Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG With Benefits.

Status
Please reply by conversation.
Smoga TS baik" saja yaakkk, mungkin sibuk bgt jdi kelupaan threadny, RL first memang wajib

Jgn lupa triple update ya hu🤣✌️
 
- War -

======

Claudia





Bella





=====



Hal yang tak dapat dihindari pun akhirnya terjadi. Kami semua serentak turun dari tribun berbondong-bondong. Aku, Rama, dan Adi langsung meloncat kebawah dan memukuli siapapun yang mengincar kita.



Situasi sudah tak dapat dikembalikan kearah yang baik. Bahkan aku melihat bang Irfan selaku pelatih dan alumni dari SMA kami juga ikut memukuli ultras dari SMA Rafael.



Aku bahkan tidak bisa memerhatikan siapa yang baru saja memukulku, dan tentu saja sebaliknya juga. Suasana yang begitu kicruh ini membuatku tidak bisa memilih untuk menyerang siapa. Bahkan aku yakin pasti ada satu atau dua orang dari SMA-ku yang baru saja kupukul, terlebih dari kedua ultras yang mengenakan pakaian sama-sama serba hitam.



Pihak panitia yang mulai khawatir pun akhirnya beranjak memisahkan, namun tak akan mungkin bagi rusa untuk bisa menginterfensi perkelahian antara singa dan harimau. Alhasil tak jarang juga pihak panitia yang terkena hantaman kami.



Kepalaku mulai terasa berputar-putar. Pukulan dari berbagai orang yang mengenai kepalaku membuat lukaku terasa makin perih. Selagi aku berhenti berkelahi, tiba-tiba aku dipukul oleh seseorang begitu kencang mengenai pipiku.



*BUUGGGG...*



Akupun langsung tersungkur, namun selagi orang itu beranjak mendekati tubuhku yang terjatuh, aku menendang kakinya begitu kencang pula menyapunya dari pijakan.



*BUUGGG...*



Dengan cepat aku kembali bangkit selagi dia terjatuh, dan aku kembali mengepalkan tanganku. Aku langsung beranjak mendekati tubuhnya yang berpaling dariku, dan aku sudah siap untuk membalas pukulannya. Namun ketika ia menoleh kepadaku, tubuhku membeku kaku yang membuatku tak bisa melancarkan pukulanku.



Rafael terjatuh di depanku tak berdaya harusnya memberikanku kesempatan untuk menghajarnya, namun ucapan Caca sebelum pergi tadi terngiang-ngiang di kepalaku.



"Bay, promise me that you won't do anything stupid"



Rafael juga terlihat sudah siap menerima pukulanku, namun aku menahan gairah ini begitu kuat karena aku tidak ingin memperkeruh situasiku dengan Caca dan Rafael.



Akhirnya, pikiranku kembali terdistraksi ketika pihak panitia berbicara menggunakan loudspeaker.



"SUDAH!! SUDAH CUKUP!! KALAU KALIAN MASIH BERANTEM DISINI, KEDUA TIM AKAN DIDISKUALIFIKASI DAN FINAL AKAN DIBATALKAN, PAHAM?!" himbau pihak panitia.



Mendengar ucapannya, pikiranku kembali lurus, dan sama seperti yang lainnya. Alhasil, kekacauan berhasil diredakan, dan aku yang masih mengepalkan tanganku perlahan membuka kepalanku untuk membantu Rafael berdiri.



Namun, tentu saja Rafael menolaknya dan menampar tanganku membuangnya dari pandangannya jauh-jauh.



*Plakkk!!...*



Rafael berdiri dari baringnya, dan tanpa mengucapkan sepatah kata, Rafael berbalik dan pergi. Kami semua yang menjadi pemain pun kembali beranjak ke tribun untuk mengambil barang kami sebelum pulang.



"Ngentot, belom final aja udah gini, besok ini lapangan bisa jadi Pochinki kalo gini caranya" canda Adi yang sudah pesimis selagi kami mengambil barang.



"Ciut lu?" Balasku selagi memakai tas menoleh kearahnya.



"Kalo kita nggak ribut tadi siang sama tadi mah hantem gua, lah kalo gini? Balik ke SMA gak bawa piala doang, bendera kuning juga" jawabnya kembali bercanda.



"Hahahahaha, yaudah kalem lah, nanti balik langsung mandi pake air dingin biar seger" balasku tertawa.



"BTW, Bay, tumben lu nahan mukul tadi pas Rafael jatoh" potong Rama.



"Gatau, Ram, kepikiran omongannya Caca gua" jawabku seadanya.



"Anjing, masih bisa mikirin Caca lu di kondisi kayak tadi?" Balas Rama terkejut.



"Yah, gitu dah, yaudah yok cabut" jawabku asal membuat mereka berdua bingung sebelum kami beranjak pulang.



=====



Sesampainya di rumah, aku langsung melempar tasku ke sofa, dan aku langsung beranjak menuju kamar mandi. Tubuhku terasa begitu kaku dan nyeri setelah apa yang sudah terjadi seharian ini. Mandi air dingin pasti akan membuatku rileks sedikit sebelum aku beristirahat malam ini.



Setelah mandi, aku langsung beranjak ke kamarku dan merebahkan diriku di kasur setelah mengenakan pakaianku. Biasanya pada jam-jam ini aku sudah berada di meja belajar mempelajari soal-soal untuk mempersiapkan diri untuk SBMPTN nanti. Namun rasanya hari ini aku begitu lelah, dan aku ingin rebahan saja semalaman penuh.



Rasanya sudah begitu lama aku terdiam di kasur sembari melihat kearah langit-langit di kamarku ini, dan perlahan rasa kantuk mulai datang diiringi denganku yang mulai menguap.



Perlahan, aku mulai hilang kesadaran dan aku akan segera tertidur, namun, dering hapeku berbunyi dengan kencang membuatku tersentak kaget dan terbangun dari baringku.



*KRINGGG!!!!... KRINGGGG!!!!...*



Aku yang masih terkejut tak langsung beranjak meraih hapeku di meja samping kasur, namun dari kejauhan aku bisa melihat kalau Caca baru saja meneleponku.



"Halo, Ca?" Ucapku setelah mengangkat teleponnya.



"Bay, lo udah dirumah kan?? Lo nggak kenapa-napa, kan???" Ucapnya langsung menunjukkan kekhawatirannya, terdengar jelas dari suaranya.



"I'm fine, kok, santai" jawabku singkat.



"Did it end up chaoticly?" Balasnya lagi.



"Yah, kurang lebih gitu, tadi kayaknya ada altercation juga gua sama Rafael, tapi keinget omongan lu gua jadi nahan pukulan gua" jelasku mengenai kejadian dengan Rafael tadi.



"Oh my gosh, how can that happened??" Tanyanya lagi.



"Nggak tau, omongan lu tiba-tiba terngiang aja di otak gua" jelasku lagi.



Setelah aku mengatakan itu, Caca tidak berkata apa-apa. Namun aku bisa mendengar suara percikan air yang begitu tenang dari sisi lain teleponku dengan Caca ini. Akupun mulai menyalakan lagu untuk menghilangkan kesunyian ini.



Ketika aku merasa sudah tidak ada topik yang perlu dibahas, aku kembali teringat tentang ucapan Rafael di ruang ganti tadi.



"Ca,"



"Iya?"



"Tadi Rafael ngomong ke gua tentang sesuatu" jelasku.



"Ngomong apa?"



"Dia minta gua ngejauh dari lu, dia mulai ngerasa nggak nyaman dengan adanya gua di samping lu" kembali jelasku.



"Oh my, dia tuh nggak bisa apa sekali aja berjuang sendiri tanpa nyuruh orang?" Balas Caca dengan nada kesal.



"Tapi kali ini mungkin emang bener, Ca, mungkin emang tindakan yang bener untuk sekarang," kembali jelasku ke Caca yang membuatnya terdiam.



"Ca, menurut lu apa gua udah terlalu deket sama lu sampe gua ngeganggu hubungan kalian? Apa gua udah harus ngejauh dari lu?" Tanyaku ke dia.



"Bay, kenapa lo mikir kayak gitu? Apa lo juga udah nggak nyaman sama gue?" Kembali tanyanya.



"Jujur, gua juga ngerasa nyaman sama lu entah lu ngerasa yang sama atau nggak, cuma tetep gua nggak mungkin bisa terus nyerempet batasan yang harusnya nggak dilewatin, kan?" Jawabku.



"Bay, lo nggak pernah nyerempet batasan-batasan itu, lagipula, kalo lo ngejauh dari gue secara ga langsung juga ngunjukin kalo lo sebenernya punya rasa, kan?" Jelas Caca.



Ucapan Caca memang terdengar begitu diluar proporsi, tetapi mendengar ucapannya, aku bisa paham dengan situasi ini.



Situasi ini benar-benar menjadi lose-lose situation untukku, dan apapun langkah yang akan kupilih, ujungnya aku akan kehilangan salah satu teman.



Aku begitu merasa nyaman dengan Caca sebagai sahabatku, dan aku juga begitu menghormati Rafael. Situasi yang sudah keruh begitu mendalam ini sudah membuatku tak bisa lari dari kedua kemungkinan yang ada.



"Yah, intinya, yang paling penting bagi lo sekarang, gue nggak mau nyuruh lo bertindak apa, tapi lo harus tau mana yang terbaik buat diri lo sendiri, okay? Gue bakal selalu ada disini kok, I won't go anywhere" ucapnya lagi.



"Yeah, I guess so, thanks a lot, Ca" jawabku.



Setelah itu, kami kembali terdiam hening tanpa ada obrolan, dan percikan air itu kembali terdengar dan terdengar begitu menenangkan. Aku bahkan mematikan lagu dari laptopku untuk menenangkan percikan air itu.



"Eh Bay, luka lo gimana jadinya?" Tanya Caca tiba-tiba mengagetkanku setelah terdiam cukup lama.



"Eh, kaget gua tai, lagi enak dengerin percikan air, aman kok Ca lukanya alhamdulillah" jelasku.



"Hahahahaha, tapi abis chaos tadi makin parah, nggak?" Tanyanya lagi.



"Nggak, sih, udah nggak ngucur juga, ini aja perbannya udah gua buka" balasku.



"Ih, mau liat dong, on-cam dong lo" pintanya.



Akupun langsung menyalakan kameraku, dan aku langsung membalikkan kamera menggunakan kamera depan untuk menunjukkan wajahku selagi Caca masih mematikan kameranya.



"Nih, liat, nggak kenapa-napa, kok" ucapku sembari menerawangkan kamera kearah lukaku.



"Udah lo bersihin, kan?" Tanyanya dan kubalas dengan anggukan.



Setelah Caca bertanya dan kubalas, aku langsung beranjak ke meja belajarku, dan aku menyandarkan hapeku ke laptop supaya aku bisa menggunakan laptop sembari video call dengannya.



Sudah cukup lama tak ada pembicaraan, dan Caca masih mematikan kameranya. Tapi tak lama kemudian, Caca menyalakan kameranya langsung menggunakan kamera depan, dan ketika aku melihat kearah hapeku, aku begitu terkejut melihat apa yang terpampang di hapeku.



"CA, GILA LU!!"



Ternyata, selama ini Caca sedang berada di bath-tub selagi meneleponku. Percikan air yang kudengar berasal dari keran yang tidak tertutup rapat, dan aku melihat bagian atas tubuh Caca yang bening mulus dengan rambutnya yang masih diikat cepol, meski Caca tidak menunjukkan bagian payudaranya yang masih terendam air.



"HAHAHAHAHAH, MAKANYA DARITADI GUE NGGAK NYALAIN KAMERA!" jawabnya tertawa terbahak-bahak.



"GIMANA RAFAEL NGGAK KHAWATIR, KERJAAN LU BEGINI! HAHAHAHAAHAHAH" jawabku juga ikut tertawa karena terkejut Caca bisa seberani ini.



"HAHAHAHAHAHAHAHA, ADUH GUE JUGA MALU ASLI!" balasnya masih tertawa terbahak-bahak.



Anehnya, setelah mengatakan itu, Caca tidak kembali mematikan kameranya. Ia masih menggenggam hapenya entah sedang melakukan apa.



Di sisi lain, aku merasa begitu canggung. Aku benar-benar gelisah dengan situasi ini. Aku ingin sekali tidak menatap kearah hapeku, namun pemandangan yang langka ini membuatku sangat sulit untuk menoleh kearah lain.



Alhasil, tentu saja senjata pamungkasku mulai terbangun dari tidurnya, dan celanaku mulai terasa sesak.



"Ca," ucapku tiba-tiba yang bahkan membuatku terkejut juga.



BEGO, KENAPA GUA MANGGIL CACA?!?



"Kenapa, Bay?" Tanyanya.



"Eh gajadi, deh"



"Ih apaan, si? Nggak boleh setengah-setengah gitu kalo ngomong" jawab Caca.



Aku masih tidak mau membuka mulut, namun Caca terus memaksaku hingga aku sudah tidak bisa mengelak lagi.



"Iya dehh iyaa, hmmm, I don't know how to say this properly, but...." Jelasku yang kutahan karena malu.



"But what?"



"I'm hard right now"



Mendengar ucapanku, Caca lagi-lagi terbahak-bahak membuatku makin malu untuk melihat kearahnya meski tubuhnya yang bening masih terlihat begitu menggoda.



"HAHAHAHAAHAHAH! ALAH, TADI AJA NGELES LO SEGALA KAGET, SENENG JUGA KAN LO LIATNYA?!" balas Caca setelah puas tertawa.



"SIAPA YANG NGGAK SENENG NGELIAT BENING-BENING GINI?! PAK RYAN JUGA KALO NGELIAT LU BEGINI PASTI NGACENG!" jawabku lagi yang akhirnya meluapkan semuanya.



"HAHAHAHAHA! NGGAK LAH! Lagian kan gue pernah ngomong ini benefit-nya lo sahabatan sama gue" balasnya.



"Ooooh, jadi kita sekarang FWB-an, nih?" Ucapku asal.



"Apa? Friends with 'Bahan'?" Jawabnya lagi yang membuatku kembali tertawa.



"HAHAHAHAAHAHAH, CA, KACAU DAH LU ASLI, GUA JADI KEBAYANG CIRCLE-CIRCLE LU BEGINI SEMUA ATAU GIMANA" balasku lagi.



"Ih, Bay, kalo lo mau tau mah, ini cuma tip of the iceberg doang, yang lain jauh lebih parah dari ini" jelasnya.



"Hah, segimana?"



"You wouldn't like to know" balasnya.



Aku kembali terdiam tanpa mengatakan apa-apa, dan lagi-lagi, Caca kembali membuka suara.



"Bay"



"Iya?"



"Can I give you a little present for reaching the finals?" Tanyanya kepadaku.



"Hadiah apa? Kalo lu mau ngasih mah ngasih aja, atuh, Evelynn aja waktu itu beliin gua makanan pas Bola nggak pake izin" jawabku asal.



"Mmmmm...." Dengungnya, dan entah kenapa, perasaanku mulai tidak enak dan pikiranku mulai kemana-mana.



"Kenapa perasaan gua gaenak, ya?" Tanyaku canggung membuatnya tertawa kecil.



Caca tidak menjawab pertanyaanku. Namun, perlahan terlihat Caca mulai mengangkat tubuhnya yang terendam air, dan Caca mulai menurunkan angle hapenya selagi jantungku berdebar begitu kencang melihat situasi ini.



Yah, Caca menunjukkan payudaranya kepadaku.



"CA, WHAT THE FUCK?!" Teriakku begitu terkejut melihat tubuhnya yang terpampang jelas di depan mataku selagi aku membuang penglihatan kearah yang lain.



Caca tidak menjawab, namun selagi aku berpaling, aku masih bisa melihat dari ekor mataku kalau Caca masih menunjukkan payudaranya dan terlihat wajahnya yang malu-malu melihat kearah kamera.



Perlahan, aku mulai kembali menoleh kearah hapeku, dan melihat gelagatku, Caca hanya tertawa kecil dan menutup wajahnya dengan satu tangannya.



Akhirnya aku melihat semuanya dengan jelas. Wajah Caca yang begitu manis dengan rambut dicepol, tubuhnya yang terlihat basah, dan payudaranya yang begitu mulus tanpa ada corengan dengan putingnya yang berwarna coklat. Payudaranya memang tidak besar, namun siapapun pasti akan keras melihat pemandangan ini.



"You like your present?" Tanyanya dengan nada malu-malu.



"Who doesn't? Siapa yang nggak suka ngeliat Claudia Marino ngunjukkin teteknya?" Jawabku canggung pula yang membuatnya tertawa kecil.



"Are you getting harder?" Kembali tanyanya dengan nada rendah.



"Yeah, but if you ask me, I don't want to look" jawabku yang membuatnya terkejut.



Caca hanya terdiam mendengar ucapanku, dan perlahan, Caca kembali menaikkan angle-nya sehingga payudaranya kembali tak terlihat.



"Ca, kenapa lu bisa seberani itu? Lu kan tau gua bisa aja nge-SS dan gua simpen" tanyaku kepadanya.



"I don't know, mungkin karena kebawa suasana juga, Bay, gue juga nggak tau kenapa," jelasnya, dan sebelum aku kembali berbicara, Caca melanjutkan omongannya.



"Lagipula, gue percaya kok sama lo, lo orang baik, meski kadang gampang kepancing, tapi lo itu orang baik dan respectful" jelas Caca membuatku terdiam.



"Jujur gue juga kaget kenapa gue bisa kayak gini ke lo, tapi entah kenapa, perasaan gue ngeyakinin gue kalo you won't do such things, gue ngerasa dilindungin sama lo, I feel much safer when you're around me, that's why I don't want you to stay away from me" jelasnya lagi.



"Kenapa nggak Rafael?"



"Bay, jujur, gue dapet lebih banyak hal dengan beberapa bulan ini deket dengan lo daripada dengan dua tahun gue sama Rafael, mungkin ini juga hadiah buat lo yang udah mau care sama gue, mau ngejagain gue meski awalnya disuruh Rafa, thanks a lot, Bay" lanjutnya bercerita.



"Caa, dari sekian banyak hadiah yang bisa lu kasih, kenapa harus ini? I mean I get it, karena terbawa suasana, tapi tolong, lain kali jangan kayak gini, oke? As much as I like it, ini masih salah, Ca" balasku berpesan kepadanya, dan Caca hanya terdiam tak melihat kearahku.



Caca terdiam bisu tak menjawab pesanku. Akupun juga tidak memaksanya untuk menjawab. Aku hanya membiarkan ia terdiam memikirkan pembicaraan ini. Wajahnya terlihat bimbang, dan ia masih melihat kearah samping.



Namun, rasanya juga begitu canggung bagiku saat ini. Meski Caca menoleh dariku, sudut kamera yang ia unjukkan masih sama. Aku masih dapat melihat payudaranya dengan jelas, dan meskipun aku berusaha sekuat mungkin untuk berpaling, naluriku sebagai lelaki tak membiarkanku berpaling dengan mudah.



Alhasil, aku terus memerhatikan tubuh Caca yang mulus, dan meski perasaanku begitu berkecamuk, aku tetap mengeluarkan kontolku untuk terbebas dari belenggunya, dan naluriku menyuruhku untuk mulai menyentuh kontolku.



Setelah sekian lama, akhirnya Caca melihat kearahku, tapi tidak melihat kontolku yang sedang kukocok karena posisiku yang membuat kontolku tertutupi meja.



"Bay..." Ucapnya lirih.



"Iyaa??..."



"We've gone in too deep, haven't we? Mau sejauh apapun kita coba balik ke permukaan, pasti akan susah" lanjut Caca selagi aku masih mengocok kontolku.



Aku tidak menjawab pertanyaan Caca, dan entah kenapa pikiranku teralihkan untuk menyalurkan hasratku sehingga aku tidak peka dengan sekitarku. Akhirnya Caca pun bingung kenapa aku tidak menjawab, dan Caca kembali bertanya kepadaku.



"Bay?" Tanyanya lagi.



Akhirnya Caca mendekatkan wajahnya kearah hapenya, dan Caca menyadari posisi dan pergerakan tanganku sebelum akhirnya tersenyum canggung.



"Bay.... Lo coli??..." tanya Caca terheran-heran, dan tiba-tiba ucapannya menyadarkanku dan mengangkat kedua tanganku ke udara.



"EH, EH!!" teriakku selagi mengangkat tanganku.



Caca hanya tertawa kecil melihat sikapku, dan alih-alih mematikan kameranya, Caca tetap membiarkan payudaranya terekspos.



"Hahahaha, kayaknya ada yang kebawa suasana juga, ya" jawabnya pelan.



"Susah anjir, mau kayak gimana juga kalo udah kaya gini mah kalo nggak orangnya bersih banget nggak bakal kebawa" jawabku asal yang membuatnya tertawa lagi.



Caca masih menunjukkan payudaranya kearahku, tetapi aku takut untuk menyentuh kontolku lagi.



"Bay,"



"Iya?"



"It's okay kalo lo masih kebawa suasana, I'll let you finish it" ucapnya mengagetkanku.



Aku begitu terkejut mendengar perkataannya yang memberiku jalan untuk menuntaskan hasratku, namun, lagi-lagi nafsu menguasai pikiranku dan tanganku kembali mengarah kearah kontolku.



Dari sisi lain telepon, Caca hanya tersenyum melihatku yang kembali mengocok batangku. Tak lama kemudian pula, Caca mulai memainkan payudaranya terlihat jelas di layar hapeku.



"Urghhh... VCS pertama gua sama sahabat gua sendiri anjiiir...." lenguhku selagi mengocok kontolku.



"Hah? Lo serius belom pernah begini sebelumnya?" Tanya Caca terkejut mendengar ucapanku.



"What you expect??... Pacaran aja kaga pernah..."



"Well I don't know, kali aja lo pernah nyari VCS berbayar di L*ne atau Tw*tter" bela Caca.



"Nggak lah... Urghh... I'm a virgin, but I don't act like one" jawabku asal selagi mengocok kontolku.



"Was that mean to be an insult?" Tanyanya tersenyum meledekku, namun tidak kubalas karena aku masih fokus mengocok.



Tak mendapat jawaban, Caca hanya tersenyum kecil. Aku terus mengocok kontolku sembari memerhatikan layar hapeku yang berisikan pemandangan indah ini.



Tak lama kemudian, aku sudah tidak melihat tangannya di payudaranya. Kini kedua payudaranya kembali terbuka bebas. Selain itu, aku memerhatikan wajahnya, dan kini Caca terlihat sedang memejamkan matanya dan terdengar lenguh-lenguhan kecil.



"Aahhh...."



Oh, pasti Caca sedang memainkan memeknya saat ini.



"Are you playing with yourself??..." Tanyaku pelan.



"Ummmhh... Yeahh...." Jawabnya tanpa membuka matanya.



Aku terus mengocok kontolku, dan raut wajah Caca makin terlihat aneh karena keenakan dengan jarinya. Namun entah kenapa, rasanya tiap aku mulai bergejolak, aku menghentikan kocokanku karena aku tidak ingin momen liar ini berakhir dengan cepat.



"Ahhh... Bayy...." Panggilnya selagi kami memuaskan diri masing-masing.



"Kenapa, Ca?..."



"Can I see your dick??.... Unmmhhh..."



Aku tidak langsung menjawab dengan perkataan, namun dengan cepat aku memundurkan kursiku dan mengekspos kontolku yang membuat Caca begitu terkejut.



"Oh my godd.... Is it really that big??... Ummmhh..." Ucapnya kagum diselingi desahan lembut.



"Mau buktiin sendiri??..." Ledekku selagi mengocok kontolku.



"Ahhh... Halah... Nanti lo bingung sendiri kalo gue pegang kontol lo... Ummhhh..." Jawabnya yang masih terbuai kenikmatan.



Tubuhku mulai berkeringat. Wajah Caca juga sudah terlihat begitu memerah. Desahan Caca yang begitu menggoda makin terdengar jelas di telingaku.



Semakin kami pergi lebih jauh, Caca kini membuka ikatan rambutnya, dan seluruh rambutnya ia hempaskan membuat Caca terlihat makin sensual.



Setelah membuka ikatan rambutnya, Caca kembali memainkan memeknya dan terlihat Caca memainkannya dengan cepat. Caca juga terlihat begitu menikmatinya meski ia terlihat seperti menahan desahannya.



"Ummmhh... Bayyy...."



Akupun juga sama, setelah sekian waktu, aku mulai mempercepat kocokanku. Di sisi lain, Caca makin terlihat menikmati permainannya sendiri dan lenguhannya terdengar makin jelas. Untungnya bagiku, Mamah sedang tidak ada dirumah dan Bella juga terdengar sedang memutar musik cukup keras di kamarnya.



"Ahhhh... Lo masih belom keluar Bay???... Ummhhh..." Tanyanya selagi mendesah.



"Belomm... Masih lama jugaa kayaknya..."



"Ahhh... Kuatt bangett loo... Jadi penasarann pengen nyobaa..." Jawabnya yang mulai melupakan batasan.



"Urghh... Besok gua izin sama Rafael dehhh... Bilang pacarnya pengen nyobain sahabatnyaa..." Jawabku yang juga sudah begitu lepas.



Aku dan Caca sudah terlalu terbawa suasana dan kami sudah terlalu bernafsu untuk mengingat kalau kami sudah terlalu jauh kedalam lubang nafsu ini. Caca sudah tidak menahan desahannya sementara aku masih terus menikmati pemandangan yang ada di depanku.



Sebenarnya tak jarang aku sudah merasa ingin keluar, namun ketika sudah muncul tanda kalau aku akan klimaks, aku menghentikan kocokanku karena nafsuku tak membiarkanku melihat pemandangan ini berlalu dengan cepat, meski kadang rasanya kontolku begitu nyeri.



"Ummmhh... Bayy... Are you getting close??..." Lenguhnya lagi selagi bertanya.



"Urghh... Belom Ca..."



"Ahzhh... Do I need to show you my pussy??..." Tanyanya lagi kepadaku.



"It's okay... Nggak usah terlalu jauhh... Segini aja udah cukup kok... Just moan harder, that'll do me nicely..." Jawabku yang entah kenapa masih bisa berpikir logis.



Akhirnya, Caca pun menuruti permintaanku. Caca makin terlihat menggelinjang dan desahannya terdengar makin keras. Ekspresi wajahnya yang begitu manis sedang dilanda kenikmatan pun juga sudah cukup untuk membuatku makin bernafsu dan mempercepat kocokanku.



"Ahhhh... Bayyy... I think I'm closeee... Ummmhhh..." Lenguhnya kencang ketika ingin sampai menuju orgasme.



"Urghh... Gua juga Ca..."



Aku mempercepat kocokanku hingga akhirnya aku sudah merasa akan keluar. Caca pun sama, pergerakan bisepnya menunjukkan ia mempercepat gerakan tangannya entah ia memasukkannya ke dalam memeknya atau tidak. Desahannya juga sudah makin tak terkontrol.



"Bayy... Gue keluaaarrr.... AKHHHHH.." jeritnya mendapat orgasme.



Jeritan Caca membuatku makin bernafsu, dan aku terus mengocok kontolku begitu cepat hingga akhirnya aku sudah tidak tahan dan peju yang sudah cukup lama tak aku keluarkan akhirnya menyembur keluar.



"Arghh... Gua keluar juga Ca..." Lenguhku mencapai klimaks.



Aku sudah lama tidak coli dan pejuku sudah tertampung cukup banyak. Pejuku menyembur cukup kencang dan bahkan ada beberapa yang mengenai hapeku sementara sisanya menyembur ke lantai.



Awalnya aku tak menyadarinya karena setelah aku klimaks, aku langsung menyandar ke kursi menghadap ke langit. Aku begitu terengah-engah dan Caca terdengar sama sepertiku.



Setelah cukup lama aku seperti kehilangan nyawa, aku kembali menoleh ke hapeku. Begitu terkejutnya aku melihat pejuku tertempel di layar dengan pemandangan Caca yang masih memejamkan matanya terengah-engah.



"EH, ANJIR!!" teriakku kaget membuat Caca membuka matanya.



Dengan cepat aku langsung mengambil tisu. Aku mulai membersihkan peju yang terhempas ke hapeku dan mematikan kameraku.



"Hhhhh... Hhhh... Kenapa, Bay??..." Tanya Caca masih terengah-engah.



"Peju gua ketembak ke hape gua anjir!" Jawabku selagi membersihkan hapeku.



Caca pun tertawa mendengar jawabanku, dan bersamaan aku juga melihat Caca mulai bangkit dari bath-tub nya.



"Hhhh... Hhhhh... Hahahahaha... Hhhhh... Kayak cum-in-face dong..." Tawanya terengah-engah selagi beranjak dari bath-tub nya.



"Kok lu ngerti aja sih, anjir?" Tanyaku asal.



"Hhhh... Hhhh... Emang cuma cowo doang yang bisa ngerti??... We as girls can also know about this stuffs, you know?" Jawabnya lagi.



Setelah selesai membersihkan hapeku, aku langsung membersihkan peju yang tercecer di meja dan lantaiku. Di saat yang bersamaan, Caca berjalan keluar dari kamar mandinya.



Caca tidak mengenakan handuk sama sekali, dan dia berjalan bebas keluar dari kamar mandi tak peduli apakah akan ada yang melihat atau memerhatikan, dan yang terlihat di hapeku hanya bagian atas tubuhnya sehingga aku tidak bisa melihat memek maupun pantatnya.



Setelah selesai membersihkan, aku langsung beranjak dari dudukku juga untuk membuang tisu ini ke tempat sampah tepat di depan kamarku. Ketika aku sudah kembali, aku langsung melihat Caca sudah merebahkan dirinya di kasur dengan sebagian tubuhnya tertutupi oleh selimut.



Entah kenapa, melihat Caca yang sedang seperti ini dengan raut wajah datar, tubuh dibalut selimut meski tak semuanya hingga aku masih bisa melihat payudaranya memberikan kesan yang lebih hot di mataku dibanding saat di kamar mandi tadi.



Seolah pikiranku membayangkan bagaimana pemandangan yang akan kulihat di pagi hari setelah tertidur ketika aku tidur dengannya setelah semalaman bersenggama.



"Lu nggak mandi lagi, Ca?" Tanyaku setelah kembali duduk dan kembali menyalakan kameraku.



"Ummm... Nggak deh... I'm too tired so I'll just take a shower later" jawabnya tanpa memindahkan angle-nya.



"Gamau pake baju?"



"Nggak juga, hahahaha, enak tau tidur naked, apalagi kalo abis 'main' kayak tadi" jawabnya menggodaku.



"Halah, awas aja kalo sampe sakit lagi, bisa-bisa gua ribut sama Rafael di Rumah Sakit nanti" ledekku lagi.



Caca hanya tertawa mendengarku, dan aku kembali terdiam melihat sesosok wanita tanpa busana sedang menatap balik kearahku.



Meski Caca memang sahabatku, tak dapat dipungkiri juga kalau aku juga bisa terpancing melihatnya seperti ini. Rambutnya yang basah diatas bantal, wajahnya yang tetap manis meski rautnya datar, payudaranya yang mulus tanpa cacat, semuanya dikemas begitu indah membuat juniorku kembali bangkit.



Aku mungkin menatapnya terlalu fokus hingga akhirnya Caca juga menyadari kalau aku sedang memerhatikan keindahannya.



"Heh bengong-bengong, kenapa lo?" Tanyanya dengan nada meledek.



"Gatau kenapa, lu lebih keliatan hot dah kalo lagi begini" jawabku berterus terang.



"Hmmm, are you hard again?" Tanyanya lagi.



"Iya" jawabku singkat yang membuatnya tertawa.



"Hahahahhaah, aduhh, bisa-bisa kebawa suasana lagi, nih" jawabnya tertawa.



Setelah itu, tanpa izin dari Caca, aku membalikkan kameraku dan menunjukkan kontolku yang sudah keras lagi dan ia begitu terkejut melihatnya yang kini dengan jarak lebih dekat.



"Oh my god, gede banget" ucapnya spontan.



"Punya Rafael kalah ya" ledekku.



"Kepo lo" jawabnya singkat yang membuatku tertawa.



"Hahahahahaha"



"Ihh, kok itu masih belepotan cum-nya, nggak lo bersihin apa?" Tanyanya lagi melihat kontolku yang belum bersih.



"Bersihin dong" jawabku bercanda.



Tak disangka, Caca pun merespons candaanku, dan ia memberi gestur menjilat dari bawah ke atas seakan menggodaku untuk masuk ke ronde kedua.



"Heh, heh, udah jangan lu lanjutin" ucapku mengingatkannya.



Caca kembali tertawa, dan setelah itu, aku kembali mengambil tisu dan membersihkan kontolku sebelum kembali mengenakan celanaku.



Setelah selesai, aku kembali menaruh hapeku di meja, dan tiba-tiba Caca bertanya kepadaku.



"Bay," mulainya. "Menurut lo gue murahan ga, sih?"



"Kenapa tiba-tiba lu nanya begitu anjir? Mana pas banget abis VCS" jawabku kaget.



"I don't know, Bay, even though I liked it while we're doing it, gue juga agak ngerasa 'fuck, kok gue gampang banget kebawa suasananya?', dan kenapa harus elo orangnya?" Jawabnya.



"Well, as you know, gua nggak pernah terjun ke dunia yang kayak gini, jadi gua nggak tau banyak tentang hal ini," mulaiku menjawab.



"Tapi apa mungkin lu ngerasa gini karena di sisi yang sama, Rafael juga begini di sisi yang sama?"



"Ngga tau juga, sih, mungkin iya, but how could I know?" Tanyanya lagi.



"Nah, mungkin ya karena itu, atau kalo nggak, ya emang purely karena kebawa suasana aja, lagian juga meskipun gua gatau body-count lu, gua percaya kok, lu orang baik, dan dari sepenglihatan gua juga lu jarang ada di SG-nya Evelynn sama yang lain kalo mereka lagi pada party, dimana dari sepengetahuan gua di tempat kayak gitu banyak yang ONS-an, kan" jelasku dengan pengetahuan yang minim.



"Yah, kurang lebih begitu, masalah yang lo bilang tadi pas coli juga sebenernya gitu, alesan kenapa gue nggak mau ikut ke party sama anak-anak karena gue tau pasti banyak yang kaya gitu, gue nggak pernah ada pikiran kalo gue mau having sex sama orang yang nggak gue kenal atau punya ikatan emosional, dan meski tainya sekarang gue malah beginian sama lo" jawabnya tersenyum sembari bercanda mengenai apa yang kami lakukan tadi.



"Well, intinya, I'm sorry for getting you through this, Bay" sambungnya lagi.



"Yah mau denial kayak apa juga gua juga enjoy, kok, mungkin besok-besok jangan sampe kelepasan lagi, ye" jawabku.



"Iyaa, yaudah lo mandi wajib dulu sana, jangan coli lagi" balasnya meledekku, dan aku tertawa kecil sebelum akhirnya Caca mematikan teleponnya.



Setelah Caca mematikan teleponnya, aku langsung beranjak ke kamar mandi untuk melakukan mandi wajib. Meski hanya sebentar, aku begitu berkeringat dan mandi lagi membuatku merasa kembali begitu segar.



Setelah selesai mandi wajib, aku kembali ke kasurku dengan pakaian yang baru lagi. Selagi berbaring, aku kembali membuka hapeku ketika aku melihat aku mendapat notifikasi baru dari L*ne-ku.



Setelah kubuka, aku langsung melihat chat dari Caca berada di paling atas, dan tak terlihat Caca berkata apa karena notifikasi yang masuk ke chat-ku hanya tulisan Caca mengirim foto, membuat pikiranku kembali mengawang kearah sana.



Dengan sigap aku membuka chat dari Caca, dan dugaanku pun benar. Caca mengirim dua fotonya yang masih tanpa busana kembali menunjukkan keindahannya, dan bahkan satu foto lainnya nyaris memperlihatkan memeknya, namun angle fotonya yang dari atas hanya membuat tubuhnya terlihat dari wajah hingga bawah perutnya, dan terlihat sekilas jembutnya yang cukup lebat.



"Nih kalo lo mau coli lagi HAHAHAHAAHAHAHAH" isi pesan dibawahnya.



"Heh si bego" jawabku singkat selagi tertawa dan menyimpan foto itu, mungkin akan bisa kugunakan di lain hari.



Aku tak melakukan apa-apa lagi setelah itu. Chat-ku juga tidak dibaca oleh Caca cukup lama dan perlahan aku merasa ngantuk dan beranjak tidur.



=====

(Keesokan harinya)



Sepulang latihan pagi hari tadi, aku, Dika, Rama dan Oli yang menyusul dari rumahnya berkumpul dirumahku untuk menghabisi hari. Banyak yang perlu dibahas.



Besok akan menjadi hari yang sangat besar. Kami harus mempersiapkan seluruh aspek untuk mendatangi final yang tidak pernah kami raih sebelumnya. Hal sekecil dresscode, formasi ultras, tifo, kerjasama dengan tim cheerleader dan bahkan kami juga sudah mempersiapkan skenario terburuk bila kami harus kembali 'turun ke jalur'. Meski kami tidak yakin kalau kami akan menang, kami ingin momen ini akan menjadi momen paling dikenang.



Sepanjang hari ini juga aku tidak banyak bicara dengan Caca meski kami bisa membuang rasa canggung kami setelah semalam. Caca hanya membangunkanku pagi ini lewat telefon dan mengingatkanku untuk latihan, dan Caca juga bercerita kalau hari ini dia ingin pergi main ke wisata pantai di Ibukota.



Hari sudah menjelang sore, dan efek latihan mulai menyerang tubuhku terlebih setelah hari panjang kemarin. Aku dan Rama tertidur sementara Oli dan Dika sedang memainkan PS-ku.



Ketika menuju jam setengah 5, akhirnya aku terbangun, dan bersamaan dengan aku terbangun, aku mendengar ada ketukan dari pintu depan.



"Mmm... Ada yang ngetok pintu, ya?" Tanyaku yang masih belum sepenuhnya sadar.



"Iye, Bay, turun dulu aja gapapa" jawab Oli tanpa menoleh.



Namun tak lama kemudian, aku mendengar pintu terbuka. Pasti Bella yang berada di lantai bawah sudah membukakan pintu.



"Loh, kak Rafa?? Yaampun udah lama banget nggak kesini!!" Ucap Bella cukup kencang yang terdengar sampai kamarku.



"Hahahaha, halo, Bel, gua abis latihan tadi jadi sekalian mampir kesini bentar" jawabnya.



Mendengar nama itu, aku langsung kembali segar dan Rama juga ikut terbangun. Oli dan Dika pun langsung mem-pause game-nya selagi kami berempat saling menatap.



"Hah, Rafael ngapain kesini?" Tanya Oli yang begitu terkejut.



"Si anjing mau nganter nyawa apa gimana kesini?!" Sambung Dika yang langsung terbawa emosi.



Aku tidak langsung menjawab, dan meski sangat samar, aku dapat mendengar percakapan Bella dan Rafael di bawah.



"Oalah, padahal besok finalnya, kak Rafa malah kesini, diatas lagi ada kak Dika sama kak Oli juga tuh, nanti digelutin loh" balas Bella.



"Oh, lagi ada temen-temennya Bayu juga?" Tanya Rafael.



"Iyaa, tadi pagi abis latihan langsung kesini, bentar yah kak aku panggilin kak Bayu nya dulu, KAKKKK!! ADA KAK RAFA, NIH!!" teriak Bella memanggilku.



Kami berempat tidak langsung menjawab, dan kami masih bertatapan sedang memikirkan apa yang akan kami lakukan.



Tentu saja meski Rafael temanku, tensi diantara SMA kami masih belum baik, dan bila kami tidak bisa menahan emosi, bisa saja kami menghabiskan Rafael disini juga.



"Kita pukulin aja apa gimana, nih?" Tanya Dika yang sudah semangat.



"Heh, di rumah orang sembarangan ae lu" jawabku menolaknya.



"Lah musuh udah dateng sendirian kesini masa kita lepas gitu aja, Bay?" Balasnya.



"Ya nggak di rumah gua juga, bangsat, udah lu sama Oli ngerokok dulu aja di balkon, biar gua sama Rama yang ngomong ke Rafael" jawabku lagi menyuruh mereka pergi sejenak.



Akhirnya, Oli yang masih memiliki akal sehat pun membawa Dika ke balkon untuk merokok, sementara aku dan Rama beranjak keluar dari kamarku dan menuruni tangga, melihat Rafael yang sudah duduk di meja tamu dan Bella yang hanya mengenakan celana dan kaus pendek beranjak ke dapur untuk membuatkan minum.



Selagi menuruni tangga pun, terlihat wajah sungkan dari Rafael dan senyumannya terlihat sangat canggung. Rama pun juga terlihat sama, dan aku sebagai tuan rumah harus tetap menjaga ketenanganku.



"Halo, Bay, Ram" sapanya ketika kami menuruni tangga.



"Anjir, udah nyaris dua tahun lu nggak pernah kerumah gua, tiba-tiba dateng gitu ae lu nggak ngabarin nggak apa" jawabku dengan nada bercanda membuatnya tertawa kecil.



Kami berdua langsung menduduki sofa di ruang tamu, dan Rama masih tak mau menoleh ke Rafael dan hanya memainkan hapenya sementara aku mulai mengajak Rafael ngobrol.



"Kenapa Raf, tiba-tiba lu kesini?" Tanyaku mulai pembicaraan.



"Hmmm, mulainya gimana ya," balasnya.



"Bay, kalo gua mau minta tolong sama lu boleh, gak?"



Mendengar ucapannya, perasaanku mulai tidak enak. Rama pun juga terkejut dan langsung menaruh hapenya. Tensi nya sudah begitu tinggi diantara kami, sehingga aku tidak bisa menebak kira-kira apa yang ingin Rafael sampaikan kepadaku.



Namun, aku lebih memilih untuk mendengar perkataannya secara keseluruhan dulu sebelum membuat keputusan, supaya kejadian seperti kemarin tidak terjadi lagi.



"Minta tolong apa?" Tanyaku masih berusaha tenang.



"Bay, kan lu tau nih, kita bakal ketemu di final besok, dan kita sebagai pemain tengah di role yang beda pasti bakal sering berhadapan, kan," mulainya.



"Kira-kira, gua boleh minta tolong nggak buat jangan main 100% besok, Bay?"



Hah? Permintaan bodoh macam apa ini? Kenapa Rafael tiba-tiba menjadi lemah seperti ini sampai rela datang ke rumahku untuk mengatakan ini?



Suasana pun mulai kembali keruh, dan Rama yang sedari tadi juga mulai kesal, sementara aku masih tetap harus menjaga ketenanganku untuk menengahi mereka berdua just in case Rama atau Rafael tidak bisa menahan emosinya.



"Hah?! Lu dateng jauh-jauh kesini cuma buat ngomong tai kayak gitu?! Lu lupa besok apa?!" Potong Rama sudah begitu kesal.



"Besok final, Raf!! Lu tau kalo lu masih jadi bagian kita, kita juga udah ngeharepin piala ini di 'One Last Dance' kita! Sekarang lu dengan entengnya minta hal kek gini?!"



"Ram, Ram, udah jangan malah ribut disini" selaku sebelum kembali berbicara dengan Rafael.



"Raf, lu kenapa, anjir? Rafael yang gua kenal nggak kayak gini, Rafael yang gua kenal nggak pernah jiper dengan siapapun lawannya!" Sambungku.



"Bay, di hidup ada yang lebih besar dari dua babak dalem lapangan nendang-nendang bola doang" jawabnya simpel namun bermakna.



Permintaan Rafael memang aneh. Lagipula, dengan skill yang Rafael punya, Rafael pasti bisa melawan siapapun. Rafael yang tangguh dan disegani oleh lawan, bukan sosok itu yang berada di depanku saat ini.



Tapi aku paham dengan perkataannya. Ada yang lebih besar dari sepakbola. Apalagi ini final, dan occasion bagi kedua pihak sudah begitu besar. Terlebih, match ini akan menentukan karir Rafael.



Tapi, bukan berarti kalau aku akan menerima permintaannya.



"Iya gua tau, tapi gak gitu juga, Raf, kita juga udah haus pengen ngangkat piala lagi abis sekian lama, gak mungkin gua sengaja jelek mainnya karena permintaan personal" balasku.



"Iya, Bay, paham kok gua" jawabnya singkat.



"Emang lu kenapa, apa sebegitu takutnya lu form-nya jelek di final nanti sampe nggak jadi narik kontrak?" Tanyaku lagi.



"Bukan itu, sih" balasnya.



"Terus?"



"Gua cuma takut, kalo Claudia bakal lebih lari ke lu kalo kalian menang, dan ngelupain gua"



Kali ini, Rafael benar-benar terlewat batas. Rama juga terlihat makin kesal mendengar ucapannya. Akupun sudah begitu kesal hingga aku mengepal tanganku kuat-kuat, namun, aku harus menahan emosiku.



Aku dan Rama sebagai teman baik Caca benar-benar tidak suka dengan sikap pacarnya yang seperti ini. Kami berdua yang sudah melihat penderitaan Caca ketika Rafael tidak ada untuknya dan tak pernah sekalipun terlihat memperjuangkan Caca.



Aku sudah ingin meluapkan segalanya ke Rafael, namun aku harus tetap tenang, emosiku harus stabil untuk bisa memenangkan pertarungan pikiran di hari Minggu nanti.



"Raf, jadi lu kesini, mohon-mohon ke gua buat main jelek, cuma karena Caca?" Tanyaku pelan yang tak dia jawab.



Kebisuan Rafael akhirnya membuat Rama makin kesal, dan Rama akhirnya kembali angkat bicara.



"Raf, coba lu mikir se-simple gini dulu dah, apa yang ngejamin kalo Caca bakal ke lu kalo menang, dan bukan ke kita yang notabennya satu SMA?! Lu pikir di lapangan nanti yang main Bayu sama lu doang?!" Sambung Rama yang sudah penuh emosi, dan lagi-lagi tidak Rafael jawab.



"Terus hubungan lu udah seancur ini sama Caca, dan cara lu buat dapetin Caca lagi kek gini?! Lu pernah gak sih mikir kalo lu tuh bangsat banget di hubungan kalian berdua?!" Lanjutnya.



Lagi-lagi, Rafael terdiam bisu. Rama yang begitu emosi juga mulai kembali tenang setelah meluapkan semua amarahnya di perkataan tadi.



Akhirnya, karena tidak ada yang berbicara, aku kembali membuka mulut.



"Raf, gua paham sama situasi lu sekarang, tapi jujur, gua kecewa banget sama lu," mulaiku.



"Sekarang bukan saatnya lu mikirin cara buat ngejauhin gua dari Caca, it's a final, karir lu bakal ditentuin dari match ini," sambungku yang membuat Rafael kembali terdiam kaku.



"Dan jujur, gua hargain kalo lu kesini karena lu takut karir lu bakal anjlok, tapi gua pun yakin banget kalo lu masih bisa ngeluarin form terbaik lu tanpa lu berharap ke gua, tapi kalo ini cuma tentang Caca, sorry Raf, gua nggak akan ngebiarin lu menang nanti" tutupku.



Akhirnya, raut wajah Rafael mulai berubah. Rafael terlihat sedang mencerna perkataanku dan Rama begitu fokus. Kedua tangannya mulai ia taruh di depan mulutnya, dan kakinya mulai bergerak keatas kebawah.



Kemudian, setelah sekian lama, Rafael tersenyum, dan setelah itu Rafael beranjak dari duduknya.



"Oke kalo begitu" ucapnya sembari tersenyum.



Setelah Rafael berdiri, kami berdua juga menyusulnya dan setelah kami berdiri, Rafael menjulurkan tangannya kepadaku, dan langsung kubalas dengan salaman.



"Good luck buat match besok" ucapnya lembut.



"Raf, kali ini tolong cerna omongan gua baik-baik, oke?" Balasku.



Rafael hanya tersenyum mendengar ucapanku, dan setelah bersalaman, Rafael beranjak keluar dari rumahku.



Di saat yang bersamaan juga, Bella datang membawa minuman yang ia buat, dan Dika serta Oli juga beranjak turun dari lantai atas.



"Loh, kak Rafa nya pulang?" Tanya Bella kebingungan.



"Baper si Rafaelnya, Bel" jawab Rama.



"Yah, ini sayang dong minumannya"



"Udah gapapa, buat aku aja, hahahaha"



"Jadi si anjing ngapain kesini, Bay?" Tanya Dika yang tak kujawab karena aku masih terdiam.



"Biasa, Dik, masalah cewean, orang sebengis Rafa aja bisa jadi lembek banget kalo udah masalah cewek" jawab Rama.



"Lah, lelaki mah pasti emang bakal rapuh kalo urusannya udah wanita, iya nggak, Bel?" Balas Dika yang berusaha dekat-dekat dengan Bella.



"Ih, kak Dika bau rokok, ih! Jangan deket-deket, ah!" Jawab Bella dengan nada bercanda membuat Dika tertawa.



Mereka kembali mengobrol, sementara aku masih terdiam memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi di besok hari.



Rafael sudah begitu putus asa untuk kembali meraih hati Caca. Bahkan dia rela berlutut kepadaku untuk memohon.



Aku begitu bingung harus berbuat apa, karena di occasion besok, situasi Rafael dan Caca bisa menjadi di titik terkeruhnya dan tak bisa dipungkiri kalau malam besok mungkin akan menjadi malam dimana Rafael dan Caca akan terpisah.



Akupun sebenarnya tidak terlalu memikirkan itu, namun melihat kebaikan Caca yang masih berharap kalau Rafael akan berubah membuatku berpikir untuk bisa menyelamatkan hubungan mereka. Evelynn yang sudah terlalu berada di pihak Rafael pun pasti akan kesusahan untuk memperbaiki ini, dan hanya aku yang berada di posisi netral yang bisa meluruskan masalah ini.



Tanpa ba-bi-bu, aku langsung beranjak keluar dan meraih hapeku untuk menelepon Caca, mengejutkan Rama, Dika, Oli dan Bella yang masih berada di dalam.



"Halo, Bay?" Panggilnya setelah aku mengangkat teleponnya.



"Ca, lu masih main diluar?" Tanyaku.



"Masihh, paling baru malem gue balik, kenapa, Bay? Pengen VCS lagi lo? Hahahahaha" jawabnya yang tak kubalas.



"Ca, Rafael tadi ke rumah gua" potongku membuat Caca sangat terkejut.



"Hah?! Ngapain dia ke rumah lo?!" Jawabnya terkejut.



"Nah ini yang mau gua omongin, lu besok bakal ikut nonton ga?"



"Of course I will, it's a final after all, apalagi lo bakal main lawan Rafa, I'm surely going to enjoy this" jawabnya.



"Nah gini Ca, Rafa tadi dateng, cuma mau minta tolong ke gua untuk main jelek cuma karena dia nggak mau lu lari ke gua kalo kita menang," jelasku yang tak dia balas.



"For sure gua nggak akan ngebiarin dia menang gitu aja, apalagi cuma karena lu, but if I may ask, besok lu bisa nggak buat ada di sisi Rafael? He really needs your support right now" lanjutku.



"Now why would I do that? Gue paham kenapa lo mau gue disana, tapi buat apa, Bay?" Balasnya.



"Ca, this might be the least thing to do, situasi udah terlalu keruh sekarang, dan--" jawabku lagi yang kemudian dipotong Caca.



"Bay, lo kenapa jadi kayak Evelynn, deh? Gue seneng ketika lo mau ngasih gue saran tentang masalah gue sama Rafa, tapi jangan terlalu banyak interfere hubungan gue sama dia, karena yang ngejalanin kan bukan lo, tapi gue" potongnya.



"Ca, you guys are my friends, gua nggak bisa ngeliatnya kalo diantara kita bertiga makin banyak masalahnya, Ca" jawabku.



"Hhhhhh... If only we met 2 years earlier" balas Caca singkat, dan belum aku sempat membalas, Caca sudah mematikan teleponnya.



Apa maksud dari perkataan terakhirnya?



- To be Continued -
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd