Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Berbagi Kehangatan Bersama Adik Ipar

Amir Sakit II

Bersama Akhyar, aku melangkah meninggalkan ruang perawatan itu, meninggalkan Amir dan Juju. Dalam diam kami menelusuri selasar rumah sakit yang telah ramai. Kursi-kursi di Ruang Tunggu didepan Loket Pendaftaran sudah dipenuhi mereka yang hendak berobat. Pun jam kunjungan sebentar lagi dibuka.

Setiba di meja Resepsionis, aku serahkan kartu tamu kepada petugas yang piket. Setelah itu, kami melangkah menuju pintu keluar. Sinar mentari menerpa. Kembali aku menelusuri jalan aspal memanjang yang dipenuhi jajaran pepohonan, tapi kini bersama Akhyar disampingku. Kami tuju pintu keluar dari kompleks industri pupuk ini. Mau pulang aku.

Setelah melewati pintu gerbang kompleks yang dijaga oleh tenaga pengamanan, kami menyeberangi jalan. Rute taksi, sebutan orang Palembang untuk angkutan umum, untuk pulang ke rumahku memang mengharuskan kami menyeberangi jalan.

Setiba diseberang jalan, Akhyar mengajak aku menuju warung yang ada dipinggir jalan. Sambil berteduh dari sinar matahari, aku memerhatikan Akhyar yang sedang memilih banyak kudapan. Pasti oleh-oleh untuk anak-anakku, fikirku senang.

Selesai transaksi pembayaran, Akhyar mendekati aku dan kemudian berkata,"Kita mampir ke tempat kosku, ya, Ceu."

"Tapi saya mau pulang,"protesku.

Enggan aku mengikuti ajakan Akhyar. Pasti ada niat tersembunyi dari lelaki ini. Sejak kejadian di dapurku, ketika dia memaksa aku mengulum kontolnya, Akhyar selalu mencari cara untuk mengulanginya lagi, tapi tidak pernah berhasil. Tidak ada kesempatan bagi dia mendekati aku.

"Sebentar saja."Dia abaikan keberatanku."Toh, Aa 'kan tahunya Eceu sedang di rumah sakit. Nanti kalau Aa bertanya, aku yang jawab. Aa pasti tidak keberatan kalau Eceu aku ajak main ke tempat kosku."

"Pelan-pelan ngomongnya,"bisikku karena aku lihat ibu penjaga warung sedang menatap kami penuh curiga.

Akhyar mendekatkan mulutnya ke telingaku dan berbisik,"Aku tahu kok apa yang Eceu sama Kak Amir lakukan di rumah sakit tadi."

Menjadi lemas aku. Terduduk aku di kursi panjang yang ada didepan warung. Aku menyerah kalah dan beruntung dia yang banyak mengetahui rahasia-rahasiaku. Karena takut terjadi apa-apa dengan stabilitas rumah tanggaku, sekarang aku harus mengikuti kemauan Akhyar.
Toh, tidak ada ruginya. Maka, dengan sangat terpaksa, aku mengikuti Akhyar yang keluar dari warung. Dengan asoy belanja di tangannya, lelaki itu melangkah memasuki lorong kecil yang ada di samping warung. Kuekori dia, melangkah hati-hati karena jalan setapak itu becek dan di sana-sini tergenang air.

Disepanjang jalan setapak itu rimbun dengan semak dan pepohonan. Cepat kujajari Akhyar. Ngeri bila nanti ada binatang liar menyergap. Seperti tahu, Akhyar memperlambat langkahnya. Kubiarkan digenggamnya telapak tanganku karena toh di daerah sini tidak ada yang kenal dengan aku.

Langkah kami terhenti didepan pintu pagar bambu yang mengelilingi rumah batu yang aku perkirakan sudah berumur. Akhyar membuka pintu pagarnya dan dipersilakannya aku masuk.

Setelah menutup kembali pintu pagar, dibawa aku melewati kumpulan pot-pot bunga yang tersusun berjajar menuju teras rumah itu. Tidak ada rumah lain di sekitarnya. Yang ada hanya pohon dan pohon dan suara jengkerik.

"Dipakai saja sandalnya,"ucap Akhyar ketika aku lepaskan sandal sebelum naik ke atas teras.

"Sandalnya kotor. Takut terasnya kotor,"jawabku.

Akhyar mendekati pintu rumah itu. Sambil mengetuk pintu, Akhyar pun berucap,"Assalamualaikum!"

"Wa alaikum salam."Ada jawaban dari dalam rumah. Pintu membuka. Seorang perempuan tua berdiri diambang pintu. Masih cantik meski kerut-kerut di wajahnya sudah tampak. Dia pandang aku sekilas dan kemudian tersenyum dia. Aku sambut senyumnya dengan mengangguk kepadanya.

"Silakan masuk,"ucapnya kemudian.

"Ini kakak ipar, Bude,"Akhyar memperkenalkan aku.

Kuulurkan tanganku dan dia menyambutnya. Tidak perlu aku memperkenalkan diri.

"Ayo, masuk saja,"ucapnya ramah."Tidak apa-apa 'kan Bude tinggal? Bude mau ke warung depan. Ada yang mau di beli."

"Silakan, Bude, silakan,"jawabku.

Di atas teras, didepan pintu, kami berdiri untuk melepas kepergian bude. Setelah si pemilik rumah menutup pintu pagar dan menghilang dari pandangan, Akhyar menarik aku masuk dan dikuncinya pintu.

"Akhyar kok tidak bilang pindah rumah?"tanyaku.

"Belum seminggu aku pindah."Akhyar menaruh asoy berisi kudapan di meja."Enak di sini. Sepi."

Setuju aku dengan ucapannya. Rumahnya besar. Meski tua, tapi terurus dan rapi. Ada figura Mekkah terpajang di dinding rumah ini.

"Pada kemana penghuni rumah?"tanyaku sambil mendekati figura-figura foto keluarga yang terpasang mengelilingi foto Mekkah tadi.

"Bapak kerja. Meskipun sudah pensiun, suami Bude masih diperbantukan oleh perusahaannya,"terang Akhyar,"Anak-anaknya sudah menikah dan pindah rumah. Di sini, sekarang tinggal dengan anak angkatnya. Sedang sekolah sepertinya."

Berbalik aku menghadap ke arah Akhyar yang sedang memamah kue yang dia ambil dari dalam asoy."Saya mau pipis."

"Dibelakang sana."Tunjuknya.

"Antarlah. Saya 'kan tidak tahu tempatnya,"rajukku.

Akhyar bangkit mendekatiku. Karena rumah ini tidak ada orang, maka aku biarkan Akhyar merangkul pinggangku dan dibawanya aku menuju bagian dalam rumah. Rumah ini memanjang ke belakang. Ada dua buah lemari kaca di ruang tengah itu dan di sudut ruang ada televisi kecil tepat berada didepan seperangkat kursi rotan.

Memasuki ruang belakang, terkejut aku karena ada perempuan lain di sana. Perempuan itu duduk di sudut dapur. Gelap dapurnya karena penuh jelaga. Rupanya Bude masih menggunakan kayu untuk memasak. Cepat aku lepaskan tangan Akhyar dari pinggangku dan menjauh aku. Untungnya sedang melamun perempuan lain itu, sehingga kuperkirakan dia tidak melihat kedatangan kami. Sambil duduk di kursi goyang, tanpa senyum, perempuan tua itu menatap tajam aku. Maka, aku lempar senyumanku dan balik menatapnya. Rambutnya yang sudah memutih semua tergelung rapi. Kerutan memenuhi wajah tuanya, tapi tetap cantik.

"Itu mertua Bude. Sudah pikun,"jelas Akhyar sambil kembali merangkul aku.

Sambil melepaskan rangkulannya, karena takut Akhyar berbohong, aku bertanya kepada Akhyar."Berapa umurnya?"

"Entah. Sering hilang dia. Makanya pintu rumah selalu dikunci,"terang Akhyar.

Ditariknya aku berlalu dari hadapan nenek. Dibawanya aku mendekati pintu yang tertutup. Begitu Akhyar membuka pintu, langit membiru terlihat jelas. Rupanya kamar mandinya tanpa atap. Hanya dikelilingi tembok tinggi. Kulihat seragam kerja Akhyar bergantung di tali jemuran bersama beberapa beha dan celana dalam. Di tengah kamar mandi, ada sumur. Bergidik aku saat melihat ke dalam sumur itu. Dalam sekali.

Akhyar mengambil ember yang berada di bibir sumur. Dia lemparkan ember itu ke dalam sumur, lalu menariknya kembali. Dari dalam ember tadi, Akhyar menumpahkan isinya ke ember yang berada di lantai kamar mandi.

"Pipisnya di sini saja."Ada senyum mesum di wajah Akhyar."Biar aku bisa melihat memek Eceu."

Karena memang sudah kebelet pipis, aku ikuti saja anjuran Akhyar. Kubelakangi dia. Setelah menaikkan rokku dan menurunkan celana dalamku, aku berjongkok. Pipis.

Setelah cebok, aku berdiri. Selesai memasang kembali celana dalam, membalik aku dan, Astagfirullah alazhim! Terkejut sangat aku karena didepanku, kudapati Akhyar berdiri dengan kontolnya yang mengacung panjang itu telah dia keluarkan.

"Aku mau kencing juga,"tanpa rasa bersalah, dia berkata.

Sambil memalingkan wajah, beranjak aku dari hadapannya. Dengan meninggalkan Akhyar, aku masuk ke dalam rumah. Kudekati nenek yang masih duduk diam di atas kursi goyangnya.

"Nenek lagi apa?"tanyaku basa-basi, tapi tidak direspon oleh sang nenek yang memandang jauh ke depan.

"Tidak ditanggapi, kan?"Dari arah belakang, Akhyar memelukku.

"Malu dilihat nenek,"cegahku ketika Akhyar merangkul pundakku dan hendak menciumku.

"Nenek sudah pikun. Tidak bisa bercerita kepada siapa pun."

Tapi tetap aku menolak dipeluk oleh Akhyar. Biar pun nenek sudah pikun, tetapi tetap risih bagiku berpelukan didepan orang. Akhirnya Akhyar membawa aku kembali ke ruang depan.

Ruang depan kosong. Bude belum datang rupanya. Melengos aku ketika dia mencuri cium pipiku. Kesempatan itu dipakai oleh Akhyar untuk memeluk aku. Melalui pundaknya, aku arahkan pandangan ke jendela-jendela kaca untuk memastikan tidak ada orang di luar sana.

Merasa aman, aku biarkan bibir Akhyar menempel di bibirku. Mumpung bude belum datang, aku sambut kulumannya. Kecipak suara bibir-bibir kami yang beradu terdengar jelas. Berulang-ulang bibir-bibir kami menyatu untuk saling kulum, terlepas untuk kembali menyatu. Hangat dan bersemangat.

Akhyar melepaskan bibirku. Mundur selangkah dia, lalu diraihnya kancing bluesku. yang menyentuh kancing-kancing bluesku.

"Jangan. Nanti ada yang melihat."Kupandang kondisi dibalik jendela.

Tapi Akhyar mengabaikan ketakutanku. Jari-jari tangan Akhyar tetap menarik lepas kancingnya. Satu, dua, tiga, dan empat kancing pun berlepasan. Kucoba menahan agar bluesku tidak membuka, tapi gagal. Terkuak bluesku, memperlihatkan gundukan daging kenyal milikku.

"Hei!"teriakku tertahan karena dia tarik bluesku turun.

Dua tanganku aku tutupkan ke area dadaku. Mengikuti trend rumah di era 70-an, ruang tamu rumah ini memang dikelilingi jendela-jendela besar dengan kaca yang lebar sehingga pemandangan luar rumah jelas terlihat. Gorden-gordennya digantung di sisi-sisi jendela, membuat orang bisa mengintip ke dalam rumah dengan leluasa.

"Jangan genit, ah."Dengan manja aku tepis jari-jari Akhyar yang menyentuh payudaraku.

Bukannya berhenti, Akhyar tambah gesit menggerayangi dua payudaraku. Behaku ditariknya ke atas sehingga dua payudaraku nampak bergantung.

"Sakit, Akhyar. Pelan-pelan,"ucapku karena remasannya di payudaraku sangat kasar.

Terlepas sepuluh jemari itu. dari payudaraku. Akhyar menarik aku maju sehingga pantatku berada pada pinggiran kursi. Ditariknya pakaianku turun hingga sampai di pinggang. Gila sekali aku ini, pikirku. Bertelanjang dada di ruang depan rumah orang adalah kelakuan memalukan. Bagaimana kalau tuan rumah pulang? Tapi mendapati mata Akhyar yang terbakar birahi, membuat aku ingin tenggelam dalam dekapannya.

Maka aku biarkan mulut Akhyar mendekati payudaraku. Kupejamkan mata ini menikmati rasa geli di payudaraku ketika butiran kecil di puncak payudaraku masuk ke dalam mulut Akhyar. Tanpa suara mulutku membuka karena belaian lidah Akhyar pada butiran kecoklatan itu. Setiap remasan buas tangan Akhyar pada gunung milikku aku balas dengan meremasi rambutnya dengan sama buasnya.

Kubuka mataku karena aku dengar suara sandal yang diseret. Didepan kami, ada aku dapati nenek berdiri, memandang aku yang setengah telanjang dengan Akhyar yang sedang mengemuti payudaraku.

"Ada nenek."Kutahan mulut Akhyar yang masih menyusu itu. Kujauhkan wajahnya dari payudaraku dan kututupi tubuh setengah telanjangku dari tatapan nenek. Syukurlah rasa maluku masih ada meskipun hanya seorang pikun yang menonton ketelanjanganku.

Akhyar menatap nenek. Lalu,"Nenek mau kemana?"

Akhyar yang masih bersimpuh di antara dua pahaku dengan cepat bangun. Dia dekati nenek."Nenek duduk di sini saja."

Akhyar mendudukkan nenek di kursi didepan aku duduk dan aku yang kini salah tingkah. Nenek menatap pakaianku yang semrawut, menatap payudaraku yang hanya aku tutupi dengan lenganku.

Dengan penuh senyum Akhyar berdiri di antara aku dan nenek. Dia lepaskan baju kerjanya dan melemparkannya ke atas meja. Celana panjangnya pun dia turunkan dan hanya meninggalkan celana pendeknya saja.

"Nenek mau lihat?"Akhyar menoleh ke arah nenek. Tidak ada jawaban.

Akhyar menoleh ke arahku, lalu,"Eceu mau lihat?"

Menggeleng aku, tapi Akhyar tetap mengeluarkan kontolnya dari dalam celana pendeknya. Mengacung perkasa daging bulat panjang itu dan melotot mataku karena dengan sengaja dia memainkan kontolnya. Dia gerakkan kontolnya ke kiri, ke kanan, dam ke atas, ke bawah, dan tertawa-tawa dia. Aku yakin nenek pun melihat kontol Akhyar sejelas aku melihatnya. Akhyar gelo!

Masih tertawa Akhyar. Dia genggam kontolnya dan dimajumundurkan pantatnya layaknya sedang menyetubuhi tangannya. Kuperhatikan nenek yang tatapan matanya mengarah ke kontol Akhyar. Tidak ada perubahan di wajah itu. Tetap polos. Untunglah. Berarti aku tidak perlu rebutan menikmati batang bulat panjang itu. Hihihi....

Akhyar mendekati aku. Diacungkannya kontolnya di depan wajahku. Membayangkan kontol Akhyar dikulum, dijilat, dan disedot-sedot nenek, membuat aku tersenyum geli. Tapi tidak lama aku membayangkannya karena Akhyar sudah menempelkan kontolnya di mulutku. Maka, sambil melirik ke arah nenek, aku genggam batang bulat panjang itu. Aku jilat kepala kontol yang sudah basah itu. Aku abaikan rasa asin cairan di kepala kontol itu dengan memasukkan kepala kontol itu ke dalam mulutku. Aku kulum. Aku sedoti. Aku maju mundurkan mulutku untuk menelan kontol itu.

Ketika batang bulat panjang itu terlepas dari mulutku, kuseka mulutku yang basah. Dengan kontolnya yang masih bergelantungan, Akhyar bersimpuh didepanku. Nenek masih duduk didepanku, masih menatap aku, yang memaksa aku untuk menyembunyikan payudaraku sementara tangan Akhyar masuk ke dalam bawahan pakaianku untuk memegangi celana dalamku.

"Akhyar,"bentakku tertahan karena dengan tanpa bersalah, ditariknya turun celana dalamku. Aku coba bertahan, tetapi celana dalam tetap saja terlepas. Tetap diam nenek ketika Akhyar melambai-lambaikan celana dalamku. Hendak aku rebut, tapi Akhyar melemparkannya ke pangkuan nenek. Sialan.

Ketika aku hendak berdiri untuk mengambil celana dalamku, Akhyar mendorong aku kembali duduk. Ditariknya kakiku ke depan, membuat aku terbaring dengan kepala menyandar di sandaran kursi.

"Nek,"panggil Akhyar pada nenek yang memandangi kami.

Akhyar bergeser dari depan selangkanganku dan mendadak disingkapkannya rokku ke atas perutku, lalu,"Memeknya bagus, Nek."

Spontan aku tarik rokku agar selangkanganku tertutup kembali, tapi Akhyar menarik tanganku menjauh dan disingkapkannya kembali rokku dan,"Memeknya tidak ada bulu, Nek. Seperti memek bayi."

Akhyar kurang ajar, makiku dalam hati. Apa maksudnya memamerkan memekku ke orang lain. 'Kan malu. Padahal aku mencukur bulu-bulu jembutku sampai gundul karena untuk menyenangkan mereka, lelaki-lelaki yang menikmati kemaluanku.

Akhyar mendekati selangkanganku. Setelah memaksa kedua pahaku membuka, dia datangi memek bayiku. Menjengit aku karena lidahnya mengenai memekku. Memekku yang tanpa bulu itu pun mulai dia jilati. Lidah itu menusuk-nusuk lubang kemaluanku, mengelus kelentitku, dan aku melupakan nenek.

Akhyar berhenti menjilati memekku. Setelah menaikkan tinggi kedua kakiku, naik dia ke atas kursi. Dengan posisi bersimpuh, dia masuk diantara dua pahaku yang dia kangkangkan. Kugigit bibirku ketika batang kontol itu menyelinap masuk di belahan memanjang kemaluanku. Tersendat-sendat nafasku karena batang bulat panjang itu menggesek-gesek memekku.

Ah! Terdengar lenguhku dan kucengkeram lengan-lengan Akhyar karena memekku mulai penuh. Sesak sekali lubang kemaluanku. Sambil memegangi dengkulku yang terlipat, batang bulat panjang itu mulai bergerak maju mundur. Terus saja batang bulat panjang itu menggagahi kemaluanku. Desahanku memenuhi ruang tamu itu, bersaing dengan gereyit kursi yang ditimbulkan oleh gerakan Akhyar menyetubuhiku."Ah-ah, ah-ah, ah-ah..."

Mendadak lubang kemaluanku kosong. Hilang kenikmatan itu karena Akhyar mencabut kontolnya dari lubang kemaluanku. Akhyar menyeret aku berbaring memanjang di kursi dan dimiringkannya aku ke samping. Memanas pipiku karena mataku bersitumbuk dengan mata nenek. Rasa malu tetap ada melihat mata nenek yang mengarah ke payudaraku yang terbuka. Untung saja selangkanganku masih tertutup pakaianku.

Terangkat paha kananku dan kemudian dapat aku rasakan kepala kontol itu tiba di lubang kemaluanku. Hilang sudah nenek dari mataku. Terpejam mata ini, menikmati desakan batang bulat panjang itu. Lubang kemaluan pun kembali penuh.

"Ah-ah, ah-ah!"Desahan spontan keluar teratur dari mulutku, seiring dengan maju mundurnya kontol Akhyar di lubang kemaluanku. Merem melek mataku. Dengan jamahan jemari tangannya di payudaraku, elusannya di pinggangku, ataupun remasan di pantatku, Akhyar terus memompakan kontolnya di lubang kemaluanku.

Terhenti desahanku dengan hanya meninggalkan nafas yang ngos-ngosan ketika pompaan batang bulat panjang itu terhenti. Kubuka mataku dan nenek masih duduk menatap kami. Akhyar mengambil kaki kananku dan diangkatnya tinggi melewati tubuhnya. Terlentang aku. Ditimpanya aku dan kontol itu kembali beraksi. Setelah mengangkat tangan kananku ke atas, Akhyar mencecapi ketiakku. Menggeliat aku. Bersamaan dengan cecapan di ketiakku, batang bulat panjang itu pun maju mundur dalam lubang kemaluan."Ah-uh-ah-uh, ah-uh-ah-uh."

Ditengah serangan kontol Akhyar yang maju mundur menggagahi kemaluanku, ditengah kecupan bibirnya di leherku, mataku menampak nenek meninggalkan kursinya. Nenek berjalan mendekati pintu.

"Nenek kabur,"ingatku pada Akhyar, tapi lawan mainku itu mengabaikannya. Dengan tetap menjilati telingaku dan dengan dengus birahi yang teratur keluar dari mulutnya, memekku tetap menjadi sasaran serangannya. Maju mundur kontolnya di lubang memekku, yang memaksa aku kembali mendesah menikmati sodokan itu.

Klik! Dapat aku dengar kunci pintu berbunyi. Aku mendongak dan pintu memang terbuka. Gila! Bagaimana kalau bude pulang dan mendapati kami sedang bergumul di atas kursi tamu miliknya di ruang depan rumahnya? Aku berupaya melepaskan diri dari serangan Akhyar, aku memberontak, tapi batang bulat panjang itu semakin deras menghujani lubang kemaluanku. Makin buas Akhyar menyetubuhi aku, membuat kursi yang kami baringi berderit keras.

"Akhyar, pintunya terbuka,"ucapku lemah disela desahanku yang berirama.

Alhamdulillah! Akhirnya kontol itu tercabut dari kemaluanku dan Akhyar meninggalkan aku. Begitu dia turun dari kursi, cepat aku duduk di kursi dan secepatnya pula merapikan pakaianku agar tertutup bagian atas tubuh telanjangku. Kepala Akhyar mendongak keluar jendela, mengintip keluar rumah, dan aku pun, dengan penuh rasa was-was, ikut memandang keluar. Nenek masih berdiri di teras depan.

"Hei!"teriakku karena ditariknya aku turun dari kursi. Terduduk aku di lantai ruang depan itu. Kulipatkan kedua kakiku untuk menutupi selangkangan dan payudaraku. Bukannya berpakaian dan mengejar nenek, Akhyar malah bersimpuh disampingku. Dipaksanya aku menungging, tapi aku menolaknya. Aku takut. Terlalu beresiko permainan kali ini. Aku ingin permainan ini berakhir. Tapi, berpindah dia ke belakang aku. Kembali ditunggingkannya aku dan aku menyerah. Dia elus pantatku. Bergetar tubuh ini ketika batang bulat panjang itu menyelinap di belahan pantatku. Dia lebarkan kedua pahaku dan kepala kontol itu menempel di lubang kemaluanku.

Ah! Melenguh aku ketika kontol Akhyar masuk dan perlahan memenuhi lubang kemaluanku. Enak sekali. Kupandang kaca jendela, tidak ada orang di sana, maka aku pejamkan mataku dan kunikmati desakan batang bulat panjang itu. Desahan pun kembali keluar dari mulutku seirama dengan tusukan kontol Akhyar. Kubiarkan dia ambil payudaraku dan meremasnya, kubiarkan diri ini menikmati persetubuhan kami."Ah-ah, ah-ah, ah-ah."

Hei, siapa itu? Ditengah aksi Akhyar menunggingi aku, kutajamkan pendengaranku. Ada orang di luar sana, batinku panik. Terdengar sayup percakapan mereka dan aku kalut. Debaran jantungku menjadi tidak teratur. Gemetar aku karena suara-suara itu semakin mendekat. Aku jauhkan pantatku ke depan sehingga tercabut kontol itu dari lubang kemaluanku.

Tetapi Akhyar belum mau melepaskan aku. Dipaksanya aku berbaring. Dengan posisi aku yang miring, dia angkat kaki kananku. Masih dengan doggy style, dari arah pantatku, ditusukkannya kembali kontolnya yang membuat aku melupakan sejenak orang-orang yang berada di luar rumah itu. Akhyar memajumundurkan kontolnya dan aku menikmati batang bulat panjang yang memenuhi lubang kemaluanku itu, menikmati remasan Akhyar di payudaraku, menikmati kecupan Akhyar di pundak dan leherku.

Ketika terdengar langkah sandal di teras rumah, Akhyar menghentikan sodokannya di lubang kemaluanku. Dicabutnya kontolnya dari memekku dan bangun dia dari berbaringnya. Sementara aku yang ketakutan, menyembunyikan tubuh telanjangku dibalik meja. Dari posisi berbaringku, dari sela meja tamu, melalui kaca jendela, dapat aku lihat bude memapah nenek mendekati pintu.

"Cepat masuk ke kamar itu."Akhyar menunjuk pintu yang berada di dekat kami. Dengan jantung yang berdegup kencang, aku tatap Akhyar. Setelah Akhyar mengangguk dan setelah menutupi payudaraku dengan pakaian, aku bangkit dan entah kekuatan darimana, aku berlari menuju pintu yang ditunjuk oleh Akhyar. Untung tidak terkunci. Cepat aku masuk dan menutup pintu.​
 
Terakhir diubah:
Makin asik, makin bikin penasaran, kentangnya pakai keju.... Ngerih ngerih sedapppp
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd