Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA When We were Young

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Thanks updatenya suhuu...
Manthap nih... bakalan ada konflik baru lg nih... soal perasaan Andini ke Panji...
Semoga aja Panji bisa benar2 setia kpd Clara... atau bahkan nantinya Clara bersedia berbagi dgn Helen sebagai pacar bersama...
Ditunggu kelanjutannya yak...
 
penasaran sm andini mas bro,,,kek nya bakal lebih liar dr clara roman2nya
 
thx suhu atas update terbaru. panji pusing tujuh keliling. semua wanita yang dekat dengannya dan dikira hanya suka sama suka tapa perasaan malah balik menjadi bumerang bagi panji
 
Part 21: Player


Kebodohan ku sepertinya masih berlanjut, aku terlalu munafik menganggap menyatukan dua insan yg sudah lama menyimpan rasa disaat aku telah mengetuk pintu hatinya adalah sebuah keniscayaan. Kesalahan selanjutnya adalah membiarkan kelanjutan hubungan pertemanan antara aku dan Andini melewati batas yg seharusnya. Saling memberi perhatian, komunikasi yg intens bahkan mencoba saling mengisi kekosongan disaat jauh dari pasangan masing-masing.
Aku terlalu naif menganggap pria dan wanita bisa menjadi sahabat tanpa melibatkan hati, padahal aku sendiri yg melemparkan statement tersebut saat meminta Andini mengakui isi hatinya pada Dika namun disaat yg bersamaan aku melakukan kesalahan yg sama dengan menjadi teman Andini dan melibatkan hati dalam hubungan kami. Seperti keledai bodoh, aku terjebak dalam permainan yg kubuat sendiri.

“Gue udah pernah negor lo ya nyet.” ujar Regas sambil membakar rokoknya.
“Nyadar salah itu pasti dibelakang, kalo didepan namanya pendaftaran kampret.” sahut ku kesal pada Regas karena jauh-jauh ke Bandung ingin curhat mencari saran dari sahabat terdekatku bukan untuk di judge.
“Gue kesini minta saran bukan malah disalahin.” lanjutku lagi protes sambil mengambil korek ditangan Regas dan memainkannya.
“Ya udah lo tentuin aja, mau milih Clara apa Andini.” jawab Regas sambil menghisap dalam rokoknya.
“Ga segampang itu dodol!” balasku kesal.
“Nji, dari awal hubungan lo ama Andini g pernah ya masuk fase temenan. Lo deketin dia dari awal emang niat mau jadiin dia pacar kan, atau lebih tepatnya pelarian dari kekecewaan lo sama Clara dulu. Begitu dapet, lo sadar itu cuma perasaan sesaat dan merelakan Andini sama Dika. Tapi Andini statusnya doang jadian ama Dika, kenyataannya pacarannya malah ama lo nyet!” jelas Regas panjang lebar dan bagian terburuknya adalah tak ada satupun dari kalimatnya yg kuingkari.
“Parahnya, saat itu lo udah balikan ama Clara. Kalian itu selingkuh! Tapi munafik ngumpet dibalik status sahabat.” tutup Regas sambil menatapku tajam.
“Tapi gue baru sadar sekarang, setelah Andini ngakuin perasaannya.” jawabku sambil memandang kosong kearah kota Bandung dari tempat kuberdiri.
“Kalo gitu bener kan sekarang udah jelas, mumpung di Bandung ya lo samperin Andini lah selesain.” saran Regas seraya membuang asap rokoknya kearah belakang.
“Clara gimana? Kalo Andini ngomong tentang hubungan gue ama dia selama ini gimana?” tanyaku lagi pada Regas yg diresponnya dengan menggarukan kepala.
“Ga jomblo, ga pacaran. Nyusahin lo nyet.” timpalnya yg membuatku tertawa.
“Lo sih ngegampangin!” jawabku sambil cekikikan dan menggelengkan kepala.
“Lo cinta ga sih ama Clara?” tanya Regas dengan muka serius yg membuat ku menarik nafas dalam.
“Asal lo tau ya! Cuma Clara yg bisa bikin gue selalu jatuh cinta setiap ketemu sama dia.” sahut ku tegas menjawab pertanyaan Regas menunjukan cinta ku kepada Clara berbeda dengan saat bersama Andini. Namun Regas hanya tertawa simpul menaikan bahunya dan menggelengkan kepala yg membuatku mengerutkan dahi.
“Kenapa malah ketawa?” lanjut ku ketus karena heran dengan responnya.
“Mau tau kenapa lo selalu jatuh cinta tiap ketemu Clara?” tanya Regas dengan wajah sotoy.
“Apa?” balasku singkat.
“Karena selama pisah dan jauh dari Clara, lo lupa ama dia! Lo lupa kalo hati lo emang udah jatuh sama Clara. Bagian terbaiknya yg membuat seperti itu adalah hati lo terlalu asik sama Andini ketika jauh dari Clara.” tutup Regas sambil menunjuk jarinya kearah dadaku. Aku kesal mendengar ocehan Regas, aku kesal karena apa ia lontarkan adalah mungkin kebenaran yg tidak pernah kusadari.
“Anyway, Clara tau lo balik lagi ke Bandung?” tanya Regas mengalihkan pembicaraan karena aku sedari tadi hanya terdiam atas statemen terakhir yg dibuat olehnya. Aku pun menjawab dengan mengangguk.
“Gue bilang mau ngurus cuti ngajar bimbel sama ngambil charger notebook yg ketinggalan.” jelasku sambil kembali berjalan kearah bangku tempat kami makan tadi.
“Lo beneran ga balik ke Jakarta liburan ini? Ya seminggu atau minimal tiga hari gitu?” tanyaku yg juga sudah enggan larut dalam pembicaraan curhat tadi dengan Regas.
“Urusan ospek masih banyak banget nyet, gue kan ketua panitia Fakultas. Tapi nanti kalo udah kelar persiapan bisa kali dua tiga hari mah balik.” jawabnya sambil menghisap rokok terakhirnya dan membuangnya ke asbak tempat sampah disampingnya lalu berjalan kearahku.
“Angga juga pake acara ga balik lagi.” keluhku kalo harus menyadari liburan kali ini di Jakarta tanpa Regas dan Angga
“Lah dia mah naik ke semeru, jalan-jalan.” sahut Regas sambil menyeruput kopi didepannya yg kurespon dengan mengerutkan dahi.
“Hah? Kata Helen dia sibuk ngurus Ospek?” tanyaku heran.
“Iya sih dia panitia, tapi bukan inti. Cuma jadi mentor doang, kemarin bilang ke gue mau sekalian jalan ke semeru ama temen-temennya. Biar ga diomelin Helen ngakunya ngurus Ospek.” jelas Regas sambil terkekeh.
“Ko Angga ga cerita sama gue?” tanyaku heran.
“Lo terlalu sibuk pacaran! Online ym aja diajak ngeroom ama gue Angga ga pernah nyahut.” timpal Regas menyalahankan ku.
“Tai! Gue lagi ngerjain tugas itu!” balasku singkat karena kesal.
“Yuk ah balik ke kampus, gue masih ada janji ama anak perlengkapan buat laporan belanjaan mereka.” ajak Regas seraya bangkit dari duduknya.
“Berasa ngajak jalan pejabat gue.” keluh ku yg akhirnya ikut bangkit dan berjalan meninggalkan rumah makan ini.
Setelah kemarin tiga hari di Jakarta, aku kembali lagi ke Bandung yg rencananya akan disini selama dua hari dengan membawa mobil ayahku. Seperti yg sudah kuceritakan, aku kesini untuk mengajukan cuti mengajar di bimbel sekalian mengambil beberapa barang yg tertinggal di kosan. Hari ini setelah menyelesaikan semua urusan tadi, aku mengajak Regas bertemu untuk curhat di salah satu kedai makan di puncak Punclut.
Setelah bayar aku pun mengarahkan mobil ini menuruin bukit Ciumbuleuit menuju Jalan Juanda dan belok ke kampus untuk mengantar Regas.
“Lo langsung balik?” tanya Regas sebelum turun dari mobil ku.
“Kantin dulu lah, ngapain juga di kosan.” balasku seraya kami berdua pun turun dari mobil. Kami berjalan di selasar utama kampus, dan bertemu dengan Andini yg sedang berjalan sendirian menuju arah yg berlawanan dengan kami.
“Gue duluan ya.” pamit Regas seolah sengaja memberikan aku kesempatan untuk berbicara dengan Andini meski sebenernya aku belum siap. Aku belum menyusun percakapan jika harus membahas masalah kami sekarang. Sialan lo gas umpatku dalam hati.
Regas sempat menyapa Andini saat melewatinya lebih dulu dari diriku.
“Hey.” sapaku pada Andini yg hanya dibalasnya dengan senyum dan lanjut berjalan melewatiku namun segera kutahan dengan menggenggam tangannya.
“Andini tunggu.” pintaku yg membuatnya menghentikan langkah. Ia menoleh kearah ku dan terdiam tanpa berbicara seolah hanya menunggu ucapan selanjutnya dari diriku sementara tanganku masih memegang lengannya.
“Bisa ngomong sebentar?” lanjutku meminta ijin padanya.
“Ya ngomong aja nji.” jawab Andini dengan raut wajah yg sangat datar.
“Keluar yuk jangan disini.” ajak ku padanya yg direspon dengan anggukan. Kami pun akhirnya beranjak dari kampus dan ku bawa Andini ke sebuah cafe di daerah Jalan Riau.



Ilustrasi Andini

“Jadi mau ngomong apa?” ucap Andini memecah kesunyian kami sedari di mobil hingga selesai memesan minuman kepada pelayan cafe.
“Aku dan Clara waktu SMA deket karena awalnya kita temen sekelompok. Kita jadi sering ngobrol bareng, bercanda dan ngabisin waktu berdua. Aku juga yg bantu ngajarin Clara untuk bisa lolos ke kampus incarannya. Kebetulan atau engga, hubungan kedekatan kami persis dengan.” jelasku mulai menceritakan hubunganku dan Clara kepada Andini namun seakan menangkap maksudku Andini memotong pembicaraanku.
“Aku dan Dika?” sahut Andini dengan wajah menatapku tajam yg kujawab dengan anggukan.
“Hanya saja Clara lebih beruntung, karena aku berani ngungkapin perasaan aku hingga akhirnya kami bisa beranjak dari status sahabat menjadi pacar.” lanjutku bercerita pada Andini.
“Terus? Apa maksud kamu cerita itu?” tanya Andini heran dengan mengerutkan dahinya.
“Itulah alasan kenapa aku paham ketika melihat hubungan kamu dan Dika. Aku tau rasanya seperti apa menyimpan rasa yg terpendam. Aku tau sedalam apa perasaan yg selama ini kamu dan Dika naifkan.” jelasku sambil menatap wajah cantik Andini.
“Andini. Saat Clara mutusin aku dan berpacaran dengan yg lain. Aku tau rasa sakitnya seperti apa. Aku pun tau gimana menderitanya Clara yg berpura-pura mencintai pacar barunya hanya karena naif akan takutnya LDR. Kami berdua tersiska. Itu yg aku lihat dari wajah Dika ketika mendapati aku dan kamu jadian. Aku paham seperti apa sakitnya Dika, dan aku pun paham kamu masih punya rasa yg belum usai pada Dika. Perasaan lelah menunggu tanpa kepastian.” lanjutku lagi panjang lebar yg membuat Andini seakan mendengarkan semua omonganku dengan seksama.
“Aku melepas kamu, karena tidak ingin menjadi orang ketiga diantara kamu dan Dika. Sebelum kita sama-sama semakin larut dalam hubungan kita. Sehingga sakitnya nanti belum terlalu dalam. Lalu kalian juga yang nyadarin aku untuk kembali berjuang dapetin Clara lagi.” jelasku menutup pembicaraan awal dengan Andini dan menunggu responnya. Aku sengaja menceritakan ini semua agar ia memahami apa yg sebenarnya terjadi diantara kami.
“Kamu jahat nji. Kamu ga adil. Memperjuangkan Clara yg saat itu sedang belajar melupakan kamu, tapi melepas aku yg sedang belajar mencintai kamu.” jawab Andini yg membuatku terdiam karena omongannya seperti busur panah yg tepat mengenai sasaran.
“Kamu tau bagian terbaiknya? Setelah itu kamu semakin menyirami cinta yg sudah pernah tertanam didalam hati aku, merawatnya dengan kebaikan kamu, perhatian kamu, kasih sayang kamu, dan yg paling penting sebuah kenyamanan yg berbeda yg belum pernah aku dapetin dari Dika. Status sahabat yg kamu kasih malah membuat aku jatuh cinta sama kamu! Dan mau tau kenapa sekarang aku berani ngungkapin ke kamu? Karena aku ga mau ngulang kesalahan yg sama dengan menutupi perasaan seperti dulu nji.” jelas Andini panjang lebar dengan wajah seriusnya.
“Kamu selalu berkilah kalo ini cuma perasaan sesaat aku? Aku buktiin kalo kamu salah sekarang juga!” ujar Andini dengan nada yg sedikit tinggi dan mengambil handphone ditasnya menelepon seseorang dan aku tak bisa menebak apa yg akan ia lakukan.
“Halo Dika.”
“Dik, maaf aku mau ngomong sebentar.”
“Sebelumnya makasih ya dik atas semua yg udah kamu lakuin buat aku, tapi sepertinya aku salah mengartikan perasaan ini. Rasa aku hanya kagum sama kamu. Jadi maaf sepertinya kita ga bisa lanjut lagi.”
“Kita putus. Makasih dik.” tutup Andini yg membuatku terpaku tak percaya atas apa yg terjadi didepanku.
“Kamu ga harus melakukan itu.” ujarku sesaat ia menyelesaikan teleponnya.
“Harus. Supaya aku punya hak yg sama untuk kamu perjuangkan.” pungkas Andini kearahku dengan melipat kedua tangannya dimeja.
“Andini, aku punya Clara sekarang.” jawabku menolak permintaan Andini.
“Masih berani kamu bilang punya Clara? Setelah semua hubungan yang udah kita jalin selama dua bulan ini?” sahutnya tak terima atas respon penolakan ku.
“Aku tau Clara juga cemburu dengan hubungan kita, putusnya aku dan Dika tentu bukan kabar baik buat Clara. Sekarang giliran aku dan Clara yg berlomba buat dapetin kamu.” tutup Andini seraya bangkit dari tempat duduknya bermaksud untuk pergi namun kucegah.
“Aku anter kamu pulang.” pintaku singkat yg ia turuti tentunya.
Aku hanya mengantar Andini sampai depan rumahnya, meski sempat ditawarkannya untuk mampir atau sekedar pamit kepada orangtuanya aku menolak halus dengan alasan sudah ditunggu Regas di kampus. Mobil ini selanjutnya kuarahkan menuju Jalan Surapati, menaiki Jembatan Layang Pasupati dan terus kearah Pasteur. Malam itu aku mengelilingi kota Bandung tanpa arah, untuk pertama kalinya Bandung terasa tak nyaman bagiku.

Saat jam menunjukan pukul 9 malam aku mengarahkan mobil ini untuk kembali ke Jalan Juanda menuju Kanayakan tempat kos ku. Handphone ku berdering ketika baru saja memarkirkan mobil ini dan turun. Aku pun merogoh saku celana ku dan begitu melihat panggilan dari Erik.
“Halo rik.” sapaku saat mengangkat teleponnya.
“Hey njul! Apa kabar? Lagi dimana lo?” sahutnya seperti biasa memanggil ku dengan sebutan yg tidak ku suka.
“Njal njul njal njul tai lo.” respon ku ketus bahkan tanpa menjawab pertanyaannya tadi.
“Hahaha masih aja ngambek udah kuliah juga. Lagi di Bandung apa di Jakarta?” tanyanya langsung memastikan posisiku berada.
“Bandung, kenapa rik? Eh gue hari Senin ke Radio Dalam lo ga ada sih.” jawabku sembari menanyakan keberadaan Erik yg tidak lagi tampil di Cafenya saat itu.
“Gue udah ga disana lagi.” ucap Erik sambil tertawa.
“Serius? Pensiun jadi penyanyi nih? Mau fokus kuliah?” ledek ku tak percaya dengan jawabannya seraya berjalan menuju kamar kos ku.
“Ga usah bahas kuliah deh kaya Tante Sarah aja lo!” sahut Erik yg menyebut Ibunya dengan sebutan Tante Sarah, harusnya itu panggilan ku pada Ibunya bukan dia.
“Eh geblek! Emak lo itu. Hahaha.” balasku tertawa dan sudah menjatuhkan diriku di kasur.
“Gue di Bandung sekarang nji, jadi DJ di Club.” jawab Erik dengan menyebut salah satu Club di daerah Dago Atas yg memang cukup terkenal saat itu.
“Serius? Demi apa lo?? Anjir tinggal lurus doang itu dari kosan gue.” sahutku antusias mengetahui Erik tinggal di Bandung.
“Wuiih tumben tau-tauan lo tempat bar, pernah kesini?” tanya Erik meledek.
“Kagak lah, ga doyan gue.” balasku singkat yg memang terakhir kali ke club saat diajak Erik di Jakarta dulu.
“Besok gue perform, dateng lah.” pintanya yg membuatku berpikir sejenak, aku sangat tidak suka tempat seperti itu bukan dalam arti sok suci karena dosa dan sebagainya tapi memang hanya karena tidak nyaman dengan suasana riuh, padat, berisik, belum lagi bau rokok dan alkohol. Namun sepertinya tidak ada salahnya, masa sepupu sendiri sedang memulai karir aku tidak datang.
“Oke besok gue kesana.” jawabku menyanggupi undangan Erik.
“Sip! Gue tunggu ya.” sahut Erik seraya menutup teleponnya.
Tak lama aku pun menghubungi Clara untuk memberitahunya akan memperpanjang rencana di Bandung karena besok malam masih harus memenuhi janji dengan Erik.
“Sayaaang kangeeeen. Darimana aja sih bo, baru nelepon.” sapa Clara saat mengangkat teleponku.
“Manisnya pacarku, aku tadi selesai ngurus cuti ditempat bimbel langsung ke kampus ra ketemu Regas terus ya nongkrong aja ngobrol-ngobrol sama temen-temennya.” jelasku pada Clara menginformasikan kegiatanku hari ini.
“Ketemu Andini dong?” tembaknya yg membuatku berpikir sejenak cerita atau tidak tentang pertemuanku dengan Andini.
“Gak ko ra, udah ga ada ujian kali dia.” jawabku yg entah mengapa berbohong saat itu pada Clara, padahal jika jujur saja mengatakan bertemu tapi tidak perlu menceritakan bagian mengajak Andini berdua ke cafe kan rasanya Clara bisa menerima. Ah sudah lah aku pusing umpatku dalam hati.
“Oh gitu, terus kamu besok jadi pulang kan sayang?” tanyanya lagi yg benar saja sesuai dugaanku, rencana bertemu dengan Erik harus segera ku informasikan kepada Clara karena ia orang yang tidak bisa diberi janji, jika aku dari awal mengatakan hanya dua hari ke Bandung ia akan segera menagih diriku untuk kembali ke Jakarta.
“Nah iya aku nelepon buat ngasih tau itu ra, Erik tadi telpon katanya dia mulai sekarang tinggal di Bandung.” jawabku menjelaskan kepada Clara yg langsung diresponnya cukup ramah.
“Oh ya? Ko bisa bo? Pantes yah kita ga ketemu waktu di Cafenya.” tanya Clara antusias.
“Justru itu ra, mulai sekarang dia alih profesi jadi DJ di club. Terus besok minta aku buat dateng nonton, ya aku ga enak kalo nolak. Boleh kan sayang?” pintaku pada Clara.
“Oh boleh aja sih, tapi janji yah ga pake minum! Awas kamu bo!” ancamnya dengan nada serius yg membuatku gemas.
“Iya sayaaaang, cowo kamu sejak kapan bisa minum. Nenggak soda aja batuk hahaha.” sahutku menertawakan diriku sendiri yg direspon Clara juga dengan tertawa.
“That’s what make you different bo. Tapi janji yah, lusa pulang?” ujar Clara memuji serta mengancam disaat yg bersamaan. Strategi yg luar biasa.
“Siap bos! Ya udah tidur sana kamu besok kan masih ujian.” jawabku seraya pamit mengajaknya tidur.
“Laksanakan jendral! See you kebo ku sayang. Besok kabarin yah. Bye. Goodnight.” tutup Clara pamit yg kubalas dengan mengiyakan semuanya biar singkat.
Aku mengehela nafas panjang setelah menutup telepon dengan Clara karena jadi teringat masalah dengan Andini. Tapi aku sedang tidak ingin memikirkannya, persetan lah sekali-kali aku ingin bersikap dingin dan masa bodo keluhku dalam hati lalu mulai memejamkan mata ini.

Keesokan harinya aku terbangun cukup siang dan hanya menghabiskan waktu untuk merapihkan kamar kos ku yg sangat berantakan. Saat bermaksud keluar kamar untuk membuang sampah, aku berpapasan dengan wanita yg sedang kerepotan mendorong-dorong galon.
“Mau dibantu mba?” tawarku padanya yg membuat ia menoleh sesaat dan terdiam.
“Boleh deh, maaf ngerepotin.” ucapnya ramah yg kujawab dengan senyum. Aku pun mengangkat galon tersebut dan masuk ke kamar kosnya.
“Maaf ya mba ikut masuk.” ujarku kaku bermaksud meminta ijin memasuki kamar kosnya dengan canggung. Setelah selesai memasang galon aku pun beranjak keluar kamar dan berdiri dipintu.
“Saya punya kontak tukang galon yg bisa nganter sekalian masang biar ga perlu repot lagi mba nya, mau?” tawarku padanya yg dijawab dengan mengangguk semangat. Aku pun memberinya nomor telepon tukang galon tersebut yg dia sudah simpan.
“Makasih ya mas.” sahutnya ramah sambil tersenyum.
“Panggil aja Panji. Saya masih mahasiswa ko tingkat satu pula, belom jadi mas mas.” balasku memperkenalkan diri sambil tertawa atas lawakan garing ku.
“Oh sama dong saya juga mahasiswa angkatan 2005. Panggil aja Lala.” jawabnya yg juga memperkenalkan diri. Ternyata aku dan Lala seangkatan, hanya saja kami beda kampus namun lokasinya memang lumayan berdekatan. Bahkan daerah ini lebih dekat ke kampusnya daripada kampusku. Lala baru pindah ke kawasan kos ku ini minggu lalu, entah alasannya apa aku juga tidak mungkin menanyakannya diawal pembicaraan. Setelah itu aku pun pamit untuk kembali membuang sampah dan lanjut membersihkan kamar kos ku.
Sekitar jam dua siang perutku mulai lapar, setelah selesai mandi aku pun bermaksud mencari makan keluar namun saat membuka gerbang untuk mengeluarkan mobil kudapati seorang wanita cantik turun dari taksi, Andini.
“Kamu tau kosan aku darimana?” tanyaku menyambut Andini yg baru datang dengan pertanyaan.
“Orang baru dateng suruh masuk kek, tawarin minum atau minimal duduk.” sahutnya cemberut dan aku pun mengajak Andini masuk ke ruang tengah kosan yg luas seperti aula terdapat tv disana, tempat yg sengaja dibuat untuk kumpul anak kos apabila sedang menerima tamu.
“Andini, aku cuma ada air putih gak apa-apa ya?” teriaku sambil berjalan kearah kamar kosku setelah mempersilahkan Andini duduk diruang tengah tadi.
Aku pun kembali dengan membawa dua botol air mineral dingin ukuran 600 ml dan menaruhnya di meja depan kami.
“Kamu belom makan kan, ini aku bawain Beef Rice Bowl.” tawarnya membuka dua kotak makanan siap saji ala Jepang yg memang sering kami kunjungi apabila lapar setelah kuliah namun bosan dengan makanan kantin kampus.
“Makasih.” jawabku singkat sambil tersenyum kearahnya. Ya aku sedikit kaku kali ini setelah apa yg terjadi kemarin, sebaliknya Andini bersikap seolah tidak terjadi apa-apa diantara kami. Aku pun menerima kotak Rice Bowl tersebut dan siap menyantap sambil memulai obrolan dengan Andini.
“Kamu ke kampus hari ini?” tanyaku padanya sambil mengunyah.
“Biasa latihan padus buat acara wisuda dan penyambutan anak baru nanti.” jawab Andini yg juga sambil menyantap makanannya yg kurespon dengan mengangguk.
“Aku tadi nyariin kamu, tapi kata Regas kamu ga ke kampus hari ini.” lanjutnya seraya menyibak rambutnya panjangnya kebelakang telinga dengan jari telunjuknya. Makan siang ditambah wanita cantik, cobaan macam apa ini gumamku dalam hati.
“Terus tau kosanku dari Regas?” ujarku menanyakan lagi pertanyaan tadi yg tidak dijawab Andini dan diresponnya dengan mengangguk.
“Kenapa? emang ga boleh tau kosan pacar sendiri?” jawab Andini yg menunjukan dirinya telah memulai perlombaan untuk bersaing dengan Clara. Regas kampret umpatku dalam hati.
“Pacar?” tanyaku heran.
“Aku udah bilang, kita belom pernah putus nji.” jawabnya memandangku dengan senyum seolah menguasai keadaan.
“Andini sejak kapan sih kamu keras kepala?” lanjutku mencoba mengajaknya untuk tidak menjadikan hubungan kami kearah yg lebih tidak karuan.
“Sejak sadar, kalo kehilangan kamu itu sakit.” jawabnya setelah cukup lama terdiam sambil memandang kosong kearah makanannya yg diaduk-aduk dengan sumpitnya. Air mata Andini mulai menetes jatuh membasahi pipinya, menyadari itu aku hanya bisa menghela nafas panjang seraya mengambil tisu dan menghapusnya.
“Kalo kamu ga sayang sama aku, untuk apa perhatian itu nji? Kamu pikir kamu bisa baik sama semua wanita? Dan menganggapnya sebuah kebaikan biasa saat wanita tersebut justru kamu bikin nyaman dan jatuh cinta sama kamu.” lanjut Andini menanggapi sikap ku saat menghapus air matanya sambil terus menangis. Aku menggaruk kepalaku meski tidak gatal, dan berpikir bagaimana caranya untuk tidak menunjukan perhatian seperti yg Andini pinta. Membiarkannya menangis? Mengusirnya? Ga mungkin kan? Ah taiii umpatku dalam hati.
“Oke kalo gitu kita putus. Kita putus Andini.” sahutku menimpalinya seraya mengehela nafas panjang menuruti permintaanya. Aku menoleh kearahnya yg menatapku nanar dengan butiran air mata yg menumpuk dan perlahan mengalir.
“Aku punya syarat buat kamu.” jawabnya sambil sesegukan menangis.
“Apa?” tanyaku sambil menahan diri untuk tidak memeluk Andini, aku sangat tidak tega melihatnya menangis seperti itu didepanku.
“Kalo kamu mau kita putus, jangan pernah kamu berani muncul lagi dihidup aku, jangan pernah nyapa lagi, jangan pernah ngajak komunikasi lagi, jangan pernah sekalipun kamu menghubungi aku lagi.” pinta Andini dengan air mata yg mengalir dipipinya.
“Kalo itu yg kamu mau.” jawabku mengangguk menyanggupi.
“Jangan pernah kamu berani sekalipun datang lagi untuk meminta hatiku lagi nji!” tutupnya dengan nada getir dan membuang muka kearah lain tanpa menatapku.
“Kamu adalah orang pertama yang akan aku cari kalo hubungan aku dan Clara berakhir, aku akan datang lagi memohon berlutut meminta hati kamu lagi dan berjuang untuk bikin kamu jatuh cinta lagi.” sahutku menolak menyanggupi permintaan terakhir Andini yg entah mengapa aku merasa hanya Clara dan dirinya lah yg bisa membuat aku jatuh cinta.
“Brengsek kamu nji! Bisa-bisanya bikin aku luluh disaat kamu mutusin aku! That’s what make you different. Kamu selalu bisa bikin aku nyaman sama kamu.” jawab Andini sambil menghapus air matanya dan bangkit dari duduknya.
“Satu lagi, aku mau nampar kamu.” pintanya sambil menatapku dengan mata yg berkaca-kaca.
“Silah..”
“Plakkkkk” sebuah tamparan mendarat sempurna dipipi kanan ku bahkan sebelum aku menyelesaikan kalimat mempersilahkannya menamparku.
“Oke kita putus.” tutupnya seraya pergi berlalu dari hadapanku. Maafin aku Andini, kalo boleh meminjam lagunya Fiersa Besari yg pada jaman kita dulu belum ada bahwa rasa kita memang tepat hanya saja datang disaat yang salah. Clara lebih dahulu memiliki hati aku tanpa menyisakan sedikit pun ruang untuk yg lain.
Entah kenapa sepertinya undangan Erik benar-benar datang disaat yg tepat, sedikit minum untuk melupakan masalahku yg baru saja kehilanganmu Andini.

Malamnya sekitar jam 9 sesuai rencana aku berangkat menuju Club didaerah Dago Atas untuk bertemu Erik dengan membawa mobil ayahku.
Sesampainya disana aku agak terlambat karena meski jaraknya tidak begitu jauh, namun cukup macet untuk sampai kesini dan kudapati Erik sudah diatas DJ floornya. Dentum musik keras dengan tempo beat yg cukup middle membuat seluruh pengunjung yg sudah di area dance floor berteriak semangat menyambut Erik.
Keren juga sianjing umpatku dalam hati begitu melihatnya tampil, tak heran ia meninggalkan profesi menyanyi di cafe dan memilih menjadi Disk Jockey di club seperti ini dan aku yakin bayarannya pun pasti lebih besar.
Aku seperti biasa mengambil kursi didepan bar dan memesan koktail vodka seperti yg pernah kupesan dulu bersama Erik, ya mengingat aku tidak hafal jenis minuman daripada salah sebut dan malu. Badanku berputar kearah floor untuk melihat penampilan Erik. Dan tersenyum ketika ia sadar melihat aku dan dibalasnya dengan menunjuk ku untuk turun ke dance floor namun kujawab dengan menggelengkan kepala.
Aku memanggil waitress dan memesan segelas koktail vodka lagi untuk diberikan kepada Erik.
“Nanti kasih ke DJ nya ya mba, bilang aja dari sepupunya.” pintaku pada Mba Waitress yg berpakaian ketat dan mengangguk paham tersenyum kearahku.
Tak lama berselang minuman pesananku telah diberikan kepada Erik, ia terlihat dibisikan oleh Mba Waitress tadi dan menoleh kearahku dan kurespon dengan mengangkat gelas koktail ku. Erik tersenyum dan mengacungkan jempolnya kearahku menenggak minumannya yg kuikuti juga. Anjir rasanya masih ga bisa diterima oleh tenggorokanku padahal kali ini aku lebih siap dibanding dulu yg tak sengaja terminum.
Dari temptku duduk entah mengapa aku merasa daritadi seperti ada yg memperhatikan diriku dari meja yg tak jauh dari posisi ku, aku menoleh untuk mencuri pandang ditengah keramaian pengunjung dan kudapati memang sosok yg tak asing, wanita yang tadi siang berkenalan denganku, Lala.
Aku melempar senyum kearahnya yg dibalasnya juga dengan tersenyum, ia terlihat bersama beberapa teman wanita dan dua orang pria disana, mereka sepertinya open table.
Aku kembali berbalik ke arah bar, untuk memperhatikan pesanan orang di kanan kiri mencari minuman apa yg lebih bersahabat dibanding koktail ini.
“Hey nji” sapa Lala yg membuatku cukup kaget karena ia tiba-tiba menghampiriku.
“Hey.” balasku menyapanya agak kaku karena salah tingkah.



Ilustrasi Lala

“Sendirian?” tanyanya sambil duduk disamping bangku ku yg kurespon dengan mengangguk.
“Lo sering kesini?” tanyanya lagi.
“Percaya atau engga, ini pertama kali. Tuh DJnya sepupu gue, kesini cuma mau liat dia tampil aja.” jelasku pada Lala yg diresponnya dengan mengangguk.
“Lo sering kesini?” balasku membalikan pertanyaan Lala.
“Hehe lumayan kalo lagi diajak temen aja.” jawabnya malu-malu dan sepertinya menggunakan alasan temen untuk ngeles yg kurespon dengan tertawa ringan.
“Gabung yuk.” tawarnya mengajaku bergabung dengan teman-temannya.
“Gak apa-apa?” tanyaku mengkonfirmasi mengingat aku dan Lala saja baru kenal apalagi teman-temannya yg tentu asing buatku.
“Santai ko, ada cowonya juga disana.” ajaknya seraya menarik tanganku yg ku respon dengan mengangguk dan mengikuti Lala.
“Cieee kenalin dong gebetan barunya la.” ledek salah satu teman wanita Lala.
“Boleh juga nih Lala seleranya sekarang.” timpal wanita lainnya lagi yg masih disana dengan Lala.
“Apaan sih, kenalin nih kenalin temen kosan gue. Daripada dia sendirian disana mending diajak kesini kan?” ucap Lala menjawab tuduhan teman-temannya sementara aku masih hanya diam dan melempar senyum kepada mereka.
“Serius nih cuma temen? Gue naksir boleh ya hihihi.” jawab wanita yg terlihat paling supel dan lumayan cantik itu seraya ia memajukan tangannya untuk bersamalan denganku dan kusambut.
“Icha.” ujarnya ramah.
“Panji.” balasku
Aku pun berkenalan dengan mereka semua satu per satu dan jika diperhatikan dibanding yg lain memang Lala lah yg paling cantik dan menarik gumamku dalam hati.
“Mau minum apa nji?” tawar Lala yg memang mengajak ku duduk disampingnya agar tidak digoda oleh teman-temannya katanya.
“Gue ga minum la.” jawabku sambil tersenyum kearahnya.
“Bohong banget, gue liat lo tadi nenggak gelas koktail.” sahutnya tertawa tak percaya.
“Ya aneh kan kalo dateng ke bar malah ga minum sama sekali? Tadi segelas cuma buat ngerayain dan nyemangatin sepupu gue aja.” jawabku menjelaskan kepada Lala.
“Eh ko lo tau gue minum koktail tadi? Dari kapan merhatiin?” lanjutku bertanya menyelidik pada Lala.
“Hahaha gue udah merhatiin lo dari pertama dateng.” jawabnya sambil tersenyum manis yg kurespon dengan menganggukan kepala. Geer juga diperhatiin Lala daritadi gumamku dalam hati.
“Gue pesenin midori aja ya?” tawar Lala yg memecahkan lamunanku.
“Hah? Apaan tuh?” tanyaku polos.
“Hahaha polos banget lo ya, melon juice gitu alkoholnya dikit.” jelas Lala yg seolah sudah ahli dan kurespon dengan mengangguk dan melirik penuh arti padanya.
“Pas lah buat lo yg g pernah minum. Gue juga sama ko biasanya minum itu.” lanjutnya seakan memberi alasan darimana ia tahu tentang minuman tadi.
Selama di meja itu aku lebih banyak mengobrol dengan Lala bahkan bisa dibilang tak pernah ikut dalam obrolan teman-temannya, dan seperti paham atau bagaimana temannya pun seolah membiarkan kami asik mengobrol berdua.
“Thank you for great night!!” teriak Erik menutup penampilannya.
“Eh la, gue samperin Erik dulu ya.” pamit ku pada Lala yg ia jawab dengan senyum dan mengangguk. Aku pun segera bangkit dan berjalan menuju Erik.
“Gila gue punya sepupu DJ!!” sambutku pada Erik yg baru saja turun dari floornya.
“Anjir panjul! Gue kira lo udah balik.” sahutnya sambil lompat kearahku dan berpelukan.
“Gue ketemu temen, jadi tadi join mereka.” jelasku pada Erik seraya menunjuk kearah meja Lala dan teman-temannya.
“Oh pantes, ga keliatan meja sana dari atas.” jawabnya.
“Ayo minum gue yg traktir.” tawar Erik bersemangat.
“Tailo! Sejak kapan gue minum!” sahut ku protes karena tawaran mentraktirku minum sama saja tidak mentraktir apapun.
“Hahaha ya udah lo mau apaan.” tawarnya yg kali ini seperti serius ingin mentraktirku.
“Gampang nanti aja. Cerita dong ko bisa nyasar di Bandung.” tanyaku penasaran bagaimana Erik bisa jadi DJ disini.
“Panjang lah, awalnya sih tawaran nyanyi. Terus yg nawarin tuh DJ juga, jadi ikutan belajar gitu.” jelasnya sambil merangkul ku.
“Oh terus lo tinggal dimana sekarang rik?” tanyaku padanya sambil kami berjalan kearah bar.
“Deket sini ko, ngekos.” jawabnya sambil memesan koktail dua gelas, ya pastinya satunya lagi untuk ia berikan padaku. Erik bilang aneh jika ngobrol di bar dengan orang yg tidak memegang minuman.
“Jadi yg tadi temen apa gebetan baru?” tanyanya sambil menyerahkan satu gelas koktail pesanannya padaku.
“Sialan. Gue udah balikan lagi ama Clara.” jawabku sambil meminum sedikit koktail ditanganku.
“Anjir Panjiiiii. Ko bisa sih lo balikan? Dia bukannya udah selingkuh. Gila lo kena pelet apaan sih.” respon Erik heran yg memang belum tau ceritanya.
“Panjang ceritanya, intinya Clara ga selingkuh.” jawabku dengan memasang wajah serius yg direspon Erik dengan menganggukan kepala.
“Ya gue pikir elo pun ga sebego itu sih buat balikan ama cewe yg udah selingkuh.” sahut Erik seraya menenggak gelas koktailnya.
“Terus tadi temen apa?” lanjut Erik bertanya tentang Lala.
“Temen kosan. Baru kenal tadi pagi, eh ketemu disini.” jelasku bercerita pada Erik yg menoleh kearah meja Lala.
“Yg pake kemeja jeans yah?” tanyanya masih memperhatikan Lala yg kujawab dengan mengangguk.
“Cantik nji, ga lo sikat.” lanjutnya sambil tertawa dan hanya kurespon dengan menggelengkan kepala.
“Heh! Cewe secantik Clara dan mau ama lo cuma dia doang! Jangan ngarep lo nemu Clara yg lain!! Hahaha” responnya tak terima, ya Erik cukup kesal denganku yg apabila membahas wanita tak pernah memuji berlebihan. Ia menganggap sikap sombongku hanya karena mampu mendapatkan cewe secantik Clara, tapi bagi dia itu hanyalah keberuntungan yg tak akan pernah lagi kudapatkan. Jika sudah begitu aku hanya tertawa puas menanggapi Erik.
Kami lanjut mengobrol banyak hal setelah terakhir kali bertemu beberapa bulan lalu dengan Kak Sinta, aku pun menceritakan sedikit bagimana aku bisa balikan dengan Clara. Erik cukup menggelengkan kepala mendengar sikap Clara.
“Anjir lo pake pelet apaan sih? Ko bisa-bisanya ya Clara segitu tergila-gilanya ama lo.” respon Erik tertawa puas sambil menggelengkan kepala. Apa jadinya jika ku ceritakan juga tentang Andini kepada Erik, namun aku memilih diam. Menceritakan Andini hanya akan membuatku mengingatnya dan sesuai janji aku tidak akan pernah lagi bertemu atau menghubunginya lagi.
“Temen lo kenapa tuh?” tanya Erik yg melihat kearah meja Lala dan teman-temannya.
“Bentar ya.” pamit ku pada Erik seraya menghampiri Lala bersama temannya.
“Kenapa la?” tanyaku pada Lala yg sedang membantu teman wanitanya yg sepertinya terlalu mabuk.
“Ini Icha ama Syesil kolaps kebanyakan minum.” jawab Lala tanpa menoleh kearahku.
“Ya udah gue nganter Icha ama Rahma, Riko nganter Syesil.” jawab salah satu pria teman mereka yg aku lupa namanya.
“Terus Lala gimana? Kan beda arah sendiri.” tanya Rahma pada pria tadi.
“Gue gampang naik taksi aja.” jawab Lala dan meminta mereka untuk segera jalan mengantar Icha dan Syesil pulang.
“Lo bareng gue aja la.” tawarku pada Lala yg membuatnya menoleh kearahku.
“Beneran?” sahutnya seakan tak percaya dengan tawaranku.
“Iyalah, sekalian.” jawabku pada Lala yg diresponnya dengan mengangguk.
“Gue pamit dulu ya ama Erik.” ujarku pada Lala dan meninggalkannya.
Aku pun pamit pada Erik dan memberitahunya juga besok aku akan kembali ke Jakarta hingga liburan selesai, Erik pun menitip salam pada Kak Sinta serta Ayah dan Ibuku.
“Lo nganter gue pulang gini nanti makin berantem ga ama cewe lo?” tegur Lala saat kami berdua sudah di mobil ku menuju kosan.
“Hah? Maksud lo?” tanyaku heran.
“Pura-pura bego, tadi siang di kosan cewe yg lo bikin nangis pacar lo kan? Jahat lo cewe ngambek bukannya di kejar.” sahutnya sambil tertawa cekikikan.
“Oh itu, hahaha ya gimana mau ngejar dia yg minta putus.” jawabku mengiyakan saja anggapan Lala bahwa Andini adalah pacarku.
“Masa? Ga lagi nyepikin gue kan lo ngaku-ngaku putus? Hahahha.” timpalnya lagi geer dan puas tertawa.
“Hahaha sialan, kagak lah geer banget lo!” jawabku yg juga tertawa.
“Jadi tadi ke bar sekalian nyari hiburan patah hati?” tanyanya lagi meledek.
“Enak aja, gue cuma ketemu Erik sepupu gue.” balasku tak terima tuduhannya.
“Cowo tuh sama ya brengsek semua, berarti tadi cewe lo mutusin karena udah kesel kali ya ama lo?” cerocosnya mengomel yg tak ku mengerti.
“Maksud lo?” tanyaku heran.
“Iya ngakunya diputusin tapi ko lo ga keliatan patah hati sama sekali. Berarti sebenernya yg ngarep putus kan emang lo nji!” jelasnya dengan nada ngomel-ngomel.
“Iya gue brengsek, dia selingkuhan gue. Makannya dia minta putus.” jawabku sambil memandang kosong kearah jalanan.
“Wow ga nyangka yah tebakan gue bener. Gila juga ya lo, cewe secantik tadi cuma dijadiin selingkuhan. Cowo kalo ganteng semena-mena.” ujar Lala yg seperitnya mulai tak suka denganku karena pengakuan tadi.
Biarlah Lala menilai ku sesukanya, aku lelah menjadi orang baik yg ketika wanita menjadi nyaman karena kebaikan ku tetap dijadikan orang yg salah seperti yg dikatakan Andini. Aku cukup menjadi baik untuk satu orang, untuk wanita yg aku cinta, wanita yg sudah menyerahkan semua miliknya untuk ku, Clara.
“Makasih ya nji. Duluan.” pamit Lala buru-buru turun dari mobilku dan berlalu meninggalkanku ke kamarnya.

Sabtu pagi aku sudah bersiap mengemas beberapa barang dari kosan untuk kembali ke Jakarta. Sambil memanasi mobil aku pun menghampiri Mang Wira, penjaga kos ku untuk menitip kamar karena akan meninggalkannya selama sebulan.
“Oh A Panji mau liburan di Jakarta, sayang atuh yah bayar kosan sebulan tapi ga ditempatin.” jawabnya sambil tersenyum padaku.
“Kalo dikosongin dulu malah ribet atuh Mang. Kalo dapet disini lagi, kalo penuh? Udah enak disini.” timpalku pada Mang Wira seraya mengambil uang seratus ribu untuk kuberikan padanya.
“Uang rokok buat nemenin jaga.” sahutku sambil tersenyum padanya yg dibalas Mang Wira dengan senyum dan berterimakasih.
Sebelum berangkat menjalankan mobil ini kearah luar, Lala terlihat keluar dari kamar kosan sudah berdandan rapi seperti akan berangkat kuliah. Aku pun membunyikan klakson untuk menyapanya seraya membuka kaca jendela mobilku.
“Kuliah la?” sapaku sambil bertanya yg ia jawab dengan tersenyum dan mengangguk.
“Bareng aja, gue juga mau ke arah sana sekalian lewat.” tawarku padanya yg membuatnya berpikir sejenak dan akhirnya menerima ajakanku.
Kami pun berangkat meninggalkan kosan seraya membunyikan klakson untuk pamit dengan Mang Wira.
“Sorry ya nji semalem.” ujar Lala membuka obrolan kami.
“Hah? Soal apa?” tanyaku heran.
“Iya udah kurang ajar ngebahas masalah pribadi lo, ditambah nilai lo jelek seenaknya padalah gue sendiri belom kenal baik ama lo.” jawabnya sambil tersenyum kearahku.
“Oh itu, santai aja kali la. Gue aja lupa.” balasku sambil tertawa yg direspon Lala dengan memukul bahuku dan ikut tertawa.
“Lo ini mau balik ke Jakarta ya?” tanyanya sambil melihat jok kebelakang banyak barang milik ku yg tersimpan dalam dua tas besar.
“Iya, gue udah liburan. Balik lagi bulan depan.” jawabku sambil tersenyum kearahnya.
“Gue malah baru ujian minggu depan.” keluhnya.
“Sepi dong yah kosan? Kan rata-rata anak kampus lo.” lanjutnya sambil menoleh kearahku.
“Ga juga ah, banyak ko yg ga balik.” jawabku meski tak mengenal semua penghuni kos ditempatku.
“Tapi yg baik cuma lo kan, malah pulang.” jawab Lala yg membuatku mengerutkan dahi.
“Baik apaan sih, emang yg lain kenapa.” tanyaku heran.
“Iya lah, udah gue omelin, jutekin, tuduh cowo brengsek, masih aja pagi-pagi nyapa pake nawarin nganter ke kampus lagi.” jawab Lala sambil tersenyum manis.
“It’s not a big deal la.” sahutku pada Lala.
“That’s what make you different nji.” jawab Lala sambil menepuk pundak ku yg kurespon dengan senyum salah tingkah kenapa omongannya persis seperti Clara dan Andini.
“Thanks yah, see you nji.” pamit Lala ketika mobil ini sudah sampai depan kampusnya. Lala berdiri disamping mobilku seraya melambaikan tangannya kearahku yg kubalas dengan membuka kaca dan melambaikan tangan juga kearahnya. Mobil ini pun lanjut berlalu dari hadapannya dan berjalan menuju Pintu Tol Pasteur untuk kembali ke Jakarta.
Hari ini aku meninggalkan Bandung dan Andini bersamanya, kuharap sebulan di Jakarta akan membuatku lupa padanya. Buatku semenjak hari itu, Bandung tak akan lagi sama.

Sesampainya di Jakarta, mobil Clara terlihat terparkir di garasi rumahku yg membuat aku memarkirkan mobil ayahku di depan rumah. Sambil membawa tas besar, aku pun berjalan masuk ke dalam dan mengucapkan salam yg disambut oleh Clara.


Ilustrasi Clara

“Okaerinasai!” sahut Clara sambil melempar senyum manis kearahku dan kami berpelukan. Ia pun mengajak ku masuk ke dapur yg sepertinya sedang memasak bersama Ibuku. Aku menghampiri Ibuku untuk bersalaman.
“Ganti baju sana abis itu makan.” pinta Ibuku seperti sebuah perintah terprogram setiap aku pulang dari luar pasti disuruh ganti baju atau kalo sore langsung disuruh mandi.
“Iya entar.” jawabku yg masih lelah dan duduk di meja makan bersama Clara yg sedang sibuk memotong wortel. Sepertinya mereka akan membuat sop.
“Kamu dari kapan disini ra?” tanyaku sambil menjatuhkan kepalaku di meja makan.
“Jam satu lah bo, abis dari kampus langsung kesini.” jawabnya yg masih asik memotong wortel. Aku mengangkat kepala ku sejenak, memperhatikan Clara yg sedang anteng bahkan ia tak sadar kalo sedang aku tatap. Tidak mendapat respon dari Clara, aku menoleh kearah mangkuk berisi telor puyuh yg sudah terkupas dan menggerakan tanganku untuk mengambilnya namun dengan cepat ditepis oleh Clara.
“Kamu belom cuci tangan!” tegurnya dengan muka serius.
“Daritadi diliatin ga nyadar, giliran mau ngambil makanan cepet.” sahutku kesal atas tingkah Clara.
“Aku sadar ko kamu liatin daritadi.” balasnya sambil berganti memotong buncis.
“Ko diem aja?” tanyaku sambil melipat tangan diatas meja dan mendekatkan wajahku kearahnya.
“Sengaja, pengen tau kuat berapa lama kamu ga bosen liatin aku.” timpalnya sambil tertawa cekikikan.
“Wooooo” balasku kesal sambil melempar potongan buncis kearahnya.
“Heh ko makanan dimainin, sana ganti baju!” perintah Ibuku dengan nada mengomel dan seperti biasa kalo sudah seperti ini aku segera menurutinya.
Setelah selesai ganti baju, aku menunggu masakan sambil menonton tv sementara Clara masih membantu Ibuku memasak. Pemandangan ini menjadi favorit bagiku melihat Clara yg sudah sangat akrab dengan Ibuku.
Tak lama setelah masakan matang, Clara pun menarik ku untuk segera makan bersama bertiga dengan Ibuku. Kami makan sambil mengobrol tentang kuliah dan hal-hal lain hingga makanan habis. Selesai membantu membereskan meja makan dan mencuci piring bersama Ibuku, Clara pun pamit karena tak terasa hari sudah malam.
“Besok aku tunggu di rumah yah.” pamitnya dari dalam mobil sambil membuka kacanya.
“Iya sayang, hati-hati kamu.” balasku seraya menempelkan kedua jari pada bibir ku lalu ke bibirnya.
“Sini deh.” pintanya setelah ritual ciuman jari ku yg membuatku heran dan mendekat.
“Cup.” sebuah kecupan mendarat dibibirku.
“Tumben berani.” ujarku merespon kelakuan Clara.
“Siapa suruh ngangenin.” jawabnya seraya melambaikan tangan dan mobil Clara pun berlalu dari hadapanku.
Setelah Clara pulang, aku pun memindahkan mobilku yg terparkir dipinggir jalan ke garasi rumah dan sesaat sebelum menutup pagar, sedan silver milik Helen berhenti tepat didepan aku berdiri.
“Njiiii. Anggaaaa.” rengeknya membuka sapaan saat melihatku.
“Halo dulu kali. Kenapa ci?” tanyaku heran melihatnya cemberut.
“Udah dua hari Angga ga bisa dihubungin.” lanjutnya dengan wajah khawatir yg membuatku berpikir Angga bego juga dia ke semeru ga bilang padahal di gunung ga ada sinyal, terus gue mesti gimana ini.
“Dia ga ngehubungin lo atau Regas?” tanya Helen yg mengangetkan lamunanku dan segera kujawab dengan menggelengkan kepala.
“Masuk dulu ci, ga enak ngobrol dipinggir jalan.” tawarku pada Helen yg dijawabnya dengan menggelengkan kepala.
“Keluar aja yuk, gue galau nih.” pintanya merengek memohon yg membuatku tak bisa menolak.
“Ya udah gue ganti baju dulu.”
“Ga usah, udah rapi ko. Ayo!” sahutnya yg membuatku menggelengkan kepala. Dasar wanita.
“Ya udah gue pamit ama nyokap bentar.” ijinku pada Helen yg diresponnya dengan turun dari mobil untuk ikut pamit.
Setelah pamit aku pun bertukar posisi dengan Helen untuk membawa mobilnya dan berjalan meninggalkan rumahku.
“Mau kemana ci?” tanyaku pada Helen yg sedaritadi masih cemberut.
“Bar yuk nji.” ajaknya yg membuatku cukup kaget.
“Hah? Ga salah? Sejak kapan lo?” lanjutku penasaran pada Helen.
“Kadang-kadang aja ama temen kalo lagi ada acara party.” jawabnya datar dan masih cemberut.
“Kemang?” timpalku menanyakan bar mana yg ia mau kunjungi dan hanya dijawab dengan anggukan.
“Oke.” sahutku singkat dan memacu mobil ini kearah selatan menuju Kemang Utara.
Awalnya Helen mengajak open table namun kutolak, mengingat kami hanya berdua hingga akhirnya aku pun mengajaknya duduk di meja bar namun dengan posisi yg cukup jauh dari bartender dan keramaian.
Helen memesan sunrise tequilla, yg kuikuti mengingat aku tak tahu menahu jenis minuman. Koktail vodka masih begitu keras buat ku, sedangkan midori yg kemarin ditawarkan Lala terlalu mirip syrup melon hanya dengan soda dan bau alkohol.
“Udah dong ci cemberutnya.” pintaku pada Helen yg sedaritadi masih menekuk wajahnya.
“Ga biasanya nji, Angga handphonenya mati dua hari gini.” jawab Helen yg masih merengek.
“Kalo ada apa-apa Angga ga mungkin ga ngabarin, minimal keluarga pasti ngehubungin lo. Jadi dia pasti baik-baik aja.” ujarku mencoba menghibur Helen.
“Ko lo yakin banget, jangan-jangan lo tau ya?” selidik Helen dengan wajah penuh curiga.
“Beneran gue ga tau Helen sayaaaang. Ga percaya banget.” jawabku lebay untuk menutupi kebohongan ku.
“Tailah! Awas aja kalo udah bisa dihubungin, gue jutekin abis-abisan tuh anak!” ujar Helen kesal mengancam Angga namun entah kenapa wajahnya ditunjukan padaku. Ia pun menenggak minumannya hingga setengah.
“Sok-sokan lu, diajak ngamar ama Angga juga paling kelepek lagi.” sahutku sambil tertawa yg membuat Helen memukul bahuku dan ikut tertawa.
“Sialan lo! Hahaha” balasnya.
“Gitu dong ceria kan cantik.” timpalku lagi seraya tersenyum padanya.
“Gombal anjir!! Gue aduin Angga loh godain gue.” jawabnya tak terima sambil cekikikan yg ku respon dengan menggelengkan kepala.
“Aduin aja, Angga nya juga lagi ilang.” ujarku yg dibalas Helen dengan mencubit perutku.
“Nyebelin lo!” ucap Helen sambil tersenyum manis.
“Nji” lanjutnya lagi menegur yg sedang menenggak minuman ku.
“Apaan?”
“Gue mau nanya dong tapi sebagai temen lo nih bukan sebagai temen Clara.” ujarnya yg membuatku mengerutkan dahi.
“Maksudnya gimana?” tanyaku heran.
“Bentar.” pungkasnya singkat, seraya memanggil waitres untuk memesan sebotol Liqueur.
“Mau ngapain lo?” tanyaku penasaran yg hanya direspon dengan senyum licik sambil menaikan alisnya. Saat minumannya datang ia melirik ku penuh arti yg membuatku tak paham.
“Kita main truth or dare, dare nya satu gelas liqueur. Oke? Biar lo mikir dua kali sebelum bohong hahaha.” jelasnya sambil tertawa puas.
“Gue doang yg ditanya?” sahutku tak terima.
“Gantian sayang.” balas Helen dengan wajah centil yg kujawab dengan anggukan.
“Ladies first yah. Lo ama Andini udah pernah jadian yah?” tembak Helen langsung tanpa basa-basi.
“Hahaha tau dari Regas?” jawabku sambil tertawa yg direspon Helen dengan mengagguk.
“Iya.” lanjutku singkat.
“Gimana ceritanya nji? Ko lo ga cerita ke gue?” tanya Helen penasaran.
“Sorry dear, my turn.” ledek ku padanya yg dibalas dengan mencubi bahuku karena kesal.
“Apaan? Jangan yg aneh-aneh!” sahut Helen sambil tertawa.
“Terakhir kesini sebelum ama gue, ama siapa?” tembak ku yg membuatnya menutup mulut dan menahan tawa.
“Tai lo!” sahutnya yg masih tertawa yg ku respon dengan melirik penuh curiga.
“Gue perlu nyebut nama?” tanya Helen tersenyum salah tingkah.
“Nama, TTL, mafa, mifa, idola semua.” sahutku sambil tertawa yg dibalas Helen juga dengan cekikikan.
“Biodata di binder yah? Anjir jadul banget lo.” ujar Helen.
“Buruan jawab! Ngeles aja lo cina!” timpalku yg membuat Helen makin puas tertawa.
“Kirain lupa hahaha. Senior gue, Tio. Tapi cuma minum doang sumpah!!” jawabnya salah tingkah padahal aku sama sekali tidak menuduhnya macam-macam.
“Gantian gue. Ceritain detail jadiannya.” lanjut Helen yg masih penasaran dengan pertanyaannya dan kujawab dengan bercerita saat jadian hingga akhirnya putus. Disini maksudnya putus adalah merelakan Andini dengan Dika, bukan putus yg kemarin. Gila aja.
“Puas?” tanyaku pada Helen.
“Clara beruntung banget sih dapetin lo nji!” ucap Helen tersenyum memujiku namun kurespon dengan menggelengkan kepala.
“Belom ada yg minum nih, siap-siap minum yah buat pertanyaan gue yg ini.” ancamku pada Helen yg membuatnya menutup kuping.
“Heh! Jangan curang!” pintaku sambil menarik tangannya.
“Hahaha serem anjir tatapan lo.” balasnya cekikikan.
“Serem? Ga salah?” tanyaku menggodanya.
“Iya bikin takut, takut lupa diri hihihi.” timpal Helen centil yg kubalas dengan mencubit hidungnya.
“Punya hubungan apaan lo ama Tio?” tanyaku menatapnya tajam.
“Dia ngedeketin gue nji, tapi gue tolak ko. Lo lebih dari cukup buat jadi selingkuhan gue.” balasnya sambil menggodaku dengan melingkarkan tangannya leherku.
“Sepik!” jawabku singkat.
“My turn. Masihkah anda mencintai Andini?” tembak Helen dengan tatapan nakal seraya menaikan alisnya.
“Pertanyaan ama tatapan lo ko ga sinkron yah.” sahutku mencoba mengulur waktu untuk menjawab.
“Pengen tau aja kesetiaan seorang Panji sampe mana.” jawab Helen yg masih menatapku.
Aku menuang botol liqueur kedalam gelas ku dan segera menenggaknya yg membuat Helen tertawa puas.
“You’re so predictable dear hahaha.” sahutnya cekikikan.
“No answer doesn’t mean your opinion is true honey.” balasku sambil menelan sisa-sisa manis asam dari minuman tadi.
“Enak juga ya.” ujarku mengalihkan pembicaraan.
“Belom naek aja lo makannya masih bilang enak.” jawab Helen sambil menopang tangannya didagu dan menatapku. Malam itu entah mengapa ia terlihat lebih cantik dari biasanya, atau karena aku mulai kebanyakan minum. Entahlah.


Ilustrasi Helen

“Terus kenapa lebih milih minum dibanding jawab pertanyaan gue kalo jawabannya emang lo ga cinta ama Andini?” selidik Helen menyangkal jawabanku tadi.
“Sengaja pengen cepet naik. Biar bisa ngajak lo khilaf.” godaku padanya seraya mengelus poni rambutnya yg membuat Helen menatapku.
“Ga perlu mabuk sayang kalo mau ngajak khilaf. Enakan sambil sadar.” jawab Helen menggodaku balik dengan berbisik ditelingaku dan tersenyum nakal. Seakaan paham maksud masing-masing kami pun bangkit dan segera meninggalkan bar tersebut sambil saling berciuman dan berangkulan mesra.
Malam itu aku sadar satu hal, aku adalah munafik kelas kakap. Berlagak seperti pria yg setia pada satu wanita, namun pada kenyataannya selalu mencari cinta dalam setiap kekosongan. Keputusanku memutuskan Andini bukan karena intuisi hati untuk setia pada Clara, tapi karena merasa terganggu oleh Andini yg bergerak dari zona friend with benefit ke hubungan serius. Andai ia mau diam di zonanya, aku pasti akan terus berselingkuh dengannya dibelakang Clara dengan alasan sahabat. Seperti yg aku dan Helen lakukan sekarang.
Ya aku adalah seorang Player yg berlagak bak Romeo. Dan aku tahu, selalu ada konsekuensi dalam setiap pilihan hidup yg diambil.


Bersambung.
 
Dihhh beneran si anji bau memek =))

Ini ujung2nya si clara bakal berantem lagi sama anji, trus si andini bakal terus membuka hatinya buat panji meski kata "putus" uda terucap..

Kalo helen ? "u are a.. Ga enak ahh nyebutnya" ibarat kerbau yg di cucuk hidungnya sama panji.
Umpama panji bilang ngangkang juga si helen langsung bugil =))
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd