Part 3
Studio gambar di lantai 2 siang itu sudah kosong, sebagian karyawan sudah turun untuk beristirahat makan siang. Asti masih tetap serius menggambar garis demi garis denah ruangan dalam suatu rancangan rumah yang dipercayakan kepadanya. Studi S1 bidang arsitektur tempatnya menyelesaikan pendidikan, membawanya bekerja di suatu perusahaan konstruksi sebagai pegawai lepas. Bila tidak disibukkan oleh tugas dari Damar, Asti akan menghabiskan waktunya di studio ini bersama teman teman seprofesinya yang lain. Ia sangat mencintai pekerjaannya ini. Tak jarang ia pun menerima permintaan beberapa kenalan untuk mendesain bentuk bangunan rumah mereka ataupun hanya sekedar merancang desain interior suatu ruangan yang ingin mereka rubah.
"Belum istirahat As?" suara seorang wanita terdengar dibelakang Asti. Ia menoleh. Tampak sesosok wanita separuh baya berdiri tersenyum kepadanya
"Mba Mirna ..." ujar Asti sambil tertawa "Sebentar lagi mba .. sedikit lagi saja, ini sudah hampir selesai"
"Permintaan Pak Sungkono?" tanya Mirna
"Iya mba .. sudah lewat dua hari dari jadwal yang aku janjikan. Beliau sudah beberapa kali menanyakan kapan aku bisa menyelesaikan rancangannya" jawab Asti "Ada beberapa detail juga yang dirubah. Jadi aku harus menyesuaikan dengan permintaan beliau"
"Pelanggan kita yang kritis itu ya ...." sahut Mirna sambil tertawa "Apalagi yang ia minta sekarang?"
"Beliau minta taman di dekat kamar dipindah ke dekat ruang tamu mba .." jawab Asti
"Lho .. itu berarti merubah semua rancangannya dari awal dong As?" protes Mirna kuatir. Asti tertawa sambil menggeleng gelengkan kepalanya
"Tidak semua .. aku hanya menghapus beberapa garis dan membuat garis baru di tempat lain" jawab Asti santai
"Semoga tidak ada perubahan lagi kedepannya. Ini sudah ketiga kalinya dia merubah rancangannya. Sabar sekali kamu menghadapinya As ..." ujar Mirna sambil tertawa "Baiklah .. silahkan diteruskan. Aku keluar sebentar mencari makan siang ya"
Asti mengangguk dan akan bersiap meneruskan gambarnya saat ia teringat sesuatu.
"Oh ya .. mba Mirna .." panggil Asti. Mirna membalikkan badannya menatap Asti
"Aku mungkin tidak bisa hadir minggu depan .. ada kepentingan yang harus aku selesaikan mba .." ujar Asti "Tapi pesanan Pak Sungkono akan aku selesaikan besok. Aku serahkan sebelum aku absen ya mba .."
"OK .. take your time As" jawab Mirna sambil tersenyum "Urusan Kanaya lagi? Tidak usah kuatir .. ambil waktumu sesuai yang kau butuhkan untuk anakmu. Selama kamu bisa membagi waktu dengan pekerjaanmu, aku tidak masalah"
Asti mengangguk. Ia kembali ke meja gambarnya dan duduk termenung. Mirna, kepala perusahaan kecil tempatnya bekerja pun tidak tahu bahwa selama ini Asti meminta izin untuk menemui pengguna jasanya yang lain. Mirna selalu berpikir Asti pergi untuk pengobatan Kanaya. Asti menunduk. Ia telah membohongi sangat banyak orang yang ia cintai. Tyo, Bu De, Mirna, bahkan Kanaya, puterinya sendiri. Asti merasa sangat berdosa saat menyadari ia tidak sebaik apa yang orang pikirkan terhadapnya.
Telepon genggam Asti berdering. Ia membaca nama Damar pada layar telponnya.
"As ..." suara Damar yang berat terdengar saat Asti menjawab teleponnya "Kamu belum memberikan komentar pada Klien yang dokumennya sudah aku kirimkan padamu beberapa hari lalu"
Asti menghela nafas panjang. Ia memang belum memberi respon perihal itu kepada Damar. Entah mengapa saat ini ia merasa sangat enggan.
"Kenapa As? Ada masalah?" tanya Damar saat mendengar keluhan Asti di telepon "Kamu tidak suka orangnya? Kalau begitu biar aku batalkan saja"
"Tidak mas ..." jawab Asti terburu buru "Maafkan aku ... aku hanya ... sedikit merasa tidak enak ... entahlah ...."
Damar terdiam beberapa saat. Ia dapat merasakan kegundahan hati Asti, namun Damar belum bisa menebak apa sebabnya.
"Kamu dimana?" tanya Damar
"Aku di studio .. sedang menyelesaikan gambar .." jawab Asti lemah
"Aku jemput satu jam lagi. Kita pergi." ujar Damar lagi
"Kemana?" tanya Asti
"Ketempat dimana kamu bisa menenangkan hatimu" jawab Damar singkat
Asti kembali termenung setelah ia menutup telepon dari Damar. Damar selalu tau apa yang ia rasakan dan tidak pernah sekalipun membiarkan Asti sendirian melalui semua permasalahan yang ia hadapi. Damar selalu siap menjadi tempat bersandar bagi Asti. Asti merasa berhutang budi pada Damar. Tanpa Damar, entah apa yang terjadi padanya dan Kanaya. Tidak seperti dengan Tyo, kepada Damar Asti bisa menceritakan semua isi hatinya tanpa perlu ada yang ia sembunyikan. Asti merasa bebas mencurahkan semua perasaannya, sedih ataupun gembira, kepada Damar. Walau seringkali Damar tidak banyak bicara, namun apa yang Damar lakukan selalu berhasil membuat perasaan Asti semakin membaik. Asti tidak pernah merasa takut kehilangan Damar karena Asti tau, selama ini, seburuk apapun situasinya, Damar selalu ada untuk mendukungnya. Sangat berbeda dengan apa yang Asti rasakan saat bersama Tyo. Mungkin Asti terlalu mencintai Tyo, terlalu takut kehilangan Tyo sehingga ia tidak ingin Tyo mengetahui siapa sebetulnya dirinya. Asti menutupi semua keburukan hidupnya dari Tyo, hanya agar Tyo tetap mencintainya dan bertahan di sisinya. Asti tidak sanggup lagi menanggung kehilangan untuk yang kedua kalinya, setelah ia dicampakkan begitu saja oleh suami pertamanya. Tyo tau hal ini dan ia pernah bersumpah tidak akan meninggalkan Asti seperti apa yang dilakukan suaminya dulu. Namun perkataan Tyo semalam mulai menggoyahkan hati Asti. Apakah Tyo akan tetap pada pendiriannya ketika tau siapa Asti sebenarnya?
Asti membereskan peralatan menggambarnya, memasukkan kedalam kotak dan bersiap menunggu kedatangan Damar. Sambil berjalan turun, Asti mencoba menggali hatinya, apakah ada terselip rasa Cinta untuk Damar? Tidak .. tidak ada. Hanya ada nama Tyo terpatri dalam hatinya sampai detik ini..
"Kita mau kemana mas?" tanya Asti setelah menutup HP nya, mengabarkan pada Bu De Lilik bahwa ia akan pulang sedikit terlambat hari ini. Asti melirik Damar yang berada di belakang kemudi. Wajah damar tenang dan teduh. Ia laki laki yang tidak banyak bicara, lebih mengutamakan aksi dibandingkan perkataan semata.
"Ada resto yang sangat nyaman di daerah Puncak" kata Damar sambil terus berkonsentrasi pada jalan raya dihadapannya "Makanannya enak, tempatnya tenang dan pemandangannya bagus. Kita kesana ya .."
Asti tersenyum mengangguk. Damar berpenampilan lebih santai dibanding Tyo. Hari ini ia menggunakan celana jeans dan T Shirt serta jaket hitam sebagai outernya. Kumis dan janggut tipis membayang di wajahnya memberikan kesan sedikit misterius. Kaca mata hitam tidak pernah lepas dari matanya, kecuali bila Damar berada didalam ruangan.
"Sekarang mulailah menceritakan apa yang menyebabkan kegundahan dalam hatimu .." ujar Damar mengusir rasa jengah karena Asti memandanginya begitu lama "As, kamu tau .. bila ada sesuatu yang tidak kamu sukai dari klien kita, katakan saja .. Aku akan segera membatalkannya dan mengganti dengan klien yang lainnya"
Asti memalingkan wajahnya menatap pemandangan menuju Puncak yang mulai terlihat indah. Ia tidak tau harus bercerita dari mana kepada Damar.
"Kapan kira-kira .. kita bisa menyudahi pekerjaan ini mas?" tanya Asti lirih. Damar mengernyitkan keningnya
"Maksudmu?" tanya Damar bingung "As .. kalau kamu memang ingin mengakhiri ini semua, aku bisa hentikan kapanpun kamu mau .. Kamu tidak perlu melakukannya lagi kalau uang untuk pengobatan Kanaya sudah terkumpul ... Aku dengan senang hati akan menghentikan semuanya."
"Belum ....." jawab Asti lagi. Ia menunduk, menghela nafas dalam "Masih banyak dana yang harus aku kumpulkan mas .. Tabunganku belum cukup untuk membawa Kanaya berobat ke Luar Negeri..."
Damar terdiam. Ia mulai mengerti apa yang dirasakan Asti. Damar tau, jauh didalam hatinya, Asti tidak mau melakukan pekerjaan ini. Semua ia lakukan karena keterpaksaan, kebutuhannya sebagai seorang ibu untuk mengobati puteri tercintanya, satu satunya harta berharga yang ia miliki. Saat ini Asti pasti tengah merasakan pergolakan batin yang luar biasa. Wajar, tidak ada satupun wanita yang mau melakukan pekerjaan seperti ini, melayani laki laki asing dan menghadapi perlakuan sosial yang tidak mengenakan dari lingkungan sekitarnya bila mereka tau apa yang Asti lakukan. Karenanya Damar berusaha menjaga agar Asti tetap terlindungi. Tidak sembarang orang bisa menyentuh Asti. Ia juga sangat menjaga keselamatan dan kerahasiaan Asti. Damar meminta bayaran sangat tinggi dari siapapun yang ingin bersama Asti, semata mata karena ia berusaha memenuhi kebutuhan Financial Asti secepat mungkin, dan ia memang merasa pengorbanan dan usaha Asti patut dihargai dengan nilai yang sangat Fantastis. Dimatanya, Asti bukan wanita biasa. Ia seorang ibu yang luar biasa bagi Kanaya, wanita cerdas yang memiliki karir cukup baik sebagai seorang arsitektur, dan keanggunan yang luar biasa sebagai wanita pada umumnya. Hanya jalan hidup yang kurang beruntung yang membawanya pada kehidupan seperti saat ini. Asti pernah sedikit bercerita tentang kehidupannya pada Damar saat ia baru mengenal Asti dulu. Asti anak tunggal yang berasal dari orang tua yang cukup berhasil sebagai transmigran di Sumatera Selatan. Ia dikirim orang tuanya untuk menyelesaikan pendidikan S1 di kota Surabaya. Kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan saat Asti hampir selangkah lagi menyelesaikan pendidikannya. Seluruh harta peninggalan orang tuanya dikuasai oleh sang Paman, yang juga menjodohkannya dengan seorang laki laki asal Sumatera Utara. Setelah Asti lulus sarjana, ia menikah, dan Kanaya lahir dengan kelainan jantung yang dideritanya.
Pernikahan mereka hanya berjalan satu tahun saja saat suami dan keluarganya mengusirnya pergi. Kanaya penyebabnya. Mereka tidak ingin dibebani oleh keadaan Kanaya yang dengan penyakitnya sangat menyita waktu dan biaya. Kecintaan Asti pada puterinya, membawa ia mencoba menemui satu satunya kerabat yang ia miliki di kota ini. Selama tinggal bersama Bu De Lilik, Asti jatuh bangun membiayai kehidupannya dan pengobatan Kanaya. Damar pertama kali menemui Asti saat ia tengah duduk kelelahan dibelakang mobil Damar yang diparkir di suatu pusat perbelanjaan. Saat itu Damar tersentuh dengan wajah merah Asti yang terbakar panas matahari, dengan peluh yang membasahi tubunya, dan map biru yang ia pegang erat erat. Asti saat itu duduk kelelahan sambil meneguk segelas air mineral.
Entah apa yang membawa Damar jatuh hati pada Asti. Damar segera membawa Asti menemui Mirna, salah satu teman baik Damar yang memiliki kantor jasa arsitektur dan memintanya untuk menerima Asti bekerja. Karena Asti masih harus merawat Kanaya, Mirna dengan kebaikan hatinya memperbolehkan Asti bekerja paruh waktu. Kehidupan Asti sejak itu mulai membaik, ia bisa membawa Kanaya berobat dan mendapatkan cukup informasi bahwa Kanaya dapat disembuhkan dengan operasi yang harus dilakukan di negeri seberang.
Asti mengutarakan mimpinya pada Damar. Masih segar dalam ingatan Damar saat ia memberikan ide lapangan pekerjaan prostitusi kepada Asti. Dengan air mata berurai, setelah 1 minggu berpikir, Asti pada akhirnya menyanggupi usul Damar. Damar pula yang membiayai seluruh persiapan Asti untuk menyambut kliennya yang pertama. Asti sangat cantik. Tidak perlu polesan berlebihan untuk melihatnya sangat menawan mata. Tubuh Asti yang masih padat berisi pun tidak memerlukan polesan apa apa. Damar cukup membawa Asti ke salah satu desainer baju kenamaan, yang memberikan saran pada Asti tentang baju apa saja yang harus ia kenakan untuk menonjolkan kelebihan yang ia miliki. Sang desainer sangat mengerti apa yang Damar mau, merubah penampilan Asti menjadi wanita yang anggun dan berkelas, tanpa sedikitpun ada kesan murahan dibaliknya.
Asti tidak pernah tau bahwa klien pertamanya dulu adalah teman karib Damar sendiri, seorang laki laki yang tengah dilanda kesepian karena ditinggal isterinya menikah dengan laki laki lain. Dengan bujukannya, Damar berhasil meminta sang sahabat untuk menghabiskan malam bersama Asti. Damar memilihnya karena ia tahu betul sang sahabat aman bagi Asti dari segala sisi. Damar yang juga menyerahkan sejumlah uang dari sakunya sendiri saat itu, dengan jumlah yang tidak sedikit, yang Asti tau berasal dari klien pertamanya. Saat itu, saat melihat binar di mata Asti, Damar merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Asti dengan ceria mengajaknya menemaninya ke Bank untuk menabung uang hasil usaha pertamanya. Uang Damar. Kicauan Asti yang bersemangat mengutarakan mimpi mimpinya, bagaikan lagu merdu ditelinga Damar. Dan sejak itu ia bertekad akan membahagiakan Asti bagaimanapun caranya.
Damar mulai menggali formula, bagaimana ia dapat memberikan banyak pundi uang pada Asti melalui usaha ini, tanpa membuat Asti tersiksa. Ia menciptakan suasana kerja senyaman mungkin bagi Asti, dan dengan ketat mengawasi keselamatan Asti. Air mata Asti menjadi cambukan kuat baginya untuk terus berusaha membahagiakan Asti. Senyum bahagia Asti adalah bayaran termahal yang bisa ia dapatkan dari seluruh usahanya.
Damar tidak memungkiri, rasa sayangnya pada Asti semakin lama semakin bertambah. Ia mulai mencintai Asti, namun untuk ini, ia selalu berusaha membuangnya jauh jauh. Damar mengerti, sekali rasa cinta ia biarkan tumbuh dalam hatinya, ia akan menghancurkan semua rencananya untuk membahagiakan Asti. Tidak mungkin dengan cinta, ia bisa membiarkan Asti bergulat tanpa busana dengan laki laki lain. Tidak mungkin dengan cinta, ia bisa menahan diri untuk tidak ikut menyetubuhi Asti. Sulit memang, namun sampai saat ini, Damar masih berhasil meyakinkan dirinya sendiri untuk tetap profesional. Cinta kadang memaksanya untuk meminta Asti menjadi isterinya dan meninggalkan semua dunia hitamnya. Namun bagaimana dengan kesembuhan Kanaya, mimpi terbesar Asti? Damar belum mampu membawa mimpi Asti menjadi kenyataan. Pundi pundi uang yang ia miliki masih jauh dari cukup untuk membiayai Asti dan Kanaya. Namun Damar memiliki mimpinya sendiri. Tanpa sepengetahuan Asti, ia pun menabungkan setiap sen gaji yang ia peroleh untuk membantu Asti. Suatu saat nanti, diwaktu yang tepat, ia sendiri yang akan membawa Asti dan Kanaya ke luar negeri untuk berobat.
"Mas Damar ....?" sapaan lembut Asti menyadarkan Damar dari lamunannya "Mas dengar apa yang aku katakan tadi? Mas melamun ya?"
Damar berdehem terkejut.
"Maaf As .." ujarnya seraya menyeringai "Apa yang kamu katakan tadi?"
Asti tertawa melihat Damar yang mulai salah tingkah.
"Tidak ada siaran ulangan" ujar Asti santai, berpura pura merajuk. Damar tertawa.
"Ya sudah .. nanti kita bicara sambil makan ya" ujarnya, membelokkan mobilnya kearah lapangan parkir Resto. Tanpa terasa mereka sudah tiba di tempat tujuan. Damar turun dari mobil, membukakan pintu bagi Asti dan membimbingnya turun menuju meja yang telah ia pesan sebelumnya.
Asti menarik nafas dalam. Ia membiarkan udara puncak yang segar mengisi paru parunya. Dibawah sana terbentang pemandangan alam yang indah, walau sedikit berkabut, namun Asti masih bisa melihat hijaunya pepohonan yang menyegarkan matanya. Damar memilih tempat di teras belakang lantai dua Resto yang menyuguhkan udara segar serta pemandangan yang memanjakan mata. Gemercik suara air terjun buatan di taman resto menambah kesejukan bagi siapapun yang mendengarnya.
"Pesan makanannya dulu As .." panggil Damar saat melihat Asti berdiri berlama lama di pinggir pagar, memandang jauh kedepan. Asti menoleh dan menghampiri Damar. Ia segera memilih satu set teh poci panas dan nasi timbel untuk mengisi perutnya. Damar memilih secangkir kopi dan sepiring pisang goreng hangat untuk teman camilannya.
"Jadi bagaimana ...." sambung Damar sambil menunggu menu pesanan mereka tiba "Apakah kamu ingin kita berhenti sampai disini saja As?"
Asti menggeleng. Wajah tenangnya kembali berkabut.
"Aku ingin sekali mas .. tapi aku tidak bisa. Bagaimana Kanaya ...." keluh Asti
"Aku belum bisa menemukan pekerjaan lain untukmu selain ini, yang bisa menghasilkan uang banyak dalam waktu singkat As ..." ujar Damar dengan nada menyesal "Maafkan aku ..."
"Aku tau mas ... bukan salah mas Damar" ujar Asti "Keadaan Kanaya semakin memburuk. Aku memang harus segera mengumpulkan uang untuk membawanya berobat. Aku tidak punya pilihan lain ..."
Damar dan Asti menghentikan sejenak pembicaraan mereka saat pesanan makanan tiba.
"Hanya saja ..." lanjut Asti setelah pelayan beranjak pergi "Aku kadang merasa sangat bersalah. Aku lelah menyembunyikan pekerjaan ini dari orang orang sekelilingku mas .. belum lagi rasa bersalahku .. aku merasa begitu hina menggeluti pekerjaan ini .."
"As ..." ujar Damar lembut, menggenggam tangan Asti. Asti merasakan kehangatan tangan Damar mengalir keseluruh tubuhnya. Laki laki dihadapannya ini selalu bisa membuatnya merasa nyaman "Kamu tidak seperti itu. Percayalah padaku. Kamu wanita yang kuat. Ini bukan pekerjaanmu. Ini hanya pekerjaan tambahan sementara yang harus kamu lalui demi Kanaya. Yakinkan itu di hatimu"
Asti menghela nafas dalam "Entahlah mas Damar .."
"Pikirkan Kanaya saat kamu merasa lelah dengan keadaan" ujar Damar lagi "Suatu saat nanti Kanaya akan sehat dan kamu tidak perlu lagi menghabiskan waktumu untuk pekerjaan yang tidak kamu sukai ini ..."
Asti menunduk, menggenggam tangan Damar kuat kuat, menahan bulir air mata yang hampir jatuh di pipinya
"Aku orang pertama yang akan memastikan kamu berhenti dari pekerjaan ini jika keadaan sudah memungkinkan As ..." ujar Damar. Asti tidak pernah tau, Damar jugalah orang yang paling tersiksa melihatnya menekuni pekerjaan ini.
"Iya mas ..." ujar Asti lirih. Damar tersenyum.
"Katakan padaku kapanpun kamu siap As ..." lanjut Damar "Klien selanjutnya bisa aku tahan jika kamu perlu waktu untuk memulihkan hatimu dulu ..."
"Tidak .. " jawab Asti tenang "Aku ingin semua cepat selesai ... Katakan padaku kapan aku harus menemui klien ini"
"Sudah kau baca dokumen yang kuberikan padamu?" tanya Damar seraya membantu Asti menuangkan teh ke dalam cangkirnya. Damar dan Asti pun melanjutkan obrolan santai mereka, berlama lama menghabiskan waktu di tengah kenyamanan udara Puncak disekelilingnya.
Tyo duduk menyendiri, ditengah riuh teriakan rekan kerjanya di suatu aula dalam lingkungan kantornya. Siang ini akan diadakan rapat terbatas mengenai tugas yang akan mereka laksanakan. Tyo membuka foto Kanaya dan Asti di salah satu folder HP nya, menatap wajah mereka berlama lama.
Sudah setahun lebih Tyo menjalin asmara dengan Asti, setelah sebelumnya mereka berteman cukup lama. Pertemuan mereka tanpa sengaja, saat Tyo datang ke salah satu kantor jasa arsitektur untuk membuat desain rumah mungilnya, dan Asti adalah arsitektur yang disodorkan kantor tersebut untuk membantunya. Beberapa kali pertemuan dan diskusi mengenai denah rumah Tyo, membuat mereka merasa cocok satu dengan yang lainnya. Obrolan dan pertemuan berkembang tidak hanya mengenai denah rumah. Tyo mulai mengenal Asti lebih dalam dan jatuh cinta kepada kepribadiannya yang amat sederhana dan mandiri. Tyo bahkan menyayangi Kanaya seperti anaknya sendiri.
Namun entah mengapa Asti seperti enggan menjalani hubungan ini dengan lebih serius. Setiap kali Tyo mengajaknya berumah tangga, membicarakan masa depan mereka, Asti selalu menyatakan bahwa ia belum siap untuk itu.
"Perhatiaann ...!!" seruan keras dari atasannya menyadarkan Tyo, menutup HP nya dan mulai memperhatikan arahan pimpinan dengan seksama. Sepuluh orang dalam ruang rapat kali ini, dan mereka merupakan Tim yang akan bekerjasama dalam tugas yang akan mereka laksanakan.
"Informan intel kita dilapangan sudah mengisyaratkan kemajuan yang cukup berarti" arahan atasan Tyo dimulai "Kita akan tetap menunggu sampai target kita terjun langsung dalam umpan yang sudah kita berikan, dan langsung lakukan operasi tangkap tangan"
Tyo mencoba sekuat tenaga berkonsentrasi pada rapat kerja ini, namun sia sia. Pikirannya terbang pada Asti yang saat terakhir ia jumpai sedang berada dalam kondisi tidak sehat. Tyo merasa ia harus segera menjumpai Asti.