Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA When We were Young

Status
Please reply by conversation.
Part 23: The Senior


Andini pernah bilang jika Arsitek adalah seorang pemimpi, maka Sipil adalah pewujud impian itu. Baginya menjadi Insinyur Sipil jauh lebih keren dibanding seorang Arsitek sehingga di mata Andini anggapan semua orang tentang kehebatan Arsitek terlalu tinggi karena tanpa Insinyur Sipil, desain dan perancangan gambar yg dibuat oleh Arsitek hanya akan berakhir diatas kertas.
Andini adalah cucu dari salah seorang Insinyur Sipil yg turut andil berada dibalik layar pembuatan Bendungan Jatiluhur yg merupakan terbesar dan menjadi ikon kemajuan konstruksi bendungan di Indonesia saat itu. Sementara Ayahnya merupakan Insinyur Sipil yg bekerja di Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandung dan sudah terlibat dalam beberapa Proyek Pembanguan termasuk yg paling ikonik dan terkenal saat itu adalah Jalan Layang Pasupati. Kakek dan Ayahnya adalah inspirasinya yg membuat Teknik Sipil seolah mendarah daging dalam dirinya, itu alasan Andini melanjutkan kuliah di jurusan ini. Dari situ aku paham mengapa ia sangat terobsesi dengan Sipil dan menjadi antipati dengan Arsitektur karena jika kalian googling tentang Pembangunan Bendungan Jatiluhur atapun Jalan Layang Pasupati, pasti yg muncul hanyalah nama Arsiteknya. Andini seolah ingin menggeser stigma masyarakat bahwasannya peran kunci dari pembangunan sebuah konstruksi berada ditangan Insinyur Sipil. Apalagi semenjak dipisahnya Arsitektur dari Fakultas Sipil di kampus ku, seolah menambah kuat pandangan Andini akan perbedaan kedua jurusan tersebut.
Aku sendiri tak pernah membandingan keduanya baik dalam kelimuan maupun dunia profesi karena sebagai orang yg sekarang berkecimpung langsung dalam dunia konstruksi, bagiku peran keduanya sama penting. Nilai Estetika yg menjadi ikon sebuah bangunan hanya dapat dibuat oleh para Arsitek, sedangkan aku yg memang dasarnya tak punya bakat dalam seni visual hanya mampu menghitung konstruksi rangka, struktur serta pondasinya di lapangan dan jika tak masuk dalam hitungan walaupun dengan segala cara mengakalinya tentu aku membutuhkan Arsitek agar merubah desain dan rancangannya tanpa mengurangi nilai estetika filosofi bangunan yg dibuatnya. Meski sepanjang karirku, belum pernah ada satupun rancangan yang kuajukan untuk dirubah karena bagiku bekerjasama dengan para Arsitek dalam mencari jalan ide membuat bangunan dengan desain unik tanpa mengabaikan kekuatan konstruksinya adalah kesenangan tersendiri. Namun apabila perubahan itu membuat RAB membengkak dari perkiraan awal, aku tak ikut campur dan menyerahkan tangungjawab itu pada mereka untuk dilaporkan kepada Developer.
Alasanku memilih jurusan bahkan akhirnya berkarir dalam dunia Sipil sangat berbeda dengan Andini, aku tidak punya obsesi sekuat dirinya, juga tidak punya antipati dengan profesi lain karena mengapa aku mengambil jurusan ini tak lain adalah..

Memasuki akhir bulan Agustus perkuliahan di kampus ku pun mulai berjalan, aku resmi menginjak semester tiga atau tingkat dua kuliah yg artinya selain mata kuliah sudah fokus pada program jurusan para mahasiswa pun sudah diminta untuk mengisi peminatan keahlian atau PK saat penyusuan rencana studi semester ini agar para Dosen Pembimbing KRS dapat mengarahkan kami dalam membuat rencana studi kedepannya sesuai PK yg diambil.
Teknik Sipil dikampusku saat itu memiliki lima peminatan, dan biasanya Rekayasa Struktur adalah PK yang paling banyak diambil oleh mayoritas anak Sipil karena hampir mencakup semua aspek konstruksi baik itu gedung, jembatan, ataupun jalan. Sementara aku saat itu memilih PK Rekayasa Sumber Daya Air, yg mencakup konstruksi bendungan, daerah aliran sungai, drainase, struktur daerah dataran rendah, rawa dan pantai. PK yg bisa dibilang paling minim peminat saat itu dan jika kalian bertanya alasanku adalah karena PK ini yg paling banyak memiliki perbedaan mata kuliah pilihan dengan PK Rekayasa Struktur. Alasan paling jujurnya adalah karena aku tau Andini akan mengambil PK Rekayasa Struktur sesuai obsesinya, sehingga aku yg sudah berjanji akan menghilang dari kehidupannya memilih PK yang paling berlawanan dengan pilihannya. Konyol? Ya bisa dibilang begitu.
“Nji gue ga liat lo dikelas Beton Lanjutan? Bukannya semester lalu udah ngambil kelas Beton?” tanya salah satu teman jurusanku saat bertemu di perpustakaan.
“Gue ngambil PKnya SDA.” jawabku sambil tersenyum.
“Serius lo? Bukan ngambil Struktur? SDA kan kelasnya paling dikit udah gitu banyak mk yg setahun sekali nongolnya, paling terkenal susah lulus.” sahutnya menakut-nakutiku namun hanya kubalas dengan menaikan kedua bahuku.
“Wah bakal banyak yg ga sekelas dong kita nji, kehilangan sumber contekan gue.” lanjutnya entah memuji atau meledek ku.
“Sialan lo.” balasku sambil tertawa.
Ya yg dikatakan oleh temanku memang benar adanya, bahkan di semester ini ada satu mata kuliah yaitu Rekayasa Sungai yg terpaksa kuambil dengan anak-anak tingkat tiga dan akhir karena beberapa mata kuliah tingkat dua ada yg baru muncul di semester depan. Banyak diantara senior-senior itu yg tak mengenaliku, sehingga bisa dikatakan semenjak mengambil PK SDA temanku lebih banyak dari angkatan atas dibanding mahasiswa seangkatanku.
“Ayo nji ikut kumpul di Pocing.” ajak salah satu senior padaku selepas kelas Sungai.
“Pocing? Apaan tuh?” tanyaku heran.
“Pojokan kucing, itu diujung Gedung Sipil. Disana banyak kucing makannya dibilang Pocing.” jelasnya yg kurespon dengan tawa dan menggelengkan kepala. Sebagai junior aku mengiyakan ajakan mereka karena respek dan tentunya tidak ingin dicap sombong.
Namun sepertinya urusan dengan Andini masih belom selesai hanya dengan mengambil PK yg berbeda dengannya, karena bergaul dengan senior malah membuatku mengenal Giri. Ya mantan Ketua Himpunan yg sedang dekat dengan Andini.
“Kenalin nih Panji anak 2005, tapi nyasar di kelas Sungai. Gokil doi ngambil PK SDA, cocoklah gabung ama kita.” ujar senior yg tadi mengajak ku kesini, oh iya namanya Bimo dan satu lagi yg lebih banyak diam adalah Aldo.
“Wah Bim di Sipil segitu susahnya apa nyari cewe sampe-sampe yg dibawa ama lo cowo lagi cowo lagi.” protes salah satu senior yg sedang asik memainkan kucing, namanya Dito tapi para senior memanggilnya Kucing.
“Lah kan kemaren baru abis dibawain primadona ama Giri cing.” sahut Bimo menangapi Kucing.
“Halah, itu mah jatah Giri sendiri.” elak Kucing pada Bimo.
“Udah udah, wibawa dikit napa ama junior. Kalo nyari yg bening kan tinggal maen ke SBM. Halo nji, Giri.” ujar Giri memperkenalkan diri padaku seraya mengulurkan tangannya.
“Panji.” jawabku yg dibalas dengan mencengkram kuat tanganku. Fak mau perang dingin apa gimana ini gumamku dalam hati.
Ada sembilan orang senior tingkat tiga dan akhir yg selalu kumpul di Pocing. Selain Bimo, Aldo, Giri dan Kucing masih ada empat orang lagi yg selalu kumpul ditempat ini ditambah satu wanita dan satu-satunya bernama Tyas. Tyas ini bisa dibilang leader Pocing, karena selain Mantan Ketua Himpunan diatas Giri yg bahkan menjabat ketika masih ditingkat dua. Tyas juga terkenal sebagai mahasiswi berprestasi dengan IPK nyaris sempurna yg sekarang sudah masuk tingkat akhir, sedang menyusun skripsi dan terancam lulus hanya dalam waktu 3,5 tahun sehingga mulai jarang kumpul di Pocing.
Tak beda jauh dengan Tyas, Giri juga menjadi Ketua Himpunan saat baru tingkat dua sehingga tahun ini Ketua Himpunan masih ditangan angkatannya. Itulah yg membuat tongkrongan ini terkenal satu jurusan karena berisi mantan pengurus Himpunan di masa Tyas dan Giri.
“Terus nilai jual Panji apa Bim sampe lo ajak gabung kesini? Anak himpunan bukan. Ngambil sungai paling karena punya sks lebih, secara PK SDA cuma buka sedikit kelas tiap semester.” ujar Giri pada Bimo namun tetap menatap sinis kearahku.
“Gir, lo ama Tyas pernah gagal kan ngambil kelas Beton sama Tanah nyambung dan akhrinya ngajuin perubahan jadwal. Panji lolos dengan ngantongin nilai A di dua kelas itu.” sahut Bimo mempromosikan ku yg membuat anak-anak Pocing langsung menatapku seolah penasaran dan memiliki pertanyaan yg sama dengan Giri.
“How come?” tanya Giri heran.
“Gue denger Pak Soni itu kan mantan anak didiknya Pak Budi, dia pasti hormat dan respek ama Pak Budi. Jadi gue deketin Pak Soni buat minta dispensasi ikut kelas Pak Budi sampe akhir dengan bayaran siap ngerjain tambahan tugas apapun. Pak Soni akhirnya minta gue bantuin rekapan nilai dia tiap abis ujian, ngerjain paper tiap minggu dan yg paling penting sih gue bantu penelitian pengabdian masyarakat dia semester lalu tentang Rekayasa Irigasi Citarum.”
“Anak pejabat lo yah? Bisa dapet akses data Citarum gitu.” tembak Giri yg membuatku tertawa namun ia masih menatapku serius.
“Bukan, cuma waktu itu lagi deket ama temen yg Bokapnya kerja di Dinas PU Kota Bandung jadi dapet data dan ijinnya gampang.” jawabku yg salah tingkah.
“Temen? Andini?” tembak Giri tanpa basa-basi yg kujawab dengan anggukan kepala.
“Kalo ga salah, lo mantannya Andini yah?” lanjut Giri didepan anak-anak Pocing yg membuat mereka semua semakin kaget dan menatap ku tajam.
“Serius lo nji? Wah kampret juga lo, gercep ama barang bagus.” sahut Bimo seraya menempeleng kepala ku. Giri masih menatapku seolah meminta jawaban yg kurespon dengan menganggukan kepala.
“Udah selesai kan semuanya? Gue lagi deketin Andini sekarang, jadi no hard feeling dong.” lanjut Giri yg lebih terlihat mengancam dibanding meminta ijin.
“Aman.” jawabku singkat seraya tersenyum simpul.
Semenjak hari itu aku resmi diterima sebagai anggota tongkrongan Pocing walaupun tak pernah meminta untuk gabung kecuali karena dibawa oleh Bimo. Meski sekarang anak-anak Pocing sudah bukan pengurus himpunan serta lebih sering main PS di laptop milik Aldo dibanding belajar namun jangan salah mereka semua tak usah ditanya soal kuliah dan nilai karena tak ada satupun yg memiliki IPK dibawah 3. Keunikan lain ditongkrongan ini adalah tempat berkumpulnya kucing seantero kampusku karena ada Kucing (ini lagi nyebut Dito, kalo kucing beneran huruf k nya kecil) yg selalu membawa makan untuk kucing-kucing itu. Awalnya hanya Kucing sendiri yg membawa makanan tapi seiring waktu karena kucing-kucing tersebut menjadi ikon tongkrongan, mereka semua pun jadi patungan membantu Kucing untuk membelikan makanan para kucing. Ah repot banget sih cuma buat jelasin Kucing dan kucing-kucingnya.
Walaupun sudah diterima mereka, aku sendiri ikut kumpul di Pocing biasanya hanya selepas kelas Sungai karena selalu diajak oleh Bimo dan Aldo. Aku tidak begitu suka dengan ekslusifitas tongkrongan Pocing, ya ku akui semua prestasi mereka tapi buatku lebih asik nyambung kemana-mana sebagai kutu loncat dibanding hanya berteman dengan satu geng walau temanku di kampus pun ga banyak-banyak amat. Selain itu yg membuatku agak malas untuk ikut nongkrong di Pocing adalah Giri hampir selalu mengajak Andini apabila ada aku disana seperti sengaja ingin melihat reaksi ku. Jika sudah seperti itu aku biasanya ikut Kucing memainkan kucing-kucingnya, membersihkan telinga, memotong kuku juga mengelapnya bulunya dengan tisu basah. Mengingat aku selalu membantu merawat Choconya Clara bersama Mang Diman, hal ini tidak begitu sulit bagiku. Selama ada Andini, selama itu pula aku tidak akan ikut dalam obrolan anak-anak Pocing. Jika sudah begitu Kucing biasanya yg sadar dan sering meledek ku.
“Segitunya nji ngejauhin Andini.” tegur Kucing.
“Ga enak aja ama Giri.” jawabku mengelak dengan alasan menghormati senior.
Selanjutnya apabila Giri dan Andini pamit pulang, aku berlagak mengejar kucing yg lepas dari tanganku (padahal sengaja ku lepas) agar Andini tak perlu berpamitan dengan ku.
Kelakuan ku itu sepertinya terlalu terbaca oleh Bimo apalagi ketika minggu depannya selepas kelas Sungai aku sempat menolak diajak ke Pocing.
“Andini?” tembak Bimo ketika aku menolak ajakannya.
“Apaan sih mo, kagak ada hubungannya!” jawabku berbohong.
“Eh kupret! Lo pikir gue buta apa. Keliatan banget kalo lo ngehindar.” lanjut Bimo menghakimiku.
“Gue cuma ngehargain Giri.” elak ku agar Bimo tak perlu memperpanjang tuduhannya.
“Sepik! Lo pasti waktu itu putusnya kagak baik-baik kan?” ledeknya dengan wajah menuduh.
“Mana ada orang putus baik-baik mo.” sahut ku tertawa.
“Maksudnya lo masih cinta kan ama Andini?” tanyanya serius.
“Apaan sih mo. Gue udah punya pacar, Andini juga udah punya Giri.” jelasku pada Bimo yg diresponnya dengan tatapan tak percaya.
“Giri ama Andini kan belom jadian.” sahut Bimo yg kurespon dengan menatapnya heran.
“Nah justru kalo gitu untuk saat ini gue lebih baik menghindar kan mo?” timpalku yg membuat Bimo hanya menggelengkan kepala namun akhirnya ia pun membiarkan ku untuk tidak ikut dengannya ke Pocing.

Tak terasa sebulan perkuliahan telah berlalu, aku masih sesekali ke Pocing namun biasanya hanya ketika Giri sedang ada kelas untuk menghindari bertemu dengan Andini. Jadi untuk saat ini kehidupan di kampus dan hubungan dengan Andini masih aman terkendali sesuai janjiku padanya.
Sementara itu hubungan ku dengan Clara dan Helen pun masih baik-baik saja terutama semenjak kejadian putusnya Angga dan Helen yg membuat kami jadi baikan setelah sebelumnya sempat bertengkar. Helen bahkan sudah tak sungkan bermanja denganku didepan Clara, hal itu terjadi tepat saat kepulangan Clara dari London dimana aku dan Helen berdua menjemputnya.
Clara yg saat itu pulang sendiri lebih dulu karena Ayah dan Ibunya extend di London berlari kearahku ketika keluar dari Terminal 2F dan langsung memeluk ku, tak lama ia pun langsung melompat kearah Helen untuk berpelukan serta meminta maaf tidak bisa menemaninya saat putus dengan Angga.
“Gak apa-apa non, toh gue sekarang juga udah punya pacar baru. Panji. Kita udah jadian loh.” sahut Helen seraya merangkul lenganku yg direspon Clara dengan menatap wajah kami berdua heran seraya mengerutkan dahinya. Aku melihat kearah Clara sambil menganggukan kepala seolah memberi kode padanya untuk mengikuti saja maunya Helen yg dibalas Clara dengan tersenyum.
“Iya Panji pacar elo ci, tapi kalo lo udah dapet yg baru balikin ya Panjinya ke gue.” balas Clara seraya merangkul lengan Helen dan berjalan berdua kearah parkiran diikuti olehku dengan membawa koper Clara.
“Enak banget yah Panji punya dua, cantik cantik, akur lagi.” respon Helen yg membuatku hanya bisa menggelengkan kepala.
“Makannya buruan cari yg baru.” jawab Clara yg membuat Helen manyun.
“Emang gampang, batuin cariin dong non.” pinta Helen seraya menyandarkan kepalanya pada Clara.
“Elo itu cantik baik pinter banyak yg mau sayang.” sahut Clara memuji Helen.
“Supel, seru, lucu, asik, royal lagi suka nraktir.” tambahku memuji Helen yg berjalan disamping Clara sambil tertawa.
“Buktinya ditinggal Angga.” jawab Helen seolah menggunakan kata-kataku yg dulu kulontarkan padanya saat membandingkan ku dengan Adit.
“Angganya aja yg lagi bego. Udah pokoknya ntar dicariin.” ujar Clara berjanji pada Helen.
“Yang kaya Panji ya non.” pinta Helen pada Clara seraya berganti merangkulnya dan tersenyum penuh arti.
“Yang lebih malah ci.” tutup Clara dan kami pun menaiki mobil untuk kembali ke rumah Clara meski sempat mampir ke Mall untuk makan malam.
Semenjak hari itu aku dan Clara seperti mak comblang yg menyuruh Helen untuk ngedate dengan teman kuliah atau senior-senior yg dulu sempat mendekatinya. Biasanya setelah ngedate, Helen selalu melaporkan hasilnya padaku dan Clara yg bisa dibilang hingga hari ini belom ada yg bisa meluluhkan hatinya.
Seperti sore ini, selepas kelas aku yg sedang di kantin ditelepon oleh Helen yg melaporkan kencannya siang tadi dengan teman satu angkatannya.
“Gimana sayang kencannya?” sapaku ketika menerima telepon dari Helen.
“Ah bikin ilfil beb!” sahutnya protes.
Ya semenjak diijinkan Clara menjadi pacar sementara kami saling memanggil dengan panggilan sayang yang tentu Clara tau akan hal ini dan membiarkannya. Entah kenapa kedewasaan Clara saat itu membuat hatiku jatuh cinta pada kepribadiannya bukan lagi tentang paras cantiknya, meski tentu hingga hari ini Clara adalah wanita tercantik yg pernah hadir dalam hidupku. Tapi kali ini ia membuatku jatuh Cinta dengan cara yg berbeda, aku sangat beruntung memilikinya. Meski tak bisa kupungkiri, rasa terhadap Andini didalam hati ini masih juga belom hilang. Namun biarlah dan bersabarlah, mungkin seiring berjalannya waktu serta melihat kedekatan Andini dengan Giri perasaan ini akan segera menghilang cepat atau lambat. Sekarang kembali lagi ke masalah Helen.
“Kenapa lagi yg ini?” tanyaku tertawa sambil mengaduk Batagor pesananku.
“Sok tau, sok pinter, sok paling paham semuanya. Mending bener, kagak!!” gerutu Helen yg semakin membuatku tertawa.
“Jahat ih malah diketawain.” rengek Helen.
“Udah sebulan, udah belasan cowo ngajak lo ngedate. Ada aja salahnya di mata lo yang. Sabar kali jgn cuma sekali ngedate langsung nolak, proses sayang proses.” saranku pada Helen yg sepertinya tak direspon olehnya.
“Yg bisa bikin gue luluh itu cuma Angga! Sama elo beb.” keluh Helen dengan nada manja.
“Cowo yg dulu lo cerita waktu di bar siapa? Tio yah? Tio gimana?” tawarku mengalihkan keluhan Helen.
“Ga mau!” ketusnya singkat.
“Kenapa sayang?”
“Ngeselin anaknya tau ga beb! Sok iye, sok ganteng. Ganteng sih. Tapi engga banget deh.” jelas Helen dengan nada kesal.
“Sip! Perfect!” sahutku singkat.
“Ko perfect sih? Pale lo perfect beb!” ujar Helen protes.
“Kata Regas, orang yg paling bikin kita kesel paling gampang bikin kita jatuh Cinta!” ucapku memberikan saran pada Helen seperti yg Regas pernah ucapkan padaku.
“Emang dulu awalnya Clara bikin lo kesel?” tembak Helen.
“Andini pernah.” jawabku reflek yg membuatku sadar akan sesuatu.
“Maksud lo beb?” lanjut Helen penasaran.
“Eh sori ci, Clara nelepon nih lanjut nanti yah.” pamitku pada Helen.
“Yaaah nasib jadi pacar kedua.” keluh Helen merengek.
“Makannya coba kontak Tio lagi, good luck honey.” tutupku pada Helen dan berganti mengangkat telepon Clara.
“Halo sayang.” sapaku saat membuka telepon dari Clara yg saat ini sedang membuatku jatuh cinta dan selalu merindukannya.
“Boooo lama banget ngangkatnya.” protesnya manja.
“Helen tadi nelpon ra, lagi curhat biasa hasil kencannya.” jelasku pada Clara.
“Oh iya tadi Helen juga udah cerita sama aku. Gantian dong sekarang aku yg curhat.” jawab Clara dengan nada lemas yg membuatku mengerutkan dahi.
“Kenapa sayang?” timpalku singkat karena penasaran menunggu jawaban Clara.
“Jangan marah ya bo? IP aku semester kemaren jelek, ada yg ga lulus satu mata kuliah.” jelas Clara dengan nada lirih seakan ingin menangis.
“Apa yg ga lulus ra?”
“Anatomi bo.” jawab Clara yg akhirnya terdengar mulai menangis.
“Hey Clara sayaaaang. Hey ra udah dong jangan nangis kan cuma satu. Sisanya kan lulus.” ujarku mencoba menghiburnya.
“Ga bo. Itu masih yg dasar gimana nanti. Aku ga kuat bo. Aku ga pantes kuliah disini. Aku bisa disini karena kamu, g ada kamu aku bego bo!” lanjut Clara yg masih terus menangis.
“Siapa yg bilang kamu bego? Aku tonjok sini. Percaya sama aku sayang kalo kamu bisa. Aku janji bakal bantu kamu, tapi kamu janji yah maju terus!” sahutku berharap bisa membuat Clara tenang.
“Caranya? Kamu sendiri yg bilang ga bisa bantu aku lagi.” rengek Clara manja yg membuat ku sangat ingin memeluknya sekarang.
“Kirim buku anatomi kamu nanti aku pelajari. Sama mungkin satu lagi di semester ini yg menurut km berat apa? Kirim ke Bandung.” tawarku yg kupikir meski sulit, aku pantas mencobanya demi Clara.
“Ko cuma satu? Sisanya?” sahut Clara yg sepertinya tak puas.
“Satu-satu ya sayang, nanti kalo otak aku masih nampung kamu kirim lagi sisanya.”
“Beneran? Makasih ya bo. Lucky I’m in love with you.” jawab Clara yg terdengar mulai sedikit terhibur.
“Anything for you dear.” jawabku yg merasa sedikit lega saat ini, namun tentang membantunya aku sendiri masih wondering sanggup atau tidak. Well, ga ada salahnya nyoba daripada tidak sama sekali. Tak lama setelah mengobrol hal lain Clara pun pamit mengakhiri teleponnya sore itu.

Tiga hari setelah telepon dari Clara, buku yg ia kirimkan pun akhirnya sampai ke kosan ku. Setelah kelas Rekayasa Hidrologi hari itu, aku ke kantin makan siang sambil membaca buku Gastrointestinal yg Clara kirim. Namun saat sedang fokus membaca, seseorang muncul dihadapanku dan mengagetkan ku.
“Halo mata empat!” sapa Kak Sinta yg tiba-tiba ada didepan mejaku.
“Kampret! Kak Sinta? Ko bisa disini sih!?” respon ku yg kaget melihatnya.
“Kaget ya? Hahaha.” sahutnya tertawa puas yg bahkan tak menjawab pertanyaanku.
“Ngapain ih! Jangan bikin gue panik deh!!” tanyaku lagi serius tak memperdulikannya yang asik tertawa. Kedatangannya tiba-tiba ke Bandung saat itu jujur membuatku takut ada kabar buruk tentang keluargaku di Jakarta.
“Apaan sih lo lebay!” jawab Kak Sinta yg masih asik tertawa.
“Ya panik lah ga ada angin ga ada hujan lo tiba-tiba kesini? Ngapain coba? Papa Mama ga apa-apa kan?” ujarku memasang wajah serius.
“Papa Mama baik-baik aja lah Panjul! Parno deh. Gue kesini ada panggilan interview.” jelasnya seraya mengambil sendok ditanganku dan menyuap nasi goreng pesananku.
“Ya ampun Kak kirain apa bikin panik aja. Tapi lo ngapain sih nyari kerja doang sampe ke Bandung. Kasian Mama kak ditinggal lagi.” ujarku protes pada Kak Sinta.
“Namanya juga usaha sih nji, bukannya doain kakak mu yg cantik, baik hati dan tidak sombong ini biar cepet dapet kerja.” rengek Kak Sinta yg kurespon dengan melempar sedotan kearahnya.
“Ya tapi kan ga di Bandung juga kali kak, kasian Mama. Di Jakarta emang ga ada apa.”
“Bukannya ga ada, tapi belom dapet. Gue juga pengennya di Jakarta kali.” jawab Kak Sinta sambil memainkan sedotan yg kulempar padanya tadi.
“Terus ini sekarang lo udah selesai interview apa gimana sih?” tanyaku pada Kak Sinta.
“Besok pagi interviewnya, lo hari ini sampe jam berapa? Selesai kuliah anter gue liat kantornya ya, terus kasih tau naik apa biar besok ga telat.” pintanya cerocos panjang lebar.
“Emang jam berapa sih lo besok?”
“Pagi jam 8.” jawab Kak Sinta singkat.
“Gue besok kuliah jam 10 ko, nanti gue anter aja.” tawarku yg membuat Kak Sinta kegirangan.
“Thank you adeku sayang.” sahutnya seraya mencubit pipiku.
“Terus nanti malem lo tidur dimana?” lanjutku bertanya pada Kak Sinta.
“Papa ngasih uang buat hotel sih, tapi gue nebeng tempat lo aja ya hehe lumayan hemat uangnya bisa gue tabung.” jawabnya cengengesan yg membuatku menggelengkan kepala.
“Maklumin napa nji, gue malu tau kalo minta duit mulu ke Papa Mama.” lanjut Kak Sinta. Sepertinya Kak Sinta sedang mengalami post graduate syndrome, ya anggap saja itu sebuah sebutan untuk penyakit dengan gejala minder setelah lulus karena masih belum mendapat pekerjaan dan aku tentu memahami itu.
“Iya bawel. Ya udah mau makan ga?” tawarku padanya.
“Mau dong. Apaan yg enak disini?”
“Soto Bandung? Mie Kocok Bandung?” lanjutku memintanya memilih.
“Mie Kocok boleh nji, pedes yah.” pinta Kak Sinta yg kujawab dengan mengangguk seraya bangkit untuk memesan.
Begitu kembali ke meja, Kak Sinta sedang memperhatikan buku Gastrointestinal milik Clara dengan wajah heran.
“Punya Clara?” tembaknya ketika aku kembali duduk yg kurespon dengan menganggukan kepala.
“Ko bisa di lo nji?” lanjutnya yg masih penasaran.
“Clara ngerasa keteteran sama kuliahnya, gue nyoba bantu.” jelasku pada Kak Sinta yg ia balas dengan mengangguk.
“Gue kira lo mau pindah..” belum selesai Kak Sinta mengakhiri kalimatnya segera kupotong karena aku tahu kemana arah pembicaraanya.
“Udah deh kak ga usah dibahas.”
“Mau sampe kapan sih lo kaya gini nji?” lanjutnya tak memperdulikan permintaanku.
“Kak please, udah lewat juga. Gue baik-baik aja dengan kuliah gue. Tinggal 5 semester lagi. Udah cukup ini jadi 5 semester terakhir Papa Mama ngebiayain hidup gue.” jawabku dengan nada ketus.
“Kenapa sih lo masih ngerasa kaya gini nji? Apa yg pernah terjadi dulu itu bukan pilihan lo nji. Papa sama Mama..” lanjut Kak Sinta yg lagi-lagi kupotong karena ucapannya semakin membuatku enggan melanjutkan pembicaraan ini.
“Kak cukup, atau gue cabut.” ancamku pada Kak Sinta yg diresponnya dengan menghela nafas dan menganggukan kepala tanda setuju untuk mengakhiri pembahasan kami saat itu.
Seusai makan sambil ngobrol ngalor ngidul dengan Kak Sinta tentang kegiatan sekembalinya ia ke Jakarta termasuk hubungannya dengan Farid yg dijawabnya masih baik-baik saja, akhirnya kami pun berjalan menuju parkiran untuk lanjut mengantar Kak Sinta.
“Pake nih kak.” ujarku memberikan topi padanya.
“Buat apaan?” tanyanya heran namun tetap mengambil topi itu meski hanya dilihat dan dibolak-balik olehnya.
“Hari ini lo cantik, buat nutupin. Nanti satu kampus ngira gue jalan sama pacar lagi. Nurunin pasaran gue disini lo!” pujiku sekaligus meledeknya seraya tertawa.
“Sialan lo! Heh inget udah punya Clara juga. Masih aja pengen keliatan jomblo, bandel yah. Gue aduin lo.” sahutnya sambil mencubit bahuku dan diikuti tawa kami berdua. Aku pun mengarahkan motor ini ke selatan melewati Jalan Layang Pasupati untuk menuju Setiabudi melihat lokasi interview Kak Sinta besok.

Esoknya setelah mengantar Kak Sinta, aku lanjut ke kampus yg kebetulan hari itu adalah jadwal kelas sungai sehingga bertemu Bimo dan Aldo. Sesampainya di kelas Bimo menarik ku kepojokan kelas padahal biasanya kami selalu mengambil bangku barisan depan.
“Apaan sih mo.” protesku padanya yg mendadak menarik baju ku saat menyapanya di kelas.
“Heh pacar ke Bandung ga dikenalin ke kita-kita sombong lu! Anyway cantik banget njir cewe lu, ga heran sih lo biasa aja kehilangan Andini kalo gantinya model begitu.” cerocos Bimo panjang lebar dengan muka mesumnya yg membuatku mengerutkan dahi.
“Pacar? Siapa? Mimpi lo mo!” sahutku menanggapi Bimo.
“Belaga bego! Yg kemaren di kantin terus pulang berduaan. Cewe yg pake kaos ama outer kemeja kota-kotak.” jelas Bimo yg membuat ku mengeplak kepalanya.
“Itu Kakak gue kampret!!” jawabku ketus.
“Serius nji? Anjir ga bilang punya Kakak cantik, kenalin dong.” responnya ngarep yg membuatku menggelengkan kepala.
“Ogah!” balasku sambil tertawa meledek Bimo.
“Sialan lo! Emang gue sejelek itu apa. Kuliah dimana doi?” lanjut Bimo yg belom puas.
“Emang! Udah lulus, udah lah masa doi bukan ama mahasiswa lagi.” jelasku berharap Bimo menyudahi pertanyaannya tentang Kak Sinta yg membuatnya manyun seperti Mandra dan ku respon dengan tawa.
“Oh iya Giri besok ngadain party rayain anniv satu tahunan Pocing. Dateng lu!” ajak Bimo yg membuatku berpikir sejenak dan akhirnya mengangguk meski sebenernya males.
“Ajak Kakak lo ya?” pintanya yg belom selesai dan ku balas dengan mengacungkan jari tengah.
“Udah balik lagian juga sore ini nanti gue anter.” tambah ku agar Bimo tak lagi berharap.
“Ya kalo gitu ajak cewe lo.” lanjutnya meminta lagi.
“Emang kenapa?” tanyaku heran.
“Aturannya begitu. Mesti bawa pasangan.” jelas Bimo yg membuatku menghela nafas panjang.
“Kalo ga punya pacar gimana?”
“Kan lo punya.” timpal Bimo.
“Tapi kan dia di Jakarta mo.” balasku dengan nada malas.
“Jakarta itu bukan Papua Nugini. Ga usah drama lo!” sahutnya seraya berbalik kearah depan kelas karena Dosen sungai sudah datang dan membuka kelas kami.
Entah kenapa aku kesal mendapat undangan dari Giri saat itu, terutama pada aturan yg mengharuskan membawa pasangan. Itu sama saja mempertemukan Clara dan Andini diwaktu yg bersamaan ketika Clara belakangan ini padahal sudah lupa dengan Andini karena masalah Helen dan juga kuliahnya yg sedang perlu perhatian lebih. Namun aku merasa tertantang, seperti undangan perang terbuka aku akan meladeni permainan Giri.
“Menurut lu gimana? Gue ajak Clara?” tanyaku pada Helen ditelepon selepas kelas sungai.
“Gila lo yah nji, percaya ama gue bakal brabe! Inget sampe hari ini Clara ga tau lo pernah jadian ama Andini.” jawab Helen protes bahwa mengajak Clara ke acara dimana ada Andini disana bukanlah ide yg baik.
“Tapi kemaren mereka berdua pernah ketemu dan Clara percaya kalo kita cuma temen.” jelasku pada Helen.
“Ya bagus lo bisa selamet waktu itu. Jadi udah cukup ga usah ditemuin lagi. Lagian biar apa sih ngajak Clara?” jawab Helen yg masih tak setuju dengan ide ku.
“Gue mau nunjukin ke mereka aja kalo gue udah punya pacar, jadi mereka ga perlu lagi nganggep gue masih punya hati ama Andini.” ujarku mencoba menjelaskan pada Helen alasanku mengajak Clara.
“Ga penting banget sih nji!! Lo ga perlu segitunya cuma buat nunjukin udah move on! Cukup dari sikap lo!!” tegas Helen yg seakan sudah bulat melarangku membawa Clara.
Akhirnya aku pun mengiyakan perintah Helen seraya pamit menutup teleponnya namun entah mengapa untuk kali ini aku ingin mengikuti pemikiran ku sendiri tetap mengajak Clara ke acara itu. Setelah yakin dengan keputusanku, aku pun menelepon Clara untuk mengajaknya ke Bandung akhir pekan ini menghadiri undangan dari anak-anak Pocing.
“Gimana bisa ra? Sekalian bulan ini kan giliran kamu ngunjungi aku ke Bandung.” tanyaku meminta persetujuan Clara.
“Hmm boleh sayang, udah lama juga ga ketemu Andini.” jawab Clara menyanggupi undanganku yg sempat menjelaskan akan ada Andini juga disana.
“Ko malah Andini, emang ga kangen apa sama cowonya.” rengeku tak terima.
“Ya pasti dong keboku sayaaang. Sabtu pagi aku jalan bawa mobil, ketemu di kampus kamu yah.” tutup Clara mengakhiri telepon kami siang itu. Aku menghela nafas panjang berharap keputusan ku ini akan membuat semuanya baik-baik saja.
Hari itu selepas kuliah aku lagi-lagi absen ke Pocing karena untuk kembali menjemput Kak Sinta dari tempat interview dan mengantarnya ke pick up point travel langgananku untuk kembali ke Jakarta.
“Makasih ya nji, jaga diri lo.” pesan Kak Sinta ketika akan menaiki travelnya yg segera berangkat.
“Iya. Hati-hati kak. Salam buat Mama, bulan depan Panji pulang.” sahutku yg diresponnya dengan mengangguk saat mau berjalan, Kak Sinta kembali menoleh kearahku.
“Gue percaya lo bisa jadi the bestnya seorang Panji dimanapun, tapi bahagia itu adalah ketika lo bisa do what you love. Gue mau lo bahagia nji.”
“And love what you do. Lo ga usah khawatir. Gue bahagia Kak.” jawabku tersenyum yg dibalas senyum juga oleh Kak Sinta dan ia pun berbalik naik ke mobil mini bus tersebut sambil melambaikan tangan kearahku.

Sesuai janji, hari sabtu malam aku sudah di lobby hotel tempat Clara menginap untuk menjemputnya. Kami tidak jadi bertemu di kampus karena sore itu Clara terkena macet sehingga ku pinta ia langsung ke hotel saja dan mengatakan akan menjemput ia disana. Tak lama kemudian wanita cantik itu pun keluar pintu lift dengan berbusana blouse navy lengan panjang dipadu rok selutut sewarna yg membuatnya sangat anggun.


Ilustrasi Clara

“Hey ko bengong.” tegur Clara kepadaku yg memang masih takjub melihat dandannya malam itu.
“Baru tau di Bandung ada pintu surga yg lagi dibuka, bidadarinya lepas nih satu didepan aku.” gombalku yg dibalas Clara dengan tawa dan mencubit bahuku.
“Gombal! Ayo jadi jalan ga?” sahutnya lagi padaku yg masih menatap kagum seraya menyerahkan kunci mobilnya.
“Yuk.” ajak ku yg mengambil kunci mobil dari tangannya seraya merangku lengannya.
Kami pun berjalan ke mobil yg terparkir tak jauh dari lobby dan segera kuarahkan mobil ini menuju Dago Atas tempat perayaan anniv satu tahunan Pocing.
Sesampainya disana aku mengandeng Clara masuk menuju Cafe dan langsung ke lounge khusus yg dipesan hanya untuk anak-anak Pocing. Kami disambut oleh Bimo yg sepertinya takjub melihat ku membawa wanita yg lebih cantik dari Kak Sinta, padahal menggandeng Kak Sinta saja sudah membuatnya kesal padaku.
“Kampret punya pelet apaan sih lu!!” bisik Bimo ditelingaku yg menarik ku saat aku memperkenalkan Clara padanya.
“Nanti gue ajarin.” ledeku padanya yg dibalas dengan memukul perutku.
“Silahkan nona cantik, dinikmati acaranya. Kalo Panjinya nanti sibuk saya siap nemenin ko.” goda Bimo pada Clara yg kurespon dengan balik menonjok bahunya.
“Iya makasih Bimo.” sahut Clara dengan tersenyum manis yg membuat Bimo salah tingkah.
Aku pun segera pamit pada Bimo untuk bertemu dengan anak Pocing yg lain, jujur saja respon Bimo malam itu membuatku over confident membawa Clara ke acara ini seakan siap mengajak Giri perang terbuka dengan menunjukan padanya bahwa Clara jauh lebih baik dibanding Andini. Entahlah setan mana yg menyesatkan jalan pikirku saat itu.
Setelah bertemu dengan Kucing, Aldo dan beberapa anak Pocing, lalu akhirnya waktu yg paling ku nanti tiba yaitu memperkenalkan Clara dengan Giri. Aku pun menghampirinya yg sedang berdiri bersama Andini dan satu lagi wanita yg kutebak pasti Tyas.
“Happy Anniversary! For Pocingnya.” sapa ku yg kutunjukan untuk Giri dan Tyas sebagai founding fathernya tongkrongan ini.
“Wah Thank You nji, ini dia yg ditunggu akhirnya datang. Yas, Panji anggota baru kita yg tempo hari gue ceritain.” ujar Giri menyambutku seraya memperkenalkanku pertama kalinya dengan Tyas.
“Tyas. Nice to meet you Nji. Gue udah denger cerita lo, dan gue appreciate banget sama pencapaian lo di kampus ini. Welcome to the club!” puji Tyas seraya memperkenalkan dirinya padaku.
“Panji. Kebetulan aja ko, ada yg bantuin.” jawabku yg memang maksudnya adalah mengapresiasi bantuan Andini secara tersirat.
“Oh iya kenalin Clara.” lanjutku memperkenalkan Clara pada Giri dan Tyas. Malam itu aku baru sadar bahwa yg membawa pasangan hanya aku dan Giri, namun sekali lagi pikiran ku masih dalam euforia bangga memperkenalkan wanita secantik Clara sebagai pacarku kepada anak-anak Pocing.
Clara pun bersalaman dengan Giri dan Tyas serta lanjut saling melempar senyum pada Andini yg berada didepannya diikuti dengan cipika cipiki keduanya.
“Apa kabar cantik.” ujar Clara pada Andini.
“Baik ko.” jawab Andini singkat.


Ilustrasi Andini

Aku sendiri hanya membuang muka tak ikut Clara menyapa Andini, bahkan sibuk memuji acara malam itu pada Giri dan Tyas.
“Enjoy the night.” ujar Giri mempersilahkan kami untuk menikmati acara dan aku pun menarik tangan Clara menuju mini bar untuk mengambil minuman. Aku cukup lega pertemuan Clara dan Andini tadi berlangsung normal sesuai harapanku. Aku pun lanjut meminta Chocolate Liquor sedangkan Clara kupesankan Midori untuk ikut menikmati malam ini.
“Ada alkoholnya tapi dikit ko.” ujarku pada Clara yg terihat ragu dengan minumannya.
“Kamu sering minum gini?” selidiknya yg curiga pada ku.
“Low alkohol aja ko ra, kalo lagi nemenin Erik.” jawabku sedikit berbohong yg direspon Clara dengan wajah cemberut seolah tak suka. Saat Bimo lewat dihadapan kami, aku segera pamit sebentar pada Clara dan menarik Bimo.
“Apaan sih nji.” protes Bimo padaku.
“Heh! Lo bilang acaranya wajib bawa pasangan. Kenapa cuma gue yg bawa!!” protesku seolah tak terima yg ia malah respon dengan tertawa. Aku mencoba mencari tahu mengapa Bimo bisa memintaku untuk membawa pasangan.
“Gue bercanda kemaren tapi ternyata lo seriusin.” balasnya yg masih cengengesan dan kubalas dengan menonjok bahunya.
“Sialan lo! Jadi kaya sok jagoan gue bawa cewe sendiri.” timpalku pada Bimo karena kupikir ia disuruh Giri agar memintaku membawa pasangan.
“Kan Giri juga bawa Andini. Lumayan jadi ada dua pemandangan bening malam ini, daripada Tyas doang bosen gue.” ucapnya berbisik padaku.
“Eh kampret! Jangan samain gue ama Giri, dia mah yg punya Pocing wajar bawa orang luar. Lah gue?” balasku dengan nada tinggi namun tetap berbisik. Pokoknya aku benar-benar protes pada Bimo karena undangan membawa pasangan ini tak sesuai pemikiranku namun ia hanya tertawa dan memintaku untuk tidak terlalu memikiran hal tersebut.
Aku pun kembali ketempat Clara berdiri sendirian yg sedang memainkan gelas Midorinya seakan ragu untuk meminumnya.
“Ya udah kalo ga mau, ga usah diminum ra. Pegang aja.” tegurku padanya yg dibalasnya dengan mengangguk.
“Kamu abis ngapain ama Bimo?” tanya Clara yg sepertinya penasaran dengan pembicaraan ku dengan Bimo tadi.
“Cuma protes kenapa ga ada orange juice.” jawabku asal berkilah menutupi obrolan tadi dengan Bimo yg direspon Clara dengan anggukan.
Tak lama kemudian Giri pun mengambil mic lalu berdiri didepan layar dimana kami semua menghadap kearahnya dan ia pun membuka acara kami malam itu dengan mempersilahkan Tyas yg dianggap sebagai ketua Pocing untuk memberikan sambutannya. Tyas mengucapkan terimakasih dan beberapa kata klise sebagaimana layaknya pembukaan sebuah sambutan serta sesekali bercanda yg membuat kami tertawa, Clara pun terlihat enjoy malam itu menikmati acara.
Hingga akhirnya Giri kembali mengambil alih mic, mengucapkan terima kasih dan resmi membuka acara ini dengan menarik tutup botol Champagne yg diiring sorakan anak-anak Pocing. Kami yg saat itu padahal hanya berduabelas serasa seperti bertigapuluhan karena saking hebohnya menyambut pembukaan Giri. Namun sesuatu yg aku khawatirkan akhirnya datang, tak lama setelah menenggak Champagne dengan Tyas, Giri kembali meminta perhatian semua anak-anak Pocing dengan berteriak.
“Gue punya satu lagi berita baik buat kalian! Malem ini didepan kalian yg bakal jadi saksi, gue dan Andini udah resmi jadi jadian yeay!!” teriak Giri girang sambil mengajak semua orang bertepuk tangan. Mendengar hal itu aku hanya bisa terdiam memandang lirih kearah mereka berdua. Hari dimana aku benar-benar kehilangan Andini, bukan hanya sosoknya tapi posisiku dihatinya sudah digantikan oleh seseorang bernama Giri. Andini yg diminta olehnya maju kedepan bersamanya, terlihat salah tingkah namun dengan cepat cair karena diiring keceriaan anak-anak Pocing yg menyoraki mereka.
“Bo? Are you okay?” tegur Clara mengagetkan ku yg melamun.
“Yap, I’m okay ra.” jawabku seraya menoleh kearahnya dan tersenyum. Clara menatapku penuh arti, seakan ia bisa membaca diriku yg patah hati. Aneh rasanya, mataku seakan mengadu padanya tentang sakit yg sedang kurasakan dan dibalas dengan tatapan lembut serta senyuman manis layaknya seorang malaikat penghibur duka.
“Gue harap Panji bisa mengikhlaskan mantannya yg udah bahagia ama gue.” teriak Giri yg membuat aku dan Clara langsung menoleh kearahnya. Aku shock mendengar ocehannya dan hal itu tentu membuat Clara jauh lebih terkejut daripada aku karena hal yg selama beberapa bulan ini aku sembunyikan darinya akhirnya terungkap serta yg membuat keadaan lebih buruk adalah ia mengetahuinya bukan dari lisanku. Aku hanya terdiam tak tau harus berbuat apa dan masih tak percaya atas apa yg sudah kudengar tadi. Giri yg saat itu terlihat mulai sedikit dipengaruhi alkohol mengeluarkan lagi kata-kata yg semakin membuat suasana malam itu antara aku dan Clara rusak dengan sempurna.
“Buat nona cantik yg sekarang menemani Panji, tolong ya dijaga cowonya. Kita berdua ga mau kan Pocing malah jadi tempat mereka CLBK! Hahahaha.” lanjut Giri yg semakin keterlaluan dan tidak melihat situasi. Tyas pun terlihat menariknya untuk kembali duduk dan Clara tiba-tiba pergi dari sampingku meninggalkan Cafe ini.
“Ra tunggu.” teriak ku yg segela menyusul Clara keluar Cafe. Aku berhasil mengejar Clara ketika tepat diparkiran.
“Ra tunggu.” sahutku lagi seraya menarik tangannya dan berhenti seraya berbalik kearahku dengan wajahnya yg memerah.
“Temen kamu itu keterlaluan tau ga!!” ujar Clara ketus dengan nada tinggi.
“Iya aku tau.” belum sempat aku menyelesaikan kalimatku Clara memotong dan kembali mengomel.
“Ga pantes! Ga lucu!! Aku ga suka!! Tapi kamu, kamu jauh lebih keterlaluan!! Aku kecewa sama kamu ternyata selama ini ga pernah jujur tentang Andini.” lanjutnya memaki dengan mata yg mulai berkaca-kaca.
“Iya oke tapi kamu tenang dulu.” pintaku padanya sambil menggemgam kedua tangan Clara.
“Aku emang terlalu bego dan buta melihat kedekatan kalian cuma sebatas temen.” ucap Clara yg mulai meneteskan air matanya seraya melepaskan tanganku.
“Ra ga gitu, aku bisa jelasin.” ujarku memohon padanya agar mau mendengarkan penjelasan dariku.
“Cukup bo. Aku mau pulang.” tolaknya yg sepertinya masih enggan mendengar penjelasanku.
“Oke kita pulang, tapi aku anter yah.” jawabku menyanggupi dan menuntunnya masuk ke mobil.
Sepanjang perjalanan Clara lebih banyak diam dan hanya terdengar sesegukan menangis, beberapa kali aku membuka omongan untuk menjelaskan tentang Andini namun selalu ditolaknya.
“Cukup bo! Bisa ga nanti aja bahasnya.” jawabnya ketus yg respon dengan anggukan.Bahkan ketika sampai di hotel, Clara meminta aku meninggalkannya karena ia ingin sendiri.
“Please, aku bisa jelasin ra.” pintaku lagi pada Clara.
“Aku gapapa bo. Cuma butuh waktu sendiri aja.” jelasnya yg masih menangis.
“Oke kalo gitu besok pagi aku kesini lagi yah.” pintaku yg dibalasnya dengan mengangguk seraya menyuruhku membawa mobilnya mengingat malam sudah cukup larut dan kuturuti.
Rasanya aku ingin memacu mobil ini kembali ke Dago dan mendatangi Giri untuk memukul wajahnya namun aku yakin itu hanya akan memperburuk suasana terlebih Clara pasti akan geram jika dirinya tahu aku berkelahi. Persetan dengan Pocing, sudah cukup aku berpura-pura menjadi bagian dari mereka.
“Ternyata lo lebih bego dari gue ya nji!” tegur Erik padaku yg kutemui saat itu setelah mengantar Clara, aku tidak mungkin pulang ke kosan dalam kondisi pikiran seperti ini sehingga akhirnya menemui Erik di Clubnya yg kebetulan sudah selesai perform.
“Nemuin pacar sama mantan, mending mantan sebelum pacar lah ini mantan selingkuhan pas masih pacaran ama Clara. Apa namanya kalo bukan bego!” lanjut Erik mengomel padaku.
“Gue pikir ga bakal begini jadinya.” jawabku lemas yg pasrah akan keadaan.
“Apalagi lo baru kenal ama Giri, masuk tongkrongannya. Sama aja kaya jagoan yg sok ngajak berantem orang di markasnya!” ujar Erik yg tak berhenti mengomeliku.
“Iya gue salah. Terus sekarang gimana?” jawabku ketus karena protes pada Erik yg tak henti menyalahkanku namun tak kunjung memberikan saran.
“Udah mending lo balik sekarang, besok temuin Clara lagi. Dia masih ngasih lo kunci mobilnya artinya dia masih khawatir ama lo, cuma emang lagi butuh waktu buat nenangin dirinya yg kecewa aja kali.” saran Erik padaku yg kuakui ada benarnya, aku cukup lega ketika tadi Clara masih memintaku untuk membawa mobilnya karena khawatir dan mengijinkanku besok untuk menemuinya lagi serta masih memanggilku dengan sebutan kebo.
“Emang kalo disini kenapa?” tanyaku pada Erik yg penasaran mengapa ia mengusirku.
“Nanti mabok malah kesiangan, makin panjang urusannya. Udah sana balik!!” perintah Erik yg akhirnya kuturuti.

Malam itu hanya karena gengsi, aku sukses menjadikan Clara sebagai korban keegoisan ku.


Bersambung.
 
Hahahaha,,mau emosi dy cm cerita...tp t nilai plus bwt ts bs memancing emosi pembaca merupakan nilai terbaek dr sebuah cerita..mantap suhu
 
Dan sepertinya akan berimbas ke hubungan tek-tokan panji, clara, dan helen. Awalnya retak rambut lama-lama menjadi pecah dan ambrol tanpa bisa di bendung lagi. Selamat datang masa kelam, selamat tinggal angan-angan lulus 5 semester lagi.
 
Bimabet
wahh gilaa senior gue nihhh, gue 2008, maha benar bandung dengan segala kenangan nya, pasti gue pernah liat lo bang, kita sejurusan hehe hormat bang
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd