Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANTARA CINTA DAN NAFSU

Bagian 10

Ana berdiri di samping tempat tidur Alex, memperhatikan dokter Hari yang tengah memeriksa kondisi Alex. Pagi ini saat Ana memeriksa keadaannya, Alex mengeluhkan sakit pada perutnya sejak semalam. Tidak ada kelainan apapun pada bekas luka operasinya, sehingga Ana memutuskan untuk memanggil dokter Penyakit Dalam Alex untuk memeriksa lebih lanjut kondisinya.
"Bagaimana Dok?" tanya Ana setelah Dokter Hari selesai memeriksa keadaan Alex.
"Tanda khas Leukemia salah satunya adalah rasa tidak nyaman di perut menyerupai maag," ujar dokter Hari. Ana memejamkan matanya sekilas. Ia tidak ingin Alex melihat kecemasan dalam dirinya. Setelah demam, kini nyeri abdomen. Kondisi Alex lebih buruk dari yang ia perkirakan.
"Saya akan memastikan dulu dengan cek darah kembali. Setelah ada hasilnya nanti, akan kita analisa ulang kembali kondisi pasien."
Dokter Hari menulis sesuatu di Rekam Medis Alex, menyerahkannya kepada perawat dan tersenyum pada Ana.
"Terimakasih dokter Hari" ujar Ana sebelum sejawatnya itu meninggalkan ruangan.
"Buruk ya ...?" tanya Alex, melihat Ana yang duduk di sampingnya sambil menekan nekan keningnya. "Kamu pucat An .. apa kamu baik baik saja?"
"Harusnya aku yang bertanya begitu padamu" ujar Ana seraya bangkit, meraih piring makan Alex yang masih penuh terisi. "Waktunya makan siang. Dengan obat obatan yang harus kamu minum, kamu tidak boleh telat makan agar tidak terjadi sesuatu yang buruk pula pada lambungmu, Lex."
Ana menyendok sedikit demi sedikit nasi dan menyuapkannya pada Alex.
"Aku hanya kuatir padamu" ujar Alex sambil mengunyah nasi dari sendok yang disodorkan Ana. "Kalau sampai ada apa apa denganmu, siapa yang mau menggantikanmu merawatku, pasien yang susah diatur ini"
Ana tersenyum kecil. Alex sama sekali tidak membahas perkataanya kemarin. Ana juga tidak ingin membahasnya. Saat ini ia lebih mengkuatirkan hasil pemeriksaan lab Alex yang akan disampaikan oleh dokter Hari.

"Kenapa kamu baru datang sesiang ini An?" tanya Alex.
"Masih mencoba mengorek informasi tentang kondisiku?" tanya Ana dengan nada menyindir. Alex tertawa. Dengan isyarat tangannya ia menyudahi suapan makan siangnya dari Ana. "Pasienku tidak hanya kamu Lex .. aku punya pasien lain yang juga harus aku visit dan monitor keadaannya. Sama sepertimu."
Ana meletakkan piring makan Alex kembali keatas meja dan menyodorkan segelas air putih pada Alex. Alex meneguknya lewat sebuah sedotan yang ada di dalam gelas perlahan.
"Tapi tentunya aku yang paling istimewa" Alex melemparkan senyumnya pada Ana.
"Ya, tentu ..." jawab Ana. "Karena kamu keras kepala ... Tidak seperti pasien lainnya yang menuruti instruksiku dengan baik."
Alex tertawa tertahan, seraya memegangi perutnya yang masih terasa tidak nyaman. Ana berbalik akan meninggalkan Alex saat Alex memanggilnya kembali.
"An ..." seru Alex. Ana menoleh "Beri aku waktu ..."
Ana mengernyitkan keningnya dan kembali menghampiri Alex.
"Waktu untuk apa?" tanya Ana pelan. "Waktu untuk memikirkan apakah kamu akan menjalani perawatan atau tidak? Alex, kamu tidak punya banyak waktu. Kondisimu semakin hari akan semakin memburuk tanpa terapi yang tepat dan gaya hidup tidak disiplin seperti ini."
Alex memandang langit langit, seolah sedang memikirkan sesuatu.
"Melihatmu menahan sakit, melihat penderitaanmu, adalah hal yang paling menyiksaku" sambung Ana. "Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan ..."
Ana tidak melanjutkan kata katanya. Tenggorokannya terasa tercekat. Sebagai seorang dokter berpengalaman, ia sangat mengetahui apa yang akan dihadapi Alex selanjutnya. Ana menundukkan kepalanya menahan tangis.
"Kalau kamu tidak bisa bertahan ... bagaimana mungkin kamu akan mendampingi aku sebagai seorang isteri?" tanya Alex lirih. Ana mendongak, menatap Alex dengan mata berkaca kaca.
"Aku tahu .. Ayahku memintamu untuk mendampingiku .. An, duduklah ..." pinta Alex kepada Ana dengan suara beratnya. Ana menenangkan debar jantungnya, duduk di tepi tempat tidur Alex.
"Papa .. tadi pagi pagi sekali ia datang menjengukku, dan menceritakan semuanya padaku." ujar Alex "Aku mengerti kekuatirannya. Tapi ini tidak adil untukmu An .."
Alex menarik selimutnya, terlihat sedikit gelisah.
"Mungkin kamu sudah memiliki rencana untuk masa depanmu dengan seseorang yang lain .. aku tidak tahu" lanjut Alex. "Dan aku juga tidak mau kamu mengabulkan permintaan Ayah hanya karena iba padaku .. kamu tidak memiliki tanggung jawab apapun atas diriku An .."
"Aku mungkin tidak punya waktu banyak untuk hidup bersamamu dan aku tahu semua akan tidak mudah untuk dijalani" lanjut Alex. "Aku hanya ingin kamu bahagia .. aku tidak pernah bermimpi seorang wanita sepertimu mau melewati hidup yang sulit bersamaku .. "
"Aku memang tidak secantik dan sepopuler Eveline, calon isterimu .. aku tahu itu .." ujar Ana. Sebutir air mata mengalir di pipinya. "Dan tentu saja aku .. punya rencana dan harapan untuk masa depanku .. tapi terkadang, hati bisa merubah segalanya. Bukan hanya aku yang harus mempersiapkan diri untuk hidup bersamamu, Lex .. tapi kamu juga .. hidup, cita cita dan masa depanmu mungkin akan sangat berbeda setelah ini."
Alex mengangguk kecil.
"Aku melamarmu ..." ujar Ana, ditengah air matanya yang semakin deras. "Jawablah sesuai dengan kata hatimu ..."
"Aku perlu waktu .. bukan untuk memikirkan lamaranmu karena itu sudah kulakukan sepanjang malam ..." ujar Alex. "Tapi aku perlu waktu untuk .. menyampaikan pada Eveline bahwa aku .. memilih untuk hidup bersamamu."
Ana menatap Alex dengan hati yang berkecamuk. Tidak ada kata apapun yang mampu ia ucapkan selain derai air mata yang tak kunjung henti. Ia melihat Alex tersenyum padanya, dan meraih tangannya dengan lembut, suatu hal yang belum pernah Ana rasakan sebelumnya.
"Maukah kamu mendampingiku dalam suka dan duka, An ..." tanya Alex pelan. Ana hanya mengangguk dan tersenyum saat Alex mengecup lembut punggung tangannya.

Ana mendorong kursi roda Alex memasuki ruang Radiologi.
Dibelakangnya dua orang perawat membawa berkas Rekam Medis mengikuti mereka. Pagi ini dokter Hari menginginkan Alex melakukan pemeriksaan USG untuk melihat keadaan Heparnya yang menurut hasil lab sedikit mengalami pembengkakan.
Saat melewati selasar, mereka berpapasan dengan Dewo yang tengah berjalan cepat berlawanan Arah.
"Selamat pagi dokter Ana .." sapa Dewo seraya tersenyum. Ana menghentikan langkahnya dan menyambut uluran tangan Dewo. "Mengantar pasien? Kemana? Mengapa kamu sendiri yang mendorong kursi roda pasien?"
Dewo menatap Ana dan Alex bergantian, merasa heran karena seorang dokter tidak biasanya mengantar sendiri pasiennya untuk melakukan konsul ataupun pemeriksaan. Dokter hanya memberikan instruksi dan perawat yang akan melakukannya.
Ana tersenyum canggung. "Ya .. ke Radiologi .. Alex .. ehm .. maksudku pasienku harus dilakukan USG atas rujukan dokter Hari."
Ana melirik Alex yang menatap Dewo dengan pandangan tajam.
"Ooh .. ini .. bukankah pasien yang saat aku berada di rumahmu ... kita ..." ujar Dewo memastikan, yang segera di potong oleh perkataan Ana.
"Ya." ujar Ana cepat "Tuan Alex."
Diluar dugaan, Alex mengulurkan tangannya kepada Dewo mengajaknya bersalaman. Dewo meraih tangan Alex, dan Alex menyebutkan namanya.
"Alex .. calon suami dokter Ana."
Dewo terperanjat. Begitupun Ana, terlebih ia sangat tidak menduga atas reaksi yang diberikan Alex kepada Dewo. Ana tidak memperhatikan reaksi perawat yang ada dibelakangnya, namun ia dapat memastikan perawat tersebut menunjukkan reaksi yang sama dengan Dewo dan dirinya sendiri.
"Oh .." gumam Dewo setelah beberapa saat. "Jadi ini sebabnya penolakanmu .."
"Maaf dokter ..." Ana kembali memotong perkataa Dewo. "Kami sudah ditunggu dokter Hari di ruang Radiologi .. permisi .."
Tanpa menunggu lama, Ana kembali mendorong kursi roda Alex, meninggalkan Dewo yang masih berdiri memandang kepergian mereka.
"Siapa dia An?" tanya Alex penuh selidik. "Apa maksudnya dengan penolakan?"
"Dan kenapa kamu memperkenalkan dirimu seperti itu?" bisik Ana, berusaha agar perawat di belakang mereka tidak mendengar apapun. Ana berusaha untuk menjaga profesionalitas nya sebagai seorang dokter di Rumah Sakit tersebut.
"Kenapa ..?" tanya Alex tenang. "Aku kan memang calon suamimu. Kamu belum menjawab pertanyaanku. Siapa dia?"

Ana menarik nafas lega karena mereka telah tiba diruang USG sehingga ia tidak perlu menjelaskan tentang Dewo kepada Alex. Perawat membuka pintu lebar lebar dan Ana memasuki ruang USG dimana dokter Hari dan dokter Erwin seorang spesialis Radiologi telah menunggu mereka.
"Selamat pagi .." sapa Ana sambil tersenyum. "Pasien sudah siap Dok .."
"Silahkan langsung berbaring disana" ujar dokter Erwin ramah, menunjuk sebuah tempat tidur disamping layar monitor USG yang akan dipergunakan untuk memeriksa kondisi Alex.
Ana membimbing Alex menaiki tempat tidur.
"Maaf ..." bisik Ana sambil membuka baju dan menurunkan sedikit celana Alex ke bagian bawah.
"Tidak apa .. nanti kamu akan terbiasa membuka semua pakaianku kalau kita sudah menikah" Alex menjawab, berbisik di telinga Ana, membuat wajah Ana merona memerah. Alex menyeringai. Ia sangat suka menggoda Ana, melihat reaksinya yang begitu polos.
"Jangan macam macam .." Bisik Ana melirik dokter Hari dan dokter Erwin yang masih berbincang didepan pintu.
Saat menarik turun Celana Alex, Ana melihat lebam dan memar yang cukup luas di permukaan kulit bagian paha Alex. Ana terkesiap, lebam ini tidak ia lihat saat melakukan operasi beberapa hari yang lalu.
"Sakit?" tanya Ana sambil sedikit menekan daerah lebam tersebut. Alex menggeleng.
"Tidak .. kenapa?" tanyanya. Ana tidak menjawab. Ia segera membuka seluruh pakaian Alex, menurunkan lagi celana Alex semakin ke bawah untuk memeriksa apakah ada lebam lain di tubuh Alex.
"Hei .. An .." seru Alex saat Ana dengan lembut membolak balikkan tubuhnya. "Sabar .. kita bisa melakukannya di ruang rawat nanti saat tidak ada orang yang .."
"Alex!" bisik Ana tajam. Ia mendelikkan matanya menatap Alex. "Tenanglah .. aku sedang memeriksamu!"
Alex tertawa senang. Sekali lagi ia bisa menggoda Ana.
"Pikiranmu itu ..." gumam Ana melihat Alex menyeringai didepannya. "Kamu tau ada lebam seperti ini pada tubuhmu?"
Alex bangkit melihat memar yang ditunjukkan Ana pada pahanya.
"Aku menemukan satu lagi di lengan dalammu" ujar Ana cemas. Alex menggeleng.
"Kenapa ini?" tanya Alex menatap Ana. "Biasanya begini bila aku terbentur sesuatu .. tapi seingatku tidak ..."
Ana menggigit bibirnya. Alex sudah mengerti bahwa itu pertanda Ana menemukan satu lagi perburukan dalam kondisi kesehatan nya. Alex menghela nafas menatap Ana dalam dalam.
"Tidak apa ..." ujar Ana menenangkan. Ia meraih tangan Alex dan menggenggamnya kuat kuat "Kamu pasti sembuh .."
Ada sedikit rasa lega di hati alex saat melihat senyum di bibir Ana. Ia membalas memegang tangan Ana kuat kuat, dan tidak melepaskannya selama pemeriksaan berlangsung.

"Istirahatlah .." ujar Ana setelah merapikan selimut Alex di ruang rawat inap. Karena kondisi Alex yang mulai stabil, Ana memindahkannya keluar dari ruang ICU.
"Aku ingin mendengar hasil pemeriksaanku, An" ujar Alex. Ana mengangguk angguk, berpikir memilih kata yang dapat dimengerti dengan mudah oleh Alex.
"Hati mu .. maksudku organ hati dalam tubuhmu sedikit membengkak. Tapi dokter Erwin tadi berkata bahwa pembengkakannya bukan patologis .. artinya .. umum terjadi karena konsumsi obat berkaitan dengan penyakitmu" ujar Ana. "Jadi masih bisa kita abaikan .. tidak perlu tambahan obat lain karena akan hilang seiring dengan membaiknya kondisimu."
"Lalu lebam ini?" tanya Alex melirik bagian pahanya yang tertutup selimut. "Apa artinya?"
"Mmh .. jadi .. itu karena ada pendarahan spontan dibawah kulitmu .. artinya ya .. sesuatu bertambah buruk dalam darahmu .." Ana menjelaskan panjang lebar. Ia harus seterbuka mungkin menjelaskan kondisi kesehatan Alex, agar Alex bisa lebih memperhatikan dirinya sendiri.
Alex menunduk, hening sejenak, sejurus kemudian ia menatap Ana.
"Apa kamu yakin memutuskan untuk hidup bersamaku, An?" tanya Alex meyakinkan Ana. "Kamu tidak bisa menutupi kalau keadaanku semakin memburuk .."
Ana menarik nafas dalam dan tersenyum. "Aku tidak akan merubah keputusanku ..." ujarnya.
Alex meraih tangan Ana dan mereka saling berpandangan dalam diam.

"Apa ini????" sebuah suara keras dan tinggi terdengar dari arah belakang tubuh Ana. Ana berbalik, melepas genggaman tangannya dan melihat Eveline berdiri didepan pintu kamar dengan wajah merah padam. Eveline bergegas menghampiri Alex, memandang Ana tajam dari ujung rambut dan ujung kaki.
"Ooh .. jadi ini sebabnya .. aku tau motif yang sedang anda mainkan, dokter Ana!!" desis Eveline.
"Maksud anda? Motif apa?" tanya Ana berusaha tenang, memasukkan kedua tangannya ke saku jas putihnya dan berdiri santai.
"Anda memanipulasi data, membuat seolah olah kondisi tunanganku ini memburuk dan parah, hanya agar Anda bisa lebih dekat berdua dengannya dan mendapatkan uang dari perawatannya. Betul?" tuding Eveline keras. "Ingat Dok .. saya bisa mengumpulkan bukti untuk membawa anda ke pengadilan!"
"Silahkan saja ..." jawab Ana tenang. "Tuduhan anda sangat tidak beralasan"
"Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri apa yang kamu lakukan pada Alex" desis Eveline. "Pantaskah seorang dokter memegang tangan dan menatap pasiennya begitu lama seperti yang kamu lakukan tadi? Aku berdiri cukup lama untuk melihat semuanya!"
"Sudah Ev ..." ujar Alex menenangkan. "Tenanglah .. ini tidak seperti apa yang kamu lihat .. biar aku jelaskan semuanya padamu sayang .."
Eveline melunak, menghampiri Alex dan melumat bibirnya dengan mesra. Ana memalingkan muka, tidak ingin melihat apa yang terjadi dihadapannya.
"Apa kabar sayang? Maafkan aku baru membesukmu sekarang .. pekerjaanku menumpuk hingga aku tidak bisa menunggumu disini" Eveline merajuk bermanja manja dengan nada suaranya yang memelas. Ana menahan nafasnya, menatap keluar jendela untuk membantu mengusir rasa resah dari dalam hatinya. Ia melirik Alex yang saat itu juga tengah menatapnya. Ana menunduk, saat melihat tangan Eveline mulai terarah ke bagian alat vital Alex. Wajah Ana memerah.
"Bisa kami minta waktu sebentar berdua saja Dok?" tanya Eveline tajam, menyindir Ana yang masih berdiri mematung. Ana hendak menjawab, saat ia melihat tatapan mata Alex yang seolah meyakinkannya bahwa semua akan baik baik saja. Tanpa berkata apa apa, Ana berbalik, meninggalkan Alex bersama eveline dengan perasaan berkecamuk.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd