Matahari sedang bersinar dengan teriknya. Membuat udara Bandung siang ini sangat menyengat di kulit dan minuman dingin menyegarkan menjadi pilihan tepat untuk melepaskan dahaga. Kini, aku tengah menyiapkan segelas
Japanese Ice Coffee pesanan pelangganku. 80 gram es batu telah aku masukkan ke dalam saringan atas
Syphon. Dengan cermat, aku mulai menyeduh biji kopi dataran tinggi Flores yang cukup langka di pasaran sesuai permintaan pelangganku ini. Gilingan kasar aku rasa cukup untuk membuat
Japanese Ice Coffee yang ringan dan menyegarkan di tengah udara panas siang ini.
“
Yellow Caturra!” seruku sambil membunyikan bel, memanggil pegawaiku yang sedang sibuk lalu lalang di antara meja pelanggan. Tak lama, ia bergegas menghampiri meja barista untuk menyajikannya.
“Tumben baru datang, bos...” sapanya sembari menyiapkan
saucer atau piring kecil untuk tatakan gelas kopi.
“Iya, tadi ada urusan sebentar. Ngomong-ngomong, stok
beans cuma 250 gram aja nih? Sedikit banget.” Ujarku setelah menyadari persediaan biji kopi lokalku telah menipis.
“Jadi, mau dipatok harga berapa?”
“25 ribu aja kalo gitu.”
“Okelah kalo begitu...” kemudian pegawaiku berjalan menuju meja 14 untuk mengantarkan kopi pesanannya.
Ah... lama-lama gerah juga di kedai. Aku memutuskan untuk membeli minuman bersoda di warung sebelah kedaiku. Aku sedang tidak berselera untuk meneguk kopi siang ini. Setelah aku membayar minuman, lantas aku duduk di bangku kayu sederhana di depan warung, menyalakan sebatang rokok dan mengamati keadaan sekitar.
Sekitar 30 menit aku menikmati beberapa batang rokok dan meneguk habis minuman sodaku, tiba-tiba aku melihat mobil yang tidak asing yang baru saja diparkirkan tepat di depan kedaiku. Aku mendekatinya sekedar memenuhi rasa penasaranku.
Pandanganku tertuju pada plat mobil Terios berwarna Abu-abu... Bogor? Tunggu, jangan-jangan... Aku celingukan mencari-cari seseorang yang sangat aku takutkan keberadaannya saat ini. Dan benar saja...
Orang itu sudah duduk manis di depan meja bar. Seorang gadis manis berkulit putih khas tanah Sunda, rambut coklatnya yang tidak begitu panjang tergerai, mengenakan kaos hitam polos yang tidak terlalu ketat yang berpadu dengan jeans denim warna biru muda.
Dan yang mengejutkannya lagi, ia sudah duduk bersebelahan dengan Alesha. Pertanyaan-pertanyaan pun muncul di dalam pikiranku saat ini... kok bisa? Apakah mereka datang bersamaan? Apakah aku harus menghampiri mereka? Atau aku menghindar saja? Hahaha... menghindar? Tidak ada dalam kamus hidupku. Maju!
“Siang nona-nona cantik, ada yang bisa aku bantu?” sapaku ditengah-tengah mereka. Mereka berdua terkejut dengan caraku menyambut mereka.
“Duh, bikin kaget aja sih! Hey, kak!” senyum terkembang di wajah Alesha, menguasai dirinya yang tadi kaget oleh keberadaanku. Ia seperti ingin meloncat untuk memelukku namun ia sedikit ragu karena tersadar ini tempat umum. Berbeda dengan gadis satunya lagi...
“Hai, Aa’...” ucapnya lalu menggenggam tanganku lalu mencium punggung tanganku layaknya Istri yang berbakti pada Suaminya... Dan itu sukses membuatku sedikit canggung. “Oh... Hai April, kapan datangnya?” ucapku berbasa-basi menutupi kecanggunganku.
“Dari tadi pagi... kebetulan aku ada kegiatan promo di salah satu radio dekat-dekat sini. Sekalian deh mampir...” balasnya lembut. Tak lupa menyematkan senyum manis yang membuat mata bulatnya menyipit tertutup kelopak matanya.
“Oh, mau dibikini kopi?”
“Mauuuuu...”
“Eh, bukannya kamu enggak suka kopi ya?”
“Udah tahu, nanya... gimana sih? Gemesin deh si Aa’...” April mencubit perutku dan itu tidak bisa aku hindari. Mataku sedikit menangkap gestur tidak nyaman dari Alesha. Raut wajahnya nampak kelabu dan matanya menatap tajam pada April tanpa sadar. Tanpa berlama-lama, aku segera bergerak menuju belakang meja bar. Mengambil bubuk
Dark Chocolate dari wadahnya. Aku meyeduhnya dengan susu yang sudah aku steam hangat.
Tunggu, bukannya Alesha sudah tahu siapa April? Kenapa mereka nampak damai-damai saja sedari tadi? Aku bingung... Sangat-sangat bingung.
“Nih, Cokelat hangat aja ya?” Kataku sambil menyajikan 2 cangkir Cokelat Hangat di hadapan mereka berdua.
“Makasih, Aa’...” April sangat senang saat cokelat hangatnya tersaji. Perlahan ia meniup-niup uap panas cokelatnya dan menyeruputnya. Ia mengangguk-ngangguk entah apa maksudnya.
“Uhmmm... Udah kenal sama sebelahnya?” tanyaku ragu-ragu sekedar memastikan.
“Eh, iya belum hahaha... Padahal dari tadi kita udah ngobrol-ngobrol, ya enggak?” Ucap April pada Alesha. Alesha hanya mengangguk dengan senyum yang sangat dipaksakan.
“Hai, aku Alesha...”
“Aku April, salam kenal...”
“Kayak sering lihat...” Dahi Alesha mengerut, alisnya yang tebal pun terangkat salah satunya, seperti sedang menyelidiki sesuatu.
“Eh? Masa sih? Salah orang kali, aku mah cewek biasa aja...”
“Kayaknya aku pernah lihat kamu di acara TV atau di mana gitu... Eh, kenal Kak Angga udah lama?
“Lumayanlah, Iya enggak A’?” ucap April seraya mengerlingkan sebelah matanya. Aku yang sedang membersihkan meja bar menjadi sedikit salah tingkah. Aku merasa tidak nyaman dengan suasana ini.
“Biasanya kalau kenal Kak Angga lama, pasti bakal jatuh cinta... Betul kan, Kak?” Giliran Alesha yang makin membuatku makin canggung, ditambah mimik wajahnya yang seakan menghakimi segala kesalahanku. April terkekeh dengan pernayataan Alesha barusann.
“Ya... Ya... Ya... mungkin aja... Jauh-jauh dari Jakarta Cuma buat ketemu sama Aa’...”
“Eh, bukannya tadi bilang ada acara di radio ya?” aku menyela tiba-tiba
“Ups... Ketahauan deh hehehe” April memeletkan lidahnya seakan tidak punya kesalahan. Aku makin tidak nyaman dengan suasana ini. Aku harus menyingkir sejenak dari ketegangan 2 gadis yang sama-sama punya perasaan padaku. “Bentar ya, aku mau ke toilet dulu” ujarku beralasan. Aku pun segera menuju toilet di lantai 2. Toilet di sini tidak sering dipakai oleh tamu, bahkan pegawai pun jarang memakainya.
Setelah aku selesai buang air kecil, terdengar langkah kaki setapak demi setapak. Tepat saat aku membuka pintu toilet, aku mendapati Alesha berdiri mematung. Memandangku dengan wajah bengis, matanya tajam seakan ingin menerkamu damn...
PLAAAAK!
Tamparan Alesha telak mendarat di pipi kiriku... Baiklah, aku terima ini.
“Jahat...” Lirih Alesha. Setitik air mata mulai menggenang di ujung kelopak matanya.
“Bukan aku yang meminta dia datang ke sini... aku juga tidak tahu kalau dia di Bandung...”
“Aku tahu! Oke, aku kalah... Aku kalah segalanya dari dia... April cantik dan dia... ARTIS!” emosi Alesha semakin memuncak. “Tapi aku sayang kakak...”
“Ingat komitmen kita...” kembali aku mengingatkannya soal komitmen yang seharusnya tidak perlu aku katakan. Karena dari awal kami berhubungan pun sudah salah.
“Aku mau lebih dari itu! Kalau perlu aku bakal putusin pacar aku...”
“Enggak semudah itu, Sha... Ingat, aku udah berkeluarga!”
“Terus apa bedanya aku sama April? Apa karena dia lebih cantik dari aku lantas Kakak bisa seenaknya tinggalin aku gitu aja?” Alesha tertunduk dan mulai terisak. Kembali aku terjebak dalam situasi yang sama untuk kesekian kalinya, di mana seorang wanita mulai menaruh perasaan tulusnya padaku dan aku tidak bisa menerima ketulusan itu. Aku tidak tega... dan aku pun memeluk Alesha erat.
“Lesha sayang kakak... jangan tinggalin Lesha...” ucapnya pelan. Kepalanya bersandar nyaman di dadaku. Tangannya pun tidak kalah erat melingkar di pinggangku.
“Aku enggak kemana-mana kok... aku ada di sini terus kok...” balasku lembut, mengusap-usap punggungnya untuk membuatnya lebih tenang.
“Tapi... April sepertinya... Aku harus gimana, kak? Apa aku juga harus bilang ke April kalau aku juga cinta sama kakak?” Alesha menengadahkan kepalanya dan menatapku penuh harapan. Mata bulatnya telah tergenang oleh air mata.
“Biar itu urusan aku sama April... Aku juga belum bisa memutuskan semua ini”
“Kakak enggak sayang dia? Aku tahu dari sorot mata April kalau dia benar-benar suka sama kakak...”
“Biarkanlah seperti itu... Yang penting gimana akunya ke dia, kan?”
"Nnnggg... Tapi kakak sayang aku kan?” rajuk Alesha, melepas pelukannya dari tubuhku.
“Maaf, Sha... aku belum bisa bilang apa-apa. Biar semesta yang mengatur... kita jalani dulu semuanya...”
“Iya, kak...” Alesha tertunduk lesu. “Boleh aku peluk kamu lagi, kak?” Lanjutnya. Aku hanya bisa tersenyum dan mengabulkan permintaannya... 20 detik... tidak lebih. Setelah berpelukan, kami pun turun dengan jeda waktu yang berbeda agar tidak memancing kecurigaan pelanggan atau pegawai-pegawaiku... dan terlebih April.
“Aa’, makasih ya?” celetuk April. Jelas itu membuatku bingung. “Eh... kenapa gitu?” balasku.
“Cokelatnya enak...”
“Oh... iya, sama-sama... kirain ada apa” Aku lega. Sungguh situasi saat ini tidak membuatku nyaman. Saat April bisa berbasa-basi dengan senyum lepas, Alesha hanya bisa menyimak dengan wajah datar sambil memainkan telunjuknya di tepi cangkir Cokelat hangatnya yang sedari tadi belum ia teguk. Aku rasa Cokelatnya sudah tidak lagi hangat. Seperti sikapnya saat ini... Tidak seperti Alesha yang aku tahu selama ini.
“Aku pulang dulu ya, kak...” kata Alesha sambil memasukkan
handphone ke dalam tas jinjingnya.
“Lho, mau ke mana? Bentar dulu...” balasku.
“Mau cari yang adem-adem dulu... Mendadak gerah nih” ucapnya bernada sarkas. Tentu saja aku makin merasa tidak enak dengan Alesha. “Oh, gitu... ya udah, hati-hati di jalan ya?” Jawabku sekenannya. Aku tidak ingin menambah buruk suasana hati Alesha saat ini.
“Iya, besok aku kesini lagi...” Aku mengangguk dan Alesha pun berjalan menuju kasir dan menyerahkan beberapa lembar uang pada pegawaiku untuk minumannya tadi. Ia melambaikan tangannya sambil berlalu.
Maaf, Alesha... Beginilah aku.
-o00o-
“Sering ke sini ya A’?” Suara lembut April membuyarkan lamunanku.
“Siapa?”
“Itu, Alesha...”
“Hmmm...” aku menghindari bertatapan mata langsung pada April.
“Aku iri A’...”
“Iri? Iri kenapa?
“Alesha bisa ketemu Aa’ tiap hari... Aku? Aku harus menempuh perjalanan jauh hanya untuk melepas rindu...”
“Ssst! Banyak orang di sini, kamu enggak khawatir apa kalau salah satu dari mereka itu fans kamu atau fans grup kamu?” April hanya melirikkan matanya acuh tak acuh.
“Hhhh... Alesha cantik ya, korban Aa’ juga?” Pertanyaan macam apa itu. Aku hanya menggelengkan kepala dan tersenyum kecut. Aku tidak ingin menjawab pertanyaan retoris macam itu.
“Nih...” aku menawarkan sekantung kacang Almond dari display pada April sekedar untuk teman mengobrol sambil menikmati secangkir cokelat panasnya.
“Hmmm... mau mengalihkan pembicaraan ya?” Ah... April, bisa juga dia membaca pikiranku dan aku tertawa tidak jelas menutupi rasa maluku.
“Kapan ke Jakarta lagi?” tanya April yang tengah mengunyah kacang Almond.
“Duh, belum tahu nih... Akhir-akhir ini kebutuhan Aa’ banyak, pengeluaran harus dihemat juga.” Ujarku beralasan.
“Kalau aku sibuk terus kangen gimana dong?”
“Udah kamu fokus kerja aja, jangan mikir aneh-aneh.”
“Aku Cuma mikirin Aa’ kok...” rayu April sambil menyentuh punggung tanganku. Aku yang gugup karena sikapnya itu berusaha menyingkirkan tanganku dan pura-pura menggaruk kepala. “Ya ampun, aku digombalin artis. Jadi ge-er...” ya, aku memang jadi ge-er karena rayuan April tadi.
“Hahaha... abisnya Aa’ aku tungguin di Jakarta enggak dateng-dateng. Ya udah, aku susul deh ke sini.”
“Segitunya ya kamu. Eh, emang kamu enggak ada jadwal manggung?”
“Aa’ ku sayang... ini kan Senin, jadi aku libur kegiatan. Suka gitu deh, mantannya juga satu grup sama aku. Pura-pura lupa... nyebelin!”
“Oh iya lupa... udah, enggak usah dibahas. Ngomong-ngomong apa kabar Fey?” kembali aku berbasa-basi karena kehabisan bahan pembicaraan.
“Katanya enggak usah dibahas, kok nanya kabar? Kangen ya?” air muka April berubah cemberut. Sungguh menggemaskan ketika pipinya digembungkan.
“Bukan begitu, Aa’ udah block semua kontaknya. Akun twit**ternya aja yang aku follow. Tapi setahu Aa’ sosmed kaliandiawasi menejer kan?”
“Ya gitu deh, namanya juga akun dinas. Eh, April aman kan di sini? Takut Teh Dya tiba-tiba muncul...”
“Lho, kok kamu tahu teh Dya?”
“Fey udah cerita semuanya...”
“Baguslah... Jadi Aa’ enggak perlu repot-repot ceritain semua” kembali April menggenggam tanganku. Kali ini aku tidak bisa menghindar.
“Apapun kondisinya... mau dengan siapa Aa’ sekarang... April tetap sayang sama Aa’...” April tersenyum padaku. Senyuman manis itu entah mengapa membuat jantung sedikit berdegup lebih kencang dari biasanya.
“Uhmmm... Ini apa sih... kita belum pacaran... eh...” sial, kenapa aku jadi salah tingkah begini? Buru-buru aku melepas genggaman April dari tanganku.
“Ya udah kita pacaran saja mulai sekarang...” sial, apa-apan ini? “... Lagi pula masa berkabung dengan Fey udah lewat, kan? Udah bisa lupain dia kan? Mau?” cerocos April. Ia mengacungkan jari kelingkingnya padaku. Ini sebuah De Javu... tatanan rambut ini, kulit putih khas Pasundan, pandangan penuh cinta dan usia yang tidak begitu jauh saat Vio mengacungkan jari kelingkingnya di hadapan makam Caroline... sama persis. Apakah semesta memberikan tanda kuasa-Nya lewat April? Atau takdir setan yang akan membuatku terlibat lika-liku percintaan yang melelahkan kembali?
“Bukannya itu kode pertemanan ya?” sengaja aku mengalihkan pembicaraan dengan pernyataan tidak jelas.
“Iiiiih... ya udah sini peluk...” ucap April dengan membuka lebar kedua lengannya.
“Eh, ini tempat umum!”
“Cari tempat sepi atuuuh...”
“Hih! Bandel banget sih kalo dibilangin, nakal ya...”
“Kalo nakalnya buat Aa’ aja enggak apa-apa kan?”
“Di sini enggak boleh nakal!”
“Nnnnnggg! April pengen berduaan sama Aa’!” April merengek sambil menarik-narik lenganku layaknya anak kecil meminta mainan mahal pada orang tuanya... Dasar keras kepala.
“Iya, iya... ya udah nanti sore ikut Aa...” akhirnya aku mengalah dan menuruti kemauan gadis keras kepala ini. “Kemana?” mata bulat April berbinar seketika.
“Taman Cibeunying”
“Ngapain ke taman ih! Ke tempat sepi atuh...”
“Di sana tempat Aa’ ngegalau, kalo sore menjelang petang sepi kok”
“Ya udah asal berdua sama Aa’ aja sih aku... Terus sekarang aku di sini ngapain coba?”
“Bebas. Mau lihatin orang-orang ngopi mangga, mau leyeh-leyeh di sofa butut pojokan juga boleh, sok...”
“Ih enggak asik banget sih... Ya udah aku ke toko sebelah aja deh. Mau lihat-lihat parfum.”
“Sok, mangga... Aa’ kerja dulu ya...”
“Iya Aa’ sayang... mmuach!” April memberikan gestur cium yang menggemaskan. April memang sangat pintar membuat laki-laki salh tingkah. Pantas saja banyak fans-nya yang bertekuk lutut padanya dan menghamburkan banyak dana untuk membuatnya berada pada urutan terdepan grupnya.
“Aa’ apa bilang tadi? Inget kamu siapa dan di mana sekarang...” kataku sedikit tegas dan sok keren demi menutupi kegugupanku. “Hahaha... iya, iya...” tawa April dan segera berlalu menuju toko parfum tepat di sebelah kedaiku.
-o00o-
Berpacaran? Aku bahkan tidak mengiyakan atau punya alasan kuat untuk menolaknya. April hanya menyatakannya secara sepihak. Oh, April... meski kamu ounya mata yang dapat menaklukkan pria-pria yang akan mendukung karirmu, tapi bagiku semuanya saja. Semua hanyalah sebuah lingkaran yang tidak akan terputus jika aku sudah berhadapan dengan wanita dan memeluknya.
Dua jam telah berlalu dan aku belum melihat sosok April kembali ke kedai. Kemana ya dia? Ah, kenapa aku harus khawatir. Toh dia bukan siapa-siapaku. Hanya seorang gadis yang kebetulan jatuh cinta kepadaku. Lagipula, kedaiku juga sedang ramai-ramainya dan aku takut salah satunya adalah fans garis keras April.
Menjelang senja, April kembali ke kedai dengan tergopoh-gopoh. Ia kerepotan membawa banyak tas belanjaan. Duh, kenapa enggak disimpan di mobilnya saja sih?
“Aa’... hehehe” sapanya sambil terkekeh lalu menaruh barang belanjaannya i atas meja bar. “Dari mana?” tanyaku yang tengah mengelap gelas-gelas kopi yang baru saja aku cuci bersih. “Dari mall situ tuh...” tunjuk April ke arah depan Kedaiku. Memang kedai kopiku terletak di kawasan yang sangat strategis. Tepat berada di tepi jalan utama dan terdapat mall yang selalu ramai dikunjungi oleh warga Bandung tanpa terkecuali.
“Oh, banyak banget belanjaannya?”
“Hehehe... maklumlah. Harus banyak ganti baju biar kalo aku foto, bajunya enggak itu-itu aja.”
“Jangan boros-boros, nabung buat masa depan.”
“Iya Aa’... Nih, April beliin jaket. Dipake ya...” April mengeluarkan jaket berbahan semi kulit berwarna coklat pastel dari kantong belanja salah satu brand ternama. Melihat merk-nya saja aku sudah ingin menolaknya, aku merasa tidak pantas dibelikan barang-barang mewah bermerk seperti ini dan aku masih mampu untuk membelinya sendiri di kawasan Ciwastra. “Jaket kita samaan lho hehehe...” imbuhnya lagi.
“Duh, jangan kayak gini, Pril... Aa’ enggak biasa”
“Terima enggak?!” kata April sambil memelototiku sedetik setelah aku mencoba menolak pemberiannya. “Eh, iya... iya...” dan aku sudah tidak bisa menolaknya.
“Hehehe... Ini A’... Cobain dulu. Takutnya enggak pas, soalnya aku belum tahu ‘ukuran’ Aa’.” Kata April sambil menggerakan kedua jari telunjuk dan tengahnya, seakan mengkonotasikan “ukuran” yang lain. Lalu aku pun memakai jaket itu dengan hati-hati.
“Hmmm... oke, aku coba ya... pas sih... nyaman di bahu... nuhun, ya?”
“Sama-sama, Aa’ sayang... Aku juga mau pake aaah...” April lemudian membuka satu kantong plastik lain berisi jaket serupa dengan milikku dan memakainya. Sangat cocok dengan tubuhnya yang mungil meski sedikit kebesaran.
“Beneran sama ya hahaha, couple...”
“Kan kita emang couple sekarang, gimana sih Aa’?”
“Ya udah, Aa’ siap-siap dulu, pakai aja jaketnya. Kita jalan pakai motor”
“Apa?” April sedikit keheranan mendengar bahwa kami akan mengunakan motor menuju taman. Ia menggaruk-garuk belakang kepalanya seperti ingin menyatakan “Duh, kenapa harus pakai motor?”. “Iya, pakai motor, kenapa? Ah, lupa... kamu mah artis. Enggak pernah naik motor. Takut nanti kulit kamu jadi item” ujarku.
“Bukan gitu haha... April juga suka pesen ojek online kalau kesiangan” April seperti beralasan menutupi ketidaknyamanannya.
“Jadi, enggak masalah, kan?”
“Sama sekali enggak. Malah aku seneng bisa peluk perut buncit Aa’ hihihi...” goda April menutupi kikikannya. “Tapi sebelumnya aku harus pakai masker demi keamanan kita bersama hehehe” hmmm... pintar juga anak ini. Aku segera mengambil helmku di loker dan meminjam helm lain milik pegawaiku untuk April. Tanpa berlama-lama lagi, kami menuju motorku yang terparkir di depan kedai dan segera menuju Taman Cibeunying.
-o00o-
Motor 110 cc berlogo sayap buatan Jepang berjalan perlahan. Menyusuri jalan Buah Batu ke arah tengah. Jalanan cukup padat di penghujung Senin sore, mengingat hari ini adalah hari pertama warga Bandung kembali dari tempat mereka bekerja atau berkegiatan.Namun semua itu tidak terasa karena April memelukku erat sambil bercerita tentang apa saja. Meski hanya mendengarnya samar-samar karena tertutup oleh masker medisnya.
Aku menyempatkan diri untuk mampir di kios sekitaran Taman Pramuka. Memesan satu Matcha dan Cokelat Dingin. Mengingat Bandung sangat panas dari tadi siang dan menjelang matahari senja mulai tenggelam, kami sampai di Taman Cibeunying. kami mendapati tidak terlalu banyak orang di sana. Hanya ada beberapa pedagang yang mulai mempersiapkan jajanan malam.
Aku mengajak April duduk di salah satu bangku taman yang menghadap instalasi tulisan besar berbunyi “CIBEUNYING PARK”. Lampu-lampu taman bergaya Eropa klasik sudah menyala menyambut malam, memendarkan cahanya di atas trek batu coral yang cocok untuk terapi rematik.
“Aaah... seger ya, A’... jujur April sering ke Bandung tapi baru pertama kali ke sini. Padahal aku sering denger kalo taman di Bandung itu bagus-bagus semua” celoteh April mengagumi taman yang dulunya dijadikan bursa tanaman hias pada tahun 1980-an dan kini diremajakan kembali, menjadi lebih tertata dan segar oleh walikota Bandung yang sekarang menjabat.
“Biasanya Aa’ sering ke sini kalau capek kerja atau banyak pikiran” ujarku mengawang ke arah langit.
“Sendirian?” aku menoleh ke arah April dan menyunggingkan sebuah senyum. Andai dia tahu kalau dia bukan satu-satunya wanita yang aku ajak ke tempat ini.
“Balik ke Jakarta kapan?”
“Besok. Ada konser juga sih di JCC...”
“Konser gede?”
“Bukan. Cuma ngeramein booth pameran sponsor aja.”
“Kalo gitu pulangnya jangan malam-malam, bahaya. Takut nanti nyetirnya enggak konsen” kataku berbasa-basi. Seketika April menyenderkan kepalanya di pundakku dan mengapit lenganku.
“Aku mau di sini lebih lama lagi. Aku pengen peluk Aa’... berduaan sama Aa’...”
Tenggorokanku terasa kering tiba-tiba entah kenapa. “Mmmh... Enggak boleh nakal ah...” ucapku berusaha menenangkan degup jantungku yang membuat darahku berdesir.
“Iya... iya... Kalo aku kangen sama Aa’ aja, boleh kan?” rajuk April manja. Aku mengusap kepalanya dan tersenyum. “Iya, boleh.” Tukasku singkat.
Tubuhnya makin merapat pada tubuhku. Pelukan April semakin erat dan menggenggam tanganku. Jemari mungilnya mengisi setiap ruang kosong di antara jemariku seakan hanya boleh terisi dengan jemari miliknya. Entah mengapa kepalaku seperti memproyeksikan sebuah adegan film romantis dengan latar musik band
Post-Rock Explosions in the Sky berjudul “
Your Hand in Mine”.
“Aa...” Suara lembutnya mengembalikan kesadaranku yang sedang mengawang.
“Hmmm...”
“Sering-sering ke Jakarta buat ketemu aku ya? Janji?”
“Mudah-mudahan Aa’ diberi rezeki yang melimpah ya...” jawabku sekenanya sekedar membuatnya tenang karena aku sendiri juga tidak akan tahu kemana arah hubungan ini melangkah. “Amiiin...” ucap April penuh harap.
Malam semakin gelap, cahaya lampu taman semakin berpendar menyelimuti kami berdua. Taman ini tidak terlalu ramai. Hanya beberapa orang duduk-duduk di kursi taman di sekitar kami. Sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Aku tidak khawatir dengan keamanan taman ini. Beberapa kamera CCTV di beberapa sudut taman siap mengawasi. Tidak usah khawatir jika lapar atau haus, bergeser sedikit beberapa puluh meter, pusat kuliner malam kaki lima di kota Bandung siap memanjakan lidah dan mengisi perut hingga kenyang.
Tiba-tiba muncul sebuah ide iseng untuk sedikit menghibur April “Hoaaaahmmm... Pril, yuk ikut Aa’...” kataku sambil berdiri dan membuat pelukan April mengendur.
“Eh, kemana?” April yang tengah nyaman memeluk lenganku sedikit kebingungan. “Udah ikut aja...” jawabku.
Aku menarik pelan tangan April ke arah trek batu coral lalu membuka sepatu Converse bulukku. Seakan tahu apa mauku, April pun ikut membuka sepatunya lalu berdiri sejajar denganku.
“Berani?” ucapku dengan nada sedikit mengejek.
“Siapa takut. April kan hampir setiap hari latihan fisik terus” ujarnya tak mau kalah. Kami pun memasang kuda-kuda layaknya pelari Olimpiade.
“Sakit lho ini...”
“Hehehe...
we’ll see. Yang tua kan Aa’ haha,
bye!”
“Hey, curang! Nyolong start!” aku tidak menduga ia akan berlari dulu sebelum aku memulai aba-aba.
April melangkah lebih dahulu. Langkahnya ringan seakan di bawah telapak kakinya bukan bebatuan coral melainkan lantai biasa. Aku? Aku tidak mau membicarakannya. Tubuh tua ini sudah terlampau lama menumpuk penyakit. Tiap langkah adalah siksaan bagiku. Menjalar dari telapak kaki hingga ke ujung kepalaku. Susah payah aku mengejar April yang masih muda dan prima tapi tetap saja aku yang kalah. Tak jarang aku mendengar April meledekku. Seakan gembira melihatku tersiksa seperti ini.
“Yeay! Aku menang hahaha... Ayo sini A’... Semangat!” teriaknya meregangkan kedua tangannya, mengundangku untuk masuk kedalam pelukkannya. Keringat dingin sudah membasahi keningku, susah payah aku menahan sakit di telapak kaki dan akhirnya ambruk di pelukkan April dengan nafas terengah-engah.
“Yeay, Aa’ berhasil! Hahaha masa tuan rumah kalah sama tamu? Udah dibilang April itu sehat, A’...Tapi aku seneng kalo Aa’ kalah. April jadi bisa peluk Aa’...” selorohnya sambil memeluk tubuh tua ini.
“Kamu ya... tungggu aja nanti. Aa’ enggak bakal kalah sama kamu. Aa’ Cuma kurang olahraga” ujarku membela diri dengan nafas tak teratur.
“Halah, alesan... Capek ya?”
“Sakit tau! Bukan capek”
“Dasar orang tua... Ehmmm... Makasih A’...” aku menatap April keheranan “... terima kasih... April seneng banget hari ini, meski Cuma diajak ke taman, April suka dengan kesederhanaan Aa’ yang bikin aku terpikat...” ujar April sambil menyeka keringat di dahiku dengan telapak tangannya yang halus terawat. Aku hanya bisa menatap mata bulatnya yang indah ditimpa sinar lampu taman. Sejenak aku terlena dalam tatapannya.
“Ah, biasa aja... eh, duduk yuk” ujarku menutupi kegugupanku. April menuruti ajakanku dan kembali ke bangku taman kami tadi. Kami menikmati sisa minuman yang kami beli tadi saat perjalanan menuju taman ini. Aku meyulut sebatang rokok dan April tidak keberatan akan hal itu. Aku pernah mendengar jika seorang wanita tidak keberatan saat kamu merokok di depannya, berarti ia menyukai kamu apa adanya. Entah benar atau tidak.
“Aa’...” ucapnya saat aku menghembuskan asap rokok dari rongga mulutku. Mataku tertuju pada April yang sedang menatap kosong ke arah depan.
“Suatu ketika di alam mimpiku, saat itu hujan turun di luar sana...”
“Eh...” aku merasa tidak asing dengan kata-kata itu
“Suatu ketika di alam mimpiku, Aa’ menghujaniku dengan ribuan ciuman...
“Tunggu... itu kan...”
Mulutku dikatupkan dengan telunjuknya, menghentikan perkataanku yang sudah berada di ujung lidah, matanya menatapku dalam-dalam...
“April sayang, Aa’...”
Dan sebuah pelukan erat dari April menyelimuti tubuhku. April seakan tidak peduli dengan beberapa pasang mata di seberang remang malam yang memperhatikan kami berdua saat ini.
De Javu... kata-kata yang tidak asing ini memunculkan tanda tanya besar dalam kepalaku. Aku sangat ingin berkata “Siapakah dirimu sebenarnya, April?” tetapi ku tidak mau merusak momen ini. Momen yang sangat berarti bagi April.
Angga, sudah... Jangan terlalu dalam memikirkannya.
To Be Continued.