Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Blurry Eyes

Ini sepertinya POV Yuri.
Seperti biasa, gaya penulisan kang PB itu lembuuut banget. Lanjutannya ulah lami teuing, kang
Siap, Ki..
Punten lami.. sedang disibukkan dengan sebuah projek masa depan..... ahhhiiwww
 
SATU


Tessa menarik napas dalam-dalam, kemudian melepaskannya perlahan. Ibu yang memerhatikan tingkahnya, tertawa renyah.

"Kamu gugup, Nak?"

Tessa mengangguk pelan.

"Seperti orang yang baru pertama kali bekerja saja," ujar Ibu. "Seingat Ibu, kamu tidak segugup ini ketika akan berangkat ke Tangerang. Padahal, itu adalah pengalaman pertamamu dalam bekerja. Jauh dari rumah pula!"

"Ketika itu..." pandangan mata Tessa tiba-tiba menerawang. "Ketika itu, motifnya adalah melarikan diri."

"Dan kamu berhasil," tanggap Ibu. "Karena seseorang yang kamu tinggalkan oleh pelarian itu, akhirnya benar-benar menjauh dari hatimu."

Tessa tertawa getir.

"Yah... jadikan itu sebagai pengalaman berharga," sambung Ibu. "Jadilah lebih dewasa dalam berpikir dan bersikap. Jangan pernah melarikan diri dari masalah. Hadapi, Nak."

Tessa hanya mengangguk.

"Termasuk hari pertama bekerjamu ini," tambah Ibu. "Hadapilah, juga diiringi dengan senyuman. Hmm... karena, fakta berbicara, telah banyak orang yang meleleh akibat senyum manismu. Mungkin, termasuk bosmu, kelak."

Tessa tersipu. "Ibu..."


Ia harus mengakui, bahwa melarikan diri dari Dinan adalah salah satu kesalahan terbesar yang pernah ia lakukan sepanjang hidupnya. Tessa memutuskan untuk meninggalkan lelaki yang sesungguhnya begitu dicintainya itu. Meski pada akhirnya, ia dapat kembali berjumpa dengan Dinan, namun semuanya sudah terlambat.

Ya, ketika dihadapkan pada pilihan antara Tessa atau Alifa, Dinan memilih orang kedua. Imbas dari keputusannya menjauhi Dinan belasan tahun sebelumnya, adalah kerelaannya melihat sang lelaki menikah dengan saudara sepupunya. Peristiwa yang, sangat diyakininya, tidak akan terjadi andai dirinya tidak pernah meninggalkan Dinan.

Dinan akan menjadi pendamping hidupnya, seperti janji yang pernah saling mereka ucapkan di masa kuliah itu.


Tapi, semua sudah terjadi. Meski masih menyesalinya, namun Tessa berusaha menjaga hidupnya dari efek negatif keputusan kelirunya tersebut. Salah satunya, adalah dengan mencari pekerjaan baru.

Dan di Storm Advert-lah pencariannya berujung.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Tessa tidak pernah mengira bahwa Kang Tata, sang atasan, akan mengenalkannya pada semua staf Storm Advert. Dengan cara yang konyol pula, setidaknya menurutnya.

Ya, Kang Tata mengajaknya berdiri tepat di depan ruang kerjanya, sambil menghadapi jajaran kubikel para staf. Lalu, setelah berseru meminta perhatian anak buahnya, yang disambut beberapa staf dengan memunculkan tubuh dari kubikelnya, Kang Tata berujar,

"Perkenalkan, ini adalah sekretaris baru aku."

"Akhirnya..." komentar seorang lelaki yang ditaksir berusia seumuran Kang Tata. "Setelah berbulan-bulan jadi single fighter akibat Imel resign."

"Lho?" seru lelaki lain, yang berjarak dua spasi kubikel dari posisi lelaki pertama. "Téh Tessa, 'kan?"

Tak urung Tessa melemparkan pandangan ke arah suara itu. Kang Tata juga.

"Kamu udah kenal Tessa, Lur?" tanya Kang Tata. "Ada cerita apa, antara kamu dan dia?"

"Jangan bicara ngawur, Kang!" cetus lelaki itu. "Aku punya si Néng di rumah, yang nggak mungkin tergantikan."

"Iya, percaya," tanggap Kang Tata, sambil tertawa kecil.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


"Bagaimana kabar Suzie, Trias?" tegur Tessa, saat melintasi lelaki itu, yang tengah memasangkan sepasang tas pada bagasi belakang sepedanya.

Lelaki itu, alias Trias, menoleh. Lalu tersenyum. "Baik, Téh."

"Aku nggak mengira," lanjut Tessa. "Bisa bertemu lagi dengan Trias."

Trias tertawa. "Bahkan jadi partner kerja, ya?"

"Iya," Tessa juga tertawa.


Sesaat, Tessa diam sambil memerhatikan apa yang tengah dilakukan Trias.

"Trias selalu bike to work?" tanyanya.

Trias menjawab dengan anggukan, sambil tetap tidak menghentikan kegiatannya.

"Setiap hari?" tanya Tessa lagi.

"Setiap hari," ulang Trias. "Tanpa kecuali, Téh. Aku menggunakan sepeda motor, hanya untuk bepergian dengan istri."

Tessa menanggapi dengan tersenyum.

"Dulu, Suzie juga bersepeda," sambung Trias. "Tapi, sejak kecelakaan itu, dia nggak bisa bersepeda lagi. Belum bisa."

"Belum?" Tessa tertarik dengan pilihan kata tersebut.

"Belum," ulang Trias. "Suzie belum terbiasa benar dengan prosthetic leg-nya. Jadi, dia belum berani bersepeda lagi. Apalagi, dia 'kan sedang hamil, Téh."

Tessa mengangguk sambil tersenyum penuh arti.


"Aku pulang duluan ya, Téh," pamit Trias.

Tessa tersenyum. "Silakan, Trias."

"Tétéh pulang sendiri?" tanya Trias. "Atau dijemput?"

"Pulang sendiri," jawab Tessa.

"Kang Tata juga pulang sendiri, Téh," seloroh Trias.

Tessa tertawa kecil.


Sepeninggal Trias,

Takdir kembali mempertemukan aku dengan Trias, dan tentunya, Suzie, batin Tessa berkata. Semoga, pertemuan ini nggak menjadi firasat buruk dalam hidup aku.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Hampir satu setengah jam kemudian, di Soreang,


"Capek, Aa?" tanya Suzie, sambil meraih telapak tangan kanan Trias, lalu menciumnya takzim.

"Pertanyaan basa-basi," komentar Trias, sambil tertawa kecil. "Yang namanya gowes, pasti melelahkan, Néng."


Suzie nyengir. Ia membalikkan tubuh, kembali memasuki rumah, dan Trias mengekor, sambil menjinjing kedua pannier bag-nya.

"Tapi, rasa lelahnya pasti langsung hilang setelah melihat Néng," ujar Suzie. "Iya, 'kan?"

"Nggak, tuh!" bantah Trias. "Biasa aja."

Suzie menoleh, lalu menjulurkan lidah, kemudian berbalik kembali.


Trias mendadak menjatuhkan kedua pannier bag yang dijinjingnya, hingga Suzie menoleh dan menatapnya dengan sorot mata bertanya.

"Kamu, Néng," ucap Trias, seraya tiba-tiba merengkuh kedua telapak tangan Suzie, dan menghentakkannya hingga tubuh wanita itu menyentuh tubuhnya. "Kamulah yang membuat aku melupakan selelah apapun kondisi tubuh aku. Karena aku berlelah-lelah demi kamu. Demi kebahagiaan kamu."

Suzie mengangguk lirih. "Please... Aa. Jangan bikin aku menangis haru."

"Aku sayang kamu," bisik Trias. "Sayang sekali."

Suzie menatap Trias lekat-lekat. "Kenapa harus berbisik?"

"Nanti terdengar si Dédé," jawab Trias. "Nanti anak itu marah karena Ma Uzi-nya diganggu lelaki."

Suzie tertawa.


Sambil terus melangkah ke arah dapur, Suzie bertanya,

"Mau langsung mandi, Aa?"

"Iya," jawab Trias, membuntuti Suzie.

"Memangnya, keringatnya udah kering, gitu?" tanya Suzie lagi.

"Nggak terlalu berkeringat," jelas Trias. "Soalnya tadi, gowesku santai, begitu memasuki Bandasari."

Suzie mengangguk paham.


"Kamu masak apa?" tanya Trias, sambil melongokkan kepala ke arah panci di atas kompor yang menyala.

"Sayur sup, Aa," jawab Suzie. "Request si Dédé, kepingin dimasakkan itu."

"Sayur sup buatan kamu enak," ujar Trias. "Makanya si Dédé ketagihan."

Suzie tersenyum. "Seperti Aa, yang ketagihan soto lobak daging sapi buatan Néng."

"Iya, Néng," Trias juga tersenyum. "Masakan pertama kamu yang pernah kucicipi. Hmm... nggak terasa, peristiwa itu udah tiga tahun berlalu."

Suzie menanggapinya dengan anggukan pelan.

"Tiga tahun yang penuh warna," lanjut Trias. "Penuh kebahagiaan, karena aku jalani bareng kamu."

"Aa..." rengek Suzie. "Please... jangan bikin aku menangis haru."


Suzie telah begitu sering mendengar ucapan Trias perihal kebahagiaan sang suami dalam menjalani hidup bersamanya. Bagi sebagian orang, ucapan tersebut mungkin terdengar gombal. Tapi, di telinga Suzie, ucapan Trias selalu terdengar tulus. Terdengar jujur dan sama sekali tidak bertendensi sebagai lip service belaka.

Trias pandai berkata-kata? Tidak. Menurut Suzie, suaminya itu pandai menjabarkan setiap kata-kata dari bibirnya ke dalam bentuk tindakan dan sikap. Setiap kata manis yang terealisasi, tentunya bukanlah kata gombal, 'kan?


"Aku punya cerita untuk kamu, Néng," ujar Trias, sambil menanggalkan jersey hijaunya, dan memasukkannya ke dalam mesin cuci.

"Cerita apa?" tanya Suzie, yang kembali berkutat di depan kompor, memanaskan sayur sup.

"Tempat kerja aku kedatangan pegawai baru," cerita Trias. "Perempuan manis, yang menempati posisi sekretaris."

"Pengganti Imel?" tebak Suzie.

Trias mengangguk.

"Lalu?" kejar Suzie, sambil menghadapi Trias. Sejenak mengalihkan perhatian dari kompor dan panci berisi sayur sup. "Aa tertarik, begitu?"

"Iya," jawab Trias.

Suzie merengut. "Aa, ih..."

"Bukan ketertarikan secara fisik, Néng," Trias tertawa kecil. "Tapi, aku tertarik dengan asal-usulnya. Kamu percaya, kalau kubilang, perempuan itu bernama Tessa? Kakak dari Rida?"

"Tessa..." gumam Suzie. "Perempuan yang gagal menikah karena calon suaminya... mmm..."

"Iya," potong Trias. "Tessa yang itu, Néng."

"Dunia sempit sekali," Suzie menggelengkan kepala.

Trias menanggapi dengan senyuman.


"Lalu, Téh Tessa mengenali Aa sebagai suami Néng?" tanya Suzie.

Trias mengangguk. "Sepulang kerja, Téh Tessa menegur aku. Lengkap dengan menyebutkan nama aku, dan menitipkan salam untuk kamu, Néng."

"Néng khawatir," lirih Suzie.

"Apa yang kamu khawatirkan?" tanya Trias heran.

"Banyak, Aa," jawab Suzie. "Néng khawatir, Téh Tessa masih dendam sama Néng."

Trias mengedikkan bahu. "Kemungkinan seperti itu, tentu ada. Tapi, jangan terlalu dipikirkan. Tokh, semuanya belum terbukti, Néng."

"Iya, sih," gumam Suzie.

"Hmm... ya udah," ujar Trias. "Aku mandi dulu, ya."

"Nggak akan menyapa calon anak kita?" seloroh Suzie.

"Ah, iya," Trias nyengir.


Trias pun bersimpuh di hadapan Suzie. Diusapnya lembut perut sang istri yang tampak makin membuncit di usia kehamilannya yang telah memasuki awal trimester kedua itu.

"Selamat sore, Anakku," bisiknya. "Ayah mandi dulu, ya. Kalau nggak mandi, nanti Bunda nggak mau berdekatan dengan Ayah. Bau matahari, katanya!"

Suzie terkikik geli. Direngkuhnya pundak kiri Trias, dan memaksa sang suami untuk berdiri. "Néng nggak pernah menolak untuk didekati Aa, meskipun sedang bau matahari, lho!"

"Memang," ujar Trias. "Aku cuma ngarang. Sekadar kepingin bikin kamu tertawa."

"Selalu, ya?" Suzie menatap Trias lekat-lekat. "Alasan Aa melakukan sesuatu, adalah kepingin bikin Néng tertawa. Nggak bosan melihat tawa Néng?"

Trias menggeleng. "Karena senyum dan tawa kamu, adalah mood booster paling hebat dalam hidupku."

"Aa..." erang Suzie manja.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Sepeninggal Trias yang telah memasuki kamar mandi, Suzie kembali fokus dengan kegiatannya memanaskan sayur sup. Kini, kuah di dalam panci sudah mulai mengeluarkan gelembung-gelembung kecil, pertanda akan segera mendidih. Namun, isi kepala Suzie belum bisa terlepas dari cerita sang suami, tentang kehadiran pegawai baru bernama Tessa itu.

Ia harus jujur, bahwa kehadiran wanita yang pernah memiliki keterkaitan dengan masa lalunya itu, menimbulkan kekhawatiran tersendiri di hatinya.

Apakah mungkin, Téh Tessa bisa dengan mudah melupakan peristiwa itu? batinnya. Melupakan peristiwa yang, sedikit banyak, udah bikin dirinya kecewa, bahkan sampai melajang hingga seusia itu?


Tapi, sebaliknya, ketenangan sikap Trias ketika bercerita, juga membuat Suzie sedikit tenang.

Kelihatannya si Aa sama sekali nggak merasa terganggu dengan kemunculan Téh Tessa, ucapnya di dalam hati. Berarti, nggak ada yang mesti dikhawatirkan, tho?


"Udah panas, Ma Uzi?" tegur Kirei, membuyarkan kecamuk di kepala Suzie.

Suzie menoleh ke arah belakang. Dilihatnya bocah lucu yang baru saja memanggilnya dengan sebutan 'Ma Uzi' itu. Hmm... panggilan itu, pastinya adalah anagram dari 'Mama Suzie'. Sekadar membedakan dengan ibu kandungnya yang telah tiada sejak setahun lalu. Dan Suzie senang dengan panggilan tersebut. Kirei memang harus selalu ingat, bahwa di rumah ini, statusnya adalah anak adopsi. Meski Trias dan Suzie menyayanginya selayaknya anak dari darah dagingnya sendiri.

"Mana Papa Om?" lanjut Kirei. "Tadi Dédé dengar suaranya."

"Lagi mandi," jawab Suzie, sambil menunjuk pintu kamar mandi. "Kenapa, Dédé kangen Papa Om?"

"Nggak," jawab Kirei cepat, mengundang tawa Suzie.


"Kamu pasti bohong, De!" teriak Trias dari kamar mandi. "Nggak kangen Papa Om, katanya?"

Suzie dan Kirei saling pandang.

"Papa Om bisa mendengar, Dé," bisik Suzie.

"Iya," balas Kirei, juga dengan berbisik, seraya meletakkan telunjuk tangan kiri di depan bibirnya.

Suzie terkikik geli, melihat tingkah jenaka anak angkatnya itu.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Setelah Trias selesai mandi dan berpakaian santai, acara selanjutnya adalah makan malam. Setiap hari hampir selalu begitu. Suzie dan Kirei tidak pernah makan malam tanpa Trias. Kebiasaan tersebut membuat Trias selalu berusaha cepat pulang, karena merasa tak tega jika harus membuat istri dan putri angkatnya itu terlambat makan malam, hanya demi menanti kepulangannya. Karenanya, Trias selalu bergegas mengabari, andai terpaksa pulang terlambat akibat urusan pekerjaan.


Trias tak pernah berhenti mensyukuri jalan hidupnya. Setelah bertahun-tahun terjebak di tengah tragedi kematian sang ayah, kini ia memetik buah dari kesabarannya. Kehidupannya membaik, berubah drastis. Dan semua perubahan positif tersebut, harus Trias akui, diperolehnya saat Suzie masuk ke dalam lingkaran kesehariannya.

Bukankah juga terjadi goncangan dan tragedi dalam kehidupan pernikahan Trias dan Suzie? Benar. Namun, nyatanya, semua prahara tersebut selalu berhasil mereka lalui dengan gemilang. Mencomot istilah dunia perfilman, happy ending. Akhir yang indah itu dipuncaki dengan kesediaan Kirei untuk menjadi anak angkat Trias dan Suzie. Lalu, sejurus kemudian, sang istri mengandung anak pertama, yang telah sekian lama diharapkan.

Maka, alangkah tak bijak bila kemudian Trias dan Suzie tidak mensyukuri akhir yang indah tersebut.


"Papa Om..." suara Kirei terdengar merengek. "Nasinya acak-acakan."

Trias menatap Kirei. Dilihatnya belasan butir nasi berserakan di sekitar piring makan melamin milik anak adopsinya itu. Ia tersenyum.

"Papa Om marah, nggak?" tanya Kirei takut-takut.

Trias tersenyum lagi. "Nggak, De."

"Namanya juga belajar, De," tambah Suzie. "Nggak apa-apa, belepotan juga."

"Iya, nggak apa-apa," imbuh Trias. "Tinggal dibersihkan, kalau Dédé udah selesai makan."

"Sama siapa?" tanya Kirei.

"Yaa... sama Dédé, atuh," jawab Trias.

Kirei menekuk wajahnya dengan jenaka. "Kirain sama Papa Om."


Secara umum, Kirei adalah tipe anak yang iseng dan jahil, meskipun tidak dapat dikategorikan sebagai anak badung. Kirei tidak bandel. Ia hampir selalu menuruti kata-kata orang tua angkatnya, sangat jarang membangkang. Namun, sifat jahilnya itulah yang membuatnya memiliki kecenderungan untuk melontarkan komentar nyeleneh, meskipun pada akhirnya tetap menurut.

Bagi Trias dan Suzie, tingkah jahil Kirei adalah sesuatu yang menyenangkan. Kenapa? Karena keduanya pun memiliki kecenderungan yang sama: iseng dan jahil. Seperti pesan ibunda Trias, saat ia beranjak remaja, dulu,

"Kalau kamu suka memukul, jangan marah ketika dipukul seseorang."

So, secara kasar, Trias dan Suzie tidak berhak marah saat Kirei menjahili mereka. Terlebih, selama ini, keisengan si bocah masih terbatas dalam taraf wajar, kok.


Seperti biasanya, Trias menghabiskan makan malamnya, lebih dulu daripada Suzie dan si Dédé. Padahal porsinya paling banyak. Hmm... mungkin itulah efek dari bersepeda menempuh jarak yang cukup jauh. Kegiatan tersebut membakar kalori dalam jumlah cukup banyak, dan Trias harus mengimbangi pengeluaran kalori tersebut dengan porsi makan yang cukup kolosal.

Suzie berada di posisi kedua. Dan tentu saja, Kirei menjadi orang terakhir yang menghabiskan makan malam. Dengan remah nasi yang berceceran, dan isi piring yang tidak sepenuhnya habis. Namun, Trias dan Suzie tidak mempermasalahkannya. Yang terpenting, bocah itu mau makan.

Yang lucu, setelah menyelesaikan santap malamnya, Kirei segera bangkit dan memungut beberapa lembar tisu. Sementara Trias memberesi dan mengangkat piring kotor, kemudian membawanya ke dapur, anak manis itu dengan telaten membersihkan ceceran nasi yang dibuatnya. Terbukti, bukan? Meskipun membangkang di awal, Kirei tetap melaksanakan apa yang diperintahkan Trias.

"Anak baik," puji Suzie tulus, disambut cengiran konyol di wajah Kirei.


Sambil mencuci piring di dapur, diam-diam Trias tersenyum,

Terima kasih, ya Tuhan... ucapnya di dalam hati. Atas sempurnanya hidup hamba.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Hampir 30 kilometer dari kediaman mungil Trias dan Suzie,


"Kamu masih ingat Suzie, Dik?" tanya seseorang di ambang pintu kamarnya.

Rida menoleh dan menatap ke arah sumber suara. Jelas, ia tertarik pada wacana yang tengah dilemparkan Tessa, kakak perempuannya itu. "Ada apa dengan Suzie, Téh?"

"Kamu percaya?" ujar Tessa. "Aku sekantor dengan suaminya."

"Trias?" gumam Rida. "Hmm... masihkah lelaki itu terlihat manis?"

Tessa tergelak. "Itukah satu-satunya hal yang bisa kamu ingat dari sosok Trias?"

"Salah satunya," ralat Rida. "Laki-laki manis yang bisa bikin Suzie berubah drastis. Aku yakin, andai Suzie bertemu Trias sejak lama, nggak akan ada kisah dendam antara aku dan dia, Téh."

"Nggak usah diingat-ingat lagi, Dik," Tessa tersenyum lembut. "Tokh, saat ini, kamu udah nggak memendam dendam lagi, 'kan?"

Rida mengangguk sendu. "Dendamku hilang begitu aja, ketika mendengar kabar bahwa Suzie kehilangan kaki kanannya."

"Saat ini, kaki kanan Suzie udah kembali, kok," tanggap Tessa. "Meskipun hanya dengan prosthetic leg. Setidaknya, itulah yang dibilang Trias."


Obrolan praktis terhenti, ketika ponsel Tessa berbunyi, menandakan masuknya sebuah pesan chat. Disusul senyum yang mendadak mengembang di wajah manisnya, mengundang rasa ingin tahu Rida.

"Kok senyum-senyum, Téh?" tegurnya.

Tessa menjawab dengan gelengan kepala.

"Dan aku jadi penasaran, karena Tétéh menggeleng," lanjut Rida. "Chat dari siapa?"

Tessa menggeleng lagi. "Atasan aku."

"Sekadar atasan," tanggap Rida dengan bergumam. "Kenapa sampai bikin Tétéh senyum-senyum?"

Kembali, Tessa menggeleng.


Siapa pun akan tergelitik melihat sikap ganjil Tessa. Termasuk Rida. Dan hal tersebut memicu tindakannya, yang mendadak berdiri menghampiri Tessa, lalu serta-merta merebut ponsel pintar di genggaman tangan kanan sang kakak.

Sejurus kemudian, "Aah... atasan Tétéh boleh juga."

"Dik..." gumam Tessa.

"Pantas, Tétéh jadi salah tingkah," lanjut Rida.

"Jangan bikin gosip," ingat Tessa. "Awas, ya!"

"Tétéh sendiri yang bertingkah seolah mengundang gosip untuk hadir," sanggah Rida. "Tétéh jatuh cinta?"

"Dik!" rutuk Tessa. "Jangan bikin aku malu."

"Tétéh beruntung," Rida tak menggubris kata-kata kakaknya. "Bisa bekerja di sebuah kantor yang di dalamnya terdapat dua orang lelaki good looking. Trias dan si bos."

Tessa mendelik.

"Trias... nggak mungkin diganggu, karena udah punya seorang bidadari seindah Suzie," tambah Rida. "Nah, kalau si bos... masih lajang, 'kan?"

"Gimana caranya kamu tahu itu, Dik?" tanya Tessa heran.

"Karena aku yakin, Tétéh nggak akan senyum-senyum sendiri, hanya karena menerima chat dari pria beristri," alasan Rida. "Iya, 'kan?"

Tessa menepuk kening.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Tessa telah berada di kamar tidurnya. Tadi, ponsel Rida berdering. Meski tidak mengusir, namun bunyi dering ponsel yang menandakan masuknya panggilan dari sang kekasih, adalah bentuk lain dari sebuah 'pengusiran halus'. Tessa pun sadar diri, dengan segera memberi privasi sepenuhnya terhadap sang adik.


Lebih dari setahun, Rida berhubungan asmara dengan lelaki ini, yang menurut pengakuannya adalah seniornya semasa kuliah itu. Tampaknya, hubungan ini mengarah pada titik akhir yang serius. Diam-diam, mendengar keseriusan tersebut, Tessa lega. Setelah sempat khawatir dengan gaya hidup bebas Rida saat bersama Ghani, yang ternyata dilatari niat balas dendam itu, kini Tessa dapat melihat kembalinya sang adik pada sifat alamiahnya.

Terkadang, Tessa merasa berdosa. Rida berubah menjadi liar akibat punya niat untuk membalaskan dendam atas Suzie. Dan Tessa terlibat langsung dalam dendam masa lalu tersebut, sebagai korban utama. Berulangkali Rida meyakinkan Tessa, bahwa dendam itu terlahir murni dari hatinya sendiri. Namun rasa dosa di hati Tessa tidak lantas pergi.

Kini, Tessa mulai melupakan rasa dosanya itu, seiring kehidupan pribadi Rida yang berangsur membaik.


Hari ini, adalah hari pertama dirinya menjalani pengalaman baru sebagai seorang sekretaris pribadi. Beragam rasa dikecapnya.

Tessa merasa gugup, karena sekretaris adalah posisi kerja yang nyaris tak pernah terbayangkan akan dilakoninya. Namun, sebaliknya, juga terbersit antusiasme menghadapi hal baru dalam karirnya.

Ia juga merasa gugup, karena akan berjumpa dan berinteraksi dengan rekan-rekan kerja baru. Bekerjasama dengan atasan baru, di mana kali ini, punya jalinan kerja yang jauh lebih erat. Bagaimana tidak erat? Ruang kerja Tessa dan atasannya hanya dibatasi sebuah dinding saja.


Ya, Tessa gugup. Tapi ia tahu, inilah sindroma yang dialami oleh hampir setiap orang di saat menjalani hari pertama bekerja di tempat baru. Dan ia tahu, kegugupan tersebut harus dihadapinya.


Lalu, kegugupan itu jauh berkurang, ketika mendapati Kang Tata, sang atasan, bersikap supel. Bukan hanya kepada dirinya, melainkan semua anak buahnya. Tessa dibuat kagum, ketika di jam istirahat, dengan entengnya Kang Tata pergi makan siang bersama tiga orang karyawannya. Dan ia makin kagum, saat Kang Tata memberitahukan lokasi makan siangnya,

"Di kantin seberang jalan."

Kantin seperti apa? Hanya kantin sederhana, yang luasnya sedikit lebih besar daripada warteg kebanyakan. Bukan kantin setengah bonafid dengan pilihan menu masakan asing. Di saat pulang, Tessa dapat membaca tulisan besar 'SEDIA: NASI RAMES' pada spanduk yang tergantung di bagian depan kantin tersebut.

Sekilas, Tessa mendapatkan kesan bahwa atasannya adalah pribadi yang rendah hati. Atasan yang tidak selalu bertingkah laku layaknya atasan.


Bagaimana dengan rekan kerja lainnya?

Tidak jauh berbeda dengan Kang Tata, para karyawan lainnya pun bersikap wajar. Tak ada keramahan yang dibuat-buat, alamiah saja. Tak ada kesan bahwa mereka akan melakukan semacam perpeloncoan terhadap karyawan baru seperti dirinya. Perlakuan sedikit diskriminatif yang diterima Tessa dalam hari-hari pertama bekerja di Tangerang, belasan tahun lalu, tampaknya tidak akan dialaminya di sini.

Namun, Tessa harus mengakui, betapa keberadaan Trias telah membuat dirinya lebih nyaman. Ya, meskipun ada keterlibatan peristiwa buruk pada masa lalu di antara keduanya, hal tersebut tak lantas membuat interaksi mereka jadi penuh kecanggungan. Sebaliknya, Tessa justru merasa telah punya teman akrab, sejak hari pertama bekerja.

Hmm... dengan semua kondisi tersebut, diam-diam, Tessa merasa yakin akan kerasan bekerja di Storm Advert.


Dan puncaknya terjadi ketika Kang Tata men-chat-nya, belasan menit lalu,
Istirahat yang cukup.
Aku nggak mau, mata yang indah itu terlihat kusam akibat kurang tidur. :)


Wanita menyukai pujian. Dan ia adalah seorang wanita. Wajar, 'kan, jika hati Tessa melambung saat Kang Tata memuji bentuk matanya yang indah?


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Kembali ke kediaman Trias dan Suzie, di Soreang,


"Udah selesai PR-nya, Dé?" tanya Trias.

"Udah," jawab Kirei, sambil menatap 'Papa Om'-nya itu. "Dibantuin sama Ma Uzi."

"Ma Uzi pintar, ya?" ujar Trias. "Bisa membantu mengerjakan PR Dédé."

Kirei mengangguk. "Nggak kayak Papa Om."

Trias manyun. Justru Suzie, yang baru saja keluar kamar, tertawa puas.

"Papa Om gimana, Dé?" cetus Suzie.

"O'on," celetuk Kirei tanpa beban, membuat Trias makin cemberut. Dan bocah lucu itu menyadari raut wajah tak mengenakkan Trias. Karenanya, ia bergegas bangkit dan merangkul kepala ayah angkatnya, lalu menciumi pipi kanan dan kirinya.

"Mmh... merayu," ejek Trias gemas.

Kirei, juga Suzie, tertawa.


Suzie duduk tepat di sisi kanan Trias. Ditepuknya pelan paha kanan sang suami.

"Terkadang, Aa memang o'on," bisiknya. "Apalagi kalau sedang gugup. Tapi..."

"Tapi apa, Néng?" potong Trias, menatap Suzie lekat-lekat.

"Tapi, pada saat yang tepat, Aa bisa jadi manusia paling cerdas yang pernah Néng kenal," tutur Suzie. "Mmh... kecerdasan Aa dalam bertindak, bikin pernikahan kita tetap langgeng hingga saat ini, meskipun sempat menghadapi prahara."

Trias tersenyum.

"Kecerdasan Aa dalam bersikap," lanjut Suzie. "Juga bikin Néng tetap semangat menjalani hidup, setelah musibah itu."

"Kamu..." gumam Trias, seraya merangkul hangat kepala Suzie, dan mendekatkan wajahnya ke telinga sang istri. "Selalu bisa bikin aku tersanjung."


"Papa Om!" seru Kirei sambil mendelik galak, membuyarkan suasana penuh romansa di antara Trias dan Suzie. "Nggak boleh macem-macem sama Ma Uzi."

Trias manyun, sementara Suzie tergelak.

"Papa Om bikin kopi, gih!" suruh Kirei polos. "Habis makan, harus ngopi."

Suzie kembali tertawa, sementara Trias mendelik galak. Namun, tak urung lelaki itu bangkit, karena memang seperti itulah kebiasaanya. Minum kopi setelah selesai makan malam.


Tidak ada yang bisa mengerti, mengapa Kirei selalu cemburu dan menghardik ketika Trias bersikap mesra terhadap Suzie. Sejak dulu, sebelum pasangan itu resmi mengadopsinya. Apakah mungkin, hal tersebut terjadi akibat bocah itu tidak terbiasa melihat kemesraan di antara sepasang suami-istri, mengingat sang ayah telah meninggalkan dunia saat Kirei masih berusia satu tahun?


Hampir 10 menit kemudian, Trias selesai meracik secangkir kopi hitam. Ia kembali ke ruang tamu yang juga merangkap sebagai ruang tengah itu. Sedianya ia akan melontarkan komentar, namun segera diurungkannya, melihat Kirei yang sudah tergolek pulas. Paha kiri Suzie menjadi alas kepalanya.

"Lho, udah tidur?" tanyanya tanpa suara.

Suzie menjawab dengan anggukan.

"Kecapekan main, ya?" tanya Trias lagi, sambil kemudian duduk di sisi Suzie.

Kembali, Suzie mengangguk. "Aa yang membopong si Dédé ke kamar, ya. Néng nggak kuat. Kaki Néng..."

"Aku mengerti," ujar Trias, memotong ucapan Suzie. "Nanti kupindahkan. Kalau sekarang, mungkin tidurnya belum terlalu nyenyak. Aku khawatir si Dédé terbangun lagi."

Suzie mengangguk sambil tersenyum.

"Sekarang, biarkan aku duduk di sebelah kamu," lanjut Trias, sembari meletakkan secangkir kopi hitam di atas meja kecil yang berada di sudut ruang tamu. Tempat biasanya ia menyimpan kopi atau minuman lainnya. "Boleh?"

"Kenapa harus nggak boleh, Aa?" tanya balik Suzie, sambil tertawa.

"Nanti bocah ini marah," jawab Trias.

Suzie tertawa lagi. "Sekarang, si Dédé udah tidur, 'kan?"

"Berarti, aku bebas melakukan apapun," ucap Trias dengan nada yang terdengar nakal.

Suzie menatap Trias lekat-lekat, dan mengangguk mantap.

"Apapun?" tegas Trias.

"Apapun," ulang Suzie. "Asalkan... nggak sampai buka baju."

Trias tergelak.

"Jangan keras-keras!" desis Suzie, membuat Trias sontak menutup mulut dengan telapak tangan kanannya. "Si Dédé bangun lagi, berabe."

"Nanti aku dipelototi lagi," keluh Trias. "Disuruh bikin kopi lagi. Padahal kopi ini aja belum sempat aku minum."

Suzie setengah mati menahan tawa.


Suara ponsel yang tergeletak di sisi kiri televisi, mengusik cengkrama di antara mereka. Trias bergegas bangkit untuk menyambar ponsel pintar miliknya itu, dan menatap layarnya. Sebuah chat, yang segera dibuka dan dibacanya. Ia menggeleng, seraya kemudian kembali duduk di sisi Suzie.

"Chat dari siapa, Aa?" tanya Suzie. "Malam-malam begini."

"Istri simpanan," jawab Trias, sambil menyerahkan ponselnya pada Suzie.

"Serupa dengan simpanan dana di bank, begitu?" tanggap Suzie diiringi tawa. Tangan kanannya meraih sodoran ponsel dari sang suami.


Dan sejurus kemudian, Suzie ikut menggelengkan kepala, sambil menatap Trias.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​
 
Akhirnya update lagi yah Kang. Lama lho nunggunya.. hehehehe... Alhamdulillah, dendam itu udah selesai yah Kang. Padahal kalo boleh cerita dulu tuh diulang, bener kata Rida, Lelaki terbaik yg seharusnya sejak awal menata hidup Suzie ya Trias. Tapi dari apapun, semoga kebahagiaan juga selalu menaungi Tessa Kang. Damn, actually I hate the world works when Dinan choose Alifa as His Partner Lifemate. But, without them, there isnt Tessa with her beautiful eyes and lovely mind.

Sehat terus Kang. Tetap manjakan kami dengan karya2nya yah Kang.
 
Bimabet
ijin nyimak dan baca ya om @praharabuana, ini kisah lanjutan the last kiss ya om, lanjutan kisah hara, menarik untuk diikuti, kemarin hanya SR saja, xixiixixii
Cerita yg satu lagi Hu. Pake bahasa apa gitu judulnya. Belanda deh klo gak salah... hahahahahaah... All You need is Love klo bahasa kampungnya. Ini cerita Suzie dan Trias.. ama let down deh klo Tessanya...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd