Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Berbagi Kehangatan Bersama Adik Ipar

Bimabet
Pagar Makan Tanaman 1

Berjalan aku keluar dari kamar tidur. Di depan televisi, suamiku dan Akhyar duduk. Kakak adik itu sedang menonton. Di tahun 70-an, siaran televisi dikuasai oleh TVRI. Selera rakyat Indonesia diatur dan diarahkan oleh satu-satunya stasiun televisi ini.

Aku teruskan langkah ke ruang depan. Anak-anak bujangku sudah lelap di tempat tidur baru mereka. Karena tiga anak lelakiku sudah beranjak dewasa, maka ruang depan kusulap menjadi kamar tidur agar mereka tidak mendengar suara-suara aneh dari aktivitas malam Mimih mereka. Kuperiksa pintu dan jendela. Adalah rutinitas bagiku untuk memastikan pintu dan jendela telah terkunci sebelum pergi tidur. Kusibak gorden dan mengintip keluar. Jalan di depan rumah sepi. Juga kebiasaan bagiku untuk memeriksa keadaan sekeliling rumah. Tidak ada yang mencurigakan.

Selesai memeriksa pintu dan jendela, kembali aku ke ruang tengah dan mendekati kedua lelaki tadi."Mau tambah tehnya?"

"Tidak usah,"suamiku yang menjawab dan Akhyar mengangguk untuk mengamininya.

"Dibereskan saja gelasnya."Suamiku menghabiskan isi gelasnya dan Akhyar pun ikut menghabiskan isi gelasnya.

"Sebentar lagi selesai filmnya,"lanjut suamiku.

Aku tahu jika mata Akhyar mengerling ke dadaku ketika aku bersimpuh untuk membereskan gelas-gelas bekas pakai mereka. Memang daster yang aku pakai malam ini lumayan terbuka karena aku faham bila suamiku berlama-lama di rumah dan tidak segera kembali ke warung, dia pasti ingin pelayanan dariku. Aku pun faham jika Akhyar menginap di rumahku, Akhyar pun ingin mendapat jatah dariku.

Maka sengaja aku berlama-lama didepan mereka, sengaja memberi kesempatan bagi kedua lelaki itu untuk menikmati indahnya lereng gunungku yang mengintip. Tanpa beha, gunung-gunungku menempel di daster, dengan butiran hitam yang membayang. Pura-pura aku fokus pada tontonan di televisi.

Begitu film tamat, maka berdiri aku. Kubawa nampan dan meninggalkan keduanya. Masuk aku ke kamar tidur dan keluar melalui pintu satunya menuju ruang belakang. Kutaruh nampan di meja makan. Setelah itu, aku matikan lampu ruang belakang dan kembali ke kamar tidur. Kututup pintu.

Dari ruang tengah terdengar lagu Rayuan Pulau Kelapa sebagai tanda TVRI akan menghentikan siarannya. Sudah jam sebelas, malam ini. Belum selesai lagu tadi berkumandang, ruang tengah telah sunyi. TV telah dimatikan.

Tak lama kemudian, pintu kamar terdorong dan melangkah masuk suamiku. Sebentar ditontonnya aku yang sedang mengoleskan lipstik di bibir, kemudian dia tarik keluar kasur kecil yang terlipat di bawah ranjang dan melebarkannya di lantai. Setelah rapi, dia ambil bantal dari atas ranjang dan memindahkannya ke kasur yang sebentar lagi akan menjadi ajang pertarungan kami. Setelah itu,"Kasih bantal untuk Akhyar."

Oh, ternyata Akhyar memang menginap di rumahku. Memang sejak datang dari kampung, dalam rangka menghemat pengeluaran karena belum bekerja, bergiliran dia menumpang tidur di rumah kakak-kakaknya. Setelah bekerja, dia menyewa kamar didekat tempatnya bekerja, sehingga jarang dia menginap. Tapi, semenjak menjalin hubungan denganku, dia rajin menginap di rumahku. Pagar makan tanaman.

Maka, dari atas tempat tidur, aku ambil bantal. Sambil membawa bantal tadi, keluar aku dari kamar tidurku. Dalam temaramnya ruang tengah, karena lampu sudah dipadamkan, aku mendekati kursi panjang didepan televisi, tempat Akhyar berbaring.

"E-hem,"berdehem aku untuk memberitahukan kedatanganku.

Kepala Akhyar menoleh. Tampak terkejut dia dengan kedatanganku. Cepat dia bangun dari berbaringnya. Disambutnya aku."Sudah selesai 'mainnya'?"

"Ngeres?"makiku pelan.

"Aa tidur?"tanyanya lagi penuh semangat.

"Belum."Kusodorkan bantal yang ada di tanganku."Kenapa belum tidur?"

Akhyar menyambut bantalnya."Tidak bisa tidur."

"Kenapa?"Kutepis tangan Akhyar yang hendak meraih tanganku. Bukannya tidak mau, tapi bagaimana kalau suamiku mendapati kami yang berpegangan tangan?

"Gara-gara membayangkan Eceu akan ditelanjangi oleh Aa, akan ditindih oleh Aa, akan dibuat enak-enak oleh Aa, burung aku bangun."Tangan Akhyar meremas selangkangannya.

"Dasar mesum,"makiku lagi dengan sama pelannya, tapi kini ada senyum di wajahku. Senyum genit.

"Sudah, ah. Aa-mu menunggu di kamar. Mau enyak-enyak kami."Sengaja kubuat menggoda suaraku, sengaja ingin membuat makin konak dia.

"Pintu kamarnya jangan dikunci, ya, Ceu,"tukasnya sambil tetap mengelus-elus selangkangannya.

"Kenapa?"

"Mau mengintip."

Dengan telapak tanganku, kututupi mulutku agar tawaku tidak lepas. Akhyar gelo, umpatku dalam hati. Mau mengintip kok bilang-bilang. Segera balik kanan aku dan, plok!, pantatku dia tepuk. Terdengar keras di keheningan malam ini. Cepat kuarahkan pandangan ke pintu kamar. Aman. Suamiku sepertinya tidak mendengarnya.

Takut semakin berani dia, maka melangkah aku meninggalkannya, menuju kamar tidur. Hei! Terkejut sangat aku. Untung tidak keluar teriakanku karena dari belakang, dipeluknya aku. Diciuminya aku. Tapi aku berontak. Aku harus lepas dari pelukannya. Bakal kiamat kalau suamiku mendapati aku berada dalam pelukan adiknya.

Syukurlah Akhyar melepaskan aku. Cepat-cepat aku menjauh. Untung Akhyar tidak mengejarku. Untungnya lagi aku telah tiba didepan pintu kamar tidurku.

Setelah mengatur nafas agar terlihat normal, kudorong pintu dan melangkah masuk. Sesuai permintaan Akhyar, tidak aku kunci pintu itu, bahkan pintu itu tidak menutup sempurna. Biar mudah dia membukanya untuk menonton tubuh telanjangku yang sedang disetubuhi suamiku.

Ih! Membayangkan persetubuhanku malam ini akan jadi tontonan, membuat libidoku menghantam-hantam dadaku. Birahi pun memenuhi kepala, menimbulkan sensasi aneh. Apalagi saat menemukan suamiku yang telanjang sudah rebah di kasur kecil yang berada lantai dengan selangkangan tertutupi bantal, makin kencang detak jantungku. Sudah siap rupanya dia menggauli aku, pikirku sambil menahan senyum. Yes! Begitu pula aku.

Setelah meyakinkan diri kedua anak kami yang berbaring di atas ranjang nyenyak tidurnya, berdiri aku didepan suamiku. Kutarik dasterku meninggi. Tidak berkedip mata itu. Dia pasti menikmati seksinya selangkanganku meski masih tertutupi celana dalam.

Terus aku naikkan daster hingga melewati kepalaku. Terlepas dasterku. Daster yang masih aku pegang, aku lempar ke wajah suamiku. Cepat-cepat dia ambil daster yang menutupi wajahnya itu. Sepertinya dia tidak ingin kehilangan momen ketelanjanganku.

Karena mata itu tidak lepas memandang payudaraku yang tidak berpenutup lagi, maka dengan genit kututupi kedua puting susu dengan jari-jari tanganku. Pura-pura malu aku.

Suamiku menurunkan bantal guling yang menutupi selangkangannya. Tertawa aku melihat kontol suamiku yang bulat gemuk itu mengacung bak tiang bendera. Sayangnya tidak lurus batang kontol itu.

Segera celana dalam aku pelorotkan. Sengaja sebatas pinggang aku turunkan biar suamiku penasaran. Melotot matanya ke arah selangkanganku yang menghitam dengan bulu-bulu jembutku yang mengintip. Memang sudah lama aku tidak mencukur jembutku karena memang belum rimbun.

Aku lanjutkan menurunkan celana dalam. Total kini aku bugil. Terbersit rasa bangga melihat api birahi di mata suamiku. Maka dengan tangan kiri berkacak pinggang dan telapak tangan satunya menutupi kemaluanku, aku maju mundurkan pantatku. Erotis aku menari, membuat jakunnya naik turun.

Dua tangan suamiku membuka lebar, mengajak aku bergabung. Maka, bersimpuh aku dan merayap menaiki tubuh telanjang suamiku untuk menyatu dalam kehangatan tubuhnya.

Dalam posisi menindihnya, wajah kami begitu berdekatan. Dua pipiku dia cubit pelan. Lalu,"Tumben malam ini berdandan?"

"Memang tidak boleh?"tanyaku manja.

Kueratkan payudaraku menempel di dadanya. Aku juga heran kenapa malam ini aku ingin terlihat cantik dihadapan suamiku. Apa ini karena rasa bersalahku karena setelah melayani dia, akan datang adiknya ke kamar ini? Hihihi...

"Tidak boleh."Pipiku masih dia pegang. Bertatapan kami. Lalu,"Sini biar aku hapus."

Ketika bibirnya mendekat, sengaja mataku tetap aku buka. Terdiam suamiku. Heran dia menatapku. Seperti tidak bersalah, balas aku menatapnya.

"Matanya tutup,"ucapnya seraya mengusap mataku.

Sambil menahan senyumku, aku malah memelototkan mataku, biarpun berkali-kali dia usahakan mataku untuk menutup. Hihihi...

Sadar aku sedang mengerjainya, suamiku mendorong aku turun. Menelentang aku dibuatnya. Suamiku bangkit dari berbaringnya dan langsung menaikiku, duduk bersimpuh di bagian leherku. Sambil senyum-senyum, suamiku mengancamku."Awas ya kalau matanya terpejam."

Suamiku meletakkan kontolnya di atas hidungku. Ditahannya kedua pipiku ketika aku hendak melengos. Tertawa aku karena suamiku memaksa mataku tetap membuka dan makin keras tawaku karena oleh suamiku, batang bulat gemuk itu dipukul-pukulkannya ke wajahku.

Kemudian dipaksanya mulutku membuka. Setelah membuka lebar, bersimpuh dia di atas mulutku yang menganga, lalu dimasukkannya kontolnya ke dalam mulutku.

Hueks! Hampir muntah aku ketika kepala kontol itu mengenai tenggorokanku. Maka aku dorong suamiku hingga terlepas kontolnya dari mulutku. Batuk-batuk aku. Sakit tenggorokanku.

Melihat aku yang memegangi tenggorokan dan terus terbatuk-batuk, suamiku meninggalkan aku. Melangkah dia mendekati meja hias. Dia ambil gelas dan menuangkan air dari botol beling yang memang selalu aku sediakan setiap malamnya. Dengan gelas berisi air, didatangi lagi aku. Didudukkannya aku. Dengan posisi bersila, aku terima gelas yang disodorkannya. Kuminum habis isinya.

"Haus, Neng?"gurau suamiku sambil membalikkan gelas yang kosong.

Hanya tersenyum aku. Sambil menyeka mulutku yang basah, kupandangi suamiku yang menaruh kembali gelas yang tadi aku minum ditempat awalnya. Makin gendut suamiku, pikirku. Ah, andai dia tahu kalau aku "main gila" dengan lelaki lain, apakah dia akan segendut ini? Persetanlah! Yang penting aku puas sudah berhasil membalaskan sakit hatiku kepada ipar-iparku.

Bersimpuh dia disamping aku yang masih bersila. Ketika diterlentangkannya tubuh bugilku, kuangkat paha kananku agar selangkanganku menutup. Mendekat dia dan dikejarnya payudaraku. Jatuh kedua tangannya di lereng gunung-gunung itu dan meremasnya. Ketika dipilin-pilinnya bola kecoklatan yang ada di atas puncaknya, terangkat punggungku menahan geli.

Suamiku melepaskan satu payudaraku. Dengan satu tangannya masih menggenggam satu payudaraku, menelungkup dia dengan separuh tubuhnya menindih aku. Batang daging yang mengeras itu dia tekan-tekan di pahaku, lalu dikejarnya payudaraku yang bebas. Menggeliat aku karena dengan ganas disedotinya bola kecoklatan itu, dikulum dan dijilatinya.

Turun bibirnya untuk menjamah lereng gunung itu. Diciumi dan dijilatinya lereng gunung itu dengan sama ganasnya. Berputar-putar mulutnya mengitari gunung itu, mengecupinya, meninggalkan banyak tanda merah.

Sambil kembali disedotinya payudaraku, tangan suamiku meninggalkan payudaraku yang satunya. Berpindah tangan itu ke selakanganku. Hangat telapak tangan itu menempel di belahan memanjang kemaluanku.

"Memeknya sudah basah,"komentarnya yang membuat aku tersipu malu.

Lalu bergerak dia menaiki aku. Dengan posisi Enam Sembilan, kontolnya yang membulat gemuk itu tergantung dihadapanku, menabraki pipiku. Aku tahu suamiku ingin aku mengulum kontolnya. Maka aku cengkeram batang kontol itu. Sangat besar dalam genggamanku.

Ketika aku mulai mengocok batang keras itu, suamiku pun mulai mencumbui memekku. Saat lidahnya menjilati belahan memanjang kemaluanku, menyedoti labia mayoranya, aku pun menjilat-jilat kepala kontolnya yang membulat botak itu. Ada rasa asin, tapi aku abaikan. Entah apa yang suamiku rasa saat menyedoti memekku.

Membulat besar mulutku ketika kepala kontol itu aku telan. Pelan-pelan aku maju mundurkan batang kontol itu. Dapat aku dengar desahan suamiku. Mulai terangsang dia. Kupercepat kepalaku maju mundur menelan batang kontol itu, dengan sesekali menyedoti kepala kontolnya, meremasi batang kontolnya yang super gemuk itu. Senang saja bisa membuat suamiku mati kewalahan.

Tidak mau kalah, suamiku pun makin rakus menyerang memekku. Dengan lidahnya, itilku disedotinya. Dengan jari-jari tangannya, itilku disentuh, ditekan, dan dielusinya. Nafasku ikut menderu, tapi batang bulat gemuk yang masih aku kulum membuat aku kesulitan bernafas. Tersendat-sendat aliran nafasku keluar dari mulutku, tapi suamiku masih terus mengoral memekku. Dikuakkannya belahan memekku dan masuk lidahnya. Dijilatinya dinding-dinding kemaluanku, menusuk masuk ke lubangnya.

Hup! Tercabut batang bulat gemuk itu dari mulutku, dari genggaman tanganku. Begitu pula memekku yang ditinggalkannya. Turun dia dari menindih aku. Masuk dia di antara kedua pahaku. Dirabainya memekku yang sudah basah itu. Dibukanya bibir-bibir kemaluanku, lalu dia tempelkan kepala kontolnya. Spontan kesepuluh jari tanganku mencengkeram dua tangan suamiku dan tertahan jeritanku ketika batang bulat gemuk itu mulai memasuki gerbang kemaluan itu. Gemuk sangat kontol suamiku, membuat sesak memekku.

Terus batang bulat gemuk itu merayap masuk. Makin penuh lubang kemaluanku, makin kuat genggamanku, makin bersemangat suamiku, dan terlepas nafasku manakala kulit selangkangan suamiku menempel di kemaluanku. Nikmat sekali sensasi yang dibuat suamiku.

Suamiku mengambil paha kiriku. Memiring ke kiri aku dibuatnya. Tertahan nafasku ketika kontol suamiku yang bulat gemuk itu tertarik mundur dan, ah!, menjerit aku ketika kemudian dimajukannya kembali. Sekali lagi dia tarik kontolnya, kembali dia majukan dan menjerit lagi aku. Akhirnya menjerit-jerit aku karena kontol itu terus-terusan tertarik dan terhujam di kedalaman lubang kemaluanku yang banjir."Ah, uh, ah, uh, ...."

"Ah!"keras jeritanku karena tercabut kontol itu dari memekku.

Diterlentangkannya aku. Belum sempat kuatur nafasku yang menderu, dua kakiku dia kangkangkan. Sambil merabai kedua pahaku, terus turun tangan suamiku dan menjengit aku karena satu jari tangan suamiku tiba di area selangkangan, mengelus bibir-bibir kemaluannya.

Kugigit pelan bibirku karena jari tangan suamiku masuk ke belahan memanjang memekku, merabainya. Terdorong ke belakang pantatku ketika jari tangan itu menusuk lubang memekku dan terus menghilang. Diobok-oboknya kedalaman lubang kemaluanku. Mendengus nafasku begitu benjolan kecil dibagian atas dalam lubang kemaluanku tersentuh jari itu. Nikmat sekali ketika G-Spot milikku dirabai olehnya.

Hanya sebentar G-Spot milikku dirabai olehnya karena tercabut jarinya. Kutatap dia yang bergeser mendekati aku yang masih mengangkang. Kupejamkan mata dan memasrahkan diri ketika kepala kontol itu menempel di belahan memanjang kemaluanku. Tertahan nafasku begitu batang bulat gemuk itu dengan perlahan menyeruak masuk. Kembali sesak lubang kemaluanku. Merem melek mataku, menikmati tusukan kontolnya yang bertubi-tubi itu. Desahanku menderas dan keras seiring dengan masuk keluarnya batang kontol itu."Ah-ah, ah-ah, ah-ah!"

Desahanku terhenti karena tercabut kontolnya dari lubang kemaluanku. Dia letakkan dua tangannya disampingku. Dengan posisi setengah menindih, dengan kakinya yang melurus di antara dua kakiku yang mengapit tubuhnya, menempel kontolnya yang menegang panjang itu di selangkanganku. Tanpa membuang waktu, aku raih batang bulat gemuk itu dan aku celupkan di lubang kemaluanku.

Menganga lebar mulutku karena suamiku mendorong masuk kepala kontolnya. Kembali penuh lubang kemaluan dan kembali mendesah aku ketika suamiku memajumundurkan pantatnya, membuat kedua kakiku yang menggantung di pinggangnya berayun-ayun.

Tanpa menghentikan kontolnya yang tetap maju mundur, suamiku menindih aku. Dipeluknya aku, aku pun balas memeluknya. Menengadah ke atas daguku ketika kepala suamiku masuk mendekati leherku. Dikecupinya leherku, kiri dan kanan.

Berhenti suamiku menggagahiku, meski masih terhujam kontolnya di lubang kemaluanku. Terlepas tanganku dari tubuh basah itu dan terkapar lemas tanganku.

"Lipstiknya habis,"gurau suamiku dengan jari tangan mengelusi bibirku,"Mau di oles lagi bibirnya?"

Tak kutanggapi gurauannya. Aku malah melingkarkan kedua tanganku di lehernya, kusenyumi dia, lalu kutarik lehernya mendekat. Aku miringkan wajahku dan berpagutan bibir-bibir kami. Hangat dan lebih buas. Begitu aku buka bibirku, lidah suamiku menusuk masuk. Dicarinya lidahku dan aku biarkan disedotinya lidahku. Ditariknya keluar lidahku dan berpindah masuk ke dalam mulutnya. Basah mulut-mulut kami.

Dilepaskannya bibirku dan beralih mulutnya menggapai payudaraku. Sambil mengulum puting susunya, suamiku tetap memajumundurkan kontolnya. Bertambah cepat batang kontol itu menusuki kemaluanku, membuat kedua kakiku yang mengangkang bergoyang-goyang berirama, seirama dengan desahanku."Ah-uh, ah-uh, ah-uh..."

"Ah!"teriakku karena lubang kontolku mendadak kosong.

Suamiku mencabut kontolnya. Dengan nafas yang memburu, suamiku memegang kedua pahaku dan melebarkannya.

"Ah!"Berteriak lagi aku karena dengan keras dia tusukkan kontolnya ke memekku.

Dengan kedua pahaku yang membuka lebar akibat dia tekan dengan dua tangannya, dengan tubuhnya yang setengah menungging, kontol suamiku mulai menghujani kemaluanku. Maju mundur pantat suamiku. Terbanting-banting tubuh mungilku di kasur kecil itu. Nafas suamiku menderu-deru penuh birahi. Begitu pula dengan suaraku yang sama penuh birahi. Desahan memenuhi kamar.

"Ah!"Melenguh suamiku. Mengejang tubuhnya. Terhujam kontolnya. Berdenyut-denyut kontol itu di dalam lubang kemaluanku dan tak lama kemudian semprotan cairan menyiram ke kedalaman lubang kemaluanku. Susul menyusul. Hangat cairan itu.

Melemas tubuh suamiku. Terkapar dia menindih aku. Nafasnya yang ngos-ngosan menerpa leherku. Aku biarkan dia menikmati kemenangannya. Atau kekalahannya? Aku luruskan kedua kakiku yang sejak tadi terus mengangkang dan mulai kuatur nafasku.

Suamiku sayang, suamiku malang. Maaf aku telah membagi hangatnya tubuhku dengan pria lain. Tapi meski aku selingkuh, engkau tetaplah suamiku. Dengan penuh sayang aku elus kepalanya yang rebah di pundakku. Mulai menipis rambut suamiku.

Bangkit kepala suamiku. Ditatapnya aku, lalu,"Makasih."

Memang menjadi kebiasaan dari suamiku mengucapkan terima kasih setelah selesai menumpahkan spermanya di lubang kenikmatan milikku. Tidak pernah lupa sejak awal dia mengambil keperawananku.

Senyum aku. Kuelus pipinya sebelum dia beranjak turun dari atas tubuhku. Berbaring dia disampingku. Bergeser aku merapatkan diri ke tubuhnya. Melingkar tangan suamiku, merangkul pundakku. Dengan menjadikan lengan suamiku sebagai bantal, aku pejamkan mata, menikmati perut buncitnya yang naik turun. Saya sayang kamu, suamiku.

Terbangun aku karena tubuhku ada yang mengguncang. Kubuka mataku dan ada suamiku disampingku. Sudah berpakaian dia. Cepat-cepat aku raba tubuhku. Lega karena ada kain sarung menutupi tubuh telanjangku.

"Tadi Neng bangun. Minta minum,"terang suamiku.

Membesar mataku, tapi tersenyum dia. Lalu,"Dia lihat kita yang masih telanjang."

"Dadan?"tanyaku lagi.

"Kalau dia yang bangun, wah bahaya."

Tersipu aku tersenyum. Neng itu anak perempuan kami yang masih berusia lima tahun, sedangkan Dadan adalah kakaknya yang sudah berusia tujuh tahun.

"Ningsih, aku mau ke warung."Berdiri suamiku. Kuulurkan tanganku dan suamiku menyambutnya. Saat ditariknya aku berdiri, kain sarung merosot turun, membuat aku kembali telanjang. Melotot suamiku menatap aku.

Merunduk aku untuk mengambil kain sarungnya. Cepat-cepat kulilitkan ke tubuh telanjangku. Aku takut terangsang lagi dia. Bakal panjang urusan.

Benarkan. Dia dekati aku. Dia ambil daguku dan mendekat wajahnya. Kupejamkan mata ketika bibirnya mengambil bibirku. Kubiarkan dia kulum bibirku.

Untung hanya sebentar dia mencium aku. Mundur dia dan melangkah dia keluar kamar tidur. Kususul dia ke luar kamar. Sepi ruang tengah. Temaram. Maka kuambil lengannya. Berpegangan tangan kami berjalan.

Setiba didepan pintu keluar, suamiku memutar kunci pintu, lalu dia buka pintunya. Angin kencang menerpa kami. Dingin.

"Mau hujan kayaknya, Pak,"ucapku.

"Iya,"jawabnya."Aku harus cepat-cepat ke warung."

Kulepaskan tangannya dan suami pun berlalu.​
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd