Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

BULE: DUE DEATH

Izin update tipis-tipis ya, Suhu semua. Agak lambat karena plot ceritanya makin rumit sehingga perlu waktu lebih lama buat ngerumusinnya biar gak terkesan asal-asalan. Ini saja kok rasanya masih ada plot hole, tetapi gak keliatan. Semoga bisa diterima.

BAGIAN 7-1​

Entah mengapa, persetubuhanku dengan Widuri terasa sangat berbeda dengan wanita-wanita sebelumnya. Maksudku, Widuri memang pengguna Setra Swara, aku tahu itu. Dia dapat membuat hampir semua orang menuruti apa pun keinginannya, termasuk diriku. Namun, aku dapat memastikan bahwa dia tidak sedang menggunakan kemampuannya itu. Wanita itu amat percaya diri jepitan memeknya dapat membuatku tunduk dan mengikuti maunya menerima perjodohanku dengan Nyi Roro.

“Mas Gon sukaaagh? Mmmh ...,” desah Widuri sambil menaikturunkan pinggulnya di atasku. Setiap gerakannya memberiku kenikmatan dalam banyak dimensi. Selain menikmati ulekan memeknya yang menelan dan melepeh kontolku, mataku juga mendapat suguhan visualisasi tanpa tanding: berayunnya tetek montok ibu tiriku itu dan tatapan mata wanita matang yang dilanda sedang birahi.

“Kamu mirip lonte ...,” jawabku. Bukan hanya ibu si kembar itu yang menatapku tidak percaya sebagai respon mendengar jawabanku, bahkan ak sendiri pun kaget mendengar ucapanku sendiri. Sejak kapan aku menjadi kurang ajar terhadap ibu tiriku?

“Mas Gon mau Widuri jadi lonte pribadi Mas Gon? Hmmm?” tanya ibu si kembar meladeni jawabanku. Kurasakan ada sebuah kekuatan Setra menunggangi suaranya. Seketika suaranya di telingaku menjadi begitu menggairahkan, membuat wajahnya seratus kali lipat ebih cantik.

“Apa untungnya buatku punya lonte sepertimu?”

Ya! Sekali lagi aku dan Widuri terkejut dengan jawabanku. Widuri menatapku tajam. Meskipun aku tahu dia juga merasakan sebuah keinginan untuk menuntaskan kegiatan ngentot kami, tetapi jelas ada amarah yang mulai berkobar di matanya.

“Jaga ucapanmu, Mas Gon!” desis Widuri. Dia menghentikan gerakannya mengulek kontolku.

“Atau apa? Kamu mau mengadu kepada Nyi Roro? Pffft!,” tukasku mencibir ancamannya. Widuri terdiam. “Jangan berhenti, Lonte!”

Wajah Widuri mengeras. Rentetan ucapanku itu membuatnya terpukul, tergambar jelas di wajahnya yang murka memerah. Sempat kupikir akan terjadi pertikaian, nyatanya Widuri mulai melumat lagi kontolku dengan memeknya.

Sekali itu tidak ada di antara kami yang berkata-kata lagi. Entah dengannya, tetapi kelanjutan permainan cinta kami usai terjeda tadi terasa lebih nikmat. Sepertinya kegeraman Widuri tersalurkan lewat pelayanannya kepadaku. Sungguh gila rasanya! Kurasa seharusnya desahanku akan sangat intens tersembur.

“Cuma segini ternyata kemampuan persuasif abdi Nyi Roro.”

Eh? Bukan itu yang seharusnya kuucapkan. Seharusnya desahan atau sebuah pujian atas pelayanan Widuri yang kuucapkan. Tentu saja ucapanku itu seperti menyiramkan bensin kepada api unggun.

“Lama-lama bakalan mati bosan aku kalau begini terus,” kataku lagi. Widuri semakin tersulut amarahnya, tetapi hanya bisa melampiaskannya kepada pelayanannya.

“Aku punya proposal agar acara kita semakin menarik, tapi aku ragu lonte sepertimu berani menerimanya,” kataku lagi semakin tidak waras. Entah bagaimana ceritanya samapi aku berani mengucapkan hal-hal tidak beradab seperti itu kepada ibu tiriku sendiri. Widuri di sisi lain jelas terpancing. Pandangan matanya menyiratkan sebuah tantangan.

“Lima belas menit ... bila dalam waktu itu kamu bisa membuatku ... ‘crot’ ... aku akan menuruti maumu menjadi suami Nyi Roro,” kataku lagi. Mata Widuri menyiratkan ketertarikan mendengar ucapanku. “Tentu mudah bagi lonte berpengalaman sepertimu, seharusnya.”

“Tapi, kalau aku yang menang ...,” kataku sedikit menggantung ucapan sambil meremas teteknya, “serahkan jimat yang diberikan Nyi Roro kepada Mbah Buyut Ugraha.”

Aku tidak mengerti apa makna keterkejutan di wajah Widuri. Namun, yang jelas aku sendiri saja tidak mengerti bagaimana bisa diriku mengetahui tentang jimat itu. Rasanya seperti aku sedang mendengarkan orang lain berbicara, padahal jelas akulah yang mengatakannya.

“Mengapa repot-repot, Mas Gon? Mas Gon bisa menjadi pewaris jimat itu hanya dengan menjadi suami Nyi Roro. Semudah itu,” kata Widuri tampak berusaha menganalisa keadaan. Tubuhnya masih bergerak menggilas kontolku seolah sedang mencuri start atas proposal yang bahkan belum dia setujui.

“Jangan meremehkanku, Lonte,” kataku sambil terkekeh. Gila! Bahkan di dalam amukan badai kenikmatan yang diberikan oleh ibu si kembar itu, suaraku dapat begitu tenang seolah tidak terpengaruh sama sekali. Padahal aku dapat mengatakan dengan pasti bahwa setiap detiknya, aku terseret menuju puncak kenikmatan. Pejuku terasa sudah berkumpul siap lepas landas. “Jimat itu tidak berguna untukku bila aku sudah menjadi babu Nyi Roro sepertimu.”

“Dari mana ....”

“Dari mana aku tau itu tidak penting,” tukasku. “Terima atau tidak?”

Widuri tidak menjawab, tetapi dari remasan otot-otot dinding memeknya terhadap kontolku, aku tahu dia menerima tantangan itu. Usia tidak mencerminkan performa, rasanya frasa itu amat layak disandingkan kepada ibu si kembar. Baru beberapa detik saja, aku sudah dipaksa untuk segera melepaskan peju.

“Jangan terlalu diporsir. Kita baru mulai, lo,” kataku sambil memainkan pentil teteknya. Widuri balik menatapku gemas, lalu menopangkan kedua telapak tangannya di pahaku, sehingga dapat semakin cepat menaikturunkan memeknya.

Gila! Seharusnya aku sudah muncrat berkali-kali tadi, bukannya dengan tenang malah mengompori Widuri. Ini benar-benar aneh. Ada yang tidak beres, tetapi aku tidak tahu apa.

Wajah Widuri memerah, keringatnya pun bercucuran. Padahal pendingin udara menyemburkan angin terdingin yang mampu disemburkanya. Sinar matanya hampir penuh dengan syahwat, tidak lagi tersisa kemarahan. Wanita itu menikmati betul setiap apa yang dilakukan oleh tanganku kepada tubuhnya, terutama kepada tetek montoknya.

“Capek?” tanyaku kepada Widuri yang mulai terengah-engah. Dia tidak menolak ketika kucengkeram tengkuknya dan kutarik medekati wajahku. “Melet!”

Dengan raut wajah pasrah, Widuri menuruti perintahku mengeluarkan lidahnya. Bentuknya kecil dan meruncing pada ujungnya. Warnanya merah muda.

“Mmmh!” desahnya ketika lidahnya kujepit dengan bibir. Tidak hanya itu, selain rasa lidahnya, aku juga sekaligus dapat merasakan kenyalnya tetek Widuri dan juga aroma ketiaknya. Widuri terpejam. Tidak lagi tersisa kegarangannya. “Mas Mbareeep! Enaaakh!”

Eh, tunggu sebentar! Dia memanggi siapa?

“Kangen aku, Wid? Bilang kamu kangen kontolku, Wid!” kataku. Widuri hanya mendesah lirih dan pasrah ketika tubuhnya kudorong hingga rebah tanpa kulepaskan kontolku dari memeknya.

Eh? Ada apa ini? Kok rasanya semakin aneh.

“Mas Mbareeep ...,” rengek Widuri ketika kontolku semakin kuat merajam memeknya.

“Enak, Gon? Sabar, ya! Aku tidak selemah dirimu yang mudah muncrat hanya karena jepitan memek seorang lonte seperti Widuri.”

Eh? Siapa itu yang berbicara kepadaku?

“Kamu diem aja ya, Gon! Aku pinjam tubuhmu biar Satria Cemani Rajeg Wesi lahir. Tenang saja, anakmu pasti kuselamatkan. Biar gimana pun dia adalah keponakanku.”

Ah! Seketika aku mengutuki kebodohanku. Semua menjadi jelas ketika satu nama muncul. Kang Seto! *

“Kalau Mas Gon percaya, syukurlah, jadi akan lebih mudah,” kata Kang Seto ketika kukatakan kepadanya bahwa aku setuju untuk menjadi wadah bagi arwah saudara kembarku.

“Kang Seto yakin, ini tidak akan berbahaya?” tanyaku memastikan sekali lagi. Menjadi wadah arwah orang yang telah meningga itu bukanlah hal main-main, jadi kurasa wajar aku menayakan sekali lagi.

“Saya yang akan menjadi perantaranya, Mas Gon. Tentu saja bila Mas Gon bisa meyakinkan Kanjeng Ibuk Widuri untuk berpihak kepada Mas Gon tanpa harus beradu kanuragan, saya tidak perlu melakukannya,” kata Kang Seto. “Lagipula saya tidak akan dapat memasukkan arwah ke dalam Baskara Mas Gon tanpa izin.” *

Izin pada dunia kependekaran Baskara dan Setra itu unik. Izin bukan hanya didapat atas persetujuan, melainkan juga bisa didapatkan dengan cara invasi wilayah Basakara atau Setra-nya atau disebut dengan Yoni.

Seperti beberapa waktu yang lalu ketika Yoni-ku ditembus Nyi Roro Bunga Senja, dia tidak dapat mengambil alih karena aku ada di dalam Yoni-ku, bersiap menerima penyusup. Namun, ketika ada orang yang sudah dianggap Yoni-ku sebagai sekutuku masuk, maka tidak ada ‘notifikasi’ adanya penyusup.

“Izinkan saya menetap di dalam Yoni Mas Gon untuk bersiap-siap,” kata Kang Seto.

Atau seperti itu skenarionya.

“Aaah! Anak pintar! Sayangnya terlambat, Gon.”

Celaka! Pantas saja rasanya ada yang tidak beres sedari tadi. Ternyata tubuhku telah diambil alih oleh saudara kembarku. Kulihat Widuri tidak berkutik ketika ada tiga kepalaku yang emncumbui dirinya, satu beradu bibir dengannya, sedangkan yang dua lainnya mencumbui sepasang teteknya. Tidak salah, itu adalah Setra Kala-nya Gondhang Pembarep. Tangannya pun bertambah banyak menjadi enam, yang kesemuanya menjamahi tubuh indah Widuri.

“Mas Mbareeeph! Ah! Gede bangeeedh!” desah Widuri. Tidak ada tiga kontol bia itu yang kalian duga, melainkan seperti gabungan dari tiga kontol bila dilihat dari semakin mekarnya bibir memek Widuri.

“Ampun, Mas Mbarep! Ampuuun!” jerit Widuri. Tubuhnya tidak dapat bergerak karena ada enam tangan yang memegangi tubuhnya. “Mas Gooon! Tolongin Ibuk, Maaas!”

Widuri terlonjak-lonjak ketika kontolku mengaduk-aduk memeknya dengan brutal. Aku bahkan tidak dapat mengenali kontolku sendiri dengan ukuran sebesar itu.

“Kau tau, Gon? Ini bukan pertama kalinya kurasakan tempik ibu tiri kita ini. Semenjak Kanjeng Bapak mulai sakit-sakitan, akulah yang memberinya kepuasan. Bukankah aku anak yang berbakti?” kata Mbarep kepadaku.

Meskipun kasihan kepada Widuri yang tersiksa, tetapi aku lebih tertarik mendengarkan apa yang Mbarep katakan. Begitu banyak hal yangtidak kuketahui tentang keluargaku ini meskipun aku adalah anak kandung Bapak.

“Jangan berkecil hati tentang hal itu, Gon. Kau itu kesayangan Kanjeng Bapak. Putih, tampan, pinter, nurutan, gak banyak tingkah. Bahkan orang tua itu berani menentang Nyi Roro yang menyuruhnya untuk membunuhmu. Padahal akulah yang terpilih menjadi pengantin Nyi Roro. Jadi, wajar kan kalau kami semua membencimu?” kata Mbarep lagi.

Ah? Cerita apalagi itu? Bagaimana mungkin aku percaya Bapak menyayangiku, sementara semua perbuatannya kepadaku menyatakan sebaliknya.

“Aku serius, Gon! Kita berdua adalah bintang mati-nya Nyi Roro. Cemani Rajeg Wesi. Kamu yang putih jadi wadahnya, aku yang hitam jadi jiwanya. Makanya Nyi Roro nyuruh Bapak matiin kamu biar Cemani Rajeg Wesi gak akan pernah ada,” kata Mbarep. *


***

“Apa semua laki kalok udah dapetin cewek jadi istrinya, gak bergairah lagi ya, Pak?” tanya Dewi setelah menceritakan kekesalannya akibat suaminya yang semakin jarang menjamah dirinya. Sebuah pertanyaan yang membuat Seno menjadi malu sendiri, karena meskipun jawabannya adalah tidak semua pria seperti itu, tetapi jelas dirinya seperti itu kepada Listiana.

“Kalo ke kamu gak bergairah, suamimu perlu diperiksain ke psikiater tuh,” jawab Seno yang masih berdiri.

“Kalo Bapak, perlu gak diperiksain juga?” tanya Dewi tiba-tiba. Tangannya menepuk-nepuk bagian sofa tiga dudukan di sebelahnya. Tidak frontal, hanya seperti sedang membersihkan kulit pelapis busa empuk itu dari kotoran. Namun, dengan lirikan manjanya, jelas Seno pun dapat menemukan sebuah undangan yang menggoda prinsipnya.

“Wi …,” gumam Seno tidak jelas. Namun, dia tidak bisa menolak ketika dasinya direnggut lembut lalu ditarik oleh Dewi, menuntunnya menuju sofa untuk duduk.

“Pak … tawaran saya masih berlaku,” bisik Dewi tepat di sebelah telinga Seno, membuat pria itu melemah.

“Wi …,” gumam Seno lagi semakin tidak jelas. Apalagi ketika dilihatnya Dewi melepas jas kerja, lalu mengikat rambut hitamnya yang sepanjang bahu. Wanita itu menggoda prinsip Seno dengan pampangan ketiak mulus tanpa bulu. Kemudian, tanpa ragu Dewi mulai melepaskan kancing kemeja putih buntungnya perlahan.

“Saya gak akan nuntut macam-macam, Pak. Anggap saja ini balas budi saya atas kebaikan Bapak selama ini,” bisik Dewi yang lalu melepaskan kait beha-nya, sebelum dengan wajah bersemu merah menutupi kedua bongkahan teteknya denga telapak tangan.

“Wi …,” kata Seno yang masih bertahan dengan sisa-sisa prinsipnya.

“Bapak bawel banget, sih!” tukas Dewi sambil merengkuh kepala Seno dan mengarahkan mulut boss-nya tepat ke tetek kirinya. Seno bagai tanpa tulang, menuruti saja perlakuan sekretarisnya. Bibirnya tunduk terhadap kemauan Dewi, menjepit puting coklat muda itu, lalu menjilatinya ketika rengkuhan Dewi mulai mengendur. Wanita itu perlahan merebahkan tubuhnya sambil tetap merengkuh kepala Seno. Desahannya bagai musik di telinga Seno.

Tangan Seno tidak tinggal diam. Diraihnya kaitan rok setengah paha yang dikenakan Dewi. Kemudian, tanpa perlu bersusah payah, rok itu telah teronggok di lantai. Dengan buas, jemari pria itu menyusup ke dalam kancut Dewi lalu mengusap-usap seluruh bagian memek sang sekretaris.

“Aaah! Bapak pinteeer!” desis Dewi kegelian. Entah kapan dirasakannya sebuah pemanasan seperti ini dari suaminya. Yang dia rasakan hanyalah tusuk, goyang, dan semprot. Padahal dulu selalu saja dia harus merengek untuk meminta beristirahat kepada suaminya.

Puas mencicipi tetek kiri Dewi, Seno bangkit sambil melepas seluruh pakaiannya. Dipandanginya tubuh Dewi yang menggiurkan. Dengan kemeja acak-acakan memamerkan kedua teteknya dan kancut hitam yang telah bergeser dan menampakkan memeknya yang tanpa bulu, Dewi malah menutupi wajahnya yang memerah. Dari sela-sela jarinya, dipandanginya kontol Seno yang sudah tegak mengacung. Tidak terlalu berbeda dengan milik suaminya. Namun, kondisi ngaceng seperti itulah yang lama tidak ditemui Dewi. Memeknya berkedut-kedut tidak sabar menanti rojokan kontol Seno. Kakinya berpindah dari sofa, mengusap paha dalam Seno. Sesekali menyentuh biji kontol Seno, membuat pemiliknya bergidik, menyesali kebodohannya tidak melakukan ini semenjak dulu.

Tanpa merasa perlu sungkan lagi, Seno mendekati Dewi. Membuat kaki wanita itu terdorong ke samping hingga membuat Seno melesak di antara kedua kakinya. Keduanya sempat terdiam, hanya bertukar senyum malu-malu ditingkahi lenguhan kecil ketika kedua alat kelamin mereka bersentuhan.

“Saya langsung ke main course ya, Wi?” Seno sudah tidak tahan lagi melihat tubuh Dewi yang tergolek pasrah di hadapannya. Belum lagi gaya malu-malu yang menggemaskan naluri kelakiannya. Benar-benar amat berbeda dengan apa yang ditampilkan Dewi di dalam kesehariannya. Lagi pula ini di kantor, lebih lama lagi Dewi tidak keluar, bisa-bisa ada pembicaraan aneh yang akan tersebar di kantor itu.

Dewi mengangguk kecil dengan antusias. Sebetulnya dia berharap kontol Seno memiliki ukuran di atas rata-rata, tetapi dia sudah terlanjur basah menempatkan dirinya sendiri ke dalam situasi ini. Setidaknya kontol Seno lebih menghargai dirinya sebagai wanita ketimbang suaminya sendiri. Kontol Seno berdiri gagah, sesekali mencolek permukaan memeknya. Dewi sudah tidak sabar ingin segera bereuni dengan rasa yang dulu sempat memenuhi jiwanya.

“Mmmmh! Bapaaaak!” desah Dewi seiring kontol Seno membelah bibir memeknya. Sesuai dugaannya, kondisi kontol Seno yang bereksi penuh tidak menyakitinya, bahkan membuatnya keenakan. Sekejap saja, memek Dewi berhasil menelan utuh kontol Seno hingga ke pangkal. Tidak sadar wanita cantik itu menggigiti bibir bawahnya sendiri karena garukan kontol Seno di memeknya menimbulkan rangsangan akibat geli ketimbang nikmat.

Seno yang telah utuh dikuasai napsu, menganggap bahasa tubuh Dewi adalah bentuk pengakuan terhadap kontolnya. Dengan kepercayaan diri yang perlahan membumbung, dia gerakkan tubuh bawahnya, memompa memek Dewi dengan kecepatan perlahan. Berharap sekretarisnya itu tidak kesakitan.

*

potongan cerita dewasa 'EVOLUSI HIJABINAL SEASON 1' Selengkapnya bisa dibaca di KK dengan nama akun KhaNazTri
 
Yg jd misteri itu justru sang penulis.
Sya curiga, penulis ini seseorg yg berasal dr plat AG..😂
Gunung Bolo dan Roro Kembang Sore.
Peran Mbk Lis yg digambarkan berasal dr Trenggalek...
😂😂😂😂
Hayo...ngaku gk.....
 
Thanks updatenya, suhu @PeterPawker

Makin menarik nih ceritanya, suhu...

Mungkin kalo bisa saya pahami bahwa Si Bule/Gon ini tugasnya adalah menyatukan kekuatan untuk melawan Nyi Roro melalui 4 wanita yang ada saat ini yaitu Kakak Pertama si Dina - kemudian Ibu Widuri istri muda dari ayahnya - dan terakhir adik tirinya si kembar Winda dan Windi.

Karena... Melawan Nyi Roro tidak lah mudah.

Konflik akan terjadi pada mereka semuanya, karena ada yang pro kepada Nyi Roro agar Si Bule dipersembahkan sebagai calon suaminya Nyi Roro.

Mungkin yang cukup kentara penghalang nya adalah dari Ibu Widuri dan mungkin anaknya yang si kembar itu. Sedangkan kakak perempuan si Bule walaupun memiliki kekuatan setra, tapi karena sering bersebrangan dengan Ibu Widuri sejak dulu - makanya setelah dikasih enak-enak ama Si Bule jadi ikut pro dengan si Bule.

Tapi apakah iya beneran Kakak Perempuannya itu dengan mudahnya setuju..? Jangan-jangan Dina itu suatu saat malah menelikung si Bule, karena kekuatan setra si Dina berasal dari Nyi Roro. Ini pun rasanya perlu diwaspadai oleh si Bule.

Menaklukkan Ibu Widuri mungkin yang sulit - kalau dilakukan oleh Si Bule sendiri. Makanya diperlukan juga arwah Kakak nya yg sudah mati untuk dibangkitkan kembali oleh Kang Seto. Arwah Kakaknya itu yg kini ikut bersemayam di tubuh Si Bule.

Nah yang bisa menaklukan Ibu Widuri adalah kakaknya itu Mas Gondhang Pembarep. Dia yang yang bisa mengalahkan nafsu birahi Ibu Widuri. Makanya tak heran arwah kakaknya itu lah yang berani bicara kasar pada Ibu Widuri apalagi bisa dianggap sebagai lontenya - Karena, Mas Mbarep lah yang bisa mengalahkan urusan ranjang Ibu Widuri sejak ayah nya sakit hingga meninggal. Hingga Ibu Widuri manut ama Mas Mbarep ini.

Tak heran sekarang ini Ibu Widuri sebenarnya sedang diobok-obok oleh 3 pria dalam satu tubuh si Bule, yaitu arwah kakaknya sebagai triger utama untuk mendapatkan Cemeti Trajek Wesi, kemudian Kang Seto dan Si Bule.

Makanya tak heran si Bule punya kekuatan sex yang luar biasa untuk bisa menaklukkan Ibu Widuri - harapannya agar Ibu Widuri benar-benar bisa jadi budaknya si Bule dan bukan lagi budaknya si Nyi Roro...

Kalo tentang kenapa Ayah nya si Bule ini ternyata sesungguhnya sangat sayang kepada si Bule, tapi beda perlakuan yang dirasakan dan dianggap Si Bule waktu itu sangat membenci dirinya... Mungkin menurut saya yang namanya cinta kasih seorang ayah kepada anak kesayangannya adalah dengan memberikan pendidikan mental yang keras kepala Si Bule sejak kecil. Sesungguhnya ayahnya itu berat melakukannya pada Si Bule, tapi ia ingin si Bule punya mental yg kuat menghadapi kerasnya hidup ini. Hingga si Bule kabur pun, tidak ada upaya ayahnya untuk mencari Si Bule karena ayahnya mungkin bisa jadi mengharapkan agar Si Bule ini bisa terlepas dari Nyi Roro... Kan Si Bule itu putih dan ganteng sejak kecil dibandingkan kakaknya, masa iya disia-siakan...?

Anak kesayangan tidak harus dimanjakan, tapi ditempa dengan cobaan agar mental kuat. Mungkin itu sebenarnya harapan dari ayahnya itu sejak dulu, hanya saja Si Bule tidak sadar.


Mungkin itu sekilas yang bisa saya pahami dari isi cerita ini hingga di episode sekarang.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd