Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Berbagi Kehangatan Bersama Adik Ipar

Amir Sakit

Pagi yang indah. Melangkah aku menelusuri jalan aspal memanjang yang dipenuhi jajaran pepohonan yang membuat Palembang serasa di Bandung. Aku tuju rumah sakit yang berada di dalam kompleks industri pupuk terbesar di kota ini. Amir sedang dirawat di sini dan oleh Juju, istrinya, aku diminta tolong untuk menjaganya pagi ini. Dengan senang hati aku menyanggupinya, sama seperti sore kemarin, aku pun menyanggupinya untuk menjaganya. Silakan baca Tawaran Kehangatan dari Istri Kakak Ipar hal. 11.

Setiba di lobi rumah sakit, aku tuju bagian resepsionis. Ada dua orang perawat yang bertugas.

"Selamat pagi, Mbak,"ucapku.

"Pagi juga."

"Mau jaga pasien, Mbak,"ucapku lagi,"Pak Amir. Ruang Kelas II."

Setelah membuka buku besar dihadapannya dan membacanya sekilas, perawat itu berucap,"Silakan."

Perawat mengambil kalung khusus tamu dari lemari kaca dan menyerahkan kepadaku. Kusambut kalung itu dan kukalungkan di leherku, lalu aku meninggalkan para perawat tadi. Aku telusuri selasar yang sepi. Belum ada pengunjung karena memang belum waktunya berkunjung. Saat ini masih pukul tujuh lewat sementara jadwal kunjungan baru dibuka sekitar jam setengah sembilan nanti.

Begitu tiba di depan ruang tempat Amir dirawat, aku dorong pintunya. Tertegun aku karena kudapati seseorang berbaring di salah satu dari dua tempat tidur yang ada di ruangan ini dan, di kamar mandi, ada orang yang sedang mandi. Coba kupastikan apakah aku tidak salah kamar, tapi memang benar ini kamar yang kemarin aku berada bersama Amir.

Melangkah aku mendekati tempat tidur paling ujung yang tertutup tirai. Takut salah orang, dengan ragu-ragu aku sibak tirai itu dan perlahan mengulurkan kepala untuk mengintip ke dalam. Ternyata aku tidak salah kamar. Sang kekasih terbaring di atas tempat tidur itu. Tertidur dia.

Pelan-pelan aku melangkah masuk agar tidak membangunkan tidurnya. Kubuka tas yang tadi dititipkan Juju. Aku keluarkan isinya satu persatu untuk aku letakkan di nakas. Setelah itu, dengan sama pelannya, aku angkat kursi bulat tanpa sandaran yang terbuat dari kayu dan aku taruh disamping sang kekasih yang masih tertidur. Duduk aku di kursi itu dan dengan bertopang dagu, kupandangi dia. Masih pucat wajahnya. Kuyu pula. Tapi terbit senyumku membayangkan kejadian kemarin. Biarpun belum fit benar, tapi panas permainan kami. Pakai acara berpindah tempat segala.

Akhirnya mata itu membuka. Mengarah matanya kepada aku dan tersenyum."Sudah lama datang?"

"Baru,"bohongku.

"Kenapa tidak membangunkan?"Menggeliat dia. Sambil memegangi infusnya, menyamping tidurnya.

"Senang saja melihat Amir tidur."Lengannya aku elus."Sudah mendingan?"

"Masih lemas."Dia ambil telapak tanganku dan meremasnya lembut."Tapi, untuk Eceu sih dua ronde masih kuat aku."

Dengan tersipu malu, tangan kiriku yang bebas, aku pukul lembut dadanya. Dia dekatkan tanganku ke mulutnya dan diciumnya lama-lama.

"Kapan tetangga sebelah masuk?"tanyaku sambil membiarkan tanganku tetap dia cium.

"Entah, ya. Aku tidak tahu."Menggeleng kepalanya."Di tempat tidur yang mana?"

"Tempat tidur paling ujung,"jawabku.

"Syukurlah,"ucapnya senang.

"Kenapa bersyukur?"tanyaku heran.

"Tidaklah."Ada senyum rahasia di wajah Amir.

"Lapar tidak?"tanyaku."Tuh ada roti manis dari istri tercinta."

Tersenyum dia. Dia pasti tahu kalau aku cemburu."Ada Eceu di sini, sudah membuat aku kenyang."

"Saya yang lapar. Belum sarapan."Terlepas tanganku dari genggamannya ketika aku mengambil roti yang aku taruh di nakas.

Pembungkus rotinya aku sobek dan,"Amir makan juga, ya?"

Tanpa suara aku suap dia. Kami saling tatap, saling senyum, saling elus, dan saling menyuapkan roti. Indahnya hubungan terlarang ini. Didalam kungkungan tirai yang tertutup rapat, sambil melahap roti yang aku suapkan, tangan kanan Amir mulai nakal. Dilepaskannya kancing-kancing bluesku. Masuk tangannya ke dalam bluesku yang sudah dia kuakkan. Melalui bagian bawah beha, tangan Amir menyelinap masuk untuk mengambil payudaraku dan meremasnya. Geli tapi aku biarkan ketika bola kecil diatas payudara itu dia rabai.

"Masih mau rotinya?"tanyaku karena roti di tanganku habis.

Mengangguk dia dan mesum senyumnya, untuk kemudian matanya mengarah ke selangkanganku, lalu,"Mau roti punya Eceu."

Tersenyum aku. Kubuang remahan roti yang ada di mulutnya."Rotinya siapa dulu?"

"Pasti punya aku."Sambil tetap meremasi payudara mungilku, menelentang dia. Bergeser dia ke pinggir tempat tidur.

Dia lepaskan payudaraku. Tapi tangannya meraih bagian belakang leherku. Dia tarik wajahku mendekat ke wajahnya yang dia angkat. Menempel bibir-bibir kami. Saling kecup dan saling kulum.

Amir melepaskan bibirku. Kini tangan kirinya beralih menjamah pahaku. Jari-jemari itu merayap naik, membuat rokku terangkat. Mengikuti trend saat itu, perempuan-perempuan muda di tahun 70-an mengenakan pakaian dengan bawahan yang tinggi diatas dengkul. Amir pernah bilang dia suka bila aku mengenakannya, maka agar dinilai sebagai kekasih yang baik, aku ikuti sarannya dan tergila-gila Amir jadinya. Makin mudah dia mengelus dan menciumi pahaku.

"Bau tidak rotinya?"tanyanya ketika jari tangannya mencapai celana dalamku.

Manyun bibirku. Berdiri aku dari dudukku."Awas, ya, kalau minta."

Hahaha! Tertawa dia. Kupalingkan kepalaku ke belakang, menatap tirai, takut tawa Amir menarik perhatian tetangga di balik tirai.

"Aku 'kan cuma tanya, Ceu,"ujarnya setelah tawanya reda."Semua memekkan pasti bau memek."

"Maunya."Dengan manja aku cubit lengannya.

"Memang mau kok."Sambil mengedipkan matanya genit, tersenyum dia.

Kembali aku ambil roti dari nakas dan kembali aku sobek plastik pembungkusnya. Setelah mendorong kursi kayu tanpa sandaran itu menjauh, maju aku mendekati tempat tidur agar mudah menyuapinya. Tangan Amir kembali mengelus celana dalamku. Sambil menyuapkan roti ke mulutnya, kubiarkan jari tangannya menekan belahan memanjang kemaluan yang masih tertutup celana dalam itu.

"Turunkan, Ceu,"pelan suara Amir.

Bingung aku menatapnya. Apa yang dia minta?

"Kolornya diturunkan,"ulangnya.

"Ini rotinya belum habis?"

"Simpan dulu rotinya. Sekarang turunkan dulu celana kolor Eceu."

"Tapi ada orang di luar,"ucapku pelan agar tidak terdengar ke mereka yang di luar sana.

"Biarkan saja,"tukasnya."Mereka tidak dengar kok."

Kutatap tirai yang melingkupi kami itu. Benarkah mereka tidak mendengar obrolan kami ini? Bagaimana kalau mereka menyibakkan tirainya dan mendapati kami yang sedang bermesraan?

"Ayolah, Ceu,"desak Amir.

Timbul rasa kasihan melihat wajah konak lelaki itu. Setelah memantau keamanan tirai, aku turunkan celana dalamku, hingga menyangkut di dengkulku. Segera jari-jari tangannya menyentuh kemaluanku yang kali ini tanpa penutup lagi, membuat tubuh ini merinding.

"Geli,"ujarku manakala satu jari tangan Amir menusuk masuk ke belahan memanjang kemaluan. Jari tangan Amir menyentuh daging kecil di dalam belahan memanjang kemaluan itu, menekan dan membelainya. Terpejam mata ini dan aku bungkam mulutku agar tidak keluar lenguhanku.

Srek! Terdengar tirai tersibak. Berbarengan kami menoleh, tapi tirai masih tertutup. Sepertinya tetangga sebelah juga menutupkan tirainya. Alhamdulillah...

Berbarengan kami tersenyum. Menghela nafas lega, lalu jari tangan Amir yang masih berada di belahan memanjang kemaluan itu meninggalkan kelentit milikku. Jari tangan itu kini mengelus kedalamannya, naik turun.

Dan menganga mulutku menahan kenikmatan, tapi kuusahakan tidak keluar suara dari mulutku akibat jari tangan Amir menusuk masuk ke dalam lubang kemaluanku yang sudah basah itu. Sambil berpegangan pada pinggiran tempat tidur, aku gerakkan pantatku maju mundur, sehingga jari tangan Amir pun tertelan maju mundur di dalam lubang kemaluanku, pelan-pelan agar tempat tidur tidak menimbulkan bunyi.

"Ceu,"terdengar dia memanggilku.

Menoleh aku menanggapi panggilannya.

"Tuh."Dengan mulutnya dia menunjuk ke arah kakinya.

Maka aku ikuti jari telunjuknya. Hampir tertawa aku melihat selangkangannya. Ada tiang di sana, dibalik selimutnya. Dengan gemas aku pukul tiang itu dan dengan gagahnya tiang itu kembali berdiri.

"Jangan dipukul, tapi diremas,"ucapnya tertahan dan tersenyum aku.

"Kayak gini?"Dari luar seprainya, aku genggam tiang itu.

"Bukan."Kesal dia karena aku permainkan." Tangan Eceu masuk ke dalam seprai."

Sambil tersenyum lebar, masuk tanganku ke dalam seprai itu. Kusibak pakaiannya dan kuraih batang bulat panjang yang sudah memanjang besar itu. Hangat dalam genggamanku. Berdenyut-denyut kala aku remas.

"Di buka saja seprainya, Ceu."

Menggeleng kepalaku. Bagaimana kalau tetangga itu tiba-tiba menyibak tirai dan mendapati kontol Amir sedang berada dalam genggamanku? Tapi, mengabaikan kekhawatiranku, Amir menyibakkan seprai yang menutupi tubuhnya dan kemudian disibakkannya pula pakaian pasiennya, hingga batang bulat panjang yang sedang aku genggam itu menampak jelas.

Kelabakan aku jadinya. Harus bagaimana aku? Tapi santai sekali lelaki ini. Dia cabut jemari tangannya dari lubang kemaluanku. Pantatnya dia geser lebih ke pinggir, lalu ditariknya aku mendekat ke selangkangannya, mendekat ke tiang panjang yang sedang aku genggam itu.

Pasti dia minta aku kulum, pikirku, tapi bagaimana dengan tetangga sebelah? Curigakah mereka dengan kesibukan kami ini? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, Amir menjambak rambutku, memaksa aku merunduk mendekat ke kontolnya. Akhirnya aku jilat kepala kontol itu. Asin.
Penuh mulutku ketika aku telan batang bulat panjang itu. Maju mundur mulutku menyepong kontol itu. Tidak terdengar dengusan nafas Amir seperti yang biasa terdengar setiap kali aku oral kontolnya. Sepertinya dia pun khawatir suara-suara kami sampai ke tetangga, tapi aku teruskan kulumanku. Semakin cepat selesai, semakin aman bagi kami, pikirku.

Maka, sambil mengemut, menyedot, dan mengulum batang bulat panjang itu, aku kocok dan aku remas pula, hingga terkadang beberapa kali dengus nafas birahi Amir keluar dengan keras.

Amir menahan kepalaku, membuat kulumanku di kontolnya terhenti. Kucabut batang bulat panjang itu dari mulutku. Aku tegakkan kepalaku dan menyeka ludah dari mulutku. Karena masih tegak kontol itu, maka, dengan pakaiannya, aku tutupkan. Aman.

"Kunjungan buka jam berapa?"Amir bertanya.

"Jam setengah sembilan."

"Sekarang jam berapa?"

Kulihat jam tanganku."Hampir jam delapan. Kenapa?"

Tanpa menjawab, Amir berucap,"Tolong tiang infusnya dibawa kemari, Ceu."

Kupasangkan kembali celana dalamku ke tempatnya. Setelah itu, berjalan aku mendekati tiang infus yang berada disisi lain tempat tidur. Dengan hati-hati aku pegang tiang infus itu. Amir yang duduk di tempat tidur, mengangkat tangan kanannya yang terpasang infus itu. Bergerak tangan itu mengikuti laju tiang infus yang aku bawa ke tempat yang disuruh oleh Amir.

"Di sini?"tanyaku setelah berada didekatnya.

Mengangguk dia. Lalu bergeser duduknya ke pinggir tempat tidur. Ditariknya aku mendekatinya. Dengan berpegangan pada pundakku, dia pun turun.

"Mau pipis?"tanyaku.

Menggeleng dia. Duduk dia di kursi tanpa sandaran yang tadi aku duduki. Setelah mendekatkan tiang infus, dia tatap aku yang berdiri didepannya. Menjelit mataku dan spontan telapak tanganku menutup mulutku karena pakaian pasiennya dia sibakkan, membuat daging bulat panjang yang menggantung di selangkangannya itu mengacung panjang mengarah padaku. Terangguk-angguk kepala kontolnya.

Hanya tersenyum dia melihat keterkejutanku. Dengan satu tangan menggenggam kontolnya, tangan satunya dia majukan ke depan, seperti mengharap aku datang ke dalam pelukannya.

Mau apa dia? Pikirku. Mau aku kulum lagi kontolnya? Tapi 'kan tadi sudah. Setelah tengok kiri dan kanan dan meyakinkan diri jika tirai tetap aman tertutup, aku dekati dia. Dua telapak tangan Amir jatuh di pingganggku. Dibelainya pelan pinggangku, lalu terus ke belakang untuk meremas pantatku. Tidak lama dia remas pantatku karena kini dua tangannya beralih mengusap pahaku.

Ditatapnya aku."Kolornya dilepas, Ceu."

Kuturunkan celana dalamku. Terus aku turunkan hingga terlepas dari kakiku. Dengan kakiku, aku ambil celana dalam dari lantai untuk aku simpan di saku pakaianku. Amir menarik aku lebih dekat. Tapi, karena posisi duduk Amir yang terlalu tinggi, tubuh mungilku menjadi kendala. Kepala kontol Amir hanya mengenai perutku. Saat aku berjinjit, memekku masih tidak dapat menjangkau kontol itu. Hihihi....

Amir coba mengangkat tubuh mungilku, tapi tidak sanggup dia melakukannya. Kemudian dia selonjorkan kedua kakinya masuk di antara dua kakiku yang kemudian aku kangkangkan. Dia naikkan kakinya agar aku dapat duduk di pahanya, tetap tidak mampu dia. Berpegangan tanganku pada pundaknya, membiarkan semua usahanya. Aku tidak mau menjatuhkan mentalnya. Sebagai seorang lelaki, dia sedang berusaha menunjukkan keperkasaannya dan aku harus menghormatinya. Dasar lelaki!

Memyerah akhirnya dia. Dia dorong aku menjauh. Saat dia berdiri meninggalkan kursi bulat tanpa sandaran itu, cepat aku rapikan pakaianku. Tapi dia balikkan aku membelakanginya. Dia tarik kembali bawahan pakaianku, sehingga selangkanganku kembali terbuka.

"Hati-hati infusnya,"ucapku ketika dari arah belakang, dia lingkarkan tangannya di tubuhku. Jemari tangannya menggapai memekku, mengelusnya dan kupejamkan mata, mencoba menikmatinya.

Didorongnya aku merunduk. Bersimpuh aku dengan Amir tetap memeluk aku dari belakangku. Dia perbaiki posisi tiang infusnya. Setelah yakin tiang infusnya tidak membahayakan, maka dia dorong aku menungging. Dia elus pantatku. Lalu, setelah memperbaiki posisi pantatku agar lebih menungging, dia tempelkan kontolnya di belahan pantatku. Kulebarkan pahaku ketika batang bulat panjang itu tiba di ambang lubang kemaluan dan aku kuatkan dudukkan kedua tanganku ketika kontol Amir menusuk masuk. Tertahan nafasku karena lubang memek itu mulai sesak. Terus saja batang bulat panjang itu menyeruak masuk, pelan tapi pasti, dan aku menikmatinya. Kugigit bibirku agar lenguhan tidak keluar manakala batang bulat panjang itu mulai dia maju mundurkan.

Amir nakal. Disela maju mundurnya kontolnya di lubang kemaluanku, sengaja dia hentakkan kontolnya kuat-kuat, hingga menjerit aku. Beberapa kali dia ulang. Meskipun aku menikmatinya, semoga saja tetangga di luar tirai tidak mendengar lenguhanku, batinku.

Kukuatkan dudukan kedua tanganku karena sodokan kontol itu di lubang kemaluanku semakin keras dan deras. Aku tidak mau jatuh ke lantai karena aku tidak tahu apakah bersih lantai rumah sakit ini.

"Ah!"teriakku pelan ketika kontol itu dia benamkan dalam-dalam di lubang kemaluanku. Tak lama kemudian, dapat aku rasakan percikan air hangat menerpa lubang kemaluanku.

Begitu percikan spermanya terhenti, aku majukan pantatku dan batang bulat panjang itu pun terlepas dari lubang kemaluanku. Berdiri aku. Kurapikan pakaianku. Kuajak Amir berdiri. Kusuruh dia naik ke tempat tidur.

Kuambil handuk kecil dari tasku. Kusingkap pakaian Amir dan dengan handuk itu kupakai untuk menyeka kontolnya agar tidak meninggalkan jejak-jejak persetubuhan kami. Selesai dengan kontol Amir, aku keluar dari balik tirai. Tidak ada orang. Tetangga sebelah sepertinya sama bersembunyi dibalik tirai. Kutuju kamar mandi. Aku pun harus membersihkan diri karena sperma Amir menempel di pahaku.

Selesai membersihkan diri, aku kenakan celana dalam dan mematut-matut diri di cermin yang ada di kamar mandi. Keluar dari kamar mandi, kulihat tirai tersibak. Ada orang yang datang. Mendekat aku dan kutemui Akhyar di sana.

Berbarengan mereka menoleh ke arahku, membuat aku salah tingkah. Kurasa tatapan mereka menelanjangiku. Maka kubagi mereka dengan senyuman manisku dan mendekat aku.

"Akhyar balik kerja?"tanyaku memecah keheningan.

Hanya mengangguk dia. Lalu diam kembali. Kutatap Amir yang memejamkan mata. Bingung aku jadinya. Tapi aku biarkan keheningan ini. Kusibukkan diri untuk merapikan nakas dan membiarkan lelaki-lelaki itu.

"Waktunya bersih-bersih ruangan,"Suara khas seorang perempuan terdengar."Maaf mengganggu. Silakan keluar dulu, ya."

Bisa bernafas lega aku. Akhyar melangkah keluar dan aku menyusul dibelakangnya. Keluar kami dari ruangan rawat inap itu, menunggu ruangan selesai dibersihkan. Akhyar coba mendekatiku, tapi aku selalu menjauh. Melengos aku ketika Akhyar menatap aku.

Juju datang. Bergabung dia bersama kami. Setelah mengobrol sebentar, aku pamit pulang. Aku tidak mau menonton Juju pamer kemesraan dengan Amir di pagi ini. Jijik aku melihatnya.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd