Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG With Benefits.

Status
Please reply by conversation.
- Mercenaries -

Pagi pun akhirnya tiba. Semalam suntuk aku terus memikirkan apa saja yang baru saja terjadi sebelumnya. Aku begitu khawatir dengan apa yang akan terjadi selanjutnya, dan bahkan hal itu membuatku terjaga hingga larut malam sebelum aku akhirnya kelelahan dan tertidur.

Ciuman Caca tadi malam, rasanya begitu indah. Aku masih bisa merasakan betapa lembutnya bibir Caca dan betapa menenangkannya momen ketika kami saling berpagut di pinggir kolam semalam. Namun aku begitu khawatir dan kebingungan, apa yang harus kulakukan sekarang.

Pagi ini pun terasa berbeda. Biasanya, aku selalu mendapat notifikasi dari Caca yang ingin membangunkanku, namun sampai di titik ini aku sama sekali tidak mendengar hapeku berbunyi.

Saat ini, aku sedang mengemas buku-bukuku, dan sampai saat ini pun jujur aku masih menunggu adanya chat dari Caca. Kemudian saat aku mulai memasukkan bukuku ke tas, aku mendengar hapeku berdering, dan kulihay Adi meneleponku.

"Yo, kenapa, Di?" Tanyaku setelah mengangkat teleponnya.

"Bay, tadi Oli nge-chat gua, kata Dika biar aman anak tongkrongan sama yang main kemaren mending gausah masuk dulu" jelas Adi.

"Lah, kenapa?" Tanyaku heran.

"Ngeliat kejadian Candra kemaren, mendingan bocah dikumpulin dulu semua, daripada ada yang dikeroyok lagi jadi mending kita semua kalo nggak diem di rumah, semuanya ngumpul di tongkrongan, takutnya lagi sepi tongkrongan, bocah sana dateng rame-rame" jelas Adi.

"Lah kalo gitu masuk ae semuanya, daripada ribet, terus kalo mau gelutin abis sekolah" jawabku menyarankan.

"Lu tau sendiri lah, Bay bocah-bocah kayak gimana. Masuk sekolah bisa diitung jari" balasnya.

"Yah, bangsat. Yaudah deh. Terus lu di rumah sekarang?" Tanyaku lagi.

"Gua udah di tongkrongan. Udah rame juga ada Oli, Dika, Rama, sama anak angkatan bawah"

"Oh, oke. Yaudah gua entar nyusul, ya"

"Btw, Bay, masalah lu sama Claudia gimana?" Tanya Adi sebelum aku mematikan teleponnya.

"Nanti gua ceritain disana, dah" jelasku, dan setelah itu aku mematikan teleponku.

Jujur aku tak suka bila caranya seperti ini. Aku tidak mau kalau urusan seperti ini harus menghambat akademik. Namun, ucapan Dika ada benarnya juga. Kejadian Candra kemarin benar-benar tidak bisa diprediksi, dan entah apa yang akan terjadi ketika kami sedang bersikutan dengan SMA bebuyutan kami.

Terlebih bagiku, ini bukan hanya masalah rivalitas. Aku saat ini juga memiliki urusan personal dengan Rafael terkait Caca. Dan setelah melihat ke kemarin, pasti Rafael masih bernafsu untuk memburuku.

Lebih masuk akal kalau aku tetap dirumah, namun bagaimana caranya? Aku harus mengantar Bella, dan entah alasan apa yang bisa kuberi ke Mamah untuk bolos. Terlebih Rafael pasti tak akan berhenti untuk mengejarku.

Alhasil, mau tak mau aku harus tetap ke sekolah, namun aku langsung beranjak ke tongkrongan setelah menurunkan Bella.

Perlahan aku mulai berjalan menuruni tangga, dan aku mulai merasakan kaki kiriku begitu perih seakan kaki kiriku menumpu seluruh tubuhku. Namun aku tetap memaksakan diri untuk berangkat, dan bersama Bella kami berangkat ke sekolah, meski memiliki tujuan yang berbeda.

=====
(Tongkrongan)

"HAH?! CACA NYIUM LU?!?" teriak Adi dan Rama bersamaan.

Setelah sampai di tongkrongan, aku menceritakan semuanya tentang apa yang baru saja terjadi semalam. Tentu saja, topik sangat menarik ini yang tadinya hanya sebuah obrolan bertiga menjadi forum se-tongkrongan setelah Rama dan Adi berteriak.

"Yeah, pretty much" jawabku singkat.

"Kak Bayu anjingg!! Kok lu bisa hoki banget sih, bang?!" Ucap salah satu adik kelasku.

"Yeh, bego. Gua yang pusing ini sekarang. Lu malah bilang hoki, ngentot." jawabku kesal.

"Terus sekarang udah kayak gini, lu mau gimana, Bay? Jalan udah kebuka lebar buat lu. Di ujung jalan juga, Caca udah nungguin lu." Tanya Adi.

"Anjing, jangan kayak gitu dulu, dong! Gua aja masih bingung ini." Jawabku lagi.

"Cuma sayang banget ngga, sih? Ini kita ngomongin Claudia, loh. Bisa dideketin dia aja udah privilege, apalagi sampe dicipok, Bay." Sambung Oli yang mulai mengikuti pembicaraan kami.

"Coy, kasih gua waktu buat nenangin diri dulu, please." Balasku langsung mematikan pembicaraan.

Akhirnya karena sudah tidak ada yang mau kubicarakan, Adi dan Rama langsung paham dengan hal itu dan mereka memisahkan diri untuk bergabung dengan yang lainnya.

Mereka pergi, dan kini hanya tersisa aku dan Dika di bangku ini yang masih belum berpindah. Namun tentu saja, setelah kejadian kemarin, aku merasa canggung untuk bisa mengobrol dengannya, dan akupun tahu kalau Dika juga merasakan yang sama.

Situasi sudah menjadi benar-benar rumit saat ini. Masalah dengan Caca, urusan dengan SMA Rafael, dan di dalam geng pula masih terdapat masalah yang belum terselesaikan. Oleh karena itu, aku mulai mencoba untuk memperbaiki situasi.

"Dik, masalah kemaren--" Ucapku setelah sekian lama terdiam yang langsung dipotong oleh Dika.

"Apaan, si? Udah lah gausah diomongin!" Potongnya cukup kencang, dan setelah itu Dika berdiri dari duduknya dan beranjak ke warung.

Alhasil, aku makin kebingungan. Aku hanya terdiam di bangku panjang ini memikirkan segala yang terjadi kepadaku.

Mungkin bila aku tidak pernah bertemu dengan Caca, semua hal ini tak akan pernah terjadi. Tak akan ada pertikaian antara aku dan Rafael, dorongan dari seangkatan terhadap 'dream-couple' ini tak akan pernah terjadi, dan kini, geng SMA-ku harus bersiap menghadapi badai yang mungkin akan kita lalui hari ini.

Namun, bila aku tidak bertemu dengan Caca, Caca yang akan terus menderita. Dia tidak akan bisa keluar dari lingkungan pertemanan yang penuh kepalsuan. Dia juga tidak akan bisa memutuskan hubungan dengan orang yang selama ini mungkin tidak ia cintai dengan sepenuh hati. Meskipun caranya salah, Caca mendapatkan hasil yang baik baginya, dan itu sudah cukup menenangkanku.

Cukup lama aku terdiam mengawangi semua ini. Hingga akhirnya, hapeku berdering dan orang yang sejak pagi ini kutunggu kabarnya telah kembali.

"Halo... Bay?" Ucap Caca setelah kuangkat teleponnya.

"Hi, Ca"

"Lo kemana??... Lo baik-baik aja, kan??... Kok lo, Adi, sama Rama nggak masuk??..." Tanyanya, namun suaranya terdengar sangat murung.

"Gua lagi di tongkrongan, Ca. Malah lu yang kenapa? Kok suara lu murung banget?" Balik tanyaku.

"What do you think??... Apa iya gue bisa nanganin semua kejadian semalem??... I'm very sad, Bay..." Jawabnya lagi.

"It's okay, take your time. Jadi sebenernya anak tongkrongan pada sepakat buat gak masuk karena takut ada kejadian kayak Candra lagi" jelasku.

"Then why didn't you guys just go to class?" Tanyanya lagi, sama seperti pertanyaanku ke Adi tadi pagi.

Belum sempat aku menjawab, Caca kembali bertanya yang menyudutkanku.

"Bay... Lo mau ngejauh dari gue??..." Tanyanya lagi, dan kali ini suaranya terdengar sangat murung lebih dari sebelumnya.

"Nggak, kok Caa. Mungkin ini cara yang paling aman karena pasti bakal ada banyak yang males masuk juga kan. It's only for a day, kok. Don't thought about it too much" jawabku berusaha menenangkannya.

"Bay... Please... Jangan naro diri lu dalem bahaya... Ini salah gue... Gue yang udah narik lo ke semua masalah ini... Gue nggak mau lo kenapa-napa..." Balasnya.

"Nggak papa, kok Ca. Setidaknya dengan ini lu bisa nemuin mana yang pantas buat lu dan mana yang nggak, dan kebetulan gua terlibat dalam itu. Apapun yang terjadi nanti ke gua, itu udah di luar kuasa lu karena gua pun juga ikut dalem semua permainan ini. So please, don't blame yourself. I'll be fine, okay?" Jawabku kembali berusaha menenangkannya.

"Bay... Thanks for everything..."

"Nggak perlu berterimakasih, kok. Udah, sekarang anggep ini hari tenang dulu buat lu, oke?" Jawabku singkat, dan setelah itu, aku mematikan hapeku.

Setelah aku mematikan hapeku, aku kembali memfokuskan diri tentang apa yang terjadi di sekitarku. Teman-temanku terlihat begitu tenang, meski saat ini kami sedang berada di dalam ketegangan.

Mereka masih bisa tertawa bergurau, dan sebagian dari mereka pun ada yang sudah terlelap tidur. Mungkin dengan kebersamaan kamilah yang membuat kami semua dapat tenang, dan hal itu juga dapat kurasakan dengan jelas. Namun, semua ketenangan ini berarti bahwa kami harus berpikir bila ada teman yang bisa menjagaku, melainkan kami harus selalu bisa menjaga teman kami.

Akhirnya, aku mulai memasuki tempo pembicaraan mereka, dan mereka saat ini sedang membicarakan Evelynn yang kami tahu sudah berpindah pihak.

"Ngentot, tuh emang si Evelynn. Bisa-bisanya dia dukung SMA sebelah." Ucap salah satu temanku.

"Bener-bener tuh, emang. Kayak jablay banget kelakuannya, ngentot." Jawab salah seorang.

"Katanya juga se-geng mereka pada gamasuk hari ini, coy. Kabar-kabar sih, katanya mereka pengen nyari aman juga."

Oh, begitu. Mereka ternyata juga sudah merencanakan escape plan untuk terhindar dari cacian di hari ini. Namun apa gunanya? Di momen sebesar itu, tak akan ada gunanya mereka bersembunyi hari ini. Tindakan mereka akan menghantuinya selama mereka masih bersekolah disini.

Sekarang pula, aku mulai paham dengan apa yang Caca maksud dengan Evelynn sebagai seorang yang manipulatif saat itu. Dan juga, aku tahu ini sebenarnya ulah Evelynn semata, dan para lebah suruhannya hanya bisa mengikuti perintah sang Ratu. Namun, satu-satunya hal yang penting bagiku hanyalah Caca akhirnya bisa keluar dari circle yang sangat toxic itu.

Setelah sekian lama aku melamun, akhirnya Adi beranjak menghampiriku.

"Kenapa, Bay bengong?" Tanyanya selagi duduk disampingku.

"Kayaknya kalo kejadian ribut hari ini, situasinya bakal pecah gila, dah." Jawabku.

"Tai. gausah boong, kali Bay. Sejak kapan lu bengong mikirin ribut?" Balas Adi yang membuatku terpaksa harus jujur.

"Iyaa, iyaa. Gua mikirin Caca. Puas, lu?" Jawabku asal.

"Jadi lu mau ngambil Caca sekarang?"

"Nggak yakin gua, Di. Gua masih gatau kalo itu keputusan yang tepat."

"Iyaa. Gua paham, kok. Lagian juga kalian sebenernya cuma rasa yang tepat di waktu sama tempat yang salah aja." Jawab Adi yang tak kubalas sama sekali.

Akupun mulai memikirkan semua perkataan Adi. Harusnya semua ini bisa tak terjadi bila aku mendekati Caca semenjak kami kelas 10 dulu. Momentum sudah ada bagiku untuk memilikinya, namun pendirianku untuk tidak ingin memiliki pacar membuatku menerima semuanya hanya sebagai candaan.

Tapi, bagaimana aku bisa mengaitkan semua itu dengan saat ini? Toh, sudah terlambat dua tahun. Aku tidak mungkin bisa memutarbalikkan waktu untuk memperbaiki semuanya. Semuanya sudah terjadi, dan kami semua harus menerima konsekuensinya.

"Bay, sebenernya kenapa sih, lu nggak mau pacaran sama Caca? Banyak loh, orang yang mau bisa cuma sekedar deket sama dia. Dan lu sekarang udah disuguhin di depan mata." Tanya Adi lagi.

"Nggak tau juga, Di. Gua mau ngehormatin hubungan gua sama dia sebagai sahabat aja." Jelasku.

"Tapi kalo lu begini, lu juga nggak ngehormatin perasaannya Caca, Bay. Caca udah sebegitunya terbuka sama lu, nunjukkin ke lu kalo lu yang selama ini dia butuhin. Sekarang udah gak ada bedanya antara sahabat sama perasaan. Lu udah nggak ngehormatin Caca sama sekali." Balas Adi.

"Terus gua harus pacarin dia? Gua nggak yakin kalo gua bisa dalem waktu deket, Di." Jelasku lagi.

"Nggak gitu juga, kok Bay. Intinya Caca udah punya harapan gede sama lu, dan jangan lu buat harapannya ancur begitu aja."

"Terus kalo ternyata kita juga sebenernya nggak bisa gimana?"

"At least coba dulu, Bay. Caca juga pasti bakal ngerti, kok. Dia sahabat lu. Sekalipun kalian ternyata nggak bisa, pasti kalian bakal fine-fine aja. Kalian mulai hubungan ini kayak sahabat dan pasti kalian bisa balik jadi sahabat." Jawab Adi sekali lagi, dan setelah itu ia menepuk-nepuk pundakku sebelum beranjak dari duduknya.

"Woy! Nggak ngajak main poker!" Teriaknya ke sekumpulan temanku.

Selagi Adi pergi, aku kembali memikirkan semua perkataan Adi. Ucapannya benar-benar membuatku makin berkecamuk. Apa yang harus kulakukan?

=======
[ADI'S POV]

"Terus situasinya kalian disana gimana? Baik-baik aja, kan?"

"Aman, sih. Daritadi juga belom keliatan bakal ada bentrok. Sekarang juga udah mau jam balik."

"So you guys will go home after this?"

"Nah, itu yang belom kita tau juga. Si Dika sih, tadi bilang 'daripada kita nunggu mereka nyerang, mending kita yang serang duluan'."

"Hey, don't be stupid. Tujuan lo pada ngumpul 'kan buat ngejaga satu sama lain, bukan malah nyerang mereka."

"Yah. Lu tau lah, kadang bocah sini belom puas kalo belom nge-fisik."

"But, please. Don't get involved, you guys. Lo pada anak kelas bilingual tapi kelakuan lo kek anak Suzuran."

"Hahahahah. Iyaa, aman udah."

"Terus sekarang Bayu lagi ngapain, Di?"

"Masih tidur, Ca. Kayaknya dia lagi kepikiran sama masalah ini. Apalagi ini awalnya masalah kalian yang ngerembet ke masalah sekolah."

"Well, tolong ya, Di. Make sure all you guys are going to be okay."

"Nggak mau nitip pesan hati-hati ke Bayu?"

"Nope. I'm sure he'll be fine. What matters now is you guys have to look out for each others." Jawab Caca, dan setelah itu, kami bertegur salam sebelum akhirnya mematikan telepon.

Hari sudah menjelang sore. Namun kami masih tetap berdiam di basecamp untuk menunggu serangan. Aku dan Rama juga sudah mencari informasi melalui koneksi yang kami miliki, dan benar geng sebelah tidak memasuki sekolah, namun kejelasan tentang apa yang mereka rencanakan masih belum jelas.

Di sisi lain, kami juga sudah lelah menunggu. Dika sudah tak sabar untuk memulai perkelahian, namun seperti ucapan Caca tadi, itu bukanlah tindakan yang baik dilakukan untuk saat ini.

Sekian lama kami menunggu, kini sudah waktunya bagi anak sekolah untuk pulang. Namun masih belum terlihat adanya pergerakan dari musuh. Beberapa diantara kami masih waspada menunggu, namun sebagian sudah merasa lelah dan ingin kembali ke rumah.

Petang pun tiba, dan langit sudah menggelap. Bayu pun sudah terbangun dari tidurnya dan kini ia sedang mengobrol bersama Rama dan Oli, namun masih terlihat raut wajah stresnya. Perlahan, makin banyak pula yang sudah ingin beranjak pulang.

"Ah, tai. Balik aja dah. Kelamaan nunggu cape juga gua." Ucap salah satu adik kelasku.

"Eh, jangan pada pulang dulu! Lu diserang tiba-tiba gimana?!" Teriak Dika menahan mereka.

"Udah jam segini juga, bang! Ngeri emak gua nyariin juga!" Balasnya.

"Yaudah, yaudah. Gini aja. Yang pada pengen balik, cari temen yang arah baliknya sama. Setidaknya kalo tiba-tiba dihadang kalian nggak kalah jumlah. Dan kalo ada apa-apa, langsung kabarin ke grup biar kita bisa langsung gerak." Potongku menginterupsi.

Setelah aku berkata, mereka yang ingin pulang pun membagi kelompok berjumlah 5-6 orang, sebelum akhirnya mereka beranjak pergi dari tongkrongan.

Sementara saat ini, hanya tersisa beberapa orang, dan semuanya adalah anak dari angkatanku, seperti Bayu, Rama, Dika, Oli, dan beberapa anak lainnya.

"Terus kita mau diem aja disini? Nggak ngapa-ngapain?" Tanya Dika.

"Coy, inget sama omongan lu. Lu yang bilang kita disini mau ngamanin diri, bukan mau nyerang!" Jelas Rama.

"Lah yaudah lah! Daripada kita nunggu kelamaan mending kita yang open duluan!" Balas Dika yang mulai emosi.

"Eh, udah lah! Gausah mikirin nyerang dulu!" Potongku lagi.

"Ah, ngentot! Tempe lu pada!" Balas Dika lagi.

Ucapan Dika ternyata membuat Bayu ikut terpancing, dan melihat kejadian semalam, pasti ini juga akan berakhir dengan buruk bila tidak dipantau.

"Heh, anjing! Lu jadi abang-abangan bukannya ngejaga bocah malah lu yang mau ngebawa kita ke bahaya, bangsat!" Potong Bayu yang membuat Dika makin emosi.

"Bay, lu sadar diri, ngentot! Lu lupa kalo semua ini kejadian gara-gara lu deket sama Claudia?! Ini semua juga bisa kejadian gara-gara lu, anjing!" Balas Dika makin naik pitam.

"YAUDAH, KALO GITU NGAPAIN LU NAHAN BOCAH-BOCAH DISINI?! INI MASALAH GUA, DAN KALO EMANG ADA APA-APA PASTI GUA YANG KENA, KAN?!" Teriak Bayu yang lagi-lagi mengobarkan amarah Dika.

Ucapan Bayu tadi benar-benar membuat Dika marah, dan Dika langsung beranjak dari duduknya dan menarik kerah Bayu hingga kini mereka berdua sudah siap untuk berkelahi.

Namun, dengan cepat aku langsung memisahkan mereka berdua. Dika masih berusaha untuk square-up ke Bayu, namun Bayu hanya terdiam selagi dirangkul oleh Rama.

Setelah sekian lama, Dika akhirnya bisa kembali tenang. Namun, Bayu yang masih emosi langsung melepas rangkulan Rama dan berlari mengambil tasnya.

"Dah, lah! Balik ae gua!" Teriak Bayu sebelum akhirnya dia beranjak pergi.

Setelah Bayu pergi, kami semua hanya terdiam. Dika sudah kembali duduk dan setelah itu Dika membakar rokok yang dia ambil dari plastik ketengannya.

"Nih si Bayu lama-lama kelakuannya ngentot juga, dah." Ucap Dika setelah membuang asap.

"Yah, yaudah lah. Dia juga lagi stres, Dik." Belaku.

"Lagian dia nyadar juga kagak sih, kalo disini dia malah dilindungin sama kita?" Balas Dika lagi.

Setelah Dika berkata seperti itu, kami kembali terdiam. Dika terus menghisap rokoknya, sementara aku dan Rama hanya bisa menutup mulut.

Cukup lama kami terdiam, sebelum akhirnya terlihat raut wajah Dika yang khawatir.

"Lu jadi kek khawatir gitu, Dik." Ucap Oli tiba-tiba.

"Ya iyalah, anjing! Gua tau Bayu kalo ribut juga oke, tapi kadang si tolol, tuh ngerasa kalo semuanya bisa dia tanganin sendiri. Kalo udah kejadian kayak Candra lagi, gimana?" Jawab Dika.

Tunggu. Sendiri?

"EH, ANJING!" teriak Dika mengejutkan kami semua.

"Eh, bangsat! Kenapa tai, lu tiba-tiba teriak?!" Jawab Rama.

"BAYU TADI BALIK SENDIRI?!"

OH, TIDAK! KITA KELEPASAN!

Kenapa kami tidak menyadari ini, dan kenapa aku juga tidak menyadari tentang hal ini? Aku yang memberi saran jangan ada yang pulang sendiri, dan aku sendiri yang malah membiarkan sahabatku pulang dengan sendirinya begitu saja.

"OHIYA, ANJING!" teriakku pula menyadari kesalahanku.

Seusai teriakanku, kami semua langsung beranjak dari duduk kami. Dika pun juga langsung bergegas mengambil kunci motornya.

"AYO CARI BAYU, BEGO!! PASTIIN SI BAYU UDAH SAMPE RUMAH!!" teriak Dika selagi kami mempersiapkan diri.

Seingatku, Bayu tadi berbicara kalau dia tidak memarkirkan motornya di tongkrongan maupun di parkiran sekolah. Bayu memarkirkan motornya di parkiran lapangan futsal yang berada dekat di sekolah kami.

Kami sudah berdiam disini cukup lama. Kemungkinan pula Bayu sudah berada di jalan menuju rumahnya dan entah apa yang bisa terjadi selama di perjalanan pulangnya.

"LI, LU LANGSUNG SAMPER RUMAHNYA BAYU, YA! KITA-KITA MAU LIAT PARKIRAN BAYU DULU!" Perintahku, dan Oli langsung menancap gas motornya meninggalkan kami.

Setelah itu, kami bertiga langsung berlari menuju ke parkiran tempat Bayu memarkirkan motornya, dan kemudian yang lain ikut menyusul kami.

Kami langsung berlari menuju ke lapangan futsal yang dimaksud. Sebelum menuju ke lapangan futsal, kami harus melewati sebuah tanah kosong seperti taman kecil yang tak terurus. Ketika aku masih berfokus ke lapangan futsal, salah satu orang di belakang kami berteriak.

"WOY! ITU DISAMPING!" teriak salah seorang.

Dengan cepat kami semua menoleh kesamping, dan aku tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Bayu berada disana.

Selain itu, aku melihat sejumlah orang yang sudah terkapar. Saat ini pun Bayu juga sedang berkelahi dengan orang yang kuanggap sebagai mangsa terakhirnya.

Bayu juga sudah terlihat tidak karuan dengan berbagai luka di sekujur tubuhnya, dan lawannya pun juga sudah berada di kondisi yang tidak prima. Berarti, Bayu menghadapi mereka semua sendirian?

Tiba-tiba, Bayu mengejutkan kami semua dengan melancarkan tendangan tinggi dengan kaki kirinya menuju ke kepala lawannya, dan bunyi tendangannya terdengar begitu nyaring dan dengan serangan itu, lawannya langsung tersungkur.

*BUUUUGGGGG!!!...*

Lawannya langsung tersungkur, dan hanya tersisa Bayu yang masih tetap berdiri. Tentu saja kami sangat terpana dengan pemandangan ini, namun selagi kami berjalan menghampirinya, Bayu tiba-tiba tersungkur membuat kami semua panik dan berlari kearahnya.

"BAY!!"

Aku dan Rama langsung menghampiri Bayu yang sudah terkapar. Bayu masih sadarkan diri, namun nafasnya begitu terengah-engah. Di sisi lain, Dika bersama yang lainnya sedang mencari tahu siapa yang baru saja Bayu lawan.

Mereka tidak terlihat familiar. Dilihat dari seragam dan jaketnya pula, mereka bukan anak dari SMA Rafael. Siapa mereka?

"BAY!! LU GAK NGAPE-NGAPE?!" teriak Rama, namun Bayu tak membalasnya dan Bayu masih terengah-engah sembari memejamkan matanya.

Tak mendapat jawaban dari Bayu, dengan cepat kami berdua langsung mengangkat dan membopong Bayu yang masih terpejam.

"BAY, MEREKA SIAPA?!" tanyaku yang lagi-lagi tak Bayu balas.

"EH, DIK!! INI BOCAH SMA YANG KEMAREN DI SEMIFINAL NGGAK, SI?!" Teriak salah satu orang yang membuat Dika makin tersulut.

Dengan cepat, Dika menarik salah satu orang yang sedang terkapar, dan Dika langsung memukul kepalanya kencang.

"HEH, ANJING! LU MASIH BELOM PUAS MUKULIN ANAKAN GUA?!" teriak Dika selagi masih memukuli orang yang sudah tak berdaya itu.

Dia tidak menjawab, dan Dika makin tersulut dan kembali memukuli orang itu.

"HEH!! LU NGAPAIN MUKULIN ANAKAN GUA, GUA TANYA SEKALI LAGI!!" tanya Dika yang masih belum berhenti.

"Hhhhh... Hhhh... Rafael...."

Akhirnya, muncul jawaban dari orang itu. Namun tentu saja, jawaban tersebut mengejutkan kami semua. Kenapa nama Rafael yang harus keluar dari mulutnya?

"HAH?! MAKSUDNYA APAAN RAFAEL?!" teriak Dika lagi.

"DIK, UDAH BAWA BAYU BALIK DULU AJA YANG PENTING!! URUSAN SIAPANYA MAH GAMPANG!!" potongku menyanggah Dika.

Setelah mendengar perkataanku, Dika langsung mendorong orang itu hingga tersungkur kencang ke tanah. Kemudian, salah seorang teman kami beranjak mengambil mobil dari tongkrongan dan dengan cepat kami membawa Bayu masuk kedalam mobil selagi kami beranjak ke rumah Bayu membawa sejuta pertanyaan.

Apa yang baru saja terjadi?

- To be Continued -​
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd