CHAPTER 62 : SI JAHAT
Bagian Keuangan.
“Mbak Riskha, liat Mbak Yona ga?”
“Oh, tadi bilangnya izin bentar ada urusan. Kenapa Din?”
“Ini, mau ngasi laporan audit minggu lalu.”
“Oh yaudah sini titip ke aku. Nanti aku kasi ke Yona ya.”
“Oke, Mbak terima kasih ya. Saya permisi dulu. Eh, hai Mbak Gre.”
“Hai, Din.” sapa Gracia sambil Dini berlalu dari mereka.
“Kha, Yona mana? Jadwal?”
“Iya lah. Kenapa Gre? Mau join lo?”
“Ya kalo bisa Kha hahaha. Eh Kha, ngerasa ga, di Lobi suasana kayak lebih rame dari biasa.”
“Hah lebih rame maksudnya?”
“Yaa kayak lebih banyak orang mondar-mandir.”
“Lah apa anehnya? Lo kan tau tiap hari orang-orang yang bisnis dengan kantor kita. Orang PH, orang agensi, belum lagi yang ngajuin mitra, pasti banyak Gre. Yang penting bagian sekuriti udah ngamanin pintu masuk, jadi ga mungkin ada yang lolos tanpa identitas.”
Gracia tampak ragu-ragu. Dia masih mau berargumen, meyakinkan Riskha bahwa hari ini suasananya berbeda. Tapi dia mengurungkannya.
“Yaudah lah. Eh ntar siang istirahat makan bareng ya.”
“Oke, Gre.”
Gracia juga berlalu, meninggalkan Riskha yang sebenarnya masih memikirkan perkataannya. Suasana berbeda? Banyak yang mondar-mandir?
Pekerjaan yang tadinya hampir selesai dibiarkan Riskha yang kini sibuk memikirkan sesuatu.
***
Sudah seminggu ini Rio tidak bisa tidur nyenyak. Bawah matanya mulai tampak hitam. Fokusnya mudah terganggu. Ketakutannya masih mengganggu pikiran. Dia sadar, kapanpun dia bisa diadukan dan berakhir di penjara atas tuduhan menjual data rahasia perusahaan. Berkali-kali Rio mengusap matanya untuk mengenyahkan takut dan rasa bersalah, mencoba untuk fokus bekerja, namun tidak bisa juga hilang.
“Heh Yo, kok ini banyak typo nya sih? Kamu re-check lagi berkas tadi.”
“Eh-iya maaf, Pak, saya coba cek lagi ya.”
“Heh pagi-pagi kok lu kucel banget. Belom mandi lo ye?”
“Eh-hahaha udah dong Pak.”
“Yaudah gue tunggu ya. Masa laporan gini banyak typonya.”
Sepeninggal rekannya, Rio menepuk-nepuk pipinya.
Sudah, sudah. Aku harus fokus kerja. Aku ga boleh mengecewakan Pak Mino. Beliau sudah mempercayakan tugas ini padaku. Lagian rahasiaku akan aman di tangan Saktia…
Drrrt. Ponsel Rio bergetar. Ada yang menelepon. Rio mengambil ponsel dari saku celananya. Perutnya langsung mengejang.
Baru saja aku sebut namanya.
Ragu-ragu Rio mengangkat.
“Halooo Beb… Kamu lagi sibuk? Sini dong temenin aku bentar khihihi..” Di ujung telepon suara manja Saktia menggema.
Rio merinding. Ini beneran Saktia? Suaranya terdengar agak… berbeda.
“Ka-kamu ngapain nelpon aku jam kerja begini? Ada ap-apa?” bisik Rio, tidak ingin sekelilingnya mendengar.
“…sini deh, aku tunggu di kamarku ya. Di lantai 8. Nanti aksesnya aku buka. Tenang aja, aman kok. Ga ada yang tau. Kalo kamu kesini, rahasia kamu aman, Sayang, aku jamin. Aku tunggu ya, Beb. Ga pake lama khihihi…”
Mendengar kata ‘rahasia’ dan ‘jamin’, Rio seperti terhipnotis. Ini yang aku butuhkan. Keselamatanku. Aku harus menemuinya, memastikan bahwa aku akan baik-baik saja. Aku sudah lelah seperti ini.
Maka tanpa berlama-lama Rio langsung beranjak menuju lift. Tepat saat dia masuk dan pintu lift tertutup, lampu tombol 8 langsung menyala, pertanda seseorang dari lantai 8 memencet tombol lift. Jantung Rio berdegup kencang. Apa yang Saktia mau kali ini?
Tring. Tepat setelah pintu lift terbuka, Rio mendengar sayup-sayup suara Saktia, “Yoo… Kesini, sayang hihihi…” Rio merinding.
Ini benar Saktia? Atau.. hantu? Tidak mungkin hantu. Hantu tidak akan bilang Sayang.
Rio perlahan mengikuti sumber suara. Tepat beberapa meter di depannya, di balik pintu, Saktia sudah menunggunya. Rio menghembuskan nafas lega. Memang bukan hantu. Rio mempercepat langkahnya. Baru kali ini dia menginjakkan kaki di lantai 8, lantai kamar Pegawai Terpilih. Dari pintu-pintu kamar lain bisa saja ada yang muncul dan memergokinya.
Saat sudah dekat, Rio terpana menatap Saktia yang tersenyum manis memandanginya, seperti seorang putri yang sudah lama menunggu pangerannya. Tubuhnya hanya terbalut kimono handuk. Rambutnya yang halus panjang tersisir rapi. Tangannya terjulur, ingin meraih tangan Rio.
“Sayang… Kamu lama banget hehe… Aku rindu…”
Rio yang sebelumnya sudah dijebak Saktia, menahan diri. Dia tidak mau lagi jatuh ke lubang yang sama. Namun Saktia yang di depannya ini seperti berbeda. Lebih kalem, lebih lembut dan lebih… misterius. Rio tetap tidak menyambut tangan Saktia. Senyum Saktia tidak memudar.
“Ayo masuk. Aman kok, sayang. Aku udah matiin CCTV nya tadi hehe…”
Rio pun masuk dan Saktia langsung mengunci pintunya. Tanpa suara dia mencabut kuncinya.
“Kamu udah sarapan? Ini aku bikinin kamu roti panggang…” Suara Saktia halus, lebih halus daripada yang biasa Rio dengar, membuatnya terduduk ketika Saktia menyentuh bahunya. Rio patuh menunggu Saktia menyiapkan piring dan gelas untuknya yang sebenarnya sudah sarapan.
“Nih, kamu makan dulu, aku udah bikinin spesial buat kamu hihihi…”
“Ka-kamu, kenapa?” Akhirnya Rio berani bersuara.
“Hah? Emang aku kenapa? Kamu liat ada yang aneh? Ihh jangan bikin aku takut, sayang…” Rengek Saktia manja sambil memeluk kakinya.
“Ng-ngga, kamu k-keliatan lebih-ngg-lebih…”
“Lebih apa hayo… hihihi…”
Rio terdiam, tidak berani melanjutkan. Dia semakin terdesak saat jemari Saktia mulai pindah ke pahanya.
“Lebih cantik? Nahh lebih cantik kan, sayang?”
“I-iya iya. Lebih cantik iya.” Jawab Rio sekenanya sembari tangannya mengusir tangan Saktia dari pahanya.
“Hihihi makasih sayang. Yaudah ini makan dulu, aku udah cape-cape nih buat spesial buat kamu.”
Setelah memastikan bahwa Saktia di depannya ini adalah Saktia yang dia kenal, Rio pun mengambil roti panggang yang disuguhkan. Sambil menguyah dia minum jus jeruk yang sudah disiapkan. Enak. Setelah itu Rio melihat ke sekelilingnya. Baru kali ini dia masuk kamar pribadi Saktia. Kamar khas wanita, dimana banyak hiasan dan foto-foto pemilik kamar. Juga rapi, dan tercium aroma pewangi. Aroma yang menenangkan.
“Sayang, kamu masih mengkhawatirkan rahasia kita? Yakin deh sama aku. Kita akan aman, aku ga bakal bilang-bilang sama siapapun…” Saktia yang kini duduk di sampingnya, mengelus tengkuknya sambil sesekali membelai kepalanya. Suaranya teduh dan menenangkan. Kali ini, alam bawah sadar Rio seperti terhenti. Kesadarannya dikendalikan oleh suatu hal tak kasat mata.
Melihat Rio yang sudah tertunduk terpejam, Saktia menyeringai. Ekspresinya langsung berbeda jauh dari beberapa detik sebelumnya. “Yaudah pakaiannya kamu lepas dulu biar lebih enakan.”
Rio menurut. Dia langsung membuka baju, celana dan sepatunya hingga hanya memakai kaus dalam dan celana dalam. Rio kini berhenti makan. Tubuhnya tegak. Tatapannya kosong ke depan.Dia menunggu instruksi Saktia selanjutnya.
“Buka aja semuanya, Sayang... Abis itu ke kasur...”
Rio berdiri, melepas baju dan celana dalam serta kaos kakinya sehingga kini dia benar-benar telanjang. Dia perlahan berjalan ke kasur dan rebah di tengah kasur. Tubuhnya pasrah menunggu apa yang selanjutnya terjadi. Wajahnya tidak berekspresi. Pikirannya kosong.
Saktia membuka jubah mandinya, dan menampakkan tubuhnya yang dibalut lingerie ketat berwarna hitam. Lengan dan pahanya diikat kain sutra yang juga berwarna hitam. Hanya vaginanya yang terpampang karena bagian selangkangan lingerie-nya terbuka.
“Khikhikhi kau punya budak bodoh seperti ini dan kau ga manfaatkan? Tolol kau, Saktia. Benar-benar tolol. Memang benar, harusnya aku saja yang muncul dari dulu. Masalah kita akan cepat beres. Bunuh, bakar, culik. Selesai. Tapi kau bodoh. Mau aja kau jadi budak orang. Jadi pelacurnya orang.”
“Dan kini, kau lihat cara main aku…”
Saktia, atau siapapun yang sekarang menguasai tubuhnya, membuka kotak kayu di samping ranjang yang tidak terlihat Rio saat dia masuk tadi. Dia langsung mengambil cambuk, lilin, vibrator dan alat bantu lainnya.
“Pfftt-hahaha ternyata alat bantu seksmu lumayan lengkap ya… Bagus!”
Setelah beres mengambil alat yang dia butuhkan, Saktia, atau lebih tepatnya seseorang lain yang kini menguasai tubuhnya, berdiri di depan ranjang, menutup matanya dan tersenyum.
“Aku sudah lama menunggu saat seperti ini. Momen dimana aku bisa menikmati seks yang aku mau. Aku tidak sabar memuncratkan kenikmatan, menghisap cairan kehidupan, memuaskan dahagaku hahaha!”
Seiring tawa Saktia yang membahana, kelopak matanya terbuka, menampakkan bola mata yang hitam sepenuhnya. Tubuhnya mengeluarkan asap putih tipis. Dan yang paling menyeramkan adalah seringainya. Seperti seringai hewan predator yang sangat haus darah dan ingin memangsa korbannya.
“…Kau kira bermain-main dengan
Dryad bisa selesai begitu saja? Dengan usaha pengusiran bertahun-tahun lalu saat kau berada di panti asuhan terkutuk itu…? Kalau kau belum juga sadar, aku kasih tau: pengusiran itu tidak ada artinya. Aku hanya pura-pura hilang. Selama ini aku tinggal di dalam badanmu. Dan kini kita berbagi jiwa. Berbagi tubuh.”
“Jika kau mau rahasiamu tetap terjaga, diam di dalam sana. Jangan ganggu aku.”
***
Handuk kecil merah muda yang tergantung di pinggir sofa. Boneka panda yang terletak di kaki spring bed. Bahkan mangkuk yang belum dicuci.
Walaupun kamarnya kini berantakan karena para Pegawai Terpilih sempat menggeledah, Veranda masih ingat kondisi saat terakhir dia tinggalkan dan tak sempat dia bereskan. Ada rasa haru saat dia ternyata masih bisa kembali ke kamarnya yang nyaman. Denah kamar yang dia desain sendiri, barang-barang yang memenuhi tiap sudut kamar, bahkan aroma kamarnya, semua itu sangat dirindukannya.
Terlebih ketika Veranda melihat fotonya bersama ayah ibu nya di hari dia berangkat ke Ibukota. Airmatanya langsung menggenang.
Maafkan aku, Ayah, Ibu, jika nanti aku ternyata tidak bisa menyelesaikan semua ini…
Veranda lama terduduk di kaki sofa. Dia sekarang merasa seperti tidak layak sekedar duduk di sofa yang dulu menjadi spot favoritnya. Veranda bahkan tidak terpikir untuk membersihkan dirinya. Di pikirannya saat ini hanya ingin istirahat melepaskan pegal dan penat setelah hampir dua jam merangkak dengan posisi tidak nyaman sambil membawa dokumen yang ternyata agak berat.
Sekarang tujuannya jelas: menyerahkan dokumen itu kepada Bos Titan atau Om Minmon. Terdengar sederhana, namun dia sadar nyawanya menjadi taruhan. Setelah dia mendengar samar suara Saktia yang menelepon banyak nomor dan mengucapkan beberapa kata seperti ‘cari’ dan ‘bunuh’, Veranda paham ini akan sangat bahaya. Tubuhnya merinding sedikit takut ketika menyadari bahwa tidak yang bisa membantunya kali ini, namun itu tidak melunturkan tekadnya.
Maka setelah merasa istirahat cukup dan mengisi perutnya dari beberapa cemilan yang masih tersimpan di laci meja, Veranda berdiri. Dia mengambil ransel kecilnya dan mengisi dengan beberapa barang yang dia rasa perlu. Saat memastikan bahwa semuanya sudah siap dan akan kembali menuju kamar mandi, terdengar suara lift sampai di lantai 8. Veranda terpaku. Jam segini ada yang naik ke lantai Kamar Pegawai? Siapa lagi kali ini?
Namun bukan hanya itu saja. Veranda sayup-sayup mendengar suara seorang wanita.
“…Sini…hihi…”
Saktia? Seketika Veranda bergidik. Kembali dia teringat isi dokumen itu. Tapi kok terdengar agak… berbeda? Itu beneran Saktia?, batinnya bertanya-tanya.
Veranda berjingkat menuju pintu kamar, kemudian menempelkan telinganya.
“…Aman kok, Sayang…” Hah dia bawa cowok? Ke kamarnya? Seriusan? Benar-benar gila.
Veranda mempertajam pendengarannya. Setelah itu…
Blam. Pintu ditutup.
***
Saktia, yang kini dikuasai oleh Dryad, mulai mengikat kedua pergelangan tangan dan kedua kaki Rio dengan tali yang diikatkan di kaki kasur. Ikatan tali itu sangat kencang hingga menarik tangan kaki Rio ke empat arah. Rio sesekali mengaduh namun belum sadar sepenuhnya. Dryad melihat itu terkekeh.
“Khekhehe sabar, Sayang. Sebentar lagi tubuhmu akan kulumat. Kau adalah pria beruntung. Pria pertama yang akan kunikmati.”
Dryad mematikan lampu kamar. Kini kamar Saktia gelap. Hanya ada beberapa berkas cahaya yang menembus kisi jendela. Mendadak ruangan terasa seperti di tempat lain yang hampa. Dryad menyalakan vibrator berukuran kecil lonjong dan mulai menyapukannya ke batang penis Rio. Dia sesekali mengocok untuk membantu menegangkan penis Rio.
“Nggh.. ngghh..”
“Enak kan, Sayang… hihihi…”
Setelah penis Rio tegang, Dryad mulai menyalakan lilin dan membuka ikatan cambuk. Seketika kamar Saktia menjadi remang. Mulutnya tidak berhenti mengikik, membayangkan apa yang akan terjadi berikutnya. Setelah semuanya siap, Dryad mulai menggesek-gesekkan penis Rio ke dalam vaginanya. Mulutnya menganga ketika merasakan sensasi yang sudah lama tidak dia rasakan.
“Nikmat banget kontolmu, Sayang khikhikhi… Nah sekarang, yang pertama, nikmati ini…”
Dryad membenamkan vibrator ke dalam dubur Rio. Rio mengaduh sakit. Kesadarannya mulai pulih.
“Nghh! Ah! Aduh! Sakit ergghh!”
“Sabar sayang… Ini baru pertama… Nah, berikutnya favoritku khihihi…”
Saktia mulai memasukkan penis tegang Rio ke dalam vaginanya. Dryad mendesah panjang. Akhirnya ia merasakan kembali nikmat senggama, yang terakhir kali dia rasakan saat di kehidupan sebelumnya. Dia kemudian meraih cambuk di kanan dan lilin di atas piring kecil di kiri. Dryad perlahan menetesi lelehan lilin di atas dada Rio. Rio menjerit.
“Erghh! Ahh! Sakit! Ampun! Ampun!”
“Yah! Yah! Begitu, Sayang! Menjeritlah sekeras mungkin! Ayo! Ayo hahaha!” Libido Dryad mulai menanjak. Dia semakin membabi buta menetesi cairan lilin di tubuh Rio. Teriakan kesakitan Rio dibalas dengan tawa Dryad. Hawa nafsu Dryad semakin melonjak.
Selesai dengan mainan pertama, kini tangan kanan Dryad menyentak cambuk. Plas! Cambuk itu siap melibas tubuh Rio.
“Hahaha Sayang, ayo naikkan lagi hawa nafsuku!” Cambuk Dryad pun mulai melibas segala sisi tubuh Rio. Kini Rio sadar sepenuhnya, namun bukan kondisi ini yang dia harapkan saat kesadarannya kembali. Nyeri terasa di dada, bahu dan tangannya, belum lagi rasa sakit di anusnya. Sementara Dryad terus menggoyang pantatnya, menggesek penis Rio di dalam vaginanya.
“Nghh yeah hahaha! Enak! Enak! Akhirnya hahaha! Akhirnya aku bisa memakai tubuh manusia untuk bersenggama!”
Rio mulai menangis menahan nyeri di sekujur tubuhnya. Anehnya dia juga masih dapat merasakan rasa nikmat di penisnya. Dia dapat merasakan penisnya tetap tegang di tengah derita yang dia terima. Saat Rio merasa nyeri ini adalah puncaknya…
“Hmm kamu belum coba ini kan?” Dryad menekan ujung jepitan dan menjepitnya di puting Rio. Tak ayal Rio menjerit sekeras-kerasnya. Teriakan minta tolong dan kesakitan itu mengantar Dryad menuju puncak orgasmenya.
“Yeahh! Yeahh! Aku keluarrr hahaha!” Teriak Dryad kala vaginanya menyemburkan cairan encer berwarna hitam. Anehnya cairan encer itu langsung hilang tak berbekas setelah sedetik membasahi kasur. Vaginanya terus menyemprot sampai akhirnya goyangan pinggul Dryad berhenti. Dia menunduk, melihat Rio yang masih merintih menahan perih. Libidonya kembali naik. Kini dia mengambil dua jepitan lagi dan menjepitkannya di puting susunya sendiri.
“Kyahahahaha enakkk enaakk! Aku ngerasain apa yang kamu rasain, Yo! Sayang! Ayo kita nikmati rasa sakit ini hahaha!” Cambuk kembali menghajar tubuh Rio yang sudah lebam. Rio sudah lelah berteriak. Rintihannya masih terdengar namun tidak sekeras tadi. Dia hanya bisa menangis. Bibirnya bergetar. Dia merasa akan kehilangan kesadaran.
Di saat itu lah, Dryad merasakan ada yang akan keluar dari penis Rio.
“Eits, kamu belum habis, Sayang. Ini saat-saat yang sangaaat lama aku tunggu-tunggu khihkhihi…”
“Kamu mau aku pake mulut… Atau pake memek… Khihihi..” Dryad menyeringai menatap Rio yang sudah tidak bisa bersuara.
“Karena ini perdana… Hmm… Aku pake memek aja ya hihi..”
Setelah berkata itu, vagina Dryad menggembung sedikit membesar. Sambil Dryad menggoyang kembali pantatnya, liang vaginanya mulai menyedot-nyedot penis Rio seperti memerah susu sapi. Rasa sakit menjalar di selangkangan Rio, namun dia sudah tak bisa apa-apa.
“Hahaha ah! Ah! Enak sekali! Beri aku, Sayang! Air manimu! Darahmu! Saripatimu! Beri! Hahaha!” Vagina Dryad semakin cepat menyedot. Penis Rio melemas. Namun tidak ada tanda vagina Dryad tuntas menghisap.
Penis Rio kini memuncratkan tidak hanya air mani, namun juga cairan kental berwarna merah gelap. Seiring dengan semburan cairan itu, tubuh Rio mengering. Lengan, bahu, perut dan pahanya yang tadinya berotot, kini mengurus dan keriput. Wajahnya yang segar kini tirus dan mengikuti bentuk tengkorak.
Akhirnya vagina Dryad berhenti menyedot. Vaginanya mengendur, kembali ke ukuran awal. Dryad terengah-engah. Dia tuntas menghisap cairan kenikmatan dari Rio. Kini Rio terbujur kering dan kaku. Dryad menunduk, manatap wajah Rio yang kini keriput.
“Nikmat. Bener-bener nikmat kamu, Sayang. Saripatimu cukup sampai besok. Hebat! Tapi itu ga berarti hari ini aku berhenti cari pria lain khikhikhi. Nah sekarang,” Dryad mengelus pipi kering Rio, “adalah masa penentuanmu. Kalau kamu memang kuat, kamu tetap bisa bertahan. Tapi kalau kamu lemah,” Dryad terkekeh, “ya nasibmu.”
Dryad pun berdiri, meninggalkan Rio yang kini terikat longgar. Dia membereskan alat bantu seksnya. Setelah itu Dryad memakai baju kerja Saktia, seperti tidak terjadi apa-apa. Sambil merapikan rambutnya, Dryad berbisik, “Begitu cara menikmati pria, Tolol. Khekhehe.”
Sementara di dalam sana, Saktia merinding menyaksikan apa yang baru saja terjadi.
“Nah sekarang aku akan kerjakan janjiku. Sambil kita cari mangsa lain…”
Tawa Dryad kembali membahana.
***