Wangikehidupan
Guru Semprot
- Daftar
- 13 Nov 2016
- Post
- 539
- Like diterima
- 2.171
Jejak. Sependek apa pun suatu perjalanan, tetap akan meninggalkan satu, dua, bahkan ribuan, jutaan jejak kenangan. Dari sekian banyak dan beragamnya jejak kenangan, sepahit apa pun, akan menjadi indah pada akhirnya. Seperti juga cerita ini.
Sebelumnya, saya hadirkan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada orang-orang yang saya banggakan dan saya cintai, serta kepada Agan-Agan yang akan membaca, mengomentari, dan menilai cerita ini.
I. Hari Pertama
Sepekan sebelum Natal di akhir tahun 1998, aku berdesak-desakan dengan ribuan penumpang di dalam lambung kapal tujuan Jakarta. Sebenarnya bukan hanya aku, tapi anak gadisku yang berusia enam tahun dan anak jantanku yang sedang belajar berjalan.
Kapal laut, di era sembilan puluhan, masih menjadi primadona, sehingga tak mampu menampung membludaknya pengguna jasa di masa-masa liburan. Kebetulan pula, keberangkatan ini minus sang suami. Karena ada tugas mendadak dari kantor, sementara tiket kapal telah terbeli, maka dengan sangat terpaksa suami membatalkan kepergiannya serta merelakan aku dan dua anaknya berangkat ke Jakarta.
Di kapal yang dibuat oleh perusahaan galangan kapal Jos L. Meyer di Papenburg, Jerman ini terdapat 4 kelas yang disediakan. Mulai kelas 1 dan 2 yang merupakan kelas kamar; Kelas 3 dengan fasilitas kasur dan bantal, serta sebuah loker barang; dan, yang terakhir, kelas ekonomi yang hanya mendapatkan tempat tidur saja.
Membludaknya penumpang kapal, memaksa aku yang memegang tiket ekonomi yang seharusnya mendapatkan kamar tidur akhirnya harus kalah bersaing dan terdampar di lantai bagian luar kapal dengan beralaskan terpal biru ukuran kecil yang kusewa dari petugas yang memang berkeliling menawarkan jasa sewa terpal.
Sekira jam satu lewat, siang itu, dengan diawali sirene panjang, kapal laut meninggalkan Dermaga Belawan, Medan, Sumatera Utara. Perjalanan ini akan menempuh waktu 3 hari 2 malam dan akan menyinggahi Pangkalan Balai, Karimun, Kepulauan Riau, untuk kemudian merapat di pelabuhan Batam dan selanjutnya tiba di Tanjung Priok, Jakarta, sebagai tujuan akhir.
Kapal telah berjalan hampir tiga jam saat anak jantanku mulai kegerahan. Kugendong anak jantanku yang mulai menangis itu untuk menidurkannya sementara anak gadisku terbangun dari tidurnya dan kini duduk bingung di antara tas-tas yang kami bawa.
Tangisan anak jantanku kian kencang. Ingin kutinggalkan tempat istirahat untuk mencari suasana baru karena kuperkirakan anak jantanku bosan dengan suasana sekitarnya yang penuh dengan barang dan para penumpang, tapi sangatlah riskan untuk aku pergi. Siapa yang akan menjaga semua barang bawaan itu? Resiko kehilangan barang amat besar dalam suasana membludaknya penumpang, tapi apa dayaku.
Aduh! Anak gadisku muntah di terpal yang kami duduki. Panik aku jadinya. Sungguh! Baru kali ini aku pergi tanpa suamiku dan baru kali ini pula aku harus mengurus dua anakku tanpa ada yang membantu. Anak jantanku menangis lebih keras saat kutaruh dia di terpal agar aku dapat mengurus anak gadisku.
"Ada apa?"terdengar suara seorang lelaki dari arah belakangku."Coba lihat tiketnya?"
Aku mengalihkan kepala untuk mengetahui siapa yang bertanya. Sempat terkejut kala kudapati seorang petugas berseragam putih berdiri dibelakangku. Segera kugendong kembali anak jantanku dan mendekati laki-laki berseragam itu.
"Mana tiketnya?"Dia mengulurkan tangannya.
Cepat-cepat aku mengeluarkan tiket dari dalam beha untuk lalu menyerahkannya.
"Maaf, Pak,"ujarku saat melihat pria berseragam putih itu tampak segan menerima tiket."Takut hilang. Kata suamiku, tiketnya simpan di tempat yang aman."
Sembari memperhatikan tiket yang ada di tangannya, pria itu tersenyum. Lalu,"Mbak 'kan dapat fasilitas kamar? Kenapa berada di sini?"
"Kamarnya ditempati orang, Pak Kapten. Laki-laki semua. Jadi risih tidur di sana."
Kamar, sebagai salah satu fasilitas yang diterima oleh pemegang tiket ekonomi, berukuran besar sehingga mampu memuat banyak orang, tapi konsekuensinya kita harus bergabung dengan orang lain yang tidak dikenal.
"Barang bawaannya mana?"
"Itu."Kutunjuk beberapa tas yang menumpuk di sudut.
"Banyak, ya."Bapak berseragam putih itu menengok ke kiri kanan seperti mencari sesuatu.
"Hei, kalian!"Bapak berseragam putih itu melambaikan tangan, memanggil beberapa lelaki berseragam yang lewat di kejauhan."Hei!"
Lelaki-lelaki berseragam itu menghentikan langkah mereka. Setelah mengetahui siapa yang memanggil, mereka mendekat untuk kemudian memberi hormat.
"Tolong bawa tas-tas ini ke kamarku,"perintahnya.
Segera lelaki-lelaki berseragam itu berbagi barang-barang bawaanku dan mengangkutnya pergi begitu saja.
"Mau dibawa kemana?"tanyaku dengan nada takut.
Dia tersenyum. Diserahkannya kembali tiket yang dipegangnya kepadaku, lalu,"Ikut aku."
Tambah bingung jadinya aku. Tanpa alasan apa pun, ia menyuruh orang membawa tas-tas bawaanku dan kini memerintahkan aku untuk mengikutinya. Siapa dia? Kalau melihat seragam yang dipakainya, Kapten kapalkah dia?
"Sini."Dia memanggil anak gadisku untuk mendekat kepadanya.
"Jangan takut,"ucapnya lagi saat anak gadisku tampak bimbang. "Ikut Oom. Mama juga ikut, kok."
Anak gadisku menatap aku. Kusenyumi dia, menganggukkan kepala sebagai tanda agar dia jangan takut. Akhirnya anak gadisku membiarkan dirinya digendong lelaki tak dikenalnya itu dan aku mengikuti langkah-langkah panjang sang Kapten meninggalkan tempat itu.
Kami menaiki tangga menuju lantai di atasnya, naik lagi satu tingkat, dan naik lagi ke lantai yang lebih tinggi. Lantai ini sepi dari para penumpang dan aku terus mengikuti langkah-langkah kapten kapal. Anak gadisku yang berada dalam gendongan sang kapten terus menatap aku, takut kehilangan mamanya.
Akhirnya Kapten menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu. Pintu itu berada disudut, diujung palka. Tidak ada pintu lain di sepanjang yang bisa aku lihat. Sang Kapten menurunkan anak gadisku dari gendongannya. Langsung saja anakku mendekatiku, memegang erat jemari tanganku. Dalam kebingungan, aku hanya diam memerhatikan dia yang sedang membuka pintu itu.
"Silakan masuk,"ujarnya setelah pintu terbuka.
Sungguh ragu aku dibuatnya. Siapa dia yang mengajakku masuk ke kamarnya? Mau apa dia hingga mengajakku masuk ke kamarnya?
"Sudah, masuk dululah. Istirahat di dalam."Sepertinya ia faham kebimbanganku, ketakutan, yang menggayut di wajah ini. "Kasihan anak-anak kecapekan. Di sini kalian bisa istirahat."
Bimbang masih menggayut.
"Awas!"Ditariknya aku merapat ke arahnya. Ternyata lelaki-lelaki berseragam yang membawa barang bawaanku baru tiba. Dengan bergegas mereka memasuki kamar dan meninggalkan bawaan mereka di sana. Tak lama kemudian, bergantian mereka keluar kamar seraya memberi hormat kepada sang Kapten.
"Terima kasih,"ucap Sang Kapten sebelum lelaki-lelaki berseragam tadi meninggalkan kami. Sayangnya aku lupa ikut mengucapkan terima kasih.
"Mari masuk,"ajak Sang Kapten lagi.
Anak gadisku melangkahkan kaki masuk ke kamar. Sang Kapten merangkul bahuku, mendorong aku masuk. Terakhir, dia menyusul masuk dan menutup pintu kamar. Udara segar segera menerpa tubuhku. Kulihat anak gadisku menarik nafas panjang. Rupanya kamar ini terpasang AC.
"Ajak anakmu duduk di sana."Dia menunjuk ke tempat lapang yang terselimut kain putih.
Tanpa disuruh lagi, anak gadisku meloncat ke tempat yang ditunjuk oleh lelaki yang belum dikenalnya itu. Aku melepaskan anak jantanku dari gendongan karena dia mau mengikuti kakaknya yang sudah terlebih dulu berbaring di tempat tidur itu.
"Itu kamar mandinya."Kapten menunjuk ke pintu kecil yang ada di pojok, "Adik bebersih dulu. Anak-anak juga. Kasihan mereka."
Ah! Kapten itu memanggilku adik."Terima kasih."
"Sudah makan belum?"
Aku menatap anak-anakku yang baring-baring di tempat tidur untuk lalu menatap ke arahnya."Nanti saya ambil jatah makan malam, Pak."
Sang Kapten berdiri. "Adik tidak takut aku tinggal sendiri, kan?"
Kutatap dia. Ragu.
"Tenang saja. Adik istirahat saja di sini."Sepertinya ia faham keraguan di diriku. "Aku mau kontrol lagi. Nanti aku bawa makan malam untuk Adik dan anak-anak."
Kuulas satu senyuman sebagai tanda terima kasih.
"Ah! Senyum itu yang sedari tadi aku tunggu-tunggu."Sambil tersenyum, Sang Kapten menatap aku."Adik tuh cantik kalau tersenyum."
Terpengaruh oleh pujiannya, kembali aku tersenyum. Senang sekali, karena, di saat capek begini, ada seseorang yang memuji kecantikan kita. Setelah menyambut senyumku, sang Kapten beranjak mendekati pintu, membukanya dan dia keluar. Kini kami hanya bertiga di kamar ini. Sepi. Hanya terdengar deru mesin dan bunyi cipratan air laut ke badan kapal.
Kutuju kamar mandi karena aku kebelet pipis. Saat melewati cermin yang menempel di dinding kamar, kutatap diri ini. Gila! Bayangan di cermin itu teramat memilukan. Itu bukan aku. Di sana terlihat perempuan dengan pipi menghitam dan penuh bercak keringat kering bercampur daki sementara rambut pajang ikal sebahu itu acak-acakan.
Sebersit rasa malu timbul di diri ini. Apa pendapat sang Kapten dengan penampilan lusuhku ini? Kenapa dia tidak malu membawa kami yang lusuh ini ke kamarnya? Teramat menyesal aku karena tidak memperhatikan kondisi aku dan anak-anakku.
Cepat! Aku harus sesegera merapikan diri, batinku. Malu kalau sang Kapten kembali ke kamar dan melihatku masih lusuh. Segera tas bawaan aku buka dan mengeluarkan pakaian bersih untuk aku dan anak-anakku, kemudian aku beralih membuka tas sandang untuk mengambil peralatan mandi.
"Mama mandi dulu, ya,"ujarku pada anak-anakku yang sedang baring-baring di tempat tidur.
Kamar mandinya bersih dan airnya berlimpah, tidak seperti kamar mandi umum di kelas ekonomi yang jorok dan selalu kekurangan air. Segar sekali tubuh ini saat tersiram air dingin itu. Kupuas-puaskan diri untuk mandi. Siapa tahu ini acara mandi pertama dan terakhir aku karena harus kembali lagi ke kelas ekonomi.
Selesai mandi, aku berdiri di depan cermin. Wajah cantik itu kembali hadir. Senyum itu kembali manis. Makasih, Kapten, atas bantuannya, batinku.
Hanya sekejap aku mematut diri di depan cermin karena aku harus memandikan anak-anakku. Mau disimpan di mana wajah ini bila sang Kapten melihat anak-anakku masih lusuh saat dia datang nanti.
Selesai mandi dan berpakaian cantik, kami menyantap kue-kue ringan yang kami miliki. Lumayan untuk mengganjal perut. Nanti, bila sang Kapten kembali, baru aku akan mengambil jatah makan malam kami di kantin kapal. Sekarang aku tidak bisa meninggalkan kamar ini karena aku terkunci di kamar ini.
Selesai makan, anak-anak kembali bermain di atas tempat tidur. Pada saat itulah aku punya kesempatan untuk memerhatikan keadaan kamar. Isi kamar ini tidak banyak. Selain tempat tidur yang sekarang sedang dipakai oleh kedua anakku, ada meja kecil yang menempel di dinding dengan dua kursi. Hanya itu. Di sudut lain ada tirai yang tertutup rapat. Barangkali itu kamar lain, pikirku.
Ada gambar sang Kapten menempel di dinding kamar. Gagah dengan seragam putihnya. Meski rambutnya mulai menipis, tidak terlihat keriput di wajahnya. Pasti tampan kapten kala mudanya, batinku.
Di samping gambar tadi, dengan hangger, tergantung satu stel pakaian. Ada satu baris kata yang terpajang di dada kanannya: Syaiful Bahri. Apakah itu namanya? Aku tidak tahu.
Lalu, mataku tertumbuk pada setumpuk buku yang berserak di sisi pinggir meja. Dengan niat merapikan buku-buku itu, aku mendekati meja. Aku mulai mengangkat satu buku saat kutemukan sehelai photo kusam terselip dibawah tumpukan buku-buku tadi. Penasaran aku ambil photo itu dan mengamatinya. Di photo tersebut, terlihat seorang pria muda yang sedang menggendong anak kecil berdiri berdampingan dengan perempuan berambut ikal sebahu. Di depan perempuan muda cantik itu berdiri gadis kecil, seumuran anak pertamaku, yang juga sama cantiknya.
Keluarga muda yang harmonis, gumamku. Apa ini photo keluarga sang Kapten? Pasti itu. Kapan, ya, photo ini diambil? Ah, sudahlah. Aku tak mau ikut campur. Segera kutaruh kembali photo yang sudah kekuning-kuningan itu dan membatalkan niatku untuk merapikannya. Berbaring aku di tempat tidur, menemani kedua anakku yang masih bermain.
Melihat mamanya berbaring, anak jantanku ikut membaringkan diri di sampingku. Karena anak jantanku menyentuh payudaraku, sebagai isyarat dia meminta minum, aku membuka kancing-kancing blusku dan melepaskan pengait beha yang berada di bagian depan, di antara dua cungkupnya. Melihat dua payudara yang menggembung montok berada di depannya, anak jantanku segera menyerbu. Sambil menghisap puting susuku, jemarinya memilin-milin butiran kecoklatan yang ada di atas gundukan daging kenyal satunya. Si sulung, anak gadisku, melihat kami berbaring, ikut rebah di tempat tidur, memejam matanya.
Aku terbangun dari tidurku karena aku merasakan kehadiran seseorang di kamar ini. Sambil mengucek-ucek mata dan menguap, aku menggeliatkan badan. Ah, malu aku jadinya karena kulihat sang Kapten telah duduk manis di kursi, menatap ke arahku.
"Adik capek, ya? Nyenyak sekali tidurnya,"Sang Kapten berucap.
Aku hanya menanggapi ucapannya dengan senyuman. Malu karena dia pasti puas menikmati wajahku saat aku tertidur tadi. Segera aku duduk dan mengikat rambutku.
Sang Kapten berdiri membelakangiku. Lalu, "Kalau menyusui anak itu, jangan sambil baring-baring. Berbahaya."
Spontan tanganku meraba ke bagian dada. Astaga! Wajahku langsung menghangat. Gegara kebiasaan anakku bila menyusu, ia akan menyuruh aku untuk mengeluarkan kedua payudara dari beha, entah sudah berapa lama lelaki itu melihat dua payudara milikku itu. Cepat-cepat kusimpan bukit-bukit montok milikku dan merapikan blus yang kupakai.
Sang Kapten kembali duduk, menatap aku."Ini kubawakan makan malamnya. Nasi bungkus."
Kepalaku masih menunduk, menekuri tempat tidur, sementara tangan memegangi kancing baju untuk memastikan blusku sudah tertutup rapi.
"Tadi aku mau membangunkan Adik, tapi tidak tega,"ucapnya lagi. "Nyenyak sekali tidurnya."
Sekilas kutatap dia untuk kembali tertunduk sementara jemari tangan masih memegangi pinggiran blus untuk memastikan gunung milikku sudah tersembunyi sempurna.
"Payudara Adik bagus,"ucapnya dengan nada biasa.
Panas mukaku mendengar ucapannya. Atau pujian? Atau rayuan? Tapi, bagiku, ucapan itu teramat vulgar. Sebab, belum pernah aku mendengar seseorang membahas tentang payudaraku.
"Maaf, kalau aku salah omong." Rupanya dia melihat aku yang masih menutupi bagian dadaku. "Tapi, memang indah, kok. Sumpah!"
Aku tetap diam dengan wajah menunduk. Serba salah.
"Adik sudah makan?"tanyanya memecah keheningan kamar.
"Saya makan dengan anak-anak saja nanti. Tunggu mereka bangun."Akhirnya aku menjawab.
"Mau tolong saya tidak?"
Gemetar aku jadinya saat mata ini bertemu dengan mata itu.
"A-apa yang bisa aku bantu?" Terbata-bata aku berucap.
"Adik jangan takut. Aku sudah jinak, kok."
"Aku tidak takut, Pak. Bapak 'kan baik, sudah menolong aku dan anak-anak."Aku turun dari tempat tidur, berdiri di sampingnya, di depan meja kecil itu."Apa yang bisa aku bantu?"
"Aku lapar. Aku mau makan."Disorongkannya tas plastik ke depanku.
Tanganku masuk ke dalam tas plastik tadi. Kurasakan ada empat bungkusan di dalamnya. Satu buah bungkusan aku keluarkan dari dalam tas plastik itu. Nasi bungkus itu aku taruh di piring, aku buka, dan aku letakkan di depan sang Kapten.
"Benar Adik tidak makan?"Dia menatap aku yang hanya berdiri didekatnya.
"Nanti. Menunggu anak-anakku bangun,"aku mengulangi lagi ucapanku.
"Sini. Duduk di sini."Dia mempersilakan aku duduk di kursi yang ada di sampingnya."Temani aku makan."
Aku duduk. Dag-dig-dug jantungku saat berada disampingnya. Untuk menutupi kecanggunganku, aku ambil teko yang ada di meja dan menuangkan isinya ke gelas. Aku geser gelas yang berisi air ke dekat piring makannya.
"Benar Adik tidak mau makan?" Sekali lagi dia memastikan pendirianku.
Kutatap dia dan hanya mengembangkan sedikit senyum untuk menanggapi pertanyaannya.
"Mahal sekali senyum Adik ini."Sembari tersenyum, dia menatap aku."Padahal Adik ini cantik bila tersenyum."
Aku memalingkan wajah, menatap cermin yang ada di depan kami. Sang Kapten tampak lahap menyantap hidangannya. Senang melihatnya. Biarpun telah berumur, kuperkirakan usianya menjelang lima puluhan, tapi tubuhnya masih tegap. Dengan kaos ketat yang dipakainya, wih! perempuan mana yang tidak terpesona. Apalagi dia seorang pelaut. Konon kabarnya 'kan pelaut itu banyak istri. Di pelabuhan mana dia singgah, pasti ada tempat berlabuh baginya. Tapi itu katanya, ya. Semoga pelaut yang satu ini berbeda, entah mengapa itu harapku.
"Ada apa?"Suara itu membuyarkan lamunanku.
Melalui cermin itu, mata kami beradu. Gelagapan aku jadinya karena ia menangkap basah mata ini yang menikmati ketampanannya. Segera kubuang pandangan. Berdebar-debar jantungku dibuatnya. Kasihan kamu, Erviyanti, dengan perasaan penuh malu, aku membatin.
"Ma!"Terdengar suara anak gadis memanggilku.
Ah, untunglah anak gadisku menjadi penyelamat aku dari kesalahtingkahanku. Langsung aku meninggalkan kursi dan mendapati anak gadisku yang terbangun.
"Ajak anakmu makan, Dik," ucapnya.
Aku pun kembali ke sampingnya untuk mengambil bungkusan nasi dari dalam tas plastik. Aku letakkan dua bungkus nasi di dua piring yang berbeda, satu untuk anak gadisku dan satunya lagi untuk aku. Sebelum berlalu kembali kepada kedua anakku, tanpa sengaja mataku mengarah ke cermin dan, di sana, di cermin itu, kudapati sang Kapten menatap aku. Ada desiran aneh melintas di dada, debaran yang menyenangkan.
Tak mau lama tenggelam dalam pesonanya, pandangan kulepaskan dari cermin. Aku berlalu dan duduk disamping anak gadisku. Dengan tangan gemetar, kusuapi anakku. Ada rasa takut hadir melihat tatapan lelaki itu tadi. Bukan nafsu yang kutemui di mata itu. Bukan. Kalau ia nakal, pasti dia sudah mengerjaiku sejak tadi saat aku tertidur tadi.
"Adik tidak makan?"Pertanyaan itu membuyarkan keheningan."Walau tidak berselera, paksakan makan. Biarpun sedikit. Nanti sakit."
Kupandang dia yang juga menatap aku. Selembar senyum kupersembahkan untuk segala perhatiannya. Lalu aku pun mulai menyantap nasi bungkus itu.
Dan akhirnya acara makan selesai. Kutumpuk piring-piring kotor dan kubawa ke kamar mandi untuk kucuci.
"Siapa namanya?"Dari kamar mandi dapat aku dengar suara sang Kapten.
Sepi.
"Tanti. Bagus, ya, namanya,"kembali terdengar suara sang Kapten.
Tidak terdengar jawaban dari anakku.
"Mama Tanti cantik, ya?"Aku tersenyum mendengar pertanyaan itu.
Tidak terdengar jawaban dari anakku. Tapi pasti anakku mengangguk, batinku ge-er.
"Mama sama Papa lagi marahan, ya?"Hampir aku terbatuk mendengar pertanyaan 'dewasa' itu.
Pasti anakku menggeleng menjawab pertanyaan itu, batinku lagi.
"Papanya, kok, tidak ikut?"
Untung aku sudah selesai mencuci piring, jadi aku segera keluar dari kamar mandi. Di kursi, di samping sang Kapten, Tanti, anak gadisku, sedang mengerjakan sesuatu di meja makan.
Sang Kapten berpaling menatap aku. Senyum simpatik itu menebarkan pesona. Semoga aku tidak seperti puluhan atau bahkan ratusan wanita lain yang kepincut kepada senyum itu, doaku cepat-cepat tanpa melepaskan pandangan dari senyuman memabukkan itu.
"Anakmu jujur, Dik."Mata itu berbinar."Katanya, Mamanya, tuh, cantik."
Serr... Melambung rasanya aku mendengar pujian itu. Tuhan! Semoga aku kuat, ya, Tuhan, doaku lagi tanpa melepaskan pandangan dari lelaki itu.
"Kenapa Papanya anak-anak tidak ikut mudik?"Pandangannya menghujam ke mataku. Perlahan memabukkan aku."Apa tidak takut kehilangan istri dia itu? Padahal punya istri cantik itu susah. Susah jaganya."
"Punya suami gagah seperti Pak Kapten juga susah,"sambarku, "Banyak perempuan yang rela jadi istri kesekian..."
Hahaha! Tawanya pecah. Berderai-derai. Geliginya mengintip rapi dari dua bibirnya.
"Bisa melucu juga Adik ini, ya."
Akhirnya keakraban pun hadir. Di dalam kamarnya yang sejuk, di antara kedua anakku yang saling mengganggu, percakapan mengalir lancar.
Akhirnya aku tahu kalau photo usang yang tadi aku lihat adalah keluarga sang Kapten. Aku pun tahu kalau perempuan cantik itu adalah istrinya yang telah meninggal dua puluh lima tahun yang lalu akibat kecelakaan lalu lintas. Sementara anak-anaknya kini sudah berkeluarga dan mempunyai kehidupan sendiri-sendiri.
Aku juga tahu, sang Kapten bukanlah seorang kapten. Ia seorang Mualim kapal, pejabat di kapal ini. Pantas saja ia bisa memiliki kamar dan bisa memerintah abk lain. Tapi, karena aku sudah terbiasa memanggil dia kapten, sang kapten, dan selama ia tidak marah, biarlah kupanggil ia kapten. Kaptenku. Hihihi... Sok akrab lo, Ervi.
Saat terdengar sirene, Kapten beranjak dari duduknya. Dia memakai seragamnya kembali, lalu, "Aku keluar sebentar. Mau kontrol anak-anak."
Kuanggukkan kepala. Memandangnya. Memandang sang pahlawan, penyelamat aku dan anak-anak dari kesulitan hari ini. Entah dengan apa aku bisa membalas bantuannya ini, tapi semoga saja aku bisa membalas semua kebaikannya dengan segera, doaku.
Begitu sang Kapten menghilang, aku merebahkan diri. Keheningan membelai. Anak jantanku merapat dalam pelukan untuk menemaniku memejamkan mata.
Gerit pintu kamar yang dibuka, membuat mataku pun membuka. Cepat-cepat aku merapikan pakaian agar tidak terulang lagi kejadian memalukan tadi. Kemudian aku duduk di atas tempat tidur.
"Maaf, mengganggu tidurnya."Dia melepaskan pakaian kerjanya, menghampirkannya ke dudukan kursi. "Adik tidur lagi saja."
Setelah menelanjangi diri dan hanya mengenakan celana pendek ketat, ia mengambil handuk dan menghilang ke kamar mandi. Tak lama kemudian terdengar kecipak air dari kamar mandi yang disertai nyanyian.
Sesuai anjurannya, aku berbaring dan berusaha tidur agar tidak ada waktu bagi kami untuk berinteraksi. Dua orang dewasa yang berada dalam satu ruang, pasti yang ketiga setan, kata banyak orang. Tapi, entah kemana rasa kantuk ini pergi. Aku tak bisa tidur. Aku malah fokus mendengar nyanyiannya, hanyut dengan suaranya yang biasa saja, tetapi mampu menenggelamkan aku.
Pintu kamar mandi terkuak. Agar dia menyangka aku tidur, mata aku pejamkan. Senandungnya tetap terdengar, perlahan. Saat kubuka mataku sepicing, lelaki itu, dengan bertelanjang dada, berdiri menghadap ke cermin. Hanya handuk kecil yang menutupi areal selangkangannya. Detak jantungku menjadi tak karuan melihat pemandangan itu. Ingin kututup mata ini, tapi hati berkeinginan lain. Ah! Semoga dia tidak mengetahui kalau ada seseorang yang menikmati tubuh gagahnya, doaku.
Astaga! Dia melepaskan handuk yang melilit pinggangnya sehingga dapat kulihat pantatnya yang penuh itu. Sepertinya ia menganggap tamunya ini tertidur, sehingga tanpa malu menelanjangi diri. Segera kueratkan pejaman mata ini. Aku takut melihat barangnya, takut mau, maksudnya. Hihihi...
Setelah lama mata terpejam, meski tak juga tidur, lamat-lamat terdengar Kenny Rogers bernyanyi lagu Lady. Suara itu memenuhi kamar. Ingin kubuka mata ini, tapi tak ada keberanian bagiku.
Tempat tidur yang kutempati berderenyit akibat diduduki. Lalu pipiku disentuh lembut. Kala membuka mata, kutemui sang Kapten tersenyum, duduk disampingku.
Dia berdiri, tangannya menjulur ke arahku. Senyumnya merebak, menunggu sambutan dariku.
Anehnya tanganku terulur, menyambutnya. Segera tubuh ini terangkat meninggalkan tempat tidur. Kami berdiri berhadapan. Entah mau dibawa kemana, aku tak tahu, tapi, yang pasti, aku menyerahkan diri ini kepadanya. Mungkin ini kesempatan aku untuk membalas semua bantuannya hari ini.
Mata kami bersitumbuk. Jemari tangan kami menyatu dan direngkuhnya pinggangku, membuat tubuh kami merapat. Dengan iringan suara Kenny Rogers, diajaknya aku berputar. Berdansa.
Ini adalah pengalaman baru bagiku, tapi aku menikmatinya, seperti aku menikmati saat tubuh kami menyatu, menikmati saat bulu-bulu di sekujur tubuh meremang setiap kali hembusan napasnya menerpa leher, bermain di telinga. Aku menikmatinya.
Pintar sekali lelaki ini memorakporandakan perasaan seorang wanita. Atau sang wanitanya yang malah dengan rela menyerahkan diri, takluk tanpa perlawanan, bersedia tunduk pada pelaut ini. Tapi, yang pasti, tanpa kata, dalam pelukannya, aku dibuatnya terlena.
Dia menatapku mesra, menebar senyum, dan dibawanya aku tetap bergerak bersama, berirama, menari. Di dalam kamarnya yang sempit, tubuh kami merapat, bergerak seirama, tetap menari, berputar meskipun suara Kenny Rodgers telah lama menghilang.
Arkian, tarian kami terhenti. Sang Kapten melepaskan aku. Dalam keremangan yang melingkup, kami berhadapan. Hanya gegaris cahaya lampu yang menyelinap dari sela-sela tirai menjadi penerang.
Sang Kapten membawa aku duduk. Empuk tempatnya. Harum wanginya. Kekuatanku serasa menghilang begitu dua tangannya jatuh di dua bahuku. Tanpa perlawanan, akibat dorongan tangannya, tubuh ini merebah di lantai empuk itu.
Sang Kapten menyusul rebah, menimpakan sebagian tubuhnya ke atas tubuhku. Dapat kutemui aroma wangi sabun mandi melekat di tubuh lelaki itu. Semoga sang Kapten tidak mengetahui jika bau tubuhnya menyebab birahi menggejolak di dadaku dan ada cairan merembes di kemaluanku.
Kupejamkan dua mataku manakala bibirnya mendekat di wajahku. Hembusan napasnya membuat bulu-bulu yang ada di tubuhku meremang. Panas dingin aku menunggu sensasi yang akan dilakukan sang Kapten pada tubuhku. Jemarinya memegang daguku untuk menghadapkan wajahku ke arahnya. Dengan mata tetap aku pejamkan, dia mengambil bibirku sekejap untuk dilepaskannya, kemudian diambilnya lagi, dan lagi. Pada ciuman terakhir, bibirnya menempel lebih lama dan mulai mengulum bibirku.
Mendadak sang Kapten meninggalkan bibirku, mengangkat tubuhnya dari atas tubuhku. Diam aku melihat dia yang dengan terburu-buru turun dari tempat tidur dan mulai melepaskan pakaiannya. Aku memalingkan pandangan saat tubuh telanjangnya kembali naik ke tempat tidur.
Kembali dia berbaring disampingku. Merapat tubuhnya. Kemudian, bibir kami bertaut. Panas. Dapat aku rasakan tangan sang Kapten menarik lepas kancing-kancing blus yang aku pakai. Dingin menerpa kulit tubuhku begitu blusku disibaknya lebar. Sang Kapten meraba behaku, mencari pengait beha.
Beha terlepas. Tertahan nafas ini, menahan rasa sakit yang hadir manakala dengan kasar dua payudaraku diremasnya berganti-ganti. Ingin kutolak jari jemari itu, tapi aku takut sang Kapten tersinggung dan marah padaku, sehingga batal untuk menyetubuhi aku.
Untungnya tangan sang Kapten berpindah dari payudara ke selangkanganku. Masih belum meninggalkan bibirku, sang Kapten mengelus areal kelaminku yang masih tertutup jins. Ketika jemarinya coba memasuki celana jins-ku, perut aku kempiskan untuk mempermudah tangan sang Kapten menyelinap masuk. Menggelinjang aku begitu jemarinya meraba areal intim milikku, memainkan bulu-bulu ikal kasar yang ada di sana.
Bibir kami berhenti berciuman. Sang Kapten bangkit. Dia masuk di antara dua pahaku yang membuka lebar. Secepatnya dia melepaskan kancing celana dan menguakkan retsletingnya. Pantat aku angkat tinggi saat dia menarik celana itu.
Selepas celana jins terlepas, jari-jemari tangannya mengelus celana dalamku. Geli sekaligus tegang aku rasakan karena kemaluanku disentuhnya. Aku tinggikan dua kakiku tatkala celana dalam milikku dia tarik. Kini kami sama-sama telanjang. Kemudian, di antara dua pahaku, sang Kapten bergerak maju. Dia mendekati selangkanganku. Dan, saat daging keras panjang milik sang Kapten menyentuh lubang kemaluanku, tubuh ini kembali mengejang.
"Sakit, Pak,"rintihku ketika sang Kapten menekan masuk kontolnya.
"Maaf."Cepat-cepat sang Kapten menarik kontolnya dari lubang kemaluanku dan rasa nyeri itu hilang.
Pelan, seperti takut menyakitiku, jemari sang Kapten menyentuh kemaluanku, mengelus dan memainkan belahan memanjang itu. Kemudian, dia kembali menempelkan kontolnya. Kupejamkan mata, berharap rasa sakit akan menghilang untuk kali ini dan untuk mengurangi rasa takut yang bermain dipikiranku, aku coba mengatur irama nafasku.
Rasa sakit masih aku rasakan. Aku coba menahannya, tapi selangkanganku begitu sakit manakala daging keras itu mendesak masuk ke lubang kemaluan.
Seperti mengetahui ketidaknyamanan yang aku rasakan, dia mencabut kontolnya dari lubang kemaluanku.
"Maaf, Pak,"ucapku sambil merengkuh tangannya."Memang sakit. Perih."
"Tidak apa-apa."Sang Kapten mengambil tanganku, meremasnya untuk meyakinkan aku, untuk memberi rasa nyaman di pengalaman pertamaku bersama laki-laki lain di atas tempat tidur.
Tangan aku biarkan terus berada dalam pegangannya. Mata pun aku pejamkan untuk menikmati kebersamaan kami, untuk mengumpulkan sejumput keberanian, untuk menimbulkan rasa intim bersamanya.
Dalam remangnya kamar, samar aku lihat sang Kapten merundukkan kepalanya ke arah pahaku. Merinding aku karena bulu-bulu kasar di atas bibirnya mengenai paha, apalagi jemarinya yang nakal memainkan bulu-bulu jembut di selangkanganku.
Bibir sang Kapten terus menciumi pahaku, pendek-pendek tetapi terus naik dan naik hingga menyentuh selangkangan. Geli-geli sedap, tapi aku suka.
Sesampai di areal sensitif kemaluanku, sang Kapten memainkan lidahnya untuk menyentuh kemaluanku. Di jilat-jilatnya belahan memanjang yang ada di selangkangan, membuat aku menggeliat sedap. Lidahnya menjemputi klentit yang tersembunyi didalam belahan memanjang itu.
Bibirnya menjalar ke atas, meninggalkan kemaluan. Disedotnya pusarku. Jemarinya kini yang bermain di areal kemaluan. Merabai bulu-bulunya, mengelusi klitorisnya, dan berakhir dengan dia tusukkan jari tengahnya ke lubang kemaluan, yang membuat aku menjengit enak. Di dalam kedalaman lubang kemaluan, jari tengah sang Kapten memainkan benjolan yang ada di sana, membuat nafasku menderu panjang.
Sambil jari-jemarinya mengobok-obok kemaluanku, bibir sang Kapten telah memamah payudaraku. Butiran cokelat itu telah habis disedotinya. Mabuk kepayang aku dibuat oleh lelaki ini.
Akhirnya, tangan lelaki itu meninggalkan kemaluanku, bibirnya pun melepaskan payudaraku. Kini dia menindih aku. Saat dia mengulum bibirku, aku pun balas mengulum bibirnya. Lebih hangat.
Tubuh telanjangku yang terbaring dibawah tindihannya bergetar manakala daging keras panjang itu menimpa kemaluanku, menggesek-gesek belahannya yang memanjang itu Dalam kuluman bibirnya, nafasku tersengal-sengal.
Kupeluk dia erat. Kubuang nafas panjang. Mata pun terpejam menikmati daging mengeras panjang itu bermain di ambang lubang kemaluan. Seperti tidak mau menyakiti aku lagi, pelan sekali kontol itu masuk ke dalam lubang kemaluan, tapi lubang kemaluan yang sudah basah itu menyambutnya.
Karena tidak terdengar rintih kesakitan dariku, sang Kapten menekan dalam-dalam kontolnya. Rintih kesakitan itu bersalin rupa menjadi desahan akibat daging keras itu bergerak maju mundur. Kueratkan pelukan dan aku lepaskan dua kaki bergerak liar seirama dengan gerak dia menggagahi kemaluanku. Desahanku lepas membubung memenuhi kamar.
Oleh sang Kapten, dua kakiku ditarik melurus. Tubuh telanjang sang Kapten ikut melurus di atas tubuhku. Kini kontolnya memutari kemaluanku, bibirnya menjarah pipiku, dan aku terus mendesah sementara tangannya tetap erat memelukku.
"Ah..."Desahku panjang akibat lelaki itu menarik keluar kontolnya dari kemaluanku.
Cepat dia meninggalkan aku. Cepat pula dia mengangkangkan dua kakiku dan secepat itu pula sang Kapten menimpakan paha kirinya ke paha kananku, lalu dia mengarahkan kontolnya ke lubang kemaluan, yang membuat nafas kembali tercekat, mulut membuka, dan mata terpejam. Lenguhan pun keluar manakala kontol itu masuk."Ah..."
Desakan kontol itu di kemaluanku kian cepat. Nafasnya memburu, begitupula desahanku. Sang Kapten terus menghujani kemaluanku dengan tusukan-tusukan kontolnya. Terakhir, dia menghujamkan kontolnya dalam-dalam, melenguh dia, lalu dapat aku rasakan batang daging mengeras yang tertancap di kemaluanku berdenyut-denyut, disusul dengan percikan-percikan air hangat memenuhi kedalaman lubang kemaluan.
Setelah selesai membuang sperma di kemaluanku, dengan tubuh gemetar dan nafas yang memburu, lelaki itu jatuh menimpa aku. Detak jantungnya terasa di tubuhku. Begitu pula hembusan nafasnya.
"Dimana kita?"tanyaku kemudian.
"Masih di kamar,"jawabnya seraya bergeser turun dari atas tubuhku.
Sang Kapten bangkit. Kakinya melangkahi aku yang masih berbaring. Turun dia dari tempat tidur.
Tirai yang menutupi kamar dia sorong membuka, sehingga sinar lampu masuk, membuat kamar menjadi terang. Dengan sigap aku mengambil bantal untuk menutupi tubuh telanjangku. Sambil tertawa melihat tingkahku, dia berjalan menjauhi aku, menuju meja. Masih telanjang dia.
Dari tempatku berbaring, dapat aku lihat sang Kapten mengambil setumpuk pakaian dari lemari yang menyatu di dinding. Satu stel pakaian diserahkannya kepadaku.
"Cepat dipakai kimononya."Sang Kapten memakai kimononya yang motif dan warnanya sama dengan kimono yang ada di tanganku."Kita keluar. Ada pemandangan indah yang tidak pernah aku lewatkan. Adik pasti suka melihatnya."
Aku bungkus tubuhku dengan kimono. Kehangatan mendekapku. Aku turun dari tempat tidur dan melangkah keluar untuk menerima ajakannya. Sebelumnya, melongok aku ke tempat tidur anak-anakku. Nyenyak mereka tidur.
Dia merangkul pundakku. Setelah meyakinkan bahwa anak-anak tetap tertidur, bersamanya aku keluar dari kamar. Angin malam kencang menerpa kami. Kupegangi kimonoku yang berkibar-kibar. Dibawanya aku ke sisi pinggir kapal. Berpegangan aku di pagar kapal sementara dia berdiri dibelakangku, merangkul aku. Ada liuk hitam memanjang di kejauhan sana. Itu pulau Sumatera, kata sang Kapten.
Sepi suasana malam ini. Hanya terdengar gemuruh ombak yang menerpa lambung kapal dan deru mesin. Di langit, rembulan penuh ditemani gemintang menyinari kami. Pelukannya menghadirkan kehangatan. Aku pun merapatkan diri.
"Hampir jam dua belas."Lelaki itu menunjukkan jam tangannya kepadaku "Masuk, yuk. Adik sudah menggigil."
Sebenarnya aku masih ingin menikmati indahnya suasana malam, menikmati kebersamaan kami, tetapi ada kehendak lain yang menghasut aku untuk menerima ajakannya masuk ke kamar.
Kami pun beranjak masuk ke kamar. Mendapati kedua anakku tetap terbaring nyenyak di tempat tidur, sang kapten membawa aku kembali ke ruang dibalik tirai.
Berhadapan kami. Kimonoku dia lucuti. Untuk kali kedua aku telanjang dihadapannya. Membungkuk dia, menghampiri gunung-gunung kenyal itu. Jemariku erat berpegang pada kimononya dan terpejam mata ini menikmati emutan mulutnya di puting susu.
Sambil tetap mencumbu puting susu, jari-jemari sang Kapten mengambil kemaluanku, mengelusnya, memainkan klitorisnya, dan menusuk ke lubang itu, yang membuat aku menggeliat enak.
Pasrah aku mengikuti maunya yang merebahkan aku di tempat tidur yang kini berantakan. Setelah melepaskan kimononya, berbaring dia menindih aku. Bibir kami bertemu. Hangat dan penuh birahi.
Sayangnya, dari tempat tidur sebelah terdengar tangisan anak jantanku. Aku dorong dia jatuh. Aku turun dari tempat tidur. Aku ambil kimono dari lantai. Sambil mengenakannya, aku berucap kepada sang Kapten yang berbaring menatap aku."Aku susui anakku dulu."
Dia hanya diam. Maka, melangkah aku mendatangi tempat tidur anak-anakku. Berbaring, aku mengeluarkan payudaraku dan anak jantanku langsung menyedotnya.
Setelah anak jantanku kembali tertidur, puting susu aku lepaskan dari mulutnya. Karena kebelet pipis, aku turun dari tempat tidur, merapikan kimonoku, dan berjalan menuju kamar mandi.
Setibanya di depan ruang bertirai itu, aku melirik ke dalamnya. Dalam keremangan, terlihat sosok telanjang itu terbaring di tempat tidur. Terdengar dengkuran dari dalam sana. Sambil tersenyum, aku pun meneruskan langkah ke kamar mandi.
Selesai pipis, kakiku bimbang menentukan arah. Berhenti langkah ini di ambang ruang bertirai itu. Kemana aku harus berlabuh? Akhirnya, setelah mengikat kuat-kuat kimono, aku melangkah masuk ke ruang tertutup tirai itu. Aku naik ke tempat tidur. Aku pakai kimono yang berserak di tempat tidur untuk menutupi tubuh bugil sang Kapten. Aku membaringkan diri di sampingnya untuk berbisik di telinganya,"Aku sayang kamu."
Sebelumnya, saya hadirkan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada orang-orang yang saya banggakan dan saya cintai, serta kepada Agan-Agan yang akan membaca, mengomentari, dan menilai cerita ini.
I. Hari Pertama
Sepekan sebelum Natal di akhir tahun 1998, aku berdesak-desakan dengan ribuan penumpang di dalam lambung kapal tujuan Jakarta. Sebenarnya bukan hanya aku, tapi anak gadisku yang berusia enam tahun dan anak jantanku yang sedang belajar berjalan.
Kapal laut, di era sembilan puluhan, masih menjadi primadona, sehingga tak mampu menampung membludaknya pengguna jasa di masa-masa liburan. Kebetulan pula, keberangkatan ini minus sang suami. Karena ada tugas mendadak dari kantor, sementara tiket kapal telah terbeli, maka dengan sangat terpaksa suami membatalkan kepergiannya serta merelakan aku dan dua anaknya berangkat ke Jakarta.
Di kapal yang dibuat oleh perusahaan galangan kapal Jos L. Meyer di Papenburg, Jerman ini terdapat 4 kelas yang disediakan. Mulai kelas 1 dan 2 yang merupakan kelas kamar; Kelas 3 dengan fasilitas kasur dan bantal, serta sebuah loker barang; dan, yang terakhir, kelas ekonomi yang hanya mendapatkan tempat tidur saja.
Membludaknya penumpang kapal, memaksa aku yang memegang tiket ekonomi yang seharusnya mendapatkan kamar tidur akhirnya harus kalah bersaing dan terdampar di lantai bagian luar kapal dengan beralaskan terpal biru ukuran kecil yang kusewa dari petugas yang memang berkeliling menawarkan jasa sewa terpal.
Sekira jam satu lewat, siang itu, dengan diawali sirene panjang, kapal laut meninggalkan Dermaga Belawan, Medan, Sumatera Utara. Perjalanan ini akan menempuh waktu 3 hari 2 malam dan akan menyinggahi Pangkalan Balai, Karimun, Kepulauan Riau, untuk kemudian merapat di pelabuhan Batam dan selanjutnya tiba di Tanjung Priok, Jakarta, sebagai tujuan akhir.
Kapal telah berjalan hampir tiga jam saat anak jantanku mulai kegerahan. Kugendong anak jantanku yang mulai menangis itu untuk menidurkannya sementara anak gadisku terbangun dari tidurnya dan kini duduk bingung di antara tas-tas yang kami bawa.
Tangisan anak jantanku kian kencang. Ingin kutinggalkan tempat istirahat untuk mencari suasana baru karena kuperkirakan anak jantanku bosan dengan suasana sekitarnya yang penuh dengan barang dan para penumpang, tapi sangatlah riskan untuk aku pergi. Siapa yang akan menjaga semua barang bawaan itu? Resiko kehilangan barang amat besar dalam suasana membludaknya penumpang, tapi apa dayaku.
Aduh! Anak gadisku muntah di terpal yang kami duduki. Panik aku jadinya. Sungguh! Baru kali ini aku pergi tanpa suamiku dan baru kali ini pula aku harus mengurus dua anakku tanpa ada yang membantu. Anak jantanku menangis lebih keras saat kutaruh dia di terpal agar aku dapat mengurus anak gadisku.
"Ada apa?"terdengar suara seorang lelaki dari arah belakangku."Coba lihat tiketnya?"
Aku mengalihkan kepala untuk mengetahui siapa yang bertanya. Sempat terkejut kala kudapati seorang petugas berseragam putih berdiri dibelakangku. Segera kugendong kembali anak jantanku dan mendekati laki-laki berseragam itu.
"Mana tiketnya?"Dia mengulurkan tangannya.
Cepat-cepat aku mengeluarkan tiket dari dalam beha untuk lalu menyerahkannya.
"Maaf, Pak,"ujarku saat melihat pria berseragam putih itu tampak segan menerima tiket."Takut hilang. Kata suamiku, tiketnya simpan di tempat yang aman."
Sembari memperhatikan tiket yang ada di tangannya, pria itu tersenyum. Lalu,"Mbak 'kan dapat fasilitas kamar? Kenapa berada di sini?"
"Kamarnya ditempati orang, Pak Kapten. Laki-laki semua. Jadi risih tidur di sana."
Kamar, sebagai salah satu fasilitas yang diterima oleh pemegang tiket ekonomi, berukuran besar sehingga mampu memuat banyak orang, tapi konsekuensinya kita harus bergabung dengan orang lain yang tidak dikenal.
"Barang bawaannya mana?"
"Itu."Kutunjuk beberapa tas yang menumpuk di sudut.
"Banyak, ya."Bapak berseragam putih itu menengok ke kiri kanan seperti mencari sesuatu.
"Hei, kalian!"Bapak berseragam putih itu melambaikan tangan, memanggil beberapa lelaki berseragam yang lewat di kejauhan."Hei!"
Lelaki-lelaki berseragam itu menghentikan langkah mereka. Setelah mengetahui siapa yang memanggil, mereka mendekat untuk kemudian memberi hormat.
"Tolong bawa tas-tas ini ke kamarku,"perintahnya.
Segera lelaki-lelaki berseragam itu berbagi barang-barang bawaanku dan mengangkutnya pergi begitu saja.
"Mau dibawa kemana?"tanyaku dengan nada takut.
Dia tersenyum. Diserahkannya kembali tiket yang dipegangnya kepadaku, lalu,"Ikut aku."
Tambah bingung jadinya aku. Tanpa alasan apa pun, ia menyuruh orang membawa tas-tas bawaanku dan kini memerintahkan aku untuk mengikutinya. Siapa dia? Kalau melihat seragam yang dipakainya, Kapten kapalkah dia?
"Sini."Dia memanggil anak gadisku untuk mendekat kepadanya.
"Jangan takut,"ucapnya lagi saat anak gadisku tampak bimbang. "Ikut Oom. Mama juga ikut, kok."
Anak gadisku menatap aku. Kusenyumi dia, menganggukkan kepala sebagai tanda agar dia jangan takut. Akhirnya anak gadisku membiarkan dirinya digendong lelaki tak dikenalnya itu dan aku mengikuti langkah-langkah panjang sang Kapten meninggalkan tempat itu.
Kami menaiki tangga menuju lantai di atasnya, naik lagi satu tingkat, dan naik lagi ke lantai yang lebih tinggi. Lantai ini sepi dari para penumpang dan aku terus mengikuti langkah-langkah kapten kapal. Anak gadisku yang berada dalam gendongan sang kapten terus menatap aku, takut kehilangan mamanya.
Akhirnya Kapten menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu. Pintu itu berada disudut, diujung palka. Tidak ada pintu lain di sepanjang yang bisa aku lihat. Sang Kapten menurunkan anak gadisku dari gendongannya. Langsung saja anakku mendekatiku, memegang erat jemari tanganku. Dalam kebingungan, aku hanya diam memerhatikan dia yang sedang membuka pintu itu.
"Silakan masuk,"ujarnya setelah pintu terbuka.
Sungguh ragu aku dibuatnya. Siapa dia yang mengajakku masuk ke kamarnya? Mau apa dia hingga mengajakku masuk ke kamarnya?
"Sudah, masuk dululah. Istirahat di dalam."Sepertinya ia faham kebimbanganku, ketakutan, yang menggayut di wajah ini. "Kasihan anak-anak kecapekan. Di sini kalian bisa istirahat."
Bimbang masih menggayut.
"Awas!"Ditariknya aku merapat ke arahnya. Ternyata lelaki-lelaki berseragam yang membawa barang bawaanku baru tiba. Dengan bergegas mereka memasuki kamar dan meninggalkan bawaan mereka di sana. Tak lama kemudian, bergantian mereka keluar kamar seraya memberi hormat kepada sang Kapten.
"Terima kasih,"ucap Sang Kapten sebelum lelaki-lelaki berseragam tadi meninggalkan kami. Sayangnya aku lupa ikut mengucapkan terima kasih.
"Mari masuk,"ajak Sang Kapten lagi.
Anak gadisku melangkahkan kaki masuk ke kamar. Sang Kapten merangkul bahuku, mendorong aku masuk. Terakhir, dia menyusul masuk dan menutup pintu kamar. Udara segar segera menerpa tubuhku. Kulihat anak gadisku menarik nafas panjang. Rupanya kamar ini terpasang AC.
"Ajak anakmu duduk di sana."Dia menunjuk ke tempat lapang yang terselimut kain putih.
Tanpa disuruh lagi, anak gadisku meloncat ke tempat yang ditunjuk oleh lelaki yang belum dikenalnya itu. Aku melepaskan anak jantanku dari gendongan karena dia mau mengikuti kakaknya yang sudah terlebih dulu berbaring di tempat tidur itu.
"Itu kamar mandinya."Kapten menunjuk ke pintu kecil yang ada di pojok, "Adik bebersih dulu. Anak-anak juga. Kasihan mereka."
Ah! Kapten itu memanggilku adik."Terima kasih."
"Sudah makan belum?"
Aku menatap anak-anakku yang baring-baring di tempat tidur untuk lalu menatap ke arahnya."Nanti saya ambil jatah makan malam, Pak."
Sang Kapten berdiri. "Adik tidak takut aku tinggal sendiri, kan?"
Kutatap dia. Ragu.
"Tenang saja. Adik istirahat saja di sini."Sepertinya ia faham keraguan di diriku. "Aku mau kontrol lagi. Nanti aku bawa makan malam untuk Adik dan anak-anak."
Kuulas satu senyuman sebagai tanda terima kasih.
"Ah! Senyum itu yang sedari tadi aku tunggu-tunggu."Sambil tersenyum, Sang Kapten menatap aku."Adik tuh cantik kalau tersenyum."
Terpengaruh oleh pujiannya, kembali aku tersenyum. Senang sekali, karena, di saat capek begini, ada seseorang yang memuji kecantikan kita. Setelah menyambut senyumku, sang Kapten beranjak mendekati pintu, membukanya dan dia keluar. Kini kami hanya bertiga di kamar ini. Sepi. Hanya terdengar deru mesin dan bunyi cipratan air laut ke badan kapal.
Kutuju kamar mandi karena aku kebelet pipis. Saat melewati cermin yang menempel di dinding kamar, kutatap diri ini. Gila! Bayangan di cermin itu teramat memilukan. Itu bukan aku. Di sana terlihat perempuan dengan pipi menghitam dan penuh bercak keringat kering bercampur daki sementara rambut pajang ikal sebahu itu acak-acakan.
Sebersit rasa malu timbul di diri ini. Apa pendapat sang Kapten dengan penampilan lusuhku ini? Kenapa dia tidak malu membawa kami yang lusuh ini ke kamarnya? Teramat menyesal aku karena tidak memperhatikan kondisi aku dan anak-anakku.
Cepat! Aku harus sesegera merapikan diri, batinku. Malu kalau sang Kapten kembali ke kamar dan melihatku masih lusuh. Segera tas bawaan aku buka dan mengeluarkan pakaian bersih untuk aku dan anak-anakku, kemudian aku beralih membuka tas sandang untuk mengambil peralatan mandi.
"Mama mandi dulu, ya,"ujarku pada anak-anakku yang sedang baring-baring di tempat tidur.
Kamar mandinya bersih dan airnya berlimpah, tidak seperti kamar mandi umum di kelas ekonomi yang jorok dan selalu kekurangan air. Segar sekali tubuh ini saat tersiram air dingin itu. Kupuas-puaskan diri untuk mandi. Siapa tahu ini acara mandi pertama dan terakhir aku karena harus kembali lagi ke kelas ekonomi.
Selesai mandi, aku berdiri di depan cermin. Wajah cantik itu kembali hadir. Senyum itu kembali manis. Makasih, Kapten, atas bantuannya, batinku.
Hanya sekejap aku mematut diri di depan cermin karena aku harus memandikan anak-anakku. Mau disimpan di mana wajah ini bila sang Kapten melihat anak-anakku masih lusuh saat dia datang nanti.
Selesai mandi dan berpakaian cantik, kami menyantap kue-kue ringan yang kami miliki. Lumayan untuk mengganjal perut. Nanti, bila sang Kapten kembali, baru aku akan mengambil jatah makan malam kami di kantin kapal. Sekarang aku tidak bisa meninggalkan kamar ini karena aku terkunci di kamar ini.
Selesai makan, anak-anak kembali bermain di atas tempat tidur. Pada saat itulah aku punya kesempatan untuk memerhatikan keadaan kamar. Isi kamar ini tidak banyak. Selain tempat tidur yang sekarang sedang dipakai oleh kedua anakku, ada meja kecil yang menempel di dinding dengan dua kursi. Hanya itu. Di sudut lain ada tirai yang tertutup rapat. Barangkali itu kamar lain, pikirku.
Ada gambar sang Kapten menempel di dinding kamar. Gagah dengan seragam putihnya. Meski rambutnya mulai menipis, tidak terlihat keriput di wajahnya. Pasti tampan kapten kala mudanya, batinku.
Di samping gambar tadi, dengan hangger, tergantung satu stel pakaian. Ada satu baris kata yang terpajang di dada kanannya: Syaiful Bahri. Apakah itu namanya? Aku tidak tahu.
Lalu, mataku tertumbuk pada setumpuk buku yang berserak di sisi pinggir meja. Dengan niat merapikan buku-buku itu, aku mendekati meja. Aku mulai mengangkat satu buku saat kutemukan sehelai photo kusam terselip dibawah tumpukan buku-buku tadi. Penasaran aku ambil photo itu dan mengamatinya. Di photo tersebut, terlihat seorang pria muda yang sedang menggendong anak kecil berdiri berdampingan dengan perempuan berambut ikal sebahu. Di depan perempuan muda cantik itu berdiri gadis kecil, seumuran anak pertamaku, yang juga sama cantiknya.
Keluarga muda yang harmonis, gumamku. Apa ini photo keluarga sang Kapten? Pasti itu. Kapan, ya, photo ini diambil? Ah, sudahlah. Aku tak mau ikut campur. Segera kutaruh kembali photo yang sudah kekuning-kuningan itu dan membatalkan niatku untuk merapikannya. Berbaring aku di tempat tidur, menemani kedua anakku yang masih bermain.
Melihat mamanya berbaring, anak jantanku ikut membaringkan diri di sampingku. Karena anak jantanku menyentuh payudaraku, sebagai isyarat dia meminta minum, aku membuka kancing-kancing blusku dan melepaskan pengait beha yang berada di bagian depan, di antara dua cungkupnya. Melihat dua payudara yang menggembung montok berada di depannya, anak jantanku segera menyerbu. Sambil menghisap puting susuku, jemarinya memilin-milin butiran kecoklatan yang ada di atas gundukan daging kenyal satunya. Si sulung, anak gadisku, melihat kami berbaring, ikut rebah di tempat tidur, memejam matanya.
Aku terbangun dari tidurku karena aku merasakan kehadiran seseorang di kamar ini. Sambil mengucek-ucek mata dan menguap, aku menggeliatkan badan. Ah, malu aku jadinya karena kulihat sang Kapten telah duduk manis di kursi, menatap ke arahku.
"Adik capek, ya? Nyenyak sekali tidurnya,"Sang Kapten berucap.
Aku hanya menanggapi ucapannya dengan senyuman. Malu karena dia pasti puas menikmati wajahku saat aku tertidur tadi. Segera aku duduk dan mengikat rambutku.
Sang Kapten berdiri membelakangiku. Lalu, "Kalau menyusui anak itu, jangan sambil baring-baring. Berbahaya."
Spontan tanganku meraba ke bagian dada. Astaga! Wajahku langsung menghangat. Gegara kebiasaan anakku bila menyusu, ia akan menyuruh aku untuk mengeluarkan kedua payudara dari beha, entah sudah berapa lama lelaki itu melihat dua payudara milikku itu. Cepat-cepat kusimpan bukit-bukit montok milikku dan merapikan blus yang kupakai.
Sang Kapten kembali duduk, menatap aku."Ini kubawakan makan malamnya. Nasi bungkus."
Kepalaku masih menunduk, menekuri tempat tidur, sementara tangan memegangi kancing baju untuk memastikan blusku sudah tertutup rapi.
"Tadi aku mau membangunkan Adik, tapi tidak tega,"ucapnya lagi. "Nyenyak sekali tidurnya."
Sekilas kutatap dia untuk kembali tertunduk sementara jemari tangan masih memegangi pinggiran blus untuk memastikan gunung milikku sudah tersembunyi sempurna.
"Payudara Adik bagus,"ucapnya dengan nada biasa.
Panas mukaku mendengar ucapannya. Atau pujian? Atau rayuan? Tapi, bagiku, ucapan itu teramat vulgar. Sebab, belum pernah aku mendengar seseorang membahas tentang payudaraku.
"Maaf, kalau aku salah omong." Rupanya dia melihat aku yang masih menutupi bagian dadaku. "Tapi, memang indah, kok. Sumpah!"
Aku tetap diam dengan wajah menunduk. Serba salah.
"Adik sudah makan?"tanyanya memecah keheningan kamar.
"Saya makan dengan anak-anak saja nanti. Tunggu mereka bangun."Akhirnya aku menjawab.
"Mau tolong saya tidak?"
Gemetar aku jadinya saat mata ini bertemu dengan mata itu.
"A-apa yang bisa aku bantu?" Terbata-bata aku berucap.
"Adik jangan takut. Aku sudah jinak, kok."
"Aku tidak takut, Pak. Bapak 'kan baik, sudah menolong aku dan anak-anak."Aku turun dari tempat tidur, berdiri di sampingnya, di depan meja kecil itu."Apa yang bisa aku bantu?"
"Aku lapar. Aku mau makan."Disorongkannya tas plastik ke depanku.
Tanganku masuk ke dalam tas plastik tadi. Kurasakan ada empat bungkusan di dalamnya. Satu buah bungkusan aku keluarkan dari dalam tas plastik itu. Nasi bungkus itu aku taruh di piring, aku buka, dan aku letakkan di depan sang Kapten.
"Benar Adik tidak makan?"Dia menatap aku yang hanya berdiri didekatnya.
"Nanti. Menunggu anak-anakku bangun,"aku mengulangi lagi ucapanku.
"Sini. Duduk di sini."Dia mempersilakan aku duduk di kursi yang ada di sampingnya."Temani aku makan."
Aku duduk. Dag-dig-dug jantungku saat berada disampingnya. Untuk menutupi kecanggunganku, aku ambil teko yang ada di meja dan menuangkan isinya ke gelas. Aku geser gelas yang berisi air ke dekat piring makannya.
"Benar Adik tidak mau makan?" Sekali lagi dia memastikan pendirianku.
Kutatap dia dan hanya mengembangkan sedikit senyum untuk menanggapi pertanyaannya.
"Mahal sekali senyum Adik ini."Sembari tersenyum, dia menatap aku."Padahal Adik ini cantik bila tersenyum."
Aku memalingkan wajah, menatap cermin yang ada di depan kami. Sang Kapten tampak lahap menyantap hidangannya. Senang melihatnya. Biarpun telah berumur, kuperkirakan usianya menjelang lima puluhan, tapi tubuhnya masih tegap. Dengan kaos ketat yang dipakainya, wih! perempuan mana yang tidak terpesona. Apalagi dia seorang pelaut. Konon kabarnya 'kan pelaut itu banyak istri. Di pelabuhan mana dia singgah, pasti ada tempat berlabuh baginya. Tapi itu katanya, ya. Semoga pelaut yang satu ini berbeda, entah mengapa itu harapku.
"Ada apa?"Suara itu membuyarkan lamunanku.
Melalui cermin itu, mata kami beradu. Gelagapan aku jadinya karena ia menangkap basah mata ini yang menikmati ketampanannya. Segera kubuang pandangan. Berdebar-debar jantungku dibuatnya. Kasihan kamu, Erviyanti, dengan perasaan penuh malu, aku membatin.
"Ma!"Terdengar suara anak gadis memanggilku.
Ah, untunglah anak gadisku menjadi penyelamat aku dari kesalahtingkahanku. Langsung aku meninggalkan kursi dan mendapati anak gadisku yang terbangun.
"Ajak anakmu makan, Dik," ucapnya.
Aku pun kembali ke sampingnya untuk mengambil bungkusan nasi dari dalam tas plastik. Aku letakkan dua bungkus nasi di dua piring yang berbeda, satu untuk anak gadisku dan satunya lagi untuk aku. Sebelum berlalu kembali kepada kedua anakku, tanpa sengaja mataku mengarah ke cermin dan, di sana, di cermin itu, kudapati sang Kapten menatap aku. Ada desiran aneh melintas di dada, debaran yang menyenangkan.
Tak mau lama tenggelam dalam pesonanya, pandangan kulepaskan dari cermin. Aku berlalu dan duduk disamping anak gadisku. Dengan tangan gemetar, kusuapi anakku. Ada rasa takut hadir melihat tatapan lelaki itu tadi. Bukan nafsu yang kutemui di mata itu. Bukan. Kalau ia nakal, pasti dia sudah mengerjaiku sejak tadi saat aku tertidur tadi.
"Adik tidak makan?"Pertanyaan itu membuyarkan keheningan."Walau tidak berselera, paksakan makan. Biarpun sedikit. Nanti sakit."
Kupandang dia yang juga menatap aku. Selembar senyum kupersembahkan untuk segala perhatiannya. Lalu aku pun mulai menyantap nasi bungkus itu.
Dan akhirnya acara makan selesai. Kutumpuk piring-piring kotor dan kubawa ke kamar mandi untuk kucuci.
"Siapa namanya?"Dari kamar mandi dapat aku dengar suara sang Kapten.
Sepi.
"Tanti. Bagus, ya, namanya,"kembali terdengar suara sang Kapten.
Tidak terdengar jawaban dari anakku.
"Mama Tanti cantik, ya?"Aku tersenyum mendengar pertanyaan itu.
Tidak terdengar jawaban dari anakku. Tapi pasti anakku mengangguk, batinku ge-er.
"Mama sama Papa lagi marahan, ya?"Hampir aku terbatuk mendengar pertanyaan 'dewasa' itu.
Pasti anakku menggeleng menjawab pertanyaan itu, batinku lagi.
"Papanya, kok, tidak ikut?"
Untung aku sudah selesai mencuci piring, jadi aku segera keluar dari kamar mandi. Di kursi, di samping sang Kapten, Tanti, anak gadisku, sedang mengerjakan sesuatu di meja makan.
Sang Kapten berpaling menatap aku. Senyum simpatik itu menebarkan pesona. Semoga aku tidak seperti puluhan atau bahkan ratusan wanita lain yang kepincut kepada senyum itu, doaku cepat-cepat tanpa melepaskan pandangan dari senyuman memabukkan itu.
"Anakmu jujur, Dik."Mata itu berbinar."Katanya, Mamanya, tuh, cantik."
Serr... Melambung rasanya aku mendengar pujian itu. Tuhan! Semoga aku kuat, ya, Tuhan, doaku lagi tanpa melepaskan pandangan dari lelaki itu.
"Kenapa Papanya anak-anak tidak ikut mudik?"Pandangannya menghujam ke mataku. Perlahan memabukkan aku."Apa tidak takut kehilangan istri dia itu? Padahal punya istri cantik itu susah. Susah jaganya."
"Punya suami gagah seperti Pak Kapten juga susah,"sambarku, "Banyak perempuan yang rela jadi istri kesekian..."
Hahaha! Tawanya pecah. Berderai-derai. Geliginya mengintip rapi dari dua bibirnya.
"Bisa melucu juga Adik ini, ya."
Akhirnya keakraban pun hadir. Di dalam kamarnya yang sejuk, di antara kedua anakku yang saling mengganggu, percakapan mengalir lancar.
Akhirnya aku tahu kalau photo usang yang tadi aku lihat adalah keluarga sang Kapten. Aku pun tahu kalau perempuan cantik itu adalah istrinya yang telah meninggal dua puluh lima tahun yang lalu akibat kecelakaan lalu lintas. Sementara anak-anaknya kini sudah berkeluarga dan mempunyai kehidupan sendiri-sendiri.
Aku juga tahu, sang Kapten bukanlah seorang kapten. Ia seorang Mualim kapal, pejabat di kapal ini. Pantas saja ia bisa memiliki kamar dan bisa memerintah abk lain. Tapi, karena aku sudah terbiasa memanggil dia kapten, sang kapten, dan selama ia tidak marah, biarlah kupanggil ia kapten. Kaptenku. Hihihi... Sok akrab lo, Ervi.
Saat terdengar sirene, Kapten beranjak dari duduknya. Dia memakai seragamnya kembali, lalu, "Aku keluar sebentar. Mau kontrol anak-anak."
Kuanggukkan kepala. Memandangnya. Memandang sang pahlawan, penyelamat aku dan anak-anak dari kesulitan hari ini. Entah dengan apa aku bisa membalas bantuannya ini, tapi semoga saja aku bisa membalas semua kebaikannya dengan segera, doaku.
Begitu sang Kapten menghilang, aku merebahkan diri. Keheningan membelai. Anak jantanku merapat dalam pelukan untuk menemaniku memejamkan mata.
Gerit pintu kamar yang dibuka, membuat mataku pun membuka. Cepat-cepat aku merapikan pakaian agar tidak terulang lagi kejadian memalukan tadi. Kemudian aku duduk di atas tempat tidur.
"Maaf, mengganggu tidurnya."Dia melepaskan pakaian kerjanya, menghampirkannya ke dudukan kursi. "Adik tidur lagi saja."
Setelah menelanjangi diri dan hanya mengenakan celana pendek ketat, ia mengambil handuk dan menghilang ke kamar mandi. Tak lama kemudian terdengar kecipak air dari kamar mandi yang disertai nyanyian.
Sesuai anjurannya, aku berbaring dan berusaha tidur agar tidak ada waktu bagi kami untuk berinteraksi. Dua orang dewasa yang berada dalam satu ruang, pasti yang ketiga setan, kata banyak orang. Tapi, entah kemana rasa kantuk ini pergi. Aku tak bisa tidur. Aku malah fokus mendengar nyanyiannya, hanyut dengan suaranya yang biasa saja, tetapi mampu menenggelamkan aku.
Pintu kamar mandi terkuak. Agar dia menyangka aku tidur, mata aku pejamkan. Senandungnya tetap terdengar, perlahan. Saat kubuka mataku sepicing, lelaki itu, dengan bertelanjang dada, berdiri menghadap ke cermin. Hanya handuk kecil yang menutupi areal selangkangannya. Detak jantungku menjadi tak karuan melihat pemandangan itu. Ingin kututup mata ini, tapi hati berkeinginan lain. Ah! Semoga dia tidak mengetahui kalau ada seseorang yang menikmati tubuh gagahnya, doaku.
Astaga! Dia melepaskan handuk yang melilit pinggangnya sehingga dapat kulihat pantatnya yang penuh itu. Sepertinya ia menganggap tamunya ini tertidur, sehingga tanpa malu menelanjangi diri. Segera kueratkan pejaman mata ini. Aku takut melihat barangnya, takut mau, maksudnya. Hihihi...
Setelah lama mata terpejam, meski tak juga tidur, lamat-lamat terdengar Kenny Rogers bernyanyi lagu Lady. Suara itu memenuhi kamar. Ingin kubuka mata ini, tapi tak ada keberanian bagiku.
Tempat tidur yang kutempati berderenyit akibat diduduki. Lalu pipiku disentuh lembut. Kala membuka mata, kutemui sang Kapten tersenyum, duduk disampingku.
Dia berdiri, tangannya menjulur ke arahku. Senyumnya merebak, menunggu sambutan dariku.
Anehnya tanganku terulur, menyambutnya. Segera tubuh ini terangkat meninggalkan tempat tidur. Kami berdiri berhadapan. Entah mau dibawa kemana, aku tak tahu, tapi, yang pasti, aku menyerahkan diri ini kepadanya. Mungkin ini kesempatan aku untuk membalas semua bantuannya hari ini.
Mata kami bersitumbuk. Jemari tangan kami menyatu dan direngkuhnya pinggangku, membuat tubuh kami merapat. Dengan iringan suara Kenny Rogers, diajaknya aku berputar. Berdansa.
Ini adalah pengalaman baru bagiku, tapi aku menikmatinya, seperti aku menikmati saat tubuh kami menyatu, menikmati saat bulu-bulu di sekujur tubuh meremang setiap kali hembusan napasnya menerpa leher, bermain di telinga. Aku menikmatinya.
Pintar sekali lelaki ini memorakporandakan perasaan seorang wanita. Atau sang wanitanya yang malah dengan rela menyerahkan diri, takluk tanpa perlawanan, bersedia tunduk pada pelaut ini. Tapi, yang pasti, tanpa kata, dalam pelukannya, aku dibuatnya terlena.
Dia menatapku mesra, menebar senyum, dan dibawanya aku tetap bergerak bersama, berirama, menari. Di dalam kamarnya yang sempit, tubuh kami merapat, bergerak seirama, tetap menari, berputar meskipun suara Kenny Rodgers telah lama menghilang.
Arkian, tarian kami terhenti. Sang Kapten melepaskan aku. Dalam keremangan yang melingkup, kami berhadapan. Hanya gegaris cahaya lampu yang menyelinap dari sela-sela tirai menjadi penerang.
Sang Kapten membawa aku duduk. Empuk tempatnya. Harum wanginya. Kekuatanku serasa menghilang begitu dua tangannya jatuh di dua bahuku. Tanpa perlawanan, akibat dorongan tangannya, tubuh ini merebah di lantai empuk itu.
Sang Kapten menyusul rebah, menimpakan sebagian tubuhnya ke atas tubuhku. Dapat kutemui aroma wangi sabun mandi melekat di tubuh lelaki itu. Semoga sang Kapten tidak mengetahui jika bau tubuhnya menyebab birahi menggejolak di dadaku dan ada cairan merembes di kemaluanku.
Kupejamkan dua mataku manakala bibirnya mendekat di wajahku. Hembusan napasnya membuat bulu-bulu yang ada di tubuhku meremang. Panas dingin aku menunggu sensasi yang akan dilakukan sang Kapten pada tubuhku. Jemarinya memegang daguku untuk menghadapkan wajahku ke arahnya. Dengan mata tetap aku pejamkan, dia mengambil bibirku sekejap untuk dilepaskannya, kemudian diambilnya lagi, dan lagi. Pada ciuman terakhir, bibirnya menempel lebih lama dan mulai mengulum bibirku.
Mendadak sang Kapten meninggalkan bibirku, mengangkat tubuhnya dari atas tubuhku. Diam aku melihat dia yang dengan terburu-buru turun dari tempat tidur dan mulai melepaskan pakaiannya. Aku memalingkan pandangan saat tubuh telanjangnya kembali naik ke tempat tidur.
Kembali dia berbaring disampingku. Merapat tubuhnya. Kemudian, bibir kami bertaut. Panas. Dapat aku rasakan tangan sang Kapten menarik lepas kancing-kancing blus yang aku pakai. Dingin menerpa kulit tubuhku begitu blusku disibaknya lebar. Sang Kapten meraba behaku, mencari pengait beha.
Beha terlepas. Tertahan nafas ini, menahan rasa sakit yang hadir manakala dengan kasar dua payudaraku diremasnya berganti-ganti. Ingin kutolak jari jemari itu, tapi aku takut sang Kapten tersinggung dan marah padaku, sehingga batal untuk menyetubuhi aku.
Untungnya tangan sang Kapten berpindah dari payudara ke selangkanganku. Masih belum meninggalkan bibirku, sang Kapten mengelus areal kelaminku yang masih tertutup jins. Ketika jemarinya coba memasuki celana jins-ku, perut aku kempiskan untuk mempermudah tangan sang Kapten menyelinap masuk. Menggelinjang aku begitu jemarinya meraba areal intim milikku, memainkan bulu-bulu ikal kasar yang ada di sana.
Bibir kami berhenti berciuman. Sang Kapten bangkit. Dia masuk di antara dua pahaku yang membuka lebar. Secepatnya dia melepaskan kancing celana dan menguakkan retsletingnya. Pantat aku angkat tinggi saat dia menarik celana itu.
Selepas celana jins terlepas, jari-jemari tangannya mengelus celana dalamku. Geli sekaligus tegang aku rasakan karena kemaluanku disentuhnya. Aku tinggikan dua kakiku tatkala celana dalam milikku dia tarik. Kini kami sama-sama telanjang. Kemudian, di antara dua pahaku, sang Kapten bergerak maju. Dia mendekati selangkanganku. Dan, saat daging keras panjang milik sang Kapten menyentuh lubang kemaluanku, tubuh ini kembali mengejang.
"Sakit, Pak,"rintihku ketika sang Kapten menekan masuk kontolnya.
"Maaf."Cepat-cepat sang Kapten menarik kontolnya dari lubang kemaluanku dan rasa nyeri itu hilang.
Pelan, seperti takut menyakitiku, jemari sang Kapten menyentuh kemaluanku, mengelus dan memainkan belahan memanjang itu. Kemudian, dia kembali menempelkan kontolnya. Kupejamkan mata, berharap rasa sakit akan menghilang untuk kali ini dan untuk mengurangi rasa takut yang bermain dipikiranku, aku coba mengatur irama nafasku.
Rasa sakit masih aku rasakan. Aku coba menahannya, tapi selangkanganku begitu sakit manakala daging keras itu mendesak masuk ke lubang kemaluan.
Seperti mengetahui ketidaknyamanan yang aku rasakan, dia mencabut kontolnya dari lubang kemaluanku.
"Maaf, Pak,"ucapku sambil merengkuh tangannya."Memang sakit. Perih."
"Tidak apa-apa."Sang Kapten mengambil tanganku, meremasnya untuk meyakinkan aku, untuk memberi rasa nyaman di pengalaman pertamaku bersama laki-laki lain di atas tempat tidur.
Tangan aku biarkan terus berada dalam pegangannya. Mata pun aku pejamkan untuk menikmati kebersamaan kami, untuk mengumpulkan sejumput keberanian, untuk menimbulkan rasa intim bersamanya.
Dalam remangnya kamar, samar aku lihat sang Kapten merundukkan kepalanya ke arah pahaku. Merinding aku karena bulu-bulu kasar di atas bibirnya mengenai paha, apalagi jemarinya yang nakal memainkan bulu-bulu jembut di selangkanganku.
Bibir sang Kapten terus menciumi pahaku, pendek-pendek tetapi terus naik dan naik hingga menyentuh selangkangan. Geli-geli sedap, tapi aku suka.
Sesampai di areal sensitif kemaluanku, sang Kapten memainkan lidahnya untuk menyentuh kemaluanku. Di jilat-jilatnya belahan memanjang yang ada di selangkangan, membuat aku menggeliat sedap. Lidahnya menjemputi klentit yang tersembunyi didalam belahan memanjang itu.
Bibirnya menjalar ke atas, meninggalkan kemaluan. Disedotnya pusarku. Jemarinya kini yang bermain di areal kemaluan. Merabai bulu-bulunya, mengelusi klitorisnya, dan berakhir dengan dia tusukkan jari tengahnya ke lubang kemaluan, yang membuat aku menjengit enak. Di dalam kedalaman lubang kemaluan, jari tengah sang Kapten memainkan benjolan yang ada di sana, membuat nafasku menderu panjang.
Sambil jari-jemarinya mengobok-obok kemaluanku, bibir sang Kapten telah memamah payudaraku. Butiran cokelat itu telah habis disedotinya. Mabuk kepayang aku dibuat oleh lelaki ini.
Akhirnya, tangan lelaki itu meninggalkan kemaluanku, bibirnya pun melepaskan payudaraku. Kini dia menindih aku. Saat dia mengulum bibirku, aku pun balas mengulum bibirnya. Lebih hangat.
Tubuh telanjangku yang terbaring dibawah tindihannya bergetar manakala daging keras panjang itu menimpa kemaluanku, menggesek-gesek belahannya yang memanjang itu Dalam kuluman bibirnya, nafasku tersengal-sengal.
Kupeluk dia erat. Kubuang nafas panjang. Mata pun terpejam menikmati daging mengeras panjang itu bermain di ambang lubang kemaluan. Seperti tidak mau menyakiti aku lagi, pelan sekali kontol itu masuk ke dalam lubang kemaluan, tapi lubang kemaluan yang sudah basah itu menyambutnya.
Karena tidak terdengar rintih kesakitan dariku, sang Kapten menekan dalam-dalam kontolnya. Rintih kesakitan itu bersalin rupa menjadi desahan akibat daging keras itu bergerak maju mundur. Kueratkan pelukan dan aku lepaskan dua kaki bergerak liar seirama dengan gerak dia menggagahi kemaluanku. Desahanku lepas membubung memenuhi kamar.
Oleh sang Kapten, dua kakiku ditarik melurus. Tubuh telanjang sang Kapten ikut melurus di atas tubuhku. Kini kontolnya memutari kemaluanku, bibirnya menjarah pipiku, dan aku terus mendesah sementara tangannya tetap erat memelukku.
"Ah..."Desahku panjang akibat lelaki itu menarik keluar kontolnya dari kemaluanku.
Cepat dia meninggalkan aku. Cepat pula dia mengangkangkan dua kakiku dan secepat itu pula sang Kapten menimpakan paha kirinya ke paha kananku, lalu dia mengarahkan kontolnya ke lubang kemaluan, yang membuat nafas kembali tercekat, mulut membuka, dan mata terpejam. Lenguhan pun keluar manakala kontol itu masuk."Ah..."
Desakan kontol itu di kemaluanku kian cepat. Nafasnya memburu, begitupula desahanku. Sang Kapten terus menghujani kemaluanku dengan tusukan-tusukan kontolnya. Terakhir, dia menghujamkan kontolnya dalam-dalam, melenguh dia, lalu dapat aku rasakan batang daging mengeras yang tertancap di kemaluanku berdenyut-denyut, disusul dengan percikan-percikan air hangat memenuhi kedalaman lubang kemaluan.
Setelah selesai membuang sperma di kemaluanku, dengan tubuh gemetar dan nafas yang memburu, lelaki itu jatuh menimpa aku. Detak jantungnya terasa di tubuhku. Begitu pula hembusan nafasnya.
"Dimana kita?"tanyaku kemudian.
"Masih di kamar,"jawabnya seraya bergeser turun dari atas tubuhku.
Sang Kapten bangkit. Kakinya melangkahi aku yang masih berbaring. Turun dia dari tempat tidur.
Tirai yang menutupi kamar dia sorong membuka, sehingga sinar lampu masuk, membuat kamar menjadi terang. Dengan sigap aku mengambil bantal untuk menutupi tubuh telanjangku. Sambil tertawa melihat tingkahku, dia berjalan menjauhi aku, menuju meja. Masih telanjang dia.
Dari tempatku berbaring, dapat aku lihat sang Kapten mengambil setumpuk pakaian dari lemari yang menyatu di dinding. Satu stel pakaian diserahkannya kepadaku.
"Cepat dipakai kimononya."Sang Kapten memakai kimononya yang motif dan warnanya sama dengan kimono yang ada di tanganku."Kita keluar. Ada pemandangan indah yang tidak pernah aku lewatkan. Adik pasti suka melihatnya."
Aku bungkus tubuhku dengan kimono. Kehangatan mendekapku. Aku turun dari tempat tidur dan melangkah keluar untuk menerima ajakannya. Sebelumnya, melongok aku ke tempat tidur anak-anakku. Nyenyak mereka tidur.
Dia merangkul pundakku. Setelah meyakinkan bahwa anak-anak tetap tertidur, bersamanya aku keluar dari kamar. Angin malam kencang menerpa kami. Kupegangi kimonoku yang berkibar-kibar. Dibawanya aku ke sisi pinggir kapal. Berpegangan aku di pagar kapal sementara dia berdiri dibelakangku, merangkul aku. Ada liuk hitam memanjang di kejauhan sana. Itu pulau Sumatera, kata sang Kapten.
Sepi suasana malam ini. Hanya terdengar gemuruh ombak yang menerpa lambung kapal dan deru mesin. Di langit, rembulan penuh ditemani gemintang menyinari kami. Pelukannya menghadirkan kehangatan. Aku pun merapatkan diri.
"Hampir jam dua belas."Lelaki itu menunjukkan jam tangannya kepadaku "Masuk, yuk. Adik sudah menggigil."
Sebenarnya aku masih ingin menikmati indahnya suasana malam, menikmati kebersamaan kami, tetapi ada kehendak lain yang menghasut aku untuk menerima ajakannya masuk ke kamar.
Kami pun beranjak masuk ke kamar. Mendapati kedua anakku tetap terbaring nyenyak di tempat tidur, sang kapten membawa aku kembali ke ruang dibalik tirai.
Berhadapan kami. Kimonoku dia lucuti. Untuk kali kedua aku telanjang dihadapannya. Membungkuk dia, menghampiri gunung-gunung kenyal itu. Jemariku erat berpegang pada kimononya dan terpejam mata ini menikmati emutan mulutnya di puting susu.
Sambil tetap mencumbu puting susu, jari-jemari sang Kapten mengambil kemaluanku, mengelusnya, memainkan klitorisnya, dan menusuk ke lubang itu, yang membuat aku menggeliat enak.
Pasrah aku mengikuti maunya yang merebahkan aku di tempat tidur yang kini berantakan. Setelah melepaskan kimononya, berbaring dia menindih aku. Bibir kami bertemu. Hangat dan penuh birahi.
Sayangnya, dari tempat tidur sebelah terdengar tangisan anak jantanku. Aku dorong dia jatuh. Aku turun dari tempat tidur. Aku ambil kimono dari lantai. Sambil mengenakannya, aku berucap kepada sang Kapten yang berbaring menatap aku."Aku susui anakku dulu."
Dia hanya diam. Maka, melangkah aku mendatangi tempat tidur anak-anakku. Berbaring, aku mengeluarkan payudaraku dan anak jantanku langsung menyedotnya.
Setelah anak jantanku kembali tertidur, puting susu aku lepaskan dari mulutnya. Karena kebelet pipis, aku turun dari tempat tidur, merapikan kimonoku, dan berjalan menuju kamar mandi.
Setibanya di depan ruang bertirai itu, aku melirik ke dalamnya. Dalam keremangan, terlihat sosok telanjang itu terbaring di tempat tidur. Terdengar dengkuran dari dalam sana. Sambil tersenyum, aku pun meneruskan langkah ke kamar mandi.
Selesai pipis, kakiku bimbang menentukan arah. Berhenti langkah ini di ambang ruang bertirai itu. Kemana aku harus berlabuh? Akhirnya, setelah mengikat kuat-kuat kimono, aku melangkah masuk ke ruang tertutup tirai itu. Aku naik ke tempat tidur. Aku pakai kimono yang berserak di tempat tidur untuk menutupi tubuh bugil sang Kapten. Aku membaringkan diri di sampingnya untuk berbisik di telinganya,"Aku sayang kamu."
Terakhir diubah: