Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bimabet
Bab IV:
Djevelens Ordre








Turah, Narto, Ratih dan Laras adalah kakak-beradik yang lahir dan tumbuh di desa kecil dekat Kediri, Jawa Timur. Jarak umur antara Turah dan Narto tak terlalu dekat, berselang lima tahun. Saat Narto lahir, Turah kecil bersama teman-temannya sedang menonton para warga yang sibuk membuang mayat orang-orang komunis yang sebelumnya diburu dan dibantai, ke sungai. Turah lalu pulang dan menceritakan kejadian pembantaian tersebut kepada Narto yang masih mengkerut dan berkulit merah.

Tapi jarak umur antara mereka dengan Ratih dan Laras berbeda jauh. Ratih lahir saat tren celana bell-bottoms¹ masuk ke Indonesia. Disusul Laras yang lahir satu setengah tahun setelahnya. Saat itu, sebagai anak sulung, Turah merasa berkewajiban untuk menjaga ketiga adiknya.

Turah yang sudah usia belasan, dilarang sekolah dan dipaksa membantu kedua orangtuanya menggarap sawah. Terjebak dalam pola pikir kolot, orang tua Turah menganggap sekolah hanya buang-buang waktu. Beras tidak datang dengan sendirinya. Kalau waktu setengah hari untuk menggarap sawah dipakai sekolah, sudah berapa kesempatan untuk cari makan yang mereka buang?

Beberapa tahun setelahnya, Narto merasakan nasib yang sama. Ratih dan Laras pun tak luput dari bayang-bayang kerja paksa. Bagi kedua orang tua mereka, anak adalah investasi dan sumber daya tambahan. Tapi karena fisik Narto yang lemah, dia jadi sering sakit-sakitan saat bekerja. Turah kena apesnya. Bagian Narto dilimpahkan padanya. Sejak saat itu, Turah menyimpan dendam tersendiri kepada adiknya itu.

Dibalik fisiknya yang lemah, ternyata Narto punya kelebihan. Narto baru menyadari bahwa dirinya diberi kelebihan dari sisi supranatural, ketika mencari Laras yang hilang di sungai desa mereka. Saat itu, di antara kerumunan warga yang berteriak dan mencari Laras, hanya Narto yang bisa melihat Laras sedang berdiri di tepian sungai bersama dengan seekor buaya putih. Tentu, Narto mengajak Laras pulang, tapi ditolak oleh adik bungsunya. Laras malah berpesan, untuk pergi ke muara sungai. Disana, Laras akan menemuinya.

Tidak dalam keadaan hidup, tentu saja. Laras ditemukan Narto dan beberapa warga yang dia ajak ke muara, dalam kondisi jasadnya sudah membengkak, dan ada lubang besar di ubun-ubun kepalanya. Narto kecil begitu terpukul. Jiwanya terguncang karena merasa gagal melindungi adiknya yang masih balita.

Sejak saat itu, Narto bersumpah akan melindungi orang-orang, baik yang dia kenal maupun tidak, dari gangguan gaib, bahkan yang mengancam nyawa. Di usia muda, Narto sudah menemukan tujuan hidupnya. Tapi apalah artinya bakat tanpa ada guru yang mengarahkan. Narto sadar akan hal ini. Maka, dia pergi ke bukit terpencil di belakang desa hanya untuk menemui seorang dukun yang sengaja mengasingkan diri. Tak lupa, dia titip pesan untuk kedua orang tuanya melalui Ratih.

Entah apa yang terjadi pada Narto selama diasuh dukun tersebut. Saat kembali ke rumah setengah tahun kemudian, Narto tampak lebih dewasa dan berwibawa. Perilakunya berubah drastis. Narto versi turun gunung terlihat lebih tenang dalam menyikapi persoalan. Untaian kata yang keluar dari mulutnya bagai solusi bagi setiap orang yang menceritakan masalah hidup mereka padanya. Tak hanya sampai disitu, Narto juga ternyata bisa mengobati orang. Hanya dengan sapuan tangan pada bagian tubuh yang dikeluhkan, sakitnya pun berangsur-angsur hilang.

Turah yang capek dengan kesehariannya yang cuma menggarap sawah, mulai melirik kesempatan dari bakat baru Narto. Berbekal menyebar info yang dilebih-lebihkan ke desa-desa tetangga, Turah berhasil membuat nama Narto lebih dikenal luas. Lalu, saat lebih banyak warga yang datang untuk berobat, Turah sengaja memasang tarif untuk sekali datang. Pundi-pundi uang dengan mudah terkumpul. Tapi Narto hanya dapat sedikit bagian. Ratih malah cuma dapat recehan. Sebagian besar uangnya, dikelola secara licik oleh Turah dan kedua orang tuanya.

Mereka bertiga menganggap, bahwa Narto dan Ratih masih terlalu kecil untuk memegang uang dengan nominal besar. Lagipula, anggap saja ini balas jasa Narto karena selama ini sudah diberi makan dan tempat tinggal. Begitu pembelaan mereka tiap kali merasa bersalah pada Narto dan Ratih.

Alih-alih uangnya dipakai untuk beli lahan baru dan menyewa penggarap, Narto dan kedua orang tuanya malah memakai uang itu untuk foya-foya. Seminggu sekali, mereka ke kota hanya untuk makan di restoran. Sementara Narto disuruh tetap melayani tamu yang datang, dan Ratih bertugas menyuguhkan minuman.

Narto tahu semua kelakuan kakak dan orang tuanya. Tapi Narto hanya tersenyum. Uang bukanlah tujuan utamanya. Dengan berpikir seperti itu, Narto jadi lebih mudah ikhlas kalau hanya diberi bagian sedikit, padahal dia yang kerja paling banyak. Tapi Ratih tidak seperti Narto. Diam-diam, Ratih menyimpan sifat ambisius dan pendendam. Dalam malam-malam sunyi yang pekat, Ratih kecil yang dikuasai kebencian, selalu mengutuk kakak sulung dan orang tuanya. Kebenciannya begitu mendidih, hingga berhasil mengundang suatu iblis untuk datang menemuinya, pada satu malam.

Entah kesepakatan apa yang dibuat di antara mereka, tapi tak berselang lama, kejadian-kejadian buruk menimpa Turah dan kedua orangtua Ratih. Turah jatuh ke sungai dan hanyut setelah sebelumnya dikejar-kejar warga karena ketahuan mau memperkosa gadis desa tetangga. Tiga hari kemudian, mayat Turah ditemukan dengan kondisi tidak utuh. Hanya dari kepala sampai pinggang. Kemungkinan, mayatnya dimakan binatang buas yang bersarang di hutan.

Seminggu setelahnya, giliran ayah Ratih yang meregang nyawa di dekat hutan bambu. Dia terpeleset kulit pisang saat sedang sibuk membawa barang belanjaan. Di kepala belakangnya menancap bambu runcing yang baru saja dipotong tetangganya dan ditaruh di atas tanah. Mengetahui dua orang terdekatnya meninggal dengan cara tak wajar, ibu Ratih pun panik. Dia menduga, kali ini adalah gilirannya. Sejak hari itu, tak ada satu hari pun yang dia lewati tanpa memendam ketakutan.

Dua hari berselang, ajal memang menjemputnya. Ibu Ratih diperkosa beramai-ramai oleh sekumpulan pemuda mabuk di sebuah gubuk di pinggir desa. Karena selalu memberontak dan berisik, salah seorang pelaku membekap mulut ibu Ratih hingga dia tak bisa bernapas. Dia pun meregang nyawa saat sedang diperkosa, dan parahnya, tidak ada seorang pun dari kumpulan pelaku yang sadar. Mereka terlalu mabuk untuk membedakan orang mati dan yang sedang tidur. Sampai jadi mayat pun, ibu Ratih tetap dieksploitasi tubuhnya.

Kematian-kematian tak wajar yang terjadi pada anggota keluarga Narto dan Ratih, membuat warga berspekulasi. Mereka menyimpulkan bahwa keluarga Narto dan Ratih dikutuk. Takut kutukannya meluas dan mereka jadi korban, para warga mengusir Narto dan Ratih dari desa mereka. Tanpa baju ganti, tanpa bekal makan. Hanya celengan dari kaleng bekas yang sempat Narto ambil.

Untungnya, Narto mengumpulkan uang yang diberikan Turah ke dalam celengan. Uangnya cukup untuk ongkos mereka berdua naik kereta. Maka, Narto mengajak Ratih untuk merantau. Narto memutuskan akan mengadu nasibnya di Ibukota.

Saat menginjakkan kaki di Jakarta, kemujuran-kemujuran datang seperti sedang antre ke mereka. Narto dimasukkan kerja oleh seorang bapak yang jadi teman mengobrolnya di kereta. Narto dan Ratih bahkan diangkat anak olehnya. Karena punya uang dari hasil kerja, Narto jadi bisa menyekolahkan Ratih. Biarlah dirinya tak sekolah, Narto menganggap umurnya sudah terlambat untuk mulai belajar di kelas. Sebagai ganti disekolahkan, Ratih mengajari Narto hitung, tulis dan baca. Biarlah Narto bercukup diri dengan hal itu, pikirnya.

Hingga Ratih semakin dewasa, dan Narto semakin menua, dirinya tidak pernah mengambil kesempatan untuk sekolah. Di sisi lain, Ratih enggan berpuas diri dengan prestasi-prestasi akademik yang dia raih saat sekolah. Dia pun melanjutkan jenjang pendidikan ke bangku kuliah. Dja bahkan berani mengambil jurusan fakultas hukum, yang pada saat itu didominasi oleh laki-laki.

Ratih pun semakin berjaya. Lulus kuliah, dia magang di firma terkenal di Ibukota. Disela-sela kegiatannya sebagai pengacara muda, Ratih juga melanjutkan pendidikan ke strata dua. Karirnya semakin menjulang. Jasanya banyak dipakai oleh orang-orang kaya. Ratih tidak peduli, klien yang dibelanya bersalah atau tidak. Selama mereka bisa menambah angka di saldo rekeningnya, kenapa ditolak? Ratih bahkan mulai berani memilih-milih calon kliennya. Hanya orang-orang kaya, berpengaruh atau punya koneksi luas yang masuk kriteria.

Hingga akhirnya, Ratih bertemu Abisma sebagai pengacara dan klien pada suatu kasus sabotase lahan warga setempat. Ratih tahu, bahwa Abisma memang bersalah. Tapi Ratih menggunakan cara-cara licik dan koneksi untuk melenyapkan bukti dan mengintimidasi warga di balik layar, dan piawai bercakap di persidangan. Abisma jatuh cinta pada cara Ratih memanipulasi dan mendominasi keadaan sesuai keinginannya. Abisma yakin, Ratih adalah pasangan yang tepat.

Mereka pun menikah, lalu tak berjeda lama lahirlah Kalia. Kehidupan rumah tangga mereka harmonis, sampai Ratih menyadari kalau dirinya hamil lagi. Setelah itu, masalah demi masalah datang silih berganti. Ratih merasa bahwa kehamilan keduanya adalah pemicunya. Kebencian itu timbul dan mengakar kuat. Terpupuk dengan perlahan, namun dengan tempo yang konstan. Pikir Ratih, dengan melenyapkan bayi yang dikandungnya, masalah yang selama ini timbul akan hilang.

Tapi bayi itu bertahan, hingga menjadi seseorang bernama Rea. Tak ada satu hari pun hari yang Ratih lewati tanpa mengutuk anak keduanya. Ratih bahkan tidak merasakan ada hubungan batin antara dirinya dengan Rea, selain kebencian yang sudah mendarah daging. Maka, Ratih selalu melampiaskannya dengan cara menyiksa Rea.

Tentu saja, Ratih tidak lupa dengan iblis yang pernah mendatanginya dulu saat dia kecil. Dia pernah meminta kepada sang iblis untuk membunuh Rea, tapi tak pernah disanggupi. Iblis itu bilang, bahwa dia tidak bisa membunuh seseorang yang pernah mati. Entah apa maksudnya, tapi Ratih sepakat bahwa Rea tidak bisa dibunuh.

Ratih pernah beberapa kali melakukan percobaan pembunuhan terhadap Rea, yang anehnya, selalu gagal. Dia pernah memberi racun ke dalam makanan Rea, lalu mengunci kamar dan membiarkan Rea meregang nyawa. Tapi Rea hanya demam dan sakit perut selama beberapa hari. Ratih juga pernah kalap ingin menusuk Rea, tapi tiba-tiba dia terpeleset dan pisaunya justru menggores tangannya. Ratih menduga, segala upaya dengan niatan membunuh tidak akan berhasil kepada Rea.

Maka, Ratih mengubah niatnya. Ratih memilih menyiksa Rea, pelan-pelan. Bertahun-tahun. Baik fisik maupun batin. Ratih berharap, Rea akan depresi dan bunuh diri. Dengan begitu, tangannya tidak akan terkotori oleh darah Rea.

Tapi semakin lama, justru Ratih yang makin depresi. Bertahun-tahun upaya siksaannya tidak membuahkan hasil. Terjebak dalam putus asa, Ratih memilih mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri pada suatu malam. Tepat di dalam kamar anak keduanya, saat ulang tahun Rea yang kesembilan belas. Saat Rea bangun keesokan paginya, Rea hanya bisa duduk kaku di atas ranjang, seraya memandangi tubuh terayun pelan ibunya yang bergantung pada tali yang diikatkan ke plafon. Jarak antara wajah Rea dan kedua kaki Ratih bahkan tak lebih dari setengah meter.

Narto, yang sudah lama menjabat sebagai tukang kebun keluarga Abisma, adalah yang pertama curiga bahwa Ratih punya perjanjian dengan iblis. Saat sedang membereskan barang-barang peninggalan Ratih, Narto tidak sengaja menemukan sebuah lilin hitam dan secarik kertas bertuliskan mantra yang tidak bisa dia baca. Tapi Narto merasakan ada hawa aneh yang gelap dan pekat, keluar dari lilin dan kertas tersebut.

Narto kemudian menghubungkan benda-benda temuannya dengan kejadian hilangnya pembantu-pembantu yang sempat bekerja di rumah itu. Tiap ditanya, Ratih selalu berkilah kalau pembantu di rumahnya pulang kampung dan tidak kembali karena tidak betah. Narto tidak serta merta percaya. Dia berhasil menghubungi kerabat dari salah satu mantan pembantu Ratih yang 'katanya' pulang kampung. Tidak, menurut kerabatnya, pembantunya tidak pernah sampai ke kampung. Lalu Narto berasumsi, bahwa pembantu-pembantu lain menghadapi nasib yang sama.

Tapi dengan meninggalnya Ratih, Narto jadi lega. Perjanjian antara Ratih dengan sang iblis pun berakhir. Keponakannya akhirnya bisa menikmati hidup, begitu pikirnya. Tapi dugaannya salah, karena Ratih berubah jadi arwah penasaran yang selalu menghantui Rea. Teror Ratih bahkan tak kenal waktu. Rea yang saat itu mulai terbuka mata batinnya, bisa melihat Ratih kapan saja. Ratih juga jadi tak perlu repot-repot membuang energi untuk menampakkan diri. Karena kini, mereka berdua bisa saling melihat satu sama lain, meski beda dimensi.

Karena dirasa gangguan itu tak akan berakhir, akhirnya, Narto mengajak Rea untuk tinggal di rumahnya. Usia Rea mau masuk ke fase dua puluh saat itu. Dugaan Narto benar, Ratih terjebak di rumah itu. Dia tidak bisa mengikuti Rea ke tempat tinggal Narto. Lagipula, ada alasan lain selain demi menyelamatkan Rea. Narto dan Ningsih sudah menganggap Rea sebagai anak sendiri. Pasti menyenangkan kalau ada anak di rumah mereka, pikir Narto saat itu.

Sekarang, Narto tampaknya sedang berpikir ulang tentang upayanya mengajak Rea tinggal di rumahnya. Karena sepertinya, Rea adalah penyebab utama kenapa Ningsih dicabik-cabik dan dipotong tubuhnya saat ini. Narto hanya bisa duduk diam di kursi kayu, saat melihat sesosok iblis sedang menindih Ningsih dan menggorok lehernya. Iblis itu berperawakan tinggi-besar namun berpostur bungkuk, berkepala kecil dengan wajah bayi—yang bagian keningnya terbelah secara vertikal dan muncul sebuah mata besar di tengahnya, lengan dan kaki yang panjang dengan bulu-bulu halus di sekujur permukaan kulitnya, serta kuku-kuku panjang yang berbentuk seperti gergaji. Kuku-kuku itu yang digunakan sang iblis untuk menggorok leher Ningsih, setelah sebelumnya menusuk perutnya dan mengeluarkan ususnya, memotong kedua tangannya menjadi bagian-bagian kecil, serta merobek kedua buah dadanya dan mengiris-iris tulang rusuknya.

Iblis itu punya kekuatan yang aneh. Dia bisa membuat Ningsih tetap hidup, meski kehilangan banyak darah dan organ-organ tubuhnya banyak yang rusak. Maka, Ningsih sedang merasakan sakit luar biasa di sekujur tubuhnya saat iblis itu menyiksanya. Sementara Narto, dibuat diam tak berdaya. Hanya air mata dari kedua mata dan air kencing yang membasahi celana, yang mengalir darinya.

“Dan... selesai.” Iblis itu menjambak rambut beruban Ningsih, mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. Lalu memamerkannya kepada Narto. “Dia masih kubiarkan hidup sampai aku menghendakinya mati. Ada kalimat perpisahan?”

Narto ingin berteriak, melepaskan perih hati yang berkumpul di dadanya. Tapi hanya sunyi yang keluar dari mulut tanpa suara. Di depannya, Ningsih sedang menatapnya dengan ekspresi kesakitan yang teramat sangat. Air mata mengalir dari kedua pelupuk matanya, kemudian bercampur dengan darah yang berlumuran di kedua sisi pipinya.

“Ratih menumbalkan dirinya sendiri sebagai syarat bagiku untuk membunuhmu, Narto. Dia percaya, kalau kau adalah alasan utama kenapa dia tidak bisa membunuh anaknya. Di pikirannya, kau melindungi anak itu dengan kekuatanmu. Heheh,” iblis itu terkekeh geli, “dia pikir kau itu manusia paling sakti sejagad raya.”

Narto, masih terdiam dalam duduknya. Dia masih mencoba bergerak, tapi seperti ada kekuatan tak kasat mata yang mencengkeram tubuhnya dengan kuat.

“Kau juga sombong, Narto. Baru bisa sedikit, lagaknya seperti yang paling jago. Kau tidak sekuat itu. Kalau kau kuat, kau sudah bisa menolong istrimu dari tadi.”

Lalu, sang iblis melemparkan kepala Ningsih ke sofa ruang tamu. Darah bercipratan dari lehernya, mengenai lantai, meja, dan benda-benda lain. Iblis itu lalu mendekati Narto. Dia menempelkan kedua tangan besarnya ke wajah pucat pasi Narto.

“Siapa nama keponakanmu yang satu lagi? Ah, Kalia. Gadis tolol itu mengira bisa melakukan ritual pemanggilan iblis. Padahal dia tak tahu, bahwa ibunya adalah iblis itu sendiri. Sekarang, Ratih mendapat energi tak terbatas dari energi negatif yang berkumpul dari sekitar rumahnya. Niat awal ingin menggunakan bantuan iblis untuk mengusir ibunya, justru malah memberi makan ibunya sendiri. Aku bingung kenapa kalian para manusia ini bodohnya tak tertolong.”

Lalu, kedua tangan iblis itu mulai mengencang. Dia mencengkeram kepala Narto. “Berbeda dari istrimu yang kematiannya perih dan tersiksa, kematianmu akan kubuat cepat. Ironis, kan? Pasti rasanya tak karuan, ya kan? Pasti kau sedang protes dalam pikiranmu, kenapa bukan kau saja yang kematiannya tersiksa. Kehkeh,” iblis itu tertawa mengejek, “silahkan bergentayangan dalam penuh rasa penyesalan, Narto.”

Memori-memori yang terkumpul di otaknya otomatis terputar. Narto bisa melihat kenangan seluruh perjalanan hidupnya, terputar dalam kecepatan tinggi. Kecepatannya melambat, saat satu ingatan terputar. Narto sedang berada di pelaminan, bersama Ningsih di sampingnya. Bukan resepsi yang mewah, tapi saat itu Narto begitu bahagia.

Jika Narto diberi kesempatan memilih, dia akan memilih hidup istrinya daripada Rea. Jika dia tahu dari awal harga yang harus dibayar untuk menyelamatkan Rea adalah nyawa dirinya dan istrinya, niscaya Narto akan membiarkan Rea mati. Tapi semua sudah terlambat. Narto, sedang berada di ambang kematian.

Dalam satu hentakan, iblis itu memutar kepala Narto ke belakang. Lehernya patah. Narto mati seketika. Iblis itu kemudian melepas belenggu kekuatannya pada jiwa Ningsih, membuat Ningsih yang sebelumnya masih sadar dan menyaksikan kematian Narto, juga meregang nyawa.

“Kontrak telah dipenuhi, Ratih. Sekarang tinggal kau mengurus urusan keluarga intimu sendiri,” ucapnya sambil terkekeh.

Iblis itu pun menghilang, setelah memasuki sudut ruangan yang paling gelap. Rumah itu kembali sunyi. Hanya terdengar suara daun-daun kering yang bergesekan dengan tanah karena tertiup angin, di halaman.

Tak lama, Rea pun datang, lalu berhenti di depan rumah. Untuk beberapa saat, dia mematung, memandangi rumah pamannya yang kini gelap gulita. Setelah memarkirkan motor dan mengunci stangnya, Rea mendorong pagar. Dengan penuh kewaspadaan tinggi, dia masuk perlahan ke dalam.











Bersambung.



Catatan Kaki:

Bell-bottoms merupakan salah satu model celana yang desainnya melebar dari lutut ke bawah. Di Indonesia, celana ini lebih dikenal dengan nama cutbray, dan sempat jadi tren pada era '70-an.¹
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd