Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

ASMARA GELAP

Ide cerita yg menarik, seolah pembaca yg jadi peran utama di cerita ini, ijin bangun pondok di mari gan/sis
 
PART III
AKHIRNYA


Pagi ini, pagi yang cukup cerah. Namun, udara dingin masih sangat terasa berkat hujan deras semalam. Aku yang baru saja bangun dari tidur langsung mencium aroma menenangkan khas jeruk nipis pewangi ruangan kamarku. Setelah membereskan kamar, aku segera mandi dan berganti baju. Setelah itu menyisir rambut, aku keluar dari kamar berjalan menuju ruang makan.

Ternyata Nara sudah memulai sarapannya. Namun, kayaknya ia sedang melamun, matanya menatap lurus menerawang, kosong. Anak itu mengunyah makanannya sangat pelan bahkan bisa dibilang sedang ‘mengemut’. Segera aku hampiri dia dan benar saja anakku terkejut saat aku sudah berada di sampingnya.

“Tidak baik makan sambil ngelamun begitu ... Apa yang kamu pikirin?” Kataku lembut sambil duduk di kursi sebelahnya.

“Oh, nggak Ma ...” Nara terlihat kikuk sehingga aku tahu kalau dia sedang berkelit.

“Buat apa ada mama di sini. Kalau ada masalah ceritain aja sama mama. Paling nggak, beban kamu berkurang.” Kataku.

“Ma ... Papa kemana?” Nara seperti mengalihkan pembicaraan.

“Papamu dines ke Oslo tiga minggu.” Jawabku sambil memulai sarapan pagiku.

“Ma ...”

“Apa ...”

“Menurut mama ... Ada gak ... Laki-laki yang mau sama perempuan ... yang ... yang sudah gak ... perawan?” Pertanyaan Nara itu sebenarnya membuat aku sangat terkejut tetapi aku berusaha untuk tidak menunjukan keterkejutanku itu padanya.

“Kenapa kamu bertanya demikian?” Tanyaku selembut mungkin.

“Gak apa-apa ma ... Aku ingin tau aja ...” Suara anakku begitu pelan dan lemas.

“Jadi itu yang kamu pikirkan?” Tanyaku lagi. Anakku terdiam seperti memikirkan sesuatu, wajahnya kelihatan bingung dan ganjil. Melihat Nara seperti itu aku merasa kasihan sekali. Bagaimana pun ia adalah anakku.

“Tidak perlu kamu risaukan masalah itu, sayang ... Banyak laki-laki yang mau menerima perempuan yang sudah kehilangan kegadisannya.” Aku coba menghiburnya.

“Benarkah?” Tanya Nara dengan muka agak sumringah.

“Sekarang ini banyak pasangan yang menginginkan perkawinan monogami, meski keperawanan bukan lagi sesuatu yang mutlak harus dipertahankan.” Jelasku sambil tersenyum.

“Ma ....!” Seru anakku seraya memelukku.

“Sudah ... Habiskan dulu sarapanmu!” Aku cium keningnya.

Aku dan Nara berbincang-bincang agak serius di meja makan. Akhirnya Nara mengakui kalau ia sudah melakukan hubungan seks. Tetapi yang aku tambah terkejut adalah kegadisannya bukan direnggut oleh Imran, pacar barunya. Nara mengaku kalau ia sudah melakukan hubungan seks sejak di bangku SMA dengan pacarnya yang pertama. Sesungguhnya aku merasa nelangsa tetapi tak ada gunanya meratapi hal ini, karena tidak akan mengembalikan kegadisan anakku. Tabah dan pasrah adalah hal yang terbaik bagiku saat ini dan yang terpenting anakku tidak bunting di luar nikah.

“Apa kamu melakukannya juga dengan Imran?” Tanyaku penasaran.

“Gak ...” Nara menjawab agak tegas dan keras.

“Hhhmm ... Baguslah ...” Ucapku.

“Bukannya aku gak mau ... Tapi ...” Terputus ucapan Nara.

“Tapi apa?” Aku tambah penasaran.

“Ah ... hi hi hi ...” Nara malah terkekeh.

“Kenapa sayang?” Aku semakin penasaran.

“Mama ingin tau?” Tanyanya dengan muka genit.

“Ya ...” Mau tidak mau, aku tersenyum karena tingkahnya itu.

“Eeemmm .... itu loh ma ... Itunya gede banget ...” Pelan tapi cukup membuat adrenalinku terpacu.

Mendengar ‘kepunyaan’ Imran seperti itu tentu saja darahku mendesir sampai ke kepala. Kepalaku terasa pening. Bukan karena sakit tetapi karena bayangan yang begitu menggairahkan berputar-putar di kepalaku. Aku penuh dengan emosi yang bercampur aduk karena teringat kembali masa-masa indah bersama Ferdy. Tidak ... Tidak ... Bukan Ferdy tapi Imran. Ya, Imran telah menaruh racun di hatiku. Racunnya telah menjalar ke seluruh tubuh terutama otakku.

“Ma ... Aku mau main ke tempat Riri ya ...” Tiba-tiba Nara bangkit dan tanpa menunggu jawabanku ia langsung pergi sedikit tergesa-gesa.

Aku tidak pedulikan kepergian Nara, aku melanjutkan sarapan pagiku. Beberapa menit kemudian terdengar dering handphone yang juga menggetarkan meja makan. Ah, ternyata handphone milik anakku. Segera aku sambar handphone tersebut dan agak sedikit berlari untuk mengejar Nara. Tetapi mobil anakku sudah keluar dari gerbang rumah, aku hanya bisa melihat ekor mobilnya. Sambil ngedumel aku lihat layar handpone dan terlihat sebuah kata, ‘My Love’ di sana.

Hhhhmmm ... Nomor dia rupanya.” Hatiku berkata.

Entah dari mana datangnya, beberapa detik kemudian terjadi perubahan di memori otakku seperti matahari atau bulan yang terbebas dari selimut awan. Jari-jariku mulai bermain di handphone anakku lalu mengetik “Kesini” di aplikasi Short Message Service (SMS) yang kemudian aku kirim ke pemilik nama ‘My Love’. Tak perlu lama menunggu, ada balasan dari dia.

Apa kamu jadi ke tempat Riri?” Itulah tulisan yang aku baca. Aku berpikir sejenak bagaimana cara membalasnya. Akhirnya aku balas dengan “???” Tak lama kemudian ‘My Love’ menelepon, dering handphone ini sangat keras. Tidak aku angkat malah aku putuskan sambungan teleponnya dan segera mematikan handpone berharap ia panik. Untuk beberapa saat aku duduk di sofa ruang tamu. Setelah itu, aku hidupkan lagi handphone-nya. Terlihat beberapa miss call dan beberapa pesan singkat. Aku matikan lagi handphone dan meletakkannya di bawah meja cukup tersembunyi.

Aku memutuskan untuk menunggu. Jika dia datang, itu bagus, dan jika tidak, aku akan mencobanya lain hari. Untuk bisa menjadi dekat dengannya adalah keinginanku. Aku sudah tidak bisa lagi menahan apa yang aku rasakan selama beberapa hari belakangan ini. Dan untungnya dugaan dan keinginanku tidak meleset. Setelah menunggu kurang lebih lima belas menit bel pintu berdering. Aku meluruskan rambut sejenak sebelum membuka pintu.

“Oh Imran .... Sini masuk!” Kataku.

“Oh iya tante ... Apakah Nara ada di rumah?” Ucap Imran yang masih tetap berdiri di ambang pintu.

“Nara sedang pergi ke rumah temannya.” Jawabku sambil memberinya senyuman.

“Oh, saya pikir dia ... Tapi tante, Nara barusan kirim SMS padaku ...” Katanya.

“Kadang-kadang dia emang suka begitu ... Dia janjian dengan temannya dan lupa dengan handphonenya. Masuk sini, tante buatin teh hangat dulu buat kamu ...” Pintaku.

“Gak usah tante, sebaiknya saya pulang lagi.” Aduh bahaya, ini bukan yang aku rencanakan.

“Kamu masuk sebentar.” Aku bersikeras. “Di luar sana panas! Kamu naik motor, kan?” Lanjutku.

“Ya tante ... Tapi tidak terlalu panas kok .” Katanya setengah menolak.

“Sebentar saja ... Lagi pula tante mau minta tolong.” Bujukku.

“Oh ... Baiklah ...” Akhirnya Imran mau masuk ke dalam rumah.

“Di dapur, sering bau gas. Bisa periksakan. Siapa tau ada yang bocor.” Aku buat alasan yang sejatinya hanya akal-akalanku saja.

“Coba saya periksa.” Jawabnya.

Kami berjalan berdampingan. Ya ampun, wangi tubuhnya begitu maskulin, menyapa lembut indera penciumanku. Auranya memancar membuat aku menelan ludah yang tiba-tiba saja terasa manis. Namun di momen seperti ini aku tidak boleh menunjukkan kelemahanku. Aku harus menjaga harga diriku sebagai wanita. Laki-laki tampan ini akan menjadi milikku dengan cara yang akan bisa membuatnya bertekuk lutut dan menuruti semua keinginanku.

“Apakah tante punya obeng?” Imran berkata.

“Ada ... Sebentar tante ambilkan.” Sahutku.

Setelah aku temukan obeng, kuserahkan obeng bermata plus padanya. Sambil ngobrol-ngobrol aku lantas membuat teh manis untuk Imran. Dia sangat sibuk dengan usaha sia-sianya itu dan aku hanya tersenyum melihatnya karena ia terlihat kebingungan. Walau wajahnya berkali-kali ‘tertekuk’ namun ketampanannya masih dapat dilihat dan dinikmati oleh mataku.

“Semuanya normal-normal saja tante.” Ucap Imran sambil menghampiriku di meja panjang dapurku.

“Mungkin tante harus memanggil ahlinya.” Aku tersenyum dan menyodorkan teh manis buatanku padanya.

“Iya tante ... Lebih baik panggil tukang gas untuk memeriksa kompor gas tante.” Timpal Imran yang kemudian nyeruput teh manis yang masih panas itu.

“Maafin tante ya, udah ngerepotin.” Kataku yang terus memberinya senyuman manisku.

“Gak apa-apa tante. Terima kasih teh manisnya.” Ujar Imran sambil mengangkat gelas minumnya. Aku jawab dengan anggukan kecil.

Kami berbincang-bincang seperti laiknya orang yang baru saja bertemu dan baru saja berkenalan. Dia bercerita tentang kesibukan yang sedang ia lakukan. Aku pun sama, aku menceritakan sedikit tentang kegiatanku. Tak butuh waktu lama obrolan kami mengalir begitu saja. Pembahasan-pembahasan berat, kami bahas ringan-ringan saja, bahkan dibikin sebagai lelucon. Dari situlah obrolan kami semakin lama semakin seru, mulai dari ledekannya yang tak sungkan padahal kami baru pertama kali berbincang-bincang seperti ini.

Ya aku sangat senang karena rencana awalku berhasil dengan gemilang. Aku berhasil menghancurkan sekat kecanggungan di antara kami. Kini Imran sudah tidak merasa canggung terhadapku, begitu pula aku terhadapnya. Lalu aku mulai berpikir untuk melangkah ke langkah yang lebih jauh. Aku mulai memberikan sentuhan-sentuhan kecil dan mesra padanya, seperti berpura-pura menyenggolnya dan menempelkan badan. Tidak butuh proses yang lama ternyata usahaku membuahkan hasil, Imran sudah berani menyentuhku.

Tak terasa hari sudah mendekati tengah siang. Imran memutuskan untuk pulang. Aku tak bisa mencegahnya padahal aku masih ingin berlama-lama dengannya. Aku mengantarkan dia sampai di samping motornya. Sebelum laki-laki itu pergi, aku pegang tangannya dan berkata, “Sering-seringlah ke sini walau Nara tidak ada.” Sesungguhnya aku sedang memberikan sinyal kepadanya. Tapi entahlah, apakah dia mengerti atau tidak, yang jelas ia hanya tersenyum sambil menganggukan kepalanya.

Mungkin, dewi fortuna yang jelita itu sedang berpihak kepadaku. Buktinya, tanpa aku duga, malam harinya Imran meneleponku. Entah berapa pulsa yang ia habiskan untuk meneleponku. Kami pun ngobrol lama sekali sampai tak terasa waktu yang kami habiskan untuk mengobrol sudah lebih dari dua jam. Demikian pula dengan hari-hari berikutnya, Imran sepertinya sudah kecanduan meneleponku berlama-lama walau ia sering berkunjung ke rumahku. Sekarang aku tidak yakin kalau kunjungan Imran ke rumahku untuk menemui Nara. Aku malah yakin kalau laki-laki itu hanya ingin bertemu atau melihatku.

-----ooo-----​

Pagi ini, aku berencana untuk berbelanja kebutuhan rumah. Aku berjalan keluar gerbang rumah hendak ke supermarket. Sengaja aku berjalan kaki, selain jaraknya tidak terlalu jauh aku pun ingin berolah raga. Baru saja beberapa langkah dari rumahku, tiba-tiba sebuah motor berhenti di sampingku. Sungguh aku sangat kaget namun kekagetanku berubah senyum tatkala mengetahui siapa pengendara motor itu.

“Tante mau kemana?” Tanya Imran setelah membuka helm full face-nya.

“Mau ke supermarket.” Jawabku lembut dengan sedikit bumbu genit.

“Ayo! Aku anter.” Ajaknya.

Aku yang tadinya ingin berolah raga berubah pikiran. Tanpa diperintah dua kali, aku segera naik di belakangnya. Motor bergerak pelan di awal namun kemudian agak kencang. Dengan kecepatan seperti ini aku akan sampai lima menitan di supermarket. Tiba-tiba motor ngerem mendadak. Tentu saja buah dadaku menempel di punggungnya. Sampai terasa gesekannya membuatku agak horny. Memang salah satu titik rangsanganku ada di payudara.

“Kamu mulai nakal ya ...” Godaku.

“Ma-maaf tante ... Bukan itu mak.. maksudnya. Ta-tadi ada kucing melintas jalan.” Panik Imran.

“Kucing atau kucing ... hi hi hi ...” Godaku lagi sambil mencubit pinggangnnya pelan. Imran terdiam, entah apa yang dipikirkannya. Kurasa, dia malu dan kebingungan.

Akhirnya kami pun sampai di supermarket. Imran membantuku membawa keranjang. Sejak kejadian itu, ia hanya terdiam saja. Sesekali aku goda dengan lirikan dan senyuman nakalku. Terlihat sekali kalau dia semakin salah tingkah. Baru aku sadar kalau mukanya seperti kepiting rebus dan keringat memercik di keningnya. Aku tertawa senang dalam hati. Satu ‘gebrakan’ lagi, aku yakin dia akan berlutut padaku.

Belanjaanku telah komplit, waktunya membayar di kasir. Tapi dengan gentle-nya Imran membayar semua belanjaanku. Aku tidak menolak, membiarkannya untuk membayar belanjaanku yang sangat banyak itu. Setelah itu, kami pun menaiki motor dan kini aku sengaja agak merapatkan tubuhku walau masih berjarak. Sungguh aku sangat berharap ‘tragedi rem mendadak’ terulang kembali.

Cekiiittt.....

Tubuhku condong ke depan. Tak ayal buah dadaku menempel ketat di punggungnya lagi. Aku tidak langsung merenggang namun terus menempel di punggung laki-laki ini. Aku pukul pundaknya pelan berkali-kali.

“Tuh kan ... kan ... nakal ...!” Godaku.

“Aduuuhhh ... Ma-maaf tante ... Sa-saya ggakk sengaja.” Intonasi suaranya memang terdengar jujur dan panik.

“Emang ada kucing lagi?” Bisikku di telinganya.

“Bu-bukan tan-tante ... Ta-tapi ... Polisi tidur.” Jawabnya.

“Hhhhmm ... Dasar anak nakal.” Kataku sambil menggeser tubuhku agak ke belakang. Imran terdiam seribu bahasa sampai di rumahku.

“Masuk dulu!” Kataku.

“Sa-saya ma-masih ada keperluan tante ...” Katanya yang terdengar masih gagap.

“Pentingkah?” Tanyaku.

“I-iya tante ...” Jawabnya.

“Ya sudah ... Hati-hati di jalan ... Jangan rem mendadak lagi ...” Aku terus menggodanya.

“Iya tante ... Saya pergi dulu.” Tanpa menunggu jawabanku, Imran langsung memacu motornya.

Aku tertawa puas dalam hati. Kemenanganku sudah di depan mata. Sebentar lagi dia akan menjadi milikku. Tak apa aku akan berbagi dengan anakku asalkan laki-laki itu tunduk dan patuh kepadaku. Tinggal selangkah lagi niatanku itu tercapai. Tinggal menunggu momen yang paling tepat untuk mendapatkannya. Sinyal-sinyal positif sudah aku dapatkan hanya dengan sekali usaha lagi pasti tujuanku akan tercapai.

Aku masuk ke dalam rumah. Bersama pembantu, aku membereskan belanjaan. Kegiatanku kali ini terganggu dengan bunyi dering telepon yang sudah dua kali aku abaikan. Aku berjalan mendekati meja di mana handphone berada. Aku lihat identitas si penelepon di layar handphone-ku dan tersenyum.

“Ya ... Sayang ...” Kataku setelah hubungan tersambung.

Tante ... Saya minta maaf dengan kejadian tadi ... Swear, tidak sengaja.” Kata Imran di sana.

“Kenapa kamu pikirkan terus sih? Sudah gak apa-apa kok.” Kataku.

Serius ya tante ... Tante gak marah ...” Katanya bersungguh-sungguh.

“Serius ... Gak apa-apa ... Lupakan saja.” Kataku lagi.

Terima kasih tante ... Terima kasih ...” Ucapnya.

“Iya ... Kamu di mana sekarang?” Tanyaku.

Sa-saya ada di depan rumah tante.” Jawab Imran.

“Ya ampun ... Kenapa gak masuk?” Aku sedikit kesal sekaligus senang.

Aku berlari kecil menuju teras. Benar saja, Imran sedang nangkring di motornya depan rumah. Kusuruh ia masuk lalu duduk di ruang tamu. Kutawari minum namun Imran menolak dengan alasan sudah minum beberapa botol air mineral hingga perutnya kembung. Aku pun duduk di sebelahnya.

“Tante ....” Kutahan ucapan Imran sambil memegang tangannya.

“Sebentar ... Sejak saat ini panggil bunda saja.” Kataku.

“Baik, bunda ... Gini bunda ... Sebagai penyesalan dengan kejadian tadi ... Aku bersedia mendapat hukuman dari bunda.” Ucapnya begitu polos dan lugu.

“Begitu ya ... Kalau gitu, temenin bunda berbelanja lagi.” Kataku lembut.

“Ke mana?” Tanyanya.

“Bunda ingin beli sesuatu di mall. Gimana?” Aku tatap matanya.

“Siap, bunda. Saya janji tidak akan ngerem mendadak lagi.” Imran terlihat kikuk.

“Hi hi hi ... Masih aja dipikirin ... Dan siapa yang mau naik motor ... Kita naik mobil.” Kataku sambil beranjak meninggalkan Imran yang sedang tertegun.

Aku berjalan ke kamarku lalu mengganti pakaian. Pakaian yang aku gunakan adalah kaos casual berwarna biru muda agak longgar dengan rok sebatas lutut berwarna hitam. Aku menyisir rambut, lalu ber-make up sebentar. Setelah itu, aku pun kembali ke tempat Imran.

“Kamu yang bawa.” Kataku sambil memberikan kunci mobilku.
“Baik, bunda ...” Imran menerima kunci mobil.

Singkat cerita, kami sudah berada di jalan raya yang agak sedikit macet. Sambil ngobrol santai, tanpa sepengetahuannya aku menaikan rokku sehingga kedua pahaku terekspos. Menurutku, pahaku ini masih mulus dan mampu untuk menarik perhatian laki-laki. Untuk beberapa saat tidak ada respon positif darinya, sehingga aku menyilangkan kaki kananku dan membiarkan paha putihku kian terlihat bahkan pangkal pahaku yang terbalut celana dalam berwarna putih pun terbuka. Barulah aku melihat reaksi Imran yang mulai gelisah. Aku pura-pura tidak menyadarinya dan terus mengajaknya ngobrol. Rasanya aku berhasil membangkitkan gairah dan hasrat kelelakian Imran.

“Keningmu berkeringat, sayang ...” Ucapku seraya mengambil tissue dan mengusap keningnya yang memang berkeringat. Dengan demikian posisi dudukku semakin sembarangan. Sudah sangat dipastikan bagian bawah tubuhku bisa dilihatnya.

“Oh ... I-iya ... Biar saya saja bunda ...” Katanya sambil berusaha mengambil tissue di tanganku tetapi aku larang.

“Biar bunda saja ... Kami nyetir saja ...” Kelitku sambil terus mengusap keningnya.

Dengan posisi seperti itu tentu kaosku yang longgar ikut terbuka di bagian leher. Tanpa menengok pun sudah sangat dipastikan buah dadaku terlihat olehnya. Aku tidak lama menggodanya karena takut Imran kurang berkonsentrasi yang membahayakan keselamatan kami. Aku duduk dengan rapi kembali. Cukup segitu saja membuat shock teraphy padanya.

Setelah satu jam lebih dalam kendaraan, kami sampai juga di mall yang aku tuju. Kami berdua jalan-jalan, melihat-lihat sebelum akhirnya masuk ke sebuah toko perhiasan. Memang tujuanku adalah membeli perhiasan untukku dan untuk Nara, anakku. Aku masih memilih-milih perhiasan yang cocok untukku dan juga Nara. Semua perhiasan yang ada sungguh cantik-cantik. Aku tak bisa menutupi rasa inginku terhadap semua perhiasan yang ada di toko ini.

“Sayang ... Aku bingung ... Bantu aku memilih perhiasan yang cantik.” Bisikku pada Imran. Seperti robot yang baru saja dihidupkan, langsung saja Imran berjalan ke salah satu etalase. Aku sempat mengernyitkan kening. Betapa tidak terkejut, karena Imran menuju etalase perhiasan yang sangat mahal dan hanya orang-orang tertentu yang bisa membelinya.

“Ini bunda ... Cocok untuk bunda.” Katanya ringan.

“Ya ampun ... Kamu ini gimana sih? Mana bisa aku membelinya?” Kataku setengah sewot.

“Bunda seneng, gak?” Imran sepertinya sedang tidak berkelakar. Hanya orang bodoh dan terbalik matanya saja yang tidak menyukai perhiasan itu. Aku melotot lagi memandang perhiasan itu.

“Pasti harganya mahal sekali.” Gumamku sambil menatap perhiasan itu.

“Aku belikan untuk bunda.” Sungguh aku terkejut mendengar bisikan Imran.

“Jangan ... Jangan kamu hamburkan uangmu.” Balas bisikku sambil menatapnya lekat-lekat.

“Kalau bunda suka, saya belikan.” Bisiknya lagi.

“Semua orang akan suka dengan perhiasan ini, tapi ...” Ucapanku tidak berlanjut.

“Ci ...!!!” Imran memanggil pemilik toko perhiasan.

“Apa yang kamu lakuin?” Aku genggam jari tangannya agak kuat.

“Untuk bundaku tersayang ...” Ucapnya sangat pelan. Terasa Imran menggenggam tanganku lebih kuat dariku.

Kejadian yang benar-benar di luar dugaan. Tak pernah sekali pun terbesit dalam pikiranku bahwa Imran akan seperti itu. Kini yang hanya bisa kulakukan hanya diam sambil memperhatikannya bertransaksi dengan pemilik toko. Aku tak menyangka kalau laki-laki yang sehari-hari berpenampilan sederhana ini mampu membeli perhiasan untuk kalangan jet set seperti itu.

“Ada lagi yang mau dibeli bunda?” Tanyanya setalah berada di hadapanku sambil memberikan tas berisi perhiasan super mahal itu. Aku gelengkan kepala sambil memandang wajahnya.

Tadinya aku akan membeli perhiasan untuk anakku namun aku urungkan niatku itu karena aku tidak ingin Imran mengeluarkan uangnya lagi untuk kepentinganku. Dari toko perhiasan sampai di kendaraan yang terparkir di basement, aku dan Imran saling diam. Baru setelah di dalam mobil, aku membuka suara.

“Kenapa kamu membelikan perhiasan semahal ini?” Tanyaku. Imran hanya tersenyum dan tidak menjawab pertanyaanku. “Tolong jawab?” Lanjutku setengah memaksa.

“Aku sayang bunda ...” Pelan tapi terdengar jelas di telingaku. Aku raih wajahnya mendekati wajahku. Aku pegang kedua pipinya dan menatapkan matanya pada mataku.

“Apa benar kamu mencintaiku?” Tanyaku setengah berbisik dan menatap matanya tajam. Imran berusaha memalingkan wajahnya untuk tak menatapku. Tetapi aku tetap memaksanya untuk menatap ke arah mataku. “Jawab jujur?” Tanyaku lagi.

“Iya ... Saya mencintai bunda... Maafkan saya.” Jawab Imran.

Lama kami berada di posisi saling menatap. Aku dekatkan wajahku ke wajahnya pada jarak paling sempurna. Kukecup bibirnya, pelan tetapi dalam. Kuusapkan telapak tanganku pada wajahnya. Bulu-bulu halus wajahnya dalam sentuhanku. Awalnya Imran masih agak grogi menanggapiku. Namun tak lama bibirnya memagut bibirku, kami berciuman. Aku melingkari tanganku di lehernya dan menariknya agar ciuman kami semakin dalam, sampai akhirnya aku melepaskannya karena kekurangan nafas.

“Ayo kita pulang.” Kataku.

Imran mulai menghidupkan mesin mobil dan melajukannya dengan perlahan. Untuk sementara waktu kami saling diam. Sejujurnya, dalam pikiranku saat ini terdapat sejuta pertanyaan tentang Imran. Siapa sebenarnya anak ini, namun yang jelas aku berkeyakinan kalau ia adalah anak seorang kaya raya. Aku memandang wajahnya lagi lekat-lekat. Dia nampak nerveous. Keningnya berkeringat dan wajahnya sedikit memerah. Aku ambil tissue lalu mengusap keningnya.

“Kamu anak yang baik, tak sepantasnya mencintaiku. Karena aku bukanlah perempuan yang baik.” Kataku lembut sambil mengusap-usap kening dan sebagian wajahnya. Imran hanya tersenyum tipis.

“Saya juga bukan orang baik ... Kita sama-sama tidak baik.” Ucapnya kemudian.

“Aku ini bersuami dan anakku sangat mencintaimu.” Kataku ingin tahu isi hatinya.

“Kadang cinta tak mengenal waktu, tempat, dan bahkan siapa. Datang tak terduga, dan pergi pun menyakitkan. Manusia tidak bisa menghindar dari hukum alam ini.” Ucapnya.

“Tapi kita akan menyakiti banyak orang.” Kataku menelisik.

“Kita tidak akan menyakiti siapa-siapa.” Ucapnya lagi. Kulihat bibirnya tersenyum tipis.

“Janji ... Kita tidak boleh menyakiti siapa-siapa.” Aku ingin ketegasan darinya.

“Aku berjanji ...” Jawabnya.

Dan tentu saja hatiku begitu senang. Akhirnya laki-laki ini berhasil aku dapatkan. Ternyata tidak membutuhkan waktu yang lama aku berhasil menggapainya. Aku senyam-senyum sendiri, tak sadar aku sedang diperhatikan Imran yang sedang menertawakan aku.

“Ada yang lucu?” Tanyaku sewot.

“Nggak ...” Imran berkelit.

“Huh ... Dasar ...” Aku cubit pinggangnya agak keras.

“Aduuuhhh ... He he he ...” Imran terkekeh.

Kami mulai bercanda lagi membahas semua hal yang barusan terjadi. Komitmen-komitmen pun dibangun sebagai landasan hubungan terlarang kami yang intinya tidak boleh ada satu orang pun tersakiti. Aku memintanya agar Imran tetap bersama Nara. Kepentingan Nara harus didahulukan daripada kepentinganku.

Ketika matahari pas di tengah langit, kami pun sampai di rumahku. Aku mendapati rumahku sepi seperti biasanya. Kesemua anakku pergi dengan kegiatannya masing-masing. Pembantuku pun tidak ada di rumah, pasti sudah pulang ke rumahnya. Aku duduk berdampingan dengan Imran di sofa sambil melihat-lihat perhiasan yang baru ia beli. Imran mengalungkan perhiasan itu di leherku.

“Bagaimana?” Tanyaku.

“Luar biasa ... Bunda tambah cantik ...” Pujinya.

“Kalung ini atau aku yang cantik.” Candaku.

“Kalung ini tidak sebanding dengan kecantikan bunda.” Katanya.

“Gombal ...” Kucubit hidungnya.

“Aku mau lihat di cermin ...” Aku bangkit dari duduk dan berjalan menuju kamarku. Sebelum masuk kamar aku panggil Imran. Tak lama ia pun datang.

“Ayo ...” Ajakku dengan suara menggoda.

“Ta ... Tapi ...” Ada keraguan darinya.

“Kalau gak mau ... Ya sudah ...” Aku pun masuk dengan langkah kemayu.

Imran pun mengikuti langkahku. Aku berdiri di depan cermin sambil memperhatikan diriku tepatnya kalungku ini. Sungguh indah, memang kecantikan dan perhiasan tidak bisa dipisahkan karena masing-masing saling melengkapi. Beberapa saat kemudian, aku balikan badanku lalu mendekati Imran yang sejak tadi berdiri di belakangku.

“Terima kasih ya, sayang ...” Kataku sambil melingkarkan lenganku ke lehernya.

“Sama-sama ...” Hanya itu yang ia ucapkan.

Kami bertatapan sejenak, kemudian perlahan-lahan wajah kami saling berdekatan. Mungkin cuma beberapa centimeter lagi bibir kami akan bersentuhan. Kedua tangan Imran memegang pinggangku. Tiba-tiba laki-laki ini mencium bibirku dan aku pun dengan senang hati menerima ciuman tersebut. Ciuman yang tadinya hanya antara bibir dan bibir lama-kelamaan berubah menjadi lidah dengan lidah yang sangat liar dan panas. Sudah hampir dua menit kami berciuman namun tangan Imran masih pasif di pinggangku. Aku lepas pagutanku.

“Nakal sedikit dong ...” Desahku. Laki-laki itu malah tertegun. “Ihk ... Malah bengong.” Melihat tingkahnya itu aku ingin tertawa.

“Sa-saya be-belum terbiasa ...” Lirihnya sedikit tertahan.

“Apa? Kamu kan punya Nara?” Sungguh aku sangat heran.

“Ta-tapi ... Be-belum seperti ... ini ...” Jujurnya.

“Apa? Kamu belum pernah? Kamu belum pernah menciumnya?” Aku demikian terkejut. Imran menganggukan kepalanya.

Langsung kulumat bibirnya lagi. Aku merasa tangannya seperti ingin menyentuh payudaraku. Akhirnya tersentuh juga buah dadaku tapi ditariknya lagi. Aku tarik tangannya dan kuarahkan ke buah dadaku. Pelan dan ragu dia meremas dan seperti tidak menikmati. Langsung saja aku hentikan ciuman ini karena sepertinya dia takut.

“Kenapa sayang?” Tanyaku kepada Imran yang wajahnya terlihat gusar.

“Maaf bunda ... Sa-saya be-belum pernah ...” Wajah malu itu membuatku ingin sekali memeluknya.

Kembali kudekatkan bibirku padanya, aku tekankan ciuman ini supaya lebih dalam dan tangannya masih ragu untuk menyentuh. Kutarik tangan itu untuk menyentuh buah dadaku, tangannya tidak banyak bergerak dan lebih tepatnya diam. Kusentuh jemarinya yang menyentuh buah dadaku mengerakinya supaya dia tidak ragu lagi, lama dan lama sepertinya dia mulai terbiasa. Kuhentikan ciuman ini supaya dia bisa sedikit menormalkan dirinya yang tegang, tegang yang sangat karena dia takut.

“Gak apa-apa kan?” Kataku sambil terus membantu tangannya bermain di buah dadaku. “Resapi dan nikmati.” Lanjutku setengah mendesah.

Imran tersenyum malu-malu, terlihat jelas dari kedua pipinya yang bersemu merah namun dia seperti ingin menciumku lagi. Sekarang dia yang maju mendekatkan bibirnya padaku, tangannya sudah bisa bergerak dengan tenang di buah dadaku. Kulingkarkan tanganku di tengkuk lehernya, kusentuh setiap senti bibirnya dengan lembut.

Sekarang dia memainkan buah dadaku dengan sangat nikmat. Instingnya sebagai seorang laki-laki berjalan dengan baik. Ciuman kami semakin memanas, sentuhan jarinya yang baru pertama kali terasa sangat lembut dan nikmat, walau dia menyentuh dari luar bajuku. Kini gelora birahi kami sudah memasuki tahap selanjutnya. Kupeluk tubuhnya, terasa benjolan yang sangat mengeras tepat di perutku. Aku penasaran dengan benjolan itu. Kusentuh dari luar celananya yang menutupi ‘miliknya’ yang dari tadi sudah mengodanku. Dia mengelak dengan memundurkan pantatnya tapi aku ikuti terus hingga tanganku berhasil menyentuh penisnya.

Ah, penis itu sungguh perkasa. Aku bisa merasakan begitu besar dan panjang di sana. Segera aku buka sabuknya dan menurunkan resleting celananya hingga celana panjang yang ia kenakan jatuh dengan sendirinya. Dengan tidak sabar kumasukan jariku ke dalam boxernya. Ya ampun, penis ini sungguh besar, panjang dan tegang sempurna. Aku merendahkan tubuhku supaya bisa melihat penisnya. Mataku terbelalak saat aku berhasil melucuti boxer yang Imran pakai. Penisnya sama besar dengan milik ‘mantanku’ tetapi yang ini lebih panjang dan berwarna putih seperti penis-penis orang bule yang pernah aku lihat di VCD pornoku, sungguh menggoda.

Perlahan aku emut ujung penis Imran dengan penuh kelembutan. Aku kulum penisnya yang besar masuk ke dalam mulut. Serasa penuh aku terus berusaha mengulum semua batang penisnya. Aku mengocok sambil mengulum penisnya masih dengan lembut. Beberapas saat kemudian, dengan cepat aku melepas semua yang ada di badanku dan telanjang dihadapan Imran. Laki-laki ini sepertinya masih kebingungan dengan apa yang harus ia lakukan, sangat pasif. Tanganku menarik tangannya dan aku tempatkan lagi di tempat yang semestinya. Ia pun mulai meremas-remas buah dadaku lagi.

Setelah merasa cukup, aku akhiri blow-job pada penisnya namun senjata kebanggannya itu masih dalam gengamanku. Aku tarik Imran ke tempat tidur dan menyuruhnya membuka seluruh bajunya. Awalnya ia ragu tetapi setelah aku terlentang di atas kasur dengan selangkangan terbuka maka dia langsung melucuti semua pakaiannya. Aku menariknya, dia benar-benar tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

“Sini sayang ... Setiap wanita ingin dibelai dan disayang.” Kataku.

Imran naik ke atas ranjang dan berbaring di sampingku. Kutuntun tangannya untuk menyentuh vaginaku dan sedikit mengajarkan gerakan kecil jarinya di sana. Dia pun mulai mengulum payudaraku dengan baik. Bibirnya sejenak mampir ke bibirku mengulum lembut penuh nafsu. Kemudian ia goreskan lidahnya ke leherku yang hangat oleh birahi. Jemarinya memberikan rangsangan di area vaginaku, menyiramkan miyak dalam bara birahiku yang berkobar semakin panas.

Ah, aku sudah tidak tahan lagi. Kutarik posisi badannya ke atas tubuhku. Memaikan penisnya yang masih ragu memasuki vaginaku. Aku mengesek-gesekan penisnya di sekitar vaginaku yang sudah basah. Oohh, rupanya dia juga sudah tidak tahan, terbukti dengan usahanya untuk memasuki liang senggamaku. Kubimbing agar kepala penisnya tepat berada di pintu surgawiku.

Nafasku agak tertahan saat kepala penisnya berhasil menerobos masuk lubang nikmatku. Inchi demi inchi penis Imran berhasil memasukiku walau masih sangat perlahan. Vaginaku berdenyut dan mengeluarkan cairan yang sangat terasa saat penis itu bergerak di dalamnya. Reflek aku melebarkan kakiku untuk mempermudah Imran melakukan penetrasi. Kulihat Imran mendongakkan kepalanya seiring setiap inchi penisnya yang mulai tenggelam pada lubang vaginaku.

“Oooohhhhh ....” Desahku merasakan nikmatnya tertembusnya diriku oleh senjatanya. Penisnya yang besar dan panjang menggesek klitorisku di luar sekaligus dinding vaginaku yang sensitif, memberikan rasa nikmat dalam persetubuhan ini.

Imran diam setelah penisnya tertanam semua di sana, dia mendekati wajahku lalu mengecup bibirku. “Gerakin!” Pintaku. Seperti diberi lampu hijau, Imran mulai memaju-mundurkan pinggulnya. Membuat gesekan antara penisnya dan dinding vaginaku. Kelamin kami saling bercumbu diiring desahan penuh birahi yang mewarnai awal persetubuhan kami. Pinggulku dan pinggulnya saling beradu untuk berbagi kenikmatan.

“Oohh ... oohh ... oohh ... oohh ...” Kenikmatan yang kurasakan sangatlah dahsyat akibat sodokan demi sodokan penis Imran yang menerobos vaginaku.

“Lebih ... Ceeppaattt ... Sayyaaannggg ...!” Pintaku memelas sambil menatap wajahnya. Tanganku lalu mengelus pipinya.

Berdenyut-denyut bergantian kelamin kami di dalam sana. Seakan-akan tengah berkenalan dan bertutur sapa. Beberapa detik kemudian, Imran menarik penisnya sehingga dapat kulihat mengkilat terpapar cairanku. Sampai batas kepala penis, ditekan kembali penisnya ke dalam vaginaku. Ia lakukan sangat pelan. Dengan pandangan yang sayu, aku dapat melihat ekspresi kenikmatan di mukanya.

“Agak ceeppaat ... Saaayyaanggg ...!” Pintaku lagi.

Imran mulai mempercepat gerakan pantatnya. Beberapa waktu berselang gerakan keluar masuk penisnya semakin cepat. Tampaknya Imran sudah mengerti apa yang harus ia perbuat. Vaginaku terasa penuh sesak oleh batang penis Imran yang sangat perkasa ini. Sangat terasa sekali bagaimana rasanya batang penis menggesek-gesek dinding vaginaku. Aku hanya dapat terengah-engah dan merasakan kenikmatan yang kini semakin tidak tertahankan.

“Oohh ... oohh ... oohh ... oohh ... oohh ...” Desahku.

Aku pun mengimbangi genjotan Imran dengan menggoyang pantatku. Kini tubuh rampingku seperti timbul tenggelam di atas kasur busa ditindih oleh tubuh besar dan kekarnya. Semakin lama, genjotan Imran semakin cepat dan keras, sehingga badanku tersentak-sentak dengan hebat.

Dengan gerakan cepat, Imran menggerakkan penisnya di dalam rekahan kenikmatanku. Imran memaju-mundurkan penisnya intens dan teratur membuat desahan nikmat meluncur dari mulutku tanpa henti. Di saat itu juga Imran berhasil menyentuh sweet spot-ku. Cepat sekali anak ini menemukan titik nikmatku.

Ritme itu bertambah lebih cepat sehingga menimbulkan kegaduhan di ranjang ini, suara desahan yang kami keluarkan membuat suasana kamar ini berubah menjadi sangat ramai sekali. Desahan kenikmatan yang aku lontarkan bisa memperlihatkan kalau aku sangat menikmati ini. Tangannya yang tak tinggal diam terus meremas buah dadaku begitu lembut hingga sangat begitu kencang.

Kami pun berlayar, tentu tidak lagi di daratan tetapi di samudra petualangan seperti tak bertepi, namun tetap saja perahu kami menuju pulau bernama kenikmatan. Perlahan kami mulai tenggelam dalam keindahan, seperti melewati samudera dan semua lekukan. Gelora kami mulai memuncak dalam desiran keringat, membuat syaraf terus bergerak, terus menekan adrenalin hingga menuju puncak. Jejak kenikmatan yang sedang kami rajut, mengalir deras sampai ke ujung rambut.

Imran memberikan ritmenya begitu sangat kencang saat kami sudah hampir mencapai puncak. Goyangannya begitu kencang hingga berakhir menyentuh rahimku dan mengeluarkan cairan di dalamnya yang terasa sangatlah hangat.

“Aaaaakkkkkhhhhh....!!!!” Desahan panjang yang terdengar dari mulut kami. Semua terasa gelap, tak ada beban apapun rasanya. Sunggu nikmat. Rasa yang menerpaku adalah rasa kesenangan yang menumpuk-numpuk.

Tubuh Imran berjatuh di atas tubuhku. Nafas kami memburu membuat dada kami naik turun. Dadaku menyentuh dadanya, benda itu belum keluar dari milikku rasanya benda itu berdenyut saat mengeluarkan cairan itu, milikku mencengkram benda itu saat aku sudah sampai puncak. Sampai akhirnya penisnya dikeluarkan, terlihat benda itu masih ‘setengah hidup’.

Sensasi yang diberikan Imran sangatlah luar biasa, tubuhku melemas di sampingnya yang juga sedang meredakan rasa lelahnya karena sudah memberikan ritme yang sangat cepat. Tangan kekarnya mengelus wajahku, aku menatapnya begitu lekat.

“Terima kasih, bunda ... Terima kasih ...” Ucapnya dengan nafas yang belum sepenuhnya teratur.

Pergumulan itu kami ulangi lagi beberapa saat kemudian, hingga terdengar lonceng jam berdentang empat kali. Segera kami mengenakan pakaian. Setelah selesai berpakaian dan merapikan tempat tidur, kami keluar kamar menuju ruang tamu, sambil berangkulan. Kami duduk berdampingan di kursi sofa ruang tamu, tubuh kami rapat dan saling berangkulan.

“Sayang ... Boleh bunda tahu ... Siapa kamu sebenarnya?” Kataku setelah mengucup pipinya.

“Pentingkah?” Imran menatapku.

“Ya ... Siapa sebenarnya kamu ini?” Tanyaku.

“Sebenarnya ... Hidupku bisa dibilang flat tanpa warna, hanya ada hitam dan putih. Sepi dan sendirian adalah temanku. Aku adalah anak tunggal. Aku tak pandai berteman. Aku susah nyaman dan percaya pada orang lain. Menjadikanku lebih nyaman dan bersahabat dengan kesepian. Sampai akhirnya aku bertemu Nara dan bunda.” Jelasnya pelan dan sendu. Aku pun mulai terusik mendengarnya.

“Sudah waktunya kamu merubah diri ... Di dunia ini sangat banyak orang-orang yang bisa diajak berteman dan bersahabat ...” Aku coba menasehatinya.

“Ya, bunda ... Terima kasih ...” Sahutnya sambil tersenyum.

“Terus ... Siapa sebenarnya orangtuamu?” Tanyaku lagi sedikit mendesak. Imran langsung memandangiku. “Bunda yakin, kalau kamu sedang menyembunyikan identitasmu yang sebenarnya.” Lanjutku. Mata Imran pun agak terbelalak setelah mendengarkan ucapanku. Beberapa saat ia terdiam. Aku pegangi pipinya.

“Tapi hanya untuk kita berdua saja.” Ucapnya ingin keyakinan dariku.

“Ya ... Bunda berjanji ...” Sahutku.

“Ayahku bernama Brian McMillan, beliau orang Inggris asli. Ibuku bernama Aminah ...” Penjelasan Imran aku tahan dengan menutup mulutnya dengan tanganku.

“Apakah ayahmu itu seorang pengusaha retail ... Pemilik Y Departemen Store?” Tanyaku penasaran.

“Ya, bunda ... Tapi itu hanya sebagian kecil usaha beliau.” Jawabnya. Aku tersentak saat aku mendengar penuturannya. Siapa yang tidak mengenal nama besar Brian McMillan. Orang ini adalah pengusaha besar yang memiliki bisnis di hampir seluruh belahan dunia. Aku menatapnya tak percaya. Dia cuma tersenyum tipis seraya mengangkat bahunya.

“Berarti namamu bukan Imran?” Tanyaku separuh mendesis.

“He he he ... Namuku tetap Imran ... Steven Imranulloh McMillan.” Laki-laki itu menyebut nama lengkapnya.

“Aih ... Namamu bagus sekali ... Bunda tidak akan lagi memanggilmu Imran tapi Stev, bagaimana?” Kataku lalu mencium bibirnya.

“Terserah bunda saja ...” Ujarnya.

Kami ngobrol dengan suasana penuh kemesraan. Kami juga bercumbu sebagai sepasang kekasih yang bebas merdeka. Aku suka segalanya pada laki-laki ini, tetapi aku tidak boleh membuat rasa sukaku bertambah besar. Aku sangat yakin kalau di suatu saat nanti ia akan meninggalkanku. Ya, aku harus siap dengan kenyataan jika ia meninggalkanku nanti.

###
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd