Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

telanjangbugil2023

Semprot Kecil
Daftar
28 Jun 2023
Post
55
Like diterima
1.708
Bimabet

Penampakan Bidadari​



Dia bidadari yang tersia-siakan. Kedua sayapnya patah. Bulu-bulunya rontok, menyisakan tulang-belulang yang kurus. Semangatnya telah hilang. Izinkanlah aku masuk ke hatimu. Akan kubangkitkan lagi semangatmu agar kecantikanmu kembali beradian.

- Salam to Siti -

Casts:

umi

Umi

Iqbaal-Dilan.jpg

Doni


Jam menunjukkan jam 3 sore…. eh… 10 malam… eh… 3 subuh. Ah, tahu ah gelap. Namanya juga lagi mabuk. Susah mikir, coi. Yang pasti langit belum buka warung. Tuh, lampunya belum nyala. Hehehe…. Jayus ya? Lo yang bego, lagian orang mabuk lo dengerin. Guoblok! Hihihihi…

Gue terseok-seok menuju pintu depan rumah yang tingginya dua kali badan gue. Kepala gue bersandar ke pintu jati berukir sambil tangan meraba-raba kantong celana. "Kunci...kunci...," gumam gue. Setelah mendapatkan serenceng, gue pilah, lalu gue tusuk-tusuk tuh lubang pintu dengan susah payah, macam perjaka ting ting kesulitan nyari lubang vagina saat mau penetrasi. Cklek! ah, terbuka juga. Gue dorong pintunya dan melangkah ke dalam. Ruang tamu beratap tinggi bergaya modern menyambut kedatangan gue.

Di dalam gue terdiam mematung, karena di sofa duduk seorang bidadari cantik berwajah jutek, melipat tangan. Ini kali pertama gue melihat penampakan seperti ini. Gue kucek-kucek mata, jangan-jangan jin penunggu rumah. Sebab minggu lalu salah satu pembantu rumah mengaku melihat penampakan makhluk halus. Ah, sudahlah gue mau ke kamar dan tidur. Gak ada waktu urusan sama nona jin. Entah berapa lama lagi, gue masih dapat berdiri.

"Doni!" terdengar suara teriakan menusuk telinga gue, bergema di tempurung kepala. Rasanya bak sepuluh gong dipukul berulang-ulang. Auh pusing! Bumi serasa bergoyang-goyang dombret. Gue kehilangan keseimbangan. Duh, bakal hantam lantai nih. Sakit ga yaaaa... masih sempat gue berpikir gak jelas begitu.

Bruk! Gue terjatuh.

Tapi... gue bingung, sejak kapan lantai kok kenyal-kenyal begini. Teknologi baru apa yang terpasang di lantai. Gue pegang untuk memastikan. Beneran kenyal dan kok ada yang nonjol-nonjol, keras, kecil bisa digoyang-goyang kayak joystik. GUe mengadah, woalah, ternyata gue jatuh di dada bidadari cantik yang tadi.

"Tetekmu besar juga. Cewek di alam sana cantik-cantik, yaa?" ucap gue serampangan. Ah biar saja. Namanya juga halu. Bebas. Pantatnya gimana ya? Coba ah pegang. Gue remas. Uhhh kenyal dan besar. Gue jadi tersipu-sipu dan si junior langsung ngaceng. Terus... terus... kalau itunya gimana? Gue raba kemaluannya. Ihihii.... lembut dan empuk. Kalau bidadari bisa terangsang gak ya? Gue gosok-gosok cepat anunya. "Ahhh.....," desahnya dan pinggulnya bergoyang. Gue setengah sadar. Entah bagaimana, tangan gue sudah menyentuh gundukan daging berbulu. Tiba-tiba saja, "Srot!" tangan tersiram cairan hangat. Setelah itu gue blackout. Gak ingat apa-apa lagi.

Sadar-sadar gue terbangun di atas kasur. Terbangun oleh suara berisik sekumpulan anak sedang belajar yang menembus pintu kamar. Pusing! Belum lagi sinar matahari yang menyeruak melewati gorden tanpa permisi. Sungguh mengganggu

Satu kelopak terangkat setengah watt, satu bola mata melirik ke jam dinding bermotif kepala Gundam. Jarum panjang dan pendek menunjuk angka duabelas. Telat... lagi-lagi gue sudah telat untuk kuliah pagi. Biarlah. Kuliah juga buat apa. Paling hanya untuk mengejar cewek-cewek cantik. Masih lebih nikmat daripada mengejar nilai. Sama-sama pas lulus gak tahu apa-apa.

Gue bangun dan berjalan gontai ke kamar mandi dalam. Bau alkohol masih menempel di kaos. Gue duduk di atas singgasana toilet dan mengeluarkan isi perut gue. Brebet! Brebet! Brebetbetbetbet! Ahhhh di tengah-tengah harum gas metan, gue teringat akan mimpi bertemu dengan bidadari semalam. Ada perasaan nyaman sekaligus birahi. Boleh juga sering-sering mimpi seperti itu. Sayang, kenapa gak gue mimpi basah sekalian? Biar enaknya sampai ke alam sadar.

Selesai mandi, gue keluar kamar mau cari makan. Dalam perjalanan ke ruang makan gue melewati beberapa kelas. Di salah satunya terlihat umi gue yang cantik sedang mengajar. Usianya 45 tahun. Pakaiannya selalu tertutup, gamis dan jilbab panjang. Satu-satunya yang tak tertutup hanya wajahnya.

Umi adalah seorang ustadzah dengan ide gila membuka sekolah untuk anak-anak jalanan terlantar. Ya, gila. Padahal dia bisa bergaya layaknya kaum sosialita. Having fun, belanja-belanja, jalan-jalan, beli perhiasan, sepatu, baju-baju branded. Secara dia berasal dari keluarga kaya. Abi juga uangnya banyak, pengusaha tambang. Tapi beliau memilih menghambur-hamburkan uangnya untuk anak-anak pecandu lem, anak-anak punk, pengamen, pencuri, dan pelacur, tanpa memungut bayaran sepeser pun.

Gue tidak terlalu suka dengan ide umi dan sekolahnya. Gue merasa kehadiran anak-anak itu menginvasi ruang privasi gue. Selain itu namanya anak jalanan, kebanyakan dari mereka hidup tanpa aturan. Sporadis. Tak mau dikekang aturan. Belum lagi tidak semuanya di sini niat belajar. Sebagian dipaksa oleh dinsos untuk mengenyam pendidikan di sini supaya tidak hidup di jalanan.

Rasa tidak suka gue, bukan tak beralasan. Sudah cukup banyak barang di rumah yang hilang. Termasuk sepatu, headphone dan tas kesayangan. Gue bilang ke umi, pasang CCTV saja. Tapi umi tidak mau. Karena ia tidak mau memperlakukan mereka seperti penjahat atau maling. Dia bercita-cita ingin bisa mengubah masa depan mereka. Jika ada satu dari mereka yang menjadi manusia sukses, baginya itu sudah merupakan bayaran yang cukup, katanya

Di dalam kelas itu juga ada seorang asisten umi, namanya..... ah siapa ya, Darsih, Asih... ah lupa. Dia guru termuda di sekolah itu. Dadanya besar dan pinggulnya uh lezat. Pokoknya cantik. Meski berjilbab dan bergamis, pakaiannya kesulitan menutupi keindahannya.

Beberapa kali pernah gue iseng toel-toel pantatnya. Dia cuma marah-marah manja gitu. “Iiii… Mas Doni, jangan gitu donk…,” protesnya cemberut. Gemesin banget marahnya. Terus dia paksa gue berjanji gak ngulangi lagi. Hehe… yang ada malah gue sergap dadanya, eh dia latah mendesah mendayu-dayu gitu. Bikin ngaceng. Pas tahu dia orangnya latah, gue bawa dia mojok dan gue manfaatin kelatahannya.

“Remes-remes otong!”

“Eh remes-remes otong!” katanya sambil benar-benar meremas-remas otong gue. “Ah mas Doni jangan gitu,” katanya langsung kaget usai memegang alat kelamin gue dari luar celana.

“Remes-remes otong!”

“Eh remes-remes otong!” dia ulangi lagi perbuatannya, begitu terus sampai gue crot.

Alhasil gue diaduin ke umi. Dan gue diadili dengan tuduhan pasal pelecehan seksual selama dua jam non stop. Berakhir dengan hukuman puasa selama seminggu. Gue cuma boleh makan nasi putih dan garam. Sebenarnya apa susahnya? Di kantin kampus gue tinggal pesan Bakmi Ayam Nyonya Menir yang lezat, atau Soto Tangkar Mang Udin yang legendaris. Dia juga tak bakalan tahu. Cuma biar lo pada tahu meskipun gue bandel, tetep masih ada hormatnya sama umi. Gue jalani hukuman darinya secara penuh. Di akhir hukuman, umi malah biasanya masakin gue gulai ayam kesukaan gue. Bilangnya pembantu yang buat, padahal dia sendiri. Dan itu rasanya nikmaaat.....

Dari dalam kelas umi melirik gue. Pandangannya asam. Pasti karena sudah siang begini gue masih di rumah, plus mata gue melirik-lirik asistennya. Ah bodo amat. Gue langsung bercandain. Dengan dua telunjuk gue gambar hati di udara, terus gue tembakan ke arahnya, gue tutup dengan kerlingan mata dan isyarat jempol dan telunjuk merapat, sarangeoooo.... Aksi gue mencuri perhatian kelas, disambut dengan tawa geli murid-murid. Umi melempar spidol marker, mengusir gue dari TKP. Ya sudah, gue lanjut dengan misi gue.

Ketika tiba di ruang makan, gue melihat pintu kulkas terbuka. Ada orang di situ. Wajahnya terhalang pintu. Tapi nampak dari sisi bawah, sepasang kaki, berkulit hitam, bercelana pendek. Hemm… kaki milik siapa? Rasanya asing.

"Siapa?" teriak gue

Makhluk misterius itu menongolkan kepalanya sambil mengunyah sesuatu. Bibirnya celemotan coklat dan krim.

"Hemm, enak," katanya seraya menunjukkan kue Blackforest yang ia ambil dari kulkas. Anak itu seumuran gue. Tampangnya dekil. Sudah pasti ini salah satu murid umi, minim etika.

Maling itu terlihat santai meskipun tertangkap basah mencuri. Bahkan dia masih sempat mencomot kaleng jus milik gue dan meneguknya di depan gue. Lalu bersendawa, ""Errrgghh!" Sebelum akhirnya dia beranjak pergi seolah tak terjadi apa-apa.

Bangsat!

"Hei, maling berhenti!" teriak gue dan menyusulnya.

Kata-kata gue menghentikan langkahnya.

Anak itu berbalik.

“Apa lo bilang?”

"Dasar MALING!" maki gue kesal dengan penekanan pada kata "Maling."

Hidung anak itu bergerak-gerak seakan-akan alergi dengan kata maling.

“Terus kau mau apa, hah? Mau berkelahi? Mati kau nanti hai anak manja,” ancamnya.

“Dasar manusia tak tahu diuntung. Sudah bisa belajar gratis di rumah orang kaya, masih juga kau mencuri, keturunan maling kau rupanya.”

"Hanya kue sedikit saja, kau bawa-bawa silsilah keluargaku. Banyak cingcong kau! Kuberi kau nanti, heh!" ancamnya sambil mengepalkan tinju.

"Ayo, siapa takut!" balas gue mengangkat tinju.

Dia panas, gue juga panas. Kami bergesekan dan terbakar. Tapi gue merasa ada di pihak yang benar. Takkan mundur gue selangkah

Tiba-tiba dia melompat dan langsung melayangkan bogem ke muka gue. “Buk!” Gue terhuyung mundur dua langkah. Hidung gue melesak sekian detik. Berani-beraninya dia melukai wajah gue yang tamvan.

Usai melancarkan serangan dia agak kepleset karena genangan air di lantai. Badannya tak seimbang. Kesempatan!

Tapi baru saja hendak gue balas, sekonyong-konyong umi datang dan menghalangi niat gue. Dia pasang badan, lalu membentak, "Doni, apa yang kamu lakukan!"

"Monyet hitam sialan ini mencuri dari kulkas!" teriak gue.

Mati kau! Gue kupas tuntas kejahatannya di depan umi. Selama ini mereka mencuri sembunyi-sembunyi. Tapi kali ini ada saksi mata. Namun siapa nyana umi malah berkata, "Doni, tak pantas kamu memaki seperti itu, cepat minta maaf!"

“Apa!? umi ingin aku minta maaf ke bajingan ini?!?!?.”

Anak monyet itu memamerkan senyum mengejek di belakang punggung umi.

“Ya, kalau kamu masih menganggap umi!”

Sialan! Sialan! Sialan! Apa-apaan ini, umi lebih membela anak orang lain daripada anak sendiri. Padahal jelas-jelas gue yang benar.

"Aku tak akan minta maaf!" teriak gue dan berputar setengah badan serta melipat tangan.

Umi berbalik dan memeriksa keadaan anak itu. "Apakah kamu baik-baik saja?" tanyanya. "Saya tak apa-apa, bu guru," jawabnya dengan wajah meringis memegangi pipi. Tentu umi dapat melihat sandiwara picisan itu, kan? Lagian kenapa juga dia yang ditanya keadaannya, lah gue kok enggak. Hei, umi anakmu yang ini, di sini, bukan di sana. Dan ternyata penilaian gue salah, umi berbalik lagi dan berjalan ke arah gue dengan wajah marah. Ia mengeluarkan jurus capit kepiting, menjewer telinga gue dan menariknya.

“Au! Auh! Auh! Ampun!” hanya itu yang dapat terucap dari mulut gue. Jeweran umi memiliki semacam kekuatan untuk menjinakkan jiwa pemberontak gue.

Umi menarik gue melewati kelas-kelasnya. Murid-murid di ruangan itu langsung tertawa melihat kemalangan yang gue alami. "Hahahahaha!"

Dasar anak-anak kurang ajar! Maki gue dalam hati. Gue beri mereka isyarat jari tengah. Uh, mereka langsung serempak membalas gue dengan jari-jari yang lebih banyak. Anjayyyy. Terdengar sayup-sayup guru kelas mereka menegur cecunguk-cecunguk itu.

Umi menarik gue ke dalam ruang kerjanya. Ia menutup pintu dan mulai memarahi gue.

“Jadi kamu sudah berani melawan umi, hah!?” omelnya dengan tambahan jeweran ekstra pedas level setan.

“Ampun umi! Ahh….!”

Rasanya telinga ini mau putus. Umi memelintir telinga gue berulang kali seperti orang sedang memeras jeruk limo.

“Lagipula kenapa kamu masih di rumah, hah? Kenapa tidak kuliah?”

“...Ah buat apa sih kuliah!?” jawab gue ketus.

"Buat apa???? BUAT APA????? Dasar anak bodoh! Mau jadi apa kau nanti kalau tidak sekolah!!! Abimu sudah bayar biaya kuliah mahal, mahal. Kamu kerjaannya bolos mulu," marah umi sambil mendorong-dorong pelipis gue dengan telunjuk. Gue respon dengan putaran bola mata 360 derajat. Omelan yang sudah serasa music player di klik looping. "Anak siapa sih ini! Apa jangan-jangan tertukar saat masih bayi di rumah sakit."

"Bisa jadi," jawab gue sekenanya.

Gemertak gigi umi terdengar. Amarahnya naik level. Gue serasa sedang di medan perang dan gue terjebak di parit kehabisan amunisi. Sementara musuh terus memborbadir gue dengan meriam, granat dan serangan udara. Bom meledak di sana-sini. Debu pasir terlontar di udara menutup langit. Peluru haus darah berdesingan melewati telinga. Gue lihat pistol kecil tergeletak di tanah. Gue raih hendak membalas, dor! dor! dor!

"Tapi kan!"

“Heeee berani bantah!” balasnya dengan mata melotot menakutkan. “Doni Sebastian Caknoyo!”

Wah, ini alamat buruk, kalau dia sudah menyebut nama lengkap gue.

Umi berjalan ke sebuah lemari dan membuka pintunya. Tangannya meraih dan mengeluarkan senjata pusaka, yaitu jejenggggg….. kemoceng pembunuh naga.


Alkisah kemoceng itu merupakan warisan dari seorang pendekar wanita legendaris yang pernah membuat satu klan sebelas naga liar tak berkutik. Setiap sabetannya mengeluarkan listrik dan api. Suara ayunannya macam desing angin puting beliung mengamuk. Saat menyentuh kulit, terdengar, "Cetar! Cetar!" bak geledek di tengah hujan badai. Pendekar itu tak lain adalah nenek gue dan kesebelas naga liar itu adalah anak laki-lakinya. Umi anak keduabelas, cewek satu-satunya yang paling disayang nenek dan mendapatkan warisan kemoceng pembunuh naga. Senjata laknat itu telah menyiksa hari-hari gue sejak kecil. Benci sekali dengan perih menyengat dari sabetan rotannya.

Tapi kini gue sudah dewasa. Tak mau lagi gue tunduk oleh kemoceng itu. Ketika umi mengayunkan benda itu, gue tangkis dengan lengan. Batang rotan kemoceng itu patah. Itu adalah kali pertama terjadi. Alam semesta pasti sedang mendukung gue.

Kami berdua terdiam. Tapi tiba-tiba umi menangis.

“Huuuu… kamu tuh makin besar, makin kurang ajar sama umi. Kamu sudah berani melawan. Biar umi mati sekalian… huuuuu,” tangisnya, “Kamu tega! Kamu sudah gak sayang lagi sama umi.”

Dari semua hukuman yang umi berikan, hukum puasa, dijewer, dikemoceng, dan lain-lain. Hanya satu siksaan yang paling gue tak kuat, yaitu siksaan air matanya.

“Apa sih, umi lebay,” ucap gue.

“HuuuuUUUUUUU!” makin keras tangisnya.

Gue benar-benar tak tega. Akhirnya gue rela menurunkan ego gue. Gue memeluknya dan berkata, “Iya, iyaa Doni yang salah. Maafin Doni.”

Alhasil gue berujung harus meminta maaf kepada si monyet hitam sialan itu.

Malamnya gue dan teman-temanku kembali berpesta pora. Gue ingin menghilangkan ingatan akan kejadian apes tadi siang. Kami minum-minum sampai mabuk asoooiiiii. Tarik manggggg!!!

Subuh gue pulang, didrop di depan rumah oleh teman-teman gue. Lagi-lagi gue terseok-seok dari pintu gerbang. Langkahnya ke kiri, ke kanan, ke kiri, ke kanan, seperti sedang berjalan di dek kapal laut yang terombang-ambing di Laut Iblis, dekat pantai Jepang di Samudera Pasifik. Sampai di depan pintu masuk, gue buka daunnya. Lagi-lagi bidadari yang sama telah menungguku. Secepat inikah gue mulai bermimpi lagi. Jangan-jangan gue blackout saat memasuki pintu.

Ah siapa yang peduli. Gue hampiri bidadari itu dan gue tindih tubuhnya. Gue remas-remas toketnya yang kenyal itu dan kusibak roknya. Bidadari itu meronta-ronta, tapi gue berhasil menancapkan penis gue ke dalam vaginanya. "Ungghhh," lenguhnya. Gue keluarkan, gue masukkan lagi, keluarkan, masukkan lagi. "AAhhhh...ahh..ahhh!" lenguhnya makin keras. Suaranya feminim membakar birahi. Sampai akhirnya Gue letuskan senjata gue di dalam vaginanya. Bodo amat. Namanya juga mimpi. Bebas donk. Mau besok dia hamil. Bukan urusan.

Bangun-bangun gue sudah ada di atas kasur. Bagaimana gue bisa sampai di sini? Gue teringat lagi mimpi basah semalam. Ah sungguh indahnya. Gue senyum-senyum sendiri. Gue pegang celana gue di bagian kemaluan. Eh, kenapa kering. Ah mungkin gue crot dah dari beberapa jam lalu. Ah sudahlah gue tidak terlalu memikirkan hal itu.

Yang menarik perhatian gue adalah dari luar kamar terdengar suara ribut-ribut. Padahal hari ini hari Minggu. Seharusnya sekolah libur. Jadi ini tidak mungkin keributan antar anak jalanan.

Gue keluar kamar untuk menyelidiki. Suara dari arah ruang tamu. Tenyata kedua orang tua gue sedang bertengkar hebat. Di sana berkumpul beberapa orang, salah satunya asisten umi yang seksi itu. Gue mengintip dan menguping.



“Jadi bagaimana? Apakah suami ibu bersedia bertanggungjawab atas perbuatannya kepada putri kami, Ningsih?” tanya laki-laki yang sudah tua. Suaranya seperti ada rasa sungkan bercampur kesedihan.

Hah apa yang sudah diperbuat abi?
 
Terakhir diubah:
QkI2KhUB_o.jpg

Umi

Rahasia Bidadari​



"Saya tak mau dimadu!" teriak umi. Suaranya meninggi, raut wajahnya marah tak menerima.

"Maafkan putri kami yang tak tahu diuntung ini. Sudah diterima kerja oleh ibu, malah berselingkuh dengan suami ibu. Tapi... tapi sekarang dia sudah hamil," ucap bapak tua itu memelas.

Umi menatap abi dan berkata, "Ceraikan aku, baru boleh kau menikah dengan Ningsih!"

Apa??? Apa telinga gue tak salah dengar, nih. Abi selingkuh? Dengan wanita itu? Kapan? Dimana? Bagaimana? Sejuta pertanyaan bermunculan di benak gue bagai cendawan di musim penghujan.

“Sayang, aku tak mau bercerai denganmu….,” mohon abi.

“Seharusnya kau pikirkan itu sebelum kau berbuat!” mentah umi dengan berkaca-kaca, “Kita sudah menikah lebih dari 20 tahun! Kita bangun bersama rumah tangga ini.”

"Sayang maafkan aku. Janganlah seperti ini. Kita cari solusinya. Bagaimana kalau aku buatkan rumah lain untuk Ningsih, dia tidak harus tinggal di rumah ini. Izinkanlah aku menikah lagi. Lagipula pikirkanlah jika kita bercerai, nanti bagaimana kau akan membiayai sekolahmu? Pikirkan anak-anak didikmu. Pikirkan juga Doni."

"Jangan kau bawa-bawa mereka dalam permasalahan ini! Kau pikir kau bisa gunakan mereka untuk mendapatkan restuku. Kau salah besar!" bentak umi, "Akan kutuntut kau nanti dengan tunjangan yang sangat besar!"

“Sayang akan kulakukan apa saja untukmu, asal kita jangan bercerai,” pinta abi

“Mau tidak cerai? Jangan nikahi Ningsih!”

“Selain itu….”

“Jangan nikahi Ningsih!”

“Sayang…..”

Umi tampak kesal.

“Kalau mau nikah ya, kita cerai. Sudah aku pusing!” umi berteriak seraya meninggalkan mereka.

Hahhh... kedua orang tua akan cerai. Fix, gue calon anak broken home.

Umi berjalan dengan cepat sambil menangis. Hati gue terenyuh. Gue menyusulnya. Umi masuk ke ruang kerja. Gue berdiri di depan pintu, ragu mengetuk. Apakah sebaiknya gue biarkan dia. Tapi gue gak tega mengetahui umi bersedih sendiri. Entar ngeliat tampang gue tambah pusing lagi. Ah, ntar paling gue langsung diusir. Gue ketuk saja tak ada ruginya.

“Tok! Tok! Tok!”

“Siapa!?” bentaknya tapi lemas.

Glek! Gue menelan ludah, lalu menjawab, “Doni….”

Di luar dugaan ia berkata, “Masuk!”

Gue membuka pintu dan melangkah ke dalam. Mata mama yang merah dan sembab memandang gue dari kursi di belakang meja.

Wajahnya muram.

“Kenapa kamu gak kuliah?” tanyanya galak.

“I…ini kan hari Minggu…”

Umi langsung mengusap wajahnya dan air matanya. “Astaghfirullahaladzim,” bisiknya. Pikirannya pasti sedang banyak beban sampai tak ingat hari ini hari apa. Tapi masih sempat-sempatnya dia memikirkan gue dalam keadaan seperti ini. Namanya juga seorang ibu. Gue mendekatinya, memeluknya dan berkata, “Bagaimana perasaan umi?”

Selesai gue berucap umi memeluk gue dan langsung menangis sejadi-jadinya.

“Huuuu…huuuuuuuuu…. Doni, abimu selingkuh dengan wanita lain….”

“Iya….. Doni sudah dengar.”

Bulir-bulir air matanya langsung membasahi bahuku. Gue usap-usap dan tepuk-tepuk lembut punggungnya. Gue bilang, “Keluarin semua…. Keluarin semua….”

“Umi sudah tua…. Abimu sudah tak cinta lagi dengan umi…. Huuuuuu…. Huuuuu…. Dia cari yang lebih muda. Pasti ia sengaja menghamili wanita itu, untuk memaksa umi menyetujui pernikahannya. Huuuuuu…. Huuuuu…. Dasar laki-laki buaya, penjahat kelamin!,” tangis umi, dengan nada suara naik turun. Setiap kali nadanya meninggi dia meremas lengan gue, sampai mencakar. Dari sakitnya lengan gue, gue bisa merasakan perihnya hati umi.

“Umi masih cantik kok,” hibur gue.

“Abimu sudah tidak memberikan nafkah batin selama lebih dari setahun. Ia pasti sudah tidak menginginkan umi lagi. Huuuuuu….huuuuu….huuuuuu…….”

Gue biarkan umi menangis sejadi-jadinya di bahuku hingga reda. Mungkin saking lelahnya menangis, umi tertidur di pelukan gue. Gue gak tega membiarkan umi tidur di ruang kerja. Apa gue bawa ke kamar tidurnya? Tapi dia sedang bertengkar dengan abi. Ya sudah, gue angkat dan gendong saja ke kamar gue. Ehm…. berat juga atau mungkin gue yang kurang nge-gym.

Di kamar gue, gue baringkan beliau ke atas kasur. Gue selimuti dia sambil gue pandang wajahnya. Ah gue jadi merasa bersalah. Selama ini gue kurang berbakti dan tidak mencoba membuat orang tua gue bahagia. Apakah gue faktor penyumbang ketidakbahagiaan rumah tangga mereka? Apakah gara-gara gue?


Gue dekati wajah umi dan berbisik di telinganya, “Doni janji, Doni akan berusaha membahagiakan umi,” Lalu gue kecup keningnya.

Semenjak hari itu, umi terlihat tak bersemangat menjalani hari-harinya. Ia sering melamun saat mengajar. Kadang kala ia duduk di samping kolam ikan, memberi makan penduduk koi, namun pandangannya kosong. Sampai gue tegur dia, karena ia tak sadar kolamnya sudah penuh dengan pelet ikan.

Di suatu sore gue melihat dia sedang membalik-balik beberapa brosur di ruang kerjanya. Gue hampiri dia untuk menanyakan keadaannya.

“Umi?”

Dia kaget dengan kehardiran gue dan buru-buru menyingkirkan brosur-brosur itu ke bawah tumpukan map. Namun salah satunya jatuh ke lantai. Gue memungutnya dan membaca judulnya, “Operasi Implan Payudara.”

“Untuk apa ini?” tanya gue.

“Gak… itu…. ah umi cuma baca-baca saja,” jawabnya.

“Umi mau implan beginian,” tanya gue.

Umi menggeleng, “Gak kok. Memangnya salah kalau cuma membaca?”

Gue menghembuskan nafas panjang.

“Umi sudah cantik, tak perlu operasi-operasi macam ini.”

“Tapi abimu…!” Dia menghentikan ucapannya. Raut wajahnya berubah sedih. Lalu lanjut berkata, “Mungkin abimu akan senang kalau umi punya dada lebih besar seperti Ningsih. Kalau dada umi sedikit lebih besar darinya mungkin umi bisa bersaing. Kalau dia menikah dengan Ningsih, pasti dia akan lebih sering dengan bini mudanya. Dan ia akan melupakan umi. Sekarang saja dia tidak pernah menyentuh umi lagi.”

“Siapa itu di jendela!” teriak gue tiba-tiba.

Umi kaget dan menoleh ke arah jendela. Saat itu juga gue merebut brosur lainnya di bawah map.

“Operasi Merapatkan Vagina, Operasi Mengencangkan Kulit,” baca gue.

“Doni!” Sergah umi kaget. Ia hendak merebutnya kembali. Tapi gue angkat tinggi-tinggi, hingga ia tak dapat menggapainya. Kemudian gue robek semua brosur itu di udara.

“Umi adalah wanita yang cantik sedunia, tak perlu ini semua.”

“Kamu itu laki-laki. Laki-laki hanya manis di mulut!”

“Kalau kamu diberikan pilihan, antara wanita seperti Ningsih yang muda dan bohai, dan wanita seperti umi. Kamu pasti memilih Ningsih.”

“Ya iyalah….”

Umi terlihat kesal dengan respon gue. Ia kumpulkan sobekan brosur-brosur yang ada lantai.

Gue juga kesal, karena umi merasa rendah diri. Gue ikut mengumpulkan sobekan-sobekan itu. Kami jadi berlomba siapa yang paling cepat. Gue berhasil mendapatkan setengahnya. Akan gue bawa keluar dan bakar!

Hap! umi menggigit lengan gue. Aw! Genggaman gue mengendor. Umi langsung menyambar sobekan-sobekan itu bagai elang.

“Ih apaan sih, gigit-gigit seperti itu.”

“Biarin.”

Umi melindungi kertas itu dalam pelukannya, lalu memunggungi gue. Sehingga gue tak dapat merampas balik.

“Sudahlah pergi sana, mabuk-mabukan sana dengan teman-temanmu,” suruhnya.

“Huh, beneran ya. Jangan protes kalau Doni pulang mabuk lagi!” balas gue.

“Umi tak peduli!”

Hiiiii… sejak kapan umi tidak peduli? Tak biasanya umi bersikap seperti itu. Biasanya ia yang paling nomor satu mencegah gue, kalau tahu gue hendak mabuk-mabukan. Perselingkuhan abi tampaknya benar-benar mengubah umi.

“Baiklah! Terserah!” ucap gue melengos pergi. Dari kejauhan gue teriak, “Asyik nih, bisa sekalian main cewek sambil mabuk.” Gue tunggu responnya. Tak ada. “Ah, keras kepala!” ujar gue bersungut-sungut, “

Malam itu gue benar-benar pergi bersama teman-teman. Cewek-cewek cantik bergelayutan dalam pelukan gue. Siap gue grepe-grepe, gue pake, jika mau. Tapi gue tidak bisa melupakan umi di rumah. Minuman rasanya jadi pahit. Tak ada nikmat-nikmatnya. Gue jadi tak bisa bersenang-senang seperti biasanya.

Gue kembali pulang subuh. Kali ini gue tahu, gue pulang jam berapa. Jam 2. Jalang gue lurus. Bumi tak lagi gonjang-ganjing. Gue masuk ke dalam rumah. Gue yakin kali ini tidak akan ada bidadari.

Dan ternyata….

Tetap ada sosok yang duduk di sofa, jam 2 subuh. Di dekatnya terdapat sebuah ember berisi air. Matanya memandang gue, mengikuti setiap gerak-gerik. Wajahnya jutek, sejutek bidadari yang selalu menanti gue dalam mimpi saat gue blackout. Kalau cuma jin menyamar jadi bidadari bisa gue abaikan. Kalau sosok satu ini…. Gue dekati dia.

“Kenapa belu…?” belum selesai gue bertanya, dia langsung mengangkat kaos bajunya dan mememeluk dan menarik gue jatuh tiduran di sofa. Dia mencium-cium gue seperti seorang wanita sange yang butuh pelampiasan nafsu. Otong gue dia remas-remas. Gue kaget bukan main.

“Umi! Sedang apa!” bisik gue dengan keras.

Mendengar gue memanggilnya, umi langsung kaget.

“Kok tahu? Kamu…tidak mabuk?” Ia mengendus-endus gue.

Gue menggeleng.

Tahu gue sober, umi langsung mendorong gue. Ia merapikan kaosnya dan menutupi tubuhnya dengan kedua tangannya.

“Tum…tumben….”

“Tadi umi kenapa….?” tanya gue heran.

“Ke..kenapa?” umi gelagapan mencoba menjawab pertanyaan gue. “Kenapa tidak kau tanya dirimu sendiri. Apa yang telah kamu perbuat saat kamu mabuk.”

“Apa?” tanya gue heran.

“Kamu…. Kamu sudah berbuat itu kepada umi!”

“Berbuat apa?”

“Kamu tak ingat? Terakhir kamu menggauli umi dan keluar di dalam.”

“HAHHH!??!?!? Apa sih!?”

Astaga! Jangan-jangan bidadari yang gue lihat itu….
 
0fMNXhVJ_o.jpg

Saat umi menggenggam penis Doni, putranya dekat dengan payudara,
betapa bahagianya dia sebagai seorang ibu.
Salahkan ia seperti ini?
Berhasrat macam ini?

Bidadari Penuh Dosa​



Setiap kamu pulang mabuk, umi hendak menyiram kamu dengan air, biar kapok. Bahkan umi sudah tambahkan es batu agar tambah dingin menusuk. Tapi dalam keadaan mabuk, kamu menyerang umi dan berbuat tak senonoh. Sebelum kamu pingsan.

“Lalu kenapa umi biarkan!? Kan umi tahu, aku sedang mabuk? Doni kira Doni sedang bermimpi.”

“Itu karena…. karena…. ah, kamu kan sudah tahu bagaimana hubungan umi dengan abimu. umi sedang butuh. Dan kamu…. mendekati umi.”

“Doni tak bermaksud….”

Raut wajah umi berubah sedih. “Bahkan kamu hanya menginginkan umi hanya saat mabuk. Kalau kamu sadar, wanita tua seperti umi tidak lagi menarik, iya kan?”

“Tapi kan umi orang tua Doni….”

“Sudahlah, pergilah ke kamarmu,” potongnya cepat.

Umi mengumpulkan brosur-brosur di meja. Itu brosur-brosur tadi sore. Rupanya umi sudah menempelkan mereka dengan selotip***panya ia masih memikirkan operasi-operasi itu saat sedang menanti gue pulang.

“Apa sih!” Gue kesal dan merebut brosur-brosur itu.

Gue langsung memeluk umi.

“Umi adalah wanita tercantik di dunia. Tidak boleh ada brosur, dokter atau orang manapun yang berkata sebaliknya,” ucap gue

“Kamu bilang umi menarik, tapi kamu gak mau… laki-laki cuma manis di bibir.”

“Tapi umi tahu kan ini dosa?”

“Kamu masih takut dosa? Kamu mabuk-mabuk dan pasti juga main cewek kan? Kamu mau pakai alasan dosa untuk menolak umi?”

Umi meraih gesper celana gue.

“Umi jangan…”

“Kamu selalu ngelawan. Nurutlah sekali ini sama umi.”

Umi melucuti celana gue dan mengeluarkan penis gue. Saat tangannya menggenggam penis gue, seluruh badan gue tersengat listrik. Apalagi ketika dia mengocok adik gue perlahan, rasanya mau meninggoi.

“Ahhh…. umi… stop…,” ucap gue. Perasaan menolak dan penasaran berbaur jadi satu.

Umi meraih tangan gue dan meletakkannya di dadanya. Ia remas-remaskan tangan gue ke dadanya. Lalu ia berbisik di telinga gue, “Nurut….”

“Tapi…”

“Izinkan umi memilih dosa umi, ya…”

Usai bicara, dia berlutut dan memasukkan batang gue ke dalam mulutnya. Bibirnya membulat mengikuti diameter batang gue yang besar, begitu lekat menyusuri kepala kontol gue hingga hampir ke pangkal batang. Ia tarik lagi ke ujung kepala kontol. Ia desak lagi. Bolak-balik.

“Ahh… ah… ah… ah.. umi….”

Badan gue serasa demam. Panas dalam. Semeriwing. Bulu kuduk berdiri. Roh gue seakan mau keluar dari badan. Mana pernah gue nyangka di blow job oleh umi sendiri. Gesekan antara kulit batang gue dengan mulutnya yang hangat, basah, dan lembut menggelitik syaraf-syaraf seksual gue.

Gue pegang kepalanya yang tertutup berjilbab. Tangan gue merasakan kepalanya mengayun-ayun maju mundur, ke kiri dan ke kanan. Ada rasa yang berbeda saat umi sendiri yang melakukannya, percikan-percikan birahi yang sukar untuk dijelaskan.

Rasanya gue ingin menekan batang sampai ke tenggorokannya. Gue tahan bagian belakang kepalanya. Pinggul gue mendesak maju. Dia berhenti dan membiarkan ujung penis gue melesak ke ujung leher. Gue tarik sedikit, lalu gue dorong lagi. Sebentar aja, agar umi dapat bernafas. Gue tidak mau terlalu agresif. Tapi umi malah memegang pantat gue dan menekan mulutnya hingga kontol gue mentok ke ujung lehernya lagi. Dia ulangi beberapa kali. Aaaaahhh… umi apa yang kau lakukan. Gue menjambak rambut gue, tidak tahan dengan kenikmatan yang ia berikan.

Dia usap-usap batang gue dengan lidahnya dan dia mulai mempercepat gerakannya. “Aahhh…ahhhh….” Sperma gue pun terus keluar sedikit demi sedikit di mulut umi. Busa-busa peju bermunculan di sekitar bibirnya, beriringan dengan suara becek. Rasa nikmat itu terus berlipat-lipat. Bertambah naik dan naik. Alis gue menyernyit menahan rasa. Namun rasa itu tak tertahankan. Sperma gue menuntut keluar. “Umi….,” lenguh gue, “Ahh…ah…ah…”

“Keluarin, Doni… jangan ditahan, keluarin di mulut umi….”

“Dah mau keluar, dikit lagi…”

Umi makin besemangat mengulum barang gue. Desakan di pangkal batang gue pun makin hebat. Setiap gesekan bibirnya seakan melepaskan satu persatu tali-tali pengikat banteng yang hendak mengamuk.

“Umi… Doni gak kuat….”

Umi mengakhiri dengan satu jilatan tepat di bawah kepala jamur gue, menyusul satu sedotan yang sangat kuat. Rasanya begitu menggelitik.

CRROOT! CROOTTT! CRRROTT!!!!!

“Akkhh!”

Peju gue menyemprot keluar membasahi rongga mulut umi. Segenap tenaga gue seakan ikut tersedot keluar keluar. Kaki gue sampai gemetar. Batang gue terus berkontraksi hingga tetes sperma terakhir keluar dari kantong penyimpanan.

Perlahan penis gue keluar dari mulut umi.

Gue terjatuh ke sofa lemas seperti orang habis marathon. Tak menyangka umi begitu hebat. Gue jadi heran mengapa abi sampai selingkuh?

Umi pergi ke WC untuk membuang sperma gue. Paling juga sekalian menggosok gigi membersihkan mulutnya dari kelengketan peju gue yang pekat dan jumlahnya banyak. Tadi pipinya sampai menggembung, menampung.

15 menit kemudian umi kembali lagi. Dia duduk di samping gue.

“Doni… bagaimana perasaan Doni? Apakah Doni marah sama umi?”

Gue tatap orang yang melahirkan gue ini. Lalu gue peluk beliau.

“Doni gak marah. Cuma…”

“Cuma apa?”

“Doni bingung bagaimana harus memandang umi setelah ini.”

“Kita kan tetap orang tua dan anak seperti biasa.”

Gue kecup dia di bibir. Lalu gue tarik roknya ke atas sekaligus menyusuri kulit pahanya di dalam hingga menyentuh kemaluannya yang terbalut celana dalam. Gue usap-usap memeknya.

“Sungguhkah kita bisa tetap sebagai orang tua dan anak? Karena sekarang Doni ingin berbuat seperti ini ke umi.”

Umi mendesah dan memejamkan matanya. Lalu memeluk gue dan menciumi leher.

“Terserah sekarang Doni mau anggap umi sebagai apa. Mungkin umi tidak akan bisa lagi mendapatkan respek darimu. Seorang ibu macam apa umi ini meminta jatah dari anaknya sendiri?"

"Umi, jangan bicara merendah seperti itu. Bagi Doni, umi tetap seorang ibu yang Doni hormati. Dan umi adalah bidadari yang teramat cantik."

"Sungguhkah kita bisa tetap sebagai orang tua dan anak? Karena sekarang Doni ingin berbuat seperti ini ke umi."

Gue kecup bibir umi dan gue sibak roknya ke atas dan menyusuri pahanya hingga menyentuh kemaluannya yang terbalut celana dalam. Gue usap-usap area memeknya.

"Atau seperti ini."

Gue angkat kaosnya dan menjilat-jilat putingnya.

Umi mendesah dan memejamkan matanya. Ia makin merapatkan duduknya.

"Sungguhkah umi terlihat sebegitu menariknya di matamu?"

"Lihatlah penis Doni, siapakah yang membuatnya tegak kembali, hem, siapa?"

"Umi...,"" jawab umi.

"Tanggung jawab."

Gue menindih tubuh umi dan umi menyambut gue dengan melebarkan kakinya hingga kemaluan kami saling bertemu. Gue gesek-gesek sedikit anunya.

"Owh betapa umi merindukan sentuhan lelaki di bawah sana....,” keluhnya.

Kami bermesraan beberapa saat, saling menyentuh dan membelai satu sama lain. Seiring dengan itu, gue semakin tekan kemaluannya dengan batang gue.

“Kamu mau ronde dua? Dah gak ngilu itunya?” tanyanya dengan nafas berat.

Gue tak menjawab, dan hanya memperhatikannya wajahnya yang makin sange. Matanya mulai mengerjab setengah, alisnya mengernyit-ngernyit. Sebegitu keringnya kah batinnya ditelantarkan abi, sampai penis anaknya bagai oase di padang gurun? Namun jika tubuh gue dapat membuat umi bahagia, akan gue berikan seluruhnya untuknya.

Gesekan batang gue dengan permukaan celana dalamnya terasa mulai licin. Dia juga menggoyang-goyang pinggulnya pelan.

“Masukin, Don…. umi ingin.”

“Umi yakin gak akan menyesal ?” tanya gue.

“Terus terang umi merasa sangat berdosa. Setiap kali kejadian. Umi selalu berpuasa dan memohon ampun. Tapi tiap kali kamu pulang dalam keadaan mabuk, umi ingin mengulanginya lagi. Umi tak dapat menahan godaan dosa ini.”

"Sejujurnya, mungkin Doni egois..." Gue sampirkan tepian calana dalam umi, "Tapi Doni ingin umi jatuh dalam dosa ini sedalam-dalamnya."

Blesss! Gue hujam mekinya dengan penis gue.

“Aaahhhhhh, Doni sayanggghhh!” desah beliau.

Lagi-lagi rasa menggelitik itu mengerubungi setiap titik syaraf kejantanan gue.

Alat kelamin gue benar-benar ada di dalam lubang orang tua yang melahirkan gue atas izin dan restunya..

“Ahhh…ahh…ahh..ahhh….Doni… memek umi terasa penuh…,” ucap umi.

“Memek umi… enak seperti ini, betul kan kata Doni buat apa operasi rapatin vagina segala.”

“Penis kamu yang besar sayang, umi kan sudah pernah lahirin kamu.”

“Jangan-jangan barang Doni tambah besar gara-gara berada di lubang umi.”

“Bisa kamu masukin lebih dalam lagi? Umi ingin merasakan seluruh milikmu.”

“Seperti ini?”

"AAaaaahnnggghh!!!" lenguh umi sampai mendongak. Gue tarik, gue tekan lagi sedalam-dalamnya. "AAAhhhhhh!" Umi mencengkram lengan gue kuat-kuat.

Setelah itu Gue hentak-hentak vagina doi dengan kuat. "Ah! ah! ah! ah!" desahan umi begitu menggoda birahi, menggelitik hawa nafsu. Desahan seorang wanita yang telah takluk pada laki-lakinya dan tidak malu lagi menunjukkan gairahnya

Setiap gesekan dengan organ kewanitaan beliau berjuta rasanya.

“Kalau saja Doni tahu rasanya seperti ini, dari dulu, umi sudah Doni giniin. Abi bodoh tidak menginginkan wanita macam umi.”

“Jika dari dulu kamu begini, kamu pasti umi hajar habis-habisan”

“Kalau sekarang?”

Umi terdiam tanpa sepatah kata. Lalu berkata, “Kamu mau hamilin, juga umi kasih.” dengan suara agak serak dan kecil.

“Apa? umi bilang apa?”

“Kalau gak dengar ya sudah, rugimu,” kata umi.

“Plis ulangi, umi bilang apa?” tanya gue setengah memohon.

Pipi umi memerah. Ia hanya manyun dan menggeleng.

“Umi… katakan…”

Umi menyentil ujung hidungku.

“Kamu mau hamilin, juga umi kasih.”

Rasanya tak percaya gue mendengar kata-kata itu.

”Umi yakin akan membiarkan Doni sejauh itu?”

“Apakah kamu mau melakukan sejauh itu?”

Gue makin bersemangat menggenjot tubuhnya. Tubuh dan payudaranya mental-mental karena dorongan badan gue.

“Buka jilbabnya umi, Doni ingin lihat mahkota wanita yang akan Doni hamilin.”

“Kamu serius mau hamilin umi?”

Gue mengangguk.

Umi melepaskan jilbabnya dan mengayun-ayunkan rambutnya hingga terurai. Rambutnya hitam dan panjang. Sungguh amat indah. Gue sampai melongo melihat sosok wanita di depan gue. Kecantikannya naik berlipat-lipat setelah kain penutupnya lepas. Gue gak habis pikir abi bisa mengabaikan makhluk Tuhan yang satu ini.

“Lakukan sayang, rahim umi siap menerima benihmu.”

“Baiklah umi kita kunci dosa kita dengan anak kita.”

Umi mengangguk.

Bless! Bless! Bless! Gue hujam memeknya dengan “pedang kapiten” perkasa.

Terdengar suara becek dari dalam vagina umi, “Cek! Cek! Cek! Cek!” Gue usap-usap klitnya.

“Ah..ah..ahh..ahhh….!” desahnya makin tak karuan. Dalam setiap desahan ia remas payudara kuat-kuat. “Doni! Doni! Doni! Umi mau keluar.” Wajahnya seperti orang yang nyawanya sudah di ujung. “NGHHHHH!!!!” Tubuh umi melengkung dan kelojotan. Gue sodok tubuhnya sekuat-kuatnya. “NGggh! NGehh!” Gue ingin keluarkan sperma gue yang sudah di ujung.

“Keluar bareng, umih….!” Ucap gue.

Tiba-tiba terdengar bentakan, “APA YANG KALIAN LAKUKAN????”

Abi berdiri di pintu masuk.

Kaget bukan main gue cabut batang gue. Gesekan terakhir membuat gue orgasme, tapi sayangnya di luar memek, di depan abi pula. Gawat!!!!!!!!! Peju berlompatan tinggi ke udara seperti air mancur.

Muka abi merah padam. Belum pernah gue melihat dia semarah itu.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd