Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[CERSIL] Asmara Dibalik Dendam Membara - Kho Ping Hoo

ranfast

Pendekar Semprot
UG-FR+
Daftar
4 Dec 2014
Post
1.518
Like diterima
584
Lokasi
Celebes
Bimabet
Asmara Dibalik Dendam Membara
Kho Ping Hoo​



“Budhi, engkau hendak kemanakah? Kulup?”Wanita berusia tiga puluh tahun yang cantik jelita itu bertanya dengan suara lembut.

*)Kulup : Panggilan kepada anak laki-laki terutama anak pertapaan.

Anak berusia sepuluh tahun bernama Budhi itu menahan langkahnya, lalu membalikkan tubuh memandang ibunya.

“Aku hendak memetik dawegan (kelapa muda) di tepi anak sungai itu, ibu. Dan juga buah-buah sawo di dekat sawah itu sudah banyak yang tua dan masak. Kalau tidak diambil, tentu akan didahului kelelawar, ibu.”

Ni Sawitri, ibu muda yang cantik jelita itu tersenyum dan memandang kepada puteranya dengan sinar mata penuh kebanggaan dan kasih sayang. Puteranya itu rajin sekali dan baru berusia sepuluh tahun tubuhnya sudah nampak berisi, jelas memperlihatkan hasil penggemblengan ayahnya dalam ilmu kanuragan.

“Kalau begitu, kau sekalian bantu ibumu, Budhi. Di dusun Gedangan di bawah itu terdapat beberapa orang anak yang sedang menderita penyakit murus. Aku harus mengobati mereka karena keadaan mereka gawat. Kau carikan pupus daun jambu biji, adas pulosari, kunyit dan temulawak secukupnya.”

Budhi membelelekkan matanya yang bersinar tajam, lalu menggelengkan kepalanya dan tertawa.

“Wah, ibu. Aku khawatir tidak dapat mencarikan itu semua. Selain terlalu banyak dan aku lupa lagi namanya, juga aku tidak mengenal rempah-rempah itu. Sebaiknya ibu ikut agar dapat memilih sendiri di ladang yang ibu tanami penuh dengan rempa-rempa itu.”

Ni Sawitri tertawa. “Ih, engkau ini membikin malu ibu saja.Ibumu seorang ahli jamu akan tetapi puteranya tidak mengenal adas pulosari! Baiklah, aku pergi bersamamu agar engkau dapat belajar mengenal rempa-rempa itu. Akan tetapi kita pamit dulu kepada ayahmu.”

Budhidarma, anak itu, yang sudah berada di ambang pintu depan, masuk kembali mengikuti ibunyamenuju ke sebuah ruangan di bagian belakang yang menjadi sanggar pamujan di mana ayah- nya melakukan puja semadhi.

Ni Sawitri mengetuk pintu kamar itu dan tak lama kemudian terdengar helaan napas panjang disambung suara seorang pria,

“Engkaukah itu, Diajeng?”

“Benar, kakang Margono. Aku dan Budhi hendak pamit karena kami hendak pergi mencari rempa-rempa dan buah-buahan.”

“Masuklah dulu, diajeng. Dan engkau juga,Budhi, aku ingin melihat kalian.”

Sepasang alis Sawitri agak berkerut karena ia merasa heran sekali mendengar ucapan itu.Ia segera menggandeng tangan puteranya dan didorongnya pintu kamar itu lalu keduanya masuk ke dalam. Mereka melihat Ki Margono sedang duduk bersila di atas tikar di lantai.

“Ada apakah, kangmas?” Ni Sawitri juga duduk bersimpuh di depan suaminya dan Budhidarma juga duduk bersila di samping ibunya dan memandang kepada ayahnya.

Ki Margono adalah seorang laki-laki berusia tigapuluh lima tahun, akan tetapi wajahnya kelihatan lebih tua dari usianya. Pada wajah yang tampan itu terdapat goresan-goresan penderitaan bathin dan sinar matanya sayu.

Melihat betapa isterinya memandang kepadanya dengan khawatir, dia mencoba tersenyum.

“Tidak apa-apa, diajeng.Aku hanya ingin melihat kalian. Hatiku merasa tidak nyaman, karena itu jangan lama-lama kalian pergi.”

“Ah, kalau begitu aku tidak jadi pergi saja!” kata Ni Sawitri.

“Pergilah, diajeng. Engkau hendak mencari rempa-rempa untuk mengobati anak-anak di dusun Gedangan itu,bukan? Jangan sia-siakan tugasmu,diajeng.”

“Akan tetapi aku khawatir.......”

“Apa yang dikhawatirkan ? Di atas semua kekusaan masih ada kekuasaan tunggal yang tertinggi, yang menentukan segala yang akan terjadi di dunia ini. Aku telah memasrahkan diriku kepada kekuasaan Hyang Widhi, maka apapun yang terjadi akan kuterima sebagai kehendaknya. Apapun yang terjadi menimpa diri kita, yang baik maupun yang buruk bukan lain hanyalah buah hasil perbuatan kita sendiri, karena itu aku sudah siap dan rela menerimanya, diajeng. Perasaan khawatir akan terjadinya sesuatu yang akan menimpa diri kita hanya menunjukkan bahwa kita masih ragu dan kurang teguh iman kita kepada kekuasaan Hyang Widhi. Nah, pergilah, diajeng, pergilah melaksanakan tugas suci itu.”

Ni Sawitri mengangguk, akan tetapi ketiak ia hendak meninggalkan kamar itu, ia berpesan.

Kakangmas,aku pergi takkan lama.Tinggallah di dalam kamar saja, kakangmas, jangan pergi kemana-mana dan tunggu sampai kami kembali.”

Ki Margono tersenyum dan mengangguk. “Tentu, aku takkan pergi ke manapun. Dan engkau tahu bahwa aku cukup mampu menjaga diriku sendiri andaikata ada marabahaya. Nah,pergilah isteriku dan anakku yang terkasih.”

Ibu dan anak itu meninggalkan pondok mereka yang sederhana. Keluarga ini tinggal di pondok yang berdiri di lereng bukit itu, tanpa tetangga karena mereka memang sengaja hidup menyendiri di lereng bukit dekat anak sungai. Dusun yang menjadi tetangga mereka adalah dusun Gedangan yang nampak dari lerang itu,sebuah dusun kecil dengan hanya sekitar tiga puluh rumah.

Sudah lima tahun keluarga yang terdiri dari tiga orang ini tinggal di lereng bukit itu, di ujung timur daerah Kerajaan Daha. Para penduduk dusun di sekitar tempat itu tidak ada yang tahu dari mana keluarga ini berasal, akan tetapi tidak ada yang berani bertanya karena suami isteri dengan seorang itu jelas bukan orang dusun. Hal ini jelas nampak dari sikap dan cara mereka bicara yang halus. Juga keterbukaan tangan mereka untuk menolong penduduk dusun, terutama sekali mengobati mereka yang sedang menderita sakit, membuat mereka sungkan dan menaruh hormat.

Setelah meninggalkan rumahnya, Ni Sawitri merasa gelisah. Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, akan tetapi jantungnya seringkali berdebar. Apakah sudah waktunya mereka harus berpindah tempat lagi? Selama sepuluh tahun ini, ia dan suaminya berpindah-pindah tempat.

Baru sekarang ini mereka tinggal menetap di sebuah tempat sampai lima tahun lamanya. Biasanya mereka berpindah-pindah dan tidak pernah tinggal di suatu tempat lebih lama dari setahun.Mereka hanya pindah lagi! Ia mengambil keputusan. Ia akan mengajak suaminya pergi dari situ dan pindah ke lain tempat lagi. Siapa tahu para pengejar itu telah berhasil menemukan tempat tinggal mereka. Ia bergidik.

“Budhi.......!” Ia memanggil puteranya.

Budhi yang sedang memanjat pohon sawo dan mencari buahnya yang sudah tua, menjawab dari atas pohon.

“Ada apakah ibu?”

“Turunlah kita pulang sekarang!”

“Tapi aku baru mendapatkan sedikit......”

“Turunlah, nanti kita cari lagi. Kita harus pulang sekarang juga!”

Suara ibunya bergitu mendesak sehingga Budhidharma lalu turun dan mengumpulkan dawegan dan sawo yang telah dipetiknya. Kemudian dia memanggul keranjang berisi buah-buahan itu, dan bersama ibunya yang membawa rempa-rempa dia pulang.

Ni Sawitri melangkah dengan cepat sekali sehingga puteranya harus setengah berlari agar tidak tertinggal. Tak lama kemudian sampailah mereka di pondok mereka. Sunyi saja di sekitar pondok seolah tidak terjadi sesuatu. Ni Sawitri menghela napas lega.Akan tetapi ketika mereka tiba di halaman depan pondok mereka, Ni Sawitri melihat banyak jejak kaki di atas tanah. Wajahnya seketika menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan berbisik, penuh kakhawatiran dan bisikannya gemetar,

“Kakang Margono.........!” kemudian berlarilah ia ke arah pintu depan pondoknya lalu menerjang daun pintu yang tertutup. Daun pintu terbuka dan ia melompat ke dalam.

Budhidharma tercengang dan anak ini hanya berdiri memandang ibunya, tidak mengerti mengapa ibunya demikian gelisah.

“Kakang Margono........!” Teriakan melengking suara ibunya itu membuat Budhi melonjak kaget dan dia melepaskan keranjanganya lalu berlari memasuki pondok.

Begitu melangkahi ambang pintu, Budhi tertegun terbelalak memandang ke dalam. Dia melihat ayahnya mandi darah, kepalanya di atas pangkuan ibunya yang merangkulnya sambil menangis. Saking terkejut dan bingungnya, dia hanya berdiri seperti patung, tidak mampu mengeluarkan suara, juga tidak tahu harus berbuat apa.

Akan tetapi dia memandang penuh perhatian. Dilihatnya ayahnya menggerakkan tangan kanannya yang yang berlumuran darah, merangkul dan menarik leher ibunya sehingga kepala ibunya menunduk, lalu terdengar suara ayahnya yang parau, seolah suara itu hanya sampai di lehernya

“...... me.....mereka .....datang ...***gak Seto......ahhhh........” tangan itu jatuh kembali, kepala itu terkulai diatas pangkuan.

“Kakang Margono ......! Kakang .......! Ni Sawitri memekik, suaranya melengking tinggi kemdian tubuhnya terkulai lemas, pingsan sambil merangkul suaminya!

Melihat ini, Budhi berlari dan berlutut di dekat ayah ibunya, menangis.

“Ibu.......ayah.....!” Dia mengguncang-guncang pundak ibunya dan dengan hati ngeri dia melihat betapa darah membasahi seluruh tubuh ayahnya.

“Ibu......bangunlah, ibu.......!” Ibuuu........! “Budhi berteriak-teriak sambil menangis.

Ni Sawitri bergerak, membuka mata dan terbelalak memndang suaminya, akan tetapi ketika ia melihat puteranya, ia kelihatan ketakutan, memandang liar ke kanan kiri, kemudian ia memegang kedua pundak Budhi sehingga pundak yang tak berbaju itu belepotan darah pula.

“Cepat, engkau harus cepat pergi dari sini! Budhi, engkau larilah, tinggalkan tempat ini!” katanya dengan suara gemetar.

“Akan tetapi, kenapa, ibu......?” Budhi memandang bingung.

Ni Sawitri mengambil seluruh benda dari balik kembennya dan menyerahkannya kepada Budhi,

“Ini.... bawa ini......kalau engkau tertangkap, perlihatkan ini dan mereka tidak akan berani membunuhmu.”

“Mereka siapakah ibu yang telah membunuh ayah dan membuat ibu ketakutan?”

“Orang-orang perkumpulan Gagak Seto dari Gua Tengkorak di Gunung Anjasmoro......sudahlah, pergi sekarang, tinggalkan rumah ini cepat!”

Karena Budhi masih juga meragu, Ni Sawitri lalu menyambar lengannya dan menariknya keluar. Setelah tiba di halaman depan, wanita itu mendorang pundak Budhi.

“Cepat lari......!”

“Tapi,ibu......!” Budhi menangis, kebingungan.

Pada saat itu, terdengar bunyi burung gagak yang parau dan nyaring.

”Goak,goak,goaaaak...!”

Ni Sawitri terbelalak dan ia sudah mencabut sebatang keris dari ikat pinggangnya.

“Budhi, cepat lari ! Taatilah ibumu!” Ia membentak dan sekali ini Budhi tidak berani membantah lagi. Dia meloncat dan melarikan diri, benda pemberian ibunya itu masih di gengamnya.

Akan tetapi belum jauh ia lari.terdengar suara tawa bergelak dan ketika dia menengok ke belakang, dia melihat belasan orang berpakaian serba hitam berloncatan ke halaman pondoknya. Melihat ibunya dikepung belasan orang itu, Budhi tidak melanjutkan larinya. Dia mendekam di balik semak-semak yang rimbun dan mengintai dengan jantung berdebar.

Ni Sawitri dengan keris di tangan menghadapi mereka dan memandang kepada seorang pria tinggi besar yang menjadi pimpinan gerombolan orang itu. Seperti juga anak buahnya, pria tinggi besar ini juga memakai pakaian serba hitam dan di bagian dadanya, baju itu terdapat gambar seekor burung gagak putih.Hanya bedanya, kalau semua anak buahnya memakai ikat pinggang berwarna putih, pria ini mengenakan ikat pinggang berwarna kuning gading.

“Hemmm, kiranya andika yang datang bersama pasukan Gagak Seto, kakang Klabangkoro!” kata Ni Sawitri dan sepasang mata wanita ini berkilat penuh kemarahan. “Tidak perlu kutanyakan lagi, tentu andika yang pula yang telah membunuh kakang Margono!”

“Ha-ha-ha-ha! Selama sepuluh tahun lebih engkau dapt menyembunyikan diri bersama kekasihmu itu dan baru sekarang kami temukan tempat persembunyianmu. Benar, kami yang membunuh Margono si penghianat itu, atas perintah bapa Guru, pimpinan kami. Dan atas perintah beliau pula kami harus membunuhmu, Sawitri.” Pria tinggi besar yang berusia empat puluh tahun itu tertawa bergelak dan memandang kepada Sawitri dengan matanya yang besar.

“Berani andiaka bersikap begini terhadap aku, Klabangkoro!” Ni Sawitri membentak marah.

“Ha-ha-ha-ha! Dahulu engkau menjadi adi-seperguruanku, kemudian menjadi ibuguruku. Akan tetapi sekarang tidak lagi, Sawitri. Engkau bukan apa-apa bahkan engkau seorang pengkhianatyang sudah sepantasnya dihukum berat. Bapa guru memerintahkan aku untuk membunuhmu pula.Akan tetapi .......hemmm, setelah sepuluh tahun lamanya, engkau tidak kelihatan semakin tua bahkan menjadi semakin denok, semakin ayu manis. Sayang kalau dibunuh begitu saja,ha-ha-ha!”

“Keparat Klabangkoro! Engkau telah membunuh kakang Margono. Aku tidak dapat mengampunimu. Engkau atau aku yang akan mengeletak di sini tanpa nyawa.

“Heiiiiiiittt.........!” Dengan tangkas sekali Ni Sawitri menerjang ke depan sambil menusukkan kerisnya ke arah dada yang bidang itu.

Klabangkoro tidak berani menganggap rendah lawannya. Ni Sawitri pernah menjadi murid terkasih dari ketua perkumpulan Gagak Seto, dan biarpun dia pernah menjadi kakang seperguruan wanita itu, belum pernah dia dapat menandingi ilmu kesaktiannya. Bahkan dibandingkan Margono, tingkat kepandaian Ni Sawitri masih lebih tinggi. Akan tetapi selama ini Klabangkoro juga telah diberi ilmu baru oleh gurunya, yaitu ilmu cambuk yang disebut Pecut Dahono (Cambuk api). Biasanya dia bersenjata golok, dan sekarang pun dia memegang golok dan menghadapi tusukan keris di tangan Ni Sawitri, dia mengelak sambil memutar goloknya melindungi dirinya.

“Trang-trang-trang.......!”

Tiga kali keris di tangan Ni Sawitri bertemu dengan tangkisan golok tergetar dan panas. Tahukah dia bahwa sampai sekarang dia masih kalah kuat, maka dia lalu berseru kepada anak buahnya.

“Kepung dan tangkap! Akan tetapi jangan membunuhnya, tangkap hidup-hidup!”

Tujuh belas orang anak buah gagak Seto itu lalu mengepung dengan senjata golok di tangan kanan.Mereka mengelilingi wanita itu dengan sikap mengancam. Akan tetapi Ni Sawitri tidak merasa takut, bahkan ia menjadi semakin marah dan bertekat untuk memmbunuh semua orang yang telah menewaskan suaminya itu.

“Majulah kalian semua,keparat-keparat busuk, manusia-manusia kejam berhati binatang. Akan kubasmi kalian semua!” Ni Sawitri berdiri tegak dengan kaki terpentang, keris di depan dada dan tangan kirinya diankat ke atas dengan jari tangan terbuka, siap untuk melancarkan tamparan maut.

Karena belasan orang itu masih meragu dan jerih untuk maju menangkap wanita yang mereka tahu amat perkasa itu, Ni Sawitri mendahului mereka, menerjang maju dan kerisnya berkelebatan menyambar-nyambar dan dalam beberapa gebrakan saja, dua orang roboh terkena tamparan dan seorang roboh berkelejotan dengan dada terluka tusukan keris!

“Tar-tar-tar.....!”

Cambuk panjang di tangan Klabangkoro meledak-ledak dan mematuk ke arah Ni Sawitri yang sedang menghadapi pengeroyokan banyak anak buah Gagak Seto. Iaberusaha untuk mengelak, namun karena perhatiannya terbagi dan serangan cambuk itu cepat sekali, tetap saja tubuhnya dua kali disengat ujung cambuk dan kainnya terobek di dua tempat, juga kulitnya terasa panas seperti terbakar! Kain nya robek di bagian paha kiri dan pinggang kanan sehingga nampak kulit tubuhnya yang putih mulus.

“Ha-ha-ha! Menyerahlah saja, Wong ayu, dari pada tubuhmu menderita nyeri!” kata Klabagkoro sambil tertawa bergelak. Ni Sawitri marah sekali dan menerjang ke arah pria tinggi besar itu, akan tetapi kembali anak buah Gagak Seto mengepungnya sehingga terpaksa ia menyambut mereka dan kembali merobohkan dua orang di antara mereka.

Akan tetapi selagi ia mengamuk kembali cambuk di tangan Klabangkoro meledak dan melecut-lecut sehingga kain yang menutupi tubuh Ni Sawitri menjadi compang-camping, robek di sana sini membuatnya hampir telanjang.

Tiba-tiba cambuk itu menyambar ke bawah dan tanpa dapat terhindarkan lagi, cambuk yang panjang itu sudah melibat kedua kaki Ni Sawitri, dari mata kaki sampai ujung lutut. Wanita itu terkejut, mencoba untuk meloncat, akan tetapi karena kedua kakinya terlibat kuat, iapun terpelanting dan roboh!

“Ha-ha-ha, cepat ringkus ia. Ikat kaki tangannya ! Ha-ha-ha!”

Melihat banyak tangan yang berotot kasar dijulurkan ke arahnya, tahulah Ni Sawitri bahwa perlawanannya telah berakhir. Tak mungkin ia mampu meloloskan diri dari tangan mereka dan ia tahu bahwa kalau sampai ia tertangkap hidup-hidup oleh Klabangkoro ia akan mengalami malapetaka yang lebih mengeriakn dari pada maut. Sejak lama Klabangkoro menaruh hati kepadanya, akan tetapi ia selalu menjauhkan diri. Tentu Klabangkoro mendendam sakit hati dan iri ketika ia melarikan diri bersama Margono dan kalau ia tertangkap hidup-hidup, tentu ia akan diperkosa dan menderita penghinaan yang hebat.

“Kakang Margono, Tunggu aku, kakang.......!” wanita itu memekik lantang, kemudian cepat sekali kerisnya sudah menghujam dadanya sendiri!

Peristiwa itu cepat sekali terjadi sehingga tidak keburu dicegah oleh Klabangkoro dan anak buahya. Tahu-tahu tubuh Ni Sawitri sudah terkulai miring dan keris itu menancap di dada sampai ke gagangnya.

“Ibuuuu.....!”

Budhidhama yang sejak tadi mengintai dengan jantung berdebar tegang, ketika melihat ibunya roboh kemudian terkulai mandi darah, tak dapat menahan diri lagi, meloncat keluar dari balik semak belukar dan lari menghampiri ibunya.

Melihat ibunya rebah miring dengan pakaian koyak-koyak dan tubuh bagian atas bersimbah darah, Budhi menubruk dan merangkul tubuh ibunya.

“Ibu..... ibu....!” Dia menangis sambil memanggil-manggil ibunya.
Ni Sawitri membuka matanya dan menggerakkan lengan kanan dengan lemah, merangkul anaknya. Suaranya terdengar lirih dan lemah ketika ia berkata,seperti berbisik saja.

“... anakku.... Budhidharma ...Larilah dan.... jangan.... jangan membalas dendam....”

Mata itu terpejam kembali dan napasnyapun berhenti. Budhi menjerit dan merangkul jenazah ibunya.

“Heiii, ini anaknya! Bunuh saja!”

Terdengar bentakan di atasnya dan ketika mengangkat mukanya, dia melihat pria tinggi besar bernama Klabangkoro yang membunuh ibunya. Diapun meloncat berdiri dan dengan air mata masih bercucuran, dia menudingkan telunjuk tangan kananya ke arah muka Klabngkoro.

“Kau........kau .....Jahanam! Kau membunuh ayah ibuku!”

Setelah berkata demikian, dengan nekat Budhidharma menerjang ke arah Klabangkoro dengan kedua tangan terkepal. Biarpun dia hanya seorang anak berusia sepuluh tahun, kalau hanya orang dewasa biasa saja belum tentu akan mmampu menandinginya, Akan tetapi kini ia melawan Klabangkoro. Ibu dan ayahnya sendiri saja roboh dan tewas oleh raksasa ini, apalagi dia.

Menghadapi serangan pukulan anak itu, Klabangkoro tertawa tergelak dan dengan mudah saja dia menagkis semua pukulan Budhi. Tangkisan itu membuat tangan Budhi terpental dan nyeri, akan tetapi anak ini sudah nekat dan terus menerus menyerang dengan kedua tangannya.

“Ha-ha-ha, setan cilik! Engkau sudah bosan hidup, ya?” Kaki yang besar itu mencuat dalam tendangan.

“Dukkk!” Tubuh Budhidharma terlepar sampai tiga meter jauhnya dan terguling-guling. Akan tetapi anak itu meloncat bangun lagi, dan lari ke depan untuk menyerang lagi, sama sekali tidak memperdulikan dadanya yang tersa nyeri sehingga napasnya sesak.

Ketika Budhi memukul perutnya, Klabangkoro tidak menangkis dan menerima pukulan-pukulan itu dengan kekebalannya. Kedu tangan anak itu terasa nyeri seperti memukul batu ketika bertemu dengan perut itu. Merasa betapa pukualannya tidak mempan, Bhudhi lalu menggigit kulit perut itu dan sekali ini Klabangkoro berteriak dengan kesakitan. Raksasa ini dengan marahnya lalu mengangkat lututnya kuat sekali.

“Desss.....!” Dada Budhi di hantam lutut seperti dihantam palu godam. Serasa pecah dada itu dan tubuhnya terjengkang dan terbanting keras. Saking nyeri rasa pada dadanya, anak ini tidak mampu berdiri lagi, hanya bangkit duduk dan matanya saja yang melotot penuh kebencian memandang Klabangkoro.

Melihat ketahanan dan kebandelan anak ini, Klabangkoro bergidik. Anak ini kelak akan berbahaya sekali kalau tidak dibunuh, pikirnya. Dia menyeringai buas lalu mencabut pecut Dahono yang terselip di ikat pinggangnya.

“Bocah setan keparat! Akan kubikin lumat tubuhmu!” Dia lalu menggerakkan cambuk itu di udara. Kemudian sambil mengeluarkan suara ledakan, cambuk itu menyambar turun dan melucuti tubuh Budhidharma.

“Tar-tar-tar-tar......!”

Ujung cambuk itu bagaikan moncong ular mematuk dan mematuk lagi ke arah tubuh Budhi yang sudah tidak mampu mengelak. Setiap kali ujung cambuk mematuk, tubuh itu tersentak dan bagian yang terpantuk itu bercucuran darah. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan anak itu. Agaknya Klabangkoro membatasi tenaganya sehingga cambuknya tidak sampai membunuh, melainkan mendatangkan luka yang panas dan pedih. Kedua paha, lambung, dada dan pundak Budhi sudah terluka, kulit dan dagingnya pecah sehingga mengeluarkan banyak darah. Dia hanya menggeliat-geliat seperti cacing terkena abu di atas tanah itu. Akan tetapi, sedikitpun ia tidak mengeluh, bahkan menangispun tidak dan sianr matanya masih berapi-api di tujukan kepada penyiksanya.

Melihat ini, Klabnagkoro merasa ngeri dan diapun membentak, “Bocah setan, sekarang akan kuhancurkan kepalamu. Mampuslah kau!” Dengan sekuat tenaga dia mengayun cambuknya yang akan dipukulkan ke arah kepala anak itu.

“Siuuuuuuuuuttt..................plakk!”

Klabangkoro terkejut sekali ketika cambuknya tertahan di belakangnya . Dia cepat memutar tubuhnya dan melihat bahwa ujung cambuk itu dipegang oleh seorang kakek tua berpakaian serba putih yang entah kapan telah berdiri di situ.

“Sadhu-sadhu-sadhu.........seorang gagah perkasa menyiksa seorang anak kecil sungguh tidak tahu malu!” Suara kakek itu lirih, akan tetapi jelas terdengar oleh mereka semua dan di dalam suara yang lembut itu terkandung wibawa yang kuat.

“Keparat, siapa andika, seorang tua bangka hendak mencampuri urusan kami!”

Klabangkoro membentak dan tanpa menanti jawaban lagi dia sudah merenggut cambuknya dan dengan buas diapun mengayun cambuk itu menghantam ke arah kepala kakek yang rambutnya sudah putih itu.

Akan tetapi kakek itu tidak membuat gerakan mengelak atau menangkis, melainkan tangan kirinya mendorong ke arah Klabangkoro dan tubuh yang tinggi besar itu terlempar bagaikan sehelai daun kering terbawa angin.

Melihat ini, anak buah Gagak Seto menjadi marah dan belasan orang itu sudah menggerakkan golok masing-masing dan menerjang dari empat jurusan. Akan tetapi, kakek itu menggerakkan kedua tangannya dan ujung bagian bajunya mengeluarkan angin yang kuat sekali dan belasan orang itupun berpelantingan terdorong oleh kebutan angin yang kuat itu.Tentu saja semua orang menjadi terkejut sekali. Akan tetapi Klabangkoro adalah seorang yang sudah terbiasa di taati dan ditakuti orang, maka setelah ia dapat meloncat bangun kembali, dia sudah menggenggam cambuknya dengan erat dan dia lalu menerjang maju, memukul dengan pengerahan tenaga sekuatnya.Cambuk itu menyambar dengan dahsyat, mengancam kepala kakek itu.

“Hemm, manusia budak nafsu yang berwatak kejam!” Dia berseru lirih dan tangan kirinya menyambut cambuk yang meluncur ke arah kepalanya itu.

“Wuuuuttt...........setttt........!” Cambuk itu telah ditangkap oleh tangan kiri dan dengan marah Klabangkoro berusaha untuk menarik senjatanya lepas dari pegangan tangan kiri lawan. Akan tetapi, betapapun dia berusaha sekuat tenaga, cambuk itu tidak dapat terlepas. Bahkan sekali renggut saja dengan perlahan, cambuk itu sudah terlepas dari pegangan Klabangkoro dan dapat dirampas kakek baju putih.

masih tidak mau melihat kenyataan dan dia kini mencabut goloknya dan menerjang dengan ganas. Golok itu membacok ke arah ke arah leher kakek itu. Akan tetapi kakek itu menggerakkan cambuk rampasannya menangkis dan golok itupun terpental lepas dari tangan miliknya. Kini kakek itu memutar-mutar tubuhnya sambil mengembangkan kedua lengannya. Klabangkoro dan belasan orang anak buahnya tak mampu bertahan lagi, mereka terdorong roboh bergelimpangan dan barulah Klabangkoro mengakui bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang sakti. Dia
melarikan diri diikuti belasan orang itu, berlari cepat seperti dikejar setan.

Kakek itu tidak mengejar, melainkan membuang cambuk rampasan dan memutar tubuhnya memandang ke arah Budhidharma yang masih tak mampu berdiri. Anak itu berhasil menggunakan sisa tenaga untuk dapat duduk dan dengan tubuh lemas dan nyeri, kepala pening, dia masih dapat mengikuti peristiwa pengeroyokan atas diri kakek berbaju putih itu. Tubuh Budhi sudah berlepotan darahnya yang keluar dari luka-luka dari paha dan pundaknya. Akan tetapi anak itu tidak menagis, bahkan tidak mengeluh sedikitpun juga dan hal ini membuat kakek itu memandang dengan sianr mata kagum bukan main. Selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang bocah berusia kurang lebih sepuluh tahun yang seberani dan sekuat itu menahan nyeri.

Setelah semua penjahat pergi, Budhi teringat lagi kepada ayah ibunya. Dia menoleh dan melihat jenazah ibunya masih menggeletak mandi darah, tiba-tiba dia seperti memperoleh tenaga baru. Dia bangkit berdiri, bahkan dapat berlari menghampiri jenazah ibunya, menubruk dan menangis.

“Ibuu........!” Setelah memanggil-manggil ibunya sambil menangis, dia teringat ayahnya dan kembali dia bangkit dan lari memasuki pondok, menubruk jenazah ayahnya yang mengegletak di lantai pondok.

“Bapa.......ahh, bapaaaa......!” Diapun menangis mengangguk dan bingung apa yang harus dilakukannya. Ayah dan ibunya mati dengan menyedihkan,dibunuh orang di depan matanya!

Setelah dia menangis beberapa lamanya, terdengar suara yang lembut,”Kulup, sudah cukup engkau menangisi kematian ayah dan ibumu. Akan tetapi mereka telah kembali ke alam asal, di panggil pulang oleh Yang Maha Kuasa dan tak seorangpun dapat menghidupkan mereka kembali. Tangis dan kesedihan anak mereka hanya akan menjadi penghalang bagi perjalanan mereka. Karena itu, hentikanlah tangismu dan marialh kita menghadapi kenyataan.”

Bersambung......
 
Terakhir diubah:
Bagian 2

Mendengar ucapan itu, Budhi menengok dan ternyata kakek yang menolongnya tadi telah berdiri di belakangnya. Karena dia sudah kehilangan segala-galanya, tidak adalagi manusia yang dapat menjadi teman hidupnya,maka kehadiran kakek itu membuka saluran baginya untuk mencurahkan perasaan hatinya. Dia menubruk kearah kaki orang tua itu dan menangis.

“Aduh, eyang............! Bagaimana saya tidak akan berduka dan merasa hacur hati saya? Di dunia ini saya hanya mempunyai ayah dan ibu berdua dan sekarang tiba-tiba mereka dibunuh orang. Saya tidak mempunyai seorangpun keluarga lagi, tidak mempunyai siapa-siapa lagi.....”

“Tidak ada orang yang hidup sebatang kara di dunia ini. Bukankah jutaan manusia lain inipun menjadi saudaramu? Sudahlah, nanti kita bicara lagi tentang diri dan masa depanmu.Sekarang yang terpenting adalah menyempurnakan jenazah ayah dan ibumu.”

“Eyang katakanlah apa yang harus saya lakukan. Saya tidak tahu harus berbuat apa.”

“Hemm, jenazah ayah dan ibumu perlu mendapat perawatan sebagaimana mestinya kemudian diperbukan. Apakah engkau tidak mempunyai kenalan atau tetangga yang sekiranya dapat membantu kita?”

“Tetangga kami hanyalah penduduk dusun di sebelah bawah lereng di sana itu, eyang.”

“Bagus. Nah,pergilah engkau ke dusun itu dan beritahu mereka bahwa ayah ibumu terbunuh gerombolan penjahat dan mintalah bantuan mereka untuk mengurus jenazah ayah ibumu.”

“Baik, eyang........”

Budhi lalu bangkit berdiri dan hendak berlari pergi. Akan tetapi baru belasan langkah dia berlari, dia mengeluh dan terguling roboh. Melihat ini kakek berbaju putih itu segera menghampiri Melihat anak itu pingsan, dia lalu membawa anak itu ke bawah sebatang pohon di samping pondok. Dia memeriksa tubuh anak itu dan menggeleng-geleng kepalanya dengan kagum. Tubuh anak ini mengalami siksaan yang hebat. Matang biru dan bengkak-bengkak, kedua paha dan pundak terluka.

Kakek itu lalu menggunakan kedua tanganya untuk memijit-mijit menekan dan mengurut tubuh Budhi. Tak lama kemudian, Budhi mengeluh dan dia siuman. Ajaib, setelah dipijit dan diurut oleh kakek itu, Budhi merasa tubuhnya sehat kembali dan tidak terasa nyeri lagi. Bahkan luka-luka lecutan cambuk yang tadinya terasa pedih dan amat panas, kini tidak merasa nyeri lagi. Dia lalu bangkit duduk bersimpuh di depan kakek itu.

“Bagaimana rasanya sekarang, kulup? Apakah masih nyeri rasa tubuhmu?”

“Terima kasih, eyang. Nyeri-nyeri pada tubuh saya tidak terasa nyeri.”

“Nah, kalau begitu, pergilah memberi tahu kepada penduduk dusun di bawah. Akan tetapi, katakanlah dulu kepadaku siapakah namamu?”

“Nama saya Budhidharma, eyang.”

Kakek itu tersenyum mengangguk-angguk.

“Bagus, bagus! Mudah-mudahan saja kelak sepak terjangmu akan sesuai dengan namamu. Nah, pergilah, kulup!”

Budhi lalu berlari pergi dari situ, menuruni lereng menuju dusun Gedangan. Ingatannya penuh lagi dengan bayangan ayah ibunya yang menggeletak mandi darah, maka tak tertahankannya lagi air matanya bercucuran ketika dia berlari itu.

Penduduk dusun Gedangan terheren-heren melihat Budhi datang dengan berlari-lari sambil bercucran air mata. Biasanya anak ini selalu kelihatan cerah, bahkan suka berkelakar dan sifatnya periang. Segera mereka merubung Budhi dan bertanya-tanya.

Ketua dusun yang sudah mengenal baik ayah ibu Budhi, bahkan pernah disembuhkan dari penyakit berat oleh Ni Sawitri, segera maju dan memegang pundak Budhi.

“Anakmas Budhidharma, apakah yang telah terjadi? Kenapa andika menangis?”

“Paman......ah, paman.....tolonglah merawat...... jenazah bapa dan ibu...... mereka terbunuh gerombolan penjahat.”

Terdengar seruan di sana sini dan semua terbelalak dengan muka pucat. Kemudian berbondong-bondong mereka mengikuti Budhidharma menuju rumah yang terpencil di lereng itu. Setelah tiba di tempat tinggal anak itu. Mereka semua merasa ngeri melihat jenazh Ni Sawitri dan Margono yag mandi darah. Dan merekapun bertanya-tanya siapa adanya kakek yang berada di situ.

“Eyang ini yang menyelamatkan aku dari tangan penjahat itu, kalau tidak ada eyang ini, aku tentu tewas pula seperti kedua orang tuaku.” Setelah mendapatkan keterangan dari Budhi, penduduk dusun bersikap hormat dan tidak lagi mencurigai kakek berpakaian serba putih itu.

Atas permintaan Budhi sendiri, jenazah kedua orang tuanya tidak diperabukan melainkan dikubur di dalam tanah, di halaman depan rumah itu.

“Saya sudah tidak memiliki apa-apa lagi, eyang. Biarlah kedua kuburan ini menjadi sisa peringatan bagi kedua orang tua saya.”katanya.

“Hal ini boleh saja, Budhi. Jasmani ini memang terbentuk sebagian besar dari tiga zat yaitu, tanah, air, dan api. Oleh karena itu, setelah ditinggalkan rohnya, jasad dapat dikembalikan kepada salah satu di antaranya. Dibakar, dikubur, atau di larung ke samudera. Hanya saja, kalau dikubur dalam tanah, maka masih ada ikatan antara keluarganya dengan yang mati.” kata kakek itu.

Setelah Penguburan selesai dilakukan dan semua penduduk dusun sudah kembali ke Gedangan, Budhidharma masih saja berlutut di depan makam ayah ibunya. Kesedihan membuat anak ini lemas lunglai seperti kehilangan semangat dan biarpun dia sudah tidak menangis lagi, namun matanya masih selalu basah.

Kakek itu duduk di atas batu besar, di lereng Budhi yang bersimpuh di depan makam. Dia membiarkan anak itu menenggelamkan diri dalam lamunan kesediahn beberapa lamanya, kemudian tiba-tiba tubuhnya melayang ke arah pohon di tepi halaman.

Dipegangnya batang pohon sebesar tubuh orang dewasa itu dengan kedua tangannya, lalu diguncangnya pohon itu. Pohon bergoyang dan tergoncang keras seperti ditiup badai mengeluarkan bunyi yang berisik dan daun-daun rontok berterbangan.

Budhi terkejut mendengar ini dan ketika dia memandang, diapun terbelalak keheranan. Sampai beberapa lamanya kakek itu menggoncang pohon. Budhi bangkit berdiri, menghampiri dan bertanya dengan suara mengandung keheranan.

“Eyang, apa yang eyang lakukan ini? Kenapa menggoncang pohon ini?”

Kakek itu tertawa dan menghentikan perbuatannya, lalu menggandeng tangan Budhi diajaknya anak itu duduk di atas batu besar.

“Budhi, lihatlah hati dan pikiranmu sekarang, saat ini. Apakah engkau masih berduka? Apakah engkau masih ingin menangisi orang tuamu?”

Budhi adalah seorang anak yang cerdik. Dia segera mendapat kenyataan bahwa kedukaan itu sama sekali tidak adalagi, atau sudah terlupa olehnya.Yang ada hanyalah keheranan.

“Tidak, eyang. Saya hanya merasa heran dan sudah melupakan kedukaan saya. Akan tetapi eyang mengingatkan dan .........”

“Nah, kalau begitu engkau sudah mengerti sekarang bahwa kedukaan itu hanyalah permainan dari ingatan sendiri saja.Ingatan mengunyah-ngunyah keadaanmu yang kehilangan orang tua, seperti si rakus melahap makanan yang enak dan ahtimupun seperti ditusuk-tusuk rasanya. Hal itu menimbulkan duka. Begitu pikiran dikuasai oleh keadaan lain, duka yang tadinya membuat orang seperti kehilangan semangat hidup itupun akan lenyap tanpa bekas lagi.Kalau hati akal pikiran itu selalu ditujukan kepada apa yang terjadi saat demi saat, tidak mengingat-ingat hal yang telah lalu, maka orang tidak akan dicengkeram duka. Mengertilah engkau, kulup?”

Biarpun masih belum jelas benar, namun Budhi dapat mengerti. Memang kedukaan hatinya timbul lagi kalau dia kembali kepada alam ingatan, mengingat-ingat hal yang telah berlalu.Dan semua itu sudah tidak berguan lagi.Biarpun dia menangis air mata darah, ayah dan ibunya taidak dapt hidup lagi.Yang terpenting ialah sekarang, saat ini, apa yang haryus dialakukan setelah ia hidup seorang diri. Dan dia meliaht betapa kakek itu seorang yang sakti, seorang yang bijaksana dan baik budi, maka dia segera menghampiri dan berlutut menyembah ke arah kaki orang tua itu.

“Eh, ada apakah, Budhi? Apa artinya penghormatan ini dan engkau hendak bicara apa?”

Kakek itu menjulurkan tangannya,menarik lengan anak itu ke atas dan menyuruhnya duduk di dekatnya.

“Eyang, saya hidup seorang diri di dunia ini, bahkan kalau eyang tadi tidak meyelamatkan saya,sekarangpun saya tidak ada lagi di dunia ini. Karena itu, kalau eyang sudi menerimanya, satya mohon agar eyang mengijinkan saya ikut, menjadi murid eyang,saya akan melakukan pekerjaan apa saja untuk membantu eyang.”

Kakek itu tersenyum mengelus jenggot putihnya yang tipis dengan tangan kiri dan menganguk-angguk.

“Baiklah, Budhi. Agaknya memang sudah ditentuakn oleh Hyang Widhi bahwa engkau berjodoh untuk menjadi muridku. Akan tetapi jangan dikira enak menjadi murid seorang tua miskin seperti aku. Aku berjuluk Bhagawan Tejolelono, pekerjaanku hanya berkelana, tidak memiliki kekayaan apapun. Tempat tinggalku tidak menentu. Langit atapku,bumi lantaiku dan pohon-pohon merupakan dindingku. Engkau akan menderita kelaparan kalau tidak mencari makan sendiri. Nah, kalau engkau ikut aku menjadi muridku, engkau harus rajin sekali, bukan saja untuk mempelajari ilmu dariku tetapi juga untuk bekerja mencari makan. Sanggupkah engkau, Budhi?”

“Eyang, sejak kecil saya sudah biasa bekerja keras karena kami bukanlah keluarga kaya. Harap eyang tidak khawatir, saya akan bekerja keras dan rajin. Dan saya berjanji akan mentaati semua perintah dan petunjuk eyang.”

Tejoleleono mengangguk-angguk dan hatinya merasa gembira sekali. Sejak tadi dia merasa sudah mengambil keputusan untuk mengangkat bocah ini menjadi muridnya. Dia meliaht betapa Budhi memiliki keberanian, ketabahan dan kegagahan yang luar biasa.Selain hatinya yang teguh keras, anak inipun memiliki bakat yang amat baik untuk menjadi orang yang sakti mandraguna.

Ketika jari-jari tangannya memijit tubuh anak itu, dia mendapat kenyataan bahwa Budhi memiliki tulang yang baik.

“Nah, kalau begitu berkemaslah, Budhi. Kumpulkan barang yang akan kau bawa karena kta akan pergi sekarang juga.” Akhirnya kakek itu berkata.

Mendengar ini Budhidharma berpikir sejenak lalu berkata dengan hormat, “Eyang, saya merasa sayang kalau rumah dan semua isinya ini saya tinggalkan begitu saja tidak terawat dan digunakan. Oleh karena itu, kalau eyang mengijinkan, saya hendak memasrahkan rumah ini dan semua isinya kepada seorang kenalan yang tinggal di dusun Gedangan. Dengan demikian, maka ruamh ini akan terpelihara, dan juga dapat bermanfaat baginya.”

Bhagawan Tejolelono mengangguk-angguk. Seorang bocah yang berpikir panjang.

“Baik, pergilah engkau ke dusun Gedangan.Aku akan menantimu di sini, Budhi.”

Budhi lalu pergi ke dusun Gedangan dan menemui seorang kenalan dan sahabat ayahnya bernama Karyosikun. Karyosiku hidup berdua dengan isterinya dan mereka tidak mempunyai rumah, hanya tinggal mondok di rumah seorang janda. Budhi sudah mengenal baik suami isteri yang miskin ini karena biasanya ayah dan ibunya kalau sedang repot membutuhkan tenaga bantuan, selalu menggunakan tenaga suami isteri ini.

Tentu saja kunjungan Budhi disambut dengan heran oleh Kayosikun dan isterinya yang bernama Sawiji. Suami isteri inipun tadi ikut pula datang melayat. Ketika meliaht mereka Budhi segera mengutaraka kehendaknya.

“Paman Karyosikun dan bibi Sawiji. Hari ini aku akan pergi mengikuti Eyang Bhagawan Tejolelono dan menjadi muridnya.Karena itu, lebih dulu aku ingin menyerahkan rumah kami dan semua isinya, juga kebun dan ladang kepada paman berdua.”

“Eh, eh, apa maksudmu, Gus?” tanya Karyosikun heran dan tidak mengerti.

“Begini, paman. Aku tidak ingin rumah itu kosong dan tidak terpelihara. Oleh karena itu, selama aku pergi, paman berdua tinggallah di rumahku. Sawah dan ladang kerjakanlah dan hasilnya untuk paman berdua. Rumah dan semua isinya pergunakanlah untuk keperluan hidup paman. Aku hanya ingin agar rumah itu terpelihara dan rumah itu beserta sawah ladangnya, baru paman kembalikan kalau aku membutuhkannya.”

“Wah.......,ini......bagaimana kami berani......” Karyosikun berseru gugup. “Siapa yang mau percaya kepada kami? Jangan-jangan kami akan dituduh merampas rumahmu, Bagus Budhi!”

“Jangan khawatir, paman karyo, marilah kita pergi ke rumah kepala dusun. Saya akan menyerahkan rumah dan sawah ladang kepadamu, disaksikan oleh kepala dusun.”

Melihat Karyosikun dan isterinya masih meragu, Budhi lalu memegang tangan orang itu dan diajaknya pergi ke rumah kepala dusun.

Kepala dusun Gedangan mengerti dan bahkan memuji tindakan Budhidharma itu. Memang sebaiknya kalau anak itu hendak pergi mengikuti gurunya, rumah itu dan sawah ladangnya diserahkan kepada seorang yang dapat dipercaya untuk mengurusnya, menikmati hasil sawah ladang dan memelihara rumah agar tidak menjadi rusak. Dan Karyosikun adalah orang yang dapat dipercaya untuk hal itu.

“Baiklah, kami yang menjadi saksinya dan engkau jangan khawatir kalau ada yang menuduhmu yang bukan-bukan, Karyosikun .”Kata kepala dusun itu.

Suami isteri itu langsung saja diajak oleh Budhi untuk ikut dia ke rumahnya. Setelah menyerahkan segala harta milik peninggalan orang tuanya, Budhi lalu pergi bersama Bhagawan Tejolelono, diantar sampai ke luar halaman oleh Karyosikun dan Sawiji. Anak itu hanya membawa pakaian, dibuntal sehelai kain milik ibunya. Dan diapun membawa keris milik ibunya. Keris itulah yang oleh ibunya dipakai melakukan perlawanan terhadap gerombolan Gagak Seto kemudian dipakai membunuh diri karena ia tidak mau tertangkap hidup-hidup oleh Klabangkoro.

Sambil melangkah di belakang Bhagawan tejolelono yang berjalan tanpa menoleh dan tanpa ragu-ragu bermacam kenangan menyelinap dalam kepala Budhidharma. Bayangan rumahnya, lalu ayah ibunya, memenuhi benaknya. Membayangkan kedua orang tuanya terkapar dengan mandi darah, membuat dia mengatupkan kedua bibirnya dan menggigit gigi sendiri. Kemudian terbayanglah wajah yang amat dibencinya itu, wajah klabangkoro yang tinggi besar seperti raksasa bermuka hitam.

Selama hidupnya dia tidak akan pernah dapat melupakan wajah raksasa pembunh ibunya itu.Akan tetapi hatinya lebih sakit kalau dia mengingat bahwa Klabangkoro itu hanyalah seorang utusan saja dan pembunuh yang sebenarnya dari orang tuanya adalah yang mengutus Klabangkoro, yaitu ketua perkumpulan Gagak Seto setelah dia dewasa dan kuat, dia pasti akan mencari perkumpulan di Gunung Anjasmoro itu, membunuh ketuanya dan membasmi perkumpulan itu sampai ke akar-akarnya.

Akan tetapi, teringat akan pesan yang terakhir, dia mengerutkan alisnya. Sebelum ibunya menghembuskan napas terakhir, dalam rangkulannya, ibunya berpesan agar dia tidak membalas dendam. Tidak membalas dendam? Bagaimana mungkin itu? Dia teringat ketika ibunya memberi sebuah benda kepadanya. Selama ini, benda itu disimpannya dan hampir dia melupakan benda itu.Kini teriangat akan semua itu, dia mengambil benda itui dari kantung bajunya dan mengamatinya, sebuah benda kecil, dari perak, berbentuk seekor burung Gagak Putih!

“Perlihatkan ini kalau engkau tertangkap dan mereka tidak akan berani membunuhmu!” Benda apakah ini? Agaknya ada hubungannya dengan mereka yang menyerang dan membunuh ayah bundanya. Akan tetapi mengapa ibunya memiliki benda itu dan mengapa ibunya tidak mempergunakannya untuk meyelamatkan nyawanya? Dia menjadi bingung. Tidak mengerti. Kemudian dia menghela napas dan menyimpan kembali benda itu.

“Biarlah aku harus bersabar. Kelak kalau akan mencari perkumpulan Gagak Putih di Gua Tengkorak gunung anjasmoro, tetu akan mengetahui semua rahasia ini.”

Budhidharma harus mengikuti Bhagawan Tejolelono, melakukan perjalan jauh menuju ke Gunung Kawi. Setelah mendaki gunung itu akhirnya mereka tiba di sebuah di antara puncak-puncak di gunung itu, terdapat sebuah rumah kediaman Bhagawan Tejolelono di mana dia hidup sebagai seorang pertapa.

Mulai hari itu, tinggallah Budhidharma bersama Bhagawan Tejolelono di puncak Gunung Kawi Dengan tekun anak itu mulai mempelajari ilmu-ilmu dari pertapa yang sakti itu, dan seperti biasa ketiak masih tinggal dengan ayah ibunya, anak ini dengan rajin sekali bekerja di ladang untuk kebutuhan makan mereka berdua. Sang Bhagawan merasa suka sekali kepada anak yang tahu diri dan amat rajin itu. Makin berkembanglah perasaan sayang di hatinya terhadap anak itu dan diapun mencurahkan segala kemampuannya untuk mendidik Budhidharma dengan semua ilmu yang dikuasainya


Bersambung.......
 
Bagian 3



Di Puncak GunungAnjasmoro terdapat sebuah perkumpulan orang gagah bernama Perkumpulan Gagak Seto. Perkumpulan ini merupakan perkumpulan orang gagah disegani orang-orang gagah senusantara, dan ditakuti orang-orang yang biasa melakukan kejahatan seperti para perampok, bajak sungai dan pencuri. Orang-orang gagah dari Gagak Seto tidak pernah memberi ampun kepada mereka yang melakukan kejahatan.

Apa yang membuat perkumpulan Gagak Seto menjadi perkumpulan kuat yang disegani kawan ditakuti lawan? Yalah karena ketuanya orang yang gagah perkasa, berilmu tinggi dan berwatak keras, adil dan pembasmi kejahatan.Ketua itu seorang laki-laki tinggi besar yang sekarang telah berusia limapuluh tahun. Seorang pria yang tidak dapat disebut tampan, bahkan segala yang ada padanya serba kasar dan besar. Namun dia memiliki watak yang jantan dan gagah perkasa.

Mula-mula dia membuka sebuah perguruan silat yang diberi nama Gagak Seto, diambil dari julukannya sendiri karena sejak muda rambutnya yang panjang berwarna putih sehingga dia mendapat julukan Gagak Seto. Lama-kelamaan perkumpulan silat ini menjadi semakin besar dan menjadi perkumpulan orang gagah yang ternama, dengan anak buah atau murid tidak kurang dari 500 orang jumlahnya.

Ketua ini bernama Sudibyo, akan tetapi orang lebih mengenal nama julukannya, yaitu Gagak Seto. Dia tinggal di sebuah bangunan besar dan dikelilingi banyak bangunan-bangunan kecil yang menjadi tempat tinggal para muridnya. Puncak Anjasmoro yang menjadi pusat perkumpulan Gagak Seto ini sudah menjadi perkampungan yang cukup besar.

Pada suatu hari, Sudibyo meneriam kedatangan kembali Klabnagkoro, seorang diantara para muridnya yang paling tangguh. Karena pentingnya tugas yang dilaksanakan oleh Klabangkoro, maka kedatangannya merupakan peristiwa penting bagi ketua Gagak Seto. Dia menyuruh para murid lain menyingkkir sehingga tinggal dia sendiri yang berhadapan dengan muridnya itu. Kedua orang pria yang bertubuh sama tinggi besarnya ini saling pandang dan dengan penuh ketegangan Sudibyo menegur muridnya.

“Bagaimana baritannya, Klabangkoro? Bagaimana hasil tugas yang kau laksanakan?”

“Bapa guru, sukar bukan main mengikuti jejek mereka karena mereka itu selalu berpindah-pindah. Akan tetapi, akhirnya dapat juga saya menemukan tempat persembunyian mereka di Bukit Batok dekat dengan dusun Gedangan.”

Mendengar ini, Sudibyo terbelalak dan mencondongkan tubuhnya ke depan, memandang muridnya dengan sinar mata seolah hendak menelannya.

“Sudah dapat? Bagus! Lalu bagaimana.....bagaimana selanjutnya? Berhasilkah engkau membunuh si keparat Margono?”

Dengan wajahnya yang hitam itu berseri gembira Klabangkoro berkata, “Berkat pengestu paduka saya telah berhasil membikin mampus keparat Margono itu, Bapa guru.”

“Plakk.......!” Tangan yang lebar itu menepuk pahanya sendiri sehingga terdengar suara nyaring.
“Bagus! HA-ha-ha-ha, bagus sekali! Keparat Margono itu memang sudah layak mampus. Dia seoarang yang tidak mengenak budi, tidak mengenal susila dan merusak pagar ayu! Dan bagimana dengan ia? Bagaimana dengan Sawitri ? Kenapa engkau tidak mengajak ia pulang bersamamu? Aku siap mengampuninya dan melupakan semua yang telah terjadi, di mana ia?”

“Ampun, Bapa. Ia.......Ni Sawitri .......ia juga tewas ....” kata Klabangkoro dengan suara agak gugup.

Sepasang mata yang besar itu terbelalak, sehingga sinarnya berapi, dan wajahnya yang gagah perkasa itu nampak pucat sekali.

“Apa ......?Andika.......Andika telah membunuh Ni Sawitri?”

“Tidak, Bapa, Mana saya berani membunuhnya? Seperti perintah Bapa, saya melaksanakan tugas, yaitu membunuh Margono dan membawa Ni Sawitri pulang. Saya, dibantu teman-teman, berhasil membunuh Margono. Ni Sawitri marah dan menyerang kami, akan tetapi kami berhasil meringkusnya. Saya telah merobohkannya dengan Pecut Dahono, akan tetapi ketika teman-teman hendak meringkusnya, Ni Sawitri menggunakan kerisnya sendiri untuk suduk sarira (bunuh diri dengan keris). Hamba tidak keburu mencegahnya dan iapun tewas di ujung kerisnya sendiri, Bapa Guru, Ampunkan saya karena saya sama sekali tidak menyangka ia akan melakukan suduk sarira sehingga tidak dapat mencegahnya.”

Kepala yang rambutnya sudah putih itu menunduk dalam-dalam, agaknya untuk menyembunyikan air mata yang mengalir menuruni pipinya, Klabangkoro melanjutkan ceritanya, merasa lega bahwa gurunya tidak melanjutkan kemarahnnya.

Pada waktu itu, seorang bocah berusia sepuluh tahun menyerang kami. Bocah itu adalah putera Ni Sawitri. Karena kami tidak ingin kelak anak itu menimbulkan keributan, maka kami hendak membunuhnya pula. Akan tetapi, muncul seorang kakek yang sakti dan kami tak mampu menandinginya.Terpaksalah kami meninggalkan mereka.

Akan tetapi agaknya Sudibyo tidak mendengarkan lagi, bahkan tubuhnya terkulai dan dia tergelimpang, roboh dari kursinya! Tentu saja Klabangkoro terkejut bukan main. Dia meneriaki anak buah Gagak Seto yang berlarian masuk dan beramai-ramai mereka mengangkat tubuh sang guru ke dalam. Sejak saat itu Sudibyo jatuh sakit-sakitan dan dia selalu menyendiri dalam kamarnya. Dia mengusir semua orang yang mencoba mendekati dan menghiburnya.

Sudibyo, ketua perkumpulan Gagak Seto dapat menguasai dirinya dan bangkit lagi dari tempat tidurnya. Akan tetapi semenjak hari ia mendengar bahwa Ni Sawitri telah tewas, dia menjadi sakit-sakitan. Tubuhnya yang tinggi besar itu menjadi kurus, mukanya semakin pucat dan tubuhnya lemah. Dia tidak lagi bersemangat mengurus perkumpulan dan mengangkat Klabangkoro dan seorang murid lain bernama Mayangmurko untuk mengurus segala hal yang ada hubungannya dengan perkumpulan Gagak Seto.

Ki Sudibyo sendiri lebih sering duduk bersemadhi di dalam kamarnya atau duduk termenung mengenangkan semua peristiwa masa lalu ketika Ni Sawitri masih menjadi isterinya. Semua yang terjadi sepuluh tahun yang lalu itu terbayang seolah baru terjadi kemarin saja.

Ketika itu, sudah lama dia mendirikan perkumpulan Gagak Seto dan sudah menerima banyak murid yang mempelajari ilmu kanuragan. Para muridnya bukan hanya kaum pria, karena ada pula beberapa orang murid wanita. Pada waktu itu Ki Sudibyo adalah seorang pria yang berusia empatpuluh tahun yang gagah perkasa ini memang belum pernah jatuh cinta. Akan tetapi setelah dia menjadi guru dan juga ketua perkumpulan Gagak Seto. Dia jatuh hati setengah mati kepada seorang muridnya sendiri dan waktu itu bukan lain adalah Ni Sawitri yang ketika itu berusia delapan belas tahun. Bagaikan setangkai bunnga mawar, Ni Sawitri sedang mekar semerbak mengharum dan Ki Sudibyo menjadi seorang di antara para pria yang tergila-gila kepada Ni Sawitri.

Ki Sudibyo tidak membuang banyak waktu dan dia lalu meminang Ni Sawitri kepada ibu gadis itu yang sudah menjadi janda.Ibu janda itu tentu saja menjadi girang dan meneriama pinangan itu dengan tangan terbuka. Ki Sudibyo terkenal sebagai seorang pria yang gagah perkasa dan suka menolong orang,disegani dan dihormati. Tentu saja ia meneriam pinangan itu dengan bangga.

Pernikahan dilangsungkan dengan meriah. Akan tetapi, kalau pengantin pria merasa berbahagia sekali dengan pernikahan itu, sebaliknya pengantin wanitanya merasa berduka walaupun ia tidak berani memperlihatkan kedukaan hatinya di depan gurunya yang kini menjadi suaminya itu.

Hal ini bukan karena pengantin pria itu kurang gagah atau kurang baik ,sama sekali tidak. Hanya karena Ni Sawitri telah menjalin hubungan dengan seorang saudara seperguruan yang bernama Margono, maka tentu saja pernikahannya itu menghancurkan hatinya. Akan tetapi Ni Sawitri tidak berdaya. Ibunya telah meneriama pinangan itu dan yang meminang adalah gurunya yang amat dihormatinya.

Mulailah Ni Sawitri hidup dalam keadaan tersiksa hatinya. Ia menjadi isteri yang terhormat. Semua murid menganggap nya sebagai ibu guru yang patut dihormati. Akan tetapi, setiap hari ia bertemu dengan Margono, bahkan berlatih ilmu kanuragan bersama pemuda yang dikasihinya itu.

Dan terjadilah peristiwa itu. Setelah tiga bulan menjadi isteri Ki Sudibyo, pada suatu senja ketika secara kebetulan Ki Sudibyo berjalan-jalan memasuki taman, dia meliahat dari jauh betapa isterinya menangis terisak-isak bersandar di dada yang bidang dari Ki Margono yang merangkulnya!

Dapat dibayangkan betapa marahnya Ki Sudibyo ketika melihat isterinya yang tercinta berpelukan dengan seorang muridnya. Serasa akan meledak dadanya dan seperti dibakar rasa hatinya.Akan tetapi Ki Sudibyo adalah guru perkumpulan Gagak Seto dan dia menjaga kehormatannya. Dia menahan diri sekuat mungkin, lalu dengan terhuyung seperti menderita luka hebat dia kembali ke dalam ruamahnya. Dia merasa bingung sendiri. Apa yang akan dilakukannya.

Sudah jelas bahwa Sawitri mengkhianatinya, menyeleweng. Dan tahulah dia bahwa tentu sejak dahulu Ni Sawitri menjalin cinta kasih dengan Margono dan itulah yang membuatnya menyesal dan marah sekali. Kalau saja Ni Sawitri menolak pinangannya karena sudah mempunyai seorang pilihan hati, tentu dia dapat memakluminya dan tidak akan memaksanya menjadi isterinya. Akan tetapi sekarang, Sawitri telah menjadi isterinya, kenapa masih melanjutkan hubungan dengan pria lain? Itu penyelewengan namanya, pengkhianatan dan merupakan dosa yang besar. Dan Margono? Si keparat itu telah berani menghina gurunya, menginjak-injak kehormatan gurunya!

Padahal, Sawitri dan Margono adalah murid-murid kesayangannya, merupakan dua orang murid yang terpandai di antara semua muridnya. Hati Ki Sudibyo terbakar hangus! Kebahagiaan yang baru dia nikmati selama tiga bulan itu kini telah hancur, bukan saja kebahagiaan itu lenyap, bahkan berubah bentuk menjadi siksaan batin yang hampir membuatnya menjadi gial. Kalau menuruti panasnya hati, ingin dia seketiaka itu membunuh dua orang manusia yang dianggapnya tidak mengenal budi, rendah budi dan kotor itu .Akan tetapi dia menjaga namanya, dan pula dia masih menaruh harapan tipis,harap-harap cemas barangkali Ni Sawitri akan memyadari kesalahannya dan dapat mengubah jalan hidupnya.

Tak lama kemudian dia melihat isterinya melangkah masuk. Demikian lemah gemulai langkahnya ketiak memasuki ambang pntu. Rambut yang hitam panjang itu yang dia tahu pasti harum semerbak dengan harum melati, keliahatan mengkilap dalam cuaca senja yang remang-remang itu. Kulitnya yang lembut dan hangat itu juga nampak berkilauan. Akan tetapi segera terbayang olehnya betapa rambut itu kusut karena bersandar di dalam rangkulan pria lain! Dia merasa seolah mukanya dicoreng-moreng, perasaannya diinjak-injak. Dadanya terasa panas sekali dan dia tidak mampu bertahan lagi.

“Diajeng Sawitri.........!” dia memanggil dan suara panggilannya itu mengejutkan hati Sawitri.

Biasanya, gurunya yang kini menjadi suaminya itu kalau memanggil namanya, halus lembut dan penuh kasih sayang. Akan tetapi mengapa panggilan itu sekarang terdengar demikian kaku dan nyaring?

“Ya, kakang mas.........!” Ia menjawab dan dan memasuki kamar itu dengan jantung berdebar.

Ia melihat suaminya duduk bersila, tak bergerak seperti patung di atas lantai, di depan kedua kakinya, nampak sebatang keris telanjang. Dalam keremangan di kamar itu, keris telanjang itu nampak mengeluarkan cahaya. Inilah keris pusaka milik suaminya yang disebut Sang Megantoro! Kenapa suaminya duduk bersama dengan keris pusaka itu telanjang di depannya? Rasa takut meayap ke dalam hati Ni Sawitri ketiak perlahan-lahan ia duduk bersimpuh di dekat ki Sudibyo, di atas tikar yang digelar di lantai itu.

“Kakang mas memanggil aku......?” tanyanya lirih.

Sampai lama tidak terdengar jawaban. Suasana semakin menegangkan sehingga Ni Sawitri seolah dapat mendengar degup jantungnya sendiri yang menembus kembennya. Kemudian terdengar suara suaminya, suara yang dingin dan kaku sekali.

“Diajeng, sudah bertahun-tahun kau menjadi murid Ggak Seto selain ilmu kanuragan engkau juga mempelajari tentang nilai-nilai kegagahan. Katakan, diajeng, apa hukumannya bagi pengkhianat yang mengkhianati kepercayaan orang-orang kepadanya? Apa hukumannya bagi seorang yang menginjak-injak kehormatan kita, seorang yang membalas madu kebaikan kita dengan racun kebusukan? Jawablah, diajeng.”

Ni Sawitri merasa jantungnya berdebar tegang dan seluruh tubuhnya terasa gemetar.

“Kita .......kita harus membunuhnya, kakangmas Sudibyo........”

“Bagus,engkau masih ingat akan nilai kehormatan itu. Dan sekarang, jawablah sejujurnya. Apakah engkau mencintai aku?”

Sawitri terkejut sekali dan memandang ke arah wajah suaminya. Suaminya tidak memandang kepadanya, akan tetapi melihat wajah suaminya itu dari samping saja sudah cukup menimbulkan kengerian di hatinya.Wajah itu kaku dan dingin seperti arca besi, penuh kemarahan terpendam.

“Aku.....tentu saja mencintaimu, kakangmas. Kenapa engkau tanyakan? Aku sudah menjadi isterimu, bukan? Itu saja sudah menandakan bahwa aku mencintaimu, kakangmas.”

“Tidak ada madu semanis kata-kata bercumbu yang keluar dari bibir seorang wanita cantik, namun sayang, di situ pula bersarang kebohongan dan pengkhianatan.” Kata ki Sudibyo lirih tanpa menoleh.

“Kakangmas..........! Apa.....apa.....maksudmu......?” Sawitri bertanya dengan suara gemetar.

“Sudahlah, pergilah ke kamarmu, diajeng. Jangan terlalu lama di sini ! Pergi, cepat!”

Ni Sawitri menjadi pucat wajahnya. Belum pernah ia mendengar suara suaminya membentak- bentak seperti itu, penuh kemarahan dan kebencian. Sambil menahan tangisnya, iapun keluar dari kamar itu. Perang hebat terjadi di hati akal pikiran Ki Sudibyo. Segala macam perasaan teraduk menjadi satu dalam pikirannya. Ada rasa kecewa, sedih, marah,dan cinta. Kalau menuruti dorongan nafsu kemarahannya karena dia merasa ditipu, dikhianati, dilanggar kehormatannnya, ingin rasanya dia membunuh orang itu. Akan tetapi perasaan cintanya kepada isterinya menjadi penghalang besar. Dia terlalu mecintai isterinya dan tidak ingin membunuh isterinya, tidak ingin melihat isterinya menderita sengsara. Setelah perang itu berkecamuk dalam hatinya selama semalam suntuk. Menjelang pagi barulah dia mengambil keputusan yang harus dipilihnya pada saat terakhir nanti.

Dua keputusan itu adalah pertama : Memaafkan mereka dengan menyadari bahwa Ni Sawitri tidak mencintainya melainkan mencintai Margono, maka lebih tepat kalau mereka menjadi suami isteri dan meninggalkan Anjasmoro.

Keputusan kedua, membunuh mereka berdua sebagai pelanggar-pelanggar kesusilaan dan pengkhianat. Dia bangkit dari duduknya, menyarungkan keris pusaka Megantoro, lalu melangkah keluar dari dal;am sanggar pamujan. Karena merasa dadanya sesak, dia lalu keluar dari dalam rumah. Setibanya di halaman depan, dia merasa betapa angin sejuk menerpa wajah dan dadanya. Segar rasanya seperti disiram air dingin. Dia mengembangkan kedua lengannya sambil menghirup hawa sejuk itu sebanyaknya.

Kepalanya ditengadahkan. Pagi masih remang-remang, bintang-bintang diangkasa masih tanpak.Ayam jantan sedang berkokok dan dia mengenal suara Si Jagal, ayam jagonya. Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat.

“Siapa itu!” Bentak Ki Sudibyo sambil memutar tubuh ke kiri.

Bayangan laki-laki tinggi besar berusia tiga puluh tahun menghampirinya.

“Ah, Bapa Guru. Kebetulan sekali, saya memang sedang mencari Bapa Guru untuk melaporkan sesuatu.” Katanya sambil memberi hormat.

“ Hemm, kiranya engkau, Klabangkoro. Sepagi ini, apa yang hendak kaulaporkan kepadaku?”

“Bapa, tadi saya melihat bayangan orang dua menyelinap keluar dari perkampungan kita. Karena curiga, saya lalu menghampiri, akan tetapi dua bayangan itu bukan lain adalah adi Margono bersama........bersama......” Raksasa tinggi besar itu agaknya takut untuk melanjutkan laporannya.

Api kemarahan yang tadinya sudah hampir padam itu mulai menyala lagi di dalam dada dan kepala Ki Sudibyo. Tidak perlu dijelaskan lagi siapa yang melarikan diri bersama Margono itu. Akan tetapi untuk mendapatkan keyakinan, dia membentak,

“Hayo cepat katakan, bersama siapa Mrgono melarikan diri!”

“Saya...... saya takut.........kalau bapa marah......”
“Kalau tidak kau katakan, aku bahkan akan marah sekali dan menghancurkan kepalamu!” bentak Ki Sudibyo.

“Saya melihat dia bersama .........Ni Sawitri, bapa.....”

“Keparat !” Sudibyo melompat ke dalam rumah, mencari isterinya di dalam kamar-kamar rumah itu. Tentu saja isterinya tidak ada, seperti yang sudah diduganya, dan diapun hanya ingin mendapat kepastian saja. Dia lari lagi keluar dan melihat Klabangkoro masih berdiri di depan pintu.

“Di mana kau melhat mereka ?” Tanyanya dengan suara tegas.

“Di sana , bapa. Mereka lari ke utara!”

Tubuh ketua Gagak Seto itu melesat ke arah utara dan kini keris Pusaka Megantoro telah terselip di pinggangnya. Pusaka itu diambil ketika mencari isterinya ke dalam rumah tadi.

Klabangkoro berdiri sambil menyeringai. Hatinya juga terasa sakit ketika melihat Ni Sawiti bergandengan tangan dengan Margono dan keduanya berlari ke utara. Sejak dahulupun dia tahu bahwa kedua adik seperguruannya itu saling mencintai. Akan tetapi Ni Sawitri ditarik menjadi isteri guru mereka. Dan dia hanya menjadi penonton yang iri hati. Sudah lama dia menaruh hati kepada Ni Sawitri, namun tak pernah ditanggapi gadis itu sampai akhirnya ia diambil isteri oleh Ki Sudibyo.

Sekarang rasakanlah kalian semua! Hatinya bersorak, karena bukan dia seoranglah yang menderita karena gadis itu.

Dengan hati panas terbakar Sudibyo melakukan pengejaran ke utara, namun dia tidak menemukan jejak dua orang yang melarikan diri itu.Setelah mencari dan melakukan pengejaran sehari lamanya, akhirnya dia pulang denagn tangan dan hati hampa. Dia mengutus Klabangkoro dan belasan orang murid lain untuk melakukan pengejaran dan pencarian, namun sampai bertahun-tahun mereka tidak pernah berhasil.

Ki Margono dan Ni Sawitri seperti lenyap ditelan bumi. Kalau ada berita bahwa mereka berada di suatu tempat, cepat melakukan pengejaran, akan tetapi mereka sudah pergi lebih dulu. Sepasang burung itu telah terbang pergi meninggalkan pohon sewaktu para pemburunya berindap datang dengan busur dan anak panah di tangan!

Bertahun-tahun pengejaran itu dilakukan dan akhirnya, pada hari itu Klabangkoro melaporkan bahwa muridnya telah berhasil membunuh Ki Margono. Bahkan Ni Sawitri juga telah tewas membunuh diri!

Semua kenangan itu muncul dalam ingatan Ki Sudibyo seperti nonton sandiwara. Berulang kali dia menghela napas.Sebetulnya, dia tiadak menghendaki terbunuhnya Ki Margono, apa lagi sampai Ni Sawitri membunuh diri pula. Akan tetapi perbuatan mereka berdua itu sungguh menyakitkan hatinya, memadamkan semua gairah hidup dan kegembiraannya,melenyapkan semua kebahagiaannya. Dan kini setelah kedua orang itu tewas, tidak ada sedikitpun kepuasan terasa di hatinya. Dia tidak menjadi bahagia karenanya, bahkan sebaliknya, dia menjadi semakin bersedih.

Kalau dia teringat akan saat-saat mesra penuh kasih sayang bersama isterinya, walaupun hanya sekitar tiga empat bulan yaitu sejak mereka menikah, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya, Dia amat mencintai Ni Sawitri dan menurut perasaannya, Ni Sawitri juga amat mencintainya. Mengapa lalu timbul persoalan dengan Ki Margono itu? Dia merasa menyesal sakali harus membunuh mereka. Penyesalan yang ditebusnya dengan kesehatannya yang makin memburuk.

Hanya demi kepentingan perkumpulan Gagak Seto, Ki Sudibyo masih mau hidup dan berusaha mengatasi gangguan kesehatannya untuik memimpin perkumpulan itu. Akan tetapi, semua urusan keluar dia serahkan kepada dua orang murid kepercayaannya, Yaitu Klabangkoro dan Mayangmurko. Kalau saja dia mempunyai pandangan siapa yang pantas menggantikan kedudukannya sebagai ketua Gagak Seto, tentu hatinya akan terasa tenang. Akan tetapi dia belum melihat adanya pengganti itu. Klabangkoro terlalu kasar, sedangkan Mayangmurko memiliki kecondongan untuk berbuat culas dan licik.

Demikianlah, semenjak Klabangkoro memberitakan tentang kematian Margono dan Sawitri, kehidupan Ki Sudibyo seperti kosong dan tidak ada artinya lagi. Dia telah banyak mengurung diri di dalam kamarnya, bersamadhi. Usianya baru limapuluh tahun, akan tetapi rambutnya sudah putih semua dan wajahnya yang penuh keriputan mambuat dia nampak jauh lebih tua. Urusan Gagak Seto dia serahkan kepada Klabangkoro dan Mayangmurko.

Sudibyo sama sekali tidak tahu bahwa setelah kini dia tidak lagi langsung memegang kemudi perkumpulannya,perkumpulan Gagak Seto mulai meninggalkan garis-garis yang telah di ditentukan.Tadinya, perkumpulan Gagak Seto adalah perkumpulan orang gagah yang di segani prkumpulan orang gagah lainnya, dan ditakuti gerombolan-gerombolan yang menyusahkan rakyat.Akan tetapi kini, tidak jarang anak buah Gagak Seto bahkan melakukan perbuatan jahat dan sewenang-wenang, mengambil milik orang yang kebetulan lewat dengan paksa, bahkan menculik wanitawanita cantik.

Bukan para anak buahnya saja yang melakukan perbuatan maksiat, bahkan dua orang pemimpin mereka, Klabangkoro dan Mayangmurko, menerima ketika ada pendekatan dilakukan para pimpinan perkumpulan Jambuka Sakti ( srigala sakti ), sebuah perkumpulan lama dan besar dari segerombolan penjahat yang terkenal buas dan kejam. Dan semua peristiwa yang terjadi di luar kamarnya ini sama sekali tidak diketahui oleh Ki Sudibyo yang hanya membiarkan dirinya tenggelam ke dalam duka nestapa.

Tidak jauh dari perkampungan Gagak Seto, kurang lebih sepuluh kilometer jauhnya, terdapat sebuah air terjun yang airnya jernih sekali dan air terjun itu membentuk sebuah telaga kecil sebelum air mengalir menjadi anak sungai dan menuruni dusun di kaki bukit.

Air terjun ini oleh rakyat setempat dinamakan Grojokan Kluwung (Air Terjun Pelangi ) karena di situ sering muncul pelangi ketika uap air yang terjun ditembusi sinar matahari. Pada suatu hari yang sunyi, Ki Sudibyo meninggalkan pondoknya dan seperti orang yang kehilangan semangat akhirnya tibalah ia di tepi gerojokan kluwung itu. Sampai lama dia berdiri memandangi air yang terjun dan menimpa telaga dan dia membayangkan betapa dahulu, ketiak masih brepengantin, dia sering mandi di telaga itu bersama isterinya Ni Sawitri.

Seolah ada sesuatu yang mendatangkan rasa nyaman di hatinya ketika dia berada di tempat itu dan sejak hari itu, kurang lebih dua tahun semenjak ia menerima berita tentang kematian isterinya, Ki Sudibyo menemukan tempat baru untuk menghibur hatinya. Hampir setiap hari dia pergi ke tempat itu dan duduk dekat air terjun, melamun dan menenggelamkan semangatnya bersama air yang terjun.

Sudah lebih dari satu bulan Ki Sudibyo setiap hari pergi ke air terjun itu, bahkan pernah dia bermalam di situ, duduk bersila setengah tidur di bawah pohon beringin yang tumbuh di dekat air terjun.

Pada suatu pagi, ketika dia sedang duduk melamun di bawah pohon, dua pasang mata mengintainya. Pandang kedua pasang mata itu buas dan tajam, dan ternyata itu adalah dua pasang mata milik dua orang laki-laki berusia empat puluhan tahun yang sedang mengintai dari balik semak-semak. Dua orang laki-laki yang membawa keris telanjang di tangan dan kini setelah saling memberi isyarat dengan kedipan mata, keduanya bergerak perlahan menuju ke arah bawah pohon beringin di mana Ki Sudibyo masih duduk bersila.

Setelah dekat, seorang yang matanya agak juling bergerak lebih dulu. Dengan tangan kanan memegang keris, dia melompat keluar dari balik semak-semak dan lari menghampiri Ki Sudibyo yang masih bersila dan seolah tidak tahu bahwa dirinya diserang orang.Akan tetapi tentu saja ketua Gagak Seto itu sudah tahu dari tadi.

Seorang yang sudah dapat menangkap suaraning asepi (suara kesunyian ) tentu saja suadh dapat membedakan suara yang tidak lajim dan Ki Sudibyo tadi sudah mendengar gerakan kedua orang ini ketika mengintai mendekatinya.

Ketika si mata juling menubruk dan menyerangnya dari belakang, mengjunjamkan keris ke arah punggungnya Ki Sudibyo merendahkan tubuh dengan membungkuk sehingga serangan tusukan keris itupun luput. Dan ketiak tubuh orang itu terdorong hempir menabraknya, Ki Sudibyo cepat mengangkat tangan kanannya, menangkis lengan yang memegang keris dan sekali mengerahkan tenaga, tubuh si mata juling itu telah mencelat ke depan! Akan tetapi si mat juling kiranya bukian penjahat sembarangan. Tubuhnya yang terlontar itu membuat gerakn jungkir balik beberapa kali sehingga dia dapat turun ke atas kedua kakinya tidak sampai terbanting.

Sementar itu orang ke dua juga sudah menubruk dengan kerisnya, Akan tetapi, Ki Sudibyo kini sudah siap siaga. Kaki yang tadinya di lipat bersila kini telah di bukanya dan sebelum penyerang itu mampu mendekat, kakinya sudah mencuat mengirim tendangan.

“Dukk!”

Orang yang kumisnya tebal itu menangkis tendangan dengan lengan kirinya, akan tetapi kekuatan tendang itu membuat dia terhuyung ke belakang.

Kini Ki Sudibyo bangkit berdiri dengan tenang dia memandang ke kanan kiri, ke arah kedua orang penyerang itu. Dia tidak mengenal mereka, maka merasa heran mengapa mereka itu hendak membunuhnya.

“Ki sanak, kalian siapakah dan mengapa pula kalian menyerang saya tanpa sebab?”tanyanya dengan suara yang tenang berwibawa.

Dua orang itu melangkah maju dari kanan kiri dan memainkan keris dengan sigapnya. Melihat gerakan keris mereka, Ki Sudibyo sebagai seorang pendekar besar yang berpengalaman lalu tersenyum.

“Hemm, kalau tidak salah kalian ini tentu Sepasang Keris Maut dari Nusa Barung. Kabarnya kalian pembunuh bayaran yang mahal. Siapakah sekali ini yang menyuruh kalian membunuh aku, dan dengan bayaran berapa mahalnya?”

“Ketua Gagak Seto, bersiaplah untuk mampus di tangan kami! Haiiiit..........!” Si mata juling sudah menerjang pula dari kanan. Serangan mereka memang hebat sekali, gerakan mereka cepat dan keris yang menusukkan itu mengeluarkan bunyi mencicit tanda bahwa tangan yang menggerakkannya mengandung tenaga yang dasyat.

Namun dengan sigap pula Ki Sudibyo telah siap siaga. Tidak lari dari serangan kanan kiri itu , akan tetapi setelah kedua penyerangnya tiba dekat, tubuhnya meloncat ke atas dan kedua kakinya di kembangkan menendang ke kanan kiri.

“Duuuk! Dukk!”

Kedua kaki itu dengan tepatnya mengenai ulu hati kedua orang penyerangnya sehingga dua orang itu terjengkang keras dan merasa dada mereka seperti ditumbuk alu besi dengan amat kuatnya.

Dua orang itu ternyata kebal juga. Hanya sejenak mereka terjengkang dan terbanting terengah-engah akan tetapi mereka segera dapat bangkit kembali dan keduanya menyerang lagi lebih buas.

Ki Sudibyo tahu bahwa dua orang itu hanya menjalankan tugas demi mencari upah besar, maka diapun tidak ingin membunuh mereka. Ketika mereka datang dekat, dengan berapa langkah kaki saja dia telah membuat tusukan-tusukan keris mereka mengenai tempat kosong,kemudian kedua tangannya bergerak cepat sekali bagaikan sambaran kilat, kearah kedua orang pengeroyoknya. Akan tetapi dia membatasi tenaganya, hanya kurang lebih seperempat bagian tenaga saja yang dia pergunakan, akan tetapi dia menampar dengan aji Hasta Bajra {Tangan Kilat}. Ilmu pukulan hasta bajra ini merupakan ilmu simpanan yang ampuh dari Ki Sudibyo dan biarpun hanya sebagian kecil saja dari aji ini dipergunakan,akan tetapi ketika tampatannya mengenai muka kedua orang lawannya, mereka terpelanting keras dan mengaduh-aduh.

“Aduhhh.......tobatttt........!” keduanya merangkak bangun lalu melarikan diri tanpa berani menoleh pula.

Ki Sudibyo menggosok kedua telapak tangannya yang mengandung hawa panas, lalu mengusap sedikit peluh dari lehernya dan duduk kembali bersila di dekat air mancur seolah tidak pernah terjadi sesuatu kepadanya.

Akan tetapi setelah duduk bersila kembali, Ki Sudibyo mengatur pernapasannya. Makin yakinlah dia bahwa cara hidupnya yang terendam duka dan semenjak mendengar berita tentang tewasnya Sawitri mendatangkan pukulan yang amat hebat di dalam dadanya dan membuatnya lemah sekali.Kemudian teringatlah dia. Melihat tubuhnya yang lemah itu, agaknya dia tidak dapat mempertahankan nyawanya berusia panjang. Dia tidak memikirkan diri sendiri.Kematian bukan apa-apa baginya, bahkan membebaskannya dari pada duka. Akan tetapi yang dipikirkan adalah perkumpulan Gagak Seto. Siapa yang akan menggantikannya?Dia tidak mempunyai keturunan dan juga tidak ada seorangpun muridnya, pria maupun wanita, yang pantas untuk dijadikan penggantinya.


Bersambung ......
 
Bagian. - 4



Kalau Gagak Seto kelak dipimpin oleh seorang yang tidak luhur budinya, tentu akan berbahaya sekali dan dapat dibawa menyeleweng.

Tiba-tiba, ada gerakan di seberang danau kecil itu menarik perhatiannya. Tadinya disangka seekor binatang yang bergerak di sana. Akan tetapi ketika dia mengamati, ternyata bukan binatang, melainkan seorang anak perempuan. Anak perempuan itu berpakaian compang-camping. Tubuhnya hanya tertutup sehelai kain berkemben yang sudah roberk-robek, rambutnya yang panjang terurai lepas dan di bagian pundaknya kelihatan berlepotan darah.Usia anak itu sekitar sepuluh tahun.Jantung Ki Sudibyo berdebar tegang. Anak itu berada di tebing, di atas danau yang berada di depannya itu. Tidak kurang dari lima belas meter tingginya dan tebing-tebing itu8 penuh dengan batu-batu yang tajam. Anak itu kini merangkak-rangkak, sikapnya ketakutan seperti hendak melarikan diri dari suatu yang ditakutinya.

“Heiii, hati-hati, engkau bisa jatuh!” teriak Ki Sudibyo.

Akan tetapi peringatan itu terlambat sudah. Terdengar anak itu menjerit dan tubuhnya tergelincir jatuh ke bawah!

“Byuuurrr........!” Air telaga muncrat ke atas dan tubuh anak perempuan itu tertelan lenyap.

“Celaka .........!” Ki Sudibyo sudah cepat bangkit dan meloncat ketelaga, lalu berenang secepatnya ke arah jatuhnya anak tadi. Di situ dia menyelam dan tak lama kemudian dia sudah muncul kembali sambil mengangkat tubuh anak perempuan itu dengan sebelah tangannya, sedangkan dengan kakinya dan sebelah tangannya dia cepat berenang ke tepi danau.

Anak itu tidak terluka parah, keadaannya tidak berbahaya, hanya pingsan. Setelah dirawat sebentar, anak itu siuman lalu menangis ketakutan.

“Diamlah, nini, jangan menangis. Jangan takut, aku bukan orang jahat. Aku yang telah menolongmu dari dalam telaga tadi. Tenaglah.”

Anak itu memang tadinya menangis karena takut. Mendengar ucapan itu, ia berhenti menangis, menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan kini sepasang mata memandang wajah Ki Sudibyo baru melihat kenyataan bahwa anak perempuan ini cantik sekali. Kulitnya halus kuning, rambutnya panjang hitam subu, matanya bersinar-sinar seperti sepasang bintang kejora. Hidungnya kecil mancung, bibirnya mungil dan manis sekali, seperti wajah puteri bangsawan.

“Benarkah, paman? Engkau.......engkau bukan seperti mereka yang jahat. Mereka yang membunuh.....ayahku......? “Gadis cilik itu agaknya baru teringat akan ayah ibunya. Ia lalu menangis memanggil-manggil nama ayah ibunya.

“Tenangkan hatimu, nini. Aku bukan orang jahat dan aku akan membantu ayah ibumu kalau mereka terancam bahaya. Apakah yang telah terjadi dengan ayah ibumu? Siapakah mereka dan di mana mereka sekarang?”

Kembali anak itu berhenti menangis dan kini memandang kepada Ki Sudibyo dengan sinar mata penuh permohonan dan harapan.

“Paman, namaku adalah Niken Sasi”

Ki Sudibyo mendengarkan sambil mengobati luka di pundak anak itu dengan daun picisan dan widoro upas, karena hanya dua macam rempa-rempa itu yang bisa didapatkan di situ. Akan tetapi obat ini cukup mujarap, menghentikan keluarnya darah dan mendatangkan rasa dingin sejuk pada bagian yang terluka.

Akan tetapi ketika anak itu melanjutkan penuturannya. Ki Sudbyo makin tertarik, bahkan kini dia memandang dengan mata terbelalak.

“Ayahku adalah Raden Mas Rangsang dan ibuku Dewi Muntari dan kami tinggal di kota raja.........”

“Ayahmu Raden Mas Ramsang, mantu sang Prabu?” Tanya Ki Sudibyo dengan hati kaget bukan main.

Anak itu mengangguk. “Ayah dan ibu mengadakan tamasya di sekitar gunung Anjasmoro, diiringkan belasan orang pengawal. Akan tetapi di lereng gunung kami diserang oleh puluhan orang penjahat.......aku melihat ayah roboh mandi darah.......dan ibu.......ibuku dilarikan penjahat.....” Anak itu menangis lagi, teringat kepada orang tuanya.

“Jagat dewo Bathoro .....!” Ki Sudibyo berseru. “Siapa berani mengganggu keluarga kerajaan Daha? Gusti Puteri, bagimana hal itu bisa terjadi? Bukankah ada belasan orang pengawal yang melinduangi paduka sekeluarga?”

“Entahlah, para pengawal itu juga memberikan perlawanan, akan tetapi mereka segera melarikan diri meninggalkan ayah seorang diri melawan penjahat. Akan tetapi sebelum itu, ibuku menyuruh aku melarikan diri. Aku turun naik jurang, tubuhku luka-luka, pernah aku terguling ke dalam jurang. Untung tidak sampai mati.....dan aku tiba di sini, tergelincir masuk danau .....untung ada andika yang menyelamatkan aku, paman.”

“Jangan khawatir, Gusti Puteri Paduka akan hamba antarkan kembali ke kotaraja dan tentu keluarga kerajaan akan mengirim pasukan untuk mencari ibunda paduka dan......”

“Jangan.......! Ah, paman, kasihanilah aku, jangan bawa aku ke istana. Setelah ayah meninggal dan ibuku lenyap, aku tidak berani kembali ke istana. Jangan bawa aku ke sana, paman. Dan biarkan aku tinggal disini bersama paman .......!” Anak itu memegang tangan Ki Sudibyo dengan tangan gemetar ketakutan.

Ki Sudibyo memandang heran. “Harap paduka jangan takut, tidak akan ada orang yang berani mengganggu paduka, selama ada hamba di sini. Gusti puteri.”

“Tidak, biarkan aku mati saja menyusul ayahku kalau engkau akan mengantar akau kembali ke istana!”

Tentu saja Ki Sudibyo terkejut dan heran bukan main. Seorang cucu Sang Prabu Jayabaya tidak mau diantar kembali ke istana! Sungguh aneh sekali.
“Akan tetapi kenapa, Gusti? Kenapa paduka tidak mau kembali ke istana ?”

“Di sana tempat orang-orang jahat yang membenciku, yang membenci kami. Tidak, aku lebih senang tinggal di sini bersamamu, paman. Boleh, ya, paman Boleh , Ya?”

Suara anak itu demikian merengek manja sehingga Ki Sudibyo merasa tidak tega untuk membantah. “ Dn harap jangan sebut aku gusti puteri, jangan memberitahu kepada siapapun juga bahwa aku adalah cucu Eyang Prabu. Paman, aku ingin ikut paman, menjadi anak dusun biasa.”

Ki Sudibyo mengangguk-angguk. Tentu anak itu mempunyai alasan kuat sekali mengapa mengajukan permintaan aneh itu. Biarlah untuk sementara dia tidak membantah karena anak ini agaknya menalami guncangan batin yang hebat.

“Baiklah, Niken Sasi, mari engkau kuantar pulang dulu. Engkau perlu beristirahat di rumah kami dan aku akan mencoba mencari ibumu.”

Karena anak ini masih gemetar tubuhnya dan masih amat lemah, Ki Sudibyo lalu memondongnya dan membawanya pulang. Tentu saja para anggota dan murid Gagak Seto merasa heran bukan main melihat ketua mereka pulang sambil memondong seorang anak perempuan yang agaknya pingsan atau tidur dalam pondongannya.

“Anak ini terpisah dari orang tuanya dan terjatuh ke dalam telaga. Coba tolong memberi kain kering kepadanya.” Ktanya kepada beberapa orang murid wanita.Anak itu segera dibaringkan ke atas dipan dan mendapat perawatan para murid wanita.

Setelah Niken Sasi terbangun. Ki Sudibyo berkata dengan lembut kepadanya. ”Niken Sasi, engkau istirahat dulu bersama para muridku. Engkau akan aman di sini. Aku akan mencoba mencari ibumu.”

Anak perempuan itu mengangguk-angguk, memandang kepada empat wanita yang gagah yang berada di situ, lalu memegang tangan KI Sudibyo.

“Paman, janagn lama-lama, ya paman. Aku .........aku takut kalau ditinggal paman............”

Ki Sudibyo merasa hatinya tertusuk rasa haru. Gadis cilik ini agaknya jarang mendapatkan kasih sayang orang sehingga ia takut menghadapi orang-orang yang belum di kenalnya. Gadis itu percaya kepadanya karena sudah terbukti tadi bahwa dia menolongnya.

“Jangan khawatir, Niken Sasi. Aku pergi takkan lama,dan tidak ada seorangpun di sini yang berani mengganggumu. “katanya sambil mengelus rambut kepala anak itu.

Niken Sasi memandang kepadanya dengan mata yang bersinar-sinar kemudian mengangguk dengan penuh kepasrahan dan kepercayaan.

Ki Sudibyo melupakan keadaan tubuhnya yang tidak sehat, bahkan ketika dia menuruni lereng bukit Anjasmoro, dia merasakan sesuatu kegembiraan baru dalam hatinya. Dia seolah merasa seperti dahulu, di waktu kedukaan belum melanda hatinya, di waktu dia masih belum jatuh hati kepada Ni Sawitri, masih menjadi seorang pendekar yang suka melakukan perjalanan merantau seorang diri, menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan.

Dengan melakukan perjalanan cepat, sambil berlari cepat, akhirnya tibalah dia di tempat yang diceritakan Niken Sasi tadi, di atas sebuah diantara lereng-lereng gunung Anjasmoro. Dan tidak sukar baginya menemukan jenazah ayah anak perempuan itu.

Hanya ada satu saja jenazah menggeletak di situ, maka tidak ragu lagi bahwa ini tentunya jenazah Raden Mas Ramsang, mantu Sang Prabu Jayabaya di daha. Seorang laki-laki yang tampan dan matinya juga gagah, dengan tubuh penuh luka. Dia merasa heran sekali bagaimana bangsawan muda ini dapat mati dikeroyok sedangkan para pengawalnya yang belasan orang banyaknya itu tidak seorangpun tewas. Dan mengapa pula para pengawal yang melarikan diri itu lupa menyingkirkan jenazah bangsawan itu?

Melihat jenazah orang muda itu menggeletak di tempat sunyi, Ki Sudibyo merasa iba. Kalau tidak diurusnya jenazah itu, tentu akan membusuk atau dimakan binatang buas. Dia lalu menggali lubang di bawah pohon kenanga, dan dikuburnya jenazah itu dengan sederhana. Kemudian, dia meletakkan sebuah batu sebesar gentong di atas kuburan sebagai tanda kalau-kalau kelak puteri Raden Mas Rangsang itu akan mencari kuburan ayahnya.

Setelah selesai mengubur jenazah Raden Mas Rangsang dan hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap gerakan orang. Ki Sudibyo berdiri tegak dengan kaki terpentang. Dia tadi menanggalkan bajunya ketika menggali lubang dan menguburkan jenazah itu, dan kini bajunya itu masih belum dipakainya kembali, masih tergantung di pundak kirinya. Dia hanya memakai celana hitam sebatas lutut dan kain yang dipakainya dicincangkan ke atas. Rambut yang panjang dan bercampur putih itu diikatnya dengan kain hitam pula dan selebihnya, badannya tidak mengenakan pakaian lain.

Tubuh itu nampak jangkung dan agak kurus, namun ketika dia berdiri, nampak kokoh dan anggun penuh wibawa. Keris pusaka Sang Megantoro terselip di ikat pinggangnya. Tubuhnya yang berdiri tegak itu sama sekali tidak bergerak, hanya kedua matanya saja yang bergerak perlahan, melirik ke kanan kiri penuh kewaspadaan. Dia bagaikan Sang Bima sena sedang menghadapi bahaya, begitu tenang, santai penuh kepercayaan kepada diri sendiri.

Tak lama kemudian nampak bermunculan belasan orang yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan mereka memegang sebatang golok telanjang yang berkilauan saking tajamnya. Bentuk golok ini semua sama, melengkung dan gagangnya terukir kepala anjing srigala, dengan ronce merah sebagai lidah kepala srigala itu. Dengan sikap beringas dan penuh ancaman, tigabelas orang itu sudah mengepung dan mengitari ki Sudibyo.

“Keparat”terdengar Ki Sudibyo berkata dengan suaranya yang dalam parau dan berpengaruh. “Gerombolan anjing dari mana berani mengacau daerah Anjasmoro yang di kuasai Gagak Seto?”

Tigabelas orang itu, seperti menanti sebuah komando, tertawa bergelak mendengar ucapan Ki Sudibyo itu. Dan berkata dengan suara garang.

”Bagus Ki Sudibyo. Engkau hendak menggertak kami dengan nama Gagak Seto yang sebentar lagi akan kami hancurkan? Kami memang membiarkan engkau mengburkan jenazah itu, setelah itu engkau sendiri yang akan menggantikan jenazah itu, menggeletak di sini menanti datangnya binatang buas yang akan memangsamu, ha-ha-ha!”

Wajah Ki Sudibyo menjadi merah karena marahnya. “Bukankah kalian ini anak buah kelompok Jembuka Sakti (Srigala Sakti) dari Lereng Bromo? Setahuku ketua kalian, Brotokeling, tidak pernah memusuhi Gagak Seto! Apa yang kalian kehendaki?”

“Kami menghendaki nyawamu”bentak tiga belas orang itu dan mereka sudah menerjang maju dari segala jurusan, menyerang dengan golok mereka.

Ki Sudibyo merasa heran, akan tetapi juga marah sekali. Baru saja, dia juga diserang oleh dua orang yang dikenalnya sebagai Sepasang Keris Maut dari Nusa barung, diserang tanpa sebab oleh dua orang tokoh yang dikenalnya sebagai pembunuh-pembunuh bayaran itu. Jelas ada orang yang menghendaki kematiannya dan meyewa dua orang itu. Untung dia dapat menandingi mereka dan membuat mereka melarikan diri.

Dan sekarang tahu-tahu gerombolan Jambuka Sakti dari lereng Bromo mengepung dan menyerangnya. Padahal, walaupun mungkin ketua mereka, Brotokeling yang terkenal jagoan, menganggap dia sebagai saingan. Dia tidak pernah bergaul dengan kelompok seperti Jambuka Sakti itu, karena dia tahu bahwa perkumpulan itu adalah perkumpulan para penjahat yang tidak segan melakukan segala macam kejahatan. Akan tetapi, biarpun jalan mereka bersimpang, Ki Sudibyo merasa belum pernah bentrok dengan mereka.

Melihat gerakan tigabelas orang itu ketika memainkan golok, diam-diam Ki Sudibyo terkejut. Ternyata bukan anak buah rendahan yang datang menyerangnya, tentu merupakan murid-murid pilihan karena gerakan golok mereka cukup tangkas, cepat dan bertenaga sehingga terdengar suara berdesing berbisik ketika mereka semua menggerakkan golok.

Tiga batang golok menyerang dari arah belakang. Ki Sudibyo menggerakkan tangan kirinya yang memegang baju hitamnya sambil memutar tubuh. Baju itu terkembang dan dan menangkis tiga batang golok. Para penyerang itu terkejut bukan main karena tangkisan baju itu membuat golok mereka terpental dan kalau mereka tidak cepat melompat ke belakang, tentu mereka akan kena hantaman baju yang ketika digerakkan oleh Ki Sudibyo berubah menjadi senjata yang amat kuat. Belasan orang itu menjadi marah dan menyerang serentak. Ki Sudibyo maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya, maka sambil memutar baju hitamnya dengan tangan kiri, diapun mencabut keris pusakanya.

Ketika dia menggerakkan keris, nampak seperti ada awan atau uap putih menyambar dan terdengar pekik seorang pengeroyok yang roboh dengan tangan berdarah. Kiranya Goloknya tadi patah dan terlempar ketika bertemu dengan keris dan tangannyapun terluka. KI Sudibyo terus mengamuk dengan keris. Sepak terjangnya mengerikan sekali. Dia seperti Bimasena mengamuk dengan Pancanaka-nya. Setiap kali ada kilatan keris Megantoro menyambar, tentu ada seorang pengeroyok yang roboh! Dalam waktu tak lama, sudah ada enam orang pengeroyok yang roboh, baik oleh kerisnya, maupun hantaman baju hitamnya. Para pengeroyok itu agaknya maklum bahwa mereka tidak akan menang, maka sambil menyeret tubuh kawan-kawan yang terluka merekapun melarikan diri dari situ.

Ki Sudibyo masih berdiri tegak membiarkan mereka pergi melarikan diri. Tubuhnya mengkilap oleh keringat dan biarpun nampaknya dia tenang saja akan tetapi dari dadanya yang kembang kempis, perutnya yang naik turun dapat diketahui bahwa pendekar perkasa ini terengah-engah melalui hidungnya. Dia memejamkan kedua matanya dan setelah pernapasannya biasa kembali, barulah dia mengebut-ngebutkan bajunya dan mengenakan baju itu setelah menempelkan keris pada dahi dan dadanya lalu menyarungkannya. Dia menahan rasa nyeri pada dadanya. Aku harus menjauhkan diri dari perkelahian, pikirnya. Kalau dia bertemu dan bertanding dengan lawan tangguh, dia bisa celaka. Padahal dalam keadaan biasa belasan orang tadi sama sekali tidak ada arti baginya. Tubuhnya lemah sekali. Setiap kali mengerahkan tenaga sakti, tentu dadanya terasa nyeri dan pernapasannya memburu dan tertekan.

Akan tetapi Ki Sudibyo masih mempertahankan diri dan dia melanjutkan usahanya mencari Dewi Muntari, ibu Niken Sari yang menurut anak perempuan itu katanya ditangkap dan dilarikan diri penjahat. Akan tetapi sampai hari menjadi sore, dia tidak berhasil menemukan jejak wanita itu. Apakah Dewi Muntari ditangkap oleh gerombolan Jambul Sakti? Aku akan mengirim utusan dan minta dengan hormat kepada Ki Brotokeling agar membebaskannya, kalau benar wanita itu ditawannya. Tentu Brotokeling masih mau memandang kepadanya untuk memnuhi permintaannya. Kalau permintaannya ditolak, hemm, bagaimana nanti sajalah.

Akhirnya dia kembali ke Anjasmoro. Kalau menuruti kata hatinya, andaikat dia seperti dahulu yang berwatak penuh semangat dan tubuhnnya tidak selemah ini, dia tentu langsung saja pergi mengunjungi Brotokeling dilereng Bromo!

Setibanya di Anjasmoro, dia disambut oleh Niken Sasi yang berlari keluar menyambutnya. Diam-diam Ki Sudibyo kagum sekali. Anak itu kini sudah penuh semangat, tidak seperti ketika ditinggalkan. Ia sudah meniru dandanan para murid Gagak Seto, ringkas dengan celana, kain dan baju hitam, rambutnya diikat sutera merah. Nampak cantik manis dan gagah sekali.

“Paman, bagaimana, paman? Sudahkah paman dapat menemukan ibuku?”

Ki Sudibyo memegang tangan kanan anak itu dan hatinya sendiri merasa tertegun. Kenapa jantungnya berdebar begini tegang dan mengapa ada perasaan gembira dan bahagia menyelinap di hatinya ketika melihat anak itu datang menyambutnya dan ketika tanganya memegang dan menggandeng tangan kecil itu?

Dia menarik Niken Sasi ke dalam rumah sambil berkata singkat, “Niken mari kita bicara di dalam.”

Anak ini rupanya cerdik pula. Ia teringat bahwa ia ingin menyembunyikan siapa dirinya yang sebetulnya, oleh karena itu, iapun tidak bertanya lagi dan mengikuti ketua Gagak Seto itu masuk ke ruangan dalam. Setelah tiba di ruanan dalam, kI Sudibyo membiarkan para muridnya yang bertugas melayaninya, menyediakan minum dan mengganti pakaiannya. Setelah selesai, dia lalu memberi isyarat kepada mereka untuk meninggalkan dia berdua saja dengan Niken Sasi.

“Niken Sasi, aku telah menemukan jenazah ayahmu dan telah menguburkannya dengan baik. Kuberi tanda dengan batu agar kelak engkau dapat mencari kuburan ayahmu itu.” Pendekar itu lalu diam biarpun dia maklum betapa anak itu menanti kelanjutan ceritanya, terutama mengenai ibunya.

Setelah agak lama Ki Sudibyo berdiam diri, Niken lalu bertanya dengan suara yang bening. “Dan bagaimana dengan ibuku, paman ? Sudahkah paman menemukannya dan bagimana keadaan ibuku?”

Ki Sudibyo menghela napas panjang lalu memandang kepada anak itu dan menggeleng kepalanya. “Sayang sekali aku tidak berhasil menemukan jejak ibumu, Niken.” Dia melihat betapa sinar penuh duka dan kecewa menyelubungi pandangan mata nak itu, maka dia cepat berkat, “Akan tetapi jangan putus asa dan jangan khawatir, Niken. Sekarang juga aku akan mengutus anak buahku untuk mencari di seluruh pelosok Anjasmoro ini. Mudah-mudahan saja anak buahku akan berhasil menemukan ibumu.”

“Ah, terima kasih, paman!” kata Niken dengan girang. “Aku telah menyusahkan paman. Aku hanya ingin memperoleh kepastian tentang keadaan ibuku paman.”

“Aku mengerti, Niken.” Ki Sudibyo segera bertepuk tangan dan dua orang muridnya muncul.”Panggil Klabangkoro dan Mayangmurko ke sini.”

Murid-murid wanita itu keluar dan tak lama kemudian muncullah dua orang laki-laki yang selain menjadi murid juga menjadi wakil ketua itu selama bertahun-tahun ini. Selain orang-orang muda dari dusun yang masuk menjadi murid Gagak Seto mempelajari ilmu kanuragan juga terdapat banyak sekali gerombolan penjahat yang telah ditaklukan Gagak Seto kemudian menggabungkan diri dengan perkumpulan ini setelah bersumpah untuk mengubah jalan hidup mereka. Di antara para gerombolan itu terdapat Klabangkoro dan Mayangmurko ini. Dan Ki Sudibyo merasa puas melihat keduanya karena selama ini memperlihatkan sikap yang baik, taat dan setia kepadanya. Karena itu, mengingat bahwa di antara para muridnya, kedua orang ini yang paling tangguh ilmunya, dia mengangkat keduanya menjadi wakilnya.

Setelah dua orang itu masuk ke ruangan itu, mereka memberi hormat kepada Ki Sudibyo dan Klabangkoro bertanya, “bapa guru memanggil kami? Ada petunjuk apakah, Bapa guru?”

“Klabangkoro dan Mayangmurko, engkau bawalah anak buah secukupnya dan carilah seorang wanita, ibu anak ini yang kabarnya ditangkap penjahat. Carilah ia sampai ketemu atau setidaknya sampai mendengar di mana ia berada dan bagaimana keadaan. Juga, perlu kalian ke lereng Bromo, menemui Ki Brotokeling.”

“Ki Brotokeling ketua Jambuka Sakti, Bapa guru?” Klabangkoro bertanya dan matanya yang lebar itu terbelalak.

“Benar. Kalian pergilah menghadap Brotokeling dan berikan suratku kepadanya, minta balasan.”

“Baik, Bapa guru. Kapan kami berdua berangkat?”

“Sekarang juga. Bawa perbekalan secukupnya. “

Dua orang pembantu itu memberi hormat dan keluar dari rumah itu untuk melaksanakan tugas mereka. Setelah kedua orang itu pergi Ki Sudibyo menoleh kepada Niken Sasi sambil tersenyum.

“Nah, engkau mendengar sendiri . Niken. Aku sudah menyuruh anak buahku untuk mencari ibummu.”

Niken Sasi tiba-tiba berlutut dan menyembah kepada pendekar itu. Ki Sudibyo terkejut sekali dan cepat-cepat dia mengangkat anak itu bangun. Anak perempuan itu adalah seorang puteri cucu Sang Prabu Jayabaya, bagaimana boleh menyembahnya?

“Ahhh, Niken! Apa yang kau lakukan ini? Engkau tidak boleh memberi hormat seperti itu kepadaku. Ingat, engkau seorang puteri!”

“Paman. Harap jangan sebut itu lagi. Paman sudah berjanji akan merahasiakan asal-usul dariku.” kata anak itu memperingatkan. “Biarlah aku menjadi muridmu, paman. Perkenankan aku menyebut paman sebagai bapa guru, seperti para kakak yang berada di sini. Aku ingin mempelajari ilmu kanuragan agar kelak kemudian hari aku dapat.....”

“Membalas dendam?” Ki Sudibyo menyambung.

“Tidak, Bapa. Membalas kepada siapa ? Aku akan mempergunakan kepandaianku untuk menentang para penjahat, membela kaum lemah tertindas, mempertahankan kebenaran dan keadilan!”

Sudibyo tersenyum. Dia memang sudah merasa suka sekali kepada anak perempuan ini. Merasa iba dan juga kagum dan dua perasaan ini berkembang menjadi rasa kasih sayang. Kemudian dia teringat. Sudah lama dia merindukan seorang murid yang baik, seorang murid yang dapat dia wariskan seluruh ilmunya, seorang murid yang kelak akan menggantikan dia memimpin Gagak Seto, yang akan mengangkat tinggi namanya dan nama Gagak Seto. Mengapa tidak? Agaknya Niken Sasi memiliki bakat yang baik dan anak ini memiliki ketabahan, keberanian dan semangat.

Hal ini tidak mengherankan karena di dalam tubuhnya masih mengalir darah bangsawan tinggi, tarahing kusumo rembesing madu. Keturunan Sang Prabu Jayabaya, seorang raja yang sakti mandraguna dan arif bijaksana. Tentu saja keturunannya, biarpun wanita, bukan orang biasa!

“Baiklah, Nini! Baiklah, dengan bangga dan girang sekali aku menerima permintaanmu dan mulai saat ini, engkau menjadi muridku! Engkau rajinlah belajar dan bersiaplah, niken, karena aku, gurumu akan mengajarkan semua ilmu yang kukuasai kepadamu, yang tak pernah kuajarkan kepada murid lain. Akan tetapi, ada satu hal yang ingin sekali kuketahui. Mengapa engkau tidak ingin kembali ke istana, di mana terdapat keluarga istana, keluargamu? Padahal, semestinya, aku membawamu ke istana dan di sana engkau akan diterima dengan baik, bahkan Gusti Prabu tentu akan berusaha mencari ibumu. Nah ceritakanlah kenapa engkau hendak menyembunyikan dirimu dan tidak ingin kembali ke istana ?”

Anak itu mengerutkan alisnya, menghela napas beberapa kali kemudian berkata, “Sebetulnya tidak baik aku menceritakan semua ini kepadamu, paman. Akan tetapi kalau tidak aku ceritakan tentu paman bertanya-tanya. Baiklah, terus terang saja aku benci hidup di dalam istana, paman!”

“Eh, kenapa? Bukankah eyangmu Sang Prabu Jayabaya adalah seorang raja yang agung bimantara dan sakti mandraguna, juga arif bijaksana?”

“Memang benar, akan tetapi beliau selalu sibuk dengan pekerjaan dan dikelilingi oleh para penjilat yang kesemuanya memakai bermacam-macam kedok.”

“Ehh?, Memakai kedok?”

“Benar, paman. Memang tidak ada yang melihatnya kecuali aku. Aku melihatnya betapa muka mereka selalu dipasangi kedok kalau mereka menghadap Eyang Prabu. Dan dengan kedok itu mereka bersikap manis dan baik, dan bermuka-muka menjilat-jilat. Kau tahu, paman, di istana aku selalu menerima penghinaan dan cemohan. Aku dikatakan gadis dusun, darah petani sama sekali tidak mempunyai darah bangsawan. Katanya, eyang puteri hanya anak pendeta, sedangkan ayahku juga hanya seorang biasa, bukan bangsawan, hanya seorang perwira muda yang karena jasa-jasanya lalu dinikahkan dengan ibuku. Katanya aku bocah dusun. Tidak, aku tidak sudi kembali ke istana. Bahkan sebelum meninggal dunia, ayah seringkali bicara dengan ibu tentang keinginannya pindah keluar istana. Aku lebih suka di isni, menjadi gadis petani, paman.”

Ki Sudibyo menghela napas panjang. Gadis ini masih kecil akan tetapi sudah mempunyai perasaan yang halus, memiliki harga diri yang tinggi dan dia pun diam-diam terkejut, tidak mengira bahwa di dalam istana, di mana tinggal keluarga bangsawan tertinggi yang penuh dengan tata-susila dan kebudayaan, ternyata terdapat perasaan iri hati dan persaingan, bahkan seperti kata Niken Sasi, menjadi sarangnya para penjilat yang memakai topeng palsu!

Dan murid barunya ini, Niken Sasi yang baru berusia sepuluh tahun, ternyata telah mampu melihat topeng-topeng palsu yang dipakai manusia. Hal ini sungguh merupakan suatu kewaspadaan yang luar biasa bagi seorang anak sekecil itu.

Maka mulai hari itu dia menggembleng anak itu dengan penuh kesunguhan hati, dengan tekun dan rahasia sehingga para murid lain tidak tahu bahwa baru sekali ini guru mereka menurunkan ilmu-ilmunya yang hebat kepada seorang murid. Karena mengira bahwa Niken sasi juga hanya menerima pelajaran ilmu kanuragan seperti yang mereka pelajari pula, maka bahkan Klabangkoro dan Mayangmurko tidak terlalu memperdulikan bocah itu.



Bersambung.......
 
Yap ayo apdet lg ganrang chapter v yihaaa :haha:

#beidewei ane agak dilema dngan kata "kulup" brada. Bisakah tlong d artikan, soalnya yg ane tau kulup itu adalah kulit kelamin pria yg dalam agama islam hrus d buang gan..mhon maaf ya brada :ampun:
 
Yup :jempol:
Ada dua makna kata "kulup"
Yang pertama seperti apa yang brada jelaskan.
Yang kedua, Kulup adalah, panggilan kepada anak laki-laki terutama anak pertapaan

Seperti itu, Brada :D
 
Yup :jempol:
Ada dua makna kata "kulup"
Yang pertama seperti apa yang brada jelaskan.
Yang kedua, Kulup adalah, panggilan kepada anak laki-laki terutama anak pertapaan

Seperti itu, Brada :D

oke deh gan, ane pkir tadi artinya sama kaya cah bagus, ngger, dll. Trnyata spesifik k anak laki2 petapa toh..matur tengkyu brada, nambah lagi nih kosakata ane..:D
 
Bagian - 5



Apa sesungguhnya yang terjadi dengan Dewi Muntari, isteri Raden Mas Rangsang dan ibu Niken Sasi itu? Dewi Muntari adalah seorang wanita berusia tiga puluh tahun yang cantik jelita dan nampak jauh lebih muda dari usia yang sebenarnya. Bagaikan buah, ia sedang masak-masaknya. Wajahnya yang bulat telur itu berdagu runcing manis. Kulit nya putih kemerahan seperti kulit bayi. Rambutnya hitam lebat dan panjang iakl mayang, ngandan-andan. Alisnya hitam kecil melengkung menjaga sepasang mata yang pandanganya sayu, sepasang mata yang jeli dan kedua ujung pelupuk mata agak menjungkat ke atas sehingga mata itu nampak indah menggairahkan. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya juga kecil, lebar sedikit saja dari hidungnya, dengan bibir yang selalu segar merah basah. Sungguh Dewi Muntari adalah seorang wanita muda yang cantik jelita.

Kecantikan selalu mendatangkan berkah. Sejak masih perawan tanggung, Dewi Muntari sudah menderita karena kecantikan wajahnya. Para puteri istana lainnya merasa iri hati kepadanya. Padahal Dewi Muntari berwatak baik, rendah hati dan juga pandai membawa diri.Iapun menyadari bahwa dari pihak ibu, ia hanyalah keturunan sorang pertapa sederhana yang hidup melarat di puncak gunung. Ibu kandungnya puteri seorang pertapa, bahkan ibunya tidak sempat diboyong sebagai selir oleh Sang Prabu Jayabaya. Ibunya telah meninggal dunia di tempat pertapaan kakeknya, dan ketika dia berusia limabelas tahun, ia diantar kakeknya menghadap Sang Prabu Jayabaya. Ia lalu diakui oleh Sribaginda dan mulai saat itulah ia hidup di istana sebagai puteri raja. Akan tetapi, hal ini mendatangkan iri dalam hati para puteri lainnya. Apa lagi Dewi Muntari demikian cantik sehingga hampir semua pria muda di lingkungan istana memuji-muji kecantikannya.

Empat tahun saja Muntari hidup sebagai puteri raja. Seorang perwira muda bernama Rangsang berjasa membasmi gerombolan pengacau di sebelah barat kota raja. Ramsang menerima anugerah dan di jodohkan dengan Dewi Muntari. Hal inipun merupakan hasil siasat para saingan Muntari yang melalui penasihat raja melaksanakan dendamnya kepada Muntari agar gadis ini menikah dengan Ramsang dan tidak lagi menjadi saingan dalam istana!

Dewi Muntari adalah seorang puteri yang setia dan taaat kepada Sribaginda Raja. Ia sama sekali tidak memperlihatkan sikap menentang ketika soal perjodohan disampaikan padanya. Ia percaya sepenuhnya kepada ayahnya dan ia yakin tentu selalu ayahnya menghendaki hal yang terbaik baginya. Dan kenyataannya memang demikianlah. Ternyata suaminya yang kini mendapat sebutan Raden Mas Rangsang itu adalah seorang pemuda yang baik hati, berwajah tampan dan gagah perkasa.

Pendeknya seorang satria sejati! Dengan mudah Muntari dapat jatuh cinta kepada suaminya dan mereka hidup berbahagia. Sang Prabu Jayabaya yang suka menyayang Muntari kerena puterinya ini sudah kehilangan ibu dan sejak kecil hidup sebagai bocah petani di pegunungan, menahan puterinya itu dan membolehkan menempati beberapa ruangan di dalam istana bersama suaminya.

Suami isteri yang saling mencintai itu setahun kemudian mendapatkan seorang anak perempuan yang mereka beri nama Niken Sasi. Penderitaan yang dirasakan Dewi Muntari karena kecantikannya, ternyata dirasakan pula oleh Niken Sasi yang sejak kecil sudah dapat merasakan hal ini. Anak yang mungil ini disayang oleh kakeknya, dan banyak pula yang menyayangnya, dan hal ini mendatangkan rasa iri dan dengki kepada mereka yang membenci Dewi Muntari. Inilah sebabnya Niken Sasi merasa tidak kerasan tinggal di dalam istana. Ia seringkali mendapat makian dan ejekan yang menghina dari para puteri lain.

Dewi Muntari memang merencanakan untuk pindah dan meninggalkan istana, akan tetapi rencana ini tidak pernah dapat terlaksana karena Sang Prabu Jayabaya menyayang keluarga ini dan menahannya. Suami isteri ini tentu saja tidak berani berterus terang kepada Sang Prabu Jayabaya tentang permusuhan yang mereka hadapi, karena pelaporan seperti ini akan mendatangkan kesan buruk kepada mereka sendiri.

Demikianlah, untuk menghibur hati mereka ketika Niken Sasi sudah berusia sepuluh tahun, Raden Mas Rangsang mohon ijin kepada Sang Prabu Jayabaya untuk berpesiar bersama anak isterinya. Dia diijinkan dan disuruh membawa pasukan pengawal. Akan tetapi, agar tidak menimbulkan iri kepada pangeran lainnya yang juga memandang rendah kepadanya, Raden Mas Ramsang hanya membawa duabelas orang perajurit pengawal.

Ketika pada pagi hari itu mereka tiba di penggunungan Anjasmoro, mereka menikmati keindahan gunung itu. Tiba-tiba bermunculan puluhan orang. Tidak kurang dari lima puluh orang mengepung mereka dan tanpa banyak cakap lagi mereka menyerang Raden Mas Ramsang. Tentu saja panglima muda ini mengamuk untuk mempertahankan diri dan membela anak isterinya. Juga selosin orang pengawalnya nampak menyambut serangan puluhan orang itu.

Mungkin karena terdesak oleh jumlah lawan yang jauh lebih banyak, dua belas perajurit inipun mundur dan akhirnya melarikan diri. Tinggal Raden Mas Rangsang yang masih mengamuk dengan kerisnya. Hebat memang sepak terjang panglima muda ini. Bagaikan seekor singa yang membela anak isterinya dia berloncatan dan berkelebatan dengan cepat dan tangkas. Tidak kurang dari sepuluh orang sudah roboh terkena tikaman kerisnya, hantaman tangan kirinya atau tendangan kakinya. Akan tetapi, betapapun kuatnya, dia hanya seorang diri. Bagaimana mungkin dapat melawan puluhan orang lawan yang kesemuanya jelas merupakan orang yang sudah biasa berkelahi? Raden Mas Ramsang yang telah mendapat beberapa luka di tubuhnya, meneriaki isterinya agar membawa lari Niken Sasi.

“Dajeng, larilah! Bawa anak kita berlari.........!” Dia berteriak, akan tetapi terpelanting ketika sebatang golok menyerempet pundak kirinya.

“Kakangmas.........!” Dewi Muntari menjerit melihat suaminya roboh. Ia mendorong punggung puterinya. “Niken larilah! Cepat!”

Didorong sampai terhuyung oleh ibunya dan mendengar ibunya berteriak agar ia melarikan diri, Niken Sasi yang biasanya taat kepada ibunya itu, kini menaatinya dan larilah anak ini tunggang langgang.

Sang ibu, bagaikan seekor singa betina, menerjang ke depan dengan sebatang keris kecil. Dengan kerisnya itu ia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok. Akan tetapi tusukan kerisnya yang kedua itu terselip di antara tualang iga lawan dan sukar dicabutnya kembali, dan pada saat itu, sebuah tangan yang besar menangkap pergelangan tangannya, memutar pergelangan tangan itu sehingga ia terpaksa melepaskan kerisnya. Pada saat itu, tubuhnya sudah ditelikung dan dipondong seorang pria tinggi besar yang tertawa bergelak sambil memerintahkan anak buahnya untuk membunuh Raden Mas Ramsang.

Biarpun luka-luka di tubuhnya sudah membuat dia mandi darah tenaganya hampir habis, akan tetapi melihat isterinya dipondong seorang penjahat, Raden Mas Ramsang mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau dan diapun melompat maju untuk menyerang Si tinggi besar yang memondong isterinya. Akan tetapi dia disambut oleh lima orang yang menggerakkan golok mereka. Kerisnya dapat merobohkan seorang lawan, akan tetapi dia sendiri roboh dengan dada dan leher robek-robek!

“Kakangmas..............!” Dewi Muntari terkulai lemas dalam pondongan penawannya, pingsan karena duka dan ngeri melihat kematian suaminya.

Gerombolan itu meninggalkan tempat itu sambil membawa teman-teman mereka yang terluka atau tewas, dan meninggalkan mayat Raden Mas Ramsang menggeletak di tempat yang kembali menjadi sunyi.

Yang memondong tubuh Dewi Muntari adalah pimpinan rombongan, seorang raksasa bermuka penuh bopeng yang tubuhnya kuat sekali. Mereka menuju ke balik bukit dan Dewi Muntari mulai siuman dari pingsannya. Ia menggeliat dan mendapatkan dirinya dalam pondongan lengan yang besar itu, ia terkejut dan segera teringat akan segala yang telah terjadi. Cepat ia mengepal tangannya dan menghantam ke arah leher orang yang memondongnya.

“Wuuuttt.......plakk.......!” Pukulan itu cukup kuat dan si raksasa bopeng terkejut bukan main, lehernya terasa nyeri dan terpaksa ia melepaskan wanita itu.

Dewi Muntari sudah meloncat ke atas tanah dan biarpun ia sudah tidak memegang senjata, ia bertekat melakukan perlawanan sampai mati. Ia berdiri tegak. Kedua tangan terkepal dan siap melakukan bela diri.

“Ha-ha-ha.Kakang Blendu, engkau kena sepak kuda betina itu?. Ha-ha-ha!” Yang menertawakan itu adalah seorang pria jangkung bermuka pucat, yang merupakan pembantu atau wakil dari Ki Blendu, pimpinan gerombolan itu.

“Hushh, jangan mengejek kau!” Bentak Ki Blendu dengan suara geram dan dia mengusap-usap leher yang terpukul tadi. Kulitnya kebal dan tebal seperti kulit badak, dan biarpun pukulan yang dilakukan Dewi Muntari tadi mengandung kekuatan dan hawa sakti, namun hanya mendatangkan rasa nyeri sedikit, sama sekali tidak melukainya.

Setelah mengusap lehernya, Ki Blendu melangkah maju menghadapi Dewi Muntari dan dia tertawa. Tawanya sampai mengakak menyeramkan dan Dewi Muntari bergidik. Orang ini seperti bukan manusia, pikirnya. Mukanya penuh bopeng yang besar-besar, seperti kulit salak, dan matanya begitu besar seperti mendelik terus, hidung dan mulutnya juga besar. Otot melingkar-lingkar di seluruh tubuh pria ini yang usianya tentu tidak kurang dari empat puluh tahun.

“Hua-ha-ha-ha, bojleng-bojleng iblis laknat! Setiap mawar yang harum tentu mengandung duri ! Akan tetapi tamparanmu tadi bagiku seperti dipijat, wong ayu ! Terasa hangat, nyaman dan enak! Mari mari manis, mari kupondong lagi. Tak lama lagi kita kan sampai di tempat tinggalku dan engkau akan menjadi isteriku yang tersayang, terkasih, ha-ha-ha-ha!”

“Keparat jahanam! Engkau kejam, engkau tidak berprikemanusiaan. Kalian mengeroyok dan membunuh suamiku Raden Mas Rangsang dan engkau hendak menagkap aku! Padahal di antara kita belum pernah saling mengenal atau ada urusan kenapa engkau bertindak begini kejam kepada kami?

“Ha-ha-ha, jangan salah mengerti, wong ayu. Aku, Ki Blendu, sama sekali tidak kejam, bahkan amat menyayang wanita cantik jelita seperti andinda. Kami hanya menjadi orang-orang suruhan manis. Bukan kami yang bermaksud memusuhi keluargamu. Semua ini adalah untuk memenuhi keinginan Gusti Pangeran Panjiluwih. Ha-ha-ha-ha !” Ki Blendu merasa aman membuka rahasianya itu karena Raden Mas Rangsang kini telah terbunuh dan isterinya kini sudah berada di tangannya.

Wajah Dewi Muntari menjadi pucat sekali dan kedua matanya terbelalak, tangan kirinya diangkat ke depan mulutnya yang ternganga saking terkejut dan herannya mendengar pengakuan raksasa itu. Pangeran Panjiluwih? Akan tetapi, pangeran itu adalah kakak sendiri lain ibu. Kakak tirinya. Pangeran Panjiluwih juga seorang putera Sang Prabu Jayabaya yang lahir dari seorang selir yang bersal dari Blambangan. Akan tetapi kenapa? Selama ini hubungan di antara mereka baik dan biasa-biasa saja, bahkan keluarga Pangeran Panjiluwih juga agaknya memandang rendah kepadanya sehingga diantara mereka tidak ada hubungan dekat. Dengan sendirinya tidak ada permusuhan di antara mereka. Mengapa kini pangeran itu menyuruh gerombolan untuk membunuh keluarganya? Terbayang di mata Dewi Muntari suaminya yang roboh mandi darah dan tewas, juga wajah puterinya yang melarikan diri entah ke mana.

“Jangan bohong kau!” ia membentak karena masih juga belum dapat percaya.

“Ha-ha-ha-ha, wanita cantik itu memang biasanya bodoh!” Ki Blendu tertawa lagi.

“Percaya atau tidak terserah wong ayu. Yang penting, kami sudah melaksanakan tugas dan menerima upahnya. Nah, sekarang ke sinilah, akan kupondong engkau agar kedua kakimu yang indah itu tidak menjadi kelelahan manis.”

Ki Blendu menubruk ke depan untuk merangkul Dewi Muntari. Akan tetapi sang puteri mengelak dan tangannya menampar ke arah muka raksasa itu.

“Ha-ha-ha!” Ki Blendu menangkis dan langsung menangkap lengan itu.

Dewi Muntari hanya belajar ilmu kanuragan dari suaminya setelah ia menikah maka tentu saja ilmunya tidak dapat dibandingkan dengan tenaga Ki Blendu yang besar. Ia sudah diringkus lagi dan meronta-ronta dalam pondongan dua lengan besar itu, ditertawakan oleh Ki Blendu dan anak buahnya.

Tiba-tiba terdengar suara yang aneh dan menyeramkan. Suara tawa itu pendek-pendek, bukan seperti suara tawa melainkan seperti suara leher tercekik.

"Kek-kek-kek-kekkk! Kerbau gendut tolol, Lepaskan ia!"

Ki Blendu tiba-tiba merasa kedua lengannya seperti lumpuh sehingga dia terpaksa melepaskan pondongannya dan Dewi Muntari cepat melompat ke dekat seorang kakek yang tiba-tiba saja muncul dan berada di situ. Melihat kakek ini, Dewi Muntari merasa ngeri juga. Muka kakek itu seperti muka tengkorak dibungkus kulit saja, demikian kurus. Apalagi sepasang matanya yang cekung ke dalam itu mengeluarkan sinar berapi-api. Usianya tentu sudah tua sekali, sedikitnya sembilan puluh tahun , pakaiannya juga hanya kain dilibat-libatkan tubuhnya yang kurus kering. Kain itu sudah kuamal dan kotor sehingga keadaan kakek ini menjijikkan, seperti seorang gembel tua berpenyakitan. Akan tetapi,tentu saja ia memilih dekat dengan kakek ini daripada dengan Ki Blendu dan anak buahnya, maka iapun lalu berdiri di belakang kakek itu untuk berlindung.

"Kek-kek-kekkk.........laki-laki macam kalian ini tidak berharga untuk mendekati seorang dewi kahyangan, kek-kek-kekkk!" kakek itu menudingkan telunjuknya yang tinggal tulang terbungkus kulit dan kini Dewi Muntari melihat persamaan antara kakek ini dengan seorang tokoh pewayangan, yaitu seorang tokoh yang amat sakti, cerdik licik dan curang, yaitu bernama Begawan atau Danyang Durna! Tubuh yang kurus bongkok itu, muka yang seperti tengkorak, sungguh amat menyeramkan, akan tetapi karena kakek itu agaknya hendak melindunginya, maka Dewi Muntari memberanikan diri mendekat.

"Babo-babo, kakek tuwek elek!" Bentak Ki Blendu marah sekali. "Siapa andika tua bangka mau mampus berani mencampuri urusanku dengan isteriku sendiri! Dia isteriku, jangan mencampuri urusan rumah tangga orang!"

"Tidak, eyang..........saya bukan isterinya. Dia penjahat besar, dia bahkan telah membunuh suamiku!" kata Dewi Muntari.

"Kek-kek-kekk......!. Tentu saja kerbau gendut ini berbohong. Ah, nini dewi, siapakah namamu?”

"Nama saya Dewi Muntari, eyang. Harap suka menyelamatkan saya dari tangan para penjahat keji ini."

"Kek-kek-kekk.........benar dugaanku. Engkau seorang dewi. Heh, kerbau-kerbau busuk, hari ini kalian bertemu Kolokrendo, sama saja dengan bertemu Yamadipati, kalian akan mampus semua, kek-kek-kekkk!"

Ki Blendu menjadi marah sekali. Dia menggerakkan tangannya, memberi isyarat kepada anak buahnya untuk menyerbu.

“Bunuh kakek tua bangka gila ini, biarkan aku menangkap kembali calon isteriku!”

Puluhan orang itu berbesar hati. Kalau cuma membunuh seorang tua bangka kerempeng seperti itu mudah saja. Sekali bacokpun beres. Tiga orang yang berada paling depan sudah mengayun golok mereka ke arah tubuh kakek itu. Kakek itu agaknya sama sekali tidak mengelak dan Dewi Muntari sudah merasa ngeri . Tulang-tulang kakek itu tentu akan berantakan diserang tiga batang golok yang bergerak cepat dan amat kuat itu.

“Krak-krak-kark......!”

Tiga batang golok itu bertemu tulang tangan terbungkus kulit dan patah-patah! Dan tiga orang itu terbelalak, lalu memekik mengerikan ketika jari-jari tangan yang panjang melengkung itu berturut-turut menancap di batok kepala mereka dan mereka pun terjengkang roboh dengan kepala berlubang-lubang, mengucurkan darah bercampur otak!

Dewi Muntari sampai hampir muntah meliahat ini, akan tetapi para penjahat itu menjadi marah sekali. Merekapun seperti sekumpulan semut maju mengeroyok dengan golok mereka. Bahkan Ki Blendu juga merasa penasaran, lalu sekali meloncat dia sudah berada di belakang kakek yang mengaku bernama Kolokrendo itu. Goloknya menyambar ke arah kepala kakek itu.

“Wuuuuuttt......plakkk!”

Kepala itu tepat dihantam golok dalam tangan Ki Blendu, akan tetapi bukan kepala itu yang pecah, melainkan Ki Blendu yang terhuyung ke belakang. Dia merasa seperti sedang membacok baja yang amat kuat. Dan selagi dia terhuyung, kakek itu membalikkan tubuhnya, tangan kirinya mencuat ke depan dan terdengar Ki Blendu menjerit mengerikan. Tangan kiri kakek itu ternyata sudah mencengkeram dada Ki Blendu dan jari-jari tangan yang kurus itu telah menancap dan masuk ke dalam dada yang bidang itu! Tangan itu mencengkeram ke dalam dan ketika ditarik keluar...... jari-jari tangan yang berlepotan darah itu telah menggenggam sepotong jantung yang masih menggelempar hidup !

“Keke-kek-kekkk........jamu obat kuat, obat muda, kek-kek-kekk!”

Kemudian Dewi Muntari menyaksikan penglihatan yang sedemikian mengerikan sehingga ia menutupi muka dengan kedua tangannya. Kakek kurus itu ternyata makan jantung yang segar itu dengan lahapnya, dan kaki tangannya terus bergerak ke sana sini dan terdengar pekik-pekik kesakitan dari mereka yang nyawanya direnggut maut. Setiap tendangan atau setiap tamparan itu mematikan. Dalam waktu singkat saja duapuluh orang lebih telah tewas! Tentu saja kini yang lain menjadi ngeri dan ketakutan. Mereka hendak melarikan diri, akan tetapi kini kakek itu seperti dapat terbang ke sana sini, menyambar-nyambar dan sisa gerombolan itu roboh malang melintang dengan kepala pecah! Akhirnya, tidak seorangpun di antara mereka dapat lolos dari maut di tangan Kolokrendo! Bahkan mereka yang tadinya terluka oleh pengamukan Raden Mas Rangsang dan sedang dibawa oleh kawan-kawan mereka kini tidak terbebas dari pada maut yang lebih mengerikan lagi.

“Keke-kek-kek-kekkkk, .......!” Kakek itu tertawa-tawa aneh dan menggunakan pakaian para korbannya untuk mengusap mulut dan kedua tangannya. Kemudian baru dia menghampiri Dewi Muntari. Wanita ini memang tadinya girang mendapat pertolongan kakek itu, akan tetapi ketika menyaksikian sepak terjang kakek itu, ia merasa ngeri dan ketakutan. Ia berhadapan dengan makhluk yang tidak seperti manusia lagi. Seorang iblis haus darah! Maka, ketika Kolorendo maju menghampirinya, Dewi Muntari mundur-mundur dengan ketakutan.

“Kek-kek-kekkkk, mereka semua telah mampus, Dewi.”

Dewi Muntari merangkap kedua tangan memberi hormat. “Terima kasih atas pertolongan eyang. Sekarang saya harus pergi dari sini!”

Bergegas diangkatnya ujung kainnya agar ia dapat berjalan lebih cepat meninggalkan tempat itu, tanpa menoleh lagi. Hatinya sudah merasa tenang karena tidak terdengar suara apapun. Kakek itu agaknya tidak mengejarnya. Akan tetapi ketika ia tiba di sebuah tikungan, tiba-tiba saja ia terperanjat melihat kakek itu suadh berada di depan sana, berdiri membungkuk sambil mengeluarkan bunyi tawa seperti leher tercekik.

Dengan jantung berdebar tidak karuan, badan panas dingin Dewi Muntari memutar tubuhnya dan berlari pergi kelain jurusan. Ia mengerahkan tenaga berlari secepat mungkin dan kini ia hampir yakin bahwa kakek itu tidak mengejarnya. Hampir putus napasnya dipakai berlari cepat itu. Akan tetapi, tiba-tiba kedua kakinya tertahan dan ia tidak mampu bergerak saking takutnya. Terdengar suara itu.

“Kek-kek-kekkekkk.......!” akantetapi orangnya tidak nampak.

Selagi memandang ke kanan kiri, tiba-tiba terdengar suara dari atas.

“Dewiku, engkau tidak akan dapat pergi begitu saja. Engkau harus ikut denganku!”

Muntari memandang ke atas dan ternyata kakek itu sudah duduk ongkang-ongkang di atas sebatang dahan pohon.

“Eyang...... ahh, biarkan saya pergi, eyang. Saya memohon..... biarkan saya pergi ......” katanya dengan suara lirih saking takutnya.

“Kek-kek-kekkk........! Enak saja. Andika harus menemani aku, mengusir kesepian hidupku, kek-kek-kekkkk!”

Kini tubuh kakek itu melayang turun dari atas dahan pohon. Dewi Muntari hendak lari, akan tetapi begitu tangan kakek itu menyambar dan menyentuh pundaknya, ia tidak lagi dapat bergerak dan berdiri saja seolah tubuhnya sudah berubah menjadi patung!

“Kek-kek-kekkk......., andika cantik, Dewiku!”

Jari-jari yang kurus dan keras itu membelai dagu dan Dewi Muntari masih dapat merasa betapa jari-jari tangan itu dingin seperti batang pohon pisang. Mengerikan sekali! Dan lebih mengerikan lagi, ketika ia berusaha untuk menghindarkan diri dari tangan itu, ia tidak mampu menggerakkan kepalanya! Seolah ada daya yang amat kuat yang membuat kepalanya menempel pada jari-jari tangan itu.

Pada saat tangan yang berjari kurus kering itu hendak merayap lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara yang lebih menyeramkan lagi. Kalau suara tawa kakek itu seperti leher dicekik, suara tawa ini mengiki seperti suara siluman dari balik kubur.

“Hih-hihhih-hih!”

Aneh sekali, kakek tengkorak hidup yang sakti mandraguna itu, begitu mendengar suara tawa ini, kelihatan terkejut sekali dan dijauhkannya tangannya dari tubuh Dewi Muntari, bahkan dia melangkah mundur. Matanya memandang ke arah satu tempat.

Dewi Muntari memutar tubuhnya memandang dan iapun terkejut bukan main, merasa seolah ia tidak berada di dunia tempat tinggal manusia, melainkan di ambang neraka tempat tinggal jin setan iblis. Di depannya berdiri seorang nenek yang walaupun tidak lebih buruk dari pada Ki Kolokrendo, namun tidak kalah aneh dan mengerikan. Usia nenek itu sekitar delapan puluh tahun, tubuhnya pendek gendut. Wajahnya biasa-biasa saja, akan tetapi yang aneh dan menjadi mengerikan adalah betapa wajah ini tertutup bedak putih yang tebal, ditempat alis yang sudah tidak berbulu itu dicoreti penghitam alis yang panjang melengkung, dan pada pipi dan bibirnya diberi pemerah bibir yang menyolok sekali. Pakaiannya hanya merupakan kain yang dilibat-libatkan tubuh, akan tetapi kain itu terbuat dari pada sutera halus dan mahal! Dan gerak geriknya! Minta ampun! Lebih genit daripada seorang dara remaja!

Akan tetapi saat itu agaknya nenek ini sedang marah sekali. Mulutnya menyeringai, tersenyum tidak cemberut pun tidak, hanya menyeringai seperti memamerkan giginya yang masih lengkap sehingga nampaknya semakin aneh.Mukanya yang ditutupi bedak putih seperti topeng itu tidak menuenjukkan perasaan apapun, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong yang ditujukan kepada kakek itu, tanda bahwa ia sedang marah.

“Keparat busuk kau Kolokrendo! Batas terakhir kau langgar, berarti engkau harus siap menerima kematianmu sebagai hukuman!”

Aneh sekali. Kakek yang demikian sakti mandraguna, yang membunuhi puluhan orang muda perkasa dengan amat mudahnya, kini menjadi pucat dan tubuhnya menggigil menghadapi wanita pendek gembrot itu. Dan demikian besar rasa takutnya sehingga diapun menjatuhkan diri berlutut sambil menangis! Dan tangisnya juga bersuara seperti leher dicekik,

“Kek-kek-kek-kekkk......! Ampunkan aku sekali ini, Ni Durgogini. Ampunkan aku.....aku belum ingin mati.........”

“Hih-hi-hi-hik! Beberapa kali sudah engkau minta ampun seperti ini? Lupakah engkau yang terakhir kali ketika engkau menagkap dua orang gadis dusun itu? Aku masih mengampunimu dan mengatakan itu yang terakhir kalinya dan kalau engkau melanggar aku akan membunuhmu! Dan apa yang kau lakukan sekarang? Tetap saja engkau menyakitkan hatiku, tergila-gila seorang wanita muda yang cantik. Akan tetapi mengingat bahwa sudah banyak berjasa di waktu dahulu, aku memberi kesempatan kepadamu. Kalau engkau mampu menahan seranganku selama lima puluh jurus, engkau boleh bebas dan boleh pergi dari sini!”

“Ahh, Ni Durgogini. Mana berani aku melawanmu? Ampunkan aku, aku sudah bertaubat, sungguh mati.......”

“Sumpahmu tidak ada harganya secuil pun! Sejak dahulu engkau kuperlakukan dengan baik, kuberi pelajaran segala macam ilmu, bahkan kuberikan tubuhku kepadamu. Akan tetapi berulang kali engkau menyakiti hatiku. Sudahlah, bersiaplah untuk menghadapi seranganku selama limapuluh jurus, atau aku akan bunuh engkau seketika juga walaupun engkau tidak akan melawanku! ”

Nenek itu berbicara dengan amat cepat dan cerewet sekali. Suaranya melengking-lengking. Akan tetapi, ada sesuatu pada nama itu. Terdengar tidak asing baginya, atau setidaknya, ia pernah mendengar nama itu disebut-sebut oleh ayahnya, Sang Prabu Jayabaya. Ah, sekarang teringatlah ia. Terjadinya belasan tahun yang lalu. Ia berusia enambelas tahun ketika itu, dan belum lama datang dari gunung diantar kakeknya menghadap Sang Prabu Jayabaya dan diteriam sebagai seorang puterinya. Pada suatu pagi ia mendengar para pengawal dan para puteri bicara bahwa Sang Prabu Jayabaya semalam menerima seorang tamu yang aneh. Tamu itu seorang nenek yang tua dan penuh rahasia, kabarnya tahu-tahu berada di istana, tanpa ada yang mengetahui kapan masuknya!

Tentu saja menimbulkan geger, akan tetapi Sang Prabu Jayabaya muncul dan melarang para pengawal untuk mengganggu nenek yang katanya hendak menghadap itu. Bahkan nenek itu diterima oleh Sang Prabu Jayabaya di ruangan dalam dan bercakap-cakap berdua saja. Dan nenek itupun tahu-tahu telah pergi, tanpa ada orang lain mengetahui kepergiannya. Hal yang aneh ini mengganggu pikirannya dan sebagai puteri baru yang lebih berani karena belum mengenal adat istiadat di istana. Dewi Muntari lalu bertanya kepada ayahnya tentang tamu yang penuh rahasia itu.

Dan ketika itulah ayahnya menyebut nama Ni Durgogini! Menurut ayahnya, Ni Durgogini adalah seorang tokoh besar di dunia orang-orang sakti dan menghadapnya untuk menghaturkan sebatang keris pusaka. Menurut penuturan para penghuni istana, ayahnya adalah seorang raja yang sakti mandraguna dan bijaksana, sehingga banyak orang sakti di dunia ini tunduk kepadanya dan menyerah tanpa dipergunakan kekerasan.

Kini Dewi Muntari menonton dengan hati penuh ketegangan. Biarpun kakek yang bernama Ki Kolokrendo itu ketakutan, akan tetapi ketika dia diserang, diapun cepat melompat, menghindar dan membalas serangan nenek itu.

Dewi Muntari adalah seorang yang pernah mempelajari ilmu kanuragan dari mendiang suaminya. Karena itu ia tidak merasa asing dengan gerakan silat. Akan tetapi sekali ini ia hanya bengong, sama sekali tidak mampu mengikuti gerakan dua orang yang sedang bertanding itu. Hebat sekali pertandingan itu. Kalau tadi Ki Kolokrendo membunuhi puluhan orang dengan enak dan mudah seperti orang membubuti rumput saja, sekali ini dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk membela diri dari serangan wanita yang selama ini menjadi isterinya, juga gurunya!

Mereka berdua menggunakan tenaga sakti sehingga di sekitar tempat itu dilanda angin yang mengamuk seperti badai, seolah-oleh dalam hutan itu terdapat banyak raksasa atau iblis yang mengamuk. Dan sambil berkelahi mati-matian, mereka berdua tetap mengeluarkan suara mereka yang khas.

“Kek-kek-kek-kekkkk..........! ”

“Hihi-hi-hi-hi-hik.........! ”

Dewi Muntari bersembunyi di balik sebatang pohon besar. Angin pukulan kedua orang itu terasa sekali olehnya, kadang ada hawa panas seperti api menyergapnya dan terkadang ada hawa dingin seperti ampak-ampak. Dengan bersembunyi di belakang pohon besar ia merasa aman terlindung. Ia mengintai dan kedua orang itu telah lenyap bentuk tubuh mereka, yang nampak hanyalah bayangan dua orang saling kejar dan saling serang dengan dahsyatnya.

Ia tidak tahu berapa jurus lamanya mereka bertanding. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berhi-hi itu semakin nyaring dan suara berkek-kek makin lemah dan akhirnya ia mendengar bentakan.

“Mampuslah laki-laki tidak setia! ”

Dewi Muntari melihat tubuh kakek itu melayang ke atas dan menabrak cabang dan daun pohon, lalu jatuh seperti sepotong batu ke atas tanah, tak jauh dari tempat ia berdiri. Ia dapat melihat betapa kakek itu sama sekali tidak terluka, akan tetapi dari matanya, telinganya, hidung dan mulutnya bercucuran darah segar dan mata kakek itupun terpentang lebar. Dia sudah tewas!

Kini nenek itu berdiri memandang tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu, kemudian terdengar dari mulutnya suara yang seperti tawa dan juga seperti tangis itu,

“Hi-hi-hihi-hi-hi.........! Ki Kolokrendo, kenapa engkau mati meninggalkan aku? Lalu bagaimana hidupku, siapa yanga akan menemaniku........? Hi-hi-hi-hi-hi............! ”

Kini Dewi Muntari dapat menduga bahwa suara itu tetulah merupakan tangis dan ia merasa kasihan. Alangkah anehnya. Tadi mengamuk dan membunuh kakek itu, dan sekarang setelah mati ditangisi! Ia lalu melangkah keluar dari balik pohon besar dan gerakan ini dilihat oleh Ni Durgogini. Ia segera menghampiri Dewi Muntari dengan langkah lebar dan berhenti di depannya sambil memandang tajam penuh ancaman.



Bersambung........
 
Pertamax lagi..:haha:

mantap brada lgsung d ksh ktrangan aja tuh "kulup" hehehe :p

ayo semangat gan, ane pantengin trus nih ko ping ko..maklum blum pernah baca. :semangat:
 
Bagian - 6


“Hemm, engkau! Ya, engkaulah yang membuat suamiku mati! Engkau harus menebusnya dengan nyawamu!”

Akan tetapi dalam saat yang amat gawat bagi keselamatan nyawanya itu timbul keberanian dalam hati Dewi Muntari. Tidak percuma ia menjadi puteri Sang Prabu Jayabaya. Dalam tubuhnya mengalir darah satria linuwih. Dengan berdiri tegak ia menentang pandang mata yang mencorong itu, lalu ia berkata dengan suara tegas penuh ketenangan.

“Ni Durgogini, kalau engkau hendak membunuhku, tentu mudah kau lakukan. Akan tetapi, aku tidak takut karena kanjeng romo tentu tidak akan mengampunimu kalau engkau menggangu seujung rambutku saja.”

“Hi-hi-hi-hik! Babo-babo keparat! Siapa takut kepada kanjeng romomu? Siapa dia? Akan kubuh sekalian! ”

“Datanglah ke kota raja Daha kalau engkau berani. Ayah kandungku adalah kanjeng romo Prabu Jayabaya! ”

Sepasang mata yang tadinya mencorong itu terbelalak kepada Dewi Muntari penuh selidik.

“Ni Durgogini, aku mengetahui ketika belasan tahun yang lalu andika menghadap Kanjeng Romo untuk menyerahkan sebatang keris pusaka! ”

Kini keraguan nenek aneh itu menghilang dan sikapnya berubah lunak.

“Tobiltobil.....! Jadi andika ini puteri Sang Prabu Jayabaya? Si keparat Kolokrendo, pantas mati seratus kali, berani mengganggu puteri Sang Prabu Jayabaya. Akan tetapi, kenapa andika dapat berada seorang diri di tempat sunyi ini, gusti puteri? ”

“Ah, malapetaka telah menimpa keluarga kami, bibi.” kata Dewi Muntari dan teringat akan suami dan puteri, tak tertahankan lagi ia menangis.

Kini sikap Ni Durgogini sama sekali berubah. Dengan gerakan halus ia menghampiri dan mengelus rambut kepala Dewi Muntari.

“Hemm, tenanglah, gusti puteri. Apa yang telah terjadi? Ceritakanlah kepada Nini Durgogini dan akulah yang akan membasmi anjing dan tikus yang berani menggangumu.”

Dewi Muntari menahan tangisnya. Lalu ia menceritakan semua peristiwa yang menimpa dirinya, betapa suaminya tewas ketika gerombolan penjahat menyerang mereka. Pasukan pengawal lari kocar-kacir, suaminya tewas dan puterinya mudah-mudahan dapat meloloskan diri.

“Aku sempat memberi perlawanan akan tetapi akhirnya tertangkap. Kemudian mucul .....dia itu....” Ia menuding ke arah jenazah Ki Kolokrendo. “Dia membunuh semua gerombolan penjahat yang hendak memaksanya menjadi teman hidupnya. Aku lari sampai ke sini dan andika muncul menyelamatkan aku, bibi.”

“Hemm, kalau begitu para penjahat itu sudah tewas semua. Dendammu sudah terbayar lunas. Juga Ki Kolokrendo sudah mampus. Apa yang hendak kau lakukan sekarang, gusti puteri? ”

“Bibi, pertama-tama kuharap andika tidak menyebut gusti puteri kepadaku. Kalau boleh, aku akan ikut denganmu, mempelajari ilmu kanuragan dan aji kesaktian. Aku ingin menjadi muridmu, bibi.”

“Ehh? ? Hi-hi-hi-hi! Mana aku berani? Sang Prabu Jayabaya akan marah kepadaku kalau aku berani lancang mengambil murid puterinya. Sebaiknya paduka kuantarkan kembali ke istana gusti.”

“Bibi Durgogini, namaku Dewi Muntari. Aku sudah mengambil keputusan untuk tidak kembali ke istana. Banyak orang membenciku di sana, dan akupun curiga atas peristiwa yang menimpa keluargaku. Patut dicurigai bahwa yang mengatur semua ini berada di kota raja! ”

“Hi-hi-hi-hi-hik, begitukah? Biar aku yang menyelidikinya dan membekuk pelakunya! ”

“Tidak usah, bibi. Aku sendiri yang akan melakukan, akan tetapi tentu saja kalau bibi mau menerimaku sebagai murid. Kalau kanjeng romo kelak menegur, biarlah aku yang akan menghadapi dan siap meneriam hukuman! ”

Akhirnya Ni Durgogini tak dapat menolak lagi.

“Baiklah, Dewi! Mulai sekarang namamu Dewi saja dan engkau akan kugembleng aji kesaktian. Muridku hanyalah Ki Kolokrendo seorang. Setelah dia kini mampus, engkaulah yamh menjadi penggantinya.” Ia menggandeng tangan Dewi Muntari. “Mari kita pergi! ”

Wanita yang mulai sekarang menggunakan nama Dewi, memandang kearah jenazah kakek itu dan berkata, “Akan tetapi, Bibi. Bagaimana dengan jenazah itu? Apakah tidak perlu disempurnkan dulu? ”

“Hi-hi-hi-hik, dia sudah mati, mau diapakan lagi? Dia hanyalah sebatang mayat, bukan lagi Kolokrendo. Hayo pergi! ” Sekali tubuhnya bergerak, ia sudah meloncat dan Dewi merasa betapa tubuhnya terayun seperti dibawa terbang! Ia pasrah. Ia sudah mengambil keputusan bulat.Ia akan mempelajari aji-aji kesaktian dan kelak ia sendiri yang akan melakukan penyelidikan dan membalas dendam kepada mereka yang mengatur jatuhnya malapetaka yang menimpa keluarganya. Tentang nasib puterinya, ia serahkan saja kepada Hyang Widhi. Tekatnya sudah bulat. Kembali ke istana ia sudah tidak mau. Hidup berdua dengan puterinya saja juga berbahaya karena ia tidak mempunyai kekuatan untuk melindungi mereka berdua.

Sang waktu melesat dengan cepatnya, melewati segala apa yang terdapat dan terjadi di alam mayapada ini. Tidak ada yang dapat mengalahkan Sang Waktu. Bagaikan Bathara Kalla Sang Waktu mencaplok dan melahap semua yang ada. Yang tadinya tidak ada menjadi ada, yang muda menjadi tua, yang tua menjadi mati dan demikianlah semua itu terus menerus mengalir melalui Sang Waktu. Kita sudah biasa menjadi permainan waktu, dengan masa lalu yang mengalir pada masa kini untuk menuju masa depan. Kita hidup di dalam waktu, semua tergantung kepada waktu.

Sebenarnya, apakah waktu itu? Masa lalu kini dan masa depan, benarkah ada hubungannya? Tentu saja berhubungan kalau hidup ini menjadi ajang dari kenangan dan pikiran. Pikiran adalah aku, maka selalu hendak mempertahankan keadaan dirinya. Dan tanpa waktu, keberadaan dirinya akan terancam musnah. Siapa aku ini tanpa masa lalu, masa kini dan masa depan?

Justeru hidup lepas dari pada permainan waktu adalah hidup yang sejati. Hidup dari saat ke saat, tidak terpengaruh oleh masa lalu atau masa depan.Tidak ada dendam, tidak ada budi dihutang, yang ada hanyalah saat ini dan segala yang terjadi adalah wajar. Segala yang terjadi adalah kenyataan yang tak dapt dipungkiri lagi, lepas dari segala bentuk dendam maupun pamrih. Kalau begitu, maka kekuasaan Tuhan akan bekerja. Kekuasaan Tuhan mengatur segalanya, melalui segala macam kekuatan yang ada di permukaan bumi ini. Juga melalui tenaga yang ada pada diri manusia. Semua itu menjadi alat Tuhan dan semua akan berjalan sesuai dengan alur dan jalurnya.

Kalau orang memperhatikan jalannya waktu, maka akan ternyatalah bahwa waktu berjalan amatlah lambatnya, seperti siput. Kalau diperhatikan, sejam rasanya sehari, sehari rasanya sebulan, dan sebulan rasanya setahun. Akan tetapi kalau diperhatikan, waktu melesat lewat seperti anak panah dilepas sebuah gendawa sakti. Bertahun-tahun lewat seperti beberapa hari saja!

Sepuluh tahun telah lewat sejak Budhidharma hidup sebagai murid Sang Bhagawan Tejolelono di lereng Gunung Kawi.Bocah yang dulu berusia sepuluh tahun itu kini menjadi seorang pemuda berusia duapuluh tahun! Seorang pemuda dewasa yang bertubuh tegap dan kuat, dengan dada yang bidang dan kalau berdiri tegak dan kokoh seperti batukarang, kalau berjalan langkahnya gontai namun tegap seperti langkah seekor harimau. Gerak geriknya lembut dan tutur sapanya halus. Dari sikapnya saja tentu orang dapat menduga bahwa dia bukanlah pemuda dusun biasa, lebih mirip seorang pemuda bangsawan dari kota raja yang menyamar sebagai seorang pemuda dusun. Juga sikapnya yang rendah hati dan sama sekali tidak congkak ini sama sekali tidak membayangkan bahwa pemuda ini adalah seorang pemuda yang digdaya dan sakti mandraguna!

Dia lembut namun bukan berarti pendiam. Tidak, Budhidharma pandai bicara dan pembawaannya lincah gembira sehingga semua orang di sekitar lereng Gunung Kawi, Yaitu rakyat yang tinggal di dusun-dusun sekitarnya mengenalnya dengan baik dan pergaulan mereka cukup akrab. Terutama sekali para perawan dusun, hampir semua tertarik dan tergila-gila kepada pemuda ini.

Budhidharma memang seorang pemuda rupawan. Wajahnya tampan gagah, kulitnya kuning bersih. Rambut di kepalanya hitam panjang dan berombak. Sepasang alisnya berbentuk seperti golok, hitam tebal membayangkan kejantanan. Sepasang matanya begitu lembut akan tetapi kadang dapat mencorong seperti mata naga atau mata harimau di dalam gelap. Hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk manis, dagunya yang runcing itu agak berlekuk membuat wajah itu nampak jantan.

Kalau dibuat perbandingan dalam tokoh pewayangan, Budhidharma bukan seorang satria tampan halus seperti seorang bambang misalnya Sang Arjuna atau Sang Lesmana, akan tetapi dia seorang satria yang lembut gagah ganteng seperti Sang Gatutkaca. Dalam hal kesaktian pemuda ini sudah digembleng siang malam selama sepuluh tahun oleh Bhagawan Tejolelono di lereng Gunung Kawi. Sebelum pindah ke Gunung Kawi, Bhagawan Tejolelono tinggal di Gunung Kelud dan disana terkenal dengan julukan Sang Mbaurekso Gunung Kelud. Setelah belasan tahun yang lalau orang-orang sakti berdatangan ke Kelud untuk meperebutkan kedudukan sebagai datuk atau yang berkuasa atas Panca Giri { Lima Gunung} yaitu Semeru, Bromo, Kelud, Arjuna Anjasmoro, dia tidak mau terlibat dalam perebutan nama atau kekuasaan itu dan pergi pindah ke Gunung Kawi.

Dia memilih sebuah lereng yang sunyi dan indah pemandangannya, lalu bertapa di tempat itu. Bhagawan Tejolelono yang sudah beberapa tahun tinggal di lereng Kawi, jarang meninggalkan tempat itu, ketika dia meninggalkan pertapaannya, menurutkan getarnya hati, lalu menyelamatkan Budhidharma, dia menganggap bahwa sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa bahwa dia harus menjadi guru pemuda itu. Dia ternyata pilihannya yang tidak keliru. Budhidharma membuktikan dirinya menjadi murid yang berbakat dan rajin sekali, akan tetapi bahkan juga menjadi seorang cantrik yang berbakti dan sayang kepadanya. Anak itu bekerja rajin, mencukupi semua kebutuhan hidup sang bhrgawan.

Dari Bhagawan Tejolelono, Budhidharma menerima gemblengan lahir batin sehingga bukan saja tubuhnya amat kuat dan kebal, dan dia mengenal berbagai kesaktian yang menjadikan dia seorang lawan yang sukar dikalahkan, juga dia dituntun dalam hal pengertian hidup sehingga batinnya terbuka dan dia memiliki watak yang baik, pengertian yang mendalam dan waspada.

Pada suatu pagi, tidak seperti biasanya, pagi sekali Sang Bhagawan Tejolelono telah duduk bersila di ruangan depan pondoknya lalu berseru halus memanggil muridnya yang sedang sibuk mempersiapkan sarapan dan minuman untuk gurunya.

Dari dapur, Budhidharma menjawab panggilan gurunya dan karena sarapan memang sudah siap, dia lalu membawanya ke ruangan depan di mana gurunya sudah duduk bersila. Budhidarma menghidangkan sarapan itu di atas tikar. Pisang tanduk rebus, air teh kental dengan gula kelapa.

“Silakan sarapan dulu, Eyang Bhagawan.” katanya dengan lembut.

Gurunya tersenyum. Anak ini selalu demikian penuh perhatian kepadanya. Bahkan pakaiannyapun diurus oleh Budhidharma.

“Wah, pisang rebus? Hemm, seperti pisang tanduk, ya? ”

“Benar, Eyang. Pemberian dari paman Suto........”

“Mari, kautemani aku sarapan, Budhi.”

“Baik, Eyang. Eyang tadi memanggil saya? ”

“Ya, ada sesuatu yang penting hendak kusampaikan kepadamu, angger. Akan tetapi mari kita sarapan dulu, setelah itu baru kita bicara.”

Kakek dan pemuda itu lalu sarapan pisang. Hanya pisang rebus, akan tetapi pisang tanduk yang sudah tua merupakan makanan yang lezat sekali. Juga minuman air teh kental dengan gula kelapa juga nikmat sekali diminum di waktu pagi yang dingin.

Setelah kenyang sarapan, Bhagawan Tejolelono membiarkan muridnya menyingkirkan sisa makanan dan membersihkan tikar, barulah dia menceritakan apa yang hendak dibicarakan tadi.

“Begini, angger. Tahukah andika, sudah berapa lama andika tinggal dan belajar ilmu di sini? ”

“Kalau tidak salah, sudah kurang lebih sepuluh tahun, eyang.”

“Benar, dahulu usiamu sepuluh tahun dan sekarang engkau telah menjadi seorang pemuda perkasa berusia dupuluh tahun.”

“Semua ini berkat bimbingan Eyang yang bijaksana dan saya tidak akan menyia-nyiakan semua yang telah Eyang ajarkan kepada saya.”

“Bagus, semoga begitu adanya. Ketahuilah bahwa semua ilmu yang kumiliki telah kuajarkan kepadamu, angger. Sekarang sudah tidak ada apa-apa lagi yang dapat kuajarkan.”

Budhidharma menatap wajah kakek itu. Dia sudah dapat menduga apa yang dimaksudkan gurunya.

“Akan tetapi, Eyang. Saya masih mempunyai kewajiban yang amat penting, yaitu menemani dan menjaga Eyang sebagai Darmabakti seorang murid kepada gurunya tercinta.”

“Darmabaktimu sudah cukup untukku, kulup. Darmabaktimu untuk Sang Hyang Tunggal, untuk rakyat dan kemanusiaanlah yang perlu kau lakukan. Oleh karena itu, mulai hari ini engkau harus mengambil jalan hidupmu sendiri kita harus berpisah.”

“Ampun Eyang. Akan tetapi, tidak dapatkah saya mengikuti Eyang dan melayani eyang yang sudah tua? Siapa yang akan mengurus keperluan hidup Eyang sehari-hari......”

“Ha-ha-ha-, aku menjadi seorang yang malas dan manja, Budhi. Aku masih dapat mengurus diriku sendiri dan aku akan pergi merantau, maka tidak mungkin kita pergi bersama. Dan aku mempunyai tugas bagimu yang kuharap dapat kaulaksanakan dengan baik karena inipun merupakan tugasmu untuk menentramkan jagat.”

Budhidharma menjadi girang sekali. Dia menyembah dan berkata, “Hamba akan melaksanakan perintah Eyang sebaik-baiknya. Tugas apakah yang harus hamba kerjakan, Eyang? ”

“Kisahnya dimulai kurang lebih seratus tahun yang lalu. Seabad yang lalu, ketika Sang Prabu Airlangga sudah merasa sepuh, beliau turun tahta dan hidup sebagai seorang pendeta dan terkenal karena kebijaksanaannya, Sang Mahaprabu Airlangga memakai nama julukan Resi Gentayu. Setelah beliau mengundurkan diri, banyak pusaka keraton yang diboyong ke pertapaan. Dalam keadaan perpindahan pusaka itu, terjadi geger karena hilangnya sebuah pusaka keris yang disebut Sang Tilam Upih! Pusaka ini merupakan keris pusaka yang ampuhnya menggiriskan dan mengandung hawa yang jahat sekali. Kabarnya, jangankan sampai melukai kulit orang baru diacungkan saja, hawa dan pengaruh yang berdaya kuat dari keris pusaka itu dapat membuat tubuh lawan menjadi melepuh seperti disiram air mendidih atau seperti disambar petir.”

“Wah bukan main ampuhnya keris pusaka itu, Eyang! ” seru Budhi dengan kagum. “buatan atau ciptaan siapakah pusaka itu, eyang? Saya belum pernah mendengarnya.”

“Pusaka itu diciptakan oleh Empu Brobokendali, seorang empu yang terkenal ampuh di jaman negeri Medang Kamulan, delapan ratus tahun yang lalu. Menurut dongeng, ketika menciptakan keris pusaka Tilam Upih itu, Empu Bromokendali kedatangan seorang perawan cantik dan dia tidak mampu menahan gejolak birahinya. Terjadilah perbuatan susila yang sebetulnya merupakan pantangan bagi Empu Bromokendali di waktu dia sedang membuat sebuah keris pusaka. Setelah kesemuanya terjadi, barulah dia mendapat kenyataan bahwa tubuh perawan itu dipergunakan oleh iblis untuk menggodanya. Dan dia telah melanggar pantangan berat.”

“Akan tetapi Eyang dalam hal ini, sama sekali kita tidak boleh menyalahkan iblis yang menggoda. Menurut bimbingan Eyang bukankah sumber segala perbuatan tidak benar terletak di dalam hati akal pikiran sendiri? ”

“Memang benar demikian, kulup. Dan iblis yang memang pekerjaannya menggoda manusia, tahu akan kelemahan hati akal pikiran manusia itu. Dia tahu di mana letak kelemahan itu dan selalu mempergunakan kesempatan untuk menggoda manusia melalui kelemahannya itu. Justeru kelemahan Empu Bromo kendali terletak kepada nafsu birahinya, maka iblis lalu mempergunakan tubuh perawan itu untuk menjatuhkannya.”

Budhidharma menganguk-angguk. “Menurut petunjuk Eyang, manusia tidak mungkin dapat melawan nafsu daya rendah yang menghuni hati akal pikiran kita sendiri. Satu-satunya kekuasaan yang mampu menundukkan daya rendah itu hanyalah kekuasaan Tuhan! Dan setiap orang akan dilindungi oleh kekuasaan Tuhan ini apabila dia dengan sepenuh jiwanya menyerahkan diri dengan penuh keikhlasan, penuh keimanan kepada Hyang Widhi Wasa.”

“Tepat sekali, kulup. Akan tetapi sayang, Empu Bromokendali lengah dan setelah semuanya terjadi, ada hawa yang jahat menyusup ke dalam keris pusaka Tilam Upih yang sedang dibuatnya. Setelah keris itu jadi, tahulah sang empu bahwa keris pusaka itu mengandung pengaruh dan hawa yanga amat jahatnya, yang kelak dapat membahayakan kehidupan manusia. Oleh karena itu, sang empu mempergunakan kesaktiannya, membungkus pusaka itu dengan daun pisang kering, lalu melarungkannya {membuang} ke Lautan Kidul.”

“Jadi setiap benda buatan manusia itu akan terpengaruh oleh keadaan batin pembuatnya pada saat membuat benda itu , Eyang? ”

“Tentu saja! Karena itu, segala macam benda itu merupakan bahaya besar karena mengandung daya pengaruh yang amat kuat. Hanya batin orang yang benar-benar pasrah dan menyerah kepada Tuhan sajalah yang akan dapat terhindar dari pengaruh daya benda. Kembali kepada keris pusaka Sang Tilam Upih. Tentu tidak akan timbul akibat lain setelah keris pusaka itu dibuang ke Lautan Kidul kalau saja di waktu mudanya Sang Mahaprabu Airlangga bersama patihnya yang juga amat sakti dan setia yaitu Raden Narottama tidak melakukan tapabrata di tepi Lautan Kidul. Dalam pertapaan itulah Sang Mahaprabu Airlangga mendapat ilham sehingga beliau mengetahui adanya sebauh keris pusaka ampuh di dasar samudera. Beliau lalu mengutus patihnya untuk mengambil pusaka itu. Raden Narottama yang sakti lalu menyelam dan berhasil mengeluarkan keris Pusaka Tilam Upih itu.”

“Wah, hebat sekali ilmu kepandaian patih itu, Eyang.”

“Tentu saja. Ki patih Narottama yang sejak mudanya menjadi sahabat Sang Mahaprabu Airlangga memang seorang yang sakti mandraguna, bahkan seperguruan dengan Prabu Airlangga. Akan tetapi raja yang sakti mandraguna itu melihat betapa keris pusaka itu mengeluarkan hawa pengaruh yang amat jahat, maka beliau lalu memperbaikinya, mengisinya dengan hawa pengaruh yang baik, bahkan mengubah sedikit bentuknya. Setelah diisi pengaruh kebaikan oleh sang Prabu Airlangga, keris pusaka itu kini memiliki daya pengaruh dua macam. Kalau pusaka itu jatuh ketangan seorang yang budiman, maka keris pusaka itu akan amat berguna bagi nusa dan bangsa. Akan tetapi sebaliknya kalau tejatuh ke dalam tangan seorang yang pada dasarnya berwatak kotor, maka keris itu akan mendatangkan malapetaka bagi nusa dan bangsa.”

“Wah, gawat kalau begitu, Eayng.”

“Ketika Sang Prabu Airlangga mengundurkan diri menjadi pertapa, dalam kesibukan itu, keris pusaka Tilam Upih lenyap. Yang menerima tugas untuk mencari pusaka itu adalah eyang guruku yang bernama Ki Empu Dewaraga. Akan tetapi Ki Empu guruku yang bernama Ki Empu Dewaraga. Akan tetapi Ki Empu Dewaraga gagal menemukan kembali kerena menurut perhitungannya, keris pusaka itu terjatuh ke dalam tangan seorang yang sakti mandraguna dan amat jahat. Keris pusaka itu dijadikan senjata untuk mendirikan sebuah kerajaan di barat, jauh di pesisir Lautan Kidul. Saking sedihnya karena tidak mampu menemukan keris pusaka itu seperti diperintahkan Sang Mahaprabu Airlangga yang telah menjadi Sang Resi Gentayu, eyang guruku Empu Dewaraga merasa berduka yang mengakibatkan kematiannya.”

“Wah, kasihan sekali eyang buyut itu! Kata Budhidharma.”

Gurunya menghela napas panjang. “Semua yang terjadi sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Tidak ada yang perlu disesalkan. Sang Prabu Jayabaya adalah seorang yang sakti mandraguna bijaksana dan menguasai aji meneropong tirai rahasia alam. Beliau itu weruh sakdurunge winarah {tahu sebelum terjadi}. Beliau mengumumkan perhitungannya dengan pasti bahwa keris pusaka Ki Tilam Upih itu tidak akan muncul kepermukaan bumi, dalam arti kata ditemukan orang, sebelum satu abad lamanya semenjak hilang. Dan sekaranglah tiba saatnya keris pusaka itu akan muncul. Berita tentang ini terdengar oleh seluruh orang gagah, maka orang-orang sakti mandraguna bermunculan untuk berlomba mencari dan menemukan keris pusaka Tilam Upih itu.”

“Untuk dihaturkan kembali kepada Sang Prabu Jayabaya, Eyang? ”

Kembali kakek itu menghela napas panjang. “Hemm, tentu ada yang berpamrih demikian. Akan tetapi aku khawatir bahwa sebagian besar di antara mereka berlomba mencari keris pusaka itu untuk dirinya sendiri, untuk dimilikinya sendiri. Ketahuilah, kulup, bahwa keris pusaka yang ampuh mempunyai pengaruh dan kekuasaan. Dan siapa orangnya yang tidak akan tertarik kalau ada kemungkinan kekuasaan jatuh pada dirinya? Karena itulah, kulup. Andika kuberi tugas, yaitu
mewakili aku mencari keris pusaka itu agar dapat kita kembalikan kepada Sang Parbu Jayabaya. Bagaimanapun juga, menjadi tugas kita untuk dapat menemukan pusaka itu, sebagai pemenuhan tugas dahulu yang gagal dilakukan eyang guruku Empu Dewaraga.”

Timbul kegembiraan dalam hati Budhidharma. Dia sebetulnya tidak takut hidup menyendiri, terpisah dari gurunya. Yang membuat dia ragu adalah permulaan dari hidup sendiri itu. Tanpa tujuan, dia harus pergi ke mana? Kini dengan adanya tugas itu, maka perjalanannya mempunyai satu tujuan tertentu dan ini amat menggembirakan hatinya.

“Saya akan melaksanakan perintah eyang! Akan tetapi, saya mohon petunjuk eyang. Kemanakah saya harus mencari pusaka Tilam Upih itu dan bagaimana pula bentuk dan rupanya agar kelak saya tidak mendapatkan barang yang palsu? ”

“Ingat baik-baik, kulup. Keris pusaka Tilam Upih adalah sebatang keris berlekuk tiga, dan setelah diubah bentuknya oleh mendiang Mahaprabu Airlangga maka dapur keris menjadi dapur Mahesa suka, yaitu badan lebar panjang sedang, dengan rincian: Lambe Gajah Lamba, Kembang Kacang, sogokan panjang. Mata keris bagian bawah amatlah tajamnya karena di situ terletak pengaruh jahat itu. Sehelai rambut yang diletakkan di atas mata keris itu lalau ditiup akan putus seperti dijilat api. Akan tetapi mata keris bagian atas berbeda dengan bagian bawah. Pamor di bagian atas seperti perak mencorong, akan tetapi pamor bagian bawah menghitam seperti angus. Ke mana mencarinya? Kulup, keris pusaka itu dahulunya di Lautan Kidul, di sebelah barat Nusa Barung. Nah, mulailah dari ujung timur, dari Blambangan sampai ke Teluk Prigi, Kulup.”

Demikianlah, setelah menerima banyak wasiat dan wejangan dari gurunya, tiga hari kemudian berangkatlah Budhidharma meninggalkan Gunung Kawi. Kalau dahulu, sepuluh tahun yang lalu, dia naik ke Gunung Kawi sebagai seorang anak berusia sepuluh tahun, kini dia menuruni lereng gunung itu sebagai seorang pemuda dewasa yang gagah dan tampan. Dia menuruni lereng dari sebelah selatan karena dia akan langsung saja melaksanakan perintah gurunya, yaitu menuju pantai selatan untuk menyelidiki dan mencari keris pusaka Tilam Upih itu. Tugasnya yang ke dua adalah pribadinya yang tidak pernah dia lupakan semenjak dia berada di Gunung Kawi.

Yaitu, mencari pembunuh ayah ibunya, gerombolan Gagak Seto dan terutama sekali ketuanya. Tidak, hatinya tidak diracuni dendam. Dia sudah menerima genblengan batin yang mantap dari gurunya sehingga hatinya tidak cengeng dan selemah itu. Dia maklum bahkan kematian setiap orang sudah ditentukan oleh kekuasaan Sang Hyang Syiwa, karena itu tidak semestinya kalau dia mendendam. Pelaku pembunuhan atas ayah ibunya itu hanya merupakan alat yang kebetulan dipergunakan oleh Sang Hyang Syiwa untuk mencabut nyawa ayah ibunya. Hal itu terjadi karena karma mereka.

Dia ingin mencari ketua dan gerombolan Gagak Seto untuk bertanya, apa sebabnya mereka melakukan pembunuhan itu. Hal ini haruslah jelas dan untuk melihat pula bagaimana sesungguhnya keadaan gerombolan Gagak Seto. Kalau memang gerombolan penjahat, dia tidak akan ragu lagi untuk membasminya, dan kalau ketuanya memang jahat, dia tidak akan ragu untuk menumpasnya. Inilah kewajiban seorang satria, bukan membunuh karena balas dendam! Dengan langkah tegap Budhidharma menuruni lereng Gunung Kawi.

Kita tinggalkan dulu Budhidhrma yang turun gunung mulai memasuki dunia ramai, dan marilah kita menengok keadaan lain di Gunung Anjasmoro! Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketua Gagak Seto yaitu Ki Sudibyo yang menderita sakit batinnya sehingga tubuhnya menjadi lemah dan sakit-sakitan, tidak begitu memperhatikan urusan perkumpulan. Untuk perkumpulan Gagak Seto dia serahkan kepada dua orang pembantu utamanya, yaitu Ki Klabangkoro dan Ki Mayangmurko. Adapun dia sendiri lebih banyak berada di dalam sanggar pamujan atau di ruangan tertutup di bagian belakang yang menjadi tempat beristirahat dan berlatih silat baginya.

Akan tetapi, sejak dia mengangkat Niken Sasi menjadi murid, muridnya itulah yang selalu menemaninya. Niken Sasi bukan hanya menjadi murid tersayang, akan tetapi juga gadis cilik ini melayani segala keperluan gurunya yang dianggapnya sebagai pengganti ayah ibunya.

Kemudian, dia mendapatkan kenyataan bahwa murid barunya ini ternyata memiliki bakat yang hebat sekali! Sama sekali sukar dapat dipercaya bahwa dalam tubuh yang mungil dan lemah gemulai, yang luwes itu tersimpan tenaga sakti yang hanya butuh dilatih dan dikembangkan. Kemudian dia teringat bahwa bagaimanapun juga, gadis kecil ini adalah cucu SangPrabu Jayabaya yang sakti mandraguna! Maka, tentu saja Ki Sudibyo girang bukan main dan diapun melatih gadis itu lebih tekun lagi. Bukan hanya semua ilmu dan aji kesaktian diajarkan kepada gadis itu, bahkan aji simpanannya, yaitu Aji Hasta-bajra [Tangan Kilat] yang selama ini tidak pernah diajarkan kepada murid lain, kini diajarkan kepada Niken Sasi, setelah gadis itu menjadi seorang gadis dewasa.

Hati Ki Sudibyo merasa terhibur. Dia masih merasa hidupnya penuh penderitaan kalau teringat akan penyelewengan dan pengkhianatan isterinya tercinta, kalau dia teringat betapa dia hidup seorang diri tanpa keluarga, tanpa isteri dan tanpa anak. Akan tetapi kini dalam diri Niken Sasi dia menemukan seorang murid, sekaligus seorang anak yang amat membanggakan dan menyenangkan hatinya.

Bukan kehebatan Niken Sasi dalam mewarisi semua aji kesaktiannya saja yang membuat Ki Sudibyo bahagia dan bangga. Akan tetapi keahliannya dalam ilmu lain, terutama sekali kecantikannya. Niken Sasi yang kini telah menjadi seorang gadis yang memiliki kecantikan sebanding dewi-dewi kahyangan! Wajahnya yang bulat telur, rambutnya yang hitam panjang ngandan-andan, alisnya yang hitam kecil melengkung, matanya yang redup jeli kadang mencorong, hidungnya yang kecil mungil dan terutama sekali mulutnya yang menggairahkan, semua itu masih diperindah pula oleh bentuk tubuhnya yang padat ramping dan kulit putih kekuningan.

Di samping kecantikannya yang membuat semua pria di Anjasmoro dan sekitarnya terpesona, juga gadis ini amat pandai dalam kesenian berjoget, bertembang dan lain kesenian kaum wanita. Jelas sekali nampak trahing kusumo rembesing madu mengalir dalam darah yang lembut berisi ini. Namun, Niken Sasi tetap bersikap sederhana, seperti para perawan dusun pada umumnya. Ia sudah melupakan bahwa dirinya adalah cucu sang Prabu Jayabaya, dan menganggap dirinya seorang perawan dusun murid dan anak angkat Ki Sudibyo yang amat dihormati dan disayangnya. Biarpun pakaian dan gerak geriknya sederhana tidak ada bedanya dengan para perawan dusun, namun apabila ia berada di antara mereka, semua orang melihat kepandaiannya, seolah seekor merak berada di antara sekumpulan bebek!

Pada suatu sore Ki Sudibyo memanggil muridnya ke dalam ruangan belakang yang tertutup. Dia kini telah menjadi seorang laki-laki yang kelihatan tua sekali. Usianya memang sudah enampuluh tahun, akan tetapi dia nampak jauh lebih tua. Tubuhnya jangkung kurus, rambutnya sudah putih semua, dibiarkan terurai panjang, demikian pula jengkot dan kumisnya yang sudah putih dibiarkan tak terpelihara. Namun dia mesih tetap kelihatan bersih dan anggun.

Niken Sasi mengenakkan kain bercorak hitam dan kemben berwarna hijau pupus. Pinggangnya ramping sekali dan ia nampak seperti setangkai mawar. Jambon yang segar dan semerbak mengharum. Mendengar panggilan gurunya, Niken Sasi cepat menghadap dan memberi hormat dengan sembah. Pertama kali disembah oleh puteri bangsawan cucu raja ini, Ki Sudibyo merasa rikuh sekali. Akan tetapi kini dia sudah terbiasa dan dia menerima penghormatan itu dengan tersenyum dan mengamati wajah murid terkasihnya itu sambil mengangguk-angguk.

“Sembahmu sudah kuterima, dan keadaanku sehat-sehat saja hari ini, Niken. Duduklah, aku ingin bercakap-cakap denganmu.”

“Perintah dan petunjuk apakah yang akan Bapa Guru berikan kepada saya? Saya siap melaksanakan semua perintah bapa.” kata Niken Sasi dengan suara merdu dan mantap.

Ki Sudibyo mengelus jenggotnya dan tersenyum gembira sekali. Sepasang matanya sejenak bersinar-sinar dan dia mengangguk-angguk.

“Tiada habisnya aku menghaturkan Hyang Agung yang sudah mengaruniaku seorang murid seperti andika ini di hari tuaku, Niken. Hatiku gembira sekali, apalagi ketika pagi tadi aku melihat bahwa latihanmu mempergunakan aji Hasta Bajra telah mencapai titik tertinggi. Nah, sekarang aku ingin melihat aji itu dengan menggunakan tenaga sepenuhnya, seolah engkau sedang berhadapan dan bertanding melawan seorang yang tangguh. Aku sendiri akan mengujimu menggunakan aji itu, Niken.”

Niken Sasi nampak khawatir. “Akan tetapi, Bapa, bertanding dengan aji itu amat berbahaya karena sekali dikeluarkan bagaimana kita dapat mengendalikannya sehingga tidak membahayakan lawan? ”




Bersambung.......
 
Terima kasih atas update critanya suhu,
:Peace: ane tunggu next updatenya.....
 
Terakhir diubah:
lambat, Memperhatikan waktu..
cepat, diperhatikan waktu..

#suka namun tak mengerti..apalah daya hamba d blik misteri sang waktu..

*mantap brada, pnuh dngan pdoman hidup..no SARA :jempol:
 
Bagian - 7



“Memang tidak dapat dikendalikan begitu saja. Bagaikan menyambarnya kilat, akibatnya tergantung dari kuat atau tidaknya lawan menerimanya. Akan tetapi aku bukan hendak mengujimu bertanding aji itu, Niken Sasi. Andika tahu sendiri bahwa tenagaku sudah habis, digerogoti penyakitku. Aku tidak mampu lagi mengerahkan tenaga Hasta Bajra. Karena itu, aku akan menyerangmu dengan lemparan balok-balok kayu yang sudah kupersiapkan ini. Semua lemparan balok-balok ini sambutlah dengan aji Hasta Bajra. Jangan batasi tengamu karena kau ingin melihat sampai di mana tingkatmu dalam aji itu.”

“Ah, begitukah, Bapa? ” kata Niken Sasi dengan hati lega. “Baiklah, akan kulaksanakan perintah Bapa Guru.” Ia meloncat ke tengah ruangan itu dan memasang kuda-kuda. Tubuhnya memasang kuda-kuda miring menghadapi gurunya, kaki kanan di depan, kaki kiri di belakang agak ditekuk, kedua lengannya di angkat ke atas dengan telapak tangan menghadao ke arah atas seperti sedang menyangga langit. Tubuhnya tegak, matanya memandang tajam ke depan, pernapasannya menjadi lambat dan panjang karena ia mulai menyalurkan tenaga Hasta Bajra ke dalam kedua tangannya.

“Saya sudah siap, Bapa! ” Katanya dengan sikap gagah. Ki Sudibyo memang tidak berani lagi menggunakan aji Hasta-bajra karena penggunaan tenaga sakti itu terlalu kuat bagi tubuhnya yang sudah ringkih. Maka, dia sejak pagi tadi telah mengumpulkan belasan potongan balok yang cukup besar, dan beberapa bongkah batu gunung. Kini, dia lalu mengangkat balok-balok itu, satu demi satu dan dilontarkan ke arah muridnya dengan sekuat kemampuannya. Biarpu dia sudah berpenyakitan, akan tetapi karena bekas pendekar perkasa, lontarannya itu masih cukup kuat dan potongan balok itu menyambar dahsyat ke arah muridnya.

“Siyyyttt.............wirrrrrr........! ” Blok pertama menyambar ke arah kepala Niken Sasi.

“Hyattttt........ahhhhh! ” Gadis jelita ini menggerakkan tangan kirinya, dengan jari tangan terbuka menghantam ke arah balok itu. Nampaknya tidak terlalu keras ia menghantam, akan tetapi ketika tangannya menyambar batu, terdengar suara keras.

“Brakkkkk.........! ” Dan balok itupun berantakan, pecah menjadi beberapa potong dan berhamburan ke dinding ruangan menimbulkan suara gaduh.

Balok ke dua, ke tiga dan ke empat menyusul, cepat sekali. Niken Sasi bergerak, memainkan ilmu silat Hasta Bajra, kedua tangannya seperti sepasang golok menyambar-nyambar ke arah balok dan batu yang datang susul-menyusul. Balokbalok itu pecah dan ketiak batu-batu mulai menyambar, batu-batu itupun porakporanda terkena hantaman tangan yang berkulit halus itu. Kini dari ruangan itu terdengar suara hiruk-pikuk karena pecahan kayu dan batu menghantam dinding, ditambah lagi menyambarnya hawa pukulan Hasta Bajra yang mengguncangkan seluruh
ruangan!

Para murid Gagak Seto terkejut bukan main ketika dari ruangan tertutup itu terdengar suara hiruk-pikuk ditambah lagi didnding ruangan itu tergetar seperti dilanda angin badai yang mengamuk.

Akan tetapi Klabangkoro dan Mayangmurko yang juga sudah berada di luar ruangan itu saling pandanga dan Klabangkoro berbisik, “Bagaimana Bapa Guru dapat berlatih sehebat itu? Bukankah dia sakit dan lemah.......? ”

Setelah suara gaduh itu berhenti, Klabangkoro lalau mengetuk daun pintu ruangan itu sambil berteriak memanggil gurunya, Bapa Guru........! Apakah yang terjadi? Harap suka membuka pintu dan mengijinkan kami masuk....! ”

Agak lama tidak ada jawaban, kemudian pintu terbuka dari dalam dan yang muncul adalah Niken Sasi, adik seperguruan mereka termuda. Niken Sasi tersenyum melihat Klabangkoro, Mayangmurko dan Gajahpuro, aeorang pemuda tampan dan gagah putera Klabangkoro, dan banyak sekali murid Gagak Seto berada di belakang mereka.

“Haiiii, kalian kenapakah? Membikin kaget kepada Bapa Guru saja. “Niken Sasi menegur, akan tetapi sambil tersenyum.

“Niken Sasi, apakah yang terjadi di dalam? ” Gajahpuo yang sebaya dengan gadis itu dan hubungan di antara mereka akrab sekali, segera bertanya.

“Ya, apakah yang terjadi , Niken? ” tanya pula Klabangkoro sambil mencoba untuk menjenguk ke dalam.Dia tebelalak melihat pecahan-pecahan kayu dan batu di ruangan itu, berserakan memnuhi ruangan.

“Ah, tidak ada apa-apa. Hanya Bapa Guru sedang berlatih aji Hasta Bajra, mengguankan kayu dan batu yang harus kulemparkan kepada Bapa Guru.” kata gadis itu dengan suara wajar. Ia memang seorang gadis yang cerdik. Ia sudah diberitahu oleh gurunya bahwa tidak ada seorangpun boleh mengetahui bahwa dia telah menerima pelajaran aji Hasta Bajra dari gurunya, harus merahasiakan sampai aji itu dikuasainya dengan sempurna. Oelh karena itu, ketika mereka bertanya-tanya, mudah saja ke luar dari bibirnya jawaban itu.

Klabangkoro dan Mayangmurko kembali saling pandang dan mata mereka terbelalak.

“Akan tetapi.......bukankah......bukankah Bapa Guru sedang sakit.......? ” tanyannya heran.

Pada saat itu Ki Sudibyo muncul dari ambang pintu. Wajahnya agak pucat dan napasnya memburu. Dia mengangkat tangan menenangkan muridnya lalau berkata sambil tersenyum lemah

“Kalian semua jangan khawatir. Aku hanya berlatih dan ......... latihan itu menghabiskan tenagku. Aku......aku ingin beristirahat, jangan mengganguku. Engkaupun beristirahatlah, Niken. Engkau sudah cukup membantuku.....”Ki Sudibyo lalu menutupkan kembali dauan pintu setelah masuk kembali ke dalam ruangan itu.

“Niken, engkau harus menceritakan kepadaku tentang latihan Hasta Bajra itu. Tentu hebat bukan main! ” tanya Gajahpuro sambil mendekati Niken Sasi.

Gadis itu tersenyum, sambil menuruni anak tangga dan melangkah perlahan. Gajahpuro mendampinginya, juga Klabangkoro dan Mayangmurko.

“Bukan hebat lagi, dahsyat! ” kata gadis itu tersenyum, diam-diam ia girang bukan main karena tadi sehabis latihan, gurunya mengatakan bahwa ia telah mencapai tingkat yang cukup tinggi.

“Niken, andika melihat semua gerakan Bapa Guru ketika berlatih aji Hasta Bajra? Benar-benarkah dia memainkan aji itu dengan dahsyatnya? ”

“Aku melihatnya sendiri, paman. Semua balok dan batu yang kulemparkan kepadanya dihancurkan oleh kedua tangannya”. Jawab gadis itu.

Klabangkoro saling pandang dengan Mayangmurko. “Akan tetapi dia sedang sakit, tubuhnya lemah, bagaimana.....”

“Siapa bilang Bapa Guru sakit dan lemah? ” Niken Sasi membantah. “Dia sehat dan kuat, buktinya mampu berlatih Hasta Bajra.”

“Wah, kalau begitu tentu engkau sudah mempelajarinya pula, Niken? ” kata Gajahpuro girang, akan tetapi juga suaranya mengandung iri.

“Aji itu terlalu berat dan sukar bagiku, dan Bapa Guru juga tidak mengajarinya kepada siapapu. Sudahlah, aku ingin mandi, hari sudah mulai gelap dan sebentar lagi aku harus mempersiapkan makan malam untuk Bapa Guru.”

Gadis itu lalu pergi meninggalkan para murid Gagak Seto yang masih tertegun dan bertanya-tanya itu. Klabangkoro lalu menarik tangan Mayangmurko memasuki pondoknya. Dengan daun pintu dan jendela tertutup mereka berdua lalu bercakapcakap dengan hati-hati dan setengah berbisik sehingga tidak akan terdengar lain orang.

“Ssstt......Kakang Klabangkoro, apa yang kita dengar tadi? Ternyata Bapa Guru masih sehat dan kuat. Sungguh celaka! Bisa berantakan semua rencana kita yang sudah kita rencanakan bertahun-tahun! ” kata Mayangmurko.

Klabangkoro memukul telapak tangan kiri dengan tinju kanan.

“Plakkk! ” dia berjalan hilir mudik. “Pantas saja ketika itu Sepasang Keris Maut dari Nusa barung yang dikirim Jambuka Sakti gagal membunuhnya. Akan tetapi menurut Sepasang Keris Maut, pukulan Bapa Guru tidak begitu kuat lagi sehingga tidak membuat mereka terluka berat. Mungkinkah sekarang telah pulih kembali semua kekuatannya? Rasanya tidak mungkin! Kelihatannya dia berpenyakitan dan lemah, apa lagi usianya menjadi semakin tua.”

“Kakang Klabangkoro, jangan-jangan Niken Sasi.......”

“Hemm, bocahperempuan itu? Mana mungkin ia dapat menguasai Hasta Bajra yang amat sulit dan membutuhkan landasan tenaga sakti yang kuat. Bocah perempuan itu tidak ada apa-apanya, adi Mayangmurko.”

“Akan tetapi ia dekat dengan Bapa Guru dan ia amat disayang. Aku khawatir Bapa Guru mewariskan aji itu kepadanya, baik dalam bentuk pelajaran atau dalam bentuk kitab agar kelak dapat dipelajarinya. Kurasa jalan terbaik adalah melenyapkan perawan itu, kakang.”

“Hushh! Lancang ucapanmu, Mayangmurko! Tidak tahukah andika bahwa puteraku si Gajahpuro itu cinta setengah mati kepada Niken Sasi? Tidak, membunuhnya bukan jalan terbaik, pula akan menimbulkan kecurigaan kepada Bapa Guru. Lebih baik kalau perawan itu menjadi isteri puteraku sehingga andaikata benar ia memiliki warisan Hasta Bajra, kelak akan terjatuh ketangan puteraku pula.”

“Akan tetapi bagaimana kalau dia tidak mau menjadi isteri Gajahpuro? ” bantah Mayangmurko.

“Harus diusahakan agar ia mau! Aku ada akal. Rencana ini pertama untuk menguji apakah benar gadis itu memiliki aji Hasta Bajra, dan kedua membuat ia berhutang budi kepada Gajahpuro. Kalau cara ini tetap tidak berhasil, masih ada cara ketiga, yaitu menodainya sehingga terpeksa ia akan menerima Gajah[puro sebagai suaminya untuk mencuci aib.”

Mendengar ini, Mayangmurko mengacungkan ibu jarinya. “Wah, andika memang hebat, kakang. Mari kita cepat melaksanakan rencana itu agar jangan sampai terlambat! ”

Kedua orang itu lalu meninggalkan ruangan tertutup itu dan menyelinap dalam kegelapan malam yang mulai menyelimuti bumi.

Sementara itu, ketika Niken Sasi melayani gurunya makan malam, Ki Sudibyo mengajak muridnya itu makan bersama. Hal ini agak aneh bagi Niken Sasi, karena tidak biasanya gurunya mengajak makan bersama. Melihat pandang mata Niken Sasi yang penuh keheranan dan keraguan itu, Ki Sudibyo berkata lembut.

“Niken, jangan ragu-ragu. Marilah temani aku makan malam. Siapa tahu, dalam beberapa hari ini merupakan hari-hari terakhir bagi kita untuk berduaan.”

“Eh? Maksud Bapa Guru, bagaimana? ” tanya gadis itu dengan mata terbelalak, terkejut.

“Niken Sasi, engkau kini telah menjadi seorang gadis remaja, bahkan sudah dewasa karena usiamu sudah delapanbelas tahun. Ingatlah, engkau berasal dari istana! ”

Niken Sasi memenuhi permintaan gurunya dan makan bersama gurunya, dan sambil makan mereka bercakap-cakap. “Saya kira Bapa masih ingat bahwa saya sama sekali tidak mengharapkan untuk kembali ke istana. Saya ingin tinggal saja di sini melayani Bapa Guru.”

Ki Sudibyo tersenyum. “Boleh saja engkau melupakan istana dan tidak ingin kembali ke sana. Itu adalah hak pribadimu untuk memilih kehidupan macam apa yang ingin kautempuh.Akan tetapi, juga tidak mungkin kalau engkau terus tinggal di sini melayaniku. Aku tidak ingin disebut manusia yang mementingkan dirinya sendiri. Tidak, angger, engkau harus pergi dari sini karena banyak persoalan yang harus kau hadapi di samping engkau harus pula memanfaatkan semua ilmu yang pernah kau pelajari di sini dengan segala jerih payah.”

“Akan tetapi, Bapa. Persoalan apakah yang saya hadapi? Saya tidak mempunyai persoalan.”

“Hemm, benarkah itu? Apakah engkau bicara dari dasar hatimu, ataukah memang engkau sudah lupa bahwa ayah ibumu terbunuh orang tanpa kauketahui dosanya dan siapa pula para pembunuh itu? ”

Mendengar pertanyaan gurunya itu, tiba-tiba saja Niken Sasi menundukkan mukanya untuk menyembunyikan matanya yang tiba-tiba menjadi basah itu. Ia menahan makannya dan melihat ini, Ki Sudibyo tersenyum. Tabahkanlah hatimu dan tidak pantas seorang dara perkasa sepertimu menjadi cengeng.Hayo lanjutkan dulu makan kita, nanti aku ingin bicara denganmu.”

Guru dan murid itu melanjutkan makan mereka. Patut dikagumi gadis itu, yang baru berusia delapanbelas tahun akan tetapi demikian kuatnya menahan gejolak hatinya. Tadi, diingatkan tentang kematian ayahnya dan lenyapnya ibunya, hatinya seperti ditusuk dan kedua matanya menjadi basah. Nasi di lehernya sukar ditelan. Akan tetapi mendengar ucapan gurunya, ketabahannya timbul dan semangatnya membakar sehingga ia mampu melanjutkan makannya.

Setelah selesai makan dan bekas makanan disingkirkan oleh Niken Sasi, tikar di lantai juga sudah dibersihkan Ki Sudibyo bersila di depan muridnya dan suaranya terdengar sungguh-sungguh ketika dia bertanya, “Muridku yang baik. Benarkah engkau sudah melupakan apa yang menimpa diri ayah bundamu? ”

Niken Sasi sekarang telah dapat menguasai hatinya sepenuhnya dan dia mengangkat muka menatap wajah gurunya, kemudian menjawab dengan suara tenang, “Bapa Guru, bagaimana saya akan mampu melupakan kematian ayah yang menyedihkan itu, dan lenyapnya ibu yang dilarikan penjahat? ”

“Kalau begitu, di dalam hatimu tumbuh dendam kebencian yang membara terhadap mereka yang berbuat jahat terhadap ayah ibumu? ”

Niken Sasi menggelengkan kepalanya danmenjawab dengan tegas. “Tidak, sama sekali, Bapa.Sudah nampak jelas oleh saya dengan pengertian yang mendalam bahwa mendendam adalah suatu perbuatan yang amat bodoh dan yang akhirnya hanya merugikan diri sendiri saja. Tidak, saya tidak lagi mengandung dendam. Akan tetapi karena kematian ayah itu dalam penasaran, juga saya harus melihat apakah ibu saya telah meninggal dunia ataukah masih hidup, maka saya harus melakukan penyelidikan, siapa yang telah melakukan penyerangan terhadap mendiang ayah, siapa pula dalangnya dan apa pula sebabnya mereka melakukan hal itu terhadap ayah dan ibu. Kemudian, kalau ibu masih hidup, saya harus membebaskan ibu dari tangan penjahat.”

“Dan bagaimana sikapmu terhadap para penjahat itu sendiri, Niken Sasi? ”

“Hal itu tergantung kepada mereka sendiri, Bapa. Kalau saya mendapatkan bahwa mereka itu adalah orang-orang jahat yang masih mkelakukan kejahatan, sudah menjadi kewajiban saya untuk menentang kejahatan itU. Akan tetapi, yang saya tentang bukanlah manusia-manusianya yang berdasarkan dendamj, melainkan perbuatannya. Demi keselamatan dan keamanan orang-orang yang tidak berdosa, kalau mereka jahat akan saya tentang dan basmi! ”

Ki Sudibyo menganguk-angguk senang, “Bagus sekali, kuharap saja engkau sudah mengerti benar karena pengertian itulah yang akan menjadi obor bagi semua tindakanmu. Celakalah kalau engkau bertindak karena dorongan dendam. Aku sendiri telah melakukan hal itu, Niken. Dan sampai sekarang aku masih tenggelam dalam penyesalan.”

Saya aku selalu mengingat semua wejangan Bapa, dan mudah-mjudahan Sang Hyang Wisnu akan selalu memberi bimbingan kepada hamba sehingga akan timbul kewaspadaan dan kebijaksanaan dalam segala sepak terjang saya.”

“Sekarang ada dua hal yang aku harapkan dengan sangat agar engkau dapat melaksanakannya, Niken. Kalau engkau dapat melaksanakan dua hal ini dengan baik sebagai pesan terakhirku, maka aku akan menghadapi kematian dengan hati tenteram dan mata terpejam mulut tersenyum.”

“Katakanlah, Bapa. Tugas apakah yang harus saya laksanakan? Saya siap untuk menanti perintah Bapa dan melaksanakannya dengan sekuat tenaga saya.”

“Begini, angger. Dari anak buah Gagak Seto aku mendapat aku mendapat berita penting sekali, yaitu bahwa kini semua oran g gagah saling berlomba untuk menemuakan keris pusaka Tilam Upih. Keris pusaka ini milik mendiang Sang Prabu Airlangga yang telah hilang seabad yang lalu. Menurut perhitungan Sang Prabu Jayabaya yang diumumkan, dikabarkan bahwa keris pusaka itu akan mucul pada hari-hari ini. Karena itu, berduyun-duyun orang gagah dari segala penjuru bermunculan untuk berlumba mendapatkan keris pusaka itu. Nah, aku mengharap agar engkaupun tidak ketinggalan, menyumbangkan tenagamu untuk mencari dan mendapatkan pusaka itu, angger.”

“Bapa Guru, bukan sekali-kali saya menolak atau keberatan melakukan perintah Bapa ini. Akan tetapi, Bapa. Kalau semua orang gagah sudah bermunculan, berlumba mendapatkan pusaka itu, masih perlukah saya ikut mencarinya? Pusaka itu pasti akan dapat ditemukan mereka dan dihaturkan kembali kepada Sang Prabu Jayabaya.”

“Ah, kalau benar seperti ucapanmua itu, tentu akupun tidak akan mengutusmu pergi, angger. Akan tetapi kenyataannya bukan begitu. Tidak semua orang berpamrih mencari pusaka itu untuk dikembalikan kepada Sang Prabu Jayabaya. Mereka mencari untuk diri sendiri. Dan berbahayalah kalau sampai pusaka itu jatuh ke dalam tangan seorang penjahat karena pusaka itu ampuhnya menggiriskan. Jadi, engkau harus membantu mereka yang berpamrih baik, mengembalikan pusaka itu kepada yang berhak, yaitu kerajaan Daha.

“Hemm, begitukah Bapa? Sekarang mengerti saya, dan kalau begitu memang sudah menjadi kewajiban saya untuk ikut mencarinya dan mencegah pusaka itu terjatuh ke dalam tangan orang jahat. Akan tetapi, kalau saya mulai mencarinya, ke manakah saya harus pergi, Bapa? Tanpa arah petunjuk, bagaimana saya dapat mencarinya? ”

“Sang Tilam Upih itu oleh penciptanya, yaitu mendiang Empu Bromokendali pada jaman negeri Medang Kamulan, sembilan abad yang lalu, dibuang ke Lautan Kidul. Yang menemukannya adalah mendiang Sang Prabu Airlangga dan Ki Patih Narrotama. Akan tetapi, pada saat Sang Mahaprabu Airlangga mengundurkan diri dan menjadi Sang Resi Gentayu, pusaka Tilam Upih itu hilang. Karena keris pusaka itu ditemukan di Lautan Kidul, maka timbul dugaan bahwa dia kembali lagi ke Lautan Kidul. Nah, hanya itulah petunjuknya dan dalam usahamu itu, engkau dapat menyusuri lautan itu untuk mencarinya.”

“Baiklah, Bapa. Saya akan berusaha keras untuk dapat menemukannya. Dan andaikata saya berhasil, apa yang harus saya lakukan dengan pusaka itu? ”

Ki Sudibyo tersenyum, girang melihat besarnya semangat muridnya. “Kalau engkau berhasil, bawalah ke sini. Kalau aku masih hidup, aku akan menyertaimu menghadap Sang Prabu Jayabaya untuk menghaturkan pusaka itu.”

Gadis itu mengerutkan alisnya. Hatinya merasa tidak nyaman mendengar bahwa ia kelak harus menghadap eyangnya, Sang Prabu Jayabaya. Akan tetapi ia tidak membantah dan hanya mengangguk, lalu bertanya,

“Dan hal yang kedua yang harus saya lakukan itu apakah, Bapa? ”

“Hal pertama ini harus kau lakukan dulu, karena itu merupakan ujian bagimu untuk melaksanakan tugas ke dua. Dalam tugas pertama itu, engkau akan digembleng oleh pengalaman-pengalaman hebat, bertemu dengan orang-orang sakti mandraguna berbagai aliran. Mungkin pula engaku akan menghadapi pertandingan-pertandingan di mana engkau akan mengetrapkan semua ilmu dan aji yang telah kau pelajari dariku. Hanya, pesanku jangan sekali-kali menggunakan aji Hasta Bajra kalau tidak perlu sekali, karena penggunaan aji ini amat berbahaya bagi lawan dan dapat menimbulkan korban. Kalau engkau sudah melaksanakan tugas pertama itu, baik berhasil menemukan keris atau tidak, barulah engkau kembali ke sini dan melaksanakan tugasmu yang ke dua.”

“Apakah tugas itu, Bapa? Saya akan melaksanakan dengan seluruh kemampuan saya.”

“Tugas itu adalah menggantikan kedudukanku sebagi ketua perkumpulan Gagak Seto! ”

Mendengar ucapan gurunya ini, Niken Sasi benar-benar terkejut sehingga ia mengangkat mukanya memandang wajah gurunya dengan penuh perhatian. Akan tetapi gurunya tidak main-main. Wajah gurunya bersunguh-sungguh.

“Akan tetapi, Bapa......! Bagaimana saya dapat menjadi ketua? Bukankah di sana terdapat Paman Klabangkoro dan Paman Mayangmurko yang lebih memenuhi syarat dan berpengalaman? ”

“Sudah kupertimbangkan baik-baik, Niken Sasi. Perkumpulan kita adalah adalah perkumpulan orang gagah yang sudah terbiasa dengan tindakan kekerasan. Kalau mereka tidak dipimpin oleh seorang yang benar-benar bijaksana dan berwatak baik, mereka dengan mudah akan dibawa menyeleweng dan berbahayalah kalau terjadi demikian. Dan aku tidak melihat seorangpun di antara para murid yang tepat untuk menjadi ketua, kecuali engkau! ”

“Akan tetapi saya hanyalah seorang wanita, Bapa Guru! ” bantah Niken Sasi yang merasa ngeri diserahi tugas menjadi ketua itu. “Apa alasan yang Bapa Guru ambil untuk memilih saya, seorang wanita muda, menjadi ketua perkumpulan besar ini? ”

“Untuk menjadi pemimpin pria atau wanita sama saja. Ingat, Dewi Woro Srikandi juga seorang wanita, namun ia telah terkenal sebagi seorang senopati yang gagah perkasa dan pilih tanding. Alasanku memilihmu, karena engkau merupakan murid yang paling tangguh di antara semua muridku. Terutama sekali karena engkau yang mewarisi aji Hasta Bajra selain itu, hanya engkau yang kupandang memiliki kebijaksanaan walaupu usiamu masih muda. Nah, aku sungguh mengharapkan engkau tidak akan menolak permintaanku ini, Niken Sasi! ”

“Maaf, Bapa. Sama sekali bukan saya keberatan, hanya saya pikir masih banyak murid pria yang saya pandang juga bijaksana dan berwatak baik seperti misalnya kakang Gajahpuro.”

“Hemm, tidak salah pendapatmu. Gajahpuro memang seorang pemuda yang baik dari pada ayahnya, Klabangkoro. Akan tetapi, dia kurang berbakat dan tidak cukup tangguh untuk menjadi seorang pemimpin. Ketahuilah, hanya seorang ketua yang menguasai aji Hasta Bajra dan selain aku, hanya engkau yang kini menguasainya. Bahkan aku sendiri sudah tidak mampu mempergunakannya dengan baik, jadi engkau seoranglah yang kini menguasainya dengan sepenuhnya. Karena itu, harap jangan menolak lagi, Niken.”

Gadis itu menghela napas panjang. Sebetulnya, sedikitpun tidak ada keinginan di hatinya untuk menjadi ketua Gagak Seto. Akan tetapi iapun tidak tega untuk menolak begitu saja permintaan gurunya yang demikian sungguh-sungguh.

“Bapa, biarlah tentang kedudukan ketua itu akan saya pikirkan dulu, karena bukankah sekarang saya harus melaksanakan tugas pertama mencari pusaka itu? ”

“Baiklah, Niken. Maafkan aku yang telah membebani pikiranmu dengan banyak persoalan. Memang sebaiknya engkau menghadapi satu masalah saja dahulu yaitu mencari pusaka Tilam Upih. Mudah-mudahan saja para dewata melindngimu sehingga engkau yang akhirnya menemukan pusaka yang diperebutkan itu.”

“Bapa, kapan saya harus berangkat? Saya harus membuat persiapan untuk perjalanan itu.”

“Tiga hari kemudian merupakan hari yang amat baik bagimu untuk mulai dengan perjalananmu, Niken. Berkemas dan bersiap-siaplah, dan pusakaku Kyai Megantoro ini kuberikan kepadamu. Bawalah untuk pelindung diri. Biarpun tidak sehebat Kyai Tilam Upih, akan tetapi Megantoro ini sudah menemaniku selama puluhan tahun dan sudah amat besar jasanya.”

Kakek itu mengambil kerisnya dan menyerahkan kepada Niken Sasi. Niken Sasi menerima keris itu dengan kedua tangannya. Kyai Megantoro adalah sebatang keris yang bentuknya lurus, juga tidak terlalu panjang sehingga cocok untuk dipergunakan seorang wanita.

Pada saat itu, sesosok tubuh meninggalkan daun jendela ruangan itu di mana tadi ia berdiri tanpa bergerak dan menahan napas. Orang itu sempat mendengarkan bagian terakhir dari percakapan antara Niken Sasi dan Ki Sudibyo.

Ia seorang wanita muda yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Usianya sekitar duapuluh tahun, seorang gadis yang lumayan cantiknya, dan yang sudah bekerja kepada Ki Sudibyo sejak berusia sepuluh tahun. Oelh karena itu Jinten, demikian nama gadis itu, telah dipercaya. Ialah yang dahulu selalu melayani Ki Sudibyo, akan tetapi semenjak Niken Sasi menjadi murid orang tua itu dan Niken Sasi berkeras melayani sendiri gurunya, Jinten hanya membantunya kalau dikehendakinya saja. Sejak ada Niken Sasi, Jinten lebih banyak bekerja di dapur, masak dan mencuci pakaian. Ia seorang gadis yang manis yang lincah dan agak genit.

Sudah lebih dari tiga tahun Jinten ditarik oleh Klabangkoro menjadi mata-mata untuk selalu mengikuti gerak-gerik Ki Sudibyo. Apa lagi akhir-akhir ini, Jinten dipesan oleh majikannya itu agar selalu mengintai atau mendengarkan kalau Ki Sudibyo bercakap-cakap dengan Niken Sasi. Maka, pada malam hari itu, ketika melihat Ki Sudibyo bercaklap-cakap dengan Niken Sasi, ia cepat menyelinap dekat jendela dan dengan hati-hati mendengarkan percakapan itu.

Sebelum Niken Sasi yang menerima keris itu bangkit meninggalkan ruangan, Jinten mendahuluinya, pergi dengan berjingkat-jingkat. Kemudian wanita ini berlari ke pondok Klabangkoro. Ketika tiba di sana Klabangkoro sedang bercakap-cakap dengan Gajahpuro, puteranya. Biarpun di situ tidak ada orang lain lagi, Jinten nampak meragu ketiak melihat pemuda itu. Memang ia merasa takut kepada Gajahpuro. Pernah ia bersikap genit dan berusaha merayu Gajahpuro, akan tetapi perjaka ini bukannya tertarik, bahkan menghardik dan memakinya! Sejak saat itu, ia tidak berani lagi mendekati putera tokoh Gagak Seto itu. Melihat Jinten datang berlarian, kemudian meragu sambil memandang kepada puteranya, Klabangkoro berkata kepada Gajahpuro,

”Anakku, Gajahpuro, engkau tinggalkanlah dulu ruangan ini. Aku perlu bicara berdua dengan Jinten.”

Gajahpuro bangkit berdiri lalu pergi meninggalkan ruangan itu dengan alis berkerut. Dia tahu bahwa Jinten adalah orang kepercayaan ayahnya, akan tetapi dia tidak tahu apa tugas Jinten. Dia tidak suka dan muak kepada gadis pelayan yang genit itu.

Setelah Gajahpuro pergi, Jinten lalu berkata, “Bendoro, saya membawa berita yang teramat penting sekali ini! ” kata Jinten dengan wajah gembira dan sepasang matanya bersinar-sinar. “Akan tetapi bagaimana dengan janji paduka? Telah banyak jasa saya, akan tetapi belum juga paduka memenuhi janji paduka kepada saya.” kata Jinten dengan sikap jual mahal dan manja.

“Setan! Kurang banyakkah hadiah yang kuberikan kepadamu berupa uang dan pakaian? ” bentak Ki Klabangkoro dengan mata melotot.

Jinten memainkan matanya dengan sikap menarik. “Eh, bukan itu yang saya maksudkan. Soal hadiah memang sudah cukup, akan tetapi paduka pernah berjanji akan mengembil saya sebagai selir.”

Ki Klabangkoro tertawa, tangannya yang besar itu terulur dan di lain saat Jinten sudah didekapnya dan diberikan ciuman yang kuat, lalu dilepaskannya kembali. Wanita itu sampai terengah-engah karena dipeluk kuat sekali.

“Ha-ha-ha, bodoh! Kalau engkau menjadi selirku, bagaimana engkau dapat membantuku lagi? Soal menjadi selir itu mudah. Kalau sudah selesai tugasmu dan tercapai cita-citaku menjadi ketua Gagak Seto, tentu engkau akan menjadi selirku yang pertama. Yang pertama, kaudengar? Akan tetapi sekarang belum, tugasmu masih banyak dan tugas itu baru dapat kau laksanakan kalau engkau menjadi pelayan seperti sekarang. Mengerti? ”

Jinten mengangguk-angguk, pada hakekatnya, ia memang takut sekali kepada Klabangkoro. Tadinya ia sendiri tergila-gila kepada Gajahpuro akan tetapi karena semua usahanya merayu pemuda itu gagal, ia lalu hendak mengait ayahnya.Apalagi setelah ia membantu Ki Klabangkoro dan mengetahui bahwa orang itu ingin menjadi ketua Gagak Seto, ia membayangkan betapa akan terhormat dan senangnya kalau ia menjadi selir ketua!

“Saya......saya mengerti......”

“Bagus! Nah, sekarang ceritakan apa berita penting itu! ”

Jinten bicara perlahan, setengah berbisik dan mendekati Klabangkoro. “Saya mendengar percakapan Ketua dan Niken Sasi. Yang pertama adalah supaya gadis itu pergi mencari keris pusaka Tilam Upih milik kerajaan Daha yang hilang dan ketua telah memberikan keris pusakanya Kyai Megantoro kepada Niken Sasi.”

“Hemmm, apa yang kedua? ”

“Yang kedua penting sekali. Ketua hendak mengangkat Niken Sasi menjadi penggantinya kelak, menjadi ketua Gagak Seto.”

“Keparat! Sudah kuduga! Hemmmm, setan cilik itu......! ”Ki Klabangkoro mengepal tangannya dan berjalan hilir mudik. “Kita harus cepat bertindak! Jinten, cepat kau pergi mengundang adi Mayangmurko ke sini! ”

Perintah itu cepat dilaksanakan. Sebagai seorang pelayan ketua, tentu saja Jinten bebas berkeliaran di perkampungan Gagak Seto itu tanpa ada yang mencurigainya sama sekali. Dan beberapa menit kemudian Klabangkoro dan Mayangmurko sudah berhadapan di dalam bilik tertutp berdua saja.



Bersambung......
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd