Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Bidadari Terhukum​


Total dua minggu gue berada di rumah sakit. Sejak hari umi menutup telpon, gue lost contact total. Gila. Semarah itukah umi dengan gue?

Begitu dokter menyatakan gue sudah boleh keluar dari RS, siang itu juga gue langsung berkemas-kemas dan pulang. Dalam perjalanan gue memikirkan abi. Bagaimana gue harus bersikap kepadanya? Selama ini tak sekalipun dia datang membesuk. Itu sudah menggambarkan buruknya hubungan gue saat ini dengan dia. Kalau gue jadi dia mungkin sampai masuk liang kubur kemarahan gue tak akan reda.

Gue tiba di rumah. Kaki gue bergegas melangkah mencari umi. Gue cek setiap kelas, namun tak tampak batang hidungnya. "Umi dimana?" Pikiran gue melalang buana. Gue terus berkelana, menaiki gunung, menuruni lembah, belusukan ke ruang kerja, kamar, dapur, dan taman tetap tidak ada. Sampai akhirnya gue berjumpa dengan abi. Dia sedang berada di ruangan koleksi barang antiknya. Dia berdiri di belakang meja, membersihkan sebuah golok yang tampak lebih panjang daripada golok umumnya. Gagang dan sarungnya terbuat dari logam kuning penuh ukiran.

Glek! Gue gugup. Dia sedang keker-keker bilah golok itu, lalu melapnya lagi dengan cairan khusus. Ah, kalau gue menemuinya mungkin kah dia akan.... memenggal kepala gue? Lalu Jantung gue deg-degan. Telapak tangan gue berkeringat. Otak gue menggelitik dengan pikiran kemungkinan terburuk. Tapi mungkin abi tahu umi ada di mana. Rasa ingin bertemu umi mengalahkan rasa khawatir gue. Gue putuskan untuk menemuinya.

"A... abi," sapa gue seraya masuk ke dalam ruangan itu.

Abi menoleh sebentar ke arah gue. Wajahnya data dan tatapannya dingin. Lalu ia menyibukkan dirinya lagi dengan golok itu.

"Oh, kau sudah pulang," kata Abi dengan nada tak peduli, seakan dia sudah melupakan semuanya. Tapi sedetik kaki gue menginjak ruangannya, dia mainkan golok itu. Gue jaga jarak.

"U...umi di mana?"

Dia tidak menjawab malah mengayun-ayunkan golok itu dengan bertenaga. Terdengar suara angin terbelah, "Wut! Wut! Wuat!"

"Abi suka golok ini, keseimbangannya sangat bagus, tidak menyesal abi membelinya 5 milyar. Senjata ini sangat indah." Bulu kuduk gue merinding. "Maaf, kamu tadi ngomong sesuatu?"

"Ehm.... apakah abi tahu umi di mana?"

"Oh, dia sudah... sudah berada di tempat yang seharusnya," jawabnya sambil menatap golok itu. Matanya seakan sedang mengingat suatu kejadian. Lalu dia menusuk-nusuk udara dengan emosi. Perasaan gue jadi tambah gak enak. Gerakannya seperti sedang menusuk perut orang.

"Tempat apa, abi bicara apa? Abi, umi di mana?"

Abi makin agresif setiap kali gue menyebut umi. Kali ini dia menyabet menyilang seakan sedang menyabet dada orang. Sap! Sap! sap! Gue makin tidak nyaman. Otak gue langsung menghubung-hubungkan segala sesuatunya.

"Abi, UMI dimana?" tanya gue khawatir. Jangan-jangan.... abi membu... membu...nuh.... umi????? Astaga apakah abi senekat itu?

"Apakah kamu mau menyusul umi?" tanya abi.

Pertanyaan itu membuat bulu kuduk gue berdiri. Apalagi ia berjalan mendekat dengan golok di tangan. Bulu kuduk gue makin ngaceng.

"Aโ€ฆabiโ€ฆ umi di mana?" tanya gue dengan perasaan tak enak.

Tiba-tiba saja abi mengayunkan golok itu ke arah leher gue.

Tamat! Tamat gue! Cerita ini tamat!

Gue bisa merasakan besi itu menempel di kulit. Sebentar lagi gue pasti akan merasakan sakitnya kulit teriris. Intensitas nyerinya akan bertambah-tambah seiring tenggorokan gue terpotong jadi dua. Gue akan kesulitan bernafas, darah mencekat tenggorokan dan kerongkongan. Dada terasa sakit. Lutut tak bertenaga, gue akan jatuh tersungkur sambil batuk darah dan mati mengenaskan. Sadissssssโ€ฆ.

Tiba-tiba abi berkata, "Umi mu sedang berada di rumah ibunya."

Heh?

Dia menarik golok itu dan mengiris-ngiris tangannya, tapi tak terpotong. Golok itu TUMPUL!

"Nenekmu menjemputnya, setelah mengetahui situasi yang terjadi di rumah ini," lanjut abi.

Fiiuhhh. Gue langsung bernafas lega. Namun di saat yang sama juga malu. Itu berarti hubungan gue dengan umi sudah menyebar keluar dari keluarga ini.

"Kapan nenek menjemput umi?" tanya gue. Jantung gue masih berdetak tak karuan.

"Seminggu lalu"

Itu kan saat umi terakhir kontak gue. Apakah mungkin dia tidak menghubungi gue dan gue tak bisa menghubunginya ada kaitannya dengan nenek.

Abi menghela nafas. "Abi sudah gagal menjalankan tugas yang diembankan oleh kakek dan nenekmu."

"Tugas apa?"

Abi tidak bersuara. Wajahnya enggan menjawab.

"Sebaiknya kamu cari tahu sendiri dari kakek dan nenekmu. Kamu akan mengetahui lebih banyak tentang umimu. Abi tak menyangka jika kamulah yang akan menjadi pemicu sifat umimu yang dulu. Abi lengah."

Gue pemicu sifat umi yang dulu? Sifat apa? Ada apa ini sebenarnya? Gue jadi menemukan lebih banyak teka-teki daripada jawaban sejak gue dari Rumah Sakit.

Gue putuskan untuk segera berangkat ke rumah kakek nenek di Pulau Timah alias Bangka Belitung, kepulauan yang bersebelahan dengan Sumatera Selatan. Subuh gue ke bandara, naik Garuda. Lama perjalanan 1 jam dan gue mendarat di Bandar Udara Depati Amir Rumah. Di sana gue naik mobil dari aplikasi hijau menuju alamat mereka yang terletak di luar kota Pangkal Pinang.

Semakin dekat dengan rumah kakek nenek, rumah-rumah di sekitar mulai tak berpagar. Perumahan yang sederhana banyak menggunakan tiang-tiang kecil penopang beranda. Orang-orang di sana langsung memperhatikan kendaraan gue yang melintas***panya mereka seperti menyadari kedatangan kendaraan yang bukan dari area mereka.

Gue tiba di depan kediaman kakek dan nenek. Rumah mereka agak jauh terpisah dari rumah tetangga-tetangganya yang pada umumnya berdekatan. Sebab tanah mereka luas. Gue turun dari mobil. Aura kuno dari kediaman mereka langsung terasa. Perpaduan dua budaya, Melayu dan Cina melekat pada tembok bata merah telanjang yang mengelilingi. Nampak piring-piring bermotif Tioangkok ditempel untuk mempercantik tembok. Sayang, sebagian catnya yang kental dengan warna biru sudah luntur, sebagian lagi hilang atau pecah, akibat termakan waktu.

Di depan gue berdiri sebuah gerbang kayu yang tinggi. Dua cincin besar dari tembaga tergantung di kedua belah daun pintunya. Gue raih cincin itu dan gue ayunkan untuk mengetuk pintu. "Dok! dok! dok!"

Tak lama kemudian seorang tua kurus membuka pintu. "Siapa?" tanyanya.

"Saya Doni cucu dari pemilik kediaman ini," jawab saya.

"Woalaaa, den Doni... dulu masih kecil sekarang sudah besar," katanya. Gue tidak ingat siapa orang ini.

"Masuk-masuk," ucapnya. Ia menarik gue masuk ke dalam.

"Pak, apakah ibu saya datang kemari?" tanya saya tak sabar ingin mengetahui keberadaannya.

"Iya, ibumu ada di sini," jawabanya. Namun raut wajahnya terlihat prihatin. "Mari saya antar den Doni menemuinya."

Hati gue senang sekali.

Dia memimpin jalan.

Tak lama kemudian dari kejauhan gue mendengar suara sabetan-sabetan diiringi dengan suara jeritan. Gue langsung awas, karena gue mengenali suara itu. Jantung gue makin deg-degan. Gue melangkah semakin cepat, bahkan melewati pria tadi. Suara itu mengantarkan ke gue ke sebuah bangunan padepokan. Di sana gue melihat nenek sedang mengayunkan sebatang rotan dan mencambuk punggung umi berulang kali. Di sekelilingnya ada beberapa orang-orang tua seperti sedang melantunkan doa.

Ctar! Ctar!

Setiap kali rotan itu mengenai punggung umi, dia langsung terlihat kesakitan.

"UMI!" teriak gue dan segera berlari.

Nenek tak berhenti mencambuk umi. Sampai akhirnya umi jatuh ke lantai. Kelihatannya ia tak kuat dengan dera cambuk itu. Gue langsung memeluk umi dan memasang badan.

"Do..Doni... kamu kok di sini, kamu sudah sembuh?" tanya umi dengan terengah-engah. Masih sempat-sempatnya dia menanyakan keadaan gue dengan kondisinya yang seperti ini. Kasih seorang umi kepadaku serasa tak terbatas.

"Nenek! Hentikan!" teriak gue, "Kenapa nenek berbuat ini!"

Nenek tampak terkejut dengan kehadiran gue. Namun ia segera berkata, "Minggir Doni, umimu sedang menjalani hukuman."
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd