Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

BULE: DUE DEATH

Terima kasih atas atensinya, para Suhu sekalian. Mohon maaf tidak bisa saya balas satu persatu. Semoga tidak menjadi hal yang memberatkan hati para Suhu sekalian. Sebagai gantinya, saya berikan update bagian dua cerita BULE: DUE DEATH. Semoga para Suhu semua berkenan dan menyukainya. Happy reading and keep masturbating! Bacanya habis buka, ya!

***



BAGIAN 2

Gelagapan, mataku mengerjap cepat-cepat. Penyebabnya bunyi pintu yang dibuka perlahan. Kondisi gelap membuatku lambat menilai posisi serta waktu. Padahal lepas pelayanan Mbak Iis di dapur, aku tertidur seusai mandi. Begitulah kalau tidur di waktu Asar, pasti tidak beres akhirnya.

“Masuk, Mbak Iis!” kataku perlahan ketika melihat bayangan wanita berjilbab di pintu. Cahaya lampu luar cukup membantu prosesku menyadarkan diri.

Mbak Iis menutup pintu. Mataku sekarang bergantung kepada bias cahaya lampu yang tidak mampu menembus kelambu jendela. Remang-remang, tetapi lumayanlah masih bisa membantuku mengawasi Mbak Iis meskipun tidak terlalu jelas.

“Klik!”

Rasanya semua bergerak dalam mode lambat setelah Mbak Iis mengunci pintu. Sosok Mbak Iis benar-benar mirip dengan wayang kulit yang dulu sering kutonton. Tangannya yang bergerak disekitar dada kuduga melepasi kancing kemejanya sendiri. Dugaanku sepertinya benar ketika sosoknya melebar karena kemeja yang dia buka. Kemudian menyusul dia buka kancing celana yang disusul dengan gerakan menunduk untuk melolosi celana kulot yang sering dia pakai.

“Mau mandi dulu atau langsung, Mbak Is?” tanyaku sambil turut melolosi celana bola yang kupakai. Entah Mbak Iis bisa melihat kontolku yang sudah tegak berdiri atau tidak. Bule Junior itu sepertinya ingat betul dan ketagihan dengan pelayanan Mbak Iis.

Mbak Iis berjalan perlahan mendekatiku yang masih merebahkan diri di ranjang. Wangi parfum yang menguasai kamarku seperti menjadi jawaban atas pertanyaanku. Mbak Iis sepertinya telah mempersiapkan diri untuk malam ini.

“Sini, Sayang,” kataku tidak sabar sambil menepuk kasur. Mbak Iis menurutiku, tetapi hanya sampai duduk di tepi ranjang. Dia sampirkan jilbabnya ke bahu lalu tangannya bergerak melepas kaitan beha-nya. Eh? Tunggu dulu! Ada yang tidak beres dengan ukuran teteknya.

“Ci Leni!”

Sambil kuserukan nama majikan panlok-ku itu, kunaikkan lagi celana bolaku. Kemudian aku bangkit dan meraih tombol lampu. Betul saja kudapati Ci Leni sedang cemberut dengan tangan bersedekap.

“Ci Leni ....”

Seketika aku tidak dapat berkata apa-apa lagi. Majikan panlok-ku itu benar-benar menggiurkan. Sehelai jilbab instan merah muda membuat wajahnya terlihat begitu cantik dan suci tanpa dosa. Berseberangan dengan pemandangan di bawahnya yang menampilkan sepasang tetek 32C berputing coklat muda. Sehelai celana dalam g-string hitam terlihat membungkus memeknya. Aku ingat betul itu adalah set lingerie yang kupilihkan di mall tadi.

“Tailah lu, Le!”

Entah bagaimana makiannya terdengar begitu seksi. Bibir tipis berlapis lipstik merah itu begitu menggemaskan. Belum lagi riasan-riasan yang hanya pernah dia gunakan ketika ada acara-acara resmi, pastilah amat merepotkan pada saat mengaplikasikannya hanya untuk seorang Bule.

Seperti magnet, setiap rutukannya membuatku semakin mendekatinya. Terlihat dia menahan diri untuk tidak membiarkan air matanya tumpah, padahal genangannya begitu jelas kulihat. Kudekatkan bibirku kepada bibirnya sampai terasa deru napasnya di wajahku.

“Makasih ya, Ci,” ucapku membungkam rutukannya. Bibir kami bersentuhan. Hanya bersentuhan saja. Sebuah kontak pertama yang ringan dan lembut. Tidak ada napsu di sana, setidaknya belum. Aku hanya ingin majikan panlok-ku itu tahu betapa tersanjungnya supirnya ini dengan segala yang telah dia lakukan.

“Bule reseee ...!”

Ci Leni melepas tautan bibir kami setelah beberapa lama lalu menangis. Segera saja kupeluk tubuh rampingnya. Perlahan kugiring tubuhnya untuk berbaring tanpa melepaskan pelukan. Kubiarkan saja dia menangis sampai puas sambil kuciumi kening dan pucuk jilbabnya. Posisi Ci Leni menindihku, wajahnya dia benamkan di dadaku.

Kuusap-usap punggungnya. Tidak sengaja tali celana dalamnya kusentuh, membangkitkan pikiran-pikiran cabul yang perlahan mengusir suasana romantis di kepalaku. Pikiran mesum itu menyadarkanku bahwa ada sepasang tetek telanjang yang menempel di dadaku. Rasanya hangat dan nikmat, membuat kontolku kembali berdiri tegak.

“Gak sopan! Ada cewek nangis malah disangein!”

Sebuah rutukan yang valid tentunya. Aku tidak bisa mengelak dengan bukti sejelas itu: tegaknya kontolku yang masih terbungkus celana dan menyundul belahan memek majikan panlok-ku itu. Kubenarkan tuduhannya dengan meremas bongkahan pantatnya dengan gemas.

Begituah adanya. Sekadar meremas bongkahan pantat bukanlah niat. Hal itu hanyalah sebuah kekhilafan dari situasi, kondisi, dan toleransi yang kebablasan. Dari kebablasan itulah timbul sebuah niat untuk melakukan lebih dari sekadar meremas bongkahan pantat indah itu.

“Aaah!”

Ci Leni terpekik kaget akibat tubuh mungilnya kugulingkan. Tangannya kukunci dengan tanganku begitu pun dengan kedua kakinya, kukunci dengan kedua kakiku. Jadilah majikan panlok-ku itu seperti sedang kusalib. Amazing!

“Gak usah pake mangap liatnya, Buleee! Malu tau!”

Tidak ada puasnya kupindai sosoknya dari ujung kepala sampai kaki. Sebuah pertentangan sekali lagi berkecamuk di hatiku. Majikan atau temen ngewe.

“Jangan kasar ya, Le,” ucap Ci Leni lirih. Matanya menatapku sayu. Ya sudahlah! Pria mana juga yang sanggup menolak permintaan seorang wanita bila semuanya sudah sampai tahap ini? Sampai pula aku pada batas penolakanku. Biarlah! Toh bukan aku yang meminta. Ingat kata orang tua dulu, ‘Rejeki jangan ditolak. Pamali!’

“Dikit doang, Ci,” jawabku sambil mengincar bibirnya. Kali ini sentuhannya jelas penuh napsu. Bibir-bibir kami langsung membuka pada detik pertama bersentuhan dan langsung mengirimkan lidah untuk bersilaturahim.

Perlahan tangan dan kakinya bergeliat meminta kebebasan untuk berekspresi. Mungkin karena terpengaruh efek adu mulut kami. Ya sudahlah kulepaskan. Bukankah kebebasan berekspresi dilindungi oleh undang-undang?

Tangannya langsung memeluk leherku setelah kulepaskan. Berbeda dengan kedua kakinya yang dengan lincah mengaitkan jempol ke pinggir celana bolaku dan menariknya hingga lutut. Setelah itu berganti aku yang digulingkan hingga dia kini berada di atas.

“Diam! Jangan ngapa-ngapain!” desisnya. Wow! Seharusnya aku yang berpesan jangan kasar, ya? Andai dalam kondisi normal, tentu akan kuturuti. Sayangnya untuk edisi perdana ini aku ingin memberikan kesan mendalam kepada Ci Leni.

“Buat saya diam, Ci ... kalau bisa!” ucapku sambil kembali menggulingkan tubuhnya. Tidak bisa! Cukup dia kuberikan kesempatan untuk bergeliat. Paling tidak untuk satu ronde pertama.

“Buuuh ... Leee ... mmmh!”

Ci Leni tidak mampu menyelesaikan protes ketika sekali lagi bibirnya kubungkam. Sekali ini dengan jauh lebih bernapsu dengan tambahan bergeraknya tanganku menyusuri tangannya menuju ketiak mulusnya. Tentu saja tempat itu hanyalah sebuah persinggahan saja.

“Mmmh ...!” erang Ci Leni ketika dari lekuk ketiaknya jempolku meraih pinggiran teteknya dan mengusapnya lembut. Jelas majikan panlok-ku itu menikmatinya dan berharap lebih. Tangannya berbagi tugas: yang kiri meraih dan mengocok kontolku; yang kanan menjambak rambutku dan menekan kepalaku sehingga membuat bibir kami semakin erat bersatu. Kaki kanannya meneruskan pekerjaan yang tertunda: melepaskan sempurna celanaku.

Puas menjajah bibirnya, kualihakan fokus kepada teteknya. Jilatan dan ciumanku bergeser pelan menuju dagu untuk kemudian bermain-main cukup lama di lehernya. Sedikit sedotan berujung cupang-cupang merah menjadi bukti permainanku di lehernya.

“Selamat makan,” bisikku takjub ketika sepasang tetek Ci Leni tersaji di depan mataku.

Sebagai pembukaan, kukecup kedua puting tetek Ci Leni. Ringan saja, tepat di pucuknya. Sebagai sebuah sinyal kepada sang empunya bahwa aku tidak ‘menggigit’ dan dia dapat santai dan menikmati pelayananku.

“Leee … mmmh! Enak, Leee …,” desis Ci Leni ketika bibirku menjepit pentil tetek kanannya. Tentu saja dengan cucukan lembut lidahku tepat di pucuk pentil teteknya. Desahannya konstan tanpa jeda seiring perpindahan lokasi jajahan bibirku.

Bosan dengan teteknya, aku merebahkan diri di sampingnya. Tidak perlu terburu-buru kupikir. Sedikit romantisme tidak pernah salah sebagai topping acara persetubuhan.

“Ci Leni cantik banget,” pujiku sambil menyingkap rambutnya yang menutupi wajah.

“Kemana aja lu baru sadar?” rengut majikan panlok-ku itu. Disambarnya tanganku yang mengusap keringat di dahinya lalu digigitnya. Tidak sakit sama sekali rasanya.

“Baru bilang doang. Kalo sadarnya sih udah lama,” kataku sambil melepaskan tangan dari gigitannya dan merengkuhnya ke dalam pelukanku.

Ci Leni dengan cepat menerima rengkuhanku. Dia menenggelamkan wajahnya di dadaku. Tangannya sesekali berlaku nakal memainkan pentil dadaku bergantian dengan kecupan dan jilatan di lokasi yang sama.

“I love you, Le,” bisik Ci Leni.

“I love me too,” jawabku asal.

“Dodol!” Kecupan di pentil dadaku berubah menjadi gigitan. Tidak sakit, sih. Malah terasa lebih nikmat. Melihat Ci Leni ‘hidup’ seperti ini menyenangkan. Amat menyenangkan, malah.

“Gue serius, Le!”

Majikan panlok-ku itu tiba-tiba menggulingkan tubuh sehingga posisinya kini amat berkuasa atas tubuhku. Jilbab segi empatnya jatuh menutupi tetek makmurnya. Sedangkan celana dalam seksinya sudah seperti PNS: ada, tetapi kerjanya tidak beres.

“Gue jatuh cinta sama lu! Gue pingin punya anak dari lu!”

Kedua tangan Ci Leni meremas dadaku. Tidak lama menjalar ke ketiakku dan meremas bulu-bulunya. Kalau ini jelas sakit. Dia menyeringai melihat wajahku yang berubah menahan sakit, lalu sebuah ciuman dia hunjamkan. Dari sebuah menjadi banyak buah. Kemudian diselingi jilatan di setiap sudut wajahku yang dapat diraih oleh lidahnya. *

Bulan delapan, tiga tahun yang lalu. Pukul sebelas malam lewat sekian belas menit, entahlah tepatnya. Pada saat itu untuk kesekian kalinya aku diusir oleh marbot musola. Andai saja Jaya Suprana tahu, pasti dia sudah mencatat namaku sebagai orang paling sering diusir dari musola pada buku rekornya.

Malam itu adalah malam kelimaku di Jakarta. Tidak ada tujuan khusus untukku datang ke Jakarta. Anggap saja aku dan Jakarta berjodoh. Kubilang berjodoh karena pada saat kabur dari rumah menuju ke terminal itu, aku sudah bertekat bahwa calo pertama yang menawarkan tiket kepadaku akan langsung kuambil berapa pun harganya.

“Eh, Mas Gon! Mau ke mana?” tanya seorang calo yang mengampiriku dengan bersemangat. Kebetulan sekali aku mengenalnya, namanya Seto. Dia tetanggaku, sudah menikah. Bapaknya menggarap sawah keluargaku. Ibunya membantu ibuku mengurus rumah. Ketika dia menikah, bapakku memberinya sepetak tanah buat dijadikan pengatrol ekonomi keluarganya.

“Itu tiket ke mana, Kang?” tanyaku sambil celingak-celinguk kagum dengan banyaknya bus yang berwarna-warni. Norak, ya? Namun, aku jarang sekali keluar rumah kecuali untuk urusan ‘keluarga’. Sekolah pun aku diantar jemput. Jadi bisa dibilang pada usia ke-27 tahun, baru kali inilah aku melihat terminal tanpa ditemani siapa pun alias sendiri.

“Pulo Gadung, Mas Gon,” jawab Kang Seto.

“Pulo Gadung itu mana, Kang?” tanyaku yang disambut tawanya. Ya maaf, kan, kalau pengetahuanku soal itu amat terbatas. Aku cuma tahu Alun-alun Kota Tegal, Rita Park, Pantai Alam, Pantai Muarareja, dan Taman Poci. Namun, kalau di luar Tegal, ya maaf.

“Jakarta, Mas Gon! Ibu kota negara ini,” kata Kang Seto menjelaskan. Padahal dia dua tahun di bawahku, tetapi dia jauh lebih pintar dan cerdas dari padaku. Darinya aku belajar mengendarai mobil dan motor serta cara memperbaikinya. Pas sih dengan latar pendidikanku yang SMK Teknik Kendaraan Ringan. Sesekali aku pun membantunya memberdayakan lahan hadiah dari bapakku itu. Itu kalau siang. Kalau malam, lain lagi urusanku dengannya. Nantilah pasti kalian tahu apa urusanku dengan Kang Seto kalau malam.

“Kapan berangkat, Kang?” tanyaku. Kang Seto menatapku curiga ketika mataku jelas menampakkan binar-binar rasa senang setelah mendengar kata ‘Jakarta’.

“Mas Gon sama siapa perginya? Gusti Haryo tau?” tanyanya mulai menyadari ada yang tidak beres. Gawat ini! Sepertinya bakalan runyam.

“Kang ...,” ucapku lirih penuh rasa memelas. Tidak ada jalan lain kalau berurusan dengan Kang Seto selain memelas. Bermain kekerasan dengannya sama juga bego. Ada alasannya mengapa bapakku amat mempercayakan nyawanya dan keluarganya termasuk nyawaku kepada orang itu.

“Kanjeng Gondhang Panggulu,” ucap Kang Seta. Dia tahu kondisiku dan jelas dia ada di dalam dilema yang amat besar dan aku tahu maksudnya menyebutkan nama lengkapku. Seperti biasa, bila sudah mode serius seperti itu langsung saja aura di tubuh pria itu membuatku tertekan.

Begitulah. Long story short, dari anak keluarga terpandang, aku sukses menjadi gelandangan di ibu kota. Gelandangan dengan sebuah kartu ATM berisi beberapa puluh juta Rupiah hasil menabung. Seriusan! Kalau kalian anak orang kaya dan semua kebutuhan kalian dipenuhi dari luar uang saku kalian, kalian pasti juga bisa mempunyai tabungan sebesar itu meskipun tidak bekerja. Sayangnya, karena terburu-buru ... yah, begitulah. Jadilah aku cuma gelandangan saja. Sialan memang!

Kembali ke malam terakhir kali aku diusir marbot. Kakiku melangkah asal saja mencari tempat untuk sekadar merebahkan diri. Sempat terpikirkan untuk pulang andai dua hal tidak menghalangiku: malu dan bokek. Andai kutebalkan wajahku pun, masa iya aku harus berjalan kaki dari Jakarta ke Tegal? Namun, mau bertahan di Jakarta sepertinya juga bukan ide yang cemerlang, bahkan sekadar bagus pun tidak. Bukan apa-apa, lima lembar uang seratus ribu pemberian Kang Seta hanya tersisa dua lembar dan beberapa lembar nominal lainnya yang pastinya lebih kecil.

Di malam itu keberuntunganku dimulai. Seperti kukatakan di awal cerita, bentuknya bukanlah berupa keindahan. Bahkan kalau boleh, sempat aku memilih untuk sial saja dari pada beruntung. Namun, sial tidak dapat diraih, untung tidak dapat ditolak. Malam itu aku bertemu dengan Ci Leni dan Koh Edwin. Hanya saja dalam kondisi yang jauh dari kata indah. *

“Keluarinnya di luar ya, Ci,” kataku sambil menangkup kedua teteknya yang tertutup jilbab merah muda segi empat.

“Hamilin gue, Le ... plis ...,” ucap Ci Leni lirih. Disampirkannya ujung jilbab yang dia kenakan seperti hendak menggodaku dengan kemolekan sepasang benda yang sedang kupilin itu. Bahkan tubuh bawahnya pun bergerak lembut maju dan mundur, menggilas kontolku dengan memeknya yang jelas terasa basahnya. Gila! Yang digilas bawah, yang pusing atas. Majikan panlok-ku ini memang te-ow-pe sekali!

“Ntar anak kita jadi kwaci lo, Ci,” kataku sambil berpindah pegangan. Kini bongkahan pantatnya kuremas sambil kuberikan sedikit tekanan agar memeknya lebih intens menggiling kontolku.

“Kwaci? Kok bisa?” tanya Ci Leni menatapku heran.

“Iya! Kwaci! Keturunan Jawa dan China,” jawabku sambil menahan tawa. Atas tertawa, bawah nikmat. Sungguh dualisme yang membagongkan.

“Puk gai lu, Le! Gak lucu, tau!” rutuk Ci Leni. Dia tidak tertawa. Malahan matanya mulai mengalirkan air. Ah, sial!

“Maaf, Ci. Jangan nangis, dong. Cantiknya ilang nanti,” kataku sambil merengkuh punggungnya, menarik tubuhnya untuk merebahkan diri di atas tubuhku. Isakannya semakin jelas terdengar.

“Ci Leni boleh minta apa aja sama saya, tapi jangan anak, ya?” bujukku. Kutambahi dengan usapan-usapan di kepalanya yang masih tertutup jilbab. Beberapa kecupan di kening tidak lupa kutambahkan. Bahkan keringatnya pun terasa wangi. Jangan-jangan Ci Leni minum parfum? “Minta sama Koh Edwin aja kalo mau anak. Ya? Ya?”

“Edwin gak bisa ... semenjak malam itu, Le.”

Ah! Malam itu lagi. Karena itulah kubilang aku rela mendapat sial asal malam itu tidak pernah ada. Malam itu yang mempersatukan kami, sekaligus memberi duka mendalam kepada kedua majikanku ini.

“Maafin saya, Ci,” ucapku sambil mempererat pelukan.

“Lu sih aneh, Le. Ngapain minta maaf? Kalau gak ada lu, bukan cuma Edwin gak bisa berdiri, tapi juga mati,” kata Ci Leni sambil mengacak-acak rambutku. Dia bergerak susah payah karena tak kukendorkan pelukanku, menyejajarkan kepalanya dengan kepalaku. “Hamilin gue, Le. Gue bosen jadi penjahat terus di keluarga Edwin.”

“Terus ... Koh Edwin gimana?” tanyaku. Ah sialan! Mana bisa aku menolak permintaan tulus seperti itu, kan? Maksudku ... ya, pokoknya begitu!

“Dia yang nyuruh, Bule!” tukas Ci Leni gemas sambil memencet hidungku.

“Oooh! Kirain emang cinta ... taunya disuruh,” kataku berpura-pura kecewa.

“Tailu, Le!” Ci Leni tertawa terpingkal-pingkal mendengar ucapanku. Ah, majikan panlok-ku itu memang lebih cocok kalau tertawa. Tawanya berhenti ketika merasakan tanganku mengusap pipinya. Dia tersipu malu, mengalihkan pandangan. “Gue cinta lu, Le. You are my hero.”

Selanjutnya tentu saja seperti dugaan siapa pun yang membaca cerita ini. Seekor kucing tidak akan pernah menolak daging sapi Wagyu. Tidak pernah! Namun, seekor kucing pintar, tahu kapan dia boleh menerima daging itu. Heleh, alasan!

Sekali lagi kami beradu bibir. Kubiarkan dia memegang kendali kali ini. Seperti kuda liar yang dilepaskan dari kandang, Ci Leni kembali menggiling kontolku sambil tetap berciuman.

“Remes toket gue, Le. Kasarin! Kasarin, Le!” desahnya setelah menjeda french kiss kami.

Tentu saja kusambut baik undangannya. Ci Leni melenguh ketika kedua pentil teteknya kujepit. Semakin erotis kedengarannya ketika jepitanku semakin kuat. Gilasannya memeknya semakin bertenaga, tetapi berantakan. Kulepaskan pentil teteknya dan berganti meremas bongkahan teteknya. Terasa lebih pas untuk tanganku.

“Cuih!”

Seiring bergantinya fokus remasan kedua tanganku, majikan panlok-ku itu menarik wajahnya dan meludahiku tepat di wajah. Wajahnya kembali mendekat lalu menjilati liurnya yang ada di wajahku sampai wajahku rata dengan liurnya.

“Udah gue tandain! Mulai sekarang lu punya gue!”

Belum usai kagetku, sebuah senyum manis terbit di bibir Ci Leni. Sekejap saja sebelum berganti dengan racauan hebat. Tidak hanya itu, majikan panlok-ku itu bangkit dan mengubah posisi. Didudukinya wajahku dengan memek basahnya, lalu tanpa ragu dia pun melahap batang kontolku.

“Ngh! Dikit lagi sampe! Bantuin gue, Sayang!”

Ci Leni menggilas wajahku dengan memeknya. Aromanya wangi memabukkan. Ini beneran majikan panlok-ku gak minum parfum? Ini benar-benar membuatku ketagihan. Tubuhnya benar-benar istimewa.

Kurengkuh bongkahan pantatnya, mencegah majikan panlok-ku itu bergerak liar. Sedikit perlawanan darinya padam ketika kulumat bibir memeknya. Kemudian erangan erotis menyeruak ketika lidahku menyentil nakal itilnya.

“Gila! Leee! Buleee! Ngh! Aaah! Enak banget! Lu apain memek gue, Le?”

Susah payah Ci Leni berucap. Napasnya menderu, menerpa kulit kontolku yang dia genggam. Usai menggeram kasar, kurasakan ujung kontolku basah akibat belaian lidahnya. Harus kuakui Ci Leni punya skill bagus dalam melayani pria. Bisa dibilang dibandingkan dengan sema wanita yang pernah kutiduri, majikan panlok-ku ini adalah juaranya. The best!

“Kontol-lu gede, Le! Gue suka banget! Ini punya gue!”

Setelah meracau, sensasi belaian basah di kontolku berubah menjadi sensasi ngilu. Yup! Kontolku telah berlabuh di dalam rongga mulut Ci Leni. Tidak hanya itu, dia juga telah mengisap kontolku seperti vacuum cleaner. Ini benar-benar pelayanan prima! Tidak sekali pun giginya menyentuh kulit kontolku. Yang menyentuh kuit kontolku tetap adalah lidahnya.

Tidak mau kalah, kubalas aksinya dengan menyisipkan lidahku di antara kedua bibir memeknya. Kudorong terus samoai sejauh yang mampu lidahku capai. Kugerakkan lidahku, menjilati dinding relung memeknya, membuat Ci Leni bergelinjang liar.

“Ngh! Leee ... ngh ... ennnaaakh!”

Tanpa dapat kuduga dan tanpa pemberitahuan, air memancur deras menerpa wajahku. Astaga! Ci Leni squirt! Bahkan memeknya dia tekan ke wajahku tanpa ampun. Jadilah air nikmat itu sebagian tertelan olehku, sisanya bak air shower. Kubiarkan majikan panlok-ku itu melakukannya, toh sudah kepalang basah dalam arti sebenarnya.

“Sori, Sayang! Sori banget! Lu sih bikin gue keenakan. Gini deh jadinya,” ucap Ci Leni lirih. Dia membalikkan tubuhnya setelah tetes squirt terakhirnya menerpa wajahku. Beberapa kali tubuhnya bergelinjang.

“Cewek ... bilang sori pun masih nyalahin cowok,” kataku berpura-pura ngambek. Sekali lagi Ci Leni tertawa lepas, meskipun terengah-engah. Mungkin masih lemas akibat sampai di puncak kenikmatan. Dibelainya rambutku sebelum hunkaman cium menerpa wajahku yang masih basah.

“Mas Bule ... maaf. Leni sayang kamu.”

Ugh! Tunggu sebentar! Ini jelas di luar skenario dan perencanaan. Aku tidak dirancang untuk bisa bertahan mengahadapi keimutan hakiki seperti yang ada di hadapanku. Perubahan gaya bicara majikan panlok-ku ini benar-benar membuatku kacau. Tiba-tiba saja perutku kram dan jantungku berdetak lebih kencang. Ini sialan!

“Ci ... biasa aja, sih ...,” balasku salah tingkah. Bahkan aku yakin wajahku sudah semerah kepiting rebus tanpa perlu bercermin.

Ci Leni tidak menjawab. Hanya senyumnya terkembang manis. Tatapannya tertuju tepat di mataku. Semuanya terasa membingungkan sampai kecupan lembutnya menjarah bibirku.

“Mas Bule milikku,” ucapnya lirih sebelum memberikanku satu ciuman paling panas dan panjang yang pernah kurasakan.

Ya sudahlah, ya? Tidak perlu malu-malu kucing lagi kurasa. Dia yang mau lo? Dari tadi sudah kukentang-kentangkan berjaga-jaga andai dia merasa khilaf dan mundur. Nyatanya malah aku ditembak sampai baper. Sialan! Sialan banget!

Tanpa ba-bi-bu lagi, kuambil alih kendali permainan cinta naik turun ini. Posisi berbalik, kali ini aku di atas lagi. Sebuah posisi dominan. Sebuah posisi bercinta terbaik untuk menunjukkan betina mana pun, siapa boss-nya.

“Macho!” bisik Ci Leni menyusuri bekas luka tebasan di punggungku, dari bahu kanan melintang ke punggang kiri. Perlahan dan lembut. Kemudian susurannya berlanjut ke bongkahan pantat terus ke paha lalu berputar ke depan, meremas lembut kontolku. “Masukin, Mas Bule. Entotin Leni. Hamilin Leni.”

Roger that! Segera saja kuarahkan kontolku ke posisi pamungkas. Sedikit perkenalan kujadikan adegan pembuka: sentuhan ringan antara kepala kontolku dan bibir memeknya yang sudah sama-sama mengeluarkan cairan pelumas. Ci Leni tersenyum ditingkahi gelinjang geli akibat sentuhan itu.

Puas berkenalan, kudorong kontolku perlahan menyibak bibir memeknya. Aku bisa merasakan bibir memek Ci Leni merekah seiring banyaknya batang kontolku yang masuk. Sang empunya menggigit bibir bawahnya.

“Kegedean?” tanyaku khawatir. Hal terakhir yang ingin kulakukan adalah menyakiti majikan panlok-ku itu. Tidak setelah dia sukses membuatku baper berat. Dia mengangguk malu.

“Gak papa, Sayang. Terusin aja. Udah lama aku gak ....”

Ah! Malam itu lagi! Sialan! Melihat air mata Ci Leni sekali lagi tumpah, membuatku gelap mata. Tidak ada lagi dialog setelah ini. Cukup ngentot sampai mampus!

“Buuuleeeegh!” desahnya ketika kulanjutkan penetrasi kontolku. Terus ... terus ... terus ....

“Aaagh!” Ci Leni melonjak kaget ketika tanpa aba-aba kutarik kontolku dengan kuat lalu kulanjutkan dengan melakukan penetrasi lagi dengan kekuatan yang sama kuatnya. Matanya membeliak, menatapku tidak percaya. Mulutnya bulat membuka.

Tidak ada cerita ngentot berlebihan. Terlalu banyak foreplay dan adegan kentang membuat kami sama-sama sudah berada di posisi paling ujung di tanduk apa pun.

Hanya sekitar sepuluh menit kami bergumul, beradu alat kelamin dengan ditingkahi adu bibir dan lidah, saling bertukar desah, meremas apa pun yang tangan kami dapat raih di tubuh pasangan kami, serta saling mengadu tatapan yang semakin membuatku jatuh makin dalam ke lembah baper.

“Ci ... mau ... aaah ... keluar ...!” kataku ketika sudah benar-benar di ujung tanduk. Secara insting hendak kucabut kontolku, tetapi kaki Ci Leni dengan sigap mengunci pinggangku. Tangannya pun mengunci leherku, memaksaku menerima ciumannya. Sisa cerita pun stereotip saja. Aku menitipkan benih—banyak benih—di rahimnya. Sebagian meleber keluar dari relung memeknya saat kucabut kontolku.

“Semoga jadi kwaci ya, Mas Bule,” bisiknya sambil meraih tanganku dan mencium punggung tanganku dengan takzim. Sialaaan! Aku baper akut! Segera saja kupeluk majikan panlokku itu dan kuhujani dengan kecupan di kening dan pucuk kepalanya. Setelahnya kami tertidur pulas dan puas, saling memeluk di balik selimut tebal. Malam masih panjang. Dinginnya AC terasa berganda akibat hujan belum ingin mereda. *

~Bersambung~
 
Terakhir diubah:
Nah kan... sesuai harapan. Ci Leni plus jilbab mampu merontokkan penolakan Bule dengan sukses. Bule malah ampe ditandain Ci Leni di wajahnya. Tapi dibales Bule dengan menandai Ci Leni di mekinya wkwkwk
Terbaik Hu @PeterPawker
Dialognya terasa natural. Setting latar ceritanya alus. Mantap.
Mudah2an, Bule kedepannya masih diijinin buat curhat2an dan curah2an keringet ama Mba Iis ya. Kasian Mba Iis, klo Bule dimonopoli Ci Leni hehehe
Makasih updatenya Hu @PeterPawker
Pertahankan kualitas tulisannya tanpa mengganggu kecepatan update wkwkwk :Peace:
Monggo dilanjut
Nb: alur dan penokohannya coliable Hu hehehe
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd