Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT VALKYRIE Management

Wah baru tau gw ada cerita kya begini di cerbung gokil
 
Selamat bergabung bro . Cerita ini udah lama . Updatenya pun lama . Tapi sekali udpate banyak ceritanya lur
 
Selamat menikmati lanjutan cerita ini. Terima kasih Suhu semua yang masih setia mengikuti cerita ini. Semoga kita tetap sehat dan jauh dari sakit COVID19.

Cerita sebelumnya:
Veranda yang sudah ditangkap The Turncoat, berhasil kabur berkat bantuan orang misterius. Sementara itu, Melody mengikat perjanjian dengan Tengkorak Hitam.


CHAPTER 59: BURONAN


Shania Junianatha bersandar malas di ranjang kebesarannya. Tubuhnya yang bugil diterpa sejuk udara AC. Fokusnya tertuju pada layar televisi yang saat ini menayangkan cuplikan siaran ulang berita tadi sore. Bos Titan tampak menjawab pertanyaan demi pertanyaan dari wartawan. Shania bahkan dapat melihat detail gurat wajah Bos Titan dari layar televisi. Tanpa sadar tangannya menggenggam keras remote televisi.

Sementara di atas pahanya yang melebar, Tania Dara tampak asyik menjilati vaginanya. Matanya tertutup, sesekali mulutnya mendesah dan mengikik. Kombinasi vagina Shania yang nikmat dan efek obat terlarang membuatnya jauh terbang ke langit. Tania benar-benar tidak ingin momen seperti itu cepat berlalu. Dia semakin membenamkan mulutnya di liang vagina Shania. Semakin kesetanan dia menyedot, semakin rasa nikmat memenuhi bibir dan mulutnya. Liur meleleh dari sela bibirnya.

Shania yang melihat itu hanya tersenyum.

Kalau kau melihat ini Tristan, artis kesayanganmu ini, mungkin kau akan menangis. Artis yang kau besarkan ini, kini seperti perek jalanan yang hanya menginginkan kenikmatan fana. Kini apa yang kau kejar? Begitu banyak talent Valkyrie dengan bakat unik dan istimewa, dan kau sampai repot-repot mengurus somasi hanya untuk perempuan rendahan ini?

Sesaat dada Shania terasa sesak. Hatinya merasa getir.

Jauh, sangat jauh, di dalam hati kecilnya, setitik perasaan kembali muncul. Perasaan menyesal yang terkadang hadir, namun dengan cepat dia bunuh. Namun kali ini, di ruangan kamarnya yang dingin dan sunyi, Shania membiarkan perasaan itu tetap hidup. Walau untuk sejenak. Dan tanpa ampun perasaan itu dengan cepat memenuhi hati dan pikirannya.

Kalau saja waktu itu aku tidak menerima tawaran Tuan. Kalau saja waktu itu aku tetap setia pada Tristan. Kalau saja waktu itu aku tidak mengatakan ingin menjadi artis. Kalau saja. Kalau saja…

Shania tidak tahan lagi. Dia terisak menangis. Air mata yang tidak pernah dia ingat kapan terakhir kali keluar, kini merembes di pipinya. Rasa sedih, menyesal, dan kangen bercampur jadi satu. Dia tidak bisa terus-terusan membohongi dirinya. Dia tidak bisa terus terlihat kuat di hadapan semua bawahannya. Dia juga bisa letih menjadi Ratu The Detourn yang berwibawa dan angkuh di hadapan semua orang. Pada akhirnya, dia hanyalah seorang wanita yang mempunyai perasaan. Wanita yang mencintai seseorang yang kini hampir tidak mungkin dia dapat.

Tania yang mendengar isakan tangis mendongak ke arah suara. Dia melihat Shania menutup wajahnya sambil terus terisak. Di bawah efek obat terlarang, intuisi seorang wanitanya masih bekerja. Dia merasa tidak perlu ikut campur apapun masalah Bos baru nya. Intuisinya menyuruhnya untuk tetap diam, membiarkan Bos nya menyelesaikan masalahnya sendiri. Dan dia tetap fokus menikmati saja vagina Bos nya.

Ponsel di meja samping ranjang berdering. Shania akhirnya berhenti menangis dan melihat siapa yang menelepon malam-malam begini.

Saktia.

***


Veranda fokus mendengarkan sekitar. Hening. Perlahan dia mulai menyusuri jalur ducting AC kamar Pegawai Terpilih, menuju plafon kamar Saktia. Kamar Saktia yang berseberangan dengan kamar Gracia dan diapit kamar Melody dan Yona membuatnya merangkak agak jauh. Meter demi meter dia susuri pelan agar tidak menimbulkan suara sekecil apapun. Dia paham rekan-rekannya yang ditempah untuk tetap waspada terhadap sekitar, bunyi sekecil apapun, apalagi dengan kondisi sekarang ini.

Beruntung AC sentral untuk lantai kamar Pegawai Terpilih tidak dihidupkan, karena mereka dulu meminta untuk dipasang AC sendiri di tiap kamar. Namun tetap saja rasa dingin sedikit menembus seragam petugas kebersihan Veranda yang kini lusuh.

Sesekali Veranda berusaha menahan rasa ingin bersin, namun beberapa kali dia gagal. Veranda menekan keras mulutnya dengan lap tangan yang tersimpan di kantong bajunya. Jangan sampai terdengar. Jangan sampai, batinnya.

Setelah hampir setengah jam Veranda merangkak sambil sesekali menahan bersin, akhirnya dia melihat secercah cahaya dari satu lubang jauh di depannya. Perlahan dia mendekati sumber cahaya itu, untuk melihat apakah dia sudah benar berada di atas kamar mandi Saktia. Namun sesaat dia bingung. Kalaupun benar aku berada di atas kamar mandi Saktia, lalu aku harus ngapain? Aku turun ke kamar mandinya? Bukannya dia pasti sudah di kamar? Aku pasti ketahuan.

Sambil merangkak mendekati sumber cahaya dan terus berpikir apa yang harus dilakukan, Veranda baru menyadari ada yang menghalangi sumber cahaya di depannya. Seperti tumpukan benda yang membuat pancaran cahaya di depannya tertahan. Setelah sampai, Veranda baru melihat benda apa yang terletak di depannya.

Sebuah bundle dokumen bersampul merah yang cukup tebal dan diikat karet. Veranda memperhatikan, tidak banyak debu di atas dokumen tersebut. Dan juga tampilannya seperti masih baru. Berarti kemungkinan dokumen ini belum lama berada di sini. Tapi kenapa ada di sini? Kenapa harus disembunyikan di sini?

Ini pasti sesuatu yang penting dan rahasia. Jantung Veranda berdegup kencang saat akan meraih seikat dokumen tersebut. Namun saat jarinya sedikit lagi menyentuh, dari kamar mandi bawah terdengar suara langkah cepat kaki. Beberapa detik kemudian, penutup saluran AC sentral di depannya terbuka.

Dari lubang AC di depan Veranda, tiba-tiba muncul sepasang tangan!

***


“Kerahkan semua pasukan! Se-mu-a! Kali ini kita harus benar-benar memburunya! Dia pasti tidak jauh!”

Setelah hampir sejam mendengar amarah Shania di seberang telepon, Saktia akhirnya mendapat perintah. Jelas ini kejadian di luar perhitungan mereka dan tidak bisa mereka antisipasi. Rencana berubah. Kali ini Shania tidak mau lagi setengah-setengah mencari keberadaan Veranda, walaupun itu berarti keberadaan dan identitas anak buah nya akan ketahuan. Shania tidak mau ambil pusing. Dengan kekuatan dan materi yang dia punya, Shania dapat membereskan semua itu dengan cepat.

Saktia tertegun mendengar perintah Bosnya. Baru kali ini Shania memerintahkan untuk semua pasukan dikerahkan. Artinya masalah ini harus cepat tuntas. Maka Saktia bergegas menuju kamar mandi di sudut kamarnya. Dia mengambil brush bergagang panjang yang ujungnya memiliki pengait, kemudian mengaitkan ujung gagang tersebut ke lubang penarik tutup saluran AC di plafon. Sambil kakinya berpijak pada bagian flush WC, tangannya menggapai masuk ke dalam lubang di plafon.

Ketemu. Saktia langsung menarik benda yang disembunyikannya di atas plafon kamar mandi. Seikat dokumen dengan sampul merah. Dokumen rahasia yang dia jaga betul. Dokumen yang berisikan data para The Turncoat serta dokumen rahasia lainnya yang beberapa di antaranya bahkan tidak dia tunjukkan kepada Shania.

Sambil menepuk-nepuk bagian atas dokumen yang berdebu itu, Saktia tersenyum mengingat momen saat para Pegawai Terpilih memeriksa kamarnya dan tidak menemukan apa-apa. Kalian mau mencari sesuatu yang mencurigakan dari kamarku? Benar-benar lugu. Mana mungkin kalian bisa mendapat sesuatu dari kamarku. Aku jauh lebih cerdas dari kalian. Saktia terkekeh mengingat keluguan teman-temannya. Dia pun beranjak menuju ranjangnya.

***

Veranda tidak berani menggerakkan sedikitpun anggota badannya. Tubuhnya terpaku merunduk hanya dua meter di dekat lubang saluran AC yang masih terbuka. Matanya membelalak melihat tangan itu meraba sekitar dan langsung menarik dokumen di depannya ke bawah.

Tangan itu. Juga jam tangan itu. Tak salah lagi. Itu tangan Saktia. Itu berarti Veranda sudah berada di tujuannya. Namun sekarang, dia harus menunggu, apakah dokumen itu akan kembali atau tidak. Melihat lubang AC sentral yang masih terbuka, Veranda yakin dokumen itu akan dikembalikan. Dia pun diam menunggu.

Setelah setengah jam diam dalam keheningan, kesabarannya berbuah hasil. Veranda kembali mendengar langkah kaki, tak lama, tangan Saktia muncul lagi untuk meletakkan kembali dokumen rahasianya ke tempat semula. Veranda menahan nafas. Jaraknya dengan tangan Saktia hanya dua meter. Sedikit saja dia bersuara, dia akan ketahuan.

***


Setelah memastikan dokumen itu tidak terlihat, Saktia menutup lubang ducting AC. Kini dia sudah menghubungi nomor-nomor yang tertera di dalam dokumen itu. Seluruh pasukan The Turncoat, baik di dalam maupun di luar Valkyrie.

Bulu kuduk Saktia merinding. Perutnya sedikit mengejang. Saktia menyeringai, tidak sabar dengan apa yang akan terjadi besok. Besok perang akan dimulai. Mereka akan mengacaukan Valkyrie. Dan sepertinya bukan hanya untuk nyawa Veranda. Kalau perlu, untuk banyak nyawa.

***


Veranda bergetar. Di bawah sinar flash ponselnya, dia melihat isi semua dokumen itu. Dan kini dia seperti tidak punya kekuatan untuk membereskan kembali. Tanpa sadar Veranda terisak, menyadari bahwa seseorang yang selama ini dia anggap teman, ternyata benar-benar seseorang yang sangat jahat.

***
 
Terakhir diubah:
CHAPTER 60: GENDERANG


Birowo hanya diam. Terlihat jelas dia memikirkan sesuatu. Sarapannya belum disentuh dari awal Ibu warung menyuguhkannya. Gino yang sudah hampir ludes menyelesaikan sarapannya menoleh, ‘Heh, Wo! Kenape lu?! Ga mau makan? Biar gue embat sini.” Gino berancang-ancang mengambil piring sarapan Birowo. Namun Birowo masih bergeming.

“Ada yang mengganjal pikiran gue setelah gue denger kronologis dari Arman.”

“Apaan emang?” sambil mengunyah Gino bertanya.

“Hmm. Pertama, Kalo emang pintu dirusak, setidaknya salah seorang dari kita pasti lihat atau dengar, minimal curiga lah. Ngerusak pintu itu bunyinya pasti ribut. Ga mungkin kita ga denger. Kemudian yang kedua, kalo anak itu sampe sekarang ilang…” Birowo tidak melanjutkan omongannya.

Sedetik kemudian dia beranjak keluar warung, meninggalkan Gino yang bengong melihat rekannya pergi meninggalkannya. Sambil menuju kantor Valkyrie yang berjarak 300 meter dari warung, dia membuka ponselnya dan menghubungi Arman.

“Man, gue mau tanya, di ruangan tempat anak itu diikat, ada tangga?"

***


“…yang pangkat tiga, setelah diintegral, angka pangkatnya dikurangi satu, angka pangkat awal ditaruh menjadi X…”

Yoriko memutar-mutar pulpennya tidak sabar dan menoleh ke kanan. Beby membolak-balik majalah remaja yang sudah beberapa kali dibacanya ulang. Sementara Sevira dengan damai mendengkur pelan di sudut kelas. Pak Broto, guru Matematika mereka, tampak asyik sendiri mengoceh sambil menulis di papan tulis.

Tangannya sudah gatal ingin memainkan ponsel pintarnya. Namun salah satu instruksi Om Minmon jelas mereka ingat: jangan main hape saat pelajaran di kelas, kecuali ada pesan atau panggilan masuk.

“Kalo bukan karena Om Minmon udah kabur gue dari kelas ini. Ini materi dari kapan tau masih aja diulang-ulang.” gumam Yoriko kesal.

Sesaat kemudian ponsel di kantung rok abu-abunya bergetar. Sembunyi-sembunyi Yoriko mengecek siapa yang mengirim pesan pada jam pelajaran seperti sekarang ini. Dan raut wajahnya langsung berubah 180 derajat, dari yang suntuk menjadi sumringah. Dengan cepat dia mengoper ponselnya ke Beby, yang dengan sigap melihat isi pesannya.
Beby langsung menulis pesan di secarik kertas dan mengoper ke belakang, “Kasi ke Ninda. Cepet.”

Setelah pesan tersebut sampai di tangan Ninda, dia bingung kemudian menatap Beby yang menoleh ke arahnya, “Beb, seriusan?” Ninda berbisik.

“Iye cepetan!” bisik Beby tidak sabar.

Setelah ragu-ragu, akhirnya Ninda menonjok kepala Sevira yang sedang tidur. Sevira langsung tersentak bangun dan berteriak, “HEH BEKICOT LU!”

Tak ayal seisi kelas langsung tertawa membahana. Momen itu langsung dimanfaatkan Yoriko dan Beby untuk menarik Sevira keluar dari kelas

“Pak permisi ke toilet Pak! Sevira lagi bocor! Kasian Pak!”

“Hah bocor? Maksudnya gimana? Heh kalian mau kemana?!”

“Dibilangin ke toilet, Pak gimana sih!” omel Yoriko sambil menghilang dari pintu kelas.

“Hey anak-anak, tunggu!”

Mereka langsung lari ke belakang sekolah. Sambil menyusuri selokan besar di belakang sekolah, Sevira yang dari tadi belum paham apa yang terjadi bertanya, “Eh ada apaan dah lu pada kok maen kabur aja?”

Yoriko dan Beby yang tidak menjawab, sambil setengah berlari hanya memberi ponsel Yoriko kepada Sevira.

“Wahhhh anjiiirr hahaha! Ayo ayo cepet!” Kini Sevira berlari mendahului Yoriko dan Beby.

“Lah si Pe’a!”

Sekeluarnya dari lubang pagar besi yang sudah dijalari tanaman, mereka langsung menuju mobil merah Beby.

Valkyrie we’re comiiingg!”

***

Sepuluh pria bercadar hitam berbaris menunggu instruksi. Tak lama kemudian pria muda yang berbaju serba hitam masuk ke ruangan yang hanya diterangi obor itu. Di sampingnya seorang wanita yang juga bercadar hitam berjalan mengikutinya. Seketika sepuluh pria bercadar itu berlutut.

“Sudah, berdiri kalian. Perintah saya jelas. Cari wanita yang bernama Veranda itu. Sampai ketemu. Jangan berani menginjakkan kaki ke sini kalau belum ketemu. Dari hasil penerawangan kemungkinan besar dia masih berada di gedung Valkyrie. Cari sesenyap mungkin.”

“Baik, Bapak.” Mereka menjawab serempak.

Dengan cepat dan hening mereka menghilang dari ruangan itu. Sebelum satu orang terakhir menghilang, Bapak mencengkram lengannya.

“Kamu tau tugas kita kan?”

“Saya tahu, Bapak.”

“Kamu paham prioritas utama kan?”

“Saya tahu, Bapak. Memastikan keselamatan...-”

“Iyap. Jangan lupa.” potong Bapak.

Sedetik kemudian, pria terakhir itu menghilang dari pandangan. Bapak menoleh ke arah wanita di sampingnya, “Hari ini tidak akan baik-baik saja.”

“Saya khawatir itu benar, Bapak.”

“Iya.” Bapak meraih ponsel yang telah disediakan asistennya, “sampai saya harus mengkhianati mata telinga saya.”

“Apapun keputusan Bapak, kami siap menjalankan. Tanpa penyesalan. Tanpa pertanyaan.” ujar wanita asistennya sambil undur diri meninggalkan Bapak sendiri.

Setelah nada panggil tersambung, akhirnya panggilan Bapak diangkat.

“Halo, Pak.”

***

“Man, gue mau tanya, di ruangan tempat anak itu diikat, ada tangga?”

“Hmm… Ada, Wo! Kenapa? Eh, jangan-jangan…”

“Iya, Man. Kayaknya kita sepemikiran.”

Sambil berjalan Birowo terus bertelepon dengan Arman, tanpa sadar di belakangnya sebuah mobil elf berhenti di dekat warung.

“Kita bergerak satu jam lagi. Pak Tristan sudah kasih akses. Berbaur dengan wartawan. Saya ga mau kalian sampai ketahuan. Tunggu aba-aba saya. Dan ingat,” Komandan Hary menatap anggotanya satu persatu,

“Ada kemungkinan konfrontasi. Siapkan mode tempur.”

“Siap, Komandan!”

***

Birowo yang pertama menjejakkan kaki masuk ke dalam ruangan perkakas kebersihan tempat Veranda disekap, diikuti Arman dan Saktia. Birowo langsung menunduk mengamati tangga yang terletak di bawah rak. Setahu dia tangga sangat jarang digunakan petugas kebersihan. Hanya dipakai untuk membersihkan lampu koridor.

“Bos, lampu koridor terakhir kali dibersihkan kapan ya?”

“Hmm sekitar dua minggu lalu. Kenapa Wo?”

Birowo tidak menjawab. Pandangannya tertumbuk pada bekas jejak tangga yang tidak pas dengan yang lama, pertanda tangga tersebut tidak lama ini dipakai. Birowo kemudian mendongak ke atas. Dia memperhatikan sekeliling plafon, dan akhirnya menemukan sedikit jejak sepatu di dinding sudut.

“Bos… kayaknya anak itu lari ke atas.”

“Hah?”

"Bos bisa liat plafon di sudut itu. Walaupun ada yang coba menutup serapi mungkin, tapi letaknya berbeda dengan sebelumnya. Terus Bos bisa liat di sudut, ada sedikit jejak tanah..."

Saktia yang mendengarnya tersentak. Sesuatu terlintas di pikirannya. Dia langsung berhambur menuju kamarnya. Di pikirannya sekarang cuma ada satu ketakutan. Cepat-cepat dia masuk ke kamar mandi dan meraih brush bertangkai panjang. Setelah menjejakkan kaki di bagian flush WC, dengan membabi buta Saktia meraba sekitar lubang ducting AC. Perutnya mengejang saat tangannya belum juga menyentuh dokumen rahasianya. Dengan penuh amarah dia memukul-mukul penutup lubang ducting AC. Ketakutannya terbukti. Dokumen rahasianya raib.

“PELACUURR KAMPUUNGG!”

***
 
Terakhir diubah:
CHAPTER 61: GENDERANG (2)


“Hey, Nona, jangan melamun gitu. Nanti kesambet lho.”

“Ngg- eh- iya, Bang Simon.”

“Lagi mikirin apa, Nona Ayana? Kayak lagi ada yang dipikirkan.”

“Ngg, gapapa kok Bang hehe. Wartawan di depan udah rame ya?”

“Sudah, Nona. Bentar lagi Nona Melody mau ketemu- eh lho, ada Tristan ternyata.” Ayana langsung menoleh ke arah yang ditunjuk Bang Simon.

“Lho tumben Bos mau ketemu wartawan.”

“Iya, ya. Kalau begitu saya standby dulu ya Nona.”

“Oke, bye Bang Simon.”

Sepeninggal Bang Simon, Ayana kembali melamun. Perasaannya tidak nyaman. Ada apa ini? Kenapa hari ini terasa berbeda, tidak seperti biasa. Ah tapi ga usah dipikirin lah, batinnya sambil berlalu.

***


Suasana wawancara berlangsung agak riuh. Wartawan memberondong Bos Titan dan Melody banyak pertanyaan. Mulai dari talent yang sedang naik daun, keikutsertaan Valkyrie Management kepada event konser akbar, perkembangan industri hiburan, sampai mengungkit somasi yang dilayangkan Valkyrie.

Dari banyaknya pertanyaan yang membrondong bersamaan, Bos Titan tertarik pada satu pertanyaan.

“Pak Tristan, kenapa Bapak ngotot sekali ingin mendapatkan Tania Dara dan Neo Girls, padahal banyak talent yang berbakat di Valkyrie?”

Bos Titan berdehem dan melihat sekitar. Para wartawan mendadak kompak terdiam menunggu apa yang keluar dari mulutnya.

“Dari sekian banyak pertanyaan kalian ini, baru ini saya dapat pertanyaan yang tajam. Begini, semua talent yang ada di Valkyrie adalah tempahan dari nol. Semua talent sudah saya anggap anak saya sendiri. Semuanya. Tanpa terkecuali. Bahkan yang saat ini belum debut dan masih dalam masa latihan, tidak saya beda-bedakan. Jadi ketika Anda tanya kenapa saya ngotot, itu karena saya tidak mau kehilangan satupun anak saya. Kecuali kalau benar dia yang ingin meninggalkan Rumah ini. Dan saya yakin Tania Dara dan Neo Girls tidak ingin meninggalkan Rumah ini. Terima kasih. Berikutnya saya lanjutkan ke asisten saya.”

Bos Titan meninggalkan lobi kantor dengan suasana yang makin riuh.

***


“Nggghh ngentoot! Enak bangeett!”

Teriakan Yona membahana saat orgasme terakhirnya keluar. Pahanya mengejang hebat sementara peluh membasahi dada dan lengannya. Sementara di bawahnya, Om Minmon terlentang sambil asyik menggulir layar ponselnya, tanpa mempedulikan gundiknya yang kelelahan namun ingin melanjutkan babak berikutnya.

“Masih kuat?” Om Minmon terkekeh melihat Yona yang terengah-engah.

“Hah hah masi-hah hah.”

“Bahaha ngomong aja susah, sok mau lanjut.”

Yona tidak menjawab. Dia mencabut penis Om Minmon kemudian meraih tisu di sudut ranjang. Dengan gerakan gesit dia menampung lelehan mani Om Minmon yang mengendap di ujung liang vaginanya. Setelah membereskan sisa mani, Yona mulai mengelap dada dan perut Om Minmon yang basah dengan handuk. Raut mukanya sedikit masam, entah karena diledek Bosnya atau karena seks pagi itu belum memuaskannya. Atau karena hal lain.

“Kenapa?”

“Hah?”

“Udah deh ga usah hah heh.”

Raut muka Yona yang tidak biasa itu tentu tidak luput dari perhatian Om Minmon. Yona menundukkan kepalanya. Hal sesepele ini harusnya bukan sesuatu yang perlu diceritakan ke Om Minmon, walaupun Yona sudah menganggap Bosnya itu sebagai ayah dan sahabatnya. Namun perasaan ini sudah mengganggu Yona sejak seminggu lalu. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Yona buka suara,

“Ngg- perasaanku seminggu ini ga enak, Om.”

“Udah ketemu penyebabnya apa?”

“Hmm... belum ketemu sih Om…”

“Hahaha”

“Kok ketawa sih Om.” Lengan Om Minmon dicubit.

“Coba sekarang kamu pikir, kenapa perasaan kamu ga enak.”

Yona terdiam. Pikirannya menerawang. Tentu kemelut yang terjadi belakang ini menjadi penyebabnya. Tapi bagian mananya? Apakah memang semua? Terlihat rumit, namun sepertinya sederhana. Aku sebenarnya harus jujur dengan perasaanku.

“Sekarang aku tidak tahu harus percaya ke siapa, Om. Veranda, anak baru yang belum ada setahun mengabdi di Rumah ini, bisa seperti itu. Bagaimana teman-temanku? Pegawai Valkyrie? Bahkan pekerja operasional? Sekarang semuanya terlihat seperti celah lebar untuk disusupi.”

“Hoo jadi itu. Karena yang terjadi belakangan ini?”

“Iya. Eh, kenapa Om sesantai itu merespon ‘yang terjadi belakangan ini’?"

Om Minmon hanya tersenyum tidak menjawab. Tangannya meraih rambut Yona yang sedikit berantakan, kemudian mengelus kepalanya. Yona memejam, menikmati sentuhan seorang ayah yang sudah lama tidak dia rasakan.

“Nak, kamu tau, dari semua Pegawai Terpilih, kamu mempunyai keunikan yang aku suka.”

“Apa itu, Yah?”

“Kamu macho. Macam Chowok.” Tawa mereka pecah.

“Tapi Nak,” Om Minmon melanjutkan, “sekarang ini, aku sadar, pada akhirnya kamu tetap wanita.”

“Maksudnya, Yah?”

“Kamu,” tangan Om Minmon berpindah dari kepala Yona ke dadanya, “lebih memilih perasaan daripada logika.”

Yona terdiam. Cakrawala berpikirnya sedikit terbuka.

“Coba deh,” Jari Om Minmon berpindah lagi, kini mengetuk pelipis Yona, “kamu pakai logikamu. Maka kamu akan tahu siapa yang kamu percaya, kalo emang itu yang bikin perasaanmu kalut belakangan ini.”

Yona diam mencerna. Satu pertanyaan terlintas. ”Jadi Ayah tau, siapa yang harus dipercaya siapa yang ngga?”

“Naah itu logikamu jalan. Analisamu tajam.” Om Minmon meraih tubuh bugil Yona, kemudian dengan satu gerakan lihai penisnya sudah kembali memenuhi liang vagina Yona yang basah dan masih haus kenikmatan.


“Ih jawab dulu, Ayah…” rengek Yona manja.

“Bukan urusanmu. Urusanmu sekarang muasin batang di bawah ini untuk ronde… ke berapa?”

“Lima.”

Maka rasa penasaran Yona pun hilang seiring rasa nikmat yang menggesek klitoris dan liang vaginanya. Babak kelima dimulai.

***


“SEMUANYA! KONDISI SIAGA TIGA! GUE BENAR-BENAR GA MAU TAU, SI ANAK KAMPUNG ITU MENCURI DOKUMEN RAHASIA KITA! DOKUMEN INFORMASI KITA! NYAWA LO-LO SEKARANG DIA YANG PEGANG! SEKALI DIA NYEBARIN, ABIS LO PADA! LO MAU? BUNUH, KULITI, BAKAR, APAPUN! YANG PENTING ANAK ITU JANGAN SAMPE BOCORIN INFORMASI KITA!...”

Rekaman audio amarah Saktia yang disebarkan ke masing-masing nomor The Turncoat masih bersisa dua menit namun tidak diteruskan Birowo. Dia sudah mendapat poin utamanya. Menghabisi Jessica Veranda, anak kampung yang sudah mencuri dokumen rahasia mereka. Kini The Turncoat, bukan hanya yang di dalam gedung Valkyrie, namun juga yang selalu setia siaga di luar, ikut bergabung memburu si anak kampung.

Birowo baru saja beranjak menuju pos nya, ketika satu pesan baru masuk. Bos Saktia.

[BOS S] Dari awal gabung gue tau lo bisa gue andalin Wo. Lo setia banget ama gue. Gue benar2 berhutang ama lo. Jangan kecewain gue. Lo mau apa gue kasi. Gue ga pernah kan ga ngasi apa yang lo mau? Sekarang lo mau apa? Duit ratusan juta? Wanita berekor2? Lo mau gue jadi budak sex lo? Gue berani janji gue layani lo sampe puas asal lo berhasil bawa dokumen itu utuh. Ga ada kurang sedikitpun. PAHAM WO?

Birowo mengetik cepat pesan singkat dan padat.

[BRW] Paham, Bos. Siap laksanakan.

Sementara di ujung sana, Saktia benar-benar gelisah. Pesan balasan Birowo sedikit menenangkannya namun pikirannya tetap kalut. Si berengsek itu. Sialan. Anak perek. Kurang ajar. Neraka jahanam.

Jantungnya entah mengapa berdegup makin kencang. Jujur dia sekarang sedikit takut. Semua rahasia di dokumen itu bisa bocor. Hidupnya sekarang berada di tangan orang lain. Keringat bercucuran walaupun AC kamarnya sudah dinyalakan. Kulitnya terasa panas. Bahkan tanpa berkaca Saktia bisa merasakan wajahnya memerah. Pada saat itulah, entah dari mana, satu suara muncul.

“…kan gue bilang, gue aja yang ambil peran khikhikhikhi…”

Saktia tersentak. Refleks dia melihat sekitar.

“Anjing lo! Kenapa lo masih ada?! Lo udah gue bunuh!”

“…lo mau bunuh gue? Sama aja lo bunuh diri dong khikhikhi…”

“Taik lo! Taik! Ekhh! Khhh!” Saktia mendadak tersedak seperti menelan sesuatu yang besar. Dadanya semakin sesak.

“…lo mau masalah ini beres ga… lo mau dokumen itu balik ga… LO MAU HIDUP LO AMAN GA KHEKHEKHEKHE…”

Tubuh Saktia ambruk, hanya karena suara yang tidak berasal dari mana-mana. Suara yang sebenarnya berasal dari dalam jiwanya.

***

“Heh Tan, ini hasil pengecekan rutin bulanan dari psikiater dan dokter udah keluar.”

“Nah trus?”

“Masa dari hasil tes pribadi, ada yang indikasi berkepribadian ganda hahaha.”

“Hah masa?”

“Iya, ini si…”


Deng! Om Minmon terbangun. Dia langsung duduk. Peluh membasahi keningnya.

Percakapan dengan Bos Titan bertahun-tahun lalu masuk ke dalam mimpinya. Dia bahkan hampir lupa dengan perbincangan itu kalau tidak masuk ke dalam alam bawah sadarnya. Dari sekian banyak kejadian, bahkan yang terjadi bertahun-tahun lalu, kenapa harus itu?

Tenggorokan Om Minmon kering. Kepalanya sedikit pusing. Badannya pun terasa pegal. Dia melepas rangkulan Yona yang masih tertidur di sampingnya, kemudian menuang segelas air putih.

Mimpi yang aneh.

***
Episode berikutnya agak maleman yak~
 
Terakhir diubah:
CHAPTER 62 : SI JAHAT


Bagian Keuangan.

“Mbak Riskha, liat Mbak Yona ga?”

“Oh, tadi bilangnya izin bentar ada urusan. Kenapa Din?”

“Ini, mau ngasi laporan audit minggu lalu.”

“Oh yaudah sini titip ke aku. Nanti aku kasi ke Yona ya.”

“Oke, Mbak terima kasih ya. Saya permisi dulu. Eh, hai Mbak Gre.”

“Hai, Din.” sapa Gracia sambil Dini berlalu dari mereka.

“Kha, Yona mana? Jadwal?”

“Iya lah. Kenapa Gre? Mau join lo?”

“Ya kalo bisa Kha hahaha. Eh Kha, ngerasa ga, di Lobi suasana kayak lebih rame dari biasa.”

“Hah lebih rame maksudnya?”

“Yaa kayak lebih banyak orang mondar-mandir.”

“Lah apa anehnya? Lo kan tau tiap hari orang-orang yang bisnis dengan kantor kita. Orang PH, orang agensi, belum lagi yang ngajuin mitra, pasti banyak Gre. Yang penting bagian sekuriti udah ngamanin pintu masuk, jadi ga mungkin ada yang lolos tanpa identitas.”

Gracia tampak ragu-ragu. Dia masih mau berargumen, meyakinkan Riskha bahwa hari ini suasananya berbeda. Tapi dia mengurungkannya.

“Yaudah lah. Eh ntar siang istirahat makan bareng ya.”

“Oke, Gre.”

Gracia juga berlalu, meninggalkan Riskha yang sebenarnya masih memikirkan perkataannya. Suasana berbeda? Banyak yang mondar-mandir?

Pekerjaan yang tadinya hampir selesai dibiarkan Riskha yang kini sibuk memikirkan sesuatu.

***

Sudah seminggu ini Rio tidak bisa tidur nyenyak. Bawah matanya mulai tampak hitam. Fokusnya mudah terganggu. Ketakutannya masih mengganggu pikiran. Dia sadar, kapanpun dia bisa diadukan dan berakhir di penjara atas tuduhan menjual data rahasia perusahaan. Berkali-kali Rio mengusap matanya untuk mengenyahkan takut dan rasa bersalah, mencoba untuk fokus bekerja, namun tidak bisa juga hilang.

“Heh Yo, kok ini banyak typo nya sih? Kamu re-check lagi berkas tadi.”

“Eh-iya maaf, Pak, saya coba cek lagi ya.”

“Heh pagi-pagi kok lu kucel banget. Belom mandi lo ye?”

“Eh-hahaha udah dong Pak.”

“Yaudah gue tunggu ya. Masa laporan gini banyak typonya.”

Sepeninggal rekannya, Rio menepuk-nepuk pipinya. Sudah, sudah. Aku harus fokus kerja. Aku ga boleh mengecewakan Pak Mino. Beliau sudah mempercayakan tugas ini padaku. Lagian rahasiaku akan aman di tangan Saktia…

Drrrt. Ponsel Rio bergetar. Ada yang menelepon. Rio mengambil ponsel dari saku celananya. Perutnya langsung mengejang. Baru saja aku sebut namanya.

Ragu-ragu Rio mengangkat.

“Halooo Beb… Kamu lagi sibuk? Sini dong temenin aku bentar khihihi..” Di ujung telepon suara manja Saktia menggema.

Rio merinding. Ini beneran Saktia? Suaranya terdengar agak… berbeda.

“Ka-kamu ngapain nelpon aku jam kerja begini? Ada ap-apa?” bisik Rio, tidak ingin sekelilingnya mendengar.

“…sini deh, aku tunggu di kamarku ya. Di lantai 8. Nanti aksesnya aku buka. Tenang aja, aman kok. Ga ada yang tau. Kalo kamu kesini, rahasia kamu aman, Sayang, aku jamin. Aku tunggu ya, Beb. Ga pake lama khihihi…”

Mendengar kata ‘rahasia’ dan ‘jamin’, Rio seperti terhipnotis. Ini yang aku butuhkan. Keselamatanku. Aku harus menemuinya, memastikan bahwa aku akan baik-baik saja. Aku sudah lelah seperti ini.

Maka tanpa berlama-lama Rio langsung beranjak menuju lift. Tepat saat dia masuk dan pintu lift tertutup, lampu tombol 8 langsung menyala, pertanda seseorang dari lantai 8 memencet tombol lift. Jantung Rio berdegup kencang. Apa yang Saktia mau kali ini?

Tring. Tepat setelah pintu lift terbuka, Rio mendengar sayup-sayup suara Saktia, “Yoo… Kesini, sayang hihihi…” Rio merinding. Ini benar Saktia? Atau.. hantu? Tidak mungkin hantu. Hantu tidak akan bilang Sayang.


Rio perlahan mengikuti sumber suara. Tepat beberapa meter di depannya, di balik pintu, Saktia sudah menunggunya. Rio menghembuskan nafas lega. Memang bukan hantu. Rio mempercepat langkahnya. Baru kali ini dia menginjakkan kaki di lantai 8, lantai kamar Pegawai Terpilih. Dari pintu-pintu kamar lain bisa saja ada yang muncul dan memergokinya.

Saat sudah dekat, Rio terpana menatap Saktia yang tersenyum manis memandanginya, seperti seorang putri yang sudah lama menunggu pangerannya. Tubuhnya hanya terbalut kimono handuk. Rambutnya yang halus panjang tersisir rapi. Tangannya terjulur, ingin meraih tangan Rio.

“Sayang… Kamu lama banget hehe… Aku rindu…”

Rio yang sebelumnya sudah dijebak Saktia, menahan diri. Dia tidak mau lagi jatuh ke lubang yang sama. Namun Saktia yang di depannya ini seperti berbeda. Lebih kalem, lebih lembut dan lebih… misterius. Rio tetap tidak menyambut tangan Saktia. Senyum Saktia tidak memudar.

“Ayo masuk. Aman kok, sayang. Aku udah matiin CCTV nya tadi hehe…”

Rio pun masuk dan Saktia langsung mengunci pintunya. Tanpa suara dia mencabut kuncinya.

“Kamu udah sarapan? Ini aku bikinin kamu roti panggang…” Suara Saktia halus, lebih halus daripada yang biasa Rio dengar, membuatnya terduduk ketika Saktia menyentuh bahunya. Rio patuh menunggu Saktia menyiapkan piring dan gelas untuknya yang sebenarnya sudah sarapan.

“Nih, kamu makan dulu, aku udah bikinin spesial buat kamu hihihi…”

“Ka-kamu, kenapa?” Akhirnya Rio berani bersuara.

“Hah? Emang aku kenapa? Kamu liat ada yang aneh? Ihh jangan bikin aku takut, sayang…” Rengek Saktia manja sambil memeluk kakinya.

“Ng-ngga, kamu k-keliatan lebih-ngg-lebih…”

“Lebih apa hayo… hihihi…”

Rio terdiam, tidak berani melanjutkan. Dia semakin terdesak saat jemari Saktia mulai pindah ke pahanya.

“Lebih cantik? Nahh lebih cantik kan, sayang?”

“I-iya iya. Lebih cantik iya.” Jawab Rio sekenanya sembari tangannya mengusir tangan Saktia dari pahanya.

“Hihihi makasih sayang. Yaudah ini makan dulu, aku udah cape-cape nih buat spesial buat kamu.”

Setelah memastikan bahwa Saktia di depannya ini adalah Saktia yang dia kenal, Rio pun mengambil roti panggang yang disuguhkan. Sambil menguyah dia minum jus jeruk yang sudah disiapkan. Enak. Setelah itu Rio melihat ke sekelilingnya. Baru kali ini dia masuk kamar pribadi Saktia. Kamar khas wanita, dimana banyak hiasan dan foto-foto pemilik kamar. Juga rapi, dan tercium aroma pewangi. Aroma yang menenangkan.

“Sayang, kamu masih mengkhawatirkan rahasia kita? Yakin deh sama aku. Kita akan aman, aku ga bakal bilang-bilang sama siapapun…” Saktia yang kini duduk di sampingnya, mengelus tengkuknya sambil sesekali membelai kepalanya. Suaranya teduh dan menenangkan. Kali ini, alam bawah sadar Rio seperti terhenti. Kesadarannya dikendalikan oleh suatu hal tak kasat mata.

Melihat Rio yang sudah tertunduk terpejam, Saktia menyeringai. Ekspresinya langsung berbeda jauh dari beberapa detik sebelumnya. “Yaudah pakaiannya kamu lepas dulu biar lebih enakan.”

Rio menurut. Dia langsung membuka baju, celana dan sepatunya hingga hanya memakai kaus dalam dan celana dalam. Rio kini berhenti makan. Tubuhnya tegak. Tatapannya kosong ke depan.Dia menunggu instruksi Saktia selanjutnya.

“Buka aja semuanya, Sayang... Abis itu ke kasur...”

Rio berdiri, melepas baju dan celana dalam serta kaos kakinya sehingga kini dia benar-benar telanjang. Dia perlahan berjalan ke kasur dan rebah di tengah kasur. Tubuhnya pasrah menunggu apa yang selanjutnya terjadi. Wajahnya tidak berekspresi. Pikirannya kosong.

Saktia membuka jubah mandinya, dan menampakkan tubuhnya yang dibalut lingerie ketat berwarna hitam. Lengan dan pahanya diikat kain sutra yang juga berwarna hitam. Hanya vaginanya yang terpampang karena bagian selangkangan lingerie-nya terbuka.

“Khikhikhi kau punya budak bodoh seperti ini dan kau ga manfaatkan? Tolol kau, Saktia. Benar-benar tolol. Memang benar, harusnya aku saja yang muncul dari dulu. Masalah kita akan cepat beres. Bunuh, bakar, culik. Selesai. Tapi kau bodoh. Mau aja kau jadi budak orang. Jadi pelacurnya orang.”

“Dan kini, kau lihat cara main aku…”

Saktia, atau siapapun yang sekarang menguasai tubuhnya, membuka kotak kayu di samping ranjang yang tidak terlihat Rio saat dia masuk tadi. Dia langsung mengambil cambuk, lilin, vibrator dan alat bantu lainnya.

“Pfftt-hahaha ternyata alat bantu seksmu lumayan lengkap ya… Bagus!”

Setelah beres mengambil alat yang dia butuhkan, Saktia, atau lebih tepatnya seseorang lain yang kini menguasai tubuhnya, berdiri di depan ranjang, menutup matanya dan tersenyum.

“Aku sudah lama menunggu saat seperti ini. Momen dimana aku bisa menikmati seks yang aku mau. Aku tidak sabar memuncratkan kenikmatan, menghisap cairan kehidupan, memuaskan dahagaku hahaha!”

Seiring tawa Saktia yang membahana, kelopak matanya terbuka, menampakkan bola mata yang hitam sepenuhnya. Tubuhnya mengeluarkan asap putih tipis. Dan yang paling menyeramkan adalah seringainya. Seperti seringai hewan predator yang sangat haus darah dan ingin memangsa korbannya.

“…Kau kira bermain-main dengan Dryad bisa selesai begitu saja? Dengan usaha pengusiran bertahun-tahun lalu saat kau berada di panti asuhan terkutuk itu…? Kalau kau belum juga sadar, aku kasih tau: pengusiran itu tidak ada artinya. Aku hanya pura-pura hilang. Selama ini aku tinggal di dalam badanmu. Dan kini kita berbagi jiwa. Berbagi tubuh.”

“Jika kau mau rahasiamu tetap terjaga, diam di dalam sana. Jangan ganggu aku.”

***


Handuk kecil merah muda yang tergantung di pinggir sofa. Boneka panda yang terletak di kaki spring bed. Bahkan mangkuk yang belum dicuci.

Walaupun kamarnya kini berantakan karena para Pegawai Terpilih sempat menggeledah, Veranda masih ingat kondisi saat terakhir dia tinggalkan dan tak sempat dia bereskan. Ada rasa haru saat dia ternyata masih bisa kembali ke kamarnya yang nyaman. Denah kamar yang dia desain sendiri, barang-barang yang memenuhi tiap sudut kamar, bahkan aroma kamarnya, semua itu sangat dirindukannya.

Terlebih ketika Veranda melihat fotonya bersama ayah ibu nya di hari dia berangkat ke Ibukota. Airmatanya langsung menggenang. Maafkan aku, Ayah, Ibu, jika nanti aku ternyata tidak bisa menyelesaikan semua ini…

Veranda lama terduduk di kaki sofa. Dia sekarang merasa seperti tidak layak sekedar duduk di sofa yang dulu menjadi spot favoritnya. Veranda bahkan tidak terpikir untuk membersihkan dirinya. Di pikirannya saat ini hanya ingin istirahat melepaskan pegal dan penat setelah hampir dua jam merangkak dengan posisi tidak nyaman sambil membawa dokumen yang ternyata agak berat.

Sekarang tujuannya jelas: menyerahkan dokumen itu kepada Bos Titan atau Om Minmon. Terdengar sederhana, namun dia sadar nyawanya menjadi taruhan. Setelah dia mendengar samar suara Saktia yang menelepon banyak nomor dan mengucapkan beberapa kata seperti ‘cari’ dan ‘bunuh’, Veranda paham ini akan sangat bahaya. Tubuhnya merinding sedikit takut ketika menyadari bahwa tidak yang bisa membantunya kali ini, namun itu tidak melunturkan tekadnya.

Maka setelah merasa istirahat cukup dan mengisi perutnya dari beberapa cemilan yang masih tersimpan di laci meja, Veranda berdiri. Dia mengambil ransel kecilnya dan mengisi dengan beberapa barang yang dia rasa perlu. Saat memastikan bahwa semuanya sudah siap dan akan kembali menuju kamar mandi, terdengar suara lift sampai di lantai 8. Veranda terpaku. Jam segini ada yang naik ke lantai Kamar Pegawai? Siapa lagi kali ini?

Namun bukan hanya itu saja. Veranda sayup-sayup mendengar suara seorang wanita.

“…Sini…hihi…”

Saktia? Seketika Veranda bergidik. Kembali dia teringat isi dokumen itu. Tapi kok terdengar agak… berbeda? Itu beneran Saktia?, batinnya bertanya-tanya.

Veranda berjingkat menuju pintu kamar, kemudian menempelkan telinganya.

“…Aman kok, Sayang…” Hah dia bawa cowok? Ke kamarnya? Seriusan? Benar-benar gila.

Veranda mempertajam pendengarannya. Setelah itu…

Blam. Pintu ditutup.

***


Saktia, yang kini dikuasai oleh Dryad, mulai mengikat kedua pergelangan tangan dan kedua kaki Rio dengan tali yang diikatkan di kaki kasur. Ikatan tali itu sangat kencang hingga menarik tangan kaki Rio ke empat arah. Rio sesekali mengaduh namun belum sadar sepenuhnya. Dryad melihat itu terkekeh.

“Khekhehe sabar, Sayang. Sebentar lagi tubuhmu akan kulumat. Kau adalah pria beruntung. Pria pertama yang akan kunikmati.”

Dryad mematikan lampu kamar. Kini kamar Saktia gelap. Hanya ada beberapa berkas cahaya yang menembus kisi jendela. Mendadak ruangan terasa seperti di tempat lain yang hampa. Dryad menyalakan vibrator berukuran kecil lonjong dan mulai menyapukannya ke batang penis Rio. Dia sesekali mengocok untuk membantu menegangkan penis Rio.

“Nggh.. ngghh..”

“Enak kan, Sayang… hihihi…”

Setelah penis Rio tegang, Dryad mulai menyalakan lilin dan membuka ikatan cambuk. Seketika kamar Saktia menjadi remang. Mulutnya tidak berhenti mengikik, membayangkan apa yang akan terjadi berikutnya. Setelah semuanya siap, Dryad mulai menggesek-gesekkan penis Rio ke dalam vaginanya. Mulutnya menganga ketika merasakan sensasi yang sudah lama tidak dia rasakan.

“Nikmat banget kontolmu, Sayang khikhikhi… Nah sekarang, yang pertama, nikmati ini…”

Dryad membenamkan vibrator ke dalam dubur Rio. Rio mengaduh sakit. Kesadarannya mulai pulih.

“Nghh! Ah! Aduh! Sakit ergghh!”

“Sabar sayang… Ini baru pertama… Nah, berikutnya favoritku khihihi…”


Saktia mulai memasukkan penis tegang Rio ke dalam vaginanya. Dryad mendesah panjang. Akhirnya ia merasakan kembali nikmat senggama, yang terakhir kali dia rasakan saat di kehidupan sebelumnya. Dia kemudian meraih cambuk di kanan dan lilin di atas piring kecil di kiri. Dryad perlahan menetesi lelehan lilin di atas dada Rio. Rio menjerit.

“Erghh! Ahh! Sakit! Ampun! Ampun!”

“Yah! Yah! Begitu, Sayang! Menjeritlah sekeras mungkin! Ayo! Ayo hahaha!” Libido Dryad mulai menanjak. Dia semakin membabi buta menetesi cairan lilin di tubuh Rio. Teriakan kesakitan Rio dibalas dengan tawa Dryad. Hawa nafsu Dryad semakin melonjak.

Selesai dengan mainan pertama, kini tangan kanan Dryad menyentak cambuk. Plas! Cambuk itu siap melibas tubuh Rio.

“Hahaha Sayang, ayo naikkan lagi hawa nafsuku!” Cambuk Dryad pun mulai melibas segala sisi tubuh Rio. Kini Rio sadar sepenuhnya, namun bukan kondisi ini yang dia harapkan saat kesadarannya kembali. Nyeri terasa di dada, bahu dan tangannya, belum lagi rasa sakit di anusnya. Sementara Dryad terus menggoyang pantatnya, menggesek penis Rio di dalam vaginanya.

“Nghh yeah hahaha! Enak! Enak! Akhirnya hahaha! Akhirnya aku bisa memakai tubuh manusia untuk bersenggama!”

Rio mulai menangis menahan nyeri di sekujur tubuhnya. Anehnya dia juga masih dapat merasakan rasa nikmat di penisnya. Dia dapat merasakan penisnya tetap tegang di tengah derita yang dia terima. Saat Rio merasa nyeri ini adalah puncaknya…

“Hmm kamu belum coba ini kan?” Dryad menekan ujung jepitan dan menjepitnya di puting Rio. Tak ayal Rio menjerit sekeras-kerasnya. Teriakan minta tolong dan kesakitan itu mengantar Dryad menuju puncak orgasmenya.

“Yeahh! Yeahh! Aku keluarrr hahaha!” Teriak Dryad kala vaginanya menyemburkan cairan encer berwarna hitam. Anehnya cairan encer itu langsung hilang tak berbekas setelah sedetik membasahi kasur. Vaginanya terus menyemprot sampai akhirnya goyangan pinggul Dryad berhenti. Dia menunduk, melihat Rio yang masih merintih menahan perih. Libidonya kembali naik. Kini dia mengambil dua jepitan lagi dan menjepitkannya di puting susunya sendiri.

“Kyahahahaha enakkk enaakk! Aku ngerasain apa yang kamu rasain, Yo! Sayang! Ayo kita nikmati rasa sakit ini hahaha!” Cambuk kembali menghajar tubuh Rio yang sudah lebam. Rio sudah lelah berteriak. Rintihannya masih terdengar namun tidak sekeras tadi. Dia hanya bisa menangis. Bibirnya bergetar. Dia merasa akan kehilangan kesadaran.

Di saat itu lah, Dryad merasakan ada yang akan keluar dari penis Rio.

“Eits, kamu belum habis, Sayang. Ini saat-saat yang sangaaat lama aku tunggu-tunggu khihkhihi…”

“Kamu mau aku pake mulut… Atau pake memek… Khihihi..” Dryad menyeringai menatap Rio yang sudah tidak bisa bersuara.

“Karena ini perdana… Hmm… Aku pake memek aja ya hihi..”

Setelah berkata itu, vagina Dryad menggembung sedikit membesar. Sambil Dryad menggoyang kembali pantatnya, liang vaginanya mulai menyedot-nyedot penis Rio seperti memerah susu sapi. Rasa sakit menjalar di selangkangan Rio, namun dia sudah tak bisa apa-apa.

“Hahaha ah! Ah! Enak sekali! Beri aku, Sayang! Air manimu! Darahmu! Saripatimu! Beri! Hahaha!” Vagina Dryad semakin cepat menyedot. Penis Rio melemas. Namun tidak ada tanda vagina Dryad tuntas menghisap.

Penis Rio kini memuncratkan tidak hanya air mani, namun juga cairan kental berwarna merah gelap. Seiring dengan semburan cairan itu, tubuh Rio mengering. Lengan, bahu, perut dan pahanya yang tadinya berotot, kini mengurus dan keriput. Wajahnya yang segar kini tirus dan mengikuti bentuk tengkorak.

Akhirnya vagina Dryad berhenti menyedot. Vaginanya mengendur, kembali ke ukuran awal. Dryad terengah-engah. Dia tuntas menghisap cairan kenikmatan dari Rio. Kini Rio terbujur kering dan kaku. Dryad menunduk, manatap wajah Rio yang kini keriput.

“Nikmat. Bener-bener nikmat kamu, Sayang. Saripatimu cukup sampai besok. Hebat! Tapi itu ga berarti hari ini aku berhenti cari pria lain khikhikhi. Nah sekarang,” Dryad mengelus pipi kering Rio, “adalah masa penentuanmu. Kalau kamu memang kuat, kamu tetap bisa bertahan. Tapi kalau kamu lemah,” Dryad terkekeh, “ya nasibmu.”

Dryad pun berdiri, meninggalkan Rio yang kini terikat longgar. Dia membereskan alat bantu seksnya. Setelah itu Dryad memakai baju kerja Saktia, seperti tidak terjadi apa-apa. Sambil merapikan rambutnya, Dryad berbisik, “Begitu cara menikmati pria, Tolol. Khekhehe.”

Sementara di dalam sana, Saktia merinding menyaksikan apa yang baru saja terjadi.

“Nah sekarang aku akan kerjakan janjiku. Sambil kita cari mangsa lain…”

Tawa Dryad kembali membahana.

***
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd