Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Wishing Upon A Shooting Star

maaf om, baru bisa baca sekarang, kritik saran dari ane belom ada, hehehehe..

oiya atu lagi, om pernah jadi cewek ya? ato om lagi otw jadi cewek? berasa banget aura ceweknya di cerita ini?

____:ngacir:
Yakin TS yang bikin POV cewek di forum ini semua real cewek?
:kretek:
 
Chapter 2


The Other Side Of Me.


Suasana kantin cukup ramai. Aku bersama kedua teman sedang bersenda gurau menceritakan kerjaan kami sejak pagi hingga saat ini. Celotehan mereka berdua mengarah ke satu pembahasan, keluhan karena kondisi toko yang cukup ramai.

Hypermart Mantos menjadi salah satu pilihan konsumen untuk menghabiskan cash dalam dompet di saat weekend seperti ini.

Hal yang sebetulnya tak aku inginkan jika mendapat giliran shift pagi, yang biasanya paling sering memilih shift siang. Kondisi ramai di mulai sejak pukul 10 pagi, hingga saat ini. Dan siang hari sebelum istirahat sambil menunggu team shift siang, mengharuskanku beserta sesama SPG akan bekerja keras untuk menjaga display produk. Teguran keras dari Departmen Manager bahkan Divisi Manager akan kami terima jika terjadi kekosongan dalam setiap gondola. Dan terparahnya adalah, pelaporan akan diterima pimpinan kami di perusahaan ketika lebih dari sekali terjadi hal tersebut.

Aku sebenarnya ingin cepat kembali ke toko, jika saja tak mengingat bahwa mereka berdua teman seperjuanganku. Sering bekerja bergotong royong mendisplay produk. Tak jarang keluhan yang ku terima dari mereka, mengingat produk yang menjadi Best Seller adalah produk dari perusahaanku bekerja. Tetapi hanya menjadi sebatas bumbu cerita kami, dikala beristirahat siang seperti ini.

Lagi! Andai saja Arnold tak menyetujui pertukaran shift denganku semalam, mungkin aku lebih memilih untuk tidak bekerja sabtu ini. Meskipun mendapat ancaman di keluarkan dari toko. Aku tak perduli.

Hal utama yaitu, mengingat Sabtu ini adalah hari yang telah ku nanti sejak lelakiku berucap janji menonton bersama di Studio XXI. Selama penantian itu, sebuah rasa kerapkali menderaku.

Aku akui engkau memang sangat dekat dariku. Setiap hari tak ada halangan untuk berjumpa denganmu. Namun engkau hanya bisa ku pandangi dari kejauhan. Kupandangi ketika sedang sibuk menyelesaikan tanggung jawab terhadap pekerjaan. Hanya sapaan dan senyuman yang engkau berikan ketika suatu kesempatan kita berpapasan.

Jauh! Itulah yang kurasakan. Ku tau itu, jika engkau adalah type lelaki penuh tanggung jawab. Kepada pekerjaan saja tanggung jawab begitu penuh yang engkau berikan, apalagi untuk pasangannya. Namun salahkah aku menginginkan lebih dari hanya sekedar mengobrol melalui telfon? Salahkah aku jika keegoisan sebagai perempuan menginginkan perhatian lebih? Sosok sebenarnya. Raga sebenarnya yang ku butuh saat ini.

Aku menantikan ketika bibirmu berucap tentang cinta. Berucap sebuah janji untuk memilihku sebagai perempuanmu.

Dalam diam, hanya senyum tanpa arti ku tampakkan agar kedua teman tidak curiga. Tersamar celotehan mereka yang masih saja terabaikan. Hati ini sedang berperang melawan gejolak. Bahkan perang penyelamatan negara sahabat masih terkalahkan oleh perang batinku saat ini.

Dengan bismillah bisakah engkau mendengarku? Aku masih sabar menunggumu. Semoga hari ini tanpa halangan lagi, ku mampu mendapatkan jawaban itu.

Hati ini sudah tak mampu terhalangi untuk mencintaimu. Setiap kali pertemuan kita tanpa kesengajaan, darah ini mendesir kencang tak tau arah. Ku katakan kepadamu melalu angin bahwa tak jarang badan ini menggigil. Sengaja menundukkan kepala, karena sebuah kemustahilan jika aku membalas menatapmu. Karena yang kulakukan ketika itu adalah bertahan menahan keinginan untuk memelukmu.

Ku coba berhenti berpangku. Menghapus engkau dalam benakku untuk sesaat saja. Mulai berteman kembali dengan kehidupan nyata. Ketika salah satu teman menegur karena masih menyisahkan makan siang ini.

“Ihh do do eh, da masalah apa so Sya? Sampe-sampe torang dua so ba karlota bagini ngana Cuma da melamun noh.” (Yaelah, ada masalah apa Sya? Bahkan kami berdua sudah sibuk bergosip. Kamu hanya melamun saja) Tanya temanku. Dia adalah SPG produk susu kemasan sama denganku, namun berbeda brand dan perusahaan.

“Nyanda sih Kin. Qta nyanda melamun do! Cuma da sadiki bapikir nanti malam mo kemana.” (Tidak sih Kin, aku tidak melamun loh! Cuma lagi mikir doang, nanti malam mau kemana lagi) Ku hela nafas ini. Kemudian memilih menghabiskan sisa makanan sambil mengembalikan kesadaranku agar mereka tak menyerang dengan pertanyaan-pertanyaan lanjutan.

“Ohh.”

“Makanya cari cowok kwa, jang Cuma jadi jomblo trus-trusan eh!”

“...” Aku hanya sibuk mengunyah.

Karena tak mau terbelenggu untuk waktu sesaat, maka yang ku lakukan berteman dengan mereka mengobrol sambil menunggu waktu istirahat kami yang tersisa.


---©---

Waktu adalah sebuah kesempatan setiap orang untuk berlomba-lomba melakukan apa yang mereka pikirkan dan juga rencanakan. Begitu juga denganku. Sekarang adalah waktunya bertemu dengannya.

Oh iya lupa, setengah jam yang lalu Pak Darma menelfonku agar bersiap-siap. Hehe... So? Come on kita jelong-jelong.

Berteman dengan rasa yang bercampur aduk. Bingung, bahagia, senang, takut, gugup yang kini menggerogoti pikiranku.

Ahh! Biar ndak banyak ribet, supaya tetap terlihat chic maka kuputuskan berdandan casual. Untuk atasan, paduan tank top warna dasar abu-abu dengan luaran cardigan berwarna hitam terlihat cukup strecth menutup silhouete tubuhku. Sedangkan untuk bawahannya, Soft jeans biru yang tidak terlalu nge-press, membuat lekukan pinggul serta tubuh bagian bawahku tidak terlalu tersiksa.

Dan sebagai sentuhan akhir, sepasang jelly sandals yang juga beraksen biru cukup untuk melindungi kaki jenjangku. Heemm, sepertinya cukup membuat percaya diri untuk bertemu dengannya.

Disini! Duduk depan kos menunggunya. Aku masih memanggang rindu ini terhadapnya, diantara kering ranting dan daun pepohonan serta hembusan angin sore menerpa wajahku. Pikiran masih tak mampu tersimpul dengan satu jawaban. Terbersit sepenggal harap pada burung yang membawa rinduku terbang dan memajangnya di ujung langit. Agar engkau mengerti, bahwa rinduku padamu demikian dalam. Meskipun pertemuan kita tak pernah ada dinding pemisah.

Namun sebelumnya sempat ada terselip rasa cemas saat waktu terus saja menghabiskan sepiku, ketakutan akan rindu ini menghujat pada Janji. Takut jika engkau tak mengabulkan janjimu terhadapku. Untung saja engkau mengabariku bahwa telah di perjalanan menuju kos.

Asaku mulai muncul kembali ke permukaan. Sekarang aku hampir sampai diujung batas penantian. Ku gigit bibir ini menahan rasa keinginan untuk mendekapmu. Meskipun hanya bayangmu yang terlihat.

Lamunanku terpecah ketika sosoknya telah berdiri di hadapanku. Senyumnya tak lagi hanya menjadi sebuah bayangan. Penampilannya tak berbeda denganku sore ini. Hanya saja kemeja berwana biru yang membedakannya. Tetapi masih terlihat casual.

“Maaf Sya, sudah nunggu lama.” Ku tatap wajahnya. Bibir ini tak mampu berucap, getar-getar di jiwa tak kunjung berhenti. Untung saja sepersekian persen kesadaranku kembali. Ku gelengkan kepala ini sebagai tanda bahwa aku tidak keberatan akan hal itu.

Ku balas senyumannya sambil berusaha agar tak terlihat gugup dihadapannya. “Yuk”

“Iya Pak.” Berakhirlah sudah penantianku. Kubiarkan kesetiaan ini melekat kepadanya.


Melangkah bersama, beriringan melewati pepohonan yang seakan tersenyum melihatku. Adalah hal yang begitu lama ku nantikan.

Sama sekali tak ku sangka hal ini akan terjadi. Bahkan bukan sebuah bayangan yang kini sedang menyentuh lenganku. “Eh Pak!”

Ia hanya tersenyum. Ya Allah, terima kasih telah mendengarkan doaku.

Telah menghadirkan dia di sampingku. Telah membuktikan akan janjinya kepadaku. Telah! Telah! Telah! Bahkan suara hati ini tak mampu lagi merangkai sebuah kalimat sajak dan puisi nan indah. Aku Elsya! Sangat bahagia hari ini.

Sebuah mobil angkot berwarna biru mengantarkan kami menuju ke Mall Manado Town Square. Aku sangat tak keberatan bepergian hanya menggunakan angkot dengannya.

Bahkan ku tak malu duduk berdekatan dengannya meski banyak pandangan-pandangan tidak menyenangkan dari sesama pengguna jasa kendaraan umum ini.

Dia adalah seorang perantau di kota ini. Kendaraan tak punya. Bahkan adalah hal yang pertama ia ucapkan ketika kami telah tiba di depan Mall. Sebuah kata maaf karena ketidakmampuannya untuk mengajakku bepergian menggunakan motor maupun mobil pribadi.

“Biasa jo kwa Pak.” Agar ia tak merasa bersalah. Ku tatap wajahnya dengan senyuman.

“Thanks ya Sya”

“Man jo.” (Yuk!) Mungkin karena merasa senang, keberanian ini telah bergabung dengan jiwaku. Ku raih jemarinya serta mengajaknya masuk bersama ke dalam Mall.


Jangan malu berjalan di sampingku wahai lelakiku. Karena akupun demikian, adalah sebuah kebanggaan dan kebahagiaan bisa berdampingan denganmu. Aku tak buruk rupa. Penampilan tak serupa dengan perempuan desa ‘Lagi’. Bahkan bodyku tak selebar seperti dua perempuan yang berjalan di depan kami saat ini. Aku adalah bagian dari perempuan-perempuan yang di impikan oleh banyak lelaki. Bermimpi untuk memilikiku. Tetapi yang ku pilih hanya dirimu seorang. Aku, mencintaimu lelakiku.

“Kamu kebanyakan diam Sya. Kenapa?”

“Hehe nda eh Pak, lagian mo bacarita apa dung?” (Hehe, tidak Pak. Lagian mau cerita apa?) Ah, ku yakin lelakiku mengerti dengan dialog yang ku ucapkan.

“Apa kek. Masa iya diam-diaman aja.”

“...” Ku balas hanya dengan senyum.


Setelah kami tiba di XXI, hal yang pertama kami lakukan adalah cek jam tayang film yang akan kami tonton. Berdiri disisinya sebetulnya membuatku gugup. Sejak tadi ku lakukan adalah menahan rasa ini agar tak terlihat memalukan.

Untung saja pemutaran film masih sejam lagi. Masih ada waktu untuk mengembalikan semua kesadaranku. Menghilangkan rasa gugupku terhadapnya.

“Sejam lagi nih Sya.” Ku menoleh.

“Itu ley. Kong, mo kemana dung qta sekarang?” (Iya juga. Terus, kita kemana sekarang?)

“Hmm, mending kita nongkrong dulu. Lumayan lama kalau nunggu disini.” Anggukanku mewakili keinginanku yang sama dengannya.


Dan pilihan kami jatuhkan ke J.CO Donuts & Coffee yang terletak di lantai satu depan Mall. Karena selain belum lapar, yang kami butuhkan saat ini hanyalah tempat nongki beserta soft drink.

Kebetulan kami mendapatkan meja yang tempatnya juga cukup mendukung. Dan mungkin saja, lelakiku bisa bercerita banyak tentangnya. Yang hingga saat ini masih mengisi ruang pikiranku tentang dirinya.

“Minum apa Sya?” Ia bertanya kepadaku saat kami telah duduk. Beranjak dari duduknya, sambil menatapku lembut.

“Hemm! Apa ya.” Berlagak mikir padahal sama sekali tak mengerti apa menu minuman di tempat ini. Karena yang ku tau hanyalah donat beserta kopi. Hihihi, sesuai tulisan di depan tadi.

“Mau kopi atau teh Sya?” Lagi! Lelakiku bertanya.

“Qta mau.” Sengaja ku gantung. Senyumku kini malah membuatnya berpaling pandangan. Ahh! Ternyata lelakiku bisa malu juga seperti ini. Padahalkan aku gak memandangnya genit. Hihihi! “Qta mau pa bapak jo eh.” (Yang aku inginkan bapak saja)

“Dasar aneh” Terucap dibibirnya bersamaan senyum renyah di wajahnya.

“Hihi. Sudah jo dung kalo bapak nimau.” (Ya sudah kalau bapak tidak mau) Kataku selanjutnya. Kesal! Ku rasakan saat ini, namun yang kulakukan hanyalah memanyunkan bibir ini dihadapannya.

“Dah ah. Atau kamu mau coklat aja?”

“Hemm boleh noh. Mar yang hangat jo eh Pak.” (Iya boleh, tapi yang hangat saja)

“Sepp!” Ku pandangi kepergiannya menuju ke antrian di depan.


Manado ku tercinta. Semoga kebahagiaan ini tak pudar. Percikan-percikan seperti air di embun pagi mulai menerpaku. Seperti percikan rasa bahagia telah menggapainya. Meskipun belum ada kata sepakat mengenai hubungan kami.

Aku memejamkan mata. Menarik nafas dalam-dalam. Ketika tiba-tiba terbersik sebuah gambaran kehidupan yang kerap kali menghantui tidurku. Tersengal nafas ini ketika kurasakan gelisah bersamaan hati yang masih perawan di akhir penantian.

Ku tersadar dan mulai membuka mata. Dari balik dinding kaca pembatas antara aku dan jalan di depan. Butir-butir air hujan menerpa kaca tersebut. Ternyata Manado di landa gerimis yang turun perlahan.

Para pengunjung mall mulai berlarian mencari tempat berteduh. Suasana di luar Mall cukup kacau, sekacau perasaanku yang tiba-tiba timbul. Suara gemericik air mengiring kesunyian hatiku. Kenapa ini?

Siapa lelaki dalam bayanganku tadi? Apakah lelakiku yang saat ini sedang memesankan keinginanku di depan? Apakah ada lelaki lain yang akan hadir dalam kehidupanku? Ya Allah, ada apa ini. Kenapa tiba-tiba aku merasa takut seperti ini?

Di kota ku yang mulai dilanda hujan keras. Aku baru saja usai dari pergulakan pikiran, adalah hal yang tak lupa ku lakukan sejak tadi merapalkan dzikir puji-pujian kepada-Nya dan baris-baris do’a keselamatan, do’a kebahagiaan, serta do’a agar dijauhkan mimpi tersebut dalam tidurku.

Hati menuntun ku untuk tetap berfikir positif, menghadap kaca dengan pandangan jauh. Menikmati hujan. Menatap hujan yang turun dari langit, membentur kaca tempatku duduk, membentuk lukisan hujan. Mendengar suara hujan menumbuk jalanan di depan. Tek! Tek! Tek!

Dalam hati ini sudah menumpuk sebuah harapan, beriring dengan keraguan, kegelisahan, dan ketakutan-ketakutan. Argh, bukan kah semua hanya mimpi belaka? Sebuah bumbu dalam tidurku yang lelap. Aku yang tak luput dari kesalahan ini, hanya bisa menjalani? Jadi kenapa harus takut?

Kesadaranku kembali memulih ketika suara merdu terdengar indah di telinga. “Sya. Nih”

“Eh Bapak. Makase neh Pak.” Ku jawab dengan senyum terpaksa, bersamaan tangan ini menerima pemberiannya.

“Hujan ya” Aku mendengarnya, hanya anggukan kepala jawaban dariku.

Kami terlibat obrolan santai, berbalas kalimat antara kami berdua. Tak ada kergauan lagi dariku untuk memilihnya. Karena telah terbuka semua tentangnya. Tentang keluarganya di Bandung. Tentang mantan kekasihnya yang memilih untuk berselingkuh dengan lelaki yang lebih berkecukupan.

Begitupun denganku. Ku jawab setiap pertanyaan yang terucap olehnya. Tak ada yang ku sembunyikan. Bahkan mengenai keluargaku juga telah ku ceritakan kepadanya. Yang lebih lagi adalah statusku saat ini yang masih sendiri.

Sekilas ku lihat ia tersenyum. Malu beserta perasaan deg-degan yang kini ku rasakan. Begitupun demikian dirinya yang ku lihat tak lagi memasang wajah keraguan. Kami bahagia bersama. Kelebihan darinya adalah senyumannya yang selalu saja membuatku ingin memeluknya.

Bersama menikmati sisa waktu di tempat ini sebelum beranjak menuju ke XXI. Menghabiskan minum masing-masing. Aku dan dia tak jarang bertukar tatap mata, sehingga tiba-tiba satu sikap darinya yang menghentikanku untuk bergerak.

Cup! Punggung tangan kananku yang masih dalam genggamannya telah ia kecup. Dan kini percakapan kita adalah diam yang nyata. Sukma yang saling menghampiri. Sebab sejak dulu tubuh ini yang selalu terkungkung ilusi, hal pertama yang terjadi adalah gugup dan bergetar. Bahagiaku telah mendapatkan kecupan yang nyata meski hanya di tangan.

“Aku sayang kamu. Sya!” Dan kalimat yang selama ini hanyalah delusi juga halusinasi. Kini berada di kehidupan nyataku. “Apa kamu mau jadi kekasihku?”

Pertanyaan itu menjadikan perasaanku seperti bunga-bunga yang bermekaran di taman yang terbentang luas. Aku mencintainya. Aku tak meragukannya. Kebahagiaan ini tak mampu terucap, bahkan terlukis dan terangkai sebuah kalimat dalam hatipun sudah tak mampu lagi kulakukan.

Ku awali dengan do’a dalam hati tuk sebuah harapan. Sebelum ku jawab pertanyaan darinya. Semerbak akan aroma tubuhnya semai di dalam sanubariku, tak terkecuali aroma nafasnya yang cukup dekat menanti jawaban dariku.

Lantunan do’a selanjutnya terangkai dalam hati. Adalah satu tujuan, yaitu tertangkai kepadanya. Dan untukmu ku berjanji akan menjaga cinta ini, kekal abadi seperti kehidupan di surgawi.

“Gimana Sya, kamu mau jadi kekasihku atau tidak?” Mendengar suaranya dengan pertanyaan berulang. Seperti nada yang berirama merdu. Tak sanggup lagi diri ini tak mengatakan ‘Iya’ dihadapannya. Lalu yang ku lakukan kini menoleh dan menatap dua bola matanya dengan perasaan bahagia.

“I-iya mau Pak. Elsya so lama suka mo jadi bapak pe cewek.” (Iya mau Pak, sudah sejak lama Elsya menginginkan jadi kekasih bapak)

Ku ukir dalam hatiku tentangmu. Rentetan kata mulai melekat, segenap jiwa menatap. Setitik harapan di dapat, ketika hati ini meratap.

Sedikit demi sedikit keresahan akan terungkap. Dan kepadamu aku mulai berucap. “Elsya cinta ma bapak.” Ucapan segenap jiwa ini menyambut kedatangan tangisanku yang mulai tertahan di ujung mata. Enggak! Ini bukan tangisan sedih, melainkan tangisan kebahagiaanku memilikinya. Aku merasa seperti perempuan yang paling beruntung, bagaikan menemukan titik mata air terpancar di tengah gurun pasir yang tandus.

Bahagiaku kini telah ku dapatkan.

Tak akan lagi pernah ku sia-siakan, meski aral rintangan mengelilingi kami.

Orang-orang akan berfikir ini lebay, sebuah kata sederhana. Namun jika berada dalam posisiku, tak akan bisa kalian sanggah akan hal itu.

Banyak tantangan yang telah menanti, tapi aku sudah siap jika satu persatu tantangan itu datang. Aku punya harapan demi sebuah perubahan. Perubahan statusku dari jomblo, menjadi kekasih. Meskipun jika pikiran positif itu kukesampingkan, maka akan banyak sekali cerita tentang harapan-harapan yang kandas sebelum terwujud. Aku tak perduli. Aku dan dia, akan selalu berpegangan erat melangkah maju bersama.

Cukup sudah kami memadu kasih tuk sesaat. Ditempat ini yang telah menjadi saksi persatuan cinta kami untuk selamanya. Aku selalu mengatakan dia lah lelakiku, adalah seseorang yang selama ini mengisi khayalanku.

Setelahnya kami beranjak bersama, melangkah bersama menuju XXI yang menjadi tujuan utama kami sebelumnya.


---©---

Aku memejamkan mata, lalu menghela napas panjang dan mencoba membiarkan bayangan itu pergi. Bayangan kejadian di dalam studio XXI tadi. Namun semakin ku berusaha, maka semakin sulit ku tepis bayangan itu. Ketika telah tiba di dalam kamar kos, pun aku masih saja gelisah menahan rasa yang sejak tadi berposisi dengan nyaman dalam sanubariku.

Sejak awal film mulai tayang, posisi duduk yang berdampingan membuatku terasa nyaman. Tak lupa tanganku tergenggam erat olehnya. Pertama kami hanya sesekali ngobrol untuk berkomentar mengenai para pemain dalam film tersebut.

Karena kondisi dan suasana yang sangat memungkinkan, romantis antara kami berdua tercipta. Mengawali kecupan-kecupan kecil di punggung tangan. Elusan lembut di lengan yang membuat bulu kuduk ini tegak berdiri, bersamaan getaran-getaran aneh ku rasakan. Karena sikap gentle-nya lah yang membuatku terbuai hingga akhirnya dengan sendiri mengawali kejadian tersebut.

Ku sandarkan kepala di bahunya. Aku sudah tak lagi memperhatikan film yang sedang tayang di layar lebar. Mata ini telah terfokus menatap wajahnya dari posisiku saat ini. Satu arah, satu tujuan. Melekat pandanganku akan ketampanannya, adalah hal yang baru kali ini kulakukan. Bermanja-manja dalam pelukan seorang lelaki.

Kurasakan pelukannya makin mengerat. Desiran dadaku begitu mengganggu, tak layak seorang perempuan sepertiku harus merasakan gejolak keanehan dalam dada. Ketika ia melihatku, mata ini saling bertemu. Aku dan dia, seperti magnet yang saling bergerak mendekat satu sama lain.

Cup! Jantung ini hampir mencuat keluar. Deg-degan jadinya ketika merasakan bibirnya menyentuh bibirku. Hanya tipis tersentuh, hingga dengan sendirinya aku membuka bibirku di dekapannya. Ku pejamkan mata ini. Menanti sebuah kecupan kedua darinya.

Cup! Lagi, Ia hanya menyentuhnya. Kharismanya menguasaiku, di saat aku memeluknya erat. Kelembutan yang mendalam hingga membuatku merasakan gairah besar mengisi batin ini. “Sya!”

Aku tak memperdulikan teguran darinya. Tak sadar dalam pelukan, aku telah terhanyut dalam suasana keindahan. Tatapan matanya mengontrol jiwaku. Keinginanku hanya satu, ia mengajak tuk lebih dalam lagi.


Dengan sendirinya bibir ini bergerak mencari bibirnya. Sempat aku melihatnya tersenyum, lalu kurasakan gelombang di dadaku makin menjadi-jadi. Kedekatan semakin tak terelakkan lagi. Aku merasakan bibir kami menyatu, bukan hanya tersentuh seperti sebelumnya. Melainkan menyatu. Sentuhan bibirnya, membuatku melayang dan duniaku pun berubah seakan surga. Tubuhku bergetar ketika merasa lidahnya mulai menginginkan masuk lebih dalam.

“Mmfffhhhhmm.” Kali ini deru nafasku semakin bertambah, diiringi dengan bulir keringat dikening dan sekitaran wajah yang mulai merembes keluar dari pori. Saat makin jauh mulut serta lidah lelakiku lebih dalam mengeksplorasi apa yang menjadi miliknya.

Tubuhku hampir terkejang ketika jemarinya menyentuh sesuatu yang sejak dulu ku jaga. Walaupun masih terhalang oleh baju beserta lapisan dalamnya. Untung saja aku lebih dulu tersadar, bersamaan tanganku menahannya.

Maaf sayang, belum saatnya aku berikan kepadamu. Namun aktivitas yang ia lakukan yang belum melepaskan ciuman, makin membuat nafasku menderu-deru. seolah Aphrodite datang dan kemudian menebarkan sentuhan hawa mesum terhadapku. Aku sadari itu. Jika gelombang nafsuku mulai meningkat.


Huhhhh! Mengingat sepotong bayangan kejadian tadi dalam studio, membuat akal sehatku perlahan pergi. Bersamaan mata ini terpejam, mencoba menahan aliran sensasi dan gairah yang tiba-tiba saja muncul.

Tak sadar jemariku bergerak sendiri menyentuh dada ini, yang hanya terhalang oleh kaos tipis telah menggantikan pakaian sebelumnya yang aku gunakan bepergian bersama lelakiku.

Entah setan apa yang telah merasuk jiwaku. Semakin intens gerakan yang telah ku lakukan, adalah kebiasaan buruk yang sering kali kulakukan jika hasrat ini tak lagi mampu ku bendung.

“Stttt!” Tak mampu menolak kenikmatan. Jemari ini merasakan lembut dan kenyal payudaraku yang terasa semakin tereksplorasi. Sementara mata ini hanya bisa terpejam menikmati, dan bibirku ikut menyuarakan desis dan desah yang terunggah silih berganti.

Enggak! Aku gak mau menyamakan lelakiku dengan pemeran pria dalam film porno yang sering ku tonton bersama teman kos. Semakin ku berusaha menepis, semakin membuat diriku lupa akan segalanya. “Eemmpff,” Sempat ku mendesah nikmat. Namun masih berusaha melawan keinginanku yang lebih.

Bahkan kali ini aku mati-matian mencoba lepas dari perangkap gairah. Terpaksa kugigit bibir serta kemudian kutolehkan kepalaku ke arah kiri sebagai pelampiasan dan mereduksi suara desah, mataku sama sekali tak mampu terbuka.

Sungguh, seandainya bisa aku memilih. Ingin ku menelfonnya untuk menyuruhnya berkunjung malam ini.

Mengakhiri penderitaanku karenanya. Aku adalah perempuan yang mempunyai sisi negatif. Gairah yang sangat sulit ku tahan. Untung saja, karena masih berakal sehat membuatku seringkali melepas keinginan tersebut.

Tubuh bagian bawahkupun tak kalah ‘mengenaskan’ kondisinya. Dalam posisi duduk di ranjang, aku sedikit tersadar jika tangan satu telah masuk ke dalam pembungkusnya. Kenapa hanya tersisa CD saja saat ini? Aku membatin.

Kaos longgarku sudah jauh meninggalkan posisinya. Tertarik ke atas sebagai akibat kenakalan tangan kananku, memperlihatkan sepasang payudara kebangganku yang teremas bergantian.

Sedangkan tangan kiriku sibuk bergesek di bagian bawah. Terapit dua paha, seolah ikut serta mengirimkan sinyal birahi ke otakku.

“Eemphh,” Kembali desahku tak tertahan, saat telapak tangan kiri berhasil mencapai titik temu kedua paha, mengusap ringan sebuah bukit kecil dengan celah sempit yang semakin basah.

“Uuuufft,” Rintihku kembali pecah, bahkan kali ini semakin meraja saat dengan nakalnya telunjukku 'sedikit' masuk kedalam celah yang makin membasah untuk selanjutnya melakukan gerakan kecil ke atas dan kebawah, pelan, ringan, namun menimbulkan sensasi yang tiada terkira.


“Eenggghhh,”

“Eenggghhh,”

“Eeengghhh,”


Sungguh luar biasa, seolah semua apa yang diperbuat dan dialami sekujur tubuhku berkumpul jadi satu kemudian bersama melakukan finishing atas nama gairah. Membuatku mengejang sesaat merasakan ledakan nikmat yang sungguh terasa sangat. Bahkan sampai membuat tubuhku meringkuk di ranjang dan limbung, tak mampu lagi menahan erosi nikmat yang semakin membumbung.

“Haahhh,”

“Haahhh,”

“Haahhh,” Hanya nafasku yang kali ini tersengal ringan, menyisakan sedikit sesal dan air mata yang menetes di ujung kelopak.

“Apa yang sudah aku lakukan,” Gumamku pelan setelah kembali berangsur tersadar.

“K-kenapa aku seperti ini lagi?” Kembali ku coba kembalikan kesadaranku seperti semula.

“Kenapa Elsya? Kenapaaaa? Tidakkah kamu mampu menahannya?” Kali ini aku tak tahan lagi, setelah membenahi penutup tubuh yang sempat terbuka disana-sini.


“Arrggh!” Kali ini secepatnya ku beranjak dari ranjang.

Sesampainya dikamar mandi, segera kutanggalkan satu-per-satu pembungkus badan, sampai pada akhirnya hanya menyisakan polosnya tubuh yang beberapa saat lalu terbuai nikmat dan bujuk rayu setan, dan sepertinya, mandi adalah keputusan yang kurasa menyenangkan.

Byurrrr! Guyuran air yang keluar dari shower kurasakan seolah ikut merasakan kegalauanku, membantu meluluhkan segala rasa dan gelisah yang tengah melanda kalbuku, dan akhirnya, setelah merasa segar, segera kukenakan kembali penutup tubuh setelah mengambil yang baru dari dalam lemari.
 
Pertamax...

:papi:Ho ho ho...


Elsya... :dansa:

Pertalite aja, kritik dan saran waktunkita kopdar aja yaa say

ah.. jadi pengen jadi lelakinya kakak... numpang iler ya.. chanteng

Akhirnya...


:kk::kk:
Buset langsung rame aja ini rombongan badut sirkus
:ngupil:

Ijin numpang dimari ya om @dora-dora @VirGhost menarik nii cerita..
Ketinggalan maning...moga updetnya cepet lancar..maaf belum kasih kritikiannya... :)
Mangga, om andre
Makasih udah mampir
:ampun:
Aamiin, moga gak ada kendala terutama mood
Ahaha

Iya om, tapi ditunggu loh ya kritik dan sarannya
:malu:

---edited---
Gue kira andrediaz, jadi panggil mangkim
Beneran keriting gue bikin pov cewek
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Kritiknya dari segi bahasa, bahasanya terlalu tinggi untuk otak saya yang cuman pentium 3, overall bagus, cuman penggunaan majas dan bahasa pengandaian yg mengharuskan saya membaca sampai 3 kali untuk paham ceritanya



Thxs tante @dora-dora untuk updatenya
Ini kritik apa pujian sih

Ahaha maaf ya kalo bingung sama diksi
Maksudnya biar terkesan cewek banget. Lebih ke diary sih konsepnya, kan banyak ungkapan atau curahan perasaan.
:d
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd