Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG {Triple Updates 30-4-24} Bu Norma, Wanita Berjilbab Yang Disekap! [NO SARA]

Bu Norma kira-kira akan diapakan?


  • Total voters
    660
  • Poll closed .
Lost & Found 4.1

Bu Norma tempelkan mulut botol itu ke bibirnya. Matanya sedikit berkaca. Dia harap Dokter Abi tidak ada di sana. Tidak menyaksikan dia menenggak alkohol pertamanya. Meski, lelaki itu telah merestui. Telah mengizinkan.

Berkali-kali Bu Norma ingatkan diri sendiri. Bahwa dia sedang terpaksa. Bahwa kalau bukan karena sudah berjalan tiga hari menyeberangi gurun di tengah kemarau panjang, mustahil dia sentuh botol yang kini digenggamnya. Bahwa ini semua bukan salahnya. Bahwa perang telah merampas opsinya.

Dengan mata terpejam, Bu Norma tenggak isi botol itu. Mulanya beku. Dingin. Lau, tiba-tiba panas. Tiba-tiba lidahnya terbakar. Tiba-tiba dia ingin jadi korban tewas perang saja. Kenapa juga dia harus selamat bersama suaminya hanya untuk sekarang mengonsumsi zat terlarang?

"Dik?" tanya Dokter Abi, khawatir Bu Norma kenapa-napa karena wanita berhijab itu belum juga menjauhkan botol dari bibirnya. Belum juga membuka mata indahnya. Pria itu sendiri sudah lebih dulu mengalirkan khamr—yang mereka temukan sebagai satu-satunya sumber air sesudah menggeledah seisi kota mati nan terasing yang mereka lewati dalam perjalanan mencari suaka—ke dalam kerongkongannya dan merasa baik-baik saja. "Kamu nggak papa?"

Pelan, Bu Norma menggeleng. Pipinya memerah. Kakinya seakan mengambang. Api dari neraka mengompori lambungnya. Minuman keras itu terasa jauh lebih buruk dari yang dia kira. Dari pipis yang dia coba minum sembunyi-sembunyi tanpa pengetahuan suami.

"Udah." Dokter Abi raih botol dari Bu Norma. "Kamu santai dulu. Di sini dulu. Biar aku cari lagi. Siapa tahu—"

Bu Norma menggeleng. Kali ini dengan mata terbuka. Melihat sekitar mereka. Melihat dengan kasihan pada suaminya. Sudah seharian mereka mencari. Dan cuma botol wiski itu yang mereka jumpai. Sementara, tujuan yang mereka cari masih puluhan kilometer lagi; menurut perkiraan ngawurnya.

Bu Norma enggan terus-terusan jadi beban. Jadi pusat tata surya suaminya. Dia ingin berguna. Ingin menguatkan Dokter Abi. Bukan malah menggembosi. Oleh karenanya, dia sambar kembali botol wiski. Dia minum rasa malunya hingga tak bersisa.

Meskipun pada akhirnya pasangan suami istri itu berhasil lolos dari Maut yang adalah padang gersang peninggalan perang, mereka tidak pernah lupa akan hari itu. Hari di mana mereka langgar larangan-Nya. Semata, demi tidak menyerah akan kasih-Nya. Percaya, bahwa dosa mereka akan dimaklumkan.

Dimaafkan.
"Pap dulu lah, ya. Sapa tau ada yg kangen Bu Norma."
~Bu Norma™
a762be0c35db1ab1f0bd8c7e9d546c70436c153e-high.webp

Benar-benar 180° dengan apa yang terjadi pada malam hari yang mana Bu Norma habiskan bersama Tokek dan Kancil, di pinggiran sungai nun jauh di dalam rimba yang tersembunyi dari dunia. Wanita berkacamata itu percaya: dia akan terbakar di neraka. Sebagai balasan dia sudah hanyut dalam pusaran surga dunia. Dipuaskan lelaki-lelaki yang lebih muda darinya. Dibuai kontol-kontol perkasa yang siap siaga memuaskannya.

Bu Norma tidak berdoa agar tuhan mengampuninya. Dia tahu dia salah. Dia cuma berharap, tuhan mengerti. Dia butuh disetubuhi. Lagi dan lagi. Setelah segala yang dia lalui. Sesudah ditinggal tiada sang suami. Tentunya, Dia tidak akan kesulitan, kan?

"Hooohhkkkk.... oghhhk... ohhhkkkggg"

Begitu rapalan mantra Bu Norma, yang sedang dinikmati dengan gaya anjing. Tokek merobek-robek liang kawinnya. Gotri di bawah kulit ari si lelaki membentuk ulang otot-otot vagina Bu Norma. Melatih otot-otot itu agar kian nagih. Kian terbiasa dirojok dan disodok dalam berbagai sudut, tempo, dan daya.

Sementara, di depan, Kancil tengah menggagahi mulutnya. Coba mengorek trakea dalam dada Bu Norma dengan ujung berkulup penis panjangnya. Ludah mengalir dari sela bibir si wanita. Beberapa melelehi leher dan ranum buah dadanya; yang selepas tengah malam itu sudah penuh dengan bekas cupangan para pejantan. Kencang karena terangsang. Meradang pingin terus dipegang. Terus diganyang. Disayang-sayang.

Malang, Tokek kadung gandrung dengan bongkahan-bongkahan pantatnya. Jemari dekil dan najisnya tak bisa jauh dari mereka. Harus senantiasa memuja. Mengukuhkan status keduanya. Sebagai bulatan bokong paling menggoda yang pernah ada. Sembari terus memacu si kuda betina, tak henti-hentinya dia menampar mereka. Meninggalkan jejak kelelakiannya. Sebagai tanda atas apa yang tlah jadi miliknya.

Kancil sendiri tak bisa Bu Norma harapkan. Bocah badung itu seolah ingin merontokkan rambutnya. Mencerabut mereka hingga ke akar. Memegangi kedua sisi kepala Bu Norma sambil memaju mundurkan pinggulnya. Seakan kepala dan sisa bagian badan Bu Norma yang sehari-hari berjilbab itu diciptakan hanya sebagai pemuas nafsu belaka.

"Nggak bisa bosen aku sama ini pecun," kata Tokek yang kini mengisi dubur Bu Norma. Gonta-ganti dia nikmati jepitan lubang-lubang si wanita. Kadang dia genjot satu lubang untuk beberapa lama. Kadang cepat saja dia pindah-pindah dari yang satu ke yang lainnya. "Memek sama bo'ol sama enaknya. Bingung pakai yang mana."

"Enghhh, ya. Sama." Kancil bicara sambil mempertahankan kontak mata dengan Bu Norma, yang dia perangkap pada selakangannya. Wajah ayu wanita yang pantas menjadi ibunya itu tampak menikmati lolipop berdaging yang keluar masuk mulutnya. "Kita kentot Bu Norma.... selamanya. Arghh...."

Ucapan Kancil bisa saja jadi kenyataan. Sebab, bepergian ke pasar gelap bukanlah sesuatu yang mudah. Bisa berhari-hari orang baru kembali. Kalau sampai Kopral dan Gagah tak lagi mereka jumpai batang hidungnya, otomatis Bu Norma jadi milik mereka berdua.

Juga, Kancil mengira-ngira, kalau dia bisa singkrikan Tokek, cuma dia yang akan punya Bu Norma. Dia mau-mau saja berbagi. Tetapi dia tidak akan menolak kalau yang terjadi justru sebaliknya. Di dunia yang Kancil kenal, yang seperti Bu Norma terlalu langka, soalnya. Bukan cuma sintal dan binal, betina yang satu ini pintar dan bugar juga. Belum lagi, dia dermawan. Keibuan. Sendirian. Butuh belaian.

"Uughhkk, anget banget mulutmu, Bu," erang Kancil yang mati-matian menahan ngilu pada ujung lubang kencingnya.

Selagi para pria melenguh dan mengerang, Bu Norma resapi datangnya klimaks yang... entah sudah keberapa. Lututnya lemas. Kalau tidak sedang dalam kendali mereka, dia tahu dia hanya akan teronggok di atas pasir bagai gombal tak berguna. Hunjaman penis-penis mereka menjauhkan kantuk dari matanya. Menjaga bara birahinya menyala. Bahkan saat malam kian menggelap sekali pun.

Menyambut gelombang senang yang mendera dari dalam diri, Bu Norma meremas-remas kedua balon kembarnya. Dia tagih mereka agar ikut hanyut dalam kemelut zina. Agar menikmati tiap detiknya. Tiap tetes keringatnya. Kemudian, pada saatnya, tiap semburan pejuh kental yang para pria persembahkan untuknya. Baik di dalam dirinya, atau pada permukaan kulitnya.

"Arrrrghhh, lonteeeee," erang Tokek yang buru-buru mencabut penisnya dan melukis pada kanvas punggung melengkung Bu Norma dengan intisari dirinya. Dengan benihnya. Bercak-bercak itu dia kuas dengan puas sebelum badan melemas.

Kembali disisakan berdua dengan Bu Norna, Kancil bimbing si wanita yang lebih tua agar berbaring di atas pasir sebelum kembali menyetebuhi mulutnya. Megap-megap, Bu Norma cuma bisa pasrah. Menerima tiap sodokan yang membuatnya tersedak-sedak. Ditampar-tampar dagunya oleh buah zakar. Diculek matanya dengan ujung-ujung jembut si pemuda.

Di bawahnya, Bu Norma arahkan jari tangannya supaya mengelus sendiri kelentitnya. Yang kini sudah berhenti sembunyi, seringnya. Terima kasih pada Tokek yang sudah 'memodifikasi' vaginanya.

Ketika akhirnya Kancil mengejan kemudian muntahkan sperma yang tak bisa dia telan semuanya, Bu Norma tarik klitoris itu hingga dia samakan definisi sakit dan nikmat dalam kamus hidupnya. Dengan tangan yang satunya, dia tekan pantat si bocah ke wajahnya sendiri dalam upaya mengisi perutnya, yang jujur kembali lapar karena arak yang dia tenggak. Wanita itu menahan napas hingga pemuda di atasnya bergeser ke samping dan meninggalkan dia terkapar memandang pendar cahaya yang tak akan pudar pada hamparan langit malam yang menaunginya.

"Weh, tinggal dikit, Cil," Bu Norma dengar Tokek berkata. "Buatmu atau buatku?"

"Buat," kata Kancil yang masih ngos-ngosan, "Bu Norma aja."

"Bu?"

Tokek kini bicara padanya.

"Hmm?"

Lemah Bu Norma menanggapi.

"Haus nggak?"

Ada harap dalam suara si pemuda. Harap agar Bu Norma menjawab: iya. Sebagai pemabuk sejak awal remaja, dia belum pernah melihat perempuan serakus dan sehaus Bu Norma. Kalau arak bikinan Kopral saja bisa bikin dia begitu, Tokek kepingin membelikan Bu Norma minuman-minuman berkelas. Murid yang baik, lagipula, adalah yang pandai menyenangkan gurunya.

"Hmmm."

Entah karena kesal atas respon setengah hatinya atau bagaimana, tahu-tahu saja Tokek sudah menyeret kaki Bu Norma. Wanita berkacamata itu menahan kembali napasnya. Sebentar saja dia rasakan pinggulnya kini disangga sebuah batu. Vaginanya menganga. Pamer ke muka angkasa.

Lutut-lutut Bu Norma bertopang pada dada si pemuda yang berlutut mengangkangi buah dadanya. Beberapa gotri pada penis lemas Tokek menyapa puting kirinya. Bisa dia cium bau lubang kotoran pria bertato itu.

"Shhhh, yah, gitu, Bu," desah Tokek keenakan. "Jilati anus saya."

Gara-gara servis mulut Bu Norma, Tokek jadi harus lebih berusaha. Lebih keras mencoba menuang isi botol ke dalam lubang peranakan si wanita tanpa membuang-buang. Oleh karena itu, ketika mulut kaca bersua bibir vagina, dia masa bodoh saja. Dia lesakkan yang satu pada yang lainnya.

"Aaauhhh," lenguh Bu Norma, tahu benda yang baru masuk ke dalam dirinya itu apa. Dingin. Dan basah. Berbentuk silinder. Dari kaca. Belum lama tadi dipeganginya. Dia tenggak isinya. "Kekkk? Ibu kamu apain?"

Sesuai arahan Tokek dan persetujuan Kancil, saat bersama mereka, Bu Norma harus menyebut dirinya dengan kata ganti orang ketiga. 'Ibu' dan bukan 'saya'. Bu Norma menyukainya. Terasa lebih nakal saja.

"Udah, Bu. Diem aja." Tokek diamkan botol kaca di atas selakangan Bu Norma. Isi botol itu menggeleguk sebentar sebelum tenang kembali. "Lanjut. Jilati silitku, Bu."

Patuh, Bu Norma gunakan kedua tangannya untuk berpegangan pada sisi depan paha si pemuda. Lidah kembali dia julurkan. Dia sapukan. Dia tusuk-tusukkan pada lubang mengkerut punya salah satu lelaki paling beruntung di dunia. Sementara, bagian bawah tubuhnya yang kini jadi bagian atas, terasa penuh berkat botol terbalik yang menyumpal vagina. Dia hanya berharap botol itu tidak masuk lebih dalam. Dia rela dijejali sembarang kontol. Tapi, botol?

"Cil! Lihat, nih," kata Tokek, tiba-tiba menghunjamkan botol arak ke bawah hingga amblas setengah lehernya ditelan memek Bu Norma. Pemuda itu agaknya tahu. Dari cara Kancil memakai Bu Norma. Bahwa ada sesuatu di antara mereka. Dia cuma sempat sebentar saja menyaksikan ketidak relaan Dokter Abi mendapati istrinya dikasari orang lain. Apa yang kini dia jumpai pada mata juniornya memberi dia lebih banyak gambaran serupa. Tidak rela, tapi tak bisa apa-apa. "Udah longgar memek bu guru kita."

"Ehmmmp, Kek, lepasinnnn," pinta Bu Norma, kesakitan.

"Kenapa, Bu?"

"Nggak muatttt itu di anunya Ibu."

"Anu? Memek maksudnya?"

"Iyaaa. Memek Ibuuuu."

"Muat kok ini," kata Tokek sambil sedikit memutar botol.

"Nggaaaak." Titik-titik air mata Bu Norma—yang karena posisi kepala lebih rendah dari leher—jatuh membasahi rambut hitam bergelombangnya. "Cepet lepasiiiin."

Bukannya mengabulkan, Tokek justru menaik turunkan botol itu di dalam kemaluan Bu Norma. Akibatnya, cairan di dalamnya pun lolos ke luar. Sedikit demi sedikit. Bercampur dengan sperma. Juga lendir si wanita. Muncul kemudian busa. Tumpah dari tepi vagina. Turun membasahi rambut-rambut halus selakangan Bu Norma. Rakus Tokek seruput tumpahan itu.

Selama proses ini terjadi, Kancil dapati Bu Norma merem-melek kesakitan. Juga keenakan, dia curiga. Karena meski mulutnya menyumpah-nyumpah, ada desah di sana. Juga, dia bisa saja memaksa Tokek berpindah. Yang tidak terjadi. Sedikit sedih menelusup ke dalam hatinya. Namun, Kancil bergeming di tempatnya. Dia saksikan bagaimana isi botol berkurang.

Hingga tak bersisa.

"Cil! Sini." Tokek cabut botol ke udara. Di bawahnya, Bu Norma mendesah lega. "Belum pernah minum ciu tjap jembut, kan?"

"Bangsat, ya, Kek," ujar Bu Norma, yang belum beringsut dari posisi menungging yang tak biasa meski pusing mulai merambati kepala. "Ibumu dulu ngidame apa? Letong kuda?"

"Letong naga, Bu," jawab Tokek seraya mengode Kancil agar lekas mendekat.

Dengan enggan (patuh pada Tokek) dan segan (pada Bu Norma), Kancil pun mendekat. Dan, dia tidak menyesal. Di dalam rongga vagina Bu Norma kini dia temui cairan putih pekat. Aromanya menyengat. Bangun lagi kontolnya yang tak bersunat. Tanpa diarahkan siapa-siapa, dia bawa wajahnya merapat. Vagina Bu Norma dia lumat.

Tak ayal, Bu Norma menggeliat hebat. Rasanya dia pingin buang hajat. Lalu, orgasme yang kesekian kali dia dapat. Siapa yang menyangka. Tidak terpikir olehnya, bahwa ketika dia tadi diminta menari tanpa busana meliuk-liukkan tubuhnya yang sintal di depan para pemuda bengal, dia akan bermuara dijadikan piala. Yang orang bisa minum darinya. Mereguk nikmat bersama. Bu Norma merasa... luar biasa. Bangga. Berguna.

Sewaktu mereka akhirnya terlelap, Bu Norma biarkan dirinya dihimpit oleh kedua pasangan haramnya. Tokek di belakangnya. Kancil berpelukan dengannya. Kabut yang lalu turun menjelang pukul tiga susah payah membangunkan mereka.

Dalam pada itu, sosok yang dengan sabar menunggu dari balik kegelapan dan telah menyaksikan semuanya, menjalankan rencananya. Lewat bekunya udara, dia susupi pikiran Bu Norma. Dia hadirkan sosok mendiang suami si wanita, yang kecewa menonton istrinya ditunggangi dua pemuda durjana. Seiring kian memanasnya adegan mereka, lelaki berjenggot tipis itu pun membuang muka. Tetapi, dia bertahan di sana. Menunggui akhirnya.

"Mas," Bu Norma bicara, "maafin saya."

Dokter Abi menggeleng dan berkata, "Saya yang salah."

"Mas nggak marah?"

"Marah, sih, marah. Tapi ya mau gimana. Cuma bisa pasrah."

"...."

"Baik-baik sama mereka, ya, Dik," ucap Dokter Abi sebelum berbalik dengan maksud beranjak pergi. "Jangan kecewain mereka. Jangan tiru saya. Suamimu yang nggak guna."

Siasat sosok pemintal cerita membuahkan hasil saat Bu Norma hampir kehilangan Dokter Abi dari jarak pandangnya. Wanita itu tinggalkan lelaki yang dia kendarai. Dia campakkan penis berkulup yang sedang dia kocok di tangan halusnya. Jilbab di kepalanya berkibar saat dia mulai berlari. Bayangan sang suami yang mengabur dia kejar. Dan kejar. Dan kejar. Hingga dia bangun dengan mata nanar. Dada gusar. Perut terbakar.

Tadi itu mimpi, kan?

Tentu saja.

Suaminya sudah tiada.

Atau begitu yang dia percaya.

Sebab, ketika menolehkan muka ke barisan pepohonan di arah hulu, Bu Norma melihat siluet seseorang. Orang itu melihatnya. Mereka saling pandang. Lalu, kawanan awan tipis bergerak bersama bayangan yang menutupi wajahnya.

Demi arwah ibunya, Bu Norma tak percaya jika Dokter Abi, suaminya, ada di sana. Betulan ada di sana. Dalam wujud raga yang fana. Sedang berdiri menghadapnya. Takut-takut dia pun duduk dengan tangan menyilang di depan payudara. Dua-duanya lengket oleh sperma dan keringat.

"Mas?" Bu Norma dapati dirinya sendiri berkata. Pelan. Hampir dalam bisikan. "Mas Abi?"

Dokter Abi tidak berkata apa-apa. Hanya mengisyaratkan istrinya agar ikut. Masuk ke dalam hutan. Bersamanya.

Tentu saja, Bu Norma bergeming. Dia masih belum percaya. Jangan-jangan, dia masih bermimpi. Panik, wanita itu cubit sendiri pentil kanannya. Sakit. Bukan mimpi berarti.

Kembali Bu Norma mendongak. Dokter Abi masih di sana. Dalam rompi dan pakaian bepergian. Pakaian yang Bu Norma cuci dan setrikakan untuk sang suami. Tidak salah lagi. Itu kekasihnya.

"Bentar, Mas," kata Bu Norma yang lalu dengan berisik bangkit. Kepala yang pengar membuatnya susah mencapai ranselnya. Beberapa kali dia hampir berhasil menjegal kakinya sendiri. Jika pada akhirnya dia tidak terjerembab lebih dari tiga kali, itu semata keajaiban gang di luar kendalinya.

Karena terburu-buru, Bu Norma sambar potongan kain paling besar dan paling mudah dikenakan yang ada. Dalam balutan mukena yang gagal menyembunyikan tonjolan buah dada dan lekuk pantatnya, wanita itu lantas bergegas berderap ke arah suaminya menunggu.
pangapunten. susah generate mukena di ai, hu. adanya enih.
8c8b85c0c338416184afe85cd6573275a5ed6390-high.webp

Saat sosok di bawah pepohonan itu memunggunginya dan berjalan ke dalam gelap, Bu Norma kutuki alkohol dalam darahnya seraya berkata, "Mas! Tunggu!"
~bersambung
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd