Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

ASMARA GELAP

Bimabet
PART III
AKHIRNYA


Pagi ini, pagi yang cukup cerah. Namun, udara dingin masih sangat terasa berkat hujan deras semalam. Aku yang baru saja bangun dari tidur langsung mencium aroma menenangkan khas jeruk nipis pewangi ruangan kamarku. Setelah membereskan kamar, aku segera mandi dan berganti baju. Setelah itu menyisir rambut, aku keluar dari kamar berjalan menuju ruang makan.

Ternyata Nara sudah memulai sarapannya. Namun, kayaknya ia sedang melamun, matanya menatap lurus menerawang, kosong. Anak itu mengunyah makanannya sangat pelan bahkan bisa dibilang sedang ‘mengemut’. Segera aku hampiri dia dan benar saja anakku terkejut saat aku sudah berada di sampingnya.

“Tidak baik makan sambil ngelamun begitu ... Apa yang kamu pikirin?” Kataku lembut sambil duduk di kursi sebelahnya.

“Oh, nggak Ma ...” Nara terlihat kikuk sehingga aku tahu kalau dia sedang berkelit.

“Buat apa ada mama di sini. Kalau ada masalah ceritain aja sama mama. Paling nggak, beban kamu berkurang.” Kataku.

“Ma ... Papa kemana?” Nara seperti mengalihkan pembicaraan.

“Papamu dines ke Oslo tiga minggu.” Jawabku sambil memulai sarapan pagiku.

“Ma ...”

“Apa ...”

“Menurut mama ... Ada gak ... Laki-laki yang mau sama perempuan ... yang ... yang sudah gak ... perawan?” Pertanyaan Nara itu sebenarnya membuat aku sangat terkejut tetapi aku berusaha untuk tidak menunjukan keterkejutanku itu padanya.

“Kenapa kamu bertanya demikian?” Tanyaku selembut mungkin.

“Gak apa-apa ma ... Aku ingin tau aja ...” Suara anakku begitu pelan dan lemas.

“Jadi itu yang kamu pikirkan?” Tanyaku lagi. Anakku terdiam seperti memikirkan sesuatu, wajahnya kelihatan bingung dan ganjil. Melihat Nara seperti itu aku merasa kasihan sekali. Bagaimana pun ia adalah anakku.

“Tidak perlu kamu risaukan masalah itu, sayang ... Banyak laki-laki yang mau menerima perempuan yang sudah kehilangan kegadisannya.” Aku coba menghiburnya.

“Benarkah?” Tanya Nara dengan muka agak sumringah.

“Sekarang ini banyak pasangan yang menginginkan perkawinan monogami, meski keperawanan bukan lagi sesuatu yang mutlak harus dipertahankan.” Jelasku sambil tersenyum.

“Ma ....!” Seru anakku seraya memelukku.

“Sudah ... Habiskan dulu sarapanmu!” Aku cium keningnya.

Aku dan Nara berbincang-bincang agak serius di meja makan. Akhirnya Nara mengakui kalau ia sudah melakukan hubungan seks. Tetapi yang aku tambah terkejut adalah kegadisannya bukan direnggut oleh Imran, pacar barunya. Nara mengaku kalau ia sudah melakukan hubungan seks sejak di bangku SMA dengan pacarnya yang pertama. Sesungguhnya aku merasa nelangsa tetapi tak ada gunanya meratapi hal ini, karena tidak akan mengembalikan kegadisan anakku. Tabah dan pasrah adalah hal yang terbaik bagiku saat ini dan yang terpenting anakku tidak bunting di luar nikah.

“Apa kamu melakukannya juga dengan Imran?” Tanyaku penasaran.

“Gak ...” Nara menjawab agak tegas dan keras.

“Hhhmm ... Baguslah ...” Ucapku.

“Bukannya aku gak mau ... Tapi ...” Terputus ucapan Nara.

“Tapi apa?” Aku tambah penasaran.

“Ah ... hi hi hi ...” Nara malah terkekeh.

“Kenapa sayang?” Aku semakin penasaran.

“Mama ingin tau?” Tanyanya dengan muka genit.

“Ya ...” Mau tidak mau, aku tersenyum karena tingkahnya itu.

“Eeemmm .... itu loh ma ... Itunya gede banget ...” Pelan tapi cukup membuat adrenalinku terpacu.

Mendengar ‘kepunyaan’ Imran seperti itu tentu saja darahku mendesir sampai ke kepala. Kepalaku terasa pening. Bukan karena sakit tetapi karena bayangan yang begitu menggairahkan berputar-putar di kepalaku. Aku penuh dengan emosi yang bercampur aduk karena teringat kembali masa-masa indah bersama Ferdy. Tidak ... Tidak ... Bukan Ferdy tapi Imran. Ya, Imran telah menaruh racun di hatiku. Racunnya telah menjalar ke seluruh tubuh terutama otakku.

“Ma ... Aku mau main ke tempat Riri ya ...” Tiba-tiba Nara bangkit dan tanpa menunggu jawabanku ia langsung pergi sedikit tergesa-gesa.

Aku tidak pedulikan kepergian Nara, aku melanjutkan sarapan pagiku. Beberapa menit kemudian terdengar dering handphone yang juga menggetarkan meja makan. Ah, ternyata handphone milik anakku. Segera aku sambar handphone tersebut dan agak sedikit berlari untuk mengejar Nara. Tetapi mobil anakku sudah keluar dari gerbang rumah, aku hanya bisa melihat ekor mobilnya. Sambil ngedumel aku lihat layar handpone dan terlihat sebuah kata, ‘My Love’ di sana.

Hhhhmmm ... Nomor dia rupanya.” Hatiku berkata.

Entah dari mana datangnya, beberapa detik kemudian terjadi perubahan di memori otakku seperti matahari atau bulan yang terbebas dari selimut awan. Jari-jariku mulai bermain di handphone anakku lalu mengetik “Kesini” di aplikasi Short Message Service (SMS) yang kemudian aku kirim ke pemilik nama ‘My Love’. Tak perlu lama menunggu, ada balasan dari dia.

Apa kamu jadi ke tempat Riri?” Itulah tulisan yang aku baca. Aku berpikir sejenak bagaimana cara membalasnya. Akhirnya aku balas dengan “???” Tak lama kemudian ‘My Love’ menelepon, dering handphone ini sangat keras. Tidak aku angkat malah aku putuskan sambungan teleponnya dan segera mematikan handpone berharap ia panik. Untuk beberapa saat aku duduk di sofa ruang tamu. Setelah itu, aku hidupkan lagi handphone-nya. Terlihat beberapa miss call dan beberapa pesan singkat. Aku matikan lagi handphone dan meletakkannya di bawah meja cukup tersembunyi.

Aku memutuskan untuk menunggu. Jika dia datang, itu bagus, dan jika tidak, aku akan mencobanya lain hari. Untuk bisa menjadi dekat dengannya adalah keinginanku. Aku sudah tidak bisa lagi menahan apa yang aku rasakan selama beberapa hari belakangan ini. Dan untungnya dugaan dan keinginanku tidak meleset. Setelah menunggu kurang lebih lima belas menit bel pintu berdering. Aku meluruskan rambut sejenak sebelum membuka pintu.

“Oh Imran .... Sini masuk!” Kataku.

“Oh iya tante ... Apakah Nara ada di rumah?” Ucap Imran yang masih tetap berdiri di ambang pintu.

“Nara sedang pergi ke rumah temannya.” Jawabku sambil memberinya senyuman.

“Oh, saya pikir dia ... Tapi tante, Nara barusan kirim SMS padaku ...” Katanya.

“Kadang-kadang dia emang suka begitu ... Dia janjian dengan temannya dan lupa dengan handphonenya. Masuk sini, tante buatin teh hangat dulu buat kamu ...” Pintaku.

“Gak usah tante, sebaiknya saya pulang lagi.” Aduh bahaya, ini bukan yang aku rencanakan.

“Kamu masuk sebentar.” Aku bersikeras. “Di luar sana panas! Kamu naik motor, kan?” Lanjutku.

“Ya tante ... Tapi tidak terlalu panas kok .” Katanya setengah menolak.

“Sebentar saja ... Lagi pula tante mau minta tolong.” Bujukku.

“Oh ... Baiklah ...” Akhirnya Imran mau masuk ke dalam rumah.

“Di dapur, sering bau gas. Bisa periksakan. Siapa tau ada yang bocor.” Aku buat alasan yang sejatinya hanya akal-akalanku saja.

“Coba saya periksa.” Jawabnya.

Kami berjalan berdampingan. Ya ampun, wangi tubuhnya begitu maskulin, menyapa lembut indera penciumanku. Auranya memancar membuat aku menelan ludah yang tiba-tiba saja terasa manis. Namun di momen seperti ini aku tidak boleh menunjukkan kelemahanku. Aku harus menjaga harga diriku sebagai wanita. Laki-laki tampan ini akan menjadi milikku dengan cara yang akan bisa membuatnya bertekuk lutut dan menuruti semua keinginanku.

“Apakah tante punya obeng?” Imran berkata.

“Ada ... Sebentar tante ambilkan.” Sahutku.

Setelah aku temukan obeng, kuserahkan obeng bermata plus padanya. Sambil ngobrol-ngobrol aku lantas membuat teh manis untuk Imran. Dia sangat sibuk dengan usaha sia-sianya itu dan aku hanya tersenyum melihatnya karena ia terlihat kebingungan. Walau wajahnya berkali-kali ‘tertekuk’ namun ketampanannya masih dapat dilihat dan dinikmati oleh mataku.

“Semuanya normal-normal saja tante.” Ucap Imran sambil menghampiriku di meja panjang dapurku.

“Mungkin tante harus memanggil ahlinya.” Aku tersenyum dan menyodorkan teh manis buatanku padanya.

“Iya tante ... Lebih baik panggil tukang gas untuk memeriksa kompor gas tante.” Timpal Imran yang kemudian nyeruput teh manis yang masih panas itu.

“Maafin tante ya, udah ngerepotin.” Kataku yang terus memberinya senyuman manisku.

“Gak apa-apa tante. Terima kasih teh manisnya.” Ujar Imran sambil mengangkat gelas minumnya. Aku jawab dengan anggukan kecil.

Kami berbincang-bincang seperti laiknya orang yang baru saja bertemu dan baru saja berkenalan. Dia bercerita tentang kesibukan yang sedang ia lakukan. Aku pun sama, aku menceritakan sedikit tentang kegiatanku. Tak butuh waktu lama obrolan kami mengalir begitu saja. Pembahasan-pembahasan berat, kami bahas ringan-ringan saja, bahkan dibikin sebagai lelucon. Dari situlah obrolan kami semakin lama semakin seru, mulai dari ledekannya yang tak sungkan padahal kami baru pertama kali berbincang-bincang seperti ini.

Ya aku sangat senang karena rencana awalku berhasil dengan gemilang. Aku berhasil menghancurkan sekat kecanggungan di antara kami. Kini Imran sudah tidak merasa canggung terhadapku, begitu pula aku terhadapnya. Lalu aku mulai berpikir untuk melangkah ke langkah yang lebih jauh. Aku mulai memberikan sentuhan-sentuhan kecil dan mesra padanya, seperti berpura-pura menyenggolnya dan menempelkan badan. Tidak butuh proses yang lama ternyata usahaku membuahkan hasil, Imran sudah berani menyentuhku.

Tak terasa hari sudah mendekati tengah siang. Imran memutuskan untuk pulang. Aku tak bisa mencegahnya padahal aku masih ingin berlama-lama dengannya. Aku mengantarkan dia sampai di samping motornya. Sebelum laki-laki itu pergi, aku pegang tangannya dan berkata, “Sering-seringlah ke sini walau Nara tidak ada.” Sesungguhnya aku sedang memberikan sinyal kepadanya. Tapi entahlah, apakah dia mengerti atau tidak, yang jelas ia hanya tersenyum sambil menganggukan kepalanya.

Mungkin, dewi fortuna yang jelita itu sedang berpihak kepadaku. Buktinya, tanpa aku duga, malam harinya Imran meneleponku. Entah berapa pulsa yang ia habiskan untuk meneleponku. Kami pun ngobrol lama sekali sampai tak terasa waktu yang kami habiskan untuk mengobrol sudah lebih dari dua jam. Demikian pula dengan hari-hari berikutnya, Imran sepertinya sudah kecanduan meneleponku berlama-lama walau ia sering berkunjung ke rumahku. Sekarang aku tidak yakin kalau kunjungan Imran ke rumahku untuk menemui Nara. Aku malah yakin kalau laki-laki itu hanya ingin bertemu atau melihatku.

-----ooo-----​

Pagi ini, aku berencana untuk berbelanja kebutuhan rumah. Aku berjalan keluar gerbang rumah hendak ke supermarket. Sengaja aku berjalan kaki, selain jaraknya tidak terlalu jauh aku pun ingin berolah raga. Baru saja beberapa langkah dari rumahku, tiba-tiba sebuah motor berhenti di sampingku. Sungguh aku sangat kaget namun kekagetanku berubah senyum tatkala mengetahui siapa pengendara motor itu.

“Tante mau kemana?” Tanya Imran setelah membuka helm full face-nya.

“Mau ke supermarket.” Jawabku lembut dengan sedikit bumbu genit.

“Ayo! Aku anter.” Ajaknya.

Aku yang tadinya ingin berolah raga berubah pikiran. Tanpa diperintah dua kali, aku segera naik di belakangnya. Motor bergerak pelan di awal namun kemudian agak kencang. Dengan kecepatan seperti ini aku akan sampai lima menitan di supermarket. Tiba-tiba motor ngerem mendadak. Tentu saja buah dadaku menempel di punggungnya. Sampai terasa gesekannya membuatku agak horny. Memang salah satu titik rangsanganku ada di payudara.

“Kamu mulai nakal ya ...” Godaku.

“Ma-maaf tante ... Bukan itu mak.. maksudnya. Ta-tadi ada kucing melintas jalan.” Panik Imran.

“Kucing atau kucing ... hi hi hi ...” Godaku lagi sambil mencubit pinggangnnya pelan. Imran terdiam, entah apa yang dipikirkannya. Kurasa, dia malu dan kebingungan.

Akhirnya kami pun sampai di supermarket. Imran membantuku membawa keranjang. Sejak kejadian itu, ia hanya terdiam saja. Sesekali aku goda dengan lirikan dan senyuman nakalku. Terlihat sekali kalau dia semakin salah tingkah. Baru aku sadar kalau mukanya seperti kepiting rebus dan keringat memercik di keningnya. Aku tertawa senang dalam hati. Satu ‘gebrakan’ lagi, aku yakin dia akan berlutut padaku.

Belanjaanku telah komplit, waktunya membayar di kasir. Tapi dengan gentle-nya Imran membayar semua belanjaanku. Aku tidak menolak, membiarkannya untuk membayar belanjaanku yang sangat banyak itu. Setelah itu, kami pun menaiki motor dan kini aku sengaja agak merapatkan tubuhku walau masih berjarak. Sungguh aku sangat berharap ‘tragedi rem mendadak’ terulang kembali.

Cekiiittt.....

Tubuhku condong ke depan. Tak ayal buah dadaku menempel ketat di punggungnya lagi. Aku tidak langsung merenggang namun terus menempel di punggung laki-laki ini. Aku pukul pundaknya pelan berkali-kali.

“Tuh kan ... kan ... nakal ...!” Godaku.

“Aduuuhhh ... Ma-maaf tante ... Sa-saya ggakk sengaja.” Intonasi suaranya memang terdengar jujur dan panik.

“Emang ada kucing lagi?” Bisikku di telinganya.

“Bu-bukan tan-tante ... Ta-tapi ... Polisi tidur.” Jawabnya.

“Hhhhmm ... Dasar anak nakal.” Kataku sambil menggeser tubuhku agak ke belakang. Imran terdiam seribu bahasa sampai di rumahku.

“Masuk dulu!” Kataku.

“Sa-saya ma-masih ada keperluan tante ...” Katanya yang terdengar masih gagap.

“Pentingkah?” Tanyaku.

“I-iya tante ...” Jawabnya.

“Ya sudah ... Hati-hati di jalan ... Jangan rem mendadak lagi ...” Aku terus menggodanya.

“Iya tante ... Saya pergi dulu.” Tanpa menunggu jawabanku, Imran langsung memacu motornya.

Aku tertawa puas dalam hati. Kemenanganku sudah di depan mata. Sebentar lagi dia akan menjadi milikku. Tak apa aku akan berbagi dengan anakku asalkan laki-laki itu tunduk dan patuh kepadaku. Tinggal selangkah lagi niatanku itu tercapai. Tinggal menunggu momen yang paling tepat untuk mendapatkannya. Sinyal-sinyal positif sudah aku dapatkan hanya dengan sekali usaha lagi pasti tujuanku akan tercapai.

Aku masuk ke dalam rumah. Bersama pembantu, aku membereskan belanjaan. Kegiatanku kali ini terganggu dengan bunyi dering telepon yang sudah dua kali aku abaikan. Aku berjalan mendekati meja di mana handphone berada. Aku lihat identitas si penelepon di layar handphone-ku dan tersenyum.

“Ya ... Sayang ...” Kataku setelah hubungan tersambung.

Tante ... Saya minta maaf dengan kejadian tadi ... Swear, tidak sengaja.” Kata Imran di sana.

“Kenapa kamu pikirkan terus sih? Sudah gak apa-apa kok.” Kataku.

Serius ya tante ... Tante gak marah ...” Katanya bersungguh-sungguh.

“Serius ... Gak apa-apa ... Lupakan saja.” Kataku lagi.

Terima kasih tante ... Terima kasih ...” Ucapnya.

“Iya ... Kamu di mana sekarang?” Tanyaku.

Sa-saya ada di depan rumah tante.” Jawab Imran.

“Ya ampun ... Kenapa gak masuk?” Aku sedikit kesal sekaligus senang.

Aku berlari kecil menuju teras. Benar saja, Imran sedang nangkring di motornya depan rumah. Kusuruh ia masuk lalu duduk di ruang tamu. Kutawari minum namun Imran menolak dengan alasan sudah minum beberapa botol air mineral hingga perutnya kembung. Aku pun duduk di sebelahnya.

“Tante ....” Kutahan ucapan Imran sambil memegang tangannya.

“Sebentar ... Sejak saat ini panggil bunda saja.” Kataku.

“Baik, bunda ... Gini bunda ... Sebagai penyesalan dengan kejadian tadi ... Aku bersedia mendapat hukuman dari bunda.” Ucapnya begitu polos dan lugu.

“Begitu ya ... Kalau gitu, temenin bunda berbelanja lagi.” Kataku lembut.

“Ke mana?” Tanyanya.

“Bunda ingin beli sesuatu di mall. Gimana?” Aku tatap matanya.

“Siap, bunda. Saya janji tidak akan ngerem mendadak lagi.” Imran terlihat kikuk.

“Hi hi hi ... Masih aja dipikirin ... Dan siapa yang mau naik motor ... Kita naik mobil.” Kataku sambil beranjak meninggalkan Imran yang sedang tertegun.

Aku berjalan ke kamarku lalu mengganti pakaian. Pakaian yang aku gunakan adalah kaos casual berwarna biru muda agak longgar dengan rok sebatas lutut berwarna hitam. Aku menyisir rambut, lalu ber-make up sebentar. Setelah itu, aku pun kembali ke tempat Imran.

“Kamu yang bawa.” Kataku sambil memberikan kunci mobilku.
“Baik, bunda ...” Imran menerima kunci mobil.

Singkat cerita, kami sudah berada di jalan raya yang agak sedikit macet. Sambil ngobrol santai, tanpa sepengetahuannya aku menaikan rokku sehingga kedua pahaku terekspos. Menurutku, pahaku ini masih mulus dan mampu untuk menarik perhatian laki-laki. Untuk beberapa saat tidak ada respon positif darinya, sehingga aku menyilangkan kaki kananku dan membiarkan paha putihku kian terlihat bahkan pangkal pahaku yang terbalut celana dalam berwarna putih pun terbuka. Barulah aku melihat reaksi Imran yang mulai gelisah. Aku pura-pura tidak menyadarinya dan terus mengajaknya ngobrol. Rasanya aku berhasil membangkitkan gairah dan hasrat kelelakian Imran.

“Keningmu berkeringat, sayang ...” Ucapku seraya mengambil tissue dan mengusap keningnya yang memang berkeringat. Dengan demikian posisi dudukku semakin sembarangan. Sudah sangat dipastikan bagian bawah tubuhku bisa dilihatnya.

“Oh ... I-iya ... Biar saya saja bunda ...” Katanya sambil berusaha mengambil tissue di tanganku tetapi aku larang.

“Biar bunda saja ... Kami nyetir saja ...” Kelitku sambil terus mengusap keningnya.

Dengan posisi seperti itu tentu kaosku yang longgar ikut terbuka di bagian leher. Tanpa menengok pun sudah sangat dipastikan buah dadaku terlihat olehnya. Aku tidak lama menggodanya karena takut Imran kurang berkonsentrasi yang membahayakan keselamatan kami. Aku duduk dengan rapi kembali. Cukup segitu saja membuat shock teraphy padanya.

Setelah satu jam lebih dalam kendaraan, kami sampai juga di mall yang aku tuju. Kami berdua jalan-jalan, melihat-lihat sebelum akhirnya masuk ke sebuah toko perhiasan. Memang tujuanku adalah membeli perhiasan untukku dan untuk Nara, anakku. Aku masih memilih-milih perhiasan yang cocok untukku dan juga Nara. Semua perhiasan yang ada sungguh cantik-cantik. Aku tak bisa menutupi rasa inginku terhadap semua perhiasan yang ada di toko ini.

“Sayang ... Aku bingung ... Bantu aku memilih perhiasan yang cantik.” Bisikku pada Imran. Seperti robot yang baru saja dihidupkan, langsung saja Imran berjalan ke salah satu etalase. Aku sempat mengernyitkan kening. Betapa tidak terkejut, karena Imran menuju etalase perhiasan yang sangat mahal dan hanya orang-orang tertentu yang bisa membelinya.

“Ini bunda ... Cocok untuk bunda.” Katanya ringan.

“Ya ampun ... Kamu ini gimana sih? Mana bisa aku membelinya?” Kataku setengah sewot.

“Bunda seneng, gak?” Imran sepertinya sedang tidak berkelakar. Hanya orang bodoh dan terbalik matanya saja yang tidak menyukai perhiasan itu. Aku melotot lagi memandang perhiasan itu.

“Pasti harganya mahal sekali.” Gumamku sambil menatap perhiasan itu.

“Aku belikan untuk bunda.” Sungguh aku terkejut mendengar bisikan Imran.

“Jangan ... Jangan kamu hamburkan uangmu.” Balas bisikku sambil menatapnya lekat-lekat.

“Kalau bunda suka, saya belikan.” Bisiknya lagi.

“Semua orang akan suka dengan perhiasan ini, tapi ...” Ucapanku tidak berlanjut.

“Ci ...!!!” Imran memanggil pemilik toko perhiasan.

“Apa yang kamu lakuin?” Aku genggam jari tangannya agak kuat.

“Untuk bundaku tersayang ...” Ucapnya sangat pelan. Terasa Imran menggenggam tanganku lebih kuat dariku.

Kejadian yang benar-benar di luar dugaan. Tak pernah sekali pun terbesit dalam pikiranku bahwa Imran akan seperti itu. Kini yang hanya bisa kulakukan hanya diam sambil memperhatikannya bertransaksi dengan pemilik toko. Aku tak menyangka kalau laki-laki yang sehari-hari berpenampilan sederhana ini mampu membeli perhiasan untuk kalangan jet set seperti itu.

“Ada lagi yang mau dibeli bunda?” Tanyanya setalah berada di hadapanku sambil memberikan tas berisi perhiasan super mahal itu. Aku gelengkan kepala sambil memandang wajahnya.

Tadinya aku akan membeli perhiasan untuk anakku namun aku urungkan niatku itu karena aku tidak ingin Imran mengeluarkan uangnya lagi untuk kepentinganku. Dari toko perhiasan sampai di kendaraan yang terparkir di basement, aku dan Imran saling diam. Baru setelah di dalam mobil, aku membuka suara.

“Kenapa kamu membelikan perhiasan semahal ini?” Tanyaku. Imran hanya tersenyum dan tidak menjawab pertanyaanku. “Tolong jawab?” Lanjutku setengah memaksa.

“Aku sayang bunda ...” Pelan tapi terdengar jelas di telingaku. Aku raih wajahnya mendekati wajahku. Aku pegang kedua pipinya dan menatapkan matanya pada mataku.

“Apa benar kamu mencintaiku?” Tanyaku setengah berbisik dan menatap matanya tajam. Imran berusaha memalingkan wajahnya untuk tak menatapku. Tetapi aku tetap memaksanya untuk menatap ke arah mataku. “Jawab jujur?” Tanyaku lagi.

“Iya ... Saya mencintai bunda... Maafkan saya.” Jawab Imran.

Lama kami berada di posisi saling menatap. Aku dekatkan wajahku ke wajahnya pada jarak paling sempurna. Kukecup bibirnya, pelan tetapi dalam. Kuusapkan telapak tanganku pada wajahnya. Bulu-bulu halus wajahnya dalam sentuhanku. Awalnya Imran masih agak grogi menanggapiku. Namun tak lama bibirnya memagut bibirku, kami berciuman. Aku melingkari tanganku di lehernya dan menariknya agar ciuman kami semakin dalam, sampai akhirnya aku melepaskannya karena kekurangan nafas.

“Ayo kita pulang.” Kataku.

Imran mulai menghidupkan mesin mobil dan melajukannya dengan perlahan. Untuk sementara waktu kami saling diam. Sejujurnya, dalam pikiranku saat ini terdapat sejuta pertanyaan tentang Imran. Siapa sebenarnya anak ini, namun yang jelas aku berkeyakinan kalau ia adalah anak seorang kaya raya. Aku memandang wajahnya lagi lekat-lekat. Dia nampak nerveous. Keningnya berkeringat dan wajahnya sedikit memerah. Aku ambil tissue lalu mengusap keningnya.

“Kamu anak yang baik, tak sepantasnya mencintaiku. Karena aku bukanlah perempuan yang baik.” Kataku lembut sambil mengusap-usap kening dan sebagian wajahnya. Imran hanya tersenyum tipis.

“Saya juga bukan orang baik ... Kita sama-sama tidak baik.” Ucapnya kemudian.

“Aku ini bersuami dan anakku sangat mencintaimu.” Kataku ingin tahu isi hatinya.

“Kadang cinta tak mengenal waktu, tempat, dan bahkan siapa. Datang tak terduga, dan pergi pun menyakitkan. Manusia tidak bisa menghindar dari hukum alam ini.” Ucapnya.

“Tapi kita akan menyakiti banyak orang.” Kataku menelisik.

“Kita tidak akan menyakiti siapa-siapa.” Ucapnya lagi. Kulihat bibirnya tersenyum tipis.

“Janji ... Kita tidak boleh menyakiti siapa-siapa.” Aku ingin ketegasan darinya.

“Aku berjanji ...” Jawabnya.

Dan tentu saja hatiku begitu senang. Akhirnya laki-laki ini berhasil aku dapatkan. Ternyata tidak membutuhkan waktu yang lama aku berhasil menggapainya. Aku senyam-senyum sendiri, tak sadar aku sedang diperhatikan Imran yang sedang menertawakan aku.

“Ada yang lucu?” Tanyaku sewot.

“Nggak ...” Imran berkelit.

“Huh ... Dasar ...” Aku cubit pinggangnya agak keras.

“Aduuuhhh ... He he he ...” Imran terkekeh.

Kami mulai bercanda lagi membahas semua hal yang barusan terjadi. Komitmen-komitmen pun dibangun sebagai landasan hubungan terlarang kami yang intinya tidak boleh ada satu orang pun tersakiti. Aku memintanya agar Imran tetap bersama Nara. Kepentingan Nara harus didahulukan daripada kepentinganku.

Ketika matahari pas di tengah langit, kami pun sampai di rumahku. Aku mendapati rumahku sepi seperti biasanya. Kesemua anakku pergi dengan kegiatannya masing-masing. Pembantuku pun tidak ada di rumah, pasti sudah pulang ke rumahnya. Aku duduk berdampingan dengan Imran di sofa sambil melihat-lihat perhiasan yang baru ia beli. Imran mengalungkan perhiasan itu di leherku.

“Bagaimana?” Tanyaku.

“Luar biasa ... Bunda tambah cantik ...” Pujinya.

“Kalung ini atau aku yang cantik.” Candaku.

“Kalung ini tidak sebanding dengan kecantikan bunda.” Katanya.

“Gombal ...” Kucubit hidungnya.

“Aku mau lihat di cermin ...” Aku bangkit dari duduk dan berjalan menuju kamarku. Sebelum masuk kamar aku panggil Imran. Tak lama ia pun datang.

“Ayo ...” Ajakku dengan suara menggoda.

“Ta ... Tapi ...” Ada keraguan darinya.

“Kalau gak mau ... Ya sudah ...” Aku pun masuk dengan langkah kemayu.

Imran pun mengikuti langkahku. Aku berdiri di depan cermin sambil memperhatikan diriku tepatnya kalungku ini. Sungguh indah, memang kecantikan dan perhiasan tidak bisa dipisahkan karena masing-masing saling melengkapi. Beberapa saat kemudian, aku balikan badanku lalu mendekati Imran yang sejak tadi berdiri di belakangku.

“Terima kasih ya, sayang ...” Kataku sambil melingkarkan lenganku ke lehernya.

“Sama-sama ...” Hanya itu yang ia ucapkan.

Kami bertatapan sejenak, kemudian perlahan-lahan wajah kami saling berdekatan. Mungkin cuma beberapa centimeter lagi bibir kami akan bersentuhan. Kedua tangan Imran memegang pinggangku. Tiba-tiba laki-laki ini mencium bibirku dan aku pun dengan senang hati menerima ciuman tersebut. Ciuman yang tadinya hanya antara bibir dan bibir lama-kelamaan berubah menjadi lidah dengan lidah yang sangat liar dan panas. Sudah hampir dua menit kami berciuman namun tangan Imran masih pasif di pinggangku. Aku lepas pagutanku.

“Nakal sedikit dong ...” Desahku. Laki-laki itu malah tertegun. “Ihk ... Malah bengong.” Melihat tingkahnya itu aku ingin tertawa.

“Sa-saya be-belum terbiasa ...” Lirihnya sedikit tertahan.

“Apa? Kamu kan punya Nara?” Sungguh aku sangat heran.

“Ta-tapi ... Be-belum seperti ... ini ...” Jujurnya.

“Apa? Kamu belum pernah? Kamu belum pernah menciumnya?” Aku demikian terkejut. Imran menganggukan kepalanya.

Langsung kulumat bibirnya lagi. Aku merasa tangannya seperti ingin menyentuh payudaraku. Akhirnya tersentuh juga buah dadaku tapi ditariknya lagi. Aku tarik tangannya dan kuarahkan ke buah dadaku. Pelan dan ragu dia meremas dan seperti tidak menikmati. Langsung saja aku hentikan ciuman ini karena sepertinya dia takut.

“Kenapa sayang?” Tanyaku kepada Imran yang wajahnya terlihat gusar.

“Maaf bunda ... Sa-saya be-belum pernah ...” Wajah malu itu membuatku ingin sekali memeluknya.

Kembali kudekatkan bibirku padanya, aku tekankan ciuman ini supaya lebih dalam dan tangannya masih ragu untuk menyentuh. Kutarik tangan itu untuk menyentuh buah dadaku, tangannya tidak banyak bergerak dan lebih tepatnya diam. Kusentuh jemarinya yang menyentuh buah dadaku mengerakinya supaya dia tidak ragu lagi, lama dan lama sepertinya dia mulai terbiasa. Kuhentikan ciuman ini supaya dia bisa sedikit menormalkan dirinya yang tegang, tegang yang sangat karena dia takut.

“Gak apa-apa kan?” Kataku sambil terus membantu tangannya bermain di buah dadaku. “Resapi dan nikmati.” Lanjutku setengah mendesah.

Imran tersenyum malu-malu, terlihat jelas dari kedua pipinya yang bersemu merah namun dia seperti ingin menciumku lagi. Sekarang dia yang maju mendekatkan bibirnya padaku, tangannya sudah bisa bergerak dengan tenang di buah dadaku. Kulingkarkan tanganku di tengkuk lehernya, kusentuh setiap senti bibirnya dengan lembut.

Sekarang dia memainkan buah dadaku dengan sangat nikmat. Instingnya sebagai seorang laki-laki berjalan dengan baik. Ciuman kami semakin memanas, sentuhan jarinya yang baru pertama kali terasa sangat lembut dan nikmat, walau dia menyentuh dari luar bajuku. Kini gelora birahi kami sudah memasuki tahap selanjutnya. Kupeluk tubuhnya, terasa benjolan yang sangat mengeras tepat di perutku. Aku penasaran dengan benjolan itu. Kusentuh dari luar celananya yang menutupi ‘miliknya’ yang dari tadi sudah mengodanku. Dia mengelak dengan memundurkan pantatnya tapi aku ikuti terus hingga tanganku berhasil menyentuh penisnya.

Ah, penis itu sungguh perkasa. Aku bisa merasakan begitu besar dan panjang di sana. Segera aku buka sabuknya dan menurunkan resleting celananya hingga celana panjang yang ia kenakan jatuh dengan sendirinya. Dengan tidak sabar kumasukan jariku ke dalam boxernya. Ya ampun, penis ini sungguh besar, panjang dan tegang sempurna. Aku merendahkan tubuhku supaya bisa melihat penisnya. Mataku terbelalak saat aku berhasil melucuti boxer yang Imran pakai. Penisnya sama besar dengan milik ‘mantanku’ tetapi yang ini lebih panjang dan berwarna putih seperti penis-penis orang bule yang pernah aku lihat di VCD pornoku, sungguh menggoda.

Perlahan aku emut ujung penis Imran dengan penuh kelembutan. Aku kulum penisnya yang besar masuk ke dalam mulut. Serasa penuh aku terus berusaha mengulum semua batang penisnya. Aku mengocok sambil mengulum penisnya masih dengan lembut. Beberapas saat kemudian, dengan cepat aku melepas semua yang ada di badanku dan telanjang dihadapan Imran. Laki-laki ini sepertinya masih kebingungan dengan apa yang harus ia lakukan, sangat pasif. Tanganku menarik tangannya dan aku tempatkan lagi di tempat yang semestinya. Ia pun mulai meremas-remas buah dadaku lagi.

Setelah merasa cukup, aku akhiri blow-job pada penisnya namun senjata kebanggannya itu masih dalam gengamanku. Aku tarik Imran ke tempat tidur dan menyuruhnya membuka seluruh bajunya. Awalnya ia ragu tetapi setelah aku terlentang di atas kasur dengan selangkangan terbuka maka dia langsung melucuti semua pakaiannya. Aku menariknya, dia benar-benar tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

“Sini sayang ... Setiap wanita ingin dibelai dan disayang.” Kataku.

Imran naik ke atas ranjang dan berbaring di sampingku. Kutuntun tangannya untuk menyentuh vaginaku dan sedikit mengajarkan gerakan kecil jarinya di sana. Dia pun mulai mengulum payudaraku dengan baik. Bibirnya sejenak mampir ke bibirku mengulum lembut penuh nafsu. Kemudian ia goreskan lidahnya ke leherku yang hangat oleh birahi. Jemarinya memberikan rangsangan di area vaginaku, menyiramkan miyak dalam bara birahiku yang berkobar semakin panas.

Ah, aku sudah tidak tahan lagi. Kutarik posisi badannya ke atas tubuhku. Memaikan penisnya yang masih ragu memasuki vaginaku. Aku mengesek-gesekan penisnya di sekitar vaginaku yang sudah basah. Oohh, rupanya dia juga sudah tidak tahan, terbukti dengan usahanya untuk memasuki liang senggamaku. Kubimbing agar kepala penisnya tepat berada di pintu surgawiku.

Nafasku agak tertahan saat kepala penisnya berhasil menerobos masuk lubang nikmatku. Inchi demi inchi penis Imran berhasil memasukiku walau masih sangat perlahan. Vaginaku berdenyut dan mengeluarkan cairan yang sangat terasa saat penis itu bergerak di dalamnya. Reflek aku melebarkan kakiku untuk mempermudah Imran melakukan penetrasi. Kulihat Imran mendongakkan kepalanya seiring setiap inchi penisnya yang mulai tenggelam pada lubang vaginaku.

“Oooohhhhh ....” Desahku merasakan nikmatnya tertembusnya diriku oleh senjatanya. Penisnya yang besar dan panjang menggesek klitorisku di luar sekaligus dinding vaginaku yang sensitif, memberikan rasa nikmat dalam persetubuhan ini.

Imran diam setelah penisnya tertanam semua di sana, dia mendekati wajahku lalu mengecup bibirku. “Gerakin!” Pintaku. Seperti diberi lampu hijau, Imran mulai memaju-mundurkan pinggulnya. Membuat gesekan antara penisnya dan dinding vaginaku. Kelamin kami saling bercumbu diiring desahan penuh birahi yang mewarnai awal persetubuhan kami. Pinggulku dan pinggulnya saling beradu untuk berbagi kenikmatan.

“Oohh ... oohh ... oohh ... oohh ...” Kenikmatan yang kurasakan sangatlah dahsyat akibat sodokan demi sodokan penis Imran yang menerobos vaginaku.

“Lebih ... Ceeppaattt ... Sayyaaannggg ...!” Pintaku memelas sambil menatap wajahnya. Tanganku lalu mengelus pipinya.

Berdenyut-denyut bergantian kelamin kami di dalam sana. Seakan-akan tengah berkenalan dan bertutur sapa. Beberapa detik kemudian, Imran menarik penisnya sehingga dapat kulihat mengkilat terpapar cairanku. Sampai batas kepala penis, ditekan kembali penisnya ke dalam vaginaku. Ia lakukan sangat pelan. Dengan pandangan yang sayu, aku dapat melihat ekspresi kenikmatan di mukanya.

“Agak ceeppaat ... Saaayyaanggg ...!” Pintaku lagi.

Imran mulai mempercepat gerakan pantatnya. Beberapa waktu berselang gerakan keluar masuk penisnya semakin cepat. Tampaknya Imran sudah mengerti apa yang harus ia perbuat. Vaginaku terasa penuh sesak oleh batang penis Imran yang sangat perkasa ini. Sangat terasa sekali bagaimana rasanya batang penis menggesek-gesek dinding vaginaku. Aku hanya dapat terengah-engah dan merasakan kenikmatan yang kini semakin tidak tertahankan.

“Oohh ... oohh ... oohh ... oohh ... oohh ...” Desahku.

Aku pun mengimbangi genjotan Imran dengan menggoyang pantatku. Kini tubuh rampingku seperti timbul tenggelam di atas kasur busa ditindih oleh tubuh besar dan kekarnya. Semakin lama, genjotan Imran semakin cepat dan keras, sehingga badanku tersentak-sentak dengan hebat.

Dengan gerakan cepat, Imran menggerakkan penisnya di dalam rekahan kenikmatanku. Imran memaju-mundurkan penisnya intens dan teratur membuat desahan nikmat meluncur dari mulutku tanpa henti. Di saat itu juga Imran berhasil menyentuh sweet spot-ku. Cepat sekali anak ini menemukan titik nikmatku.

Ritme itu bertambah lebih cepat sehingga menimbulkan kegaduhan di ranjang ini, suara desahan yang kami keluarkan membuat suasana kamar ini berubah menjadi sangat ramai sekali. Desahan kenikmatan yang aku lontarkan bisa memperlihatkan kalau aku sangat menikmati ini. Tangannya yang tak tinggal diam terus meremas buah dadaku begitu lembut hingga sangat begitu kencang.

Kami pun berlayar, tentu tidak lagi di daratan tetapi di samudra petualangan seperti tak bertepi, namun tetap saja perahu kami menuju pulau bernama kenikmatan. Perlahan kami mulai tenggelam dalam keindahan, seperti melewati samudera dan semua lekukan. Gelora kami mulai memuncak dalam desiran keringat, membuat syaraf terus bergerak, terus menekan adrenalin hingga menuju puncak. Jejak kenikmatan yang sedang kami rajut, mengalir deras sampai ke ujung rambut.

Imran memberikan ritmenya begitu sangat kencang saat kami sudah hampir mencapai puncak. Goyangannya begitu kencang hingga berakhir menyentuh rahimku dan mengeluarkan cairan di dalamnya yang terasa sangatlah hangat.

“Aaaaakkkkkhhhhh....!!!!” Desahan panjang yang terdengar dari mulut kami. Semua terasa gelap, tak ada beban apapun rasanya. Sunggu nikmat. Rasa yang menerpaku adalah rasa kesenangan yang menumpuk-numpuk.

Tubuh Imran berjatuh di atas tubuhku. Nafas kami memburu membuat dada kami naik turun. Dadaku menyentuh dadanya, benda itu belum keluar dari milikku rasanya benda itu berdenyut saat mengeluarkan cairan itu, milikku mencengkram benda itu saat aku sudah sampai puncak. Sampai akhirnya penisnya dikeluarkan, terlihat benda itu masih ‘setengah hidup’.

Sensasi yang diberikan Imran sangatlah luar biasa, tubuhku melemas di sampingnya yang juga sedang meredakan rasa lelahnya karena sudah memberikan ritme yang sangat cepat. Tangan kekarnya mengelus wajahku, aku menatapnya begitu lekat.

“Terima kasih, bunda ... Terima kasih ...” Ucapnya dengan nafas yang belum sepenuhnya teratur.

Pergumulan itu kami ulangi lagi beberapa saat kemudian, hingga terdengar lonceng jam berdentang empat kali. Segera kami mengenakan pakaian. Setelah selesai berpakaian dan merapikan tempat tidur, kami keluar kamar menuju ruang tamu, sambil berangkulan. Kami duduk berdampingan di kursi sofa ruang tamu, tubuh kami rapat dan saling berangkulan.

“Sayang ... Boleh bunda tahu ... Siapa kamu sebenarnya?” Kataku setelah mengucup pipinya.

“Pentingkah?” Imran menatapku.

“Ya ... Siapa sebenarnya kamu ini?” Tanyaku.

“Sebenarnya ... Hidupku bisa dibilang flat tanpa warna, hanya ada hitam dan putih. Sepi dan sendirian adalah temanku. Aku adalah anak tunggal. Aku tak pandai berteman. Aku susah nyaman dan percaya pada orang lain. Menjadikanku lebih nyaman dan bersahabat dengan kesepian. Sampai akhirnya aku bertemu Nara dan bunda.” Jelasnya pelan dan sendu. Aku pun mulai terusik mendengarnya.

“Sudah waktunya kamu merubah diri ... Di dunia ini sangat banyak orang-orang yang bisa diajak berteman dan bersahabat ...” Aku coba menasehatinya.

“Ya, bunda ... Terima kasih ...” Sahutnya sambil tersenyum.

“Terus ... Siapa sebenarnya orangtuamu?” Tanyaku lagi sedikit mendesak. Imran langsung memandangiku. “Bunda yakin, kalau kamu sedang menyembunyikan identitasmu yang sebenarnya.” Lanjutku. Mata Imran pun agak terbelalak setelah mendengarkan ucapanku. Beberapa saat ia terdiam. Aku pegangi pipinya.

“Tapi hanya untuk kita berdua saja.” Ucapnya ingin keyakinan dariku.

“Ya ... Bunda berjanji ...” Sahutku.

“Ayahku bernama Brian McMillan, beliau orang Inggris asli. Ibuku bernama Aminah ...” Penjelasan Imran aku tahan dengan menutup mulutnya dengan tanganku.

“Apakah ayahmu itu seorang pengusaha retail ... Pemilik Y Departemen Store?” Tanyaku penasaran.

“Ya, bunda ... Tapi itu hanya sebagian kecil usaha beliau.” Jawabnya. Aku tersentak saat aku mendengar penuturannya. Siapa yang tidak mengenal nama besar Brian McMillan. Orang ini adalah pengusaha besar yang memiliki bisnis di hampir seluruh belahan dunia. Aku menatapnya tak percaya. Dia cuma tersenyum tipis seraya mengangkat bahunya.

“Berarti namamu bukan Imran?” Tanyaku separuh mendesis.

“He he he ... Namuku tetap Imran ... Steven Imranulloh McMillan.” Laki-laki itu menyebut nama lengkapnya.

“Aih ... Namamu bagus sekali ... Bunda tidak akan lagi memanggilmu Imran tapi Stev, bagaimana?” Kataku lalu mencium bibirnya.

“Terserah bunda saja ...” Ujarnya.

Kami ngobrol dengan suasana penuh kemesraan. Kami juga bercumbu sebagai sepasang kekasih yang bebas merdeka. Aku suka segalanya pada laki-laki ini, tetapi aku tidak boleh membuat rasa sukaku bertambah besar. Aku sangat yakin kalau di suatu saat nanti ia akan meninggalkanku. Ya, aku harus siap dengan kenyataan jika ia meninggalkanku nanti.

###
end part 3
 
PART IV
RUMPUT-RUMPUT LIAR 1


Malam ini aku bersama Imran sedang menikmati wedang jahe yang dijual di pinggir jalan. Kuteguk sedikit wedang jahe yang mulai mendingin ditiupi udara yang terasa mulai memeluk tubuhku yang tak terbalut sweater. Imran sepertinya paham ketika melihatku yang berbalut kaos casual berlengan pendek berwarna biru laut. Dia melepaskan jaketnya dan memakaikannya padaku. “Dingin,” ucapnya dengan seulas senyum manis dengan lesung pipi yang mengempis.

Aku tersenyum setelah ia memakaikan jaketnya di tubuhku. Aku sangat beruntung Imran hadir dalam kehidupanku, setidaknya hidupku sedikit lebih berwarna dan membaik dari sebelumnya. Tentu saja kehidupanku semakin membaik karena secara materi aku sangat berlebih berkat sokongan finansial dari kekasih gelapku. Ya, aku sangat beruntung mendapatkan Imran karena aku selalu merasa aman dan tenteram hidupku. Aku mempunyai garansi atau jaminan kebahagiaan, apalagi kalau bukan kekuatan finansial yang dimiliki Imran.

Aku melihat arlojiku menunjukkan pukul 19.00 malam. Sudah setengah jam aku di sini. Menikmati malam berdua dengannya. Kami pun meninggalkan tempat itu beberapa menit kemudian. Aku menaiki kuda besinya (motor, red). Dia menancap gas pelan, aku memeluknya erat dalam dekapanku. Motornya berhenti di sebuah apartemen yang cukup megah.

“Apakah ini tempat tinggalmu?” Tanyaku.

“Ya ...” Jawabnya singkat.

Kami naik ke tingkat 7 menggunakan lift. Kami berhenti di salah satu pintu. Setelah Imran membukakan pintu, ia mempersilahkan aku untuk masuk. Aku pun melangkahkan kakiku ke dalam apartemennya. Apartemen Imran adalah sebuah apartemen yang cukup mewah. Ruangannya tertata rapi dan bersih. Terdapat satu kamar utama memiliki ruangan yang luas dan dua kamar lainnya memiliki ruangan sedang. Tidak ada pemisah antara dapur dan ruang makan, kamar mandi terletak di masing-masing kamar dan satu ruangan lainnya adalah ruang tamu dengan televisi besar dan sofa yang nyaman. Apartemen yang terdapat di lantai 7 juga mempunyai balkon yang menawarkan pemandangan kota di malam hari.

“Bagaimana hubunganmu dengan Nara?” Tanyaku sambil membuka pintu balkon dan berdiri memandangi lampu-lampu kota.

“Begitu-begitu saja ...” Jawab Imran yang sedang membuka kulkas.

“Bunda ingin kamu baik-baik dengan dia.” Kataku.

“Ya, kami baik-baik saja bunda ...” Ucapnya sambil menenggak minuman mineralnya lalu berdiri di belakangku sambil memeluk pinggangku dari belakang. Lelaki itu menyangkutkan dagunya di pundakku. Semilir angin malam membelai wajah kami berdua. Aku melingkarkan tangan mengusap pelan rahangnya yang kokoh.

“Bagaimana dengan hubungan kita?” Tanyaku. Imran tersenyum. Lantas mengecup lembut telingaku.

“Kalau mendapat izin ... Aku akan bersama bunda dan Nara selamanya ...” Ucapnya lembut. Aku berbalik. Melingkarkan kedua tangan di lehernya. Dengan sedikit mendongak menatap mata elang itu. Temaramnya cahaya lampu balkon membuat Imran makin terlihat tampan. Imran memeluk pinggangku erat.

“Asmara kita adalah asmara gelap, sayang ... Cinta kita adalah cinta terlarang ...” Ujarku kembali. Aku sendiri berpikir bahwa hubungan ini bukan karena sebatas nafsu belaka namun ada sesuatu yang membuat hati kami saling menarik satu sama lain, ada hal yang tak bisa dijelaskan secara logika bila menyangkut permasalah ini.

“Asal tidak ada yang tersakiti, bunda ...” Jawabnya mengingatkanku dengan komitmen kami. Aku menjinjit tumit, memberikan kecupan singkat di bibirnya.

Lalu Imran menggendong tubuhku. Dengan sebelah tumitnya menutup pintu balkon dan membawaku ke kamar tidurnya. Kalau sudah begini, aku tahu yang ia mau. Imran membaringkan tubuhku di atas tempat tidur, sembari menatap mataku seakan meminta persetujuan melanjutkan ke tingkat lebih jauh. Aku membalas tatapan itu dengan sebuah anggukan yang menandakan aku menyetujui untuk melanjutkannya. Lalu dengan sangat intim kami saling melucuti pakaian satu per satu hingga kami sudah tak mengenakan sehelai apapun.

Tanpa aba-aba Imran mendaratkan ciumannya pada bibirku. Menciumku pelan, lalu melumatnya dan sesekali menyesapnya layaknya bibirku. Ciuman itu basah, menggelora dan panas. Rasa sensual yang tercipta karena dari awal bibir kami terbuka menghanyutkan. Kecupan Imran semakin basah dan menggoda. Imran manjakan tubuhku dengan penuh perasaan, menunjukan kasih sayang serta cinta yang dimiliki olehnya melalui cara dan sikap.

Pandanganku mulai kabur ketika bibir Imran bergerak turun menemukan sasaran yang lebih intens. Mengalirkan gelombang kenikmatan yang menyiksa dan teramat menggairahkan. Bukan cuma ahli dalam melumat bibir, Imran juga bisa membuat tubuhku menggelijang ketika memagut kewanitaanku. Sering kali membuat aku dibuat mengerang hebat dan tak terkendali.

“Aaaaaahhhhhh ....!”

Aku mulai terengah. Dada polosku naik turun karena menarik dan menghembuskan nafas yang tidak beraturan. Bibirku terbuka, mengeluarkan deru nafas dari sana. Imran pun menggeram. Eranganku mungkin semakin membangkitkan hasratnya, membuat ia geram bukan kepalang lantas menggantikan peran lidah menjadi jari.

Imran meninggalkan selangkanganku, berpindah dari tubuh bawah menuju ke atas. Tubuh padatnya bertahan menggunakan tangan kiri, sementara sebelah tangannya yang lain sedang ‘bermian’ dengan tubuhku yang telah basah sempurna. Perlakuan manis Imran menghanyutkanku. Rasa nikmat membuat tubuhku serasa melayang tinggi.

Aku merintih, tubuhku melengkung di bawah tubuh kekar Imran yang menindihku. Kedua tanganku terulur dan mencengkram rambut Imran, menarik lelaki itu, mencari sesuatu yang dapat menjawab kebutuhan yang meledak-ledak dalam diriku. Rasa sensual mendominasi yang membuat detak jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

Hingga kini saatnya Imran mulai untuk benar-benar melakukan sebuah penyatuan tubuh. Tubuhku terguncang. Imran terus mendesak pinggulnya, membenam benda keras itu ke dalam tubuhku. Tak ada jarak, tak ada sekat diantara kedua tubuh polos kami. Nafasku semakin terengah-engah saat Imran mengguncang hebat tubuhnya dan membawaku melayang menuju nirwana. Tidak ada suara yang keluar dari mulut kami kecuali desahan-desahan kenikmatan dan bunyi penyatuan tubuh serta kelamin kami.

Merasa puas dengan posisi saat ini, Imran pun melepas penyatuan tubuh kami dan secara tiba-tiba menggendong tubuhku dan membawaku ke pinggiran tempat tidur. Imran duduk di pinggir tempat tidur dengan kaki menjuntai ke lantai dan memposisikan aku berada tepat di pangkuannya.

“Bergeraklah, bunda ... Aku akan bergerak bersamamu.” Ucap Imran pelan.

“Kamu suka?” Tanyaku perlahan berganti menguasai permainan panas kami.

“Ya, bunda!!” Jawab Imran sambil memejamkan matanya menikmati sensasi yang diberikan olehku padanya. Ya, memang aku selalu berhasil membuatnya tergila-gila. Bukan hanya kemolekan, kepribadian dan tingkah lakuku. Tapi percintaan hebat yang selalu aku berikan pun, termasuk salah satu hal yang membuat Imran sangat kagum bahkan sangat memujaku luar dan dalam.

“Sayaanngg .... Oughhhh ...... “ Aku sedikit memekik saat dengan tidak sabarnya Imran mencengkram pinggangku dan membuat tubuhku berguncang naik dan turun di atas pangkuannya.

Desah nafas itu terdengar jelas memenuhi ruangan. Menembus keremangan malam. Mengisi setiap inci kamar apartemen berukuran besar ini, dengan aroma seks yang memikat. Dengan sensualitas menggairahkan, yang menguar kuat dari dua tubuh telanjang kami, yang kini sedang bergerak bersama demi mencapai puncak kenikmatan kami malam ini.

Sembari mengerang bahagia, aku mengangkat tubuh polosku dan mendongakkan kepalaku. Mataku tertutup sempurna sementara bibirku tersenyum puas. Aku menggoyangkan tubuh dengan lembut. Dengan gerakan yang menumpulkan logika dan membuatku menyerah kalah pada kenikmatan murni yang terpusat pada penyatuan tubuh telanjang kami di bawah sana. Insting primitif yang muncul dalam diri menuntunku untuk bergerak santai, menikmati setiap gesekan atas pertemuan tubuh kami dan mengendalikan irama permainan malam ini.

Mataku masih tetap tertutup rapat, menumpukan tanganku ke belakang hingga tubuhku melengkung indah ke depan, sementara pinggulku bergerak lembut tanpa menggunakan logika. Dadaku tampak membusung sombong, seolah menantang Imran untuk menyentuhnya dan meremasnya lembut menggunakan jemari-jemari lentik miliknya. Untuk mencicipi sekali lagi puncak payudara bulat milikku dengan mulutnya. Dengan ujung lidahnya dan bibir tebalnya yang menggoda.

Tentu saja, telapak tangan Imran kembali meraba dua gundukan indah milikku itu dan menangkupkannya di kedua tangannya. Imran segera meremas lembut buah dadaku dengan kedua tangannya dan memijatnya dengan gerakan yang membuatku semakin kehilangan kendali. Kemudian dengan bibirnya ia mengecup ringan ujung payudaraku dengan sikap menggoda, yang membuatku mendesah semakin tidak karuan. Setelah itu menggunakan lidahnya untuk benar-benar menjatuhkan pertahananku dan membuat kami bergerak semakin cepat tanpa kendali di kepala.

Aku bahkan tak kuasa untuk melepaskan tumpuan tanganku di belakang demi mendekap tubuh berotot di hadapanku ini. Memeluk tubuh Imran dan menyelipkan jemari-jemari halusku di sela-sela rambut kekasihku ini. Menjambaknya kasar seolah aku sendiri sudah tidak mampu lagi menyadari tindakanku sepenuhnya. Satu-satunya hal yang memenuhi diriku adalah kenyataan bahwa Imran adalah orang yang sedang memberiku kenikmatan pada tubuhku saat ini.

“Aaaaaaaccckkkhhh ......!!!!”

Aku mengerang tajam saat gelombang pelepasan itu datang menghampiriku. Tepat saat Imran menghisap kasar lekuk leherku. Nafasku tersengal hebat, sementara tubuhku mengejang dan tak seberapa lama langsung terasa lemas, puas oleh kehangatan yang keluar dari kewanitaanku. Tubuhku terasa basah, lengket oleh keringat dan cairan yang kini mengaliri tubuh kami, namun anehnya, aku justru merasa begitu seksi, dengan tubuh yang terasa hidup oleh gairah. Aku sangat menikmati perasaan puas, yang melingkupi diriku, sementara aku mendekap tubuh Imran dengan kedua tanganku dan menyembunyikan wajahku di sela-sela rambutnya yang juga sudah basah oleh keringat.

Mau tidak mau, aku harus berusaha mengatur kembali nafasku, berusaha memasukkan kembali pasokan normal oksigen ke dalam paru-paruku setelah kegiatan melelahkan yang baru saja dilalui. Sementara jantungku masih berdebar kencang, bertalu-talu beriringan dengan detak jantung lain yang kini sedang berada dalam dekapanku. Beberapa detik kemudian, aku pun membuka mata. Desah nafas Imran, yang terasa hangat di lekuk leherku, menyadarkan aku akan sesuatu.

“Ini belum selesai?” Bisikku. Imran menggeser tebuhnya lalu mengangguk. “Oh ... Yaaa ampuunn ...” Lanjutku setengah terkejut.

Imran tertawa geli mendengar umpatanku. Aku bahkan masih berusaha mengatur nafasku sembari mempertanyakan apakah ini hanya perasaanku saja atau Imran memang masih belum selesai dengan diriku. Perlahan, aku menyadari kalau tubuhku memang masih terasa penuh oleh ‘perkakas’ Imran di bawah sana. Laki-laki ini hanya sekedar menahan dirinya, memberi kesempatan padaku untuk mengambil nafas, sebelum membawaku kembali dalam permainan kami, yang sebenarnya belum selesai.

Beberapa saat kemudian, kewanitaanku kembali berdenyut lembut, meremas hangat kejantanan Imran yang masih bersatu dengan tubuhku. Aroma seks yang menggoda itu masih menguar kencang di setiap sudut kamar tidur. Saat mata kami saling beradu, detak jantung kami kembali berdebar kencang, saling beriringan.

“Berbaliklah...” Bisik Imran, dengan suara serak sarat gairah, sembari memandang dalam mataku. Kemudian Imran mengangkat ringan tubuhku dan membalikkannya dengan lembut. Imran membantuku memposisikan diriku sedemikian rupa sehingga aku menungging dengan menahan dan menumpukan tubuhku pada kedua lutut dan siku tanganku. Jantungku berdebar tidak nyaman menyadari perasaan rapuh yang kini menyambangi hatiku, yang beriringan dengan kenikmatan murni, yang tetap saja tidak bisa ditolakku.

Tanpa sadar, aku mendesah penuh perasaan mendamba, merasakan bibir Imran mencium tubuh belakangku dengan hangat. Dari pinggang hingga naik ke punggung dan berakhir di pundak kananku. Laki-laki itu memelukku dari belakang, dengan sikap posesif yang membuat jantungku kembali berdebar penuh antisipasi namun juga bergairah dalam saat yang bersamaan. Dada bidang Imran terasa hangat menekan punggungku, sementara lengan-lengan kuat itu menyelinap masuk ke bawah lengan milikku. Aku pun mengerang bahagia merasakan kehangatan jemari-jemari Imran yang kembali menangkup payudaraku yang menggantung dan meremasnya dengan lembut. Mengusap puncak-puncak kecoklatannya, yang tampak menegang sempurna itu dengan ujung ibu jarinya, hingga membuatku harus menggigit bibir bawahku, menahan keinginan untuk segera kembali menggerakkan pinggulku.

“Aku akan melakukan dengan cepat ....” Bisik Imran kemudian, sembari menggoda lekuk leherku dengan ujung lidahnya yang menimbulkan getar kenikmatan yang membuat tubuhku meremang bahagia. “Bunda, siap?” Lanjutnya. Sembari menutup mata dan menahan setiap getar gairah yang kini menjalari tubuh, aku menganggukkan kepala.

Aku mulai mendesah hebat sementara Imran menyembunyikan wajahnya pada lekuk leherku dan menggeram di sana, hanya sesaat setelah Imran mulai menggerakkan tubuh lelakinya. Hanya sesaat ia bergerak pelan, setelah itu ia bergerak cepat memenuhi janjinya untuk membawa kami berdua dalam percintaan panas selanjutnya.

Suhu di dalam kamar tidur apartemen ini sontak langsung memanas oleh tubuh telanjang kami yang kini bergerak bersama, dengan gerakan-gerakan primitif. Desah penuh kenikmatan kembali memenuhi dalam ruangan, memenuhi gendang telinga kami, yang semakin lama, bergerak semakin cepat, seolah tidak ada lagi hari esok untuk kami berkedua. Entah berapa kali aku mendesahkan namanya, tanpa menyadari kalau setiap desahan yang lolos dari bibirku, justru membuat Imran bergerak semakin cepat.

Suara senggama kami yang becek semakin terdengar seiring dengan beradunya dua alat kelamin dalam tempo tinggi. Kami mereguk sepuasnya kenikmatan badani dan aku merasakan sangat bahagia. Aku semakin larut akan belaian dan haus akan hujaman kejantanan Imran yang cukup membuat kewanitaanku kecanduan.
“Aaaahhh ... Sebentar laggiii .... Aaaaahhhh, Bun....daaa.....” Ucap Imran sambil mendesah keras.

Tubuhnya berkedut cepat. Semakin lama semakin tidak terkendali seolah-olah kenikmatan itu terasa seperti menelannya hidup-hidup. Aku hanya bisa menutup mata. Meremas seprai tempat tidur di bawahku, yang sudah terlihat berantakan sejak kami memulai malam panas kami, demi menyalurkan kenikmatan. Di belakangku, Imran menumbukkan tubuhnya dengan cepat, menghisap kencang lekuk leherku dan meremas gemas gundukan payudaraku.

Hingga tubuh kami berkedua terkulai lemah yang pada akhirnya kami menyudahi semuanya. Rasa lelah membuat kami memilih untuk mengistirahatkan diri di atas tempat tidur. Kami menatap langit-langit kamar sembari mengatur nafas dan mengirimkan pasokan oksigen sebanyak-banyak ke rongga dada kami, setelah bekerja keras yang harus dilakukan oleh paru-paru masing-masing.

“Sayang ... Apakah kamu bahagia?” Tanyaku.

“Segala halnya hari ini, kemarin, dan seterusnya, bahagia semua. Bahkan dengan melihat bunda manyun terus beberapa hari terakhir ini, aku tetap bahagia. Ada apa memangnya, bunda?” Tanya Imran. Dia bergerak memelukku.

“Kamu punya segalanya ... Apa yang kamu mau pasti terlaksana ... Kamu bisa mencari kebahagiaan yang lebih daripada bersama bunda ...” Jelasku seraya mengusap wajahnya.

“Kebahagiaanku adalah kalau bunda bahagia ...” Ucapnya yang terkesan lugu dan polos.

“Bunda ini orang tidak baik, sayang ... Sedang kamu orang terbaik di dunia ... Bunda rasa, bunda adalah orang yang tidak pantas buat kamu ... Kamu terlalu sempurna buat bunda ...” Perkataan itu tidak aku buat-buat tapi memang keluar dari hatiku yang paling dalam.

“Bagiku, bunda adalah orang yang paling sempurna ... Bunda jangan lagi bicara seperti itu.” Ucap Imran sedikit sendu.

“Baiklah ... Tapi ada satu permintaan bunda.” Kataku sambil tersenyum.

“Apa itu, bun?” Tanyanya.

“Kamu jangan sakiti hati Nara ... Bunda berharap kalian bisa bersatu membangun keluarga.” Kataku.

“Baik, bunda ... Apapun yang bunda inginkan aku pasti akan melakukannya.” Jawabnya.

“Janji ...”

“Ya, aku berjanji ...”

Kami pun ngobrol-ngobrol kesana kemari. Tak terasa waktu hampir jam 22.00 malam. Aku harus segera pulang karena suamiku sudah beberapa kali meneleponku. Setelah membersihkan dan merapikan diri serta berdandan, aku pun segera pulang. Imran mengantarkan aku kembali ke rumah dengan mobilnya.

-----ooo-----​

Singkat cerita, sudah lima bulan terhitung sejak ‘deklarasi’ tentang hubungan kami, hubungan gelapku dengan Imran berjalan mulus, bahkan aku hanya merasakan bahagia saja tidak ada sedih maupun kecewa. Imran memang sangat baik padaku, dia sangat menyayangiku, meski dalam hatiku masih terganjal ‘keraguan’ tentang hubungan gelap kami ini. Masih ada keyakinan kalau laki-laki itu, suatu saat nanti, akan benar-benar meninggalkanku.

“Ya pasti lah, Ka ... Pacarmu itu pasti akan berubah ... Pasti kamu akan ditinggalin ... Mungkin dia insyaf, bisa juga karena kamu semakin tua dan sudah tidak menarik dan masih banyak alasan lain kalau dia itu akan ninggalin kamu ... Jadi, aku saranin supaya kamu tidak main hati sama dia ... Kalau kata aku sih, gunain dia untuk kepentinganmu saja mumpung masih hot-hotnya ... hi hi hi ...” Jelas sahabatku, Mala. Memang sekarang aku sedang makan siang bersamanya di sebuah cafe dekat kompleks perumahan kami.

“Aku gak tega, La ... Sumpah, dia baik banget ... Rasanya aku gak perlu ngegunain dia, lah dianya sendiri yang selalu ngasih sama aku tanpa diminta ...” Jawabku lalu menyuap makanan ke dalam mulutku.

“Ka ... Aku punya ide ...” Sahut Mala.

“Apa itu?” Tanyaku penasaran.

“Kita bikin usaha .... Modalnya minta dari pacarmu itu ...” Ucap Mala pelan tapi begitu bersemangat.

“Bisnis apa, La ... Aku kurang ngerti berbisnis ...” Responku sambil mengernyitkan kening.

“Kita bikin agency model, gimana?” Ucap Mala seraya memegangi tanganku. Aku tahu kalau Mala dulu pernah mempunyai agency model tetapi gagal.

“Kamu yakin?” Tanyaku ragu.

“Emang, aku pernah gagal ... Tapi itu karena faktor modal ... Sekarang kita punya modal yang unlimited ... Aku jamin akan berhasil ...” Jelasnya.

Perbincanganku dengan Mala berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Awalnya aku menolak niatan dari sahabatku ini, tetapi Mala begitu gigih meminta, membujuk, memohon, bahkan meratap padaku. Lambat laun pemikiranku berubah dengan alasan bahwa aku bisa mandiri yaitu mempunyai penghasilan sendiri sehingga aku tidak perlu lagi menerima pemberian Imran untuk masa yang akan datang. Dan akhirnya aku pun menyetujui usulan sahabatku ini.

Tak perlu menunggu hari esok, aku pun mengutarakan niatanku ini pada Imran. Sudah bisa dipastikan, Imran menyetujuinya bahkan terlihat sangat antusias. Dia menanggung segala biaya untuk membangun usahaku ini. Beberapa hari berselang, aku dan Imran membeli dua buah ruko di kawasan Timur kota atas nama diriku. Lokasinya sangat strategis dan luas halamannya. Beberapa hari kemudian, aku renovasi ruko itu sehingga representatif untuk dijadikan kantor agency. Tidak lebih dari dua minggu kantorku pun selesai direnovasi dan diisi oleh barang-barang keperluan kantor serta sebuah ruangan pemotretan lengkap dengan segala perangkatnya. Sementara itu, Mala memanggil kembali bekas pegawai-pegawainya dan beberapa bekas modelnya. Dan tanpa kuduga, diantara bekas model di bawah naungan Mala adalah Alvin dan Pram.

Mala yang mempunyai pengalaman tidak sukar untuk memperoleh job. Pekerjaan pertama yang kami dapat adalah dari perusahaan pakaian pria. Sesi pemotretan pun dilakukan dengan model Alvin dan Pram. Mau tidak mau aku teringat kembali dengan ‘kehidupan liarku’ bersama kedua pemuda itu. Aku hanya tersenyum saat mengingatnya dan perlu kuakui bahwa itu sangat menyenangkan.

Hari pun berlalu sesuai alurnya yang tetap dan tidak berubah. Sadar tidak sadar, aku pun kembali dekat dengan Alvin dan Pram. Perlu dimaklumi, karena kami setiap hari selalu bertemu. Hari-hari selanjutnya kedekatan kami diwarnai dengan kelucuan dan kenakalan. Sekat-sekat semakin terkikis dan terpangkas hingga tak jarang kami saling berpelukan, kami tidak merasa risih atas tatapan orang yang melihat keakraban kami di kantor. Perlahan tapi pasti, keinginan untuk mengulang ‘kehidupan liarku’ bersama kedua pemuda itu mulai merayapi hatiku.

Kuakui kalau Alvin dan Pram pandai merayuku. Bodohnya aku terbuai dengan rayuan gombal dari mulut manis mereka. Walau berkesan bercanda namun cukup mampu ‘memporak-porandakan’ hatiku. Belum lagi sentuhan-sentuhan nakal mereka di setiap sesinya begitu indah, ciptakan gemuruh hingga darahku mendidih. Tanpa bisa aku lawan akhirnya aku jatuh pada obsesiku sendiri.

Walau aku mencintai Imran dan masih bersemangat untuk ‘melayaninya’, namun keinginan untuk bersama Alvin dan Pram semakin menjadi-jadi. Entahlah, setan apa yang sedang bersemayam di dalam diriku ini tapi yang jelas aku telah berniat untuk menjalani semua yang ada di dalam benakku. Jahat ya memang jahat namun kejahatanku baru terwujud jika ada orang yang merasa tersakiti. Selama itu bisa kujaga, aku tetap lah menjadi orang baik.

-----ooo-----​

Suatu saat Mala mengajakku untuk melakukan pemotretan di sebuah kota yang terkenal dengan kesejukannya. Pemandangan alam yang indah merupakan tema yang akan dibuat Mala untuk sebuah iklan media cetak. Aku pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini karena Alvin dan Pram merupakan model yang akan menjadi pemeran utama dalam iklan tersebut. Khayalan dan fantasi nakalku langsung muncul dalam benakku. Entah kenapa, gairah seks-ku akhir-akhir ini selalu muncul secara tiba-tiba dan tak terkendali.

Kami pergi ke Kota L dengan menggunakan travel. Selain Alvin dan Pram ada dua lagi model wanita dan tentunya Mala serta kameramen ikut bersama dalam perjalanan ini. Kurang lebih empat jam, akhirnya kami sampai di Kota L yang berhawa sejuk. Kami segera memesan hotel yang bisa dibilang cukup mahal. Maklum, semua sudah diatur oleh Mala. Aku pun tidak mempunyai daya untuk melarang Mala. Untuk kali ini, aku akan bebaskan keinginan Mala apapun yang ia mau selama itu tidak kelewatan. Hotel sudah kami dapati, kamar telah dibagi.

Bagaimana angin sepoi-sepoi masuk tanpa permisi mengisi sejuknya ruangan ini, menambah rasa betahku terhadap kamar yang aku tempati ini. Kubuka koper lalu mengeluarkan alat mandi dan handuk kimonoku. Beberapa saat, aku telepon suamiku dan Alvin hanya sekedar mengabarkan kalau aku sudah sampai di tempat tujuan. Setelah itu, aku berjalan ke kamar mandi.

Kuhidupkan shower dan membasuhi tubuhku dengan air yang terasa dingin. Keletihanku hilang digantikan rasa segar yang memenuhi seluruh tubuh. Kusabuni tubuhku dengan sabun cair, kugosok rata seluruh bagian tubuhku yang ramping dan seksi ini (Bukan GR lho!). Kuusap dan kugosok dengan sabun cair tadi dengan rata, kujongkokkan sedikit tubuhku dan kuangkat sebelah kakiku bergantian dan kukangkangkan di atas bibir bathtub agar memudahkan tanganku menggosok dan membersihkan lipatan selangkanganku. Tanganku yang satu lagi menggosok tubuhku bagian lain, kuelus-elus buah dadaku dengan lembut hingga terus terang menimbulkan rangsangan tersendiri bagiku. Libidoku tiba-tiba datang dan hasratku jadi memuncak, rasanya aku ingin berlama-lama menyabuni tubuhku, mataku yang lentik pun mulai sayu merem melek merasakan nikmatnya usapan tanganku sendiri hingga tanpa kusadari jariku kumasukkan ke dalam bibir vaginaku.

“Bunda .... Bunda ....!” Tiba-tiba terdengar suara laki-laki dari luar kamar mandi. Aku tiba-tiba tersenyum saat aku mengetahui siapa yang memanggilku.

“Bunda lagi mandi ... Tunggu sebentar ...!” Kataku pada Pram.

“Aih ... Bareng dong bunda ...” Canda nakal suara Alvin di sana. Karuan saja aku ingin segera menyelesaikan mandiku dan ingin segera menggoda kedua pemuda itu.

“Tunggu sebentar ... Ini mau selesai ...” Teriakku.

Selesai mandi, kukeringkan badanku dengan handuk yang disediakan hotel dan kukenakan kimonoku. Bentuk kimonoku ini cukup pendek ukurannya. Ujung bawahnya kurang lebih hanya sejengkal saja dari pangkal pahaku, kalau aku membungkuk pasti belahan pantatku akan tersembul keluar, demikian pula bila aku duduk saat mengenakan kimono ini pasti onggokan daging di pangkal pahaku juga akan mudah terlihat, karena memang kimono yang kukenakan ini bukan untuk digunakan di luar, fungsinya hanya bisa digunakan di kamar setelah selesai mandi agar tidak kedinginan saja.

Aku keluar dari kamar mandi yang langsung disambut oleh tatapan gairan dari kedua pemuda itu. Mereka sedang duduk di atas sofa. Aku duduk di pinggiran ranjang yang sengaja memperlihatkan onggokan daging di pangkal pahaku sambil melihat kedua laki laki itu yang tersetrum gairah oleh tingkah lakuku.

“Wuh ... Panas ... Panas ...” Celoteh Pram sambil mengipas-ngipaskan tangannya namun tetap matanya itu tertuju pada selangkanganku.

“Kalau panas ... buka dong bajunya ...” Kataku tanpa malu sedikit pun.

Keduanya serempak berdiri dari duduknya namun Alvin berjalan menuju pintu kamar hotel dan kudengar bunyi kunci pintu. Tak seberapa lama, pakaian mereka sudah tak lagi melekat, menyisakan dua tubuh telanjang lelaki yang tampan-tampan. Tanpa ragu kedua lelaki tersebut mendatangiku dan duduk mengapitku. Dengan kedua telapak tanganku, aku genggam kedua penis mereka dan mulai menggerakan naik turun secara perlahan. Kedua penis pemuda itu mulai bergerak ke arah yang aku inginkan.

“Aku merindukan ini bunda ....” Desah Alvin sambil mulai menyusupkan tangannya ke balik kimonoku. Buah dadaku diremasnya lembut.

“Ya bunda ... Aku sudah lama ingin ngentotin bunda lagi ...” Giliran Pram berkata mendesah dengan kata-kata kasarnya yang khas. Sementara tangannya sudah mengusap-usap pahaku.

“Ya ... Sejak saat ini kita bisa begini lagi ... Tapi ada syaratnya ... Jangan sampai pacar bunda tau ...” Kataku mengajukan persyaratan. Aku berkata demikian karena sesungguhnya Alvin dan Pram mengetahui kalau Imran adalah pacar gelapku.

“Ya bunda ... Ooohhh ...” Sahut Pram langsung melenguh.

Aku hanya tersenyum mendengar lenguhan Pram. Bibir dan lidah Alvin sudah menempel asik mempermainkan kedua putingku setelah melepaskan tali kimonoku dan melepaskan kimono itu dari tubuhku. Tiba-tiba Pram mengelus-elus punggungku dengan elusan menggoda sambil menciumi tengkuk. Aku menggeliat geli diciumi dari depan dan belakang.

“Sssshh... ikh kalian nakal deh...” Desahku sambil pegangan pada benda yang sudah sangat tegang di selangkangan mereka.

Tak tahan dipermainkan kedua laki laki tanpa bisa berbuat banyak, aku pun turun dari pinggir tempat tidur dan jongkok di depan mereka. Alvin mendekatkan kejantanannya ke mukaku, dua penis ada digenggamanku. Kusapukan penis Alvin ke wajahku lalu kujilati sekujur batang hingga ujung bahkan kantong bolanya. Alvin mulai mendesis, dan bertambah keras desisannya saat penisnya memasuki mulutku dan langsung keluar masuk dengan cepatnya. Dipegangnya kepalaku dan dikocoknya mulutku seperti memompa ban sepeda. Meski agak susah karena penisnya cukup besar, kucoba mempermainkan lidah saat penis itu berada di dalam sekalian menyedotnya, desahan bercampur celoteh semakin keras.

Dua penis yang menegang sempurna telah terpampang jelas begitu dekat di wajahku. Aku hentikan kulumanku pada Alvin, kukocok kedua penis yang ada di kedua tanganku. Mempermainkan dua penis sekaligus seperti ini begitu exciting, meski bukan pertama kali aku melakukan, tapi ini adalah rencanaku untuk main bertiga hingga sensasinya begitu berbeda. Aku merasa bak ratu yang sedang dilayani kedua pelayannya.

Bergantian aku mengulum penis Alvin dan Pram, sesekali kedua penis itu bersentuhan di bibirku, bahkan sengaja aku adu kepalanya. Perbedaan ukuran diameter kedua penis itu menambah sensasi tersendiri bagiku, baik saat kuremas maupun saat memasuki mulutku, pasti akan bertambah ketika bergantian memasuki vaginaku, pikirku.

Beberapa menit aku melakukan oral pada mereka, kini giliranku untuk menjadi the real queen. Tanpa melepas kedua penis dari genggamanku, aku berdiri diantara mereka, Pram segera meraih kepalaku dan mencium bibirku, kami saling melumat dan bermain lidah. Aku sudahi ciuman itu lalu aku rebah pasrah di atas ranjang menunggu mereka bersamaan menggumuliku. Suatu sensasi yang luar biasa dicumbu dua laki-laki bersamaan.

Pram kambali menciumi bibirku, menyusuri pipi dan leher dan berhenti di kedua buah dadaku, sementara Alvin mendapat bagian pada paha dan vaginaku. Namun saat Pram mengulum putingku, Alvin bergeser naik dan mengulum puting satunya, aku menjerit kaget dan nikmat mendapat kuluman pada kedua putingku bersamaan.

Meski ini bukan pertama kali, tapi entahlah, kenikmatan selalu berbeda pada setiap event, kuremas remas kedua kepala yang ada di dadaku sambil mendesah lepas. Dan desahanku semakin tak terkendali ketika kedua tangan mereka bersamaan ikut bermain di daerah vagina, antara bermain di klitoris dan mengocok dengan jari tangan, aku benar benar serasa melayang, hanya geliat dan desah napas panjang yang bisa kulakukan.

Kembali mereka berbagi tugas, Pram mengulum kedua putingku bergantian, tak dipedulikannya sisa ludah temannya yang masih basah di putingku. Sementara Alvin dengan lincahnya menyapukan lidah dan bibirnya di vaginaku. Untuk kesekian kalinya aku menggeliat dan menjerit nikmat diperlakukan begitu bernafsu oleh kedua pemuda ini, sulit untuk dibayangkan kenikmatannya ketika dua lidah secara bersamaan menari-nari di puting dan vagina. Aku berharap pertahananku mampu bertahan dari gempuran birahi yang begitu hebat, kalau sampai kebobolan juga berarti perjalananku akan semakin terasa panjang dan terjal.

“Bro ... Gue duluan ya ...” Ucap Alvin yang terlihat memerah mukanya.

“No problem ...” Jawab Pram santai.

Bersamaan dengan itu, Alvin sudah menggeser posisinya bersiap memulai babak pendahuluan. Aku hanya pasrah mengikuti permainan mereka sambil membayangkan penis Alvin itu segera memenuhi vaginaku. Alvin meminta temannya untuk bergeser ke samping. Kemudian Alvin menindih tubuhku, kami berciuman sambil menyapukan penisnya itu ke bibir vaginaku. Kupejamkan mataku saat penisnya mulai menyeruak masuk, terasa penuh sesak. Meski bukan yang terbesar yang pernah kurasakan, tapi dalam sehari ini rasanya penis itu begitu besar seolah tidak muat vaginaku menerimanya.

Kubuka kakiku selebar mungkin saat dia memulai gerakan mengocoknya, hanya beberapa kali kocokan pelan setelah itu berubah menjadi cepat dan keras sambil ditekankan ke pinggulku. Aku mendesah semakin keras, sesekali kulirik Pram yang nonton kami sambil memegangi kejantanannya, terlihat agak kecil tetapi lebih panjang dibanding penis yang sedang berada di vaginaku.

Kocokan Alvin semakin liar, aku tak sempat lagi memperhatikan Pram. Sorot mata Alvin begitu menyala penuh nafsu, tubuhnya menindihku, semakin rapat aku dalam dekapannya, seolah tubuh telanjang kami menyatu dalam ikatan emosi yang sama, saling memberi kenikmatan. Meski terasa begitu nikmat, aku tak mau orgasme duluan, perjalanan masih sangatlah panjang, apalagi masih ada penis lain yang menunggu, tentu cukup memalukan apabila minta istirahat hanya pada putaran pertama.

Mau tak mau, kocokan nikmat dari Alvin membawaku perlahan mendaki puncak kenikmatan, meski aku berusaha menahannya lebih lama. Sebelum terlanjur terlalu jauh, aku mengambil inisiatif, kudorong tubuh Alvin menjauh hingga dia rebah telentang, kunaiki tubuhnya, dengan posisi di atas aku bisa pegang kendali permainan. Tak lama kemudian tubuhku sudah turun naik bergoyang di atas Alvin, penis itu serasa mengaduk-aduk isi vaginaku, namun justru semakin nikmat.

Sambil tetap bergoyang dan mendesah, kupanggil Pram mendekat, sudah saatnya dia gabung, sudah cukup Alvin sendirian menikmatiku. Pram berdiri mendekatiku, kuminta dia berdiri di depanku. Pram berdiri di atas ranjang, kuraih penisnya dan kumasukkan ke mulutku. Dua penis mengisi lubang tubuhku bersamaan, atas dan bawah. Kembali kurasakan sensasi yang berlebihan menghadapi keadaan ini. Kenikmatan yang kurasakan sungguh jauh dari apa yang kubayangkan, aku kewalahan dibuatnya. Seringkali hanya terdiam menerima kocokan nikmat dari mereka di atas dan di bawah.

Mulanya agak kerepotan juga aku mengatur gerakanku meng-handle dua penis sekaligus, apalagi kedua penis itu bergerak cukup liar di lubangnya masing-masing. Perlahan aku bisa menguasai gejolak emosi dan gerakanku. Aku mulai bisa mengimbangi kocokan-kocokan itu, bahkan aku semakin berani aktif bergoyang pantat dan kepala. Kami semua saling bergoyang dengan irama permainan yang sama, tiga gerakan berpadu menjadi suatu sensasi dan kenikmatan yang sangat tinggi. Tak ada desahan dari mulutku kecuali dengus napas kenikmatan yang keluar dari hidung, hanya desisan mereka berdua yang terdengar bersahutan. Remasan-remasan Pram pada buah dadaku semakin membawaku terbang tinggi.

“Gantian ...” Pinta Alvin setelah kami bertiga bercinta lebih dari 10 menit.

Pram memintaku dogie. Aku merasa ada yang kurang ketika penis Pram memasuki liang vaginaku, begitu beda dengan penis Alvin yang gede. Pergantian penis yang begitu cepat, hanya dalam hitungan detik, tentu belum bisa membuat vaginaku berkontraksi menyesuaikan besarnya penis Pram, serasa begitu longgar saat dia mulai mengocok, aku yakin dia juga merasakan hal yang sama, tapi aku tak berani menanyakannya.

Alvin mengambil posisi di depanku, bersandar pada sandaran ranjang, penis menantang tegak di hadapanku, siap mengisi mulutku. Dari belakang Pram sudah mulai mengocok dengan tempo tinggi, menyodokku dengan keras hingga sesekali penis Alvin terlempar keluar. Pram tak mau kalah, dipegangnya pinggulku dan ditekankan lebih dalam ke selangkangannya, aku benar-benar dalam tekanan kuat dari dua pemuda itu, namun semakin nikmat rasanya.

Cukup lama kami bercinta dengan posisi dogie seperti ini. Kuperkirakan sudah lebih 15 menit kami memacu adrenalin. Pram tak mau menuruti ketika Alvin minta bertukar posisi, “Tanggung” katanya tanpa menurunkan temponya. Dan benar saja, hanya berselang dua menit kemudian kurasakan penisnya membesar disusul denyutan kuat melanda dinding-dinding vaginaku. Dia menjerit histeris, aku menghentikan kulumanku untuk menikmati denyutan demi denyutan darinya.

Alvin bergeser ke belakangku, hanya sedetik setelah penis Pram dicabut keluar, liang vaginaku sudah kembali terisi penis Alvin yang besar itu, terasa perbedaan yang sangat menyolok dan serasa begitu penuh. Aku mendesah terkaget akan perbedaan yang begitu mendadak. Pram yang sudah kehabisan napas menyodorkan penisnya ke mukaku. Sambil merasakan nikmat sodokan Alvin dari belakang, kumasukkan penis Pram ke mulut, aroma sperma begitu kuat tercium.

Penis Alvin sangat kuat dan keras menghunjam vaginaku, ditariknya rambutku ke belakang hingga penis temannya tercabut dari mulutku. Seperti menunggang kuda betina, dia mempermainkan gerakannya sambil meremas-remas buah dadaku yang menggantung berayun bebas.

Beberapa menit berlalu, mungkin total sudah lebih 40 menit kami bercinta bertiga, tapi tak tanda tanda puncak kenikmatan dari Alvin, apalagi Alvin pintar mengatur irama permainan, seringkali dia menghentikan gerakannya menahan supaya tidak orgasme. Perlu kuakui kalau Alvin lebih pintar daripada Pram dalam hal bersenggama. Namun ada juga kelebihan yang dimiliki Pram yaitu penisnya cepat ‘on’ kembali walau telah mendapatkan klimaks.

Aku yang lelah menungging akhirnya terlentang. Kini Pram sudah ‘menunggangiku’. Aku merasakan panjangnya penis Pram. Begitu penis itu sudah masuk semua di dalam lubang kenikmatanku aku merasakan nikmat yang luar biasa. Penis itu begitu keras dan panjang, sampai-sampai menyentuh rahimku. Kemudian penis itu mulai digenjot perlahan-lahan sampai aku mengerang-ngerang menahan nikmat yang aku rasakan. Remasan-remasan di bongkahan buah dadaku juga menyebabkan aku jadi lebih nikmat. Kurang lebih sepuluh menit berselang, Pram mencabut penisnya dari vaginaku. Kini Alvin yang menggantikan posisi Pram. Hujaman penisnya di vaginaku menimbulkan suara becek yang begitu merdu, aku sangat senang mendengarnya. Sungguh, sensasi yang tak terlukiskan. Kurang lebih sepuluh menit kemudian, Alvin menyudahi genjotannya dan digantikan Pram.

Begitulah, secara bergantian mereka ‘menggagahiku’. Entah sudah berapa kali mereka bergantian. Aku sudah tak mampu lagi berhitung karena nikmatnya aktivitas ini. Sedangkan aku sendiri yang disetubuhi dua orang bersamaan dan bergantian secara terus-menerus, tak dapat disangkal lagi, berulang kali kuraih ‘orgasme kecil’, meskipun puncak dari kenikmatan itu belum juga kuraih, karena sengaja.

Namun demikian, pertahananku tak bisa bertahan lebih lama lagi. Akhirnya tanpa bisa dicegah meledaklah segala emosi dan gairah yang terpendam. Aku menjerit histeris hampir menggigit penis Pram yang ada di mulutku kalau tidak segera kukeluarkan. Kubenamkan wajahku di selangkangan Pram saat vaginaku berdenyut hebat merasakan orgasme yang tertahan sedari tadi. Mengetahui aku sedang orgasme, Alvin justru semakin mempercepat gerakannya. Aku semakin teriak histeris tetapi dia tidak peduli, dihentakkannya tubuhnya lebih keras ke arah tubuhku, tak tahu lagi rasanya antara nikmat dan geli. Kenikmatan ini sungguh dahsyat dan luar biasa. Kucengkeram lengan Pram kuat-kuat.

Tubuhku langsung melemas seiring hilangnya denyutan di vaginaku, tapi Alvin masih tetap mengocokku dan itu masih berlangsung beberapa menit kemudian sebelum dia menyusulku menggapai puncak kenikmatan. Denyutan penisnya begitu kuat menghantam dinding-dinding vaginaku membuat aku kembali menjerit. Inilah salah satu kenikmatan bercinta saat merasakan penis di vagina membesar dan berdenyut, apalagi bila disusul dengan semburan hangatnya sperma membasahi vagina.

Alvin mencabut penisnya. Aku terkapar telentang diantara kedua pemuda yang telah menyetubuhiku berbarengan. Tak kusangka Pram yang sudah recovery kembali bersiap menindihku. Vaginaku masih terasa tebal dan panas karena kocokan Alvin tapi aku ingin menunjukkan bahwa aku bisa menangani kedua pemuda ini, timbul egoku untuk merasa lebih hebat dari mereka.

Kubuka kakiku bersiap menerima penis Pram, dia mengganjal pantatku dengan bantal hingga menantang ke atas dan dengan sekali sodok masuklah penis itu ke vagina. Dua penis bergantian mengisi vaginaku dalam hitungan detik, terasa sekali perbedaannya, baik rasa, ukuran dan irama kocokannya, mungkin kalau mataku ditutup aku bisa membedakan siapa yang sedang menyetubuhiku.

Alvin masih telentang dengan napas menderu sambil tangannya meremas erat tanganku ketika temannya mulai mengocokku dengan cepatnya. Seperti sebelumnya Pram tidak bisa terlalu lama bertahan, tak sampai tujuh menit kemudian dia sudah menggapai puncak kenikmatannya mungkin sensasinya terlalu berlebihan hingga dia begitu cepat menyudahi permainan.

Kami sama-sama telentang dengan napas dan degup jantung yang berdetak kencang, tubuh telanjangku dijepit kedua tubuh telanjang mereka. Ini sangat nikmat, bahkan aku sulit berfikir jernih karenanya. Bercinta bertiga telanjur membuatku ketagihan dan mengubah otak merasa selalu butuh. Bukan tanpa alasan, bercinta bertiga ternyata dapat membuatku ketagihan secara disadari atau pun tidak. Bercinta bertiga memberikan suatu sensasi kenikmatan tersendiri dan juga kenyamanan kepadaku.

“Tante hebat dan menggairahkan ....” Kata Alvin memecah keheningan. Aku diam saja, napasku belum normal dan vaginaku masih terasa berdenyut panas karena gesekan kedua penis mereka.

“Sepertinya dua orang nggak berat, mungkin perlu tambah orang lagi nih ...” Canda Pram.

“Kalian edan ... Dua aja udah ngos-ngosan ... Nih liat, memek bunda masih panas.” Potongku sambil mencubit hidung Pram.

“Tapi mau kan?” Desak Pram.

Aku hanya tersipu malu. Entah karena masih terbawa suasana yang begitu liar atau karena aku memang ingin mencoba ‘something new’ atau perlu petualangan baru yang tak umum atau memang aku menikmati dikeroyok rame-rame seperti ini atau juga karena tingginya sensasi yang kudapatkan saat penis-penis yang berbeda bergantian mengisi vaginaku. Sebenarnya aku tidak menolak kalau tambah seorang lagi, tapi tentu saja aku malu mengatakannya. Tanpa menjawab kutinggalkan mereka ke kamar mandi, membersihkan tubuhku dari keringat dan sisa sperma yang belepotan di selangkanganku. Aku mandi untuk kedua kalinya hari ini.

“Apa itu berarti iya, bunda?” Teriak Pram dari luar kamar mandi.

“Tau ah ....!” Teriakku sambil meneruskan mandiku.

-----ooo-----​

Aku menatap keluar jendela hotel, langit biru kini telah ditutupi awan yang hitam lebat. Sebentar lagi mungkin akan hujan deras. Aku sudah sangat lama menunggu Alvin dan Pram yang sedang melakukan sesi pemotretan. Merasa jenuh di kamar hotel sendirian seperti ini, aku pun akhirnya keluar dari kamar untuk sekedar mencari suasana baru. Aku berjalan menyusuri koridor dan turun menggunakan lift hingga sampai di lobby hotel.

DEEUUGG!!!

Jantungku seperti mau copot saat melihat sorot matanya. Hatiku seakan diremas dan wajahku seakan ditampar dengan keras saat seorang laki-laki berjalan sedikit tergesa-gesa sedang menghampiriku. Ini benar-benar kejadian yang sangat tidak aku harapkan. Aku ingin sekali menghindar tetapi kakiku terasa kaku tak bisa digerakkan.

“Mbak ... Mbak Eka ...” Laki-laki itu menyapaku dengan raut wajah yang terkejut.

“Fer ... Ferdy ...” Kataku sangat pelan.

“Akhirnya aku bisa menemuimu, Mbak ...” Katanya sambil melangkah satu langkah mendekatiku. Namun aku mundur satu langkah ke belakang. Aku pasang muka tidak bersahabat padanya. “Kenapa, mbak?” Lanjutnya keheranan.

Aku berlalu dari hadapannya. Aku lewati tubuhnya tanpa bersuara apa pun. Hatiku marah, kesal, berkecamuk ingin berteriak dan menyalahkannya. “Kenapa aku harus bertemu lagi dengan dia?” Makiku dalam hati. Aku percepat langkahku menuju pintu keluar. Aku bahkan tidak memperdulikan nafasku yang terengah-engah. Hal yang aku inginkan adalah segera menjauh dan meninggalkan Ferdy.
end part 4
 
╔╗╔═╦═╗╔╦╦╦══╗
║║║║║║║║║║╠╗╔
║╚╣╦║║╠╝║║║║
╚═╩╩╩╩╩═╩═╝╚ ╝║╝
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd