Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANTARA CINTA DAN NAFSU

Bagian 23

Jendela kamar besar terdepan di rumah besar itu terlihat menyala. Eveline menatap tajam dari dalam mobilnya yang diparkir tidak jauh dari rumah tersebut. Ia masih hafal betul itu adalah kamar Alex. Sepuluh menit yang lalu ia melihat laki laki yang pernah dicintainya itu tiba dan bergegas masuk ke dalam rumahnya. Tidak ada tanda tanda keberadaan orang lain didalamnya selain Alex, karena sejak Eveline tiba disana, rumah dalam keadaan gelap gulita. Tidak satupun lampu menyala kecuali penerangan halaman dan teras.
Eveline menghembuskan nafas sekuat tenaga. Apa yang terjadi di Rumah Sakit tadi benar benar menguras emosinya. Dewo telah berhasil membawanya terbang tinggi, mengimbangi nafsu birahinya yang sedang memuncak, namun harus terhempas lagi karena kehadiran wanita cacat calon isterinya. Eveline masih mendengar apa yang dilakukan Dewo kepada Ratih dari balik pintu yang tertutup, namun ia segera pergi meninggalkan mereka semenit kemudian. Ia tidak ingin terseret kepada masalah mereka lebih jauh lagi.
Eveline sadar betul bahwa semuanya kini semakin berantakan. Ratih adalah kliennya dan ia sudah melihat apa yang dilakukan Eveline dengan calon suaminya. Dewo pun tidak bisa ia harapkan lagi. Laki laki bodoh itu justru berbuat tidak senonoh kepada calon isteri yang diharapkan bisa menopang keuangannya. Jika dipersidangan berikutnya Ratih memberikan dukungan pada Pak Wiwaha karena kebenciannya pada Dewo dan Eveline, maka semua akan sia sia. Dendamnya tidak pernah akan bisa terbalaskan.
Eveline membuka pintu mobilnya dan berjalan menuju pagar rumah Alex. Ia memutuskan untuk mengikuti nalurinya.

Ana duduk seraya mengelus elus perutnya dengan lembut. Ia meringis, titik peluh tampak jelas di dahinya. Beberapa jam lalu rasa sakit luar biasa ia rasakan di bagian bawah perutnya dan memaksanya menelepon Rika untuk memeriksakan kondisi kandungannya.
"Sudah hampir memasuki bulan kesembilan menurut perhitunganku" ujar Rika di telepon saat Ana menjelaskan keadaannya. "Kamu yakin itu bukan kontraksi? Hilang timbul atau menetap?"
"Aku rasa bukan .." ujar Ana. "Sakit sekali di bagian bawah .. ini bukan kontraksi .."
"Segera temui aku di Rumah Sakit .. aku tunggu kamu disana."
Rika kemudian melakukan pemeriksaan dan memberikan peringatan yang sangat keras kepada Ana.
"Tekanan Darahmu sangat tinggi .. aku rasa aku harus mengeluarkan bayi dalam kandunganmu sesegera mungkin Ana .." jelas Rika dengan mimik sangat kuatir. "Kalau perlu hari ini juga, segera setelah tekanan darahmu normal dengan obat obatan yang aku berikan."
"Tidak .." sergah Ana cepat di meja periksa. "Masih ada yang harus aku selesaikan"
"Apa lagi?" hardik Rika tak sabar. "Kondisimu sudah seburuk ini .. akan berakibat fatal juga pada janin yang kamu kandung, Ana."
"Rika .. tolonglah .." Ana memohon. "Kamu tau kondisiku. Sebagai seorang sahabat, kamu pasti mengerti aku tidak bisa melakukan itu sekarang .. Sidang putusan Papi akan dilakukan beberapa hari lagi .. setidaknya biarkan aku menemaninya dulu melewati itu semua."
"Ana ..." bisik Rika putus asa. "Tapi ini sangat beresiko .. kamu seorang dokter dan aku yakin kamu tahu itu .."
"Dan sebagai seorang dokter aku juga tau ada cara lain yang bisa kamu lakukan selain melahirkan bayi ini sekarang" desak Ana. Matanya mulai basah. Rika menunduk, ia merasa sangat prihatin atas keadaan Ana. Bahkan disaat sulit seperti ini pun, Ana selalu seorang diri. Rika tidak bisa memahami pemikiran Alex yang tidak memahami kondisi isterinya sendiri.
"Baiklah ..." Rika menyerah. "Aku akan memberimu beberapa obat yang harus segera kamu minum An .. tapi berjanjilah padaku, selesai sidang, kamu segera kembali kesini untuk melahirkan bayi ini."
Ana mengangguk angguk mantap. Ia tersenyum.
Rika segera memberikan suntikan obat yang diperlukan Ana, dan memberikan resep obat yang harus di tebusnya di apotik. Hari sudah larut, Rika menyuruh seorang perawat mengambilkan obatnya untuk Ana.

Ana memutuskan untuk segera pulang melihat keadaan Alex. Saat ia pergi tadi, Alex belum juga kembali. Ia harus memastikan kondisi Alex baik baik saja. Namun rasa sakit di perutnya membuatnya harus berkali kali duduk untuk beristirahat sepanjang perjalanan menuju halaman Rumah Sakit tempat ia memarkir mobilnya.
Ana menghela nafas panjang. Rasa sakit di perutnya mulai berkurang setelah ia beristirahat sejenak. Ana bangkit, berjalan pelan melewati ruang tunggu poli rawat jalan yang sangat sepi. Lampu ruang tunggu pasien sudah dimatikan sebagian. Ana melewati barisan ruang periksa dokter yang seluruhnya tertutup saat ia mendengar isak tangis seorang wanita.
Ana terkesiap. Ia menghentikan langkahnya, memastikan pendengarannya. Sejak kecil ia telah dilatih oleh Ayah dan Ibunya untuk tidak terlalu percaya pada hal gaib, dan karenanya ia yakin ia mendengar tangis seorang wanita.
Isak itu terdengar lagi. Ana berjalan pelan mengikuti arah suara yang menuntunnya ke suatu ruangan yang sangat ia kenal. Ruang periksa Poli rawat jalan dengan pintu tertutup bertuliskan nama dokter Dewo di muka pintunya. Ana mendekatkan telinganya ke pintu dan isak itu semakin jelas terdengar. Mungkinkah itu suara pasien yang tengah dirawat oleh Dewo malam ini? Ana memandang sekeliling. Tidak mungkin. Malam selarut ini, tidak ada tanda tanda adanya kegiatan perawatan yang masih berlangsung. Ana memegang perutnya yang kembali merasa sakit. Menarik nafas sejenak dan memberanikan diri mengetuk pintu.
"Dokter Dewo?" sapa Ana nyaring. Tidak ada jawaban dari Dewo. Justru tangis wanita didalamnya semakin nyaring.
"Tolong ..." suara itu memelas. Ana mematung. Seseorang membutuhkan pertolongannya di dalam sana. Dengan yakin ia membuka pintu yang tidak terkunci dan segera terperanjat melihat pemandangan dihadapannya.
Seorang wanita tanpa busana terduduk di lantai, menunduk menangis. Rambut panjangnya menutupi wajahnya, sehingga Ana tidak dapat melihat jelas wajahnya. Bajunya berserakan di lantai, dan yang membuat jantung Ana berdegup keras adalah sebuah kursi roda yang terletak tidak jauh dari wanita tersebut. Darah Ana berdesir. Ia sangat mengenal kursi itu.
"Ratih!!" seru Ana keras. Ia segera memburu wanita telanjang dihadapannya, memeluknya erat dan menyibak rambut yang menutupi wajahnya. Tubuh Ana terasa lemas saat mengetahui adiknyalah yang berada dalam pelukannya saat itu. Wajah Ratih lebam, pucat, hanya tangis yang terdengar dari mulutnya "Ya Tuhan .. Ratih!! Apa yang terjadi padamu, adikku sayang ...?"
Ratih memandang Ana sekejap, kemudian memeluknya erat. Tangisnya tidak berhenti. Ana merasakan tubuh Ratih bergetar. Ana tahu Ratih sangat ketakutan. Ia mengusap lembut rambut Ratih dan mencoba menenangkannya.
"Sayang .. tenanglah .. kakak ada disini .. sshh .. tenanglah" bisik Ana lembut.
Ana merasakan pelukan Ratih semakin keras. Ana berteriak sekuat tenaga berharap ada seseorang yang mendengarnya "Toollooongng ....!! Toollooongng ...!!'
Dan ia mendekap Ratih tak kalah eratnya.


"Ana ...!" suara ibunya terdengar cemas. Ana menoleh, melihat Bu Seno berjalan tergopoh kearahnya. Wajahnya cemas. Ana segera menelepon ibunya untuk mengabarkan kejadian yang menimpa Ratih. Bu seno memeluknya erat, tangis nya pecah "Apa yang terjadi pada Ratih? Ia pamit menemui Dewo untuk makan malam tadi dan ibu izinkan ia pergi .."
Ana membimbing tangan ibunya untuk duduk di sebuah kursi tunggu ruang Gawat Darurat.
"Dokter masih merawat Ratih didalam Bu ..." ujar Ana pelan. "Ibu tenanglah dulu .. Ratih belum bisa diajak bicara. Ia masih shock"
Tangis Bu Seno kembali pecah. "Dimana Dewo? Kenapa ia bisa membiarkan Ratih jadi seperti ini? Ia seharusnya tidak meninggalkan Ratih sendiri"
"Justru Dewo adalah orang pertama yang dicurigai Bu" ujar Ana lagi. "Dewo diduga orang yang melakukan penganiayaan terhadap Ratih"
Bu Seno terhenyak, "Dewo??" desisnya seraya menggeleng. "Tidak mungkin .. tapi .. kenapa? Apa alasannya?"
Ana menggeleng pelan. Ia juga tidak memiliki jawabannya. Dewo adalah calon suami Ratih dan sebentar lagi mereka akan menikah. Apa alasan Dewo melakukan ini kepada wanita yang sudah pasti akan menjadi isterinya. Ana mengingat Dewo sebagai seorang laki laki yang cukup baik. Rasanya tidak mungkin Dewo bisa melakukan hal ini.
Pintu ruang UGD terbuka. Seorang dokter muda keluar dan menghampiri Ana dan Bu Seno.
"Dokter Ana .. sebaiknya Adik Dokter menjalani rawat inap malam ini ..." dokter tersebut memberi penjelasan. "Kondisi fisiknya memang sudah tertangani. Kami sudah merawat semua lukanya dan melakukan visum. Namun kondisi psikisnya perlu penanganan lebih lanjut lagi Dok.."
Ana mengangguk setuju "Lakukan apapun yang terbaik untuk adik saya Dokter ..." Ana memohon.
"Baik Dokter .. silahkan mengurus kamar rawat inapnya terlebih dahulu .." Dokter muda itu melanjutkan.
Ana menghampiri Bu Seno, menggenggam tangannya lembut dan berkata "Ibu tunggu disini. Temani Ratih. Jangan tanyakan apapun padanya, biarkan dia beristirahat dulu .. kondisi psikis Ratih belum pulih"
Bu Seno mengangguk mengiyakan. Ana melanjutkan.
"Aku tinggal dulu mengurus kamar untuk Ratih. Ibu harus tegar .. harus kuat dihadapan Ratih. Jangan sampai menambah beban pikirannya saat ini"
Bu Seno menunduk. Ratih memang bukan anak yang dilahirkan dari rahimnya sendiri. Namun ia sudah merawat Ratih sejak kecil. Hatinya sangat teriris mendengar apa yang terjadi pada Ratih saat ini.
Ana meninggalkan Bu Seno. Rasa sakit luar biasa dirasakan pada bagian bawah perutnya. Ia menahan sekuat tenaga dan memohon dalam hati agar Tuhan memberikan kekuatan padanya sebentar lagi.
 
Bimabet
ayolah Ratih sadar !!! :(

tapi malah curiga nih, jiwa ratih yang terguncang sekarang, malah makin ketergantungan pada dewo, secara dewolah yang mengambil keperawanan ratih, ratih pikir pria lain ga akan menerima keadaan ratih sekarang, hanya dewo lah yang mampu dan harus menerima ratih :ngupil:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd