Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
8pA3hAL0_o.jpg
Umi semakin nyaman dengan Doni.
Tiada malu ia mengungkap aurat kepada putranya.
Yang ada hanya rasa cinta membara yang semakin bertambah-tambah.

Pengakuan Bidadari​

Setelah terbakar oleh panas murka abi yang dahsyat, gue terpaksa mendekam di RS. Muka gue bengkak. Terutama di area sekitar hidung. Gue menjalani operasi kecil untuk meluruskan tulang rawan hidung. Setelah itu gue harus istirahat untuk memulihkan luka-luka dan memar di kepala dan badan gue. Perban mengelilingi wajah gue membuat gue hampir seperti mumi mesir.

Umi selalu membesuk gue di kamar VIP tiap malam. Diam-diam dia menyelundupkan makanan-makanan kesukaan gue. Padahal gue seharusnya cuma boleh menelan makanan RS yang hambar itu. Suster-suster di sini seperti detektif yang mampu menemukan bukti-bukti “kejahatan.” Umi jadi selalu kena tegur suster.

Gue sering komplen masalah obat. “Gak mau saya minum obat itu, sus. Pahit!”

Tapi umi seperti biasa tidak berpihak pada anaknya. “Sini, sus obatnya!” kata umi. Lalu dia mencekoki mulut gue dengan obat laknat itu.

“Hoek! Hoek! Pih! Pih!” Gue meludah. “Demi Toutatis! Ini penyiksaan,” seru gue, “Ini pelanggaran hak asasi manusia. Dapat dikenakan hukum pidana! Dengan ancaman hukuman 100 tahun!”

“Kalau gak diminum, kapan sembuhnya. Umi mau kamu cepat sembuh! Mahal biaya RS.”

“Ya, sudah Doni mau pulang, gak perlu rawat inap, lebih murah,” ucap gue seraya hendak beranjak dari ranjang.

“SShhhhhasuahsuah! Umi gak mau dengar omongan semacam itu. Kamu harus dirawat di sini sampai sembuh,” kata umi sambi menahan badan gue.

“Ya sudah, deh. Lagian di sini susternya cantik-cantik.”

Gue tarik suster yang sedang bertugas, hingga jatuh dalam pelukan gue. Dia berusaha melepaskan diri. “Jangan, kak,” keluhnya.

“Muah! Muah!” Gue mencoba mencium pipi si suster.

Umi yang melihat kelakuan gue langsung mengambil majalah dari meja dan mengemplang hidung gue.

“Adudududuhhhh!” keluh gue sambil menutupi hidung gue yang terasa nyeri.

“Jangan macam-macam,” bentak umi dengan mulut cemberut.

“Sakiiitt umiiii….,” rengek gue macam bocah kecil.

Pas si suster hendak pergi, gue colek pantatnya hingga dia melompat kaget. Umi langsung meraih jari telunjuk yang mencolek pantat itu dan mendorongnya ke arah punggung tangan. “Au au au au au! Ampun umi. Patah! Patah!”

“Biarin patah, ntar tinggal dioperasi lagi.”

“Ya, ya, ya… tobat-tobat awww…”

Umi melepaskan jari gue.
“Sudah dibilang jangan macam-macam. Gak mau nurut.”

“Huuu….,” seru gue sambil mengelus jari gue yang malang.

Kini waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Umi mematikan lampu ruangan, tersisa lampu baca kecil di atas kepala yang menyala Dalam keadaan remang-remang umi berdiri mematung.

“Umi gak pulang, istirahat,” kata gue. Secara dia pasti banyak urusan dengan sekolahnya.

Umi tak menjawab. Dia datang mendekat dan naik ke atas ranjang dan tiduran di samping gue. Beliau mengusap kepala dan berkata, “Cepat sembuh.” Untuk beberapa saat kami diam dalam hening, menikmati keberadaan satu sama lain.

“Gara-gara umi, kamu jadi seperti ini.”

“Ah, bukan karena umi….”

Gue mulai mendengar suara rintik-rintik kesedihan.

“IIiii… napa juga pakai nangis segala,” tanya gue.

Umi menggeleng.

“Gak usah nangis,” kata gue yang mulai merasa tersiksa.

“Biarin,” jawab umi, “Makanya cepetan sembuh supaya umi gak sedih. Makan obatnya.”

“Iya… iya….”

Lalu gue lihat dia menarik rok gamisnya seatas perut dan menurunkan celana dalamnya setengah paha.

“Umi mau apa?”

Dia membisu dan cuma memeluk lengan gue hingga payudaranya menempel ketat.

Tak lama gue mendengar suara nafasnya yang perlahan semakin berat di samping gue. Hembusan nafasnya menghela leher. Sesekali terdengar suara menelan ludah dan ia menggigit kecil bahu gue. Menyusul desah-desah tertahan, dan tarikan nafas tak beraturan.

“Umi…,” ucap gue.

Umi berbisik, “Maafin umi berbuat begini, saat kondisi kamu seperti ini. Tapi kamu satu-satunya tempat pelampiasan umi.”

Gue jawab, “Iya, gak apa-apa, bidadariku.”

Umi menusuk pinggang gue dengan telunjuk..

“Aw, Geli!”

“Siapa bidadari….?”

“Umi lah”

Umi menggeleng.

Gue turunin celana dalam gue, gue kasih lihat penis gue.

“Lihat ini, bidadari bikin penis Doni, ngaceng.”

Umi memandang sekilas batang gue, lalu ia menatap gue. “Sungguh umi yang sudah tua ini semenarik itu?”

“Kalau Doni gak sakit, umi sudah Doni garap ladangnya.”

Umi menyembunyikan wajahnya di bahu gue.

“Terus?” tanya umi.

“Doni keluar masukin penis Doni, di memek umi.”

“Terus?”

“Doni nyusu di dada umi.”

“Ah, kamu bikin umi malu.”

“Ya udah tuntasin kebutuhan umi… Doni mau lihat.”

Umi mengangguk. Lalu ia menatap batang gue. Ranjang mulai bergetar halus.

Gue menelan ludah melihat jarinya membelai-belai, membelah kemaluannya yang tembem.

“Umi…”

“Ya…”

“Umi pertama kali masturbasi umur berapa?”

Gue ingin tahu saja, tipikal wanita-wanita yang soleha macam umi mulai mengenal seks sejak kapan. Kemungkinan sih setelah menikah. Namun tak gue sangka, umi menjawab, “Ra-ha-si-a.”

“Huuuu…,” keluh gue.

Umi menatap mata gue.

“Umi tahu pikiranmu. Umi bukan wanita yang seperti kamu bayangkan… umi kecanduan masturbasi sejak kecil.”

“Loh, umi tahu masturbasi dari mana?”

Bola mata umi bergerak seakan menembus ruang ke masa lalu.

“Ada yang ngajarin umi. Orang itu pula yang mengambil keperawanan umi di usia belia.”

“Siapa?”

Umi menggeleng. “Kamu tak perlu tahu. Tapi dia yang membuat umi seperti yang sekarang. Dan yang umi khawatirkan, kamu…”

“Apa, ada apa dengan Doni?”

“Kamu memiliki daya tarik yang sama seperti dia, yang bisa membuat umi menjadi gila.”

“Doni? Membuat umi gila?”

Umi mengangguk cepat diiringi suara erangan, “Aaahhhh….” dan ranjang berhentak.

Gue tahu umi sudah mencapai ujung. Nafasnya terengah-engah. Lalu ia mencium bibir gue begitu lekat dan menembuskan lidahnya ke dalam mulut gue dan menaut-nautkan lidahnya.

Setelah puas itu ia pergi ke kamar mandi. Terdengar semprotan-semprotan air jet toilet.

Barulah setelah itu balik lagi ke gue.

“Umi sudah mengungkapkan kelemahan umi. Bagaimana kamu ingin menggunakannya, terserah kamu,” kata umi.

“Apa maksud umi?”

Umi tersenyum dan berkata, “Cepat sembuh.”

Lalu ia pergi pulang, meninggalkan gue kebingungan.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd