Part 1.5: An Unexpected Twist
“Harlin?”
Lagi-lagi, suara itu. Seketika, fokusku kembali ke jalan raya di hadapanku.
Kami tengah berkendara menuju rumah Cynthia yang, ternyata adalah sebuah unit apartemen di daerah Jakarta Selatan. Rumah kedua orangtuanya berada di Bogor, dan ia tinggal bertiga dengan dua saudaranya: seorang kakak perempuan yang tengah kuliah, dan satu adik laki-laki yang duduk di bangku SD.
Aku dan Cynthia hanya mengenakan helm model cetok, dengan alasan kenyamanan dan kemudahan berbicara. Mungkin terlihat aneh dikombinasikan dengan motor sport-ku ini, tapi aku tak peduli. Daripada susah ngobrol dengan Cynthia.
“Kok, jalannya pelan banget? Motor lo rusak?”
Astaga. Rupanya aku memacu motorku dengan kecepatan sangat rendah, di bawah 40km/jam.
Shit.
Ini gara-gara aku terlalu menikmati sensasi luar biasa yang kurasakan di tubuh bagian belakang dan perutku. Payudara Cynthia bersandar sempurna di punggungku, sementara kedua lengannya melingkari pinggangku.
Meskipun terhalang bra dan baju seragam, tidak mungkin aku tidak terangsang dengan gesekan-gesekan dan tekanan lembut dari payudaranya. Jantungku berdegup kencang tiap kali pelukan Cynthia makin erat, memungkinkan aku merasakan hembusan nafasnya di leherku. Kedua telapak tangannya hanya berada beberapa sentimeter dari selangkanganku.
Penisku mengeras.
Ini di luar dugaanku. Aku begitu percaya diri dengan semua pengetahuan dan ilmu yang aku pelajari selama ini, namun hanya dengan sebuah pelukan dari belakang, aku nyaris kehilangan kendali tubuhku sendiri.
I’m really horny. Embarassing.
“Eh? Kenapa, kenapa?” aku berusaha menetralkan emosiku.
“Kenapa pelan banget? Emangnya motor lo kenapa? Kalo selambat ini, bisa-bisa besok baru nyampe rumah gue,” Cynthia mengeluarkan tawa yang sedikit bernada mengejek.
Ah. Ternyata dia bisa bercanda juga. Aku sedikit lega. Tawanya barusan sedikit mencairkan keteganganku. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan.
“Hahaha,” aku membalas tawa Cynthia. “Nggak kenapa-kenapa kok, motornya,” jawabku.
Lalu, terlintas begitu cepat sebuah ide gila di pikiranku.
Aku tidak ingin mengambil resiko untuk merusak momen ini, ataupun membuat Cynthia menilaiku buruk dengan apa yang akan aku katakan. Tapi, instingku menang melawan argumen si otak.
“Sebenernya, gara-gara lo, gue jalannya jadi lambat.”
“Kok, bisa gitu?”
Aku menelan ludah. Bisa kurasakan keringat mengalir di kening dan pelipisku.
“Habisnya, lo meluk gue kenceng banget. Gue jadi salah fokus, deh, hilang konsentrasi, hahaha.”
“Masa sih? Terlalu erat ya?” Cynthia refleks mengendurkan pelukannya.
“Beneran, gue jadi
horny. Titit gue ampe keras gini,” ujarku sambil berusaha mengatur degup jantung yang makin kencang, mulai menyesali kenekatanku berbicara jujur.
“
Oh my Goodness, Harlin, ih!”
Fuck. Aku tak siap mendengar respon Cynthia terhadap pernyataan mesumku.
“Lo ternyata nakal ya? Hahaha, dasar cowok!”
Oh. Aku terkejut. Lagi-lagi, ini di luar dugaanku.
Aku pikir ia akan marah, atau ngambek. Atau minta diturunkan. Atau bahkan langsung minta putus. Sebaliknya, ia kembali mempererat pelukannya.
Aku terdiam, belum tahu harus bicara apa.
Tiba-tiba, Cynthia mendekatkan wajahnya ke sisi kiri wajahku. Bibirnya nyaris menempel di telingaku. Cadel huruf S-nya terdengar begitu seksi saat ia berbisik, “
Sekeras apa sih?”
***
Bersambung