Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT BIANGLALA DI BANDUNG UTARA

In Memoriam @MelancholyBlue


Aku menemukan dia tergeletak di ranjang putih Rumah Sakit. Berbaring dengan selang-selang infus bersilangan pada hidung dan lengannya. Dia menatapku redup. Tak ada tanda-tanda kehidupan pada sorot matanya yang dulu setajam sinar matahari pagi. Meski pun sempat tersenyum namun aku tahu itu adalah caranya untuk menutupi rasa sakit yang mendera kepalanya.
“Gua tau gua enggak akan bertahan lama.” Katanya dengan suara agak terputus.
“Tidak.” Kataku, “kamu akan hidup seratus tahun lagi.”

Wajahnya beriak menahan tawa.

“Jancok! Kerjaan lu cuma ngibulin gua.” Katanya. “Lu udah beresin semua surat-suratnya?”
“Sudah,” jawabku. “Sebentar lagi notaris datang. Aku sudah bilang sama administrasi rumah sakit, semua biaya ditanggung asuransi. Mereka bilang oke.”
“Lu udah liat anak gua?”
“Minggu lalu aku mampir ke Jatingaleh, cuma sebentar. Sempet ngobrol sama Dandung…”
“Mereka pindah ke Semarang?” Tanyanya dengan mata berkaca.
“Ya. Dandung punya bengkel kecil di sana.”
“Winda?”
“Dia buka warung di sebelah bengkel. Mereka menikah.”
“Syukurlah. Terus anak gua?”
“Erfan? Dia sudah TK. Walau bapaknya jelek… tapi dia anak yang ganteng, kulitnya putih kayak Winda tapi rambutnya ikal kayak kamu.”

Dia tertawa. Tubuhnya terguncang-guncang. Dalam keadaan normal, dia akan membalas ledekanku dengan caranya yang khas. Ada secercah rasa bahagia di wajahnya.
“Winda ngomong apa sama elu?”
“Enggak banyak.”
“Nanyain gua ga?”

Aku diam.

“Sedikit. Tapi polda (polisi dapur, panggilan buat istri) ngobrol banyak sama dia. Aku enggak tahu mereka ngobrol apa.”
“Pesen gua udah lu sampein?”

Aku mengangguk.

“Terus?”
“Dia tidak bilang apa-apa.”
“Tapi?”
“Enggak pake tapi-tapi bro.”
“Jancuk! Lu ceritain semuanya napa sih?” Tubuhnya gemetar saat dia berkata dengan terbawa perasaan.

Aku tersenyum, memperhatikan sahabatku yang umurnya tinggal beberapa minggu lagi ini.

“Pesan kamu udah aku sampein semuanya. Kamu titip agar Winda menjaga dan mendidik Erfan. Boleh dididik disiplin tapi tidak boleh dipukul. Kalau Winda memukul Erfan kamu akan bangkit dari kubur dan mendatanginya untuk meminta pertanggungjawaban. Erfan harus disekolahkan di sekolah terbaik setinggi-tingginya. Tapi biarkan Erfan menjadi dirinya sendiri. Biarkan dia bebas memilih apa yang menurutnya baik, tugas Winda hanya membimbing dan mengayomi.” Kataku, “sedangkan yang lain, yakni deposito dan rumah kontrakan di Bulaksumur itu kamu wariskan buat Erfan. Aku sampaikan juga bahwa Winda dapat jatah pembagian harta gono-gini perceraianmu dengan Bu Mela. Setelah aku sampaikan semua pesanmu, Winda mendadak pergi ke kamar dan diam di sana selama hampir satu jam. Polda kemudian menyusul masuk dan mereka mendekam di dalam kamar selama satu jam lagi. Sambil menunggu, aku ngobrol sama Dandung ngalor-ngidul, setelah Polda ke luar kamar, dia langsung mengajak pulang.”

Matanya yang redup itu menatapku seperti tak percaya.

“Selama di perjalanan, aku tanya sama polda, ngomong apa dia sama Winda. Jawab polda banyak. Winda kemudian nanya sama polda, kamu dirawat di rumah sakit mana? Dia pengen ketemu kamu walau cuma sebentar. Tapi polda menjawab tidak tau.”
“Syukurlah. Gua ga bisa ketemu Winda dalam keadaan memalukan kayak gini.”
“Sebelum pamit pulang, Winda sempet nanyain ke aku juga…”
“Terus elu jawab apa?”
“Ya aku jawab sejujurnya saja.”
“Dasar dungu, emang lu suka gua diliatin Winda dalam keadaan kacau beliau seperti ini?!”
“Bodo amat!” Kataku sambil sedikit terkekeh. “Aku enggak tega lihat wajahnya saat bilang kangen sama kamu.”
“Kapan dia mau ke sini?”
“Meneketehe.” Kataku, “aku cuma jawab kamu dirawat di rumah sakit mana, ngapain juga nanya-nanya orang mau ke sini atau tidak.”


Wajahnya yang pias tampak nyengir. Ekspresinya seperti perawan yang malu didatangi cowok, tapi hatinya sangat bahagia.
“Dah ya bro, aku pulang dulu. Soalnya tuh suster udah pelatat-pelotot kayak gitu.”
“Don, elu tau enggak? Mekinya tuh suster tebel dan jembutnya rimbun.”
“Bodo.”
“Sssttt… elu bawa rokok enggak?”
“Bawa, emang kenapa?”
“Umpetin di kolong meja, sama koreknya sekalian.”
“Gah. Kamu enggak boleh rokoan tau.”
“Ah dasar elu aja pelit.”
“Bodo.”
“Heh! Lu kasih gua sekarang atau entar kalao gua mati gua datengin lu buat minta rokok.”
“Jancok!” Kataku. “Nih, gua umpetin di bawah meja.”
“Thanks ya bro.” Katanya.
“Bodo amat. Cepet sembuh kamu.”
“Gua kagak akan sembuh, seminggu dua minggu lagi gua mati.”
“Waktunya habis Pak Suman.” Kata Suster itu di ambang pintu, “mohon segera meninggalkan ruangan pasien.”

Aku mengangguk dan meninggalkan ruang rawat VIP itu tanpa banyak bicara.


***


Selama berhari-hari setiap pagi dan petang aku menjenguk sahabatku. Setelah dirawat kurang lebih 3 minggu, akhirnya sahabatku @MelancholyBlue menghembuskan nafas terakhirnya. Tumor ganas yang bersarang di dalam otaknya tumbuh sangat cepat dan liar. Tim dokter pun menyerah.

Almarhum wafat dalam usia yang sangat muda, 37 tahun. Meninggalkan 1 orang anak, 1 mantan istri dan beberapa orang selingkuhan yang masih merindukannya.

***

Kami bersahabat selama lebih dari 20 tahun. Sejak di Surabaya ketika kami menghabiskan masa remaja kami yang purba dan kemudian menemukan sumber penghidupan lumayan di Jakarta hingga akhirnya dia menetap di Bali ––sementara aku tinggal di sekitaran Jawa Barat.

Tidak mudah bagiku menemukan deskripsi yang tepat mengenai sahabatku yang satu ini. Beberapa anak buahnya mengatakan bahwa dia adalah bos yang pelit, menuntut dan galak. Tapi beberapa orang selingkuhannya yang pernah ngobrol sama aku mengatakan dia orangnya sangat bucin dan royal. Sementara mantan istrinya sendiri sering bilang kalau sahabatku itu adalah seorang pendiam dan fans berat PERSIB, dia ikut tergabung dalam suatu komunitas bobotoh. Dia sering mencibir Persebaya, hal itu yang selalu menjadi pemicu kami “berantem” karena tak pernah bisa saling menerima argumen masing-masing.

Sampai dengan akhir hayatnya, dia tidak pernah bisa akur dengan Polda. Menurut Polda, sahabatku itu membawa pengaruh buruk kepadaku. Polda sendiri memang dekat dengan Bu Mela, mantan istri sahabatku itu, jadi wajar jika Polda mendapat bisikan-bisikan aneh dari Bu Mela.

Selama beberapa tahun terakhir ––sejak 2014–– dia sering mengajakku nongkrong di suatu kafe di kawasan Puncak, Bogor. Biasanya pada Sabtu Sore atau minggu pagi. Selama nongkrong, aku tak pernah bosan mendengar cerita dan petualangannya. Dia mengklaim, dia pernah meniduri semua jenis perempuan dari semua jenis ras. Apabila dia menceritakan kisahnya secara detail, aku sering terpana dibuatnya ––pada dasarnya, semua cerita yang pernah aku tulis di berbagai forum, setengahnya (mungkin lebih) adalah berdasarkan pada cerita sahabatku itu ketika nongkrong di kafe.

Dia memiliki cara bertutur yang khas, unik dan menarik. Saat mengisahkan ceritanya, dia akan memperlihatkan ekspresi dan bahasa tubuh tertentu yang membuat aku terbawa dalam suasana ceritanya. Namun ketika aku dorong dia untuk menuliskan ceritanya, dia tiba-tiba saja menjadi seperti orang bisu dan gagap. Dia mencoba berkali-kali, namun selalu gagal. Dia selalu menganggap tulisan-tulisannya gagal.

Mengenai kegagalannya dalam menulis, dia pernah berkata bahwa perbedaan bercerita secara bertutur dan bercerita dengan menulis itu seperti Tomat dan Apel. “Sama-sama buah, tapi rasanya lain sama sekali. Baik cara mengupasnya maupun cara memakannya, memiliki tehnik yang sangat berbeda.” Begitu katanya.

“Don, semua orang pasti memiliki ceritanya sendiri. Semua orang juga tahu awan itu putih dan langit itu biru tetapi untuk menuliskannya… itu benar-benar persoalan yang sangat berbeda.” Itulah kalimatnya yang sering kali tak bisa aku lupakan.


***


Aku belajar menulis belum terlalu lama, mungkin sejak 2010 ketika dia mengajakku mengikuti kelas Creative Writing di Bandung. Pada tahun 2016, aku minta izin kepadanya untuk menuliskan kisah-kisah yang diceritakannya ketika nongkrong di Kafe. Dia mengizinkan dengan syarat, sebelum dipublish, dia harus membaca terlebih dahulu draft pertamaku.

Baik, aku enggak masalah.

Selama hampir 4 tahun menuliskan kisahnya, sedikitnya ada 10 cerita yang pada awalnya disetujui oleh sahabatku tapi kemudian diminta dihentikan dan ditarik dari peredaran di sejumlah situs website.

Khusus untuk forum ini aku kira ada sekitar 4 atau 5 cerita, di antaranya: ELEGI CINTA YANG HILANG (dibeli secara eklusif oleh temannya), SAYAP-SAYAP PATAH, PETUALANGAN DI RIMBA ASMARA (yang dicuri oleh @Purbaya1 yang merupakan salah satu staffnya), ARMAN DONELLO (selain karena aku sakit dan malas meneruskan ceritanya tetapi itu juga atas permintaan sahabatku untuk menghentikannya).

Sementara untuk cerita BIANGLALA DI BANDUNG UTARA, yang merupakan kelanjutan dari cerita AMNESIA, sejak awal @MelancholyBlue sudah keberatan untuk dipublish. Sampai dengan pertengahan September 2020 kemarin, aku sudah mengiriminya naskah sekitar 30 episode lanjutan. Ketika aku mengunjunginya di rumah sakit pada pertengahan oktober 2020 kemarin, almarhum meminta agar tidak mempublish episode lanjutan 11 dan seterusnya.

Alasannya sama dengan alasan ketika dia meminta aku “membunuh” tokoh Imelda Chang alias Si Putih dalam cerita Arman Donello, yakni: INI CERITA PUNYA GUA, ELU TULIS ATAS SEIZIN GUA. KALO ELU MAU NULIS BEBAS, LU CARI IDE SENDIRI KAYA KISAH SI SURADI!!!


***

Perjalanan selama lebih dari 20 tahun persahabatan kami, tidak selamanya berlangsung mulus. Kami pernah beberapa kali “bertengkar keras” yang membuat kami menjauh selama beberapa bulan. Aku ingat persis bagaimana dia memasukkan foto seorang perempuan telanjang dan beberapa bungkus kondom ke dalam saku jaket bagian dalam, tanpa sepengetahuanku. Aku baru “ngeh” setelah polda memeriksa jaket tersebut sebelum dicuci.

Akibatnya edan banget!

Polda ngamuk sambil nangis-nangis bahkan sempat terucap minta cerai. Polda pulang ke rumah ortunya selama 2 minggu dan mau balik setelah aku jelaskan duduk persoalannya. Itu adalah salah satu guyonan yang sangat tidak lucu dari almarhum @MelancholyBlue .

Tetapi ada guyonan lain yang lebih tidak lucu lagi. Kejadiannya sekitar 3 tahun yang lalu. Dia mengundangku ke apartemen sewaannya yang kecil di bilangan Jakarta Pusat. Setelah ngobrol sekitar 15 menit sambil minum kopi, tiba-tiba dia bilang harus pergi karena ada kerjaan mendadak yang penting.
“Gua tidak akan lama, paling sejam dua jam. Kunci gua bawa, soalnya kalo elu udah ngorok, ada kebakaran juga elu kagak akan bangun.” Begitu katanya.

Oke, aku enggak masalah. Aku tahu kalau sudah tidur, aku mirip seperti orang mati.

Sejam kemudian entah mengapa aku merasa gelisah dan badanku terasa panas ––belakangan nanti aku akan tahu kalau dia telah memasukkan obat perangsang ke dalam kopi yang kuminum–– Lalu mendadak pintu terbuka dan empat orang gadis-gadis cantik yang putih dan seksi masuk ke dalam apartment dan pintu kemudian dikunci dari luar.

Selama sehari semalam aku terkurung bersama 4 orang gadis cantik yang hanya bisa berbahasa mandarin. Untungnya aku tahu kalau 4 kamera CCTV yang tersebar di dalam apartment sewaannya itu terhubung pada DVR yang disembunyikan di dalam lemari baju. Dengan terpaksa aku cabut kabel yang menghubungkan ke kamera agar dia tidak terlalu senang dengan leluconnya. Lagi pula itu akan menghemat banyak penyimpanan data. Toh, walau pun di dalam apartment tersebut akan terjadi banyak “perkelahian” tapi aku yakin tidak akan ada satu pun yang terbunuh.

Yang mati memang ada, tapi dia masih bisa hidup kembali di lain waktu.

***

Meskipun kami bersahabat tapi kami tahu persis bahwa kami adalah orang yang sangat berbeda. Dilihat dari segi apa pun kami benar-benar lengkap perbedaannya. Perbedaan itulah yang menyebabkan aku tak pernah bosan mendengarkan ceritanya. Sedangkan dia, dia membutuhkan aku untuk mendengarkan seluruh kisahnya. Aku berfungsi seperti seorang psikolog yang mendengar keluh kesah pasien, mencatatnya dan menimpalinya jika perlu. Aku menggenggam erat semua rahasianya lalu menuliskannya dengan caraku. Dia dengan segala pertimbangannya, menyetujui atau menolak apa yang telah aku tulis.

Sampai dengan saat ini, aku masih memegang teguh komitmen untuk tidak mempublish apa-apa yang tidak disetujuinya.

***

Kalau boleh aku jujur, aku sebenarnya tidak tahu persis pekerjaan @MelancholyBlue itu apa. Memang benar dia bekerja di suatu “Perusahaan Besar” nasional dan menduduki jabatan yang cukup tinggi tetapi itu tidak pernah menjelaskan mengapa dia sangat dekat dengan sejumlah elit politik, pejabat-pejabat tinggi setingkat mentri, para pengusaha kaya raya yang kekayaannya tak sanggup aku bayangkan serta para artis top yang cantik-cantik nan jelita. Di sisi ini, aku tak sanggup menarik benang merah yang tegas dan jelas hubungan antara almarhum dengan mereka, terutama kalau dikaitkan dengan pekerjaannya di “Perusahaan Besar” itu.

Semula, ketika dia mulai menceritakan semua kisahnya, aku tertawa dan mengatakan dia adalah seorang pembual. Dia hanya terkekeh. Dia sama sekali tidak mempedulikan ketakniscayaanku terhadap seluruh ceritanya.

Di mataku, sosok almarhum adalah suatu misteri yang sangat besar, yang sampai dengan saat ini masih tak terpecahkan. Meskipun demikian, secara umum aku menyimpulkan, sahabatku itu adalah seorang yang “benar-benar sangat kesepian”.

***

Catatan kecil ini aku tulis pada 10 November 2020, pukul 08.30 pagi hari untuk mengenang seorang sahabat yang telah mengubah pandanganku terhadap negeri ini secara revolusioner. Walaupun sebagian orang mengatakan dia adalah orang brengsek, sebagian lagi mengatakan dia hanya orang biasa tak bernama, tapi di mataku dia adalah seorang pahlawan. Dia adalah orang besar yang sanggup mengubah isi kepalaku hanya ––dan hanya–– dengan cerita-ceritanya.


Rest In Peace brother,
I always respect you.


Love, Your bestfriend
Sumandono Kardi.​
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd