah dihapalnya luar kepala. Bahkan dengan mata terpejampun Pak RT masih bisa mengingat bentuk kemaluan istrinya yang berbulu keriting.
Berulang ulang Pak RT mendorong dan menarik kejantanannya di liang senggama istrinya. Tidak serapat sewaktu masih gadis. Gak apa-apa. Toh Pak RT gak terburu-buru sampai harus lewat jalan tol.
Derit ranjang dan suara tabrakan selangkangan yang mulai keriput dimakan usia, menambah sensasi sensual romantisme di usia senja. Pak RT terengah engah terus memacu penisnya menggesek lubang intim milik istrinya.
Tak butuh waktu lama,Pak RT terkapar. Menimpa tubuh gembrot istrinya. Wajahnya terbenam diantara 2 pepaya besar yang sudah melorot.
Kejantanannya menumpah begitu banyak cairan putih yang dikumpulkannya selama ini.
Istri Pak RT tersenyum. Bahagia. Bahagia sudah bisa menyenangkan suaminya. Membayangkan putrinya bakal mengalami romansa yang sama dengannya sudah cukup membahagiakan dirinya.