Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT BIANGLALA DI BANDUNG UTARA

Waahh... Boleh juga nie.... Keturunan Ken Arok smp d Jabar....
 

Lanjutan 10​


Mereka menembus hutan melalui jalan tanah setapak selebar 35 cm. Saat mereka persis memasuki mulut hutan, ada beberapa orang berpakaian serba hitam berteriak dari jarak sekitar 20 meter.
"Hei! Itu dia! Mereka ada di sana masuk ke dalam hutan."
"Ayo kejar."
"Tangkap hidup-hidup atau mati!"

Theresia terperanjat mendengar suara teriakan itu. Dia tahu, dia punya banyak musuh. Baik musuh di dalam perusahaan, lawan politik maupun musuh dari perusahaan pesaing. Dia tidak bisa berpikir banyak, yang dia lakukan kini adalah mengikuti langkah Lamsijan yang bergerak cepat.

Lamsijan sendiri juga terkejut ketika tahu para pengejarnya telah sampai sejauh ini. Dia cepat memasuki jalan setapak itu yang akan membawanya menembus hutan. Tetapi baik Lamsijan, Theresia maupun empat orang pengejarnya itu tidak tahu, bahwa jalan setapak itu adalah jalan setapak yang dijuluki oleh para pendaki sebagai jalan setapak setan. Bahkan para pendaki senior yang sudah berpengalaman pun tak berani sembarangan masuk ke dalam jalan setapak itu. Seandainya mereka berani, mereka tentu membawa peralatan lengkap berupa kompas dan ratusan patok. Setiap sepuluh meter, mereka menancapkan patok sebagai tanda bahwa jalan setapak itu telah dilalui. Sehingga mereka tahu apakah mereka berjalan berputar-putar ataukah tidak. Namun sayangnya, sampai dengan saat ini hanya beberapa gelintir saja yang sangat melewati hutan tersebut. Itu pun waktunya bisa mencapai 2 minggu. Keanehan hutan gunung salak ini pernah diekplorasi oleh sebuah Tim Pendaki Gunung dari National Geographic, sayangnya tim itu tidak pernah kembali kecuali setelah 3 bulan, mereka ditemukan di pinggir hutan kampung sebelah dalam keadaan tidak waras alias gila.

Namun bagi Lamsijan, entah bagaimana, sepasang matanya tiba-tiba saja sanggup melihat bercak-bercak aneh di jalan setapak itu. Seakan-akan bercak berwarna kehijauan itu adalah penuntunnya dalam mengikuti alur jalan setapak tersebut. Dan apabila dia tidak mengikuti petunjuk bercak tersebut, dia seperti menabrak kaca bening yang tranparan. Sehingga akhirnya dia terpaksa mengikuti petunjuk itu dan menyusurinya tanpa rasa khawatir.

Hanya dalam beberapa menit saja mereka telah jauh meninggalkan para pengejarnya. Mereka sempat mendengar para pengejarnya itu berteriak-teriak seperti ketakutan. Theresia juga merasa ketakutan, dia mencekal lengan Lamsijan dengan erat. Setelah dua jam berjalan, Theresia kelelahan dan mengeluh kakinya pegal.
"Cepet Kakak."
"Tadi janji kalau pegel mau dipijitin."
"Jangan di sini, enggak ada tempat duduk."
"Tapi kakak udah cape, Ijan."
"Ya udah, sini digendong."
"Sungguh?"
"I ya, sini, naik. Kamu pegang bungkusan ini."

Theresia memegang bungkusan itu lalu meloncat ke atas punggung Lamsijan. Kedua tangannya memeluk leher lelaki itu sementara kedua pahanya mengait di pinggang Lamsijan. Tangan Lamsijan yang kuat memegang bagian bawah pahanya. Lalu dia berjalan tenang dan pelahan.

Sambil digendong, Theresia menyandarkan kepalanya di bahu Lamsijan. Kedua payudaranya menekan dengan nikmat punggung yang kuat dan nyaman itu. Sementara selangkangannya persis menclok di pertengahan punggung lelaki itu. Setiap kali lelaki itu melangkah, setiap kali itu punggungnya menggesek klitoris Theresia yang terhalang celana.
"Aih..." Desis Theresia. Dia merasa nyaman dan tersenyum sendirian saat beberapa kali dia mengucurkan lendir kenikmatan.

Mereka terus berjalan dan menemukan sebuah tenda yang masih utuh, yang ditinggalkan oleh para pendaki. Ijan menurunkan Theresia dari gendongannya. Dia segera membersihkan tenda tersebut untuk melepas lelah. Tenda itu cukup besar, bisa menampung empat orang dewasa. Lamsijan merebahkan diri di sana sejenak.
"Kakak... kakak ngompol ya?" Tanya Lamsijan saat merasakan punggungnya basah dan juga melihat bagian depan celana Theresia basah.
"Apa iih... enggak."
"Itu celananya basah."
"Bukan, ini keringat."
"Keringat koq baunya beda?"
"Apa iih... Ijan... jangan diendus... aaahhh... gak mau."
"Hi hi hi... Kakak... suka ya digendong."
"Tau."
"Cie cie..."
"Kamu bikin sebel tau."
"Eh, pipi kakak ada semutnya." Kata Lamsijan sambil mengusap pipi Theresia dengan jarinya, lalu tiba-tiba menciumnya.
"Ih... nakal!"
"Yang nakal semut."
"Kamu, nakal... heuk... aduh Kakak cegukan lagi... heuk..."
"Bohong." Kata Lamsijan, "bilang aja pengen diemut bibirnya."
"Enak aja."
"Emang enak Kak, ijan suka ngemut bibir Kakak."
"Enak mana sama bibir Bu Priscilia?" Tanya Theresia tiba-tiba.
"Tuh, kan mulai lagi." Kata Lamsijan, dia menjauhkan dirinya dari gadis itu dan rebah di lantai tenda yang terbuat dari parasut.
"O, ngambeknya kayak gitu ya?" Kata Theresia sambil berbaring di sisi Lamsijan. Jarinya mempermainkan hidung Lamsijan yang mancung.
"Ijan ga ngambek." Jawab Lamsijan ketus.
"Bilang aja kangen sama Bu Priscilia."
"Kakak maksudnya apa sih?"
"Duh kasian yang lagi kangen." Ledek Theresia.
"Kalau Ijan kangen, kakak mau apa?" Lamsijan berkata sambil mengusir jari yang mempermainkan hidungnya.
"Ya enggak apa-apa!"
"Dia enggak pernah manja kayak kamu, tau!" Kata Lamsijan dengan sebal.
"Sana pergi duluan kalau kamu kangen sama dia... sana pergi... pergi..." Tiba-tiba Theresia bangkit dan duduk memeluk lutut. Terus menangis. "Kakak memang manja dan jelek. Ngapain juga kamu mau gendong-gendong...hiks... hiks... sana pergi ke Bu Priscilia yang lebih cantik, yang lebih keibuan, yang lebih..."
"Ya udah, kalau Kakak nyuruh pergi, Ijan pergi sekarang."
"Sana pergi, biarin kakak di sini sendirian... lebih baik kakak mati di sini daripada..."
"Daripada apa?"
"Daripada... daripada..."
"Huh, dasar cewek manja. Bikin sebel aja." Kata Lamsijan sambil berdiri.
"Ijan, jangan... jangan pergi." Theresia berkata sambil memegangi tangan Lamsijan.
"Tadi nyuruh pergi... sekarang jangan pergi... kakak maunya apa sih?"
"Kakak takut..."
"Takut apa? Di sini aman, mereka tak mungkin mengejar sampai sejauh ini."
"Bukan mereka...biarin aja. Asal Kakak bisa bersama Ijan, mati pun berani... kakak cuma takut kamu lebih suka Bu..."
"Tuh kan ngebahas Cici Lia lagi."
"Kamu panggil dia Cici? hiks hiks... mesra amat...."
"Kami seperti kaka ade."
"Bohong. Ijan pasti pernah..."
"Pernah apa?" Tanya Lamsijan.
"Pernah gitu..."
"Gitu apa?"

Theresia terdiam. Dia memeluk lutut dan memasukkan kepalanya ke antara dua tangannya.
"Ijan jahat... hiks...hiks...hiks... jahat... kamu jahat..." Katanya sambil menangis.
"Ya, emang aku jahat. Terus kakak mau apa?"
"Kamu enggak pernah ngerti perasaan kakak."
"Ijan ngerti perasaan kakak."
"Enggak, kamu enggak ngerti! Kakak juga sama seperti semua perempuan, ingin disayang, ingin dimanja... ingin dibelai... kayak Cici..."
"Tapi Kakak kan punya suami."
"Bu Lia juga punya suami kan?"
"Tapi kalau Cici beda... dia...dia... dia..."
"Dia apa? Kamu sayang sama dia kan?"

Lamsijan terdiam. Dia duduk berpeluk lutut sama seperti Theresia. Mereka saling memunggungi.

"Kakak tau..." Kata Lamsijan dengan suara parau, "Ijan tidak pernah berharap sebanyak ini. Ijan tak ingin jadi apa pun seperti yang Kakak dambakan...jadi Ketua DPC juga sebenarnya terpaksa... mereka sudah terlalu parah menggerogoti partai... Ijan hanya ingin memperbaiki lingkungan tempat Ijan tinggal agar menjadi tempat yang lebih baik untuk ditinggali... Ijan cuma anak desa kak... hanya punya beberapa bisnis kecil yang Ijan harap bisa menyumbang perbaikan penghidupan teman-teman... itu saja, tidak lebih.

Terkadang kalau malam sepi dan terbangun, rasanya pengeeeeeeennnn banget ada seseorang yang berbaring di sisi Ijan... menghibur hati yang sering kali mendadak ditekan sunyi... Kakak, hidup sendiri tanpa keluarga bukan hal yang mudah, terkadang rasa sunyi itu demikian sadis mengiris-iris hati... tapi Kakak tidak akan paham hal ini... Kakak punya segalanya, harta, tahta, suami yang baik... bagaimana mungkin Ijan berani merusak semuanya?"

"Ijan, kamu bener-bener cowok bodoh..."
"Memang, Ijan hanya anak desa yang tolol yang mengharapkan dapat memeluk rembulan."
"Bukan itu maksud kakak... kamu kenapa sih jadi sensi gitu?"
"Ah, sudahlah... kenapa kita jadi saling menyakiti begini?" Kata Lamsijan seperti kepada dirinya sendiri. "Ijan tau, kita saling menyukai sejak kejadian pagi itu..."
"Kakak juga."
"Semula memang Ijan menyangka parfum itu berasal dari Dian... tapi setelah... setelah mencium kakak... itu bukan Dian. Lagi pula dia sudah meninggal dunia..."
"Ijan... jujur ya sama kakak." Kata Theresia sambil berbalik, "kalau disuruh memilih kakak atau cici Lia, mana yang akan kamu pilih?"

Lamsijan terdiam.
"Cepet pilih."
"Seandainya kakak adalah orang biasa, Ijan akan memilih Kakak." Kata Lamsijan dengan suara pelahan, hampir tak terdengar. Theresia tersenyum.
"Saat ini, kakak cuma orang biasa." Katanya sambil memeluk punggung Lamsijan dari belakang. Kedua kakinya melebar dan menelonjor melewati pinggul lelaki itu. Dia memeluk erat Lamsijan.
"Tidakkah Ijan tau perasaan kakak saat ini?"

Lamsijan menoleh. Dia melihat sepasang mata yang basah oleh sisa tangis. Mereka saling bertatapan.
"Kakak..." Suara Lamsijan menghilang ketika bibir Theresia tiba-tiba memagut bibirnya. Lamsijan menerima pagutan itu. Mereka kemudian berciuman lama sekali. Saling pagut dan saling lumat seakan tak merasa puas. Lidah mereka saling bersilat di dalam pertemuan dua mulut yang rapat. Kepala mereka bergerak-gerak ke kiri ke kanan mencari posisi paling tepat untuk tidak saling melepaskan diri.
"Kakak... sudah... akhh..." Kata Lamsijan sambil berusaha melepaskan diri dari pagutan Theresia. Tapi wanita itu belum merasa puas, dia bahkan mendorong Lamsijan hingga rebah dan menindihnya. Dia mengunyah bibir Lamsijan seperti mengunyah es krim. Dadanya yang mengeras terus ditekan ke dada lelaki itu demikian juga dengan selangkangannya. Theresia menggeser-gesernya sambil terus menikmati bibir Lamsijan.
"Kakak udah dulu..."
"Diem, kakak lagi enak." Kata Theresia sambil terus menggeser-geser selangkangannya di atas selangkangan Lamsijan.
"Kakak ini di hutan... enggak boleh..."
"Ijan... kaka udah enggak tahan... pengen..." Kata Theresia dengan suara gemetar. Dia melepaskan kancing celana pantalon Lamsijan dan menariknya hingga ke pertengahan paha. Perempuan jelita itu kemudian membebaskan menara elastis yang terbelenggu di dalam kungkungan CD katun Calvein Klein dan membiarkannya menerobos ke luar lipatan kain. CD CK memang didisain seperti itu. Sehingga glandula ikan lele berbentuk seperti helm jerman itu menyeruak dengan gagahnya. Ditopang oleh silinder batang berwarna kecoklatan yang tinggi bagai menara monas, dia bergoyang-goyang seperti bandul terbalik. Mulutnya yang mungil tersenyum sinis, siap menghadapi segala kemungkinan.

Sekejap Theresia terkesima oleh pentungan lembut itu. Sepasang matanya nanar. Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, dia mencaploknya dengan mulutnya dalam sekali terkam. Sambil mengemut pelan, tangan Theresia yang lentik lembut putih, mendorong celana panjangnya sekaligus celana dalamnya turun hingga ke lutut. Sepasang buah pantatnya yang putih halus tanpa cacat itu pun segera menongol bagai telur rebus hangat yang baru saja dikuliti.

"Arghkh... kakak... jangan... kita... enggak boleh... ini hutan larangan..."

Tapi Theresia tidak mempedulikan apa yang dikatakan Lamsijan. Dia melepaskan kulumannya kemudian menjongkoki selangkangan lelaki muda itu persis di mana si glandula ikan lele tengah meronta-ronta seperti banteng pemarah yang ingin menyeruduk apa saja yang ada di depannya, terutama yang berwarna merah. Demikian juga dengan si glandula ikan lele, dia meronta-ronta ingin menonjok liang vulva terbuka yang menganga berwarna pink yang dibeceki cairan kental bening.

Dua musuh abadi pun saling berhadapan.

Yang satu mangap dengan dinding-dinding epitel pink yang meneteskan lendir tanda siap menerkam, yang lain mengeras siap melakukan serudukan dahsyat. Ketika keduanya bertemu, persis ketika glandula ikan lele itu menyeruduk bibir-bibir epitel yang mangap... percikan listrik tak kasat mata itu langsung saja meledak lembut seperti petir yang menyambar-nyambar dahsyat. Suara ledakannya yang gemuruh tak bisa didengar oleh siapa pun kecuali oleh ratusan bahkan mungkin ribuan mahluk-mahluk tak kasat yang bersidekap tenang; menonton sambil tersenyum alim walau harus berkerumun berdesakan di sekeliling tenda.

Pertarungan pun dimulai.
Srrrrttttt.... sssllleeeebbb!

"Eummmhhhhhkkkk..." Desis Theresia ketika dia merasakan hangatnya silinder kenikmatan itu pelahan memasuki dan memenuhi dirinya. Dia kemudian menjatuhkan diri di atas dada Lamsijan dan memeluk erat tubuh lelaki itu.
"Izaannnkhkh... sayanghkhkh... oukh..." Erangnya seraya menggerakkan pinggulnya pelahan naik turun, seperti gaya ulat bulu berlari terbirit-birit kala dikejar burung Kutilang. Pinggulnya naik mumbul ke atas, lalu turun menggeser dan menekan ke bawah, mumbul lagi... terus dan terus begitu.

Hal tersebut tentu saja membuat Lamsijan tak bisa berbuat apa pun selain menghinggapkan sepuluh jari jemari tangannya yang lebar dan panjang pada sepasang buah pantat sehalus sekenyal telur rebus putih yang telah dikupas kulitnya. Meremas dengan gemas dan ikut membantu memberi semangat serta dorongan untuk gerakan naik turun mumbul pental pentul pinggul Theresia dalam irama yang senada.
"Aih... aih...aih... izzzzzannnkkkkhhh...aduuuhhh.... mmmhkkk..." Desis Theresia di antara terengahnya nafas yang meminta udara segar sebanyak-banyaknya.

Lamsijan pun mengerang. Sepasang otot-otot pahanya berkontraksi tanda dia mengeluarkan tenaga dan memusatkannya secara sangat fokus pada batang tegang berglandula ikan lele miliknya, yang pada saat bersamaan tengah bertempur melawan sempitnya dinding epitel liang gulita yang mencengkram kuat dan ganas.

Berkali-kali si glandula ikan lele itu disembur oleh cairan kental warna putih kehijauan, yang langsung membuih saat terperangkap oleh gesekan-gesekan yang cepat. Dia menyeruduk dan menonjok-nonjok di bagian dalam dengan gagah berani; sehingga akhirnya selubung dinding otot-otot yang mencengkramnya itu tak lagi menganggapnya musuh. Tapi justru menjadi sahabat. Saat berada di dalam kegulitaan itu, mulut si glandula ikan lele akhirnya sanggup mencium ujung rahim dan mereka berjabatan serta berpelukan dengan mesra.

Ditandai oleh jeritan sang pemilik rahim yang sangat menyayat, melolong tinggi mengangkasa hingga melewati puncak gunung; terjadilah sebuah ledakan dahsyat di antara keduanya secara bersamaan; itulah tanda persahabatan dan persatuan kekal abadi sebagai lambang hukum kontinuitas kehidupan.

Si glandula ikan lele bersama batangnya terengah-engah lemas, sementara cengkraman itu pun mulai memudar dan mengkerut. Terdiam dalam keheningan total alam yang tak bertepi, Theresia dan Lamsijan terdampar di hamparan awan.

Mereka melayang.
Melayang.
Melayang...

Lalu terlupa oleh nyenyak yang datang sejenak.

Theresia mendengkur pelahan di atas tubuh Lamsijan yang memeluknya dengan erat. Sepasang matanya yang berbulu lentik itu terpejam dalam damai. Bibirnya tersenyum menandakan kebahagiaan yang bersemi di hatinya.

Ah, i ya, memang bahagia itu ternyata sederhana; asal bisa nikmat sejenak, segala kesulitan, kesusahan dan kegundahan hati, dapat kau pendam di kuburan masa lalu dengan sempurna.

(Bersambung)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd