Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG {Triple Updates 30-4-24} Bu Norma, Wanita Berjilbab Yang Disekap! [NO SARA]

Bu Norma kira-kira akan diapakan?


  • Total voters
    660
  • Poll closed .
Hanyut 3.3

Garis finis itu sudah di depan mata. Norma Fitria, gadis kelas sebelas madrasah aliyah itu melihatnya. Dia bisa jadi yang pertama menjangkaunya. Para pesaing dia tinggalkan sepersekian detik mengejar jejaknya. Bulan-bulan meletihkan yang dia habiskan berlatih akan terbayar lunas. Jerih payah dan determinasi akan berbuah kemenangan. Dia akan jadi juara.

Sampai dia teringat ayahnya. Sosok yang kerap memukuli ibu dan adik-adiknya. Yang pernah mau memerkosanya. Lelaki yang seharusnya menjadi kepala keluarga namun justru jadi titipan iblis di dunia. Bahkan Kiayi Samsuri sudah angkat tangan membimbingnya. Sukar dipercaya dia lahir dari benih orang itu.

Selepas lomba lari itu usai dan Norma keluar sebagai juara dua, dia membulatkan tekad. Pada malam yang sunyi tanpa tawa-tiwi Badrun dan Tia, kedua adiknya yang sudah pulas di ranjang mereka, dia datangi kamat ibunya. Wanita yang sampai napas terakhirnya mengabdi pada negei sebagai guru honorer itu tampak lebih tua dari yang sebenarnya. Kepada suwarginya itu dia berkata, "Ibuk harus ceraikan Bapak. Titik."

Tentu saja, sang ibu menolak. Menghidupi tiga anak tanpa sokongan suami itu sama saja bunuh diri. Lalu, apa nanti kata tetangga. Juga, dia masih tulus mencintai bajingan itu. Masih berharap sosoknya tobat. Bosan dengan istri mudanya dan kembali ke jalan yang benar. Norma sudah dengar itu semua. Muak dia menyaksikan orang yang paling dia sayang dan hormati begitu penuh keraguan. Lemah. Tidak berdaya.

"Kalau Ibuk ngotot, habis lulus Norma mau jadi TKW saja."

Ancaman itu terdengar bagai gelegar petir. Norma bukan saja pandai secara akademis namun juga atletis. Tidak banyak siswi berprestasi yang bisa mewakili sekolah mereka pad ajang olimpiade sains dan PON sekaligus. Dengan menjadi tenaga kerja di luar, sama saja dia memenggal kepalanya sendiri.

"Jangan, Nduk." Bocah yang bercita-cita jadi dokter itu dia rangkul. Dia ciumi wajahnya "Cah Ayu, Ibuk mohon. Ibuk tahu kamu ikut merasakan sakitnya Ibuk. Tapi jangan bakar diri kamu dengan api orang lain."

"Lha, ya, gimana, Buk." Norma menangis sesenggukan. "Bapak sudah lupa lama kita. Tiga tahun, Buk. Tiga tahun. Dia cuma ke sini kalau mau ambil tabungan Ibuk. Mau jual sertifikat rumah. Apa lagi yang Ibuk tunggu? Gusti Allah mboten bakal ngubah nasib kita, Buk, kalau kita pasrah sama keadaan."

Pada akhirnya, ibu dan ayah Norma berpisah. Secara resmi. Sang ayah tinggal bersama istri mudanya sebelum dijebloskan ke penjara karena mengkorupsi dana bantuan masjid dan TPQ kementrian agama. Sementara, ibunya meninggal saat mengajar akibat serangan jantung yang mendadak. Norma yang saat itu baru mau lulus aliyah pun harus menghidupi dua adiknya.

Beruntung, tuhan tidak tidur.

Lewat uluran tangan-tangan orang baik, dia akhirnya mampu mengentaskan diri dan keluarga dari jurang nestapa. Dia jadi guru sejarah, seperti sang ibu. Sedangkan, kedua adiknya jadi pegawai bank dan satpam rumah sakit. Semua berkat kerja kerasnya. Berkat keuletan seorang hamba yang percaya selama dia masih beriman, dunia tidak akan dia biarkan membuatnya gentar. Membuatnya putus asa.

Jika mengingat-ingat hari-hari yang melelahkan dan sering kelaparan itu, Bu Norma suka terharu. Jika dia beroleh putera (atau puteri) kelak, dia berjanji untuk mendidiknya jadi pribadi sekukuh baja yang tetap baik pada sesama. Untuk itu, sekarang dia harus keluar dari hutan keparat yang sudah sejam lebih dia jelajahi namun gagal temukan jalan keluarnya. Lagi dan lagi Bu Norma kembali pada aliran sungai yang sama. Seakan-akan belukar dan kanopi rimba mengarahkan dia ke sana.

Bu Norma tahu. Jalan paling pintas untuk kembali pada Dokter Abi adalah dengan—dia membenci gagasan ini sepenuh hati—balik ke pondok. Ke mobil putih bertanda palang merah, lebih tepatnya. Dengan kendaraan itu, dia bisa mencapai peradaban. Mencari pertolongan. Menghubungi markas yang pasti khawatir setengah mati salah satu aset paling berharga mereka lenyap.

Rencana itu kelihatannya simpel. Sebagaimana dia tadi mengelabui Kancil. Bisa dikerjakan. Presentase berhasilnya juga tinggi. Hanya saja, Bu Norma enggan menjalankannya. Selain harus mewaspadai Tokek dan bedilnya, wanita berhijab itu juga tidak akan lagi bisa menggunakan siasat yang sama untuk kali kedua.

Idiot betul si Kancil kalau masih mau membantunya setelah dia bikin pemuda itu gegar kepala.

Sekarang apa?

Haruskah dia tunggu malam dan bergerak di dalam kegelapan?

Malau dia sudah kenal lokasi, sih, mungkin saja. Sial, dia baru di hutan ini. Sungai itu satu-satunya temannya. Juga kelemahannya. Jika berlama-lama di dekat-dekat alirannya, Bu Norma tahu, dia akan bertemu pengejarnya. Dengan perut yang lapar, badan yang remuk, serta kaki yang terkilir; dia benci peruntungannya.

'Kenapa nggak nyerah aja, hm?'

Bu Norma terperanjat.

Siapa tadi yang bicara?

Ayahnya?

Tidak mungkin. Pria itu—dia haaaarap—sudah tiada. Membusuk di penjara. Jangan-jangan, berkat segala dosa dan doa orang-orang yang dia zalimi, arwah lelaki itu kini gentayangan dan entah bagaimana, menemukan dirinya?!

Bu Norma ucapkan banyak istighfar. Dia tahu dia belum sembahyang. Belum mandi besar pula. Baru beberapa menit tadi zina. Masih berlumur dosa.

Tetapi, tuhan tidak membeda-bedakan, kan?

Orang alim dan orang mbeling sama-sama punya hak berdoa pada-Nya. Sama-sama diperintahkan memohon ampunan-Nya.

Atau demikian yang Bu Norma pahami dan imani.

Dalam letih itu, si wanita berjilbab—yang sudah kembali mengurungi dia punya buah dada—disergap kantuk luar biasa. Lembap udara mencegahnya dari membuang-buang tenaga. Mata kaki kanan yang mulai bengkak menuntut istirahat. Kalau saja udaranya sejuk, dia mungkin masih akan mencari jalan pulang.

Sial, hari itu terbukti menjadi hari paling gerah yang pernah ada. Karena sadar dirinya tak berkuasa atas elemen dan atau cuaca, Bu Norma pun memilih mengisi ulang daya hidupnya.

Di bawah pohon randu rindang dia pun terlelap.​

###

Dalam tidurnya, Bu Norma bermimpi. Bahwa pohon randu yang dia tiduri bukan sembarang pohon.

Umumnya, penghasil kapuk itu kurang suka ketinggian. Dia tergolong jenis tanaman yang tumbuh baik di ketinggan <500 mdpl. Jelas ada yang ganjil dengan pohon yang satu ini, batin Bu Norma yang di alam mimpi sedang memanjat pohon itu.

Entah dari mana, dia dapat ilham. Untuk naik ke tempat tinggi dan memandang dari atas kanopi. Jalan keluar itu tentu bukan mustahil dia temukan dari atas sana.

Bu Norma belum setengah jalan meninggalkan tanah saat angin kencang berembus. Refleks, dia peluk batang besar si pohon randu alas. Dedaunan yang beterbangan memaksanya memejamkan mata. Di luar nalar, angin yang cuma numpang lewat itu mengoyak pakaiannya. Cuma jilbab yang tersisa ketika dia kembali membuka mata.

Apa-apaan?! Kok begini?!

Belum habis kaget dan ngeri, Bu Norma menyadari. Dia sudah ada di puncak pohon. Kakinya menjejak batang teratas si randu alas. Udara tenang. Matahari menyengat. Kulitnya yang telanjang meradang. Wanita berjilbab itu mengedarkan pandang. Akan lebih membantu kalau tadi kacamatanya tidak ikut ditiup angin.

Sebisanya, Bu Norma cari jalur yang membelah hutan. Sial, tatapannya lagi dan lagi kembali ke sungai. Memang, kalau dia ikuti juga, sungai itu akan mengantarkannya ke suatu tempat. Tapi di mana? Dia takut malah akan kian jauh dari tujuan. Dari suami yang membutuhkan dan dia butuhkan.

'Jangan lari, Nduk. Cah Ayu. Hadapi.'

Suara tanpa rupa itu lagi. Kali ini terdengar feminin. Menyaru suara ibunya, bahkan. Keterlaluan.

'Kamu kelangan suami. Tapi, ojo sumelang. Di hutan ini, kamu akan nemu ganti. Kamu akan tahu jatining diri.'

Bu Norma menggelengkan kepala. Setan. Itu pasti suara setan.

'Jodohmu yang asli ada di sini, Bu Norma. Kalian akan saling mencintai.'

"Diaaaaam!"

'Kamu akan awet muda. Kekasihmu akan jadi ksatria.'

"Siapa yang bicara, heh?! Keluar sini kalau berani!" kaok Bu Norma pada langit yang mendadak senja. Gelap merambat dengan cepat. Cahaya dunia seperti api yang dipadamkan.

'Anak-anak kalian kelak akan jadi raja!'

"Pengecut!"

Bu Norma tidak benar-benar meninju udara—meski dia ingin. Tetapi, gertak murkanya cukup menjadikan dia limbung. Hilang keseimbangan. Gravitasi alam mimpi itu merenggut tubuhnya.

Seperti sebuah batu yang dilempar ke danau yang tenang dan dalam, Bu Norma terjun ke lantai hutan. Kepalanya akan pecah, tentu saja. Mayatnya akan sukar dikenali. Lalat dan belatung akan menguraikan sisa-sisa bukti kependudukannya di dunia. Dia hanya akan tinggal nama.

Dan, Bu Norma terbangun.​

###

c6a66acd437cbdc4332d005e80320fa65bcf1d74-high.webp

Yang pertama Bu Norma kemudian tatap adalah wajah yang terhalang cahaya. Sepasang mata juling menatapnya balik. Empunya mata sedang menduduki dadanya. Yang lagi-lagi terbuka. Sebatang penis berbenjol-benjol diselipkan di lembah gunung kembarnya. Enam, tepatnya, jumlah benjolan itu. Kedua tangannya dipiting di atas kepala. Ketiaknya yang sedikit ditumbuhi bulu terasa geli dicium udara.

"Eh," kata Tokek, "bangun orangnya."

Bu Norma tak langsung berteriak. Lebih dulu dia yakinkan diri. Ini mimpi atau bukan? Dia sudah, bangun, kan?

Sementara batang penuh benjolan Tokek terus membesar di antara daging kenyal yang adalah buah dadanya, Bu Norma tiba pada kesimpulan. Bahwa seharusnya tadi dia tidak tidur. Tidak terlena. Sekarang, dia tanggung sendiri akibatnya.

"Tolooong!" Bu Norma kosongkan paru-parunya demi meneriakkan kata itu. "Siapa saja! Toloooong!"

Tokek terkekeh sebelum mempercepat gesekan kontolnya. Pantat kurusnya dia ayunkan kuat-kuat. Kantung telurnya rapat di atas perut rata Bu Norma, yang kini dengan aktif menggeliat. Jembut yang kasar terasa membakar kulit mulus wanita berjilbab itu. Kaki-kaki—hanya yang kiri yang bersepatu sebab dia kehilangan yang kanan saat tadi jatuh dan keseleo—jenjang sang korban menendang-nendang udara.

"Heheheh, terus aja, Bu," kata Tokek ketika teriakan Bu Norma melemah, "teriaknya. Ngga ada siapa-siapa, kok. Kalau toh ada, malah digilir nanti Bu Norma sama kita. Ngga ada yang bakal nolong Bu Norma."

Bu Norma menangis. Lagi. Sementara dia berurai air mata, Tokek dengan bangga menggeram dan memuntahkan lahar panasnya ke wajah, leher, dan buah dadanya. Beberapa bahkan masuk ke sela bibirnya. Mengotori jilbab yang dengan longgar membungkus kepala.

"Aaaarghhh." Meski sudah keluar, Tokek belum memindahkan pusakanya. Penis yang masih tegang itu bahkan masih dia gosok-gosokkan. Jadilah rata payudara mengkal Bu Norma dengan sperma. "Enak, kan, Bu, pejuhku?"

Bu Norma jawab pertanyaan ****** itu dengan meludah.

Cuih!

Tokek membeku. Dia tadi sengaja tidak menghindar. Karenanya, ludah itu tepat mengenai dagunya. Alih-alih terhina, dia justru menyeringai. Lidah panjangnya lalu keluar dan menyapu bersih hadiah Bu Norma hingga bersih tak bersisa.

"Udah nggak sabar, ya?"

Tokek merosot ke bawah. Dari dada ke perut Bu Norma. Lalu ke selakangannya. Sebelumnya, tangan-tangan wanita berkacamata itu sudah dia ikat pada salah satu akar banir pohon randu tua dengan tali yang sengaja repot-repot dia bawa. Senapan api yang bersandar pada pohon di samping mereka dia biarkan tetap di sana.

"Bu Norma mau dicoblos di mana?"

Tangan-tangan Tokek kini menyangga dua kaki Bu Norma di udara. Keduanya masih kadang menendang. Tanpa perlawanan berarti, celana dalam Bu Norma digeser ke kiri. Mirip seperti ketika dia disetubuhi Kopral tadi pagi.

"Memek? Apa bo'ol?"

"Do your worst," desis Bu Norma yang saking marahnya lupa berkata-kata dalam bahasa ibunya.

Tokek, yang tidak mengerti bahasa inggris, menganggukkan kepala. Hikmat dan singkat.

"Bo'ol kalau gitu."

Bu Norma seketika memucat. Matanya membulat. Napas tercekat. Aliran darah melambat. Saat sebuah ujung benda tumpul menekan lubang duburnya, dia merasa seperti ada mata pisau di lehernya. Siap menggoroknya.

Yang sekelas Pak Pur saja cuma Bu Norma beri vagina, lha kok ini bocah bau sempak apek mau menyodominya. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak boleh dibiarkan!

"J-jangan di situ," cicit Bu Norma, pelan.

"Hah?" Tokek mengalihkan tatapan dari anus Bu Norma ke wajah berkeringat wanita yang jauh lebih tua. Lebih dewasa. "Apa?"

"Jangan di situ!" Bu Norma memohon. "Itu... itu tempat najis. Kotor!"

"Pasti Bapak nggak pernah pakai, ya?" tanya Tokek sok akrab. Sok menyebut suami Bu Norma dengan kata 'Bapak'. Seakan-akan mereka saling mengenal. "Kebetulan dong. Jatahku ini."

"M-maas," rengek Bu Norma kala Tokek terus saja memaksa masuk lewat lubang belakangnya, "jangannnn. Plisss. Mas boleh minta apa sajaaa asal jangan yang ituuu."

"Udah. Bu Norma enjoy aja. Jangan ngelawan," kata Tokek saat ujung kontolnya sudah mengetuk lubang kotoran wanita berjilbab yang tak berdaya. "Ngapain juga ngelawan. Pakai lari-lari segala. Mana cepet juga larinya. Bu Norma atlet, ya, dulunya?"

"Maaas," pinta Bu Norma seraya menggelengkan kepalanya. "S-saya bakal nurut semua maunya Mas. Tapi jangan—"

"Eeenghhh..." erang Tokek, abai pada tangisan si korban dan terus saja memerkosa lubang yang masih perawan.

"—rusak anus sayahhh."

Bu Norma mulai ngos-ngosan. Kontol Tokek sudah mengintip. Sudah sedikit dijepit otot-otot anal-nya. Benda itu sekeras batu. Padahal, baru segitu. Sudah ngilu sampai seluruh badan kaku.

"Inget dosa, Maaas."

Sadar mangsanya melawan dengan bersikeras menguncupkan dia punya lubang pembuangan, Tokek tidak kehilangan akal. Dengan jemari tangan kotornya, paha Bu Norma dia usap. Dia raba. Pantatnya dia remas gemas. Betis yang masih dibungkus kaos kaki panjang dia kecup. Dia jilati. Jari-jari kaki dia emut dan isapi. Sembari, di bawah sana, kontolnya masih berjuang memasuki.

"Rileks aja, Bu. Nikmati."

"Mmmhpphhsssss," desis Bu Norma manakala lebih banyak bagian dari tubuh Tokek menjadi bagian tubuhnya sendiri. Meski kepalanya yang dibungkus jilbab suci masih sesekali menggeleng, dia akui rangsangan pada sekujur kaki yang pemerkosanya beri mulai meracuni pikirannya. Bahkan lelaki yang baru dikenalnya ini lebih pandai memanjakan wanita daripada suaminya sendiri. Tak ayal, vaginanya yang dibiarkan menganggur pun mulai basah. Lendir kewanitaan itu sedikit demi sedikit turun melumasi. Seakan bersekongkol mengelabui diri.

Bukan cuma menekan, Tokek juga sesekali menarik kontolnya. Memberi kesempatan pada anus Bu Norma. Agar lama-lama terbiasa. Lama-lama menerima. Dia ulang-ulang metode yang belum pernah gagal ini.

"Uudahhh Masss," mohon Bu Norma seiring makin banyak batang bergotri Tokek menjejali duburnya. Jika benda itu masuk lebih dalam, pastilah anusnya akan sobek. Tak akan lagi mampu mengatup sempurna besoknya. Betapa sakitnya!

Sadar sebentar lagi Bu Norma akan sukses dia perawani, Tokek mengusap peluh yang mengucur dari dahi. Dia biarkan seperempat kontolnya bersarang di lubang tai wanita yang tengah dia kerjai. Di atas mereka, daun-daun bergemerisik merestui. Di belakang mereka, air bergemericik menantikan apa yang akan terjadi.

"Dikit lagi, Bu," ujar Tokek sambil mulai memaju-mundurkan penisnya kembali.

Bu Norma cuma menangis sesenggukan kini. Badannya sudah teramat lelah. Jiwanya pun hampir menyerah.

"Nggggak mauuuu. Jangan di situuu."

"Aaaaaarghhhhh!"

Dengan satu hentakan mantap, Tokek amblaskan kontolnya ke dalam anus Bu Norma. Dalam prosesnya, sebagaimana yang wanita berkacamata itu takuti, otot-otot duburnya jadi korban. Mereka koyak. Berdarah-darah. Menyerah.

Gotri yang Tokek tanam di bawah kulit ari kelaminnya jadi biang keladi. Bukan cuma serasa dimasuki batu, Bu Norma juga merasa batu itu ditumpangi kerikil-kerikil kecil. Seluruh badannya dia rasakan menggigil.

"Uuughh, udah dua belas bo'ol aku masuki," kata Tokek, membiarkan anus Bu Norma berhenti kontraksi. Beradaptasi. "Baru ini yang nggigitnya begini."

Sementara Tokek sepenuhnya menikmati detik demi detik yang berlalu, Bu Norma menggigit bibirnya dalam upaya menyembunyikan ratapan hati yang pilu sekaligus desah yang salah tempat dan waktu.

Zina lewat vagina itu satu hal. Zina lewat dubur? Sudah tidak terhitung lagi dosanya. Nabi sendiri bahkan melarang para suami menyodomi mereka punya istri. Belum lagi kontol yang sekarang tertanam di dalam lubang belakangnya itu, Bu Norma tak henti-henti mengingatkan diri sendiri, ditanami gotri. Sungguh keji!

"Tahan, ya, Bu," kata Tokek yang kini merentangkan kaki-kaki Bu Norma ke samping. Nampak bagaimana lubang pembuangan wanita itu melesak disumpal benda yang seharusnya tidak pernah bertamu ke sana. Merah mengelilingi pangkal batang jahannam yang ditanam paksa. "Nanti enak, kok."

Demi langit dan seisi bumi, Bu Norma enggan percaya. Bahwa Tokek ada benarnya. Mati-matian ibu guru seksi kita berupaya tetap berpegang pada ajaran agama. Pada keyakinan yang mulia. Pada tuntunan para nabi dan rasul serta orang-orang shalih terdahulu. Bahwa ini salah. Ini keliru. Bahwa dia memang berdosa. Tapi ini bukan inginnya. Bukan maunya.

Sayangnya, lama-lama, sakit yang berpusat pada anusnya Bu Norma rasakan berkurang juga. Sebagai gantinya, dia mulai merasakan nikmat. Tekstur yang tak biasa dari kontol bergotri si lelaki memberi sensasi sendiri. Seakan dia bukan cuma sedang disetubuhi, tapi juga dijahili. Diusili.

Tubuhnya pun merespon dengan mengeluarkan lebih banyak keringat. Dari selal bibir Bu Norma, terdengar desah singkat. Tersendat-sendat.

"Ah, ah, ahh!"

Sadar mangsanya mulai takluk, Tokek kian bersemangat memompa. Ayunan pinggulnya lama kelamaan makin cepat. Makin kuat.

"Aah, ahh, ahhh!"

Badan sintal Bu Norma tersentak-sentak. Tanpa tangan yang menahan, buah dada pejal wanita itu seakan mau berlompatan. Ngilu yang sejak tadi dia timbun kini menjelma sebentuk kenikmatan. Benar-benar keterlaluan!

"Yang kenceng, Bu," kata Tokek yang kini berani menciumi buah dada Bu Norma yang masih belepotan sperma sambil terus memegangi paha wanita yang dia perkosa, "desahnya."

Bu Norma menggeleng. Menolak. Ingin dia lindungi sedikit marwahnya yang tersisa. Meski, dalam waktu kurang dari 24 jam terakhir, sudah dua kali dia digauli laki-laki yang bukan suaminya. Di vagina dan anusnya.

Seharusnya, dia sudah tidak punya apa-apa untuk dijaga. Namun begitu, Bu Norma enggan menunjukkan pada mereka. Bahwa dia menikmati juga, sebenarnya. Bahwa mereka berhasil mengayuh birahinya.

"Nggak papa, Bu." Tokek coba meyakinkan. "Nggak ada yang denger juga. Cuma kita."

Apalah daya.

Setelah dua menit digenjot Tokek, Bu Norma terpaksa mengakui. Disetubuhi di dubur ternyata enak juga. Lebih enak dari lubang yang satunya malah. Sensai kontol bergotri itu teramat sakti. Percuma saja dia bohongi diri sendiri. Tanpa ragu wanita berjilbab itu pun mulai dengan lepas mendesah.

"Aaahhhh.... ahhh... ahhh...."

Bukan lagi seperti seonggok kayu yang pasif menanti, kini Bu Norma sambut setiap hunjaman pusaka pejantannya. Pinggulnya menemukan ritme yang pas guna meladeni. Mengimbagi keperkasaan si lelaki. Tumbukan pada pantatnya mulai mengeluarkan suara. Indah terdengar di telinga.

Plokkk plokkk plokk plokkkk

"Ahhhh... yang kenceng Masss...."

Tanpa malu Bu Norma meminta.

"Apanya, Bu?" tanya Tokek di sela napasnya. "Yang kenceng?"

"Iiihtu... nyodoknya...."

Tokek tersenyum. Kaki-kaki Bu Norma dia biarkan mengait di belakang pinggangnya. Buah dada Bu Norma yang kini jadi bulan-bulanan kedua tangan berkuku hitamnya. Balon kembar itu dia remas seakan mereka punya hutang yang belum lunas. Puting kecoklatan si wanita dia pijit dan tarik-tarik sampai mereka mau putus.

"Enak, Bu?"

"Hhhuuuummmm.... uhhhh...."

"Bu Norma suka?"

"Iiiiyahhh."

"Suka apa, Bu?"

"Diiiihhsodooommmmiiii."

"Bu Norma suka kontol, ya?"

"Ssshhhuka."

"Bilang dong, Bu. Saya suka kontol, gitu."

Mengabaikan seluruh prinsip hidup yang dia anut serta jilbab yang masih setia membalut kepala, Bu Norma meneriakkan kata-kata berikut: "Sssshhhaayaaa suuuukkkka kooonntoool!"

"Kontolnya siapa, Bu?"

"Koooontollmuuuu, Maasss."

"Lha, tadi kok nggak mau gitu?"

"Ahhhh, uhhh, taaadih belum taau, Mass."

Tokek terus-menerus memancing Bu Norma dengan kata-kata jorok. Dia mau wanita itu kapok. Dia mau ke depannya, Bu Norma tidak akan lagi ******.

Hingga akhirnya, wanita berhijab itu melolong panjang. Vagina dan anusnya berkedut-kedut. Dari liang peranakannya, mengalirlah air surga. Muncrat ke mana-mana.

Untuk sementara, Tokek diamkan kontolnya. Dia rayakan orgasme Bu Norma dengan mengecup leher si wanita dari balik hijabnya.

Ketika denyutan itu mereda, Tokek berbisik, "Balik, Bu."

Dibimbing oleh lelaki yang sudah merenggut mahkota terakhirnya, Bu Norma memutar badannya. Agak susah. Pertama, karena tangannya masih diikat ke akar pohon randu tua. Belum lagi karena pemerkosanya bersikukuh agar kelamin mereka tetap bersatu utuh. Juga, karena roknya sempat nyangkut pada salah satu semak di dekat tempat mereka bergumul. Rok itu pada akhirnya dirobek dan dibuang entah ke mana.

Namun tidak dengan kemeja dan yang lainnya.

Begitu Bu Norma sudah bertumpu pada lutut dan batang pohon, dari belakang dia dengar Tokek berkata, "Dari aku ketemu Bu Norma malam itu, udah pengen aku jebol anusmu, Bu. Ck, ck, ck, keturutan juga. Bo'ol janda emang nggak ada dua."

Dahi Bu Norma sedikit mengerut saat dia rasakan penis itu kembali masuk ke lubang tahinya. Keenam gotri yang ditanam pada kontol si selaki masih senikmat sebelumnya. Namun, entah mengapa, dia merasa ada hal lain yang mengganjal. Bahkan sesudah Tokek ejakulasi di dalam pantatnya, wanita itu masih bertanya-tanya.

Kapan dia dan Tokek bertemu?

Apa Tokek juga di sana malam itu?

Ikut Kopral berburu?

Lalu, mereka yang menolongnya dari para bandit yang menyerbu?

Siapa juga yang janda?

Suamiku masih di luar sana!

"Sekarang," kata Tokek usai dia tarik lepas kontolnya dari anus Bu Norma—yang tak akan pernah lagi kembali ke bentuk semula, "gantian memeknya, ya, Bu?"
efa8cc911e2b142b2bb118085b535ff0196fa7d5-high.webp

Mudah saja Tokek memasuki vagina Bu Norma. Kopral sudah mengobok-ngoboknya berkali-kali. Yang terakhir belum setengah hari tadi. Yang ini amblas sekali dicoba. Bagai sedang mereguk madu pelipur dahaga, pemuda yang kini telanjang bulat itu menggenjot betinanya.

"Kok, diem aja, Bu?" tanya Tokek, kini menggauli Bu Norma sambil meremasi buah dada yang menggelayut manja. Wajah wanita itu berpaling darinya, menghindari ciumannya. "Ikut gerak dong. Kayak tadi."

"Mas Tokek?" Bu Norma malah kemudian balik bertanya.

"Hm?" Tokek sibuk mengelusi punggung Bu Norma yang masih tertutup kemeja batik. "Apa?"

"Malam itu, Mas lihat suami saya?"

"Eh?"

"Pak Pur yang cerita," kata Bu Norma di sela tumbukan kelamin mereka. Anehnya, suara wanita itu jernih. Tidak seperti sedang menikmati senggama mereka.

"Kalau malam itu, dia selametin saya. Tapi dia nggak lihat Mas Abi, suami saya."

Sesungguhnya, Tokek agak risih ditanya-tanya begitu. Tetapi, karena di saat yang sama rongga vagina Bu Norma mengempot-ngempot dia punya pusaka, lelaki itu terus saja menggenjot betinanya. Di sela napas yang menderu, dia pun menanggapi sekenanya.

"Orangnya gimana? Suami Bu Norma?"

"Hmmphhh, biasah," kata Bu Norma sedikit mendesah karena jari-jari Tokek mengorek-ngorek lubang belakangnya, bermain-main dengan sperma yang dia muntahkan beberapa saat lalu di sana. Tidak jijik atau bagaimana. "Nggak tinggi. Nggak pendhekk. Ngga kuruss. Nggakk gemukkk juga."

"Hmmm, embuh, ya," kata Tokek. "Lupa aku, Bu."

"Coba diinget-inget, Massshh," pinta Bu Norma yang meski tak sedahsyat tadi, mulai mendekati orgasmenya kembali. "Ganteng orangnya. Punya jenggot tipis gitu dia."

Plokkk plokk plokkk

"Oohhhh, ahhh, yahhh, ehmmm," desah dan geram Tokek yang kini mengendarai Bu Norma bagai kuda dengan ujung jilbab basah si wanita sebagai kekangnya. Buah dada wanita itu dia biarkan terhimpit ke batang pohon randu. Paha kurusnya dia hantam-hantamkan pada bokong Bu Norma yang montok.

Plokkk plokkk olokkk

"Maaas," kata Bu Norma yang sekarang seperti sedang memeluk batang pohon randu di depannya di tengah upaya Tokek merontokkan rahimnya, "jawabbb."

"Ehhmmm, yahhh, akuuu inget."

Tentu saja dia ingat lelaki itu. Kalau bukan karena intervensi Kopral, mana mungkin dia siang ini menggagahi istri dari pria berjenggot itu? Akan tetapi, apalah artinya memori tersebut bagi Tokek? Tidak ada. Tidak ada perlu dia merisaukannya. Lebih baik terus saja membinalkan Bu Norma.

Plokk plokkkk plokkk plokkkk

"Beneran, Masss?" Meski napasnya tersengal-sengal bagai tengah bergulat dengan Ajal, masih sempat-sempatnya Bu Norma bertanya. "Masss lihat Mas Abiii?"

Plak! Plak! Plak!

Tokek keplak pantat bahenol Bu Norma.

"Lagi ngentot sama laki lain, kok, masih sempet-sempetnya lho, Bu Norma ini ngomongin suami. Ih. Nakal, ya!"

Kembali Bu Norma rasakan pedih pada bokongnya gara-gara tamparan tangan bertato Tokek yang agaknya terobsesi dengan pantat putih nan sekalnya.

"Sasayahh cuma pengen taaau, Masss. Saya nggak mau Mas Abiih kenapa-napa."

Mendengar pengakuan jujur Bu Norma, Tokek perlahan-lahan memelankan laju sodokannya. Hingga akhirnya benar-benar berhenti.

Orgasme yang sudah diambang awang-awang si wanita berjilbab pun melayang hilang. Heran, Bu Norma pun menengok ke belakang.

"Bu Norma belum tahu, ya?"

Bu Norma diam. Menunggu.

"Suami Bu Norma udah nggak ada. Kopral tembak kepala dia habis dia ngancam-ngancam aku sama Kancil."

Selama beberapa saat, dunia Bu Norma berhenti berputar. Kata-kata Tokek masuk ke telinga kanan dan keluar dari yang kiri. Kaki-kakinya seakan tidak menapak bumi. Rojokan pada vaginanya yang kembali dilanjutkan bahkan tak membuatnya geli. Gotri pada kemaluan lelaki yang tengah menungganginya terasa hampa, tak lebih dari aksesoris murahan yang tak ada rasanya.

Sementara Bu Norma kesulitan menerima kebenaran yang dia berikan, Tokek tancap gas saja. Badan wanita itu dia nikmati sepenuhnya. Dubur, vagina, buah dada, kurang apa, ya? Oh! Dia tahu. Dia akan paksa wanita itu mengulum kontolnya lalu crot di sana.

Sempurna!

Tokek menggenjot, menggenjot, dan menggenjot sampai tiba-tiba dia rasa kaki-tangan Izrail sudah parkir di ujung kontolnya. Menggeram bagai binatang terluka, dia cabut diri dari vagina Bu Norma. Dia maju demi merenggut dagu wanita itu. Melalui bibir yang setengah terbuka, dia masukkan kemaluannya. Mentok sampai ke pangkal-pangkalnya. Masa bodoh Bu Norma menangis karenanya.

"Ooohhh, Bu Guru! Anget banget mulutmuuuu."

Tokek memastikan seluruh benihnya Bu Norma telan dengan berlama-lama mendiamkan penisnya di dalam mulut hangat perempuan itu. Helai-helai rambut yang bermunculan menutupi dahi sang bidadari dia selipkan kembali ke dalam jilbab yang sudah awut-awutan. Kacamata miring si wanita dia betulkan.

Baru sesudah lidah Bu Norma tak lagi membelit dia punya batang, Tokek mundur ke belakang. Wajahnya riang. Hatinya senang. Sama sekali dia tak berpikiran jika tiba-tiba dia akan terjengkang.

Selagi Tokek menggedor-gedor pintu rahimnya tadi, Bu Norma diam-diam telah mengendurkan ikatan pada tangannya. Ketika lelaki itu asyik menerima servis mulutnya, dia telah bersiap. Begitu kontol bau itu lepas dari bibirnya, Bu Norma langsung bertindak.

Pertama, dia jegal kaki si laki-laki.

Kedua, dia naiki dada kerempengnya.

Ketiga, dia cakari mukanya. Seakan-akan hendak dia jugil kedua mata juling itu dari soket mereka.

Segala sumpah serapah yang ada dunia Bu Norma muntahkan saat itu juga. Mulai dari babi, bangsat, bajingan, beruk, bedes, bregul, bosok, bodoh, bawuk, bajindul, berengsek, bangkak, sampai berang-berang keluar semua.

Tentu saja, Tokek melawan. Tetapi, Bu Norma terlalu beringas. Tangan-tangan pemuda itu cuma bisa melindungi wajahnya. Itu pun sia-sia. Banyak cakaran Bu Norma daratkan ke sana.

Begitu luapan amarahnya mereda, Bu Norma mematung dalam duduknya. Biar pun dia membunuh Tokek, dia sadar, Dokter Abi sudah tiada. Pak Pur menembak kepalanya. Pak Pur membohonginya. Dia diperdaya. Selama ini, yang dia percaya dusta. Tidak ada lagi suami tempat dia dapat kembali. Tamat.

Dunianya tamat.

Oleh karenanya, saat kemudian Tokek gantian memitingnya ke tanah, Bu Norma cuma pasrah. Saat jari-jari kotor lelaki itu mencengkeram lehernya, dia sudah menyerah. Gelap yang dengan cepat membebat mata dia sambut sumringah.

Tunggu aku, Mas Abi, batin Bu Norma. Istrimu ke sana. Istrimu menyusulmu.

~bersambung
 
Terakhir diubah:
Wahhh... zuuppeerrrr zzeekkaalliii Suhu @zeerowanwan. Baru ditinggal bentar, udah 3 kali updatenya :mantap:
Akhirnya... Bu Norma coba kabur. Sekali gagal abis ngibulin kancil. Apakah ada yg kedua kali? Atau... jangan2...
Tp klo Bu Norma selesai, selesai jg donk ceritanya. Gak serruuuu wkwkwk :Peace:
Mmm... Tumben Suhu @zeerowanwan gak ngasih quiz sop iler nie. Kan nebak2 gak jelas jadinya wkwkwk
Mantap Hu
Makasih updatenya. Thread terkonsisten update nie selama bulan puasa hehehe
Monggo dilanjut
 
Wahhh... zuuppeerrrr zzeekkaalliii Suhu @zeerowanwan. Baru ditinggal bentar, udah 3 kali updatenya :mantap:
Akhirnya... Bu Norma coba kabur. Sekali gagal abis ngibulin kancil. Apakah ada yg kedua kali? Atau... jangan2...
Tp klo Bu Norma selesai, selesai jg donk ceritanya. Gak serruuuu wkwkwk :Peace:
Mmm... Tumben Suhu @zeerowanwan gak ngasih quiz sop iler nie. Kan nebak2 gak jelas jadinya wkwkwk
Mantap Hu
Makasih updatenya. Thread terkonsisten update nie selama bulan puasa hehehe
Monggo dilanjut
spoilernya lgsg tengok aja nanti di page 28, hu ehehhehe
 
Bimabet
Jadi ngebayangin bu norma mem wot kancil, mendidiknya biar jd jantan sekukuh baja penuh canda. Tau2 tokek ikut nimbrung sodomi bu norma. Bu norma tertawa lembut, nyadari kedua jantannya nafsuan, ngingetin jgn berebut susu, masing2 dpt ngemut puting coklatnya. Ahh bener2 ngemong dah bu normaahh..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd