Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Cheng Hoa Kiam (Cerita Lepas) asmaraman s kho ping hoo

andytama124

Guru Semprot
Daftar
25 Dec 2014
Post
565
Like diterima
45
Bimabet
Jilid 01
Semenjak bala tentara Mongol yang dipimpin oleh Raja Besar Jengis Khan menyerbu dari Mongolia ke selatan, menghancurkan Suku Bangsa Hsi-hsia kemudian membasmi pula bala tentara Kerajaan Cin. Rakyat Tiongkok tidak mengenal pula artinya hidup aman dan tenteram. Apa lagi setelah bala tentara Mongol itu menyerbu untuk kedua kalinya sekembali mereka dari penyerbuan ke barat, rakyat amat menderita. Jengis Khan membunuh banyak rakyat dengan dalih bahwa rakyat di selatan tidak mau membantu penyerbuannya ke barat dengan sungguh-sungguh, yakni bantuan berupa ransum dan perlengkapan.

Memang demikianlah, setelah menyerbu di selatan dan berhasil menduduki kota raja Kerajaan Cin kemudian tentara Mongol ditarik kembali untuk dikerahkan ke barat, rakyat diperintah untuk membantu pasukan pasukan. Mongol itu dengan persediaan ransum, perlengkapan, juga hiburan dan orang-orang perempuan. Sambutan terhadap perintah ini memang amat dingin, pertama tama oleh karena rakyat sendiri sedang menghadapi kekurangan makan akibat perang, kedua kalinya karena di dalam hati rakyat sudah timbul keberatan yang mendalam terhadap si penjajah dan penindas.

Pembatasan yang dilakukan oleh Jengis Khan benar-benar mengerikan sekali. Boleh dikata seluruh penduduk kota suku Bangsa Hsi hsia dibunuh oleh tentara Mongol laki-laki dan wanita, kakek-kakek dan bayi tak terkecuali! Memang Jengis Khan terkenal sebagai seorang kaisar besar yang gagah perkasa berwatak keras seperti baja tak kenal mundur dahsyat dan kejam sekali, kalau perlu membunuh laksaan manusia untuk mencapai kemenangan cita-cita. Seorang tokoh besar seperti Jengis Khan yang sudah berhasil menyatukan seluruh rakyat Mongolia yang sudah berhasil memimpin bala tentaranya menggilas dan menaklukkan negara-negara jauh seperti Tiongkok bagian utara Sin kiang, Iran, Afganistan bahkan menghancurkan bala tentara Rusia di Rusia selatan, tentu mempunyai sifat yang gagah perkasa dan adil. Dia takkan berhasil mendapat dukungan penuh kesetiaan dari rakyatnya yang gagah berani itu apa bila dia sendiri tidak gagah perkasa dan adil dalam pimpinannya.

Akan tetapi sudah terlalu sering terbukti bahwa sang pemimpin sama sekali tidak sama dengan anak-anak buahnya. Watak baik seorang pemimpin sama sekali tidak mencerminkan watak dari pada anak buahnya, sungguhpun keadaan baik para petugas tentu tergantung dan pada kebijaksanaan sang pemimpin. Dengan lain penjelasan, biarpun seorang pemimpin amat bijaksana dan berbudi mulia, adil dan mencinta rakyat, namun belum tentu kalau anak buahnya, yakni para petugas pemerintahannya, juga adil dan mencinta rakyat! Sebaliknya kalau para petugas itu melakukan tugas dengan hati bersih dari pada korupsi dan penindasan kepada rakyat sudah boleh dipastikan bahwa sang pemimpin tentu seorang berjiwa besar!

Seorang ahli bangunan takkan mungkin mendirikan sebuah bangunan yang Indah dan kuat sebagaimana ia rencanakan semula kalau tukang-tukang dan para pekerjanya tidak melakukan pekerjaan dan tugas masing masing sebagaimana mestinya. Sebaliknya kalau para petugas itu bekerja baik sehingga terbangun sebuah bangunan yang hebat, sudah dapat ditentukan bahwa pekerjaan itu dipimpin oleh seorang ahli bangunan yang pandai. Pendek kata, kemajuan dan sukses bukan tergantung kepada pemimpin semata melainkan sebagian besar tergantung kepada para pelaksana atau petugas.

Demikianpun dengan Kerajaan Mongol yang mulai berkembang itu. Bangsa ini adalah bangsa yang gagah berani dan mempunyai disiplin yang amat baik. Oleh karena inilah maka bala tentara Mongol berhasil baik sekali dalam setiap serbuannya. Sayang sekali bahwa kebaikan ini hanya terletak dalam disiplin ketentaraan, yakni hanya dalam soal perang saja. Sebaliknya dalam bidang pemerintahan dan mengatur rakyat, keadaan buruk bukan main. Rakyat tertekan dan tercekik. Tentara Boan (Mongol) yang menduduki kota dan dusun. bertindak sewenang-wenang. Di mana mana keadaan kacau balau, kelaparan merajalela karena selain timbul okpa okpa (hartawan jahat) yang mengandalkan uang untuk menyogok pembesar setempat dan mereka bersama merampas tanah petani miskin juga para petani hanya bekerja setengah hati. Mereka ini ragu-ragu dan takut meninggalkan pintu rumahnya karena selain takut mendapat perlakuan sewenang wenang dari tentara penjajah di sawah ladang, juga khawatir kalau kalau anak isteri di rumah akan diganggu apabila ditinggalkan.

Pembunuhan tanpa diperiksa lagi, perampasan anak gadis dan orang-orang yang dijadikan budak paksa dan tindakan tindakan lain yang mendekati perbuatan binatang buas sudah bukan hal aneh lagi di waktu itu. Tidak mengherankan apabila di mana-mana timbullah gerakan-gerakan pemberontak yang dipimpin oleh orang-orang gagah patriot-patriot perkasa yang tidak sudi melihat negara dan bangsanya ditindas dan diinjak-injak oleh kaum penjajah. Pertempuran berkobar di mana mana, pasukan-pasukan Boan yang menduduki kota dan dusun tak pernah diberi waktu istirahat oleh kaum pemberontak yang melakukan perang gerilya. Semua gangguan ini mengakibatkan kerugian yang tidak kecil bagi penjajah Boan.

Berbagai daya dan tipu muslihat licik dan rendah digunakan oleh pemerintah Boan untuk menindas pemberontakan-pemberontakan itu akan tetapi semangat para patriot bangsa tak kunjung padam. Sungguhpun kekuatan mereka ini amat kecil dibandingkan dengan kekuatan bala tentara Boan dan sungguhpun usaha mereka untuk menggulingkan kekuasaan Boan itu dapat diumpamakan seekor tikus hendak menggugurkan gunung, namun mereka tak pernah mau berhenti dalam usaha mulia itu dan mempertaruhkan nyawa dan raga dalam mengabdi nusa bangsa.

Karena bala tentara Boan dipusatkan di kota raja dan mereka ini sering kali berkeluyuran di daerah ini, maka banyak kota dan dusun di sekitar kota raja ditinggalkan penghuninya yang mengungsi jauh ke selatan. Demikian pula dusun Cian-bun-kwan yang letaknya hanya lima belas lie di sebelah selatan kota raja. Dusun itu yang dulunya amat ramai, sekarang nampak sepi dan hanya kaum pria dan orang orang tua saja yang tinggal di situ. Kaum wanitanya, terutama yang muda dan cantik, sudah siang-siang melarikan diri mengungsi atau lenyap dirampas serdadu Boan.

Di ujung jalan dusun sebelah barat terdapat sebuah kelenteng di mana dipuja patung Kwan In Tiang atau Kwan Kong seorang tokoh besar, seorang panglima perang yang gagah perkasa di jaman Sam Kok. Oleh karena itu kelenteng ini disebut Kwan te bio (Kelenteng Kwan Kong) Melihat sifat tokoh yang dipuja mudah saja menilai watak si pemuja. Sebagian besar pemuja Kwan Kong tentulah orang yang mengutamakan dan menjunjung tinggi kegagahan lahir batin yang dimiliki oleh tokoh besar itu.

Akan tegapi kelenteng itu nampak sunyi saja seakan akan tidak ada penghuninya. Di atas meja sembahyang tidak kelihatan alat sembahyang, tidak ada lilin menyala. Akan tetapi sebetulnya, kelenteng itu tidak kosong karena kalau orang berdiri di depan kelenteng dan memasang telinga penuh perhatian, orang itu akan mendengar suara orang berkata-kata seorang diri.

"Manusia memang berakal budi bersemangat berusaha mati matian, namun apa artinya semua itu kalau Thian menghendaki lain? Kaisar kaisar seperti Bun Ong dan Bu Ong boleh mati-matian mendirikan dan memperkuat Kerajaan Cou namun setelah tiba masanya sesuai dengan kehendak Thian. Kerajaan Cou musnah! Kerajaan jatuh bangun, manusia mati dan lahir semua tak dapat dikuasai oleh manusia sendiri semua harus tunduk dan mandah menjadi permainan hidup. Kemudian terdengar suara orang menghela napas panjang seperti orang kecewa dan murung.

Siapakah orang yang berkata-kata seorang diri di dalam Kelenteng Kwan-te bio itu? Dia seorang laki-laki tinggi besar dan tegap kokoh sekali bentuk tubuhnya, kepalanya gundul licin, pakaiannya berwarna kuning, potongannva sederhana seperti kurungan atau seperti kain panjang biasa dibalutkan tubuhnya. Melihat bentuk pakaian dan kepalanya, mudah diketahui bahwa dia adalah seorang hwesio (pendeta pemeluk Agama Buddha).

Dahulu di waktu mudanya, ia bernama Gan Tui. Kemudian.setelah menjadi hwesio ia lebih terkenal dengan sebutan Beng Kun Cinjin sehingga akhirnya nama Gan Tui dilupakan orang. Di dunia kang-ouw nama Beng Kun Cinjin sudah amat terkenal. Dia sebuah di antara bintang bintang besar di angkasa kang-ouw (dunia persilatan). Siapakah yang tidak mengenal Beng Kun Cinjin, yang pernah seorang diri menyerbu sarang Lima Siluman Huang-ho dan membinasakan lima orang bajak sungai yang jahat ini serta membubarkan anak buah bajak yang puluhan orang banyaknya? Siapa pula belum mendengar betapa Beng Kun Cinjin ini pernah menjajal kepandaian beberapa orang ciangbujin (ketua partai persilatan besar) yang kemudian ia kalahkan?

Selain terkenal sebagal seorang tokoh besar di dunia persilatan, juga Beng Kun, Cinjin terkenal sekali ketika ia membantu pasukan pemerintah Cin melawan bala tentara Boan. Pasukan-pasukan Boan banyak sekali menderita kerugian apa bila bertemu dengan pasukan yang dibantu deh hwesio ini. Akan tetapi, fihak Boan lebih kuat. Selain banyak sekali panglima-panglimanya yarig gagah perkasa, juga jumlah mereka jauh lebih besar sehingga akhirnya Kerajaan Cin dimusnahkan.

Beng Kun Cinjin yang sudah berusia limapuluh tahun akan tetapi tubuhnya masih kekar dan mukanya masih sehat kemerahan seperti orang muda itu, menjadi patah hati dan ia menyembunyikan diri dari kelenteng ini ke kelenteng lain untuk bersamadhi dan menyesali nasib negaranya, la menghibur hati sendiri dengan kepercayaan bahwa kesemuanya itu, segala kegagalan hidup, baik manusia maupun negara, adalah kehendak Thian!

Pada pagi hari itu dia bersamadhi di dalam Kelenteng Kwan-te-bio di dusun Cian-bun kwan. Teringat akan nasib negaranya, ia mengeluarkah kata-kata tadi tidak tahu bahwa di luar kelenteng ada orang yang mendengarkan. Orang itu memakai sepatu dari kain tebal dan lunak sehingga suara jejak kakinya tidak terdengar dari dalam kelenteng. Sebetulnya kalau Beng Kun Cinjin tidak sedang tenggelam datam lamunan dan kesedihan, tentu ia akan mendengar karena hwesio ini memiliki pendengaran yang, amat tajam berkat lweekangnya yang sudah tinggi sekali. Orang itu cepat meninggalkan halaman kelenteng dan di lain saat ia telah meninggalkan kampung Cian-bun-kwan sambil membalapkan kudanya, menuju ke kota raja. Orang ini sebetulnya adalah seorang mata-mata atau kaki tangan dari pasukan Boan yang berada di kota raja. Pada masa itu, banyak sekali terdapat tikus-tikus semacam ini. yakni orang-orang yang tidak segan-segan untuk menjual bangsa dan tanah air sendiri demi untuk mendapatkan emas dan kedudukan!

Tak lama kemudian, menjelang tengah hari, dari jurusan kota raja datang serombongan pasukan berkuda menuju ke dusun Cian-bun-kwan. Debu mengepul, tinggi dan menempel pada daun-daun pohon di pinggir jalan ketika pasukan berkuda ini lewat dengan cepatnya. Pasukan itu cukup panjang, ada limapuluh orang, dikepalai oleh tiga orang perwira yang gagah perkasa sikap dan pakaiannya. Para petani yang sedang bekerja di sawah, hanya beberapa belas orang saja, cepat bertiarap dan sedapat mungkin menyembunyikan diri di antara galengan sawah agar jangan terlihat oleh pasukan itu, yang mereka anggap sebagai serombongan iblis yang haus nyawa.

Belum juga pasukan itu memasuki dusun Cian-bun-kwan, penduduk yang tinggal sedikit itu siang-siang sudah lari cerai-berai ke selatan dusun karena sudah terlalu sering terjadi kalau serombongan pasukan Boan memasuki dusun, mereka akan meninggalkan dusun itu dalam keadaan hancur dan kosong. Rampok bakar, bunuh, culik tentu menjadi akibat penyerbuan itu.

Akan tetapi kali ini tidak demikian halnya. Pasukan itu seakan-akan tidak memperdulikan penduduk dan langsung menuju ke Kelenteng Kwan-te-bio yang segera mereka kurung. Kuda mereka dikumpulkan di sebelah kiri kelenteng di mana terdapat sekelompok pohon yang liu (cemara).

Seorang di antara tiga orang perwira yang memimpin pasukan itu menghampiri pintu kelenteng, akan tetapi ia ragu-ragu dan tidak berani masuk! Kemudian ia berseru keras ke arah pintu kelenteng yang terbuka itu.

"Beng Kun Cinjin kami sudah tahu bahwa kau berada di dalam kelenteng ini!" Suara ini bergema lenyap kemudian keadaan sunyi sekali. Biarpun di situ ada limapuluh orang tentara Boan, namun tak seorangpun di antara mereka yang mengeluarkan suara. Semua menahan napas memasang telinga tanpa bergerak. Hanya ringkik kuda terdengar di sebelah kiri. Kemudian terdengarlah suara jawaban dari dalam kelenteng, suara yang tenang dan halus, akan tetapi nyaring menusuk telinga, "Memang pinceng berada di sini. Kalau kalian sudah tahu, mau apakah?"

"Beng Kun Cinjin, kami datang atas perintah kaisar. Keluarlah dan mari kita bicara secara baik-baik!" kata pula perwira itu.

"Kalian datang bukan pinceng (aku) yang mengundang, dan pinceng tidak ada urusan sesuatu dengan kalian maupun dengan Kaisar Boan, mengapa pinceng harus keluar? Kalian pergilah dan jangan mengganggu seorang pendeta yang sedang bersamadhi."

Perwira yang petentang-petenteng di depan pintu kelenteng itu menjadi marah. Ia melambaikan tangan kepada dua orang serdadu yang cepat menghampirinya.

"Dia keras kepala, mari kita lihat bagaimana macam orangnya " katanya Masuklah dia bersama dua orang serdadu, dan dari luar tiga orang ini sudah mencabut senjata, si perwira mencabut pedang dan dua orang serdadunya mencabut golok. Dengan berindap-indap seperti tiga ekor kucing mencari tikus, mereka memasuki kelenteng menuju ke arah datangnya suara.

Terlihatlah oleh mereka Beng Kun Cinjin duduk bersila di atas lantai ruangan tengah. Kepala yang gundul pelontos itu tunduk, sepasang matanya meram dan kedua tangannya dalam sikap samadhi, dirangkap dengan jari-jari tangan lurus di depan dada. Tasbeh yang panjang berwarna putih tergantung di leher sampai ke pusar. Dalam keadaan seperti ini Beng Kun Cinjin nampak, biasa saja, seperti seorang pendeta yang alim dan wajahnya yang bersih dan bentuknya tampan itu membuat ia nampak jauh lebih muda dari pada usia sebenarnya.

Hati perwira dan dua orang serdadunya menjadi besar. Tak disangkanya bahwa Beng Kun Cinjin yang dikabarkan orang seperti iblis, yang sudah membunuh ratusan orang serdadu Boan dalam perang yang lalu. hanya macam ini saja. Perwira itu mengeluarkan suara menghina di dalam hidungnya, kemudian melangkah maju.

"Beng Kun Cinjin. kami adalah utusan kaisar. Mau tidak mau kau harus keluar bersama kami untuk menghadap kaisar," kata perwira itu dengan suara membentak-bentak. Tanpa membuka matanya, Beng Kun Cinjin menjawab.

"Tikus tikus busuk, keluarlah dari sini!”

Perwira itu menjadi marah. Ia dan kawan-kawannya memang mendapat tugas bahwa kalau tidak dapat memaksa hwesio ini menyerah, boleh membunuhnya saja. Ia memberi isyarat kepada dua orang kawannya dan sambil berseru keras tiga orang ini menggerakkan senjata menyerang hwesio yang masih bersila sambil meramkan mata itu. Dua batang golok membacok. kepala yang gundul kelimis, dan sebatang pedang menusuk ke arah dada hwesio itu. Menurut patut, karena dia sendiri bertangan kosong dan sedang duduk bersila dengan mata tertutup, diserang seperti itu pasti di lain saat kepala yang gundul pelontos itu akan terbelah menjadi tiga potong dan dada yang bidang itu akan ditembusi pedang. Akan tetapi sama sekali tidak terjadi hal seperti itu, bahkan sebaliknya. Ketika tiga ujung senjata itu sudah mendekati sasaran, tiba-tiba Beng Kun Cinjin menggerakkan kepala, diangkat ke atas. Tasbeh yang bergantung pada lehernya bergerak. keras sekali ke atas dan sekaligus tiga batang senjata tajam itu terpukul. Terdengar suara keras dan senjata-senjata itu terlepas dari pegangan dan terlempar, kemudian menimbulkan suara berisik ketika jatuh di atas lantai. Selagi tiga orang itu memandang bengong, Beng Kun Cinjin membuka kedua tangan mendorong ke depan sambil berseru, "Keluarlah!"

Angin pukulan yang hebat sekali menyambar dan tiga orang itu bagaikan disambar angin taufan mencelat dan tubuh mereka melayang keluar dari pintu, jatuh berdebuk bergulingan di luar kelenteng!

"Lihai........! Lihai.......!" perwira itu berkata sambil terbatuk-batuk dan darah muncrat dari mulutnya.

"Setan dia.........!" kata serdadu pertama.

"Siluman! Jangan dilawan.........!" jerit serdadu ke dua dan dua orang serdadu ini begitu merangkak bangun, terus melarikan diri. Akan tetapi hanya lima tindak karena mereka segera terguling dan ketika kawan-kawannya memandang, ternyata keduanya sudah tak bernyawa lagi. Demikian hebatnya pukulan jarak jauh yang dilepaskan oleh Beng Kun Cinjin tadi sehingga sekaligus dapat membunuh dua orang serdadu dan me lukai seorang perwira yang kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada dua orang serdadunya

Perwira pertama yang memimpin barisan itu segera melangkah ke depan pintu dan dengan lantang ia berkata,

"Beng Kun Cinjin. mengapa kau seorang pendeta suci membunuh orang tanpa sebab?”

"Pinceng tidak mengundang kalian, akan tetapi kalian berani mengirim tiga orang mengotori lantai kelenteng dan menyerang pinceng. Mati hidup di tangan Thian, kawan-kawanmu mati karena kesalahan sendiri, mengapa menyalahkan pinceng?"

"Beng Kun Cinjin, kau salah mengerti. Sebenarnya kami diberi tugas oleh kaisar untuk mengundangmu ke istana Kaisar yang mulia dan murah hati berkenan hendak memberi kedudukan tinggi kepadamu, Beng Kun Cinjin. Kau bahkan hendak diangkat menjadi kepala pengawal kaisar. Biarlah kami anggap kematian kawan-kawan kami itu kesalahan mereka sendiri dan takkan mengurus panjang asal kau sudi ikut dengan kami ke istana menghadap kaisar."
 
Lama tidak ada jawaban. Perwira itu menanti sampat beberapa lama. kemudian kehilangan sabarnya dan bertanya lagi,

"Bagaimana. Beng Kun Cinjin. Maukah kau menerima kehormatan dan kemuliaan di istana?”

Kini terdengar jawaban hwesio itu. jawaban yang dinyanyikan dengan suara nyaring bersemangat.

"Srigala utara mengurai selatan
sudah menjadi kehendak Thian!
Pinceng tak dapat berbuat apa-apa
karena semua usaha akan sia-sia.
Akan tetapi, menyuruh pinceng membantu srigala?
Pinceng lebih suka membonceng naga!"

Di dalam jawaban bersajak ini, yang dimaksud dengan srigala utara tentu saja bala tentara Mongolia atau juga Jengis Khan sendiri. Dahulu, di waktu ia masih mengikut dalam perantauan suhunya, pernah suhunya meramalkan bahwa akan datang masanya Tiongkok dikuasai oleh srigala dari utara dan hal itu sudah menjadi kehendak Thian. Guru dari Beng Kun Cinjin adalah seorang pertapa suci di Gunung Himalaya dan selain pandai ilmu silat, juga terkenal sebagai ahli hoat-sut (ilmu gaib) dan pandai pula meramal. Oleh karena mengingat akan kata-kata gurunya inilah, maka Beng Kun Cinjin tidak melanjutkan usahanya memusuhi pemerintah Boan (Mongol).

Karena dianggapnya hal itu sudah menjadi kehendak Thian seperti yang dikatakan dalam nyanyiannya tadi. Akan tetapi, ia masih tetap seorang gagah dan tidak sudi kalau ia disuruh membantu Kaisar Mongol seperti yang ditawarkan oleh perwira Mongol itu dan la lebih suka membonceng naga Dengan kata-kata ini. ia mengambil kata-kata Khong Hu Cu yang menyatakan bahwa Lo Cu adalah seperti seekor naga sakti yang terbang di angkasa raya, sindiran bagi seorang pelamun atau seorang yang tekun memikirkan tentang hal hidup dan lain-lain.

Seperti diketahui, pelajaran Khong Cu adalah pelajaran praktis, pelajaran hidup di dunia ini, atau boleh dibilang pelajaran lahiriah dan tata susila hidup. Sebaliknya pelajaran Lo Cu lebih mendalam, lebih bersifat filsafat lamunan, lebih dekat dengan apa yang disebut alam halus atau alam tinggi. Demikian pula, para pertapa selalu mendekati yang tinggi-tinggi ini dan karenanya Beng Kun Cinjin menyatakan bahwa ia lebih suka membonceng naga atau lebih suka menjadi pertapa untuk mencapai apa yang dicita-citakan oleh semua pertapa dan Lo Cu! Mendengar nyanyian ini, perwira Boan itu menjadi marah.

"Beng Kun Cinjin, kau berhadapan dengan utusan kaisar, harap kau suka berpikir lebih panjang. Ketahuilah bahwa kaisar sudah memberi kekuasaan kepada kami untuk membawamu ke istana, hidup atau mati. Kalau kau suka berada di dalam istana, kau akan hidup. Akan tetapi kalau kau mau tinggal di luar istana, kau harus mati!"

Jawaban kata-kata ini hanyalah suara ketawa yang nyaring dan panjang, seakan-akan hwesio itu merasa geli sekali mendengar ancaman ini.

Perwira itu menjadi marah karena ia tahu bahwa Beng Kun Cinjin terang tidak mau menyerah. Ia mencabut senjatanya, yakni sepasang tombak pendek bercagak, lalu ia memberi aba-aba, "Serbuuu.........!”

Bagaikan air bah. pasukan Mongol itu menyerbu, ada yang memasuki pintu, ada yang menerjang jendela dan di lain saat mereka telah tiba di ruangan di mana Beng Kun Cinjin masih duduk bersila sambil memandang kepada mereka dengan senyum menghina.

"Beng Kun Cinjin. menyerahlah sebelum kami menghancurkan tubuhmu." perwira tadi mengancam akan tetapi tiba-tiba tangan kanan Beng Kun Cinjin bergerak ke depan, memukul atau mendorong sambil berseru, "Kaulah yang hancur!"

Perwira ini adalah seorang ahli silat tinggi. Melihat gerakan hwesio itu, ia terkejut sekali karena angin pukulan tangan hwesia itu luar biasa hebatnya. Tahu bahwa ia menghadapi pukulan jarak jauh yang luar biasa dan berbahaya, perwira ini cepat melompat ke samping akan tetapi tetap saja pundaknya terlanggar angin pukulan dan tubuhnya terlempar sampai menabrak kawan-kawannya yang berada di belakangnya!

Tak lama kemudian, terdengar jerit dan pekik kesakitan dan tubuh para penyerbu itu terlempar bagaikan sekumpulan semut tertiup angin dari pohon! Ada yang terbanting pada dinding sampai benjol-benjol kepalanya, bahkan ada yang sampai pecah kepalanya dan tewas di saat itu juga, banyak pula yang patah tulang kaki tangannya. Keadaan menjadi kacau balau dan perwira itu yang tidak terluka berat, cepat memberi aba-aba mundur. Para serdadu Boan yang tidak atau belum terluka, menyeret tubuh kawan kawan yang terluka atau tewas dan tak lama kemudian mereka berkumpul lagi didepan kelenteng. Ternyata dalam segebrakan saja, dengan tiga orang penyerang terdahulu fihak pasukan Boan itu ada lima orang yang tewas dan sepuluh orang yang terluka berat. Belum yang terluka ringan banyak sekali. Dari sini dapat dinilai betapa hebat dan dahsyatnya kepandaian dari Beng Kun Cinjin!

Perwira ini cepat memberi aba aba dan berserabutanlah para serdadu itu bekerja. Apa yang mereka lakukan? Ternyata mereka merencanakan siasat keji sekali untuk mengalahkan Beng Kun Cinjin yang lihai. Puluhan orang serdadu itu mengumpulkan kayu bakar yang ditaruh di sekeliling kelenteng, menaruh pula minyak bakar, kemudian mereka membakar tempat itu!

"Kepung kelenteng siapkan anak panah dan amgi (senjata gelap)!" perintah perwira itu.

Sebentar saja, dibantu oleh teriknya matahari, kelenteng itu terbakar. Api bernyala-nyala tinggi sekali dan hawa panas sampai terasa oleh para serdadu yang mengepung kelenteng itu dari tempat yang enam tujuh tombak jauhnya. Kadang-kadang si perwira memberi aba-aba dan meluncurlah puluhan batang anak panah, piauw (senjata gelap), pisau dan paku ke arah lubang lubang pintu dan jendela, untuk mencegah pendeta itu melarikan diri dari dalam kelenteng! Ledakan-ledakan bambu dan benda di dalam kelenteng terdengar tar-ter-tor membikin bising, ditambah berkerataknya api makan kayu. Tak lama kemudian, disusul suara hiruk-pikuk ketika atap kelenteng yang terbakar itu roboh dan asap hitam mengantar abu dan angus membubung tinggi di angkasa.

Tiga jam kemudian, yang tinggal dari Kelenteng Kwan-te-bio hanyalah bangunan tembok lima kaki tingginya. Yang lain-lain. terbuat dari pada kayu. musnah sama sekali menjadi tumpukan puing. Meja kursi bangku dan perabot perabot lain lenyap menjadi abu. Patung-patung pecah terguling, tidak karuan lagi macamnya karena pakaian-pakaian patung telah terbakar habis. Patung Kwan Kong yang tadinya berdiri gagah dengan pedang di pinggang, telah roboh tertelungkup dalam keadaan telanjang dan ternyatalah bahwa yang bagus ukirannya hanya bagian muka dan kaki tangan yang kelihatan saja. Bagian tubuh yang tadinya tertutup pakaian sutera, ternyata merupakan tanah liat kering yang tak karuan bentuknya.

Para serdadu Boan bersorak-sorak. Mereka semua tidak ada yang melihat hwesio yang ditakuti itu lari keluar, maka semua tahu bahwa hwesio kosen itu tentu telah mampus terbakar. Mereka bergembira, karena tadinya semua orang cemas dan ketakutan kalau-kalau hwesio itu keluar dari kelenteng dan mengamuk. Akan tetapi perwira itu tidak mau bekerja setengah-setengah.

"Bongkar puing itu dan mari kita lihat mayatnya!"

Kembali para serdadu bekerja. Kalau tadi mereka bekerja untuk membuat api adalah sekarang sebaliknya, mereka sibuk memadamkan api yang masih memerah. Akhirnya mereka membongkar bagian ruangan di mana hwesio tua tadi bersila. Akan tetapi di situ tidak terdapat mayat atau sisa-sisa mayat Beng Kun Cinjin. Mereka mencari ke bagian lain karena mengira bahwa hwesio itu dalam bingungnya dikurung api. mungkin berlari ke tempat lain. Akan tetapi di mana mana tak dapat ditemukan miyat si hwesio itu. Semua orang penasaran dan akhirnya mereka saling pandang. Bulu tengkuk mereka berdiri dan wajah mereka berubah pucat. Ternyata bahwa di dalam kelenteng yang sudah habis terbakar itu tidak dapat ditemukan mayat Beng Kun Cinjin! Beng Kun Cinjin, entah masih hidup entah sudah mati, telah lenyap dari tempat itu!

"Tak mungkin!" perwira itu berseru keras. "Kalau dia bisa lari menyelamatkan diri, pasti terlihat oleh kita yang mengurung tempat ini. Hayo cari lagi!"

Sampai matahari condong ke barat dan tempat itu sudah dibongkar sama sekali, mereka tetap saja tidak dapat menemukan mayat Beng Kun Cinjin Akhirnya perwira itu menjadi ketakutan sendiri dan dengan wajah lesu ia memberi perintah kepada anak buahnya untuk kembali ke kota raja membuat laporan sambil membawa kawan kawan yang terluka dan tewas. Kalau di waktu datang ke dusun itu rombongan tentara Boan ini nampak garang dan galak, adalah sekarang perginya nampak lesu dan muram.

"Ada setan, tolooong...!” "Siluman hitam...! Siluman hitam...! Hayo kepung, tangkap!" Teriakan-teriakan ini terdengar di tengah malam di dalam lingkungan bangunan istana kaisar di kota raja. Maka sebentar saja keadaan menjadi geger tidak karuan. Para pelayan lari tunggang-langgang saling bertumbukan, para pengawal siap-sedia dan berkumpul untuk menghadapi setan atau siluman yang membikin takut orang itu. Pembesar-pembesar yang tidak mengerti ilmu silat. cepat menyembunyikan diri akan tetapi para pangeran yang pandai ilmu silat, keluar sambil mem-bawa senjata. Sikap mereka ini gagah seakan-akan setiap orang sanggup untuk melawan setan!

Tinggi di atas wuwungan istana, benar saja kelihatan sesuatu makhluk yang kelihatan mengerikan. Bentuknya seperti manusia, kepalanya gundul, perawakannya tegap dan tinggi besar, dadanya bidang dan nampaknya kuat sekali, sepasang matanya saja yang nampak berkilat-kilat karena muka dan kepalanya. juga tangan dan kakinya, semua menghitam! Dia ada juga berpakaian, akan tetapi sukar disebut pakaian karena tidak karuan macamnya, hanya menutupi bagian terpenting saja, dari atas lutut sampai dipinggang. Ada juga sedikit bagian pakaian yang masih mengalungi pundak kirinya, akan tetapi semua sudah cabik-cabik dan hangus.

Di bawah genteng para pengawal dan busu sudah siap dan berkumoul. semua memandang ke atas penuh perhatian. Beberapa orang pengawal yang siang tadi ikut menyerbu Kelenteng Kwan-te-bio menjadi pucat sekali setelah sinar lampu dan sinar bulan menerangi muka makhluk itu..

"Dia......dia Beng Kun Cinjin..!” kata perwira yang tadi memimpin serangan. Semua pengawal yang mendengar ini, menjadi pucat. Perwira yang memimpin pasukan siang tadi sudah bercerita tentang keanehan yang terjadi, yakni bahwa kelenteng telah dibakar habis akan tetapi hwesio di dalamnya hilang musnah, hal yang amat tidak mungkin. Dan sekarang, pada tengah malam. hwesio itu muncul dalam keadaan mengerikan sekali. Tubuh dari pakaiannya hangus menghitam! Siapa yang takkan merasa gentar dan serem?

"Betul, dia..... dia setan dari hwesio yang mati terbakar. Hidup lagi... jadi setan...!” Mendengar kata-kata ini, ada beberapa orang pengawal istana sudah lari lintang pukang saking takutnya. Akan tetapi para panglima yang hadir di situ membentak sehingga pengawal-pengawal yang lari menghentikan larinya dan kembali dengan muka merah.

"Manusia atau setan iblis atau bukan, kita harus menangkapnya!" kata seorang Panglima Kim-i-wi (Pengawal Baju Sulam) yang terkenal sebagal jagoan dan berilmu tinggi. Panglima ini masih muda dan dalam kedudukan para pengawal kaisar, ia terhitung menduduki tingkat ke dua.

Namanya Lo Thung Khak dan ilmu tombaknya membuat ia dijuluki orang Sin-chio (Tombak Sakti), dan dalam, usia tigapuluh lima tahun sudah dapat menduduki tingkat demikian tinggi, membuktikan bahwa kepandaiannya memang lihai. Setelah berkata demikian untuk membesarkan hati kawan-kawannya, Lo Thung Khak memutar-mutar tombaknya dan membentak makhluk di atas genteng itu.

"Siapakah kau? Manusia atau setan? Ada niat apa datang di sini?”

Suara pertanyaan ini bergema di tengah, malam, keras dan panjang karena Lo Thung Khak mempergunakan tenaga khikangnya. Semua orang berdebar menanti untuk mendengarkan jawaban makhluk yang berdiri tegak tak bergerak di atas wuwungan yang tinggi itu.

Jawaban itu datang dan hanya merupakan suara ketawa bergelak yang panjang menusuk telinga. Suara ketawa itu makin lama makin meninggi dan tiba- tiba terdengar suara beberapa orang menjerit kesakitan dan roboh seperti orang lumpuh. Mereka ini adalah orang-orang yang kurang tinggi kepandaiannya sehingga tidak kuat mendengarkan suara ketawa itu lebih lama lagi. Mereka yang lweekangnya sudah tinggi dapat mengerahkan tenaga dalam untuk menolak pengaruh suara ini dah memperkuat isi dada. Suara ketawa ini bukan lain adalah semacam cara menyerang yang mempergunakan getaran suara lweekang untuk merusak telinga dan jantung lawan! Inilah semacam kepandaian berdasarkan lweekang yang sudah tinggi sekali tingkatnya dan akibatnya, ada lima orang pengawal yang roboh dengan jantung pecah dan binasa di tempat dan saat itu juga! Suara ketawa berhenti dan terdengarlah suara Beng Kun Cinjin yang menggeledek.

"Kawanan, tikus! Siang tadi kalian membakar kelenteng dan hampir saja membakar diriku. Hmm makin didiamkan kalian makin menjadi! Sekarang saatnya Beng Kun Cinjin membalas dendam. Bersiaplah untuk mampus sebelum kaisarmu kubinasakan!"

Suara ini demikian berpengaruh dan menakutkan sehingga untuk sejenak semua Kim i-wi dan para siwi dan busu lain berdiri terpaku dengan muka berubah Akan tetapi hanya sebentar saja karena segera timbul kemarahan mereka. Mereka terdiri dari orang orang pilihan ahli silat tinggi yang kepandaiannya sudah sampai di tingkat atas. Mereka adalah jagoan jagoan. Bangsa Mongol, ada pula Bangsa Cin. dan Bangsa Han yang menjadi kaki tangan pemerintah Boan karena ingin memperoleh kemuliaan duniawi.

Lo Thung Khak juga marah sekali. Ia menuding dengan tombaknya sambil memaki.

"'Bangsat gundul yang sombong! Siapa takut mendengar obrolan kosongmu?" Sekali ia menggerakkan kedua kaki ia telah melompat naik ke atas genteng, diikuti oleh belasan orang Kim i wi yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi.

Gerakan mereka ini demikian ringan dan kaki mereka tidak mengeluarkan suara ketika mereka tiba di atas genteng, tanda bahwa ginkang mereka sudah sempurna. Kemudian mereka berlompat-lompatan makin tinggi untuk mendatangi hwesio yang berdiri tegak di atas wuwungan itu. Beng. Kun Cinjin hanya berdiri tegak, tertawa-tawa dan kedua tangannya bertolak pinggang. Ia menanti sampai belasan orang lawannya itu tiba di atas wuwungan, kemudian dengan secara tiba tiba ia melakukan pukulan dengan kedua tangannya. Dua lengan tangan yang kuat dan berotot ini digerakkan ke depan bertubi seperti riang mendorong.

Belasan orang Kim i-wi hu berpencar dan menghadapi pukulan jarak jauh ini dengan sikap masing masing. tergantung dari pada ilmu silat mereka. Ada yang merendahkan tubuh dan memasang kuda-kuda sambil mengerahkan lwee kang, ada pula yang melompat tinggi sekali untuk menghindarkan diri. ada pula yang melakukah gerakan menangkis dengan pengerahan tenaga lweekang. Hanya dua orang yang terpelanting roboh karena tidak dapat menahan gelombang hawa pukulan dari Beng Kun Cinjin akab tetapi yang dua inipun hanya terpelanting karena kuda-kudanya gempur, sama sekali tidak menderita luka.

Beng Kun Cinjin maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan-lawan yang berat, jauh bedanya dengan pasukan yang siang tadi menyerbunya di dalam Kelenteng Kwan-te-bio. Oleh karena itu, iapun tidak mau membuang waktu sia-sia dan cepat melompat dan menyambut mereka dengan ilmu pukulan tangan kosong yang luar biasa hebatnya. Ilmu silat ini dilakukan dengan gerakan yang lambat dan kelihatannya perlahan saja akan tetapi oleh karena penggunaannya didasarkan pada tenaga lweekang dan sinkang. maka setiap senjata lawan yang datang menyambar, selalu tertolak oleh hawa pukulan ini dan terpental sebelum mengenai tubuh Beng Kun Cinjin.

Hwesio yang kini menjadi hitam seluruhnya ini memang seorang yang sakti. Ilmu pukulannya jarak jauh yang tidak sembarang orang sanggup menerima adalah ilmu pukulan ciptaannya sendiri berdasarkan lweekang yang disebut Lui kong-Jiu, (Tangan Sinar Kilat). Ilmu pukulan ini memang amat dahsyat dan kalau menghadapi lawan yang kurang pandai, biarpun ada berapa banyak, dari jarak tiga empat tombak saja Beng Kun Cinjin sanggup memukulnya roboh dan tewas atau setidaknya terluka hebat di bagian dalam tubuh. Selain ilmu pukulan jarak jauh yang dahsyat ini, tentu saja Beng Kun Cinjin masih mempunyai banyak sekali macamnya ilmu silat tinggi, akan tetapi di antaranya yang paling terkenal adalah ilmu silat warisan dari gurunya pertapa di Himalaya itu, yakni Ilmu Silat Pai-in-ciang" (Ilmu Silat Pendorong Awan). Ilmu silat ini tidak memerlukan kecepatan gerakan, melainkan berdasarkan tenaga lweekang yang sudah mendalam. Gerakan-gerakannya lambat saja. akan tetapi biarpun lawan bersenjata, ilmu silat ini dapat dipergunakan untuk menghadapi lawan itu.

Di samping dua macam ilmu silat tangan kosong jarak jauh dan jarak dekat ini, masih banyak ilmu silat tangan kosong yang ia dapat mainkan, bahkan hampir seluruh ilmu silat tinggi pernah dilihatnya dan ia dapat mengenal gerakan lawan. Selain ini, Beng Kun Cinjin pandai mempergunakan delapanbelas macam senjata persilatan akan tetapi ia iebih suka mempergunakan senjata yang lain dari pada yang lain. yakni tasbehnya.! Dahulu, sebelum menjadi hwesio, dia memang ahli mempergunakan senjata rantai. Akan tetapi setelah ia menjadi hwesio dan setiap hari memegang tasbeh. ia lalu menciptakan ilmu silat dengan tasbeh yang berdasarkan ilmu silat rantai. Demikian lihatnya ia dalam penggunaan senjata istimewa ini sehingga di bagian depan telah dituturkan bagaimana dengan tasbeh tergantung di leher ia dapat menangkis serangan tiga macam senjata dengan hanya menggerakkan kepala dan tasbeh itu bisa menangkis sendiri ke atas!

Terlalu panjang kalau dituturkan tentang semua kepandaian hwesio sakti ini, pendeknya dia adalah seorang tokoh besar dunia persilatan yang pada masa itu jarang sekali ada tandingannya.

Demikianlah, setelah Beng Kun Cinjin menyerang, biarpun ia dikeroyok oleh empatbelas orang Kim i-wi yang berkepandaian amat tinggi, dalam sepuluh jurus ia telah berhasil menendang dua orang busu sampai terlempar dari atas wuwungan dan binasa pada saat itu juga! Pertempuran berlangsung makin ramai dan kini yang naik ke atas wuwungan tidak kurang dari tiga puluh orang pengawal kaisar yang jagoan!

Belasan jurus berlalu dan keadaan di atas istana itu ramai bukan main. Suara orang bertempur seakan akan merupakan pertempuran besar-besaran, padahal pertempuran itu hanyalah seorang hwesio yang dikeroyok oleh para busu dan Kim i-wi. Gerakan para pengawal itu ribut dan cepat, sebaliknya Beng Kun Cinjin bergerak lambat dan tenang, namun setelah belasan jurus lewat, kembali ada tiga orang busu yang terlempar, seorang dengan kepala pecah dan dua orang dengan tulang tulang iga patah-patah terkena hantaman tangan Beng Kun Cinjin yang melebihi besi kerasnya!

Akan tetapi kini para pengawal yang tingkatnya tinggi dan boleh dibilang menduduki tingkat pertama dan ke dua. naik juga ke wuwungan dan ikut mengeroyok. Beng Kun Cinjin kewalahan menghadapi puluhan orang busu, apa lagi ia harus menghadapi lawan banyak di atas wuwungan yang tidak rata dan licin sedangkan keadaan mulai gelap, maka sambil tertawa bergelak ia lalu melayang turun ke bawah.

Sambil berteriak-teriak Lo Thung Khak dan kawan-kawannya juga melompat turun mengejar. Lo Thung Khak lebih cepat dari kawan-kawannya, maka dialah orang pertama yang menghadapi Beng Kun Cinjin dan inilah kesalahannya. Dengan bantuan kawan-kawannya, Panglima Kim-i-wi ini masih dapat mengimbangi Beng Kun Cinjin. akan tetapi kini berdepan satu lawan satu. dia seperti murid bertemu gurunya. Sekali saja Beng Kun Cinjin menggerakkan kedua tangan menyerang, biarpun Lo Thung Khak memutar tombaknya, tetap saja ia terdorong ke belakang dan jatuh terjengkang. Nyawanya tentu akan melayang karena Beng Kun Cinjin melompat maju untuk memukulnya lagi. kalau saja para Kim i-wi yang lain tidak keburu datang. Mereka ini melihat Lo Thung Khak roboh, segera maju mengeroyok dan hwesio itu dihujani senjata. Terpaksa Beng Kun Cinjin membatalkan niatnya membunuh Lo Thung Khak dan dengan tenang ia memutar kedua lengan menghadapi keroyokan para Kim-i-wi.

Lo Thung Khak merayap bangun, dadanya terasa sakit dari ketika ia membuka bajunya, dada itu matang biru tanda telah terluka. Panglima ini tidak berani maju lagi dan terpaksa ia berlari ke tempat canang bahaya digantung, kemudian ia memukul canang itu bertalu-talu untuk memberi tahu kepada kawan-kawan lain dan seisi istana bahwa ada bahaya besar mengancam! Karuan saja semua penghuni istana menjadi gempar dan mengira bahwa ada pasukan musuh menyerbu istana. Kalau mereka tahu bahwa yang datang menyerbu hanya seorang hwesio, tentu mereka ini akan terheran-heran dan tidak percaya.
 
Kembali dalam waktu pendek Beng Kun Cinjin sudah berhasil merobohkan lima orang pengeroyok, bahkan ia mulai mendesak belasan yang lain. Setelah hwesio itu turun di atas lantai dan tersorot sinar penerangan yang bergantungan di ruangan itu. kelihatanlah keadaannya dengan nyata. Benar-benar hwesio sakti yang aneh. Pakaiannya compang-camping dan bekas terbakar, akan terapi kulitnya hanya berubah hitam seperti pantat kwali dan tidak terluka sama sekali. Biasanya kalau kulit manusia terkena api akan melepuh dan terluka. akan tetapi hwesio ini hanya hangus saja!

Kembali terdengar jerit mengerikan ketika dua orang Kim-i wi terpelanting dengan kepala pecah terkena hantaman tasbeh! Kini Beng Kun Cinjin yang sudah mulai marah itu memegang tasbehnya, senjatanya yang hebat. Dan gerakan pertama dari tasbeh itu berhasil menghancurkan kepala dua orang Kim-i-wi. Biarpun para pengawal itu makin bertambah jumlahnya namun mereka menjadi gentar juga melihat kedahsyatan hwesio ini. Maka mereka hanya menyerang dengan hati-hati sekali dan selalu siap sedia untuk menjauhkan diri apa bila senjata hwesio menyambar. Oleh karena itu, keadaan Beng Kun Cinjin seperti seekor harimau terjebak, terkurung di tengah-tengah tanpa ada yang berani menyerang terlalu dekat, hanya mengganggu saja dengan gertakan dan serangan jarak jauh.

"Tikus-tikus tiada guna, hayo maju kalau kalian berani! Kalau takut mundur saja biar aku mencari dan membunuh kaisarmu!" seru Beng Kun Cinjin dengan mata terbelalak. sikapnya makin liar menakutkan.

Tiba-tiba berkelebat dua buah senjata gembolan yang digerakkan demikian kerasnya sehingga mengeluarkan angin. Sepasang gembolan toi menyambar ke arah tubuh Beng Kun Cinjin dibarengi dengan suara menggereng dari pemegangnya. Beng Kun Cinjin mengeluarkan suara ketawa, mengejek dan tasbehnya menyambar cepat sekali melebihi cepatnya datangnya gembolan dan tasbeh ini menyambar ke arah sepasang lengan yang memegang senjata-senjata itu!

"Curang!" bentak orang yang baru datang dan terpaksa menarik kembali sepasang gembolannya karena kalau dilanjutkan, sebelum sepasang senjatanya mengenai lawan, lebih dulu lengannya akan dihajar oleh tasbeh itu. Akan tetapi. Beng Kun Cinjin luar biasa cepatnya. Tasbehnya sudah menyusul lagi dengan serangan ke arah dada lawan yang baru datang ini. Akan tetapi, sepasang gembolan itupun dengan cepatnya menangkis.

"Trangggg........!"

Beng Kun Cinjin melangkah mundur dan memandang tajam. Ia agak kaget mendapatkan-orang yang dapat menangkis tasbehnya. Di depannya berdiri seorang bertubuh pendek akan tetapi besar, nampak kuat bukan main, mukanya penuh bulu sehingga kelihatan seperti seekor singa. Kembali Beng Kun Cinjin terkejut. Biarpun orang ini memakai pakaian sebagai Panglima Kim-i-wi kelas satu, namun ia tidak pangling. Apa lagi sepasang gembolan itu ia kenal baik. Orang ini dahulu adalah seorang tokoh kang-ouw di daerah selatan. Hek-mo Sai-ong nama julukannya. Tertawalah Beng Kun Cinjin, karena pernah satu kali Singa Hitam ini kalah olehnya dalam pertandingan pibu antara orang-orang gagah di selatan.

"Ha-ha-ha, pinceng kira siapa, tak tahunya Hek-mo Sai-ong. Kau juga menjadi pengawal kaisar? Ha-ha-ha!"

Hek-mo Sai-ong tidak menghiraukan ejekan itu, bahkan ia berkata membujuk.

"Beng Kun Cinjin. sesungguhnya akulah orangnya yang mengusulkan kepada hong siang (kaisar) agar kau diberi kedudukan di dalam Istana menjadi pemimpin para Kim-i-wi karena aku tahu, bahwa kaulah orangnya yang paling tepat untuk menjadi pembesar seperti itu. Hong siang bermaksud baik dan apakah gunanya kepandaianmu kalau dalam kesempatan ini kau tidak membantu pemerintah baru mengamankan negara? Marilah kita bicara baik baik. dan aku yang akan mintakan ampun kepada hongsiang agar kau diterima menjadi pengawal dan hidup mulia di sini."

Beng Kun Cinjin tertawa bergclak. "Setan hitam, suaramu mengandung racun jahat. Orang sudah membakar kelenteng dan membuat pinceng hangus seperti ini. mau bicara apa lagi? Akan kubunuh kaisarmu dan akan kubasmi setan-setan macam engkau!"

"Manusia sombong dan kepala batu........” kata Hek mo Sai-ong sambit memutar gembolannya menyerang. Dua orang lihai ini bertempur hebat. Hek-mo Sai-ong adalah Panglima Kim-i wi yang memimpin para pengawal di dalam istana bagian depan. Dia seorang tokoh kang-ouw di selatan, seorang ahli silat yang mengandalkan tenaga gwakang. Tenaganya besar seperti tenaga gajah dan ilmu silatnya juga cepat dan kuat Biar pun usianya sudah mendekati limapuluh tahun, namun tenaganya tidak berkurang, bahkan dari latihan yang tekun, tenaga dan kepandaiannya meningkat kalau dibandingkan dengan dahulu ketika ia pernah dikalahkan oleh Beng Kun Cinjin.

Senjata benggolan adalah penggada yang ujungnya besar. Senjata ini berat sekali dan sekali menyerempet kepala pasti kepala itu akan pecah. Kalau mengenai tubuh akan membikin remuk tulang dan membikin hancur kulit daging. Apa lagi kalau yang memainkan senjata ini Hek-mo Sai-ong bukan main hebatnya. Bagaikan sepasang garuda hitam menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, mendatangkan angin yang berbunyi karena meniup-niup keras. Ia ingin sekali merobohkan hwesio yang perhah mengalahkannya dan sekarang berkepala batu ini, maka serangannya pun bertubi-tubi dan yang dikeluarkan hanya jurus-jurus yang paling berbahaya. Akan tetapi, duapuluh jurus kemudian ia harus mengaku bahwa selama ini Beng Kun Cinjin juga meningkat kepandaiannya dan diam-diam Hek-mo Sai-ong mengeluh. Para pengawal lainnya tidak berani turun tangan membantu karena memang bagi seorang ahli silat tinggi apa bila sedang bertempur, merasa enggan dibantu. Selain hal ini memalukan juga dapat mengacaukan permainan silatnya sendiri, dapat mengacaukan siasat penyerangan.

Akan tetapi, kalau dilanjutkan. Hek-mo Sai-ong pasti akan kalah, ia sudah terdesak sekali dan hal inipun ia maklum. Kalau ia kalah, kali ini Beng Kun Cinjin takkan mengampuninya seperti dahulu ketika bertanding dalam pibu. Sekarang ini. kalah berarti binasa. Untuk minta bantuan Hek-mo Sai-ong merasa malu!

Tiba-tiba sambil mengeluarkan gerengan keras, Hek-mo Sai-ong mengayun gembolannya yang kanan menyerang ke arah kepala, yang kiri mengikuti gerakan pertama dan hendak menyusulkan serangan ke dua apabila serangan pertama gagal. Dia mempergunakan gerak tipu Ji-sai-chio-cu (Dua Singa Berebut Mustika), semacam serangan yang amat berbahaya.... Serangan gembolan kanan yang menyambar ke arah kepala memang tidak begitu berbahaya bagi seorang yang sudah tinggi tingkat ilmu silatnya, akan tetapi orang harus berhati-hati terhadap gembolan kiri yang kelihatannya diam saja itu, karena ke manapun juga Tawan mengelak dari gembolan kanan, akan disambut oleh gembolan kiri!

Akan tetapi Beng Kun Cinjin bukan seorang luar biasa kalau tidak mengenal siasat pancingan ini. Sambil tersenyum mengejek, tasbehnya bergerak cepat membelit ujung gembolan kanan dan sambil membetot tasbehnya sehingga lawannya tertarik dan kuda-kudanya miring, ia mengirim pukulan Pai-in-ciang dengah tangan kirinya ke arah tangan yang memegang gembolan kiri.

Hek-mo Sai-ong mengeluarkan teriakan keras dan kedua gembolannya terlepas dari pegangan. Ia sendiri lalu menjatuhkan diri bergulingan sambil kedua tangannya diayun ke depan. Empat butir pelor batu melayang ke arah empat bagian jalan darah di tubuh Beng Kun Cinjin yang berbahaya. Inilah keistimewaan dari Hek-mo Sai-ong dan sering kali serangan terakhir pada saat ia amat terdesak ini merubah kedudukan dan lawannya dapaf dikalahkan. Akan tetapi, kali ini serangannya yang dilakukan secara menggelap dan tiba-tiba hanya berhasil menyelamatkan dirinya saja akan tetapi sama sekali tidak berhasil merobohkan lawan. Dengan dua gembolan rampasannya. Beng Kun Cinjin memukul runtuh empat pelor batu itu. kemudian sambil tertawa mengejek ia mengangkat dua gembolan lalu mengadu dua senjata itu dengan keras sekali satu kepada yang lain. Terdengar suara keras dan sepasang gembolan itu pecah berkeping-keping!

Hek-mo Sai-ong boleh menarik napas panjang dan lega karena ia terbebas dari pada maut. Kini seorang tinggi kurus bermuka hijau yang memegang senjata aneh sekali berdiri menggantikannya menghadapi Beng Kun Cinjin. Hek-mo Sai ong girang melihat munculnya sahabatnya ini. Si tinggi kurus ini melihat muka dan sikapnya, mudah diduga bahwa dia seorang Mongol aseli. Orangnya kelihatan lemah, mukanya kehijauan, akan tetapi dia adalah seorang ahli lweekeh yang disegani di Mongolia. Namanya Tagudai dan setelah berada di kota raja. para pengawal lain yang berlidah Tionghoa menyebutnya Ta Gu Thai. Sepasang senjatanya istimewa sekali, merupakan lingkaran golok atau pisau sebanyak tujuh batang yang gagangnya bersambung menjadi satu pada sebuah gelang sehingga merupakan roda dari golok dengan runcingnya menghadap di luar. Ta Gu Thai memegang sepasang roda golok ini di tengan-tengah, yakni gelangan yang ditancapi gagang gook-golok kecil itu. Selain aneh, juga senjata ini nampak mengerikan sekali berkilauan terkena cahaya lampu saking tajamnya golok-golok kecil itu.

Berbeda dengan kedudukan Hek mo Sai ong sebagai komandan Kim i-wi tingkat satu di bagian depan, adalah Ta Gu Thal ini komandan Kim i-wi tingkat satu di bagian dalam jadi boleh dibilang dialah sesungguhnya pengawal pribadi kaisar! Dibandingkan dengan Hek-mo Sai-ong, tingkat kepandaiannya seimbang hanya bedanya kalau Hek-mo Sai-ong adalah ahli gwakang sebaliknya Ta Gu Thai ini seorang ahli lweekang. Akan tetapi mengingat bahwa senjata dari Ta Gu Thai lebih aneh dan ilmu silatnya adalah ilmu silat Mongolia aseli, maka bagi seorang ahli silat Tiongkok, Ta Gu Thai terhitung lebih "berat" untuk dilawan.

Ta Gu Thai menghadapi Beng Kun Cinjin dengan mata bersinar-sinar. katanya mencela. "Beng Kun Cinjin. kau benar-benar tidak mengenal kemuliaan hati hong siang yang bermaksud baik padamu."

"Maksud baik? Apakah membakar kelenteng dan niat membakar aku hidup-hidup kau katakan bermaksud baik?” Beng Kun Cinjin tersenyum sindir. "Aku hendak membunuh kaisarmu itu!"

"Hem, enak saja kau bicara. Aku adalah Ta Gu Thai, aku yang menjadi pengawal pribadi kaisar. Sebelum putus leherku bagaimana kau bisa bicara tentang niatmu yang jahat itu?"

"Kalau begitu mampuslah!" Dengan marah sekali Beng Kun Cinjin menyerang dengan tasbehnya. serangannya keras dan cepat sekali. Ta Gu Thai memutar roda golok sebelah kiri dan menangkis. Terdengar suara keras dan bunga api berpijar ketika dua senjata ini bertemu. Beng Kun Cinjin merasa tangannya tergetar, maka maklumlah ia bahwa lawannya adalah seorang ahli lwee-keh yang tenaga lweekangnya tak boleh dipandang ringan dan seimbang dengan tenaganya sendiri.

Ta Gu Thai juga maklum dari benturan senjata tadi bahwa hwesio itu benar -benar kosen seperti yang seringkali ia dengar dari Hek mo Sai-ong, maka ia tidak mau berlaku lambat dan cepat dua buah roda goloknya diputar cepat sehingga berubah menjadi kitiran berkilauan yang menyambar-nyambar di atas kepala, turun naik nampak indah kali. Akan tetapi jangan dipandang ringan senjata yang nampak indah ini karena sedikit saja terkena atau tersentuh oleh roda golok yang terputar putar itu. jangan kata baru anggauta luhuh terdiri dari kulit daging tulang, biarpun senjata baja kalau pemegangnya kurang pandai dapat terbabat putus!

"Bagus, senjata yang baik dan ilmu silat yang lihai!" Beng Kun Cinjin memuji. Sudah sering kali ia menghadapi perwira-perwira Mongol yang lihai dalam pertempuran beberapa tahun dahulu ketika tentara Mongol mulai menyerbu ke selatan. Akan tetapi harus diakui bahwa baru ini kali ia menghadapi seorang Panglima Mongol yang selain lihai ilmu silatnya dan besar tenaga lweekangny juga mempunyai sepasang senjata yang aneh dan tak pernah dilihatnya. Oleh karena itu. untuk belasan jurus lamanya ia hanya menangkis, mengelak dan mempertahankan diri saja, karena ia ingin sekali melihat jelas bagaimana sepasang senjata aneh itu dimainkan lawan.

Akan tetapi ia tidak dapat bertahan terus karena sesungguhnya lawan amat berbahaya. Setelah duapuluh jurus lewat, barulah Beng Kun Cinjin mulai membuat serangan balasan dan sebentar saja ternyata bahwa betapapun lihai lawannya, hwesio ini tetap saja masih menang setingkat. Makin lama Panglima Mongol yang kosen itu makin terdesak dan gulungan sinar sepasang senjatanya makin menciut, sebaliknya tasbeh di tangan Beng Kun Cinjin menyambar nyambar mencari nyawa.
Kalau tadi Hek-mo Sai-ong ketika melawan Beng Kun Cinjin merasa malu untuk minta bantuan, adalah karena dia dahulunya seorang tokoh kang-ouw yang kenamaan, dan sudah menjadi watak seorang kang ouw yang gagah untuk pantang mundur pantang minta bantuan dalam sebuah pertempuran, apa lagi kalau menghadapi sesama tokoh kaugouw Tidak demikian dengan Ta Gu Thai Panglima Mongol itu setelah mengerti bahwa kalau dilanjutkan pertempuran itu ia akan kalah lalu memberi aba-aba kepada kawan-kawannya. Menyerbulah beberapa orang busu yang tinggi ilmu silatnya, bahkan Hek mo Sai-ong ikut menyerbu. Panglima Kim i-wi ini telah mengambil senjata gembolan baru dan kini ia menyerbu dengan sengitnya.

Kali ini Beng Kun Cinjin benar-benar terdesak, akan tetap, dia benar-benar hebat. Tidak.saja tasbehnya merupakan gulungan sinar putih yang menyelimuti seluruh tubuhnya sehingga jangankan baru senjata lawan, biarpun ia disiram air hujanpun kiranya takkan basah tubuhnya. Demikian cepatnya tasbeh itu berputar. Dan di samping ini ia masih menggerakkan tangan kirinya, membagi bagi pukulan jarak jauh dengan Ilmu Silat Lui kong-jiu. Beberapa orang busu terpaksa menjauhkan diri karena pukulan ini tak boleh dipandang ringan. Bahkan dalam sebuah rangsekan hebat, sebuah daripada gembolan di tangan Hek-mo Sai-ong kembali pecah terpukul oleh telapak tangan kiri hwesio itu secara telak sekali!

"Hebat.....:, sayang Beng Kun Cinjin tidak mau kami angkat menjadi kepala pengawal......” tiba tiba terdengar orang berkata. Suaranya berpengaruh dan nyaring. tanda bahwa yang bicara bukanlah seorang biasa melainkan seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan wibawa besar.

Beng Kun Cinjin melirik ke kiri dan dari balik tirai bambu yang halus sekali ia melihat seorang laki-laki berdiri tegak menonton pertempuran. Laki-laki ini bertubuh tinggi besar, bersikap gagah sekali dan biarpun sudah tua masih kelihatan bertenaga kuat. Pakaian orang ini bukan main indah dan gagahnya. Mukanya persegi dan gagah seperti muka singa, jenggotnya panjang teratur rapi, kumisnya tebal, daun telinganya lebar. Sepasang matanya bersinar lembut akan tetapi mengandung bayangan sifat yang keras hati dan bersemangat! Pakaiannya bersulamkan benang emas dengan lukisan burung hong dan naga.

Hati Beng Kun.Cinjin berdebar. Inilah kaisar, tak salah lagi. pikirnya. Inilah orangnya yang menggerakkan tentara Mongol. yang telah menyerbu tanah airnya dan yang telah menewaskan laksaan rakyat Tiongkok. Tiba-tiba timbul kebencian besar di dalam dadanya, apa lagi kalau ia ingat bahwa hampir saja ia mati terbakar di dalam kelenteng.

"Kaisar lalim, kau harus mati lebih dulu!" bentaknya dan secepat kilat tubuhnya melesat ke arah tirai bambu. Terdengar bunyi nyaring ketika tirai bambu itu pecah dan tanpa memberi kesempatan lagi Beng Kun Cinjin menggerakkan tasbehnya memukul ke arah kepala kaisar! Akan tetapi ternyata kaisar bukan seorang lemah. Memang siapa yang mengenal Jengis Khan. akan tahu bahwa kaisar ini dahulu adalah seorang pemuda Mongol bernama Temu Cin yang gagah perkasa dan bersemangat baja. Kalau dia bukan seorang luar biasa, tak mungkin dia akan dapat membawa bangsanya yang tadinya dihina kanan kiri menjadi bangsa yang kuat dan hebat.

Serangan Beng Kun Cinjin dapat dielakkannya dengan mudah akan tetapi sebagai seorang kaisar, tentu saja ia tidak mau melayani hwesio ini dan secepat kilat ia melangkah mundur dan tiba-tiba saja lenyap dari depan Beng Kun Cinjin!

Hwesio ini tercengang dan tidak percaya kalau kaisar dapat menghilang begitu saja seperti setan. Ketika ia melangkah maju. tahulah ia bahwa kaisar telah lari melalui pintu rahasia yang berada tepat di belakang kaisar, terbenam dalam dinding tembok tebal. Beng Kun Cinjin marah sekali. Diayunnya tasbeh dan terdengar suara keras dibarengi jebolnya tembok itu!

Sementara itu Ta Gu Thai dan Hek-mo Sai-ong bersama kawan-kawannya telah menyerbu ke dalam ruangan ini dan kembali Beng Kun Cinjin dikeroyok Akan tetapi setelah melihat kaisar. Beng Kun Cinjin tidak ada nafsu lagi untuk menawan para pengawal. Kini niat satu-satunya hanya mencari dan mendapatkan kaisar untuk dibunuhnya. Maka sambil memutar tasbeh untuk melindungi dirinya dari pada serangan lawan dari belakang, ia lalu melompat ke depan, menerjang tembok yang sudah jebol dan cepat mengejar dan mencari kaisar yang sudah tidak kelihatan lagi bayangannya. Gerakannya demikian cepat sehingga sebentar saja ia telah meninggalkan para pengawal, masuk ke sebelah dalam istana yang besar dan luas sekali itu

Ia tiba di ruangan yang amat indah dan sejuk hawanya. Ruangan ini merupakan ruangan terbuka, biarpun di bawahnya berlantai mengkilap dan bersih, akan tetapi atasnya tidak beratap. Di sini penerangan berwarna kehijauan dan bukan main segarnya hawa di tempat ini. Tiba di tempat yang demikian indah dan sejuk. Beng Kun Cinjin baru merasa betapa lelah tubuhnya, ia merasa bingung, tidak tahu harus mencari ke mana. Jalan dari ruangan ini amat banyaknya, lebih dari sepuluh lorong yang menjurus ke ruangan-ruangan lain. Anehnya, kalau tadi ia dikeroyok oleh banyak pengawal, kini tidak kelihatan seorang pun manusia. Memang, ada seorang dua orang lewat di lorong depan, akan tetapi mereka adalah pelayan-pelayan wanita yang membawa teng (lampu), jalannya demikian halus dan lemah lembut. Memang merupakan pantangan besar bagi Beng Kam Cinjin untuk menyerang wanita. Kalau saja terlihat seorang pelayan pria, tentu akan ditangkapnya dan dipaksanya menunjukkan di mana tempat atau kamar dari kaisar.

Selagi ia kebingungan, ia melihat berkelebatnya kaisar di ujung kiri. Cepat ia berlari memasuki lorong itu. Akan tetapi, seperti juga tadi kaisar lenyap begitu saja. Beng Kun Cinjin penasaran dan mengejar terus, akan tetapi lorong itu memutar dan kembali ia tiba di ruang terbuka yang tadi! Beberapa kali ia memasuki lorong-lorong berputar yang ujungnya kembali ke ruangan tadi lagi.

Beng Kun Cinjin makin bingung. Ia berdiri di tengah ruangan sambil bertolak pinggang, tasbehnya sudah digantungkan lagi di leher, Ia mendongak dan melihat langit biru gelap penuh bintang, pemandangan yang tentu akan menyenang kati hatinya kalau saja ia tidak sedang penasaran dan bernafsu hendak membunuh kaisar

Tiba-tiba ia mendengar suara alat musik khim ditabuh. Alangkah merdu suara itu dan nyata sekali pemainnya seorang ahli. Beng Kun Cinjin merasa bulu tengkuknya berdiri dan sekaligus seluruh perhatiannya tertuju kepada suara itu. Hm, lagu "Mencari kekasih di antara seribu bintang", lagu yang amat populer semasa ia masih muda dan sebelum bala tentara Mongol menyerbu ke selatan. Bagaimana ada orang berani mainkan lagu ini di dalam istana?

Beng Kun Cinjin mendengarkan terus, kepalanya agak dimiringkan sebagai biasanya seorang ahli mendengarkan musik kesayangannya.

"Sayang, ibu jari tangan pemain itu kurang bertenaga dalam membunyikan tali terbesar," kata Beng Kun Cinjin perlahan. Namun ia diam-diam mengaku bahwa pemainnya sudah ulung, dan lagu itu dimainkan dengan amat baiknya.

Tiba-tiba terdengar suara nyanyian, diiringi suara khim itu. Kembali Beng Kun Cinjin merasa punggungnya dingin sekali, tanda bahwa perasaan halusnya tersentuh. Memang inilah kesukaannya di waktu ia masih muda dan ia memang mempunyai kelemahan terhadap semua ini,

"Hebat........." keluhnya mendengar suara wanita yang bernyanyi itu. Beng Kun Cinjin mendengarkan dan kini ia berdiri tidak tetap lagi, kedua matanya dipejamkan dan tubuhnya bergoyang-goyang. Ia merasa lemas dan nikmat, dan seluruh perhatiannya tercurah kepada suara nyanyian yang amat merdu itu.

"Seribu bintang di langit gemerlapan
cantik indah memberahikan
akan tetapi dimana dia kekasihku?
Tak kulihat di antara bintang seribu...........
seribu bintang cantik nian
namun tiada seperti kekasihku rupawan!
Bagai bulan purnama di antara bintang-bintang
kekasihku dalam hati menjadi penerang!"

Demikian merdu dan halus suara itu, demikian indah suara khim yang mengiringinya, dan tak terasa lagi tanpa disadari Beng Kun Cinjin melangkahkan kaki perlahan mendekati tempat dari mana suara itu datang. Hwesio ini segera terkena hikmat, tak sadar akan diri pribadi dan seakan-akan berada di bawah pengaruh gaib, terpesona oleh keindahan yang menyinggung jiwanya.

Beng Kun Cinjin tiba di depan sebuah jendela kamar. Jendela itu tertutup oleh sutera hijau yang bersulam kembang-kembang merah, tersorot lampu dari dalam amat indahnya kelihatan dari luar. Dari dalam kamar inilah keluarnya suara nyanyian dan khim yang menggetarkan jiwanya. Beng Kun Cinjin menggerakkan tangan kanan dan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, sutera hijau itu bolong, cukup lebar sehingga pandangan matanya dapat menembus dan melihat keadaan di dalam kamar.

Tiba-tiba sepasang mata Beng Kun Cinjin bersinar sinar bibirnya tersenyum aneh, keningnya berdenyut dan napasnya menjadi berat. Apa yang dilihatnya di dalam itu membuat ia makin terpesona sehingga ia seperti lupa siapa dia dan di mana dia berada, Serasa dalam surga dan berjumpa dengan bidadari.

Di dalam kamar yang perabotnya serba indah dan bersih itu, duduk seorang wanita berusia paling banyak duapuluh lima tahun. Cantik rupawan seperti mawar merah yang baru mekar. Pakaiannya dari sutera kuning dan biru tipis, gelungnya model puteri istana, agak lepas-lepas dan sedikit rambut berjuntai di depan keningnya, ia menundukkan muka jari-jari tangannya bergerak di atas tali tali khim dan bibirnya bergerak-gerak perlahan menyanyi.

Beng Kun Cinjin berdiri bengong. Kalau saja wanita itu tidak menabuh khim, kalau saja si cantik itu tidak bernyanyi pada saat seperti itu, kiranya hwesio ini tidak akan begitu terpengaruh. Akan tetapi kali ini Beng Kun Cinjin benar-benar lupa diri. Sepasang matanya bergerak-gerak dari atas ke bawah, dari bibir yang merah mungil, yang ketika bernyanyi kadang-kadang terbuka, sedikit memperlihatkan deretan gigi kecil-kecil putih seperti mutiara. Kemudian pandang matanya menurun, ke arah jari-jari tangan yang mungil, halus meruncing, demikian halusnya sehingga seakan-akan tak bertulang dan kulitnya begitu tipis seakan akan orang dapat melihat urat-urat merah yang berada di dalamnya.

Beng Kun Cinjin ketika masih muda memang amat suka akan keindahan, terutama sekali akan keindahan wajah wanita, dan tentang musik dan nyanyian. Dia dahulu terkenal sebagai pemuda yang suka keluyuran, suka bergaul dengan wanita-wanita penari dan penyanyi, pemuda yang berulang kali bertukar kekasih sehingga ia ditolak ketika melamar seorang gadis pujaan hatinya. Hal ini membuat ia patah hati dan semenjak itu. setelah ia mendengar penghinaan gadis itu yang mengecapnya sebagai laki-laiki hidung belang dan tak tahu malu, Beng Kun Cinjin memperdalam ilmu silatnya dan akhirnya masuk menjadi hwesio Ia mengambil keputusan untuk menjauhkan diri dari pada keduniaan, terutama sekali dari pada memikirkan wanita cantik dan mendekati musik dan nyanyian.

Sudah berpuluh tahun ia mempertahankan nafsu hatinya yang sering kali timbul dan selama itu ia berhasil mempertahankan keteguhan iman dan batinnya. Akan tetapi, selama puluhan tahun itu. belum pernah ia melihat yang seperti ini. belum pernah ia melihat seorang wanita secantik ini, apa lagi seperti ini yang pandai menabuh khim dan bernyanyi, nyanyian kesayangannya di waktu muda lagi! Benar-benar hal yang amat luar biasa, mengapa begitu kebetulan?

Beng Kun Cinjia sudah tak diapat menguasai diri lagi, sudah berada di dalam cengkeraman hawa nafsu, berada di bawah pengaruh yang halus memenuhi hati dan pikirannya. Bagaikan dalam alam mimpi, kakinya bergerak menuju ke pintu kamar itu dan di lain saat ia telah membuka daun pintu dan melangkah masuk.

"Nona nyanyianmu merdu sekali." katanya ranah dan kini ia dapat melihat jelas betapa cantik jelitanya wanita itu setelah kini mengangkat muka dan memandang kepadanya dengan sepasang mata yang seperti bintang. Mula-mula mata itu seperti orang ketakutan, kemudian menjadi tenang seakan-akan hwesio itu tidak mendatangkan rasa takut lagi. dan berkatalah si cantik dengan suara halus merdu,

"Suhu membikin malu dan kaget aku saja. Nyanyianku amat buruk dan...... siapakah suhu yang gagah perkasa ini? Bagaimana bisa sampai di sini? Apakah suhu seorang calon pengawal batu?"

Beng Kun Cinjin menggeleng kepala, sepasang matanya masih menatap wanita itu dengan penuh kekaguman.

"Bukan, nona Memang kaisar minta pinceng menjadi koksu atau kepala pengawal di sini, akan tetapi pinceng tidak sudi dan timbul pertempuran."

Wanita, cantik itu nampak kaget, sepasang mata yang seperti mata burung hong itu terbelalak bening, alisnya yang seperti bulan muda itu berkerut, bibirnya yang kecil merah bergerak dalam setuan kaget.

"Ah. jadi suhu ini...... Beng Kun Cinjin yang datang hendak menghancurkan istana.? Aduhh........ suhu ampunkanlah jiwaku seorang wanita lemah......"

Serta-merta wanita itu. lalu melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Beng Kun Cinjin. Terdengar ia teriak menangis.

Gemetar seluruh tubuh Beng Kun Cinjin. Laki-laki gagah perkasa yang tidak keder menghadapi seratus orang musuh tangguh ini. sekarang, menjadi lemah lunglai menghadapi seorang wanita cantik jelita yang menangis dan minta ampun di depan kakinya. Tercium olehnya keharuman yang luar biasa seperti seribu satu sari bunga semerbak keluar dari wanita di depan kakinya itu.

Ia membungkuk dan menyentuh sepasang pundak wanita itu, "Berdirilah kau nona, pinceng takkan mengganggu selembar pun rambut kepalamu."

Biarpun ia sudah menekan perasaannya, tidak urung suaranya terdengar gemetar dan parau ketika Beng Kun Cinjin merasa betapa lunak dan halus kulit pundak di bawah pakaian indah itu. Memang alam telah memberi senjata yang amat ampuh kepada kaum wanita yang dianggap, sebagai kaum lemah, dan senjata ini adalah stfat-sifat nya yang lemah lembut dan indah, yang cukup kuat untuk merobohkan hati laki laki yang bagaimana keras dan kuatpun!

"Nona, siapa namamu dan kau berada di istana ini sebagai apakah?”

Muka yang halus dan manis itu seketika menjadi merah padam. Pertanyaan ini sudah bukan semestinya dan jelas menunjukkan bahwa hwesio tinggi besar dan berkulit hitam hangus di depan nya ini sudah roboh betul-betul di bawah pengaruh kecantikannya. Wanita itu lalu tersenyum, tersenyum penuh kemenangan, juga penuh kelembutan dan daya penarik yang makin menggairahkan hati Beng Kun Cinjin.

"Cinjin yang gagah harap tidak memandang rendah kepadaku. Aku baru tiga bulan berada di istana dan mendapat kehormatan menjadi selir ke tujuhbelas dari kaisar. Kaisar amat sayang kepadaku akan tetapi sebaliknya aku tidak suka dijadikan selir yang ke sekian banyaknya. Hal inipun kaisar sudah mengetahui dan beliau berjanji akan menghadiahkan aku kepada seorang yang berjasa besar kelak......."

”Hemmm, siapakah namamu, nona?"

"Aku yang buruk dan bodoh bernama Hui Niang dari keluarga Kiu di Tai goan. Aku sudah mendengar tentang kegagahan Cinjin yang sakti luar biasa dan...... dan aku akan merasa aman sekali kalau mendapat perlindungan dari orang seperti Cinjin........." Suara Hui Niang turun naik seperti orang bernyanyi merdu.

"Apa maksudmu........?" Beng Kun Cinjin bertanya melangkah dekat.

"Cinjin yang gagah perkasa kalau hong siang sudah berkenan mengangkat Cinjin menjudi kok su bukankah itu baik sekali? Cinjin dapat hidup mulia di sini dan aku.... tak usah aku menanti untuk dihadiahkan kepada orang lain. Aku lebih suka melayani Cinjin selama hidupku, hidup dekat dengan seorang gagah perkasa yang mampu melindungi diriku selama hidup."

Mendengar ucapan yang keluar dari mulut mungil dengan suara merdu merayu ini ditambah lagi
 
Jilid 02
dengan semerbak harum yang keluar dari si jelita, jatuhlah hati Beng Kun Cinjin. Lupa ia akan kepalanya yang gundul sebagai tanda bahwa adalah seorang pendeta yang sudah melepaskan semua nafsu keduniawian lupa ia kepada tasbeh yang tergantung di lehernya sebagai alat memusatkan pikiran dalam berdoa, lupa kepada usianya yang sudah tua. Nafsu membakar dirinya, membuat ia merasa seperti masih muda belia, masih seperti dulu ketika ia bernama Gan Tui dan menjadi seorang pemuda pemogoran dan hidung belang. Bagaikan seekor kerbau jinak yang mandah saja dituntun oleh algojo menuju ke tempat penyembelihan ia mandah saja dituntun oleh nafsu yang menghancurkan semua sifat kejantanannya!

Pada keesokan harinya, ketika Beng Kun Cinjin bangun dari tidurnya di atas pembaringan dalam kamar yang indah itu, datang pelayan-pelayan wanita yang muda muda dan cantik-cantik, dengan langkah berlenggang memasuki kamar itu sambil tersenyum-senyum membawa segala macam keperluan untuk mandi. Berganti pakaian dan makan pagi. Semuanya serba lengkap dan serba indah! Juga kepada Beng Kun Cinjin. para pelayan ini menyebut "koksu" yang terhormat.

Beng Kun Cinjin merasa agak malu akan perbuatannya sendiri, akan tetapi ia maklum bahwa semenjak saat itu ia tidak mungkin meninggalkan Hui Niang. Wanita ini benar-benar telah menjatuhkan hatinya dan di dalam dadanya bersemi kembali cinta kasih yang dahulunya hanya ia tujukan kepada gadis yang menolak cintanya. Cinta kasih yang sebetulnya masih belum mati di dalam kalbunya, yang; selama puluhan tahun ini ia tekan-tekan, sekarang bersemi kembali dan cepat berakar kuat, membuat ia menikmati kebahagiaan hidup yang belum pernah ia alami bersama Kiu Hui Niang, wanita cantik jelita itu. Cinta kasihnya terhadap Hui Niang amat besar, mengalahkan rasa segan dan malunya. Tadinya ia hendak menculik dam membawa pergi Hui Niang. akan tetapi wanita ini dengan bujuk rayu yang mesra menyatakan hendak membunuh diri kalau dibawa keluar istana, dan akhirnya Hui Niang berhasil menundukkan hati Beng Kun Cinjin dan berhasil membuat hwesio ini berjanji akan tinggal di situ, dan menerima pangkat yang diberikan oleh kaisar kepadanya!

Beng Kun Cinjin adalah seorang tokoh Kang ouw yang ulung dan yang sudah kawakan, maka segera ia dapat menindih rasa malu atau segannya. Bahkan dengan wajah gembira ia membiarkan Kiu Hui Niang kekasihnya itu melayaninya, berganti pakaian baru yang serba indah dan menghadapi meja untuk makan pagi yang serba lezat bersama kekasihnya, dilayani para dayang istana.! Seorang aneh seperti Beng Kun Cinjin sebentar saja dapat menyesuaikan diri dan bahkan dapat menikmati hidup, serba kemewahan ini,

Setelah selesai makan pagi, datanglah seorang pembesar setengah tua diikuti oleh perwira perwi ra istana yang malam tadi mengeroyoknya. Kedatangan mereka itu adalah kunjungan kehormatan dan dari jauh mereka sudah tersenyum-senyum sambil mengangkat tangan memberi hormat dan memberi setamat!

Beng Kun Cinjin berdiri dari tempat duduknya dan menanti mereka dengan senyum di mulut. Ia diam saja. menaati apa yang hendak mereka katakan. Pembesar yang bertubuh kurus tinggi itu maju memberi hormat, dibalas oleh Beng Kun Cinjin.

"Siauwte Hoan Cin Ong memberi selamat kepada koksu baru. Kedatangan siauwte ini adalah untuk menyampaikan ucapan terima kasih dari hong siang (kaisar) atas kerelaan dan kesediaan koksu membantu negara,"

Beng Kun Cinjin cepat memberi hormat dan diam-diam ia merasa bangga. Kaisar benar benar tahu memikat hati orang, sampai-sampai mengutus Menteri Hoan Cin Ong yang terkenal tinggi kedudukannya itu untuk memberi selamat dan menyampaikan terima kasih kepadanya.

"Ong-ya telah memberi kehormatan besar ke pada pinceng dengan kunjungan ini. Hanya sebutan koksu itu membikin pinceng merasa tidak enak dan kurang mengerti " katanya.

Tagudai atau Ta Gu Thai. Panglima Mongol yang semalam bertempur dengan dia bersenjata roda golok maju dan memberi hormat sambil berkata tertawa "Beng Kun Cinjin telah menerima anugerah hong-siang. diangkat menjadi koksu negara. Aku yang muda dan bodoh menghaturkan selamat dan aku merasa bangga sekali mempunyai pemimpin seperti Cinjin yang gagah perkasa."

Beng Kun Cinjin tertawa senang. "Ciangkun terlalu merendahkan diri. Kepandaianmu juga hebat dan untuk masa kini sukar dicari keduanya. Untuk bekerja sama dengan ciangkun, benar-benar merupakan hal yang menggembirakan."

Hoan Cin Ong berkata lagi. "Kalau koksu sudah sempat, siauwte diutus memberitahukan bahwa hong-siang telah menanti koksu di ruangan dalam istana."

Dengan tabah Beng Kun Cinjin lalu diiringkan oleh mereka itu menuju ke ruangan sidang di mana: ia diperkenankan menghadap kaisar. Kaisar memberi selamat kepadanya dan mengucapkan terima kasih bahwa hwesio kosen ini suka membantu pergerakannya. Dengan manis budi kaisar menghadiahkan Kiu Hui Niang kepadanya.

"Dia anak baik. syukur kalau koksu suka kepadanya. Apa bila koksu memerlukan sesuatu. sampaikan saja kepada Hoan Cin Ong, tentu segala keperluan koksu akan tersedia," kata kaisar itu sambil tersenyum.

Beng Kun Cinjin menghaturkan terima kasih dan berjanji akan membantu kaisar. "Hanya satu hal hamba harus memberi tahu kepada paduka, bahwa dalam pekerjaan ini, hamba hanya sanggup untuk menghalau musuh negara bukan bangsa hamba sendiri dan melindungi paduka dari pada penyerangan-penyerangan gelap. Kalau hamba disuruh membantu pergerakan menindas bangsa hamba sendiri, terpaksa hamba tidak sanggup melakukannya. Betapapun juga, hwesio ini kiranya masih ingat akan kebangsaan dan tidak mau mengkhianati bangsa sendiri! Kaisar Jengis Khan tertawa, biarpun di dalam hatinya agak kecewa.

"Koksu jangan kawatir. Kamipun mempunyai rencana untuk mengundurkan semua pasukan dan akan melakukan gerakan ke barat. Oleh karena itu, koksu hanya akan bertemu dengan musuh-musuh asing di dunia barat. Kami tidak akan melanjutkan gerakan ke selatan."

Memang, pada waktu itu. Jengis Khan baru mulai dengan rencananya menyerbu ke barat, ia sedang menghimpun kekuatan dan didapatkannya seorang pembantu seperti Beng Kun Cinjin. benar-benar menyenangkan hatinya karena tenaga hwesio ini merupakan bantuan yang amat berharga dalam menghadapi panglima-panglima musuh yang tangguh.

Setelah kaisar membeberkan rencananya menyerbu ke barat setelah menghimpun kekuatan dan memberi waktu kepada bala tentara untuk beristirahat. Beng Kun Cinjin diperkenankan mundur. Selama tiga bulan hwesio ini hidup bagaikan di dalam surga, penuh kenikmatan dan kemuliaan sehingga tubuhnya menjadi makin gemuk. Kulitnya yang hangus diobati dan mulai menghilang. Ia menjadi lebih terikat oleh Hui Niang dan menjadi lebih bahagia dalam kedudukannya yang baru ketika mendapat kenyataan bahwa Hui Niang telah mengandung!

Peristiwa di atas, yaitu runtuhnya hati Beng Kun Cinjin terhadap kecantikan Kiu Hui Niang dan mengakibatkan ia rela menjadi koksu dan menjadi apa yang oleh orang-orang gagah disebut 'anjing Bangsa Mongol’ telah menggegerkan dunia kangouw di daerah selatan. Nama Beng Kun Cinjin sudah terkenal sebagai seorang gagah yang berjiwa patriot maka berita bahwa hwesio kosen itu rela menjadi kaki tangan kaisar penjajah hanya karena tergila-gila pada seorang wanita cantik, benar-benar mendatangkan heboh di kalangan kang-ouw Banyak orang gagah menjadi marah dan mencaci-maki Beng Kun Cinjin.

Yang paling merasa sedih dan marah di antara semua orang gagah, adalah murid-murid Beng Kun Cinjin sendiri. Beng Kun Cinjin mempunyai tiga orang murid yang ia sayang dan tiga orang ini sudah menjadi pendekar-pendekar yang ternama. Murid pertama dan kedua adalah suami isteri Thio Houw dan Kwee Goat Murid ketiga adalah adik Kwee Goat yang bernama Kwe Sun Tek.

Thio Houw dan isterinya membuka perusahaan piauwkiok (perusahaan expedisi mengirim barang) dan sudah mempunyai seorang anak laki-laki berusia satu tahun lebih. Mereka hidup bahagia dan sering kali suami isteri pendekar ini mengulurkan tangan menolong orang-orang yang sengsara, baik berupa pertolongan benda maupun tenaga. Oleh karena itu mereka amat dihormati dan disegani oleh kalangan kang-ouw, bahkan dunia Liok Lim (perampok) juga tidak berani sembarangan mengganggu, barang kiriman yang dikawal oleh perusahaan mereka. Tidak saja para penjahat segan mengganggu suami isteri yang budiman ini, juga mereka takut akan nama besar Beng Kun Cinjin, guru dari suami isteri itu.

Kwee Sun Tek biarpun sudah berusia hampir tigapuluh tahun, masih tetap jejaka. Ia membujang dan merantau ke mana saja untuk meluaskan pengalaman. Juga pendekar muda ini banyak menumpas kejahatan dan menolong orang yang bersengsara. Dari tiga orang muridnya ini, Beng Kun Cinjin memperoleh nama harum.

Oteh karena itu, alangkah kaget hati Kwee Sun Tek ketika ia merantau ke utara. ia mendengar akan keadaan suhunya yang telah menikah dengan seorang puteri istana Mongol dan menjadi koksu negara penjajah! Pendekar muda ini membanting-banting kaki dan lupa makan lupa tidur memikirkan keadaan gurunya. Ia merasa malu untuk hidup di dunia kang-ouw, malu karena tingkah laku suhunya, yang benar-benar di luar dugaan ini. Selama ia mengenal suhunya, orang tua itu adalah seorang hwesio yang hidup saleh, bagaimana sekarang tiba-tiba menjadi begitu tak tahu malu! Tanpa membuang waktu lagi, Kwee Sun Tek lalu lari menuju ke Shan-tung di mana encinya dan iparnya tinggal.

Thio Houw dan isterinya kaget setengah mati mendengar berita yang dibawa oleh Kwee Sun Tek. Thio Houw mengepal-ngepal tinjunya dan Kwee Goat menangis sedih.

"Suhu benar-benar melakukan perbuatan yang aneh Aku hampir tak dapat percaya kalau bukan kau yang membawa berita ini sute " kata Thio Houw.

"Aku sendiri tadinyapun tidak mau percaya,, akan tetapi sudah kuselidiki dan memang suhu telah berada di istana. Tadinya suhu melakukan perlawanan, bahkan kelenteng di mana suhu tinggal telah dibakar habis oleh bala tentara musuh. Kemudian suhu menyerbu ke istana hendak membunuh kaisar. Akan tetapi. entah mengapa dan entah apa yang terjadi di sana tahu-tahu dikabarkan orang bahwa kaisar telah mengangkat seorang koksu baru bernama Beng Kun Cinjin dan koksu itu menikah dengan seorang puteri Istana!"

''Memalukan! Memalukan sekali!" Kwee Goat mengeluh. "Kita harus ke sana dan membujuk suhu supaya keluar dari Istana!”

"Memang kita harus bertindak. Kalau dibiarin saja. nama kita semua akan menjadi busuk." kata Thio Houw. "Akan tetapi kau tinggalah saja di rumah. isteriku, dan menjaga anak kita. Perjalanan ini belum tentu tidak menghadapi bahaya, biar aku dan Kwee-sute saja yang pergi."

"Tidak, aku penasaran dan aku akan ikut. Aku harus memperingatkan suhu," kata isterinya membantah.

"Sukar juga." kata Kwee Sun Tek. "Cihu juga tahu, biasanya suhu hanya memperhatikan kata-kata enci Goat dan sejak dulu suhu menuruti permintaan enci Goat yang amat disayangi. Memang baiknya enci Goat yang sekarang memperingatkannya, tentu ia akan malu dan akan menurut. Akau tetapi enci mempunyai anak yang baru berusia setahun......."

"Apa salahnya? Liong-ji (anak Liong) sudah besar dan tubuhnya kuat. laginya dengan adanya kita bertiga, dia sudah cukup terlindung. Kalau suhu tidak menuruti permohonanku dan suhu melihat Liong-ji, kiranya hatinya akan tergerak. Urusan ini menyangkut nama baik kita sekeluarga, cukup pantas kalau kita semua berkorban waktu dan tenaga."

Akhirnya, berangkatlah tiga orang, murid ini. bersama Thio Pek Liong yang baru berusia setahun lebih, ke utara, menuju ke kota raja yang belum lama dirampas oleh bafa tentara Mongol. Mudah saja bagi mereka untuk menyelidik keadaan koksu baru dan ternyata bahwa memang betul koksu yang baru diangkat itu adalab guru mereka!

Kepandaian suami isteri Thio Houw dan Kwe Goat sudah mencapai tingkat tinggi sekali karena mereka ini sudah mewarisi tiga perempat bagian dari kepandaian Beng Kun Cinjin. Hanya Kwee Sun Tek yang belum setinggi mereka tingkatnya, karena baru belakangan ia menjadi murid Beng Kun Cinjin. dan sebagian besar kepandaiannya ia dapat dari enci dan iparnya.

Karena mereka tidak mau membikin malu suhu mereka, maka mereka mengambil keputusan untuk mendatangi Beng Kun Cinjin secara diara diam dan di waktu tengah malam. Apa lagi mereka juga harus menanti sampai anak kecil itu tidur, karena tak mungkin membawa-bawa anak itu ke istana. Mereka bermalam di dalam sebuah kelenteng dan setelah anak itu tidur. Thio Houw menitipkan anaknya kepada hwesio penjaga kelenteng. Setelah itu mereka bertiga berangkat ke istana.

Kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tinggi. Tembok yang melingkungi istana dengan mudah saja mereka lompati dan bagaikan tiga bayangan setan mereka melompat-lompat di atas wuwungan bangunan-bangunan istana itu mencari tempat tinggal Beng Kun Cinjin.

Akan tetapi, seperti telah diketahui istana juga mempunyai banyak pengawal yang lihai. Kalau para penjaga dan peronda yang terdiri dari tentara biasa tidak dapat melihat masuknya tiga orang pendekar ini, adalah para pengawal istana sudah mengetahui- Maka begitu tiga orang ini melompat turun ke ruangan tengah, mereka segera terkurung. Oleh lima orang pengawal yang dikepalai oleh Hek mo Sai-ong yang sudah memegang sepasang gembolan di kedua tangannya,

"Kalian ini orang-orang berani mati, siapakah kalian dan apa maksud kedatangan kalian di sini?” bentak Hek-mo Sai-ong. tidak berani berlaku terlalu kasar karena ia tadi melihat gerak-gerik tiga orang yang gesit, tanda bahwa yang datang adalah orang orang berilmu. Apa lagi ia belum tahu apa maksud kedatangan mereka.

Thio Houw bertiga tertegun juga melihat bahwa para pengawal itu ternyata sudah bersiap-siap dan tahu akan kedatangan mereka. Mereka datang bukan untuk membikin ribut di Istana, melainkan untuk membujuk suhu mereka keluar dari situ. maka Thio Houw Lalu menjawab singkat.

"Kami datang untuk bertemu dengan suhu Beng Kun Cinjin."

Hek-mo Sai-ong menjadi curiga. Hendak bertemu dengan orang pada waktu tengah malam dan melalui jalan seperti maling, benar-benar tak boleh dipercaya. Tentu mengandung maksud buruk.

"Koksu sedang beristirahat, tak boleh diganggu. Kalau ada keperluan, boleh datang menghadap besok. Mengapa mencari koksu pada tengah malam buta?” tegur Hek-mo Sai-ong.

"Mereka ini tentu bukan orang baik-baik" menyambung seorang pengawal yang sudah gatal-gatal tangannya untuk segera menyerang, ia memandang ringan kepada tiga orang ini. Thio Houw berpengawakan tinggi tegap dan gagah, isterinya cantik dan keren, sedangkan Kwee Sun Tek tampan dan agak kurus. Tidak ada yang aneh pada tiga orang yang masih muda ini, maka para pengawal memandang rendah.
 
Thio Houw tersenyum tenang. ''Harap kalian jangan menghalangi kami yang tidak mempunyai maksud buruk terhadap istana ataupun kalian Kami adalah murid-murid Beng Kun Cinjin dan ingin bertemu dan bicara urusan penting dengan suhu."

Mendengar ini, Hek-mo Sai-ong dan kawan-kawannya menjadi kaget sekali. Kalau mereka ini murid-murid koksu. tentu saja tidak boleh diperlakukan kasar, akan tetapi tetap saja kedatangan mereka pada tengah malam buta menimbulkan kecurigaan. Semua orang tahu belaka bahwa sebelum menjadi koksu negara. Beng Kun Cinjin adalah seorang tokoh yang memusuhi bala tentara Mongol. Tentu murid-muridnya juga terhitung musuh mereka. Laginya, Beng Kun Cinjin baru saja menjadi koksu. belum memperlihatkan jasa sedikitpun. Bagaimana murid-muridnya bisa dipercaya?
"Ah, jadi samwi ini murid-murid koksu yang terhormat? Maaf kalau kami tidak menyambut secara hormat Akan tetapi, karena kedatangan sam-wi bukan pada waktu yang tepat, tentu saja tadi kami menjadi curiga. Untuk melenyapkan kecurigaan ini, harap samwi suka datang lagi besok pagi dan kami akan menyambut sebagaimana mestinya dan akan kami sampaikan kunjungan sam wi itu kepada koksu." kata Hek-mo Sai-ong dengan ramah, akan tetapi matanya memandang tajam penuh selidik.

Thio Houw menjadi tidak senang. "Kami berurusan dengan guru sendiri, ada sangkut-paut apakah dengan kalian? Harap kalian menyingkir dan biar kami mencari sendiri dan bicara dengan suhu!"

Hek mo Sai ong juga mulai marah. Ia menganggap Thio Houw sombong sekali.

"Biarpun sam wi murid-murid koksu. akan tetapi aku dan kawan kawanku ini bertugas menjaga keamanan di sini dan tanpa perkenan kami, tidak boleh siapapun juga berkeliaran di lingkungan istana. Sam-wi keluar dengan baik-baik dari tempat ini atau terpaksa kami menggunakan kekerasan." Sepasang gembolannya sudah digerak-gerakkan penuh ancaman.

Kwee Sun Tek tak dapat menahan kemarahannya lagi. Sungguh tidak dapat ia mengerti bagaimana suhunya bisa bekerja sama dengan orang orang macam ini.

"Cihu, babi macam ini sikat saja sudah!" katanya marah sambil mencabut pedangnya.

Dua orang pengawal mendengar makian pemuda ini, serentak maju dan menggerakkan tombak mereka untuk menyerang. Akan tetapi Kwee Sun Tek yang sudah marah sekali, memutar pedangnya dengan gerak tipu Giok-tai-wi yauw (Sa buk Kemala Melilit Pinggang) pedangnya dengan cepat sekali berkelebat memutar Terdengar suara keras dan dua batang tombak itu terbabat parah, bahkan seorang di antara dua pengawal yang menyerangnya tadi karena kurang cepat mengelak terbabat pula pundaknya, terluka parah dan menggelundung pergi. Yang seorang melompat ke belakang dengan muka pucat.

"Ada penjahat! Kepung..... tangkap.......bunuh!" teriak Hek-mo Sai-ong dengan keras dan marah. Sepasang gembolannya menyambar ke depan, ke arah kepala Kwee Sun Tek.

"Plak!" Gembolan kiri yang meluncur maju itu tertahan oleh benda keras, membalik dan hampir memukul kepalanya sendiri. Hek mo Sai ong kaget bukan main ketika melihat bahwa gembolannya itu tertangkis oleh tongkat pendek di tangan Thio Houw. Tahulah ia bahwa lawannya ini bertenaga besar dan memiliki kepandaian tinggi.

Atas teriakan Hek-mo Sai-ong, banyak pengawal lari mendatangi. Memang Hek-mo Sai ong berlaku cerdik dan hati hati. Ia tidak mau mengambil resiko dimarahi oleh koksu. maka ia sengaja berteriak ada penjahat agar kalau dia dan kawan kawannya berhasil menewaskan tiga orang ini, ia dapat mengambil alasan bahwa, tiga. orang ita adalah penjahat-penjahat yang hendak mengacau istana!

Pertempuran hebat terjadi di ruangan yang luas itu. Para pengawal datang makin banyak dan sebentar saja tiga orang pendekar itu terkepung. Thio Houw dan Kwee Goat yang bersenjata pedang dikeroyok oleh Hek-mo Sai-ong. Sin-chio Lo Thung Khak. dan Ta Gu Thai yang kosen, masih dibantu oleh tiga orang pengawal lain yang berkepandaian tinggi sedangkan Kwee Sun Tek dikeroyok oleh lima orang pengawal lain. Akan tetapi karena para pengeroyok pemuda ini kurang tinggi kepandaiannya maka dalam duapuluh jurus saja Kwee Sun Tek sudah berhasil merobohkan tiga orang pengeroyok. Pengawal-pengawal lain datang menggantikan mereka yaag roboh dan pertempuran berjalan lapi lebih rsme.

Sementara itu Thio Houw dan isterinya biarpun dikepung oleh tiga orang jago istana bersama tiga orang pengawal iain berhasil merobohkan dua orang pengeroyok dan mengamuk terus biarpun mereka kini dikepung sampai rapat betul.

Pada saat itu terdengar suara keras berpengaruh.

"Semua orang berhenti bertempur!"

Hekmo Sai ong dan kawan-kawannya mengenal suara koksu, juga tiga orang pendekar itu mengenal suara suhu mereka maka otomatis mereka menarik senjata masing-masing dan melangkah mundur.

Beng Kun Cinjin muncul, tubuhnya makin gagah, mukanya nampak berseri dan muda, pakaiannya mewah dan kepalanya yang dulu gundul pelontos itu mulai ditumbuhi rambut. Thio Houw, Kwee Goat dan Kwee Sun Tek hampir tidak mengenal suhu mereka. Akan tetapi begitu Beng Kun Cinjin membuka suara, mereka segera mengenal dan kini mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Beng Kun Cinjin.

"Suhu.....!"' kata mereka hampir berbareng.

Keadaan sunyi sekali. Para pengawal berdiri seperti patung, dengan hati tegang, hendak melihat apa yang selanjutnya akan terjadi antara guru dan tiga orang muridnya itu. Para korban sudah diangkat pergi.

"Thio Houw, apa maksudmu membawa isteri dan adikmu datang membikin ribut di sini?" terdengar Beng Kun Cinjin berkata dengan nada suara tak senang.

"Suhu, teecu bertiga bermaksud menghadap dan menemui suhu, akan tetapi para srigala utara ini menghalangi maksud teecu sehingga terjadi pertempuran:" jawab Thio Houw dengan terus terang dan sengaja menyebut para pengawal istana itu "srigala utara" untuk mengingatkan suhunya bahwa mereka itu semua adalah penjajah yang harus mereka musuhi.

Merah wajah Beng Kun Cinjin, bukan merah karena malu atau merasakan sindiran, melainkan merah karena marah.

"Thio Houw, kau sungguh tidak tahu aturan! Mau menghadap pinceng mengapa datang di tengah malam buta dan membikin kacau? Mengapa tidak di siang hari dan menghadap secara baik-baik? Benar-benar memalukan pinceng yang menjadi gurunya!"

"Suhu!" Kwee Goat berseru penasaran, "Bagaimana suhu berkata demikian? Teecu bertiga datang untuk mengajak suhu pergi dari sini, dan mari kita basmi srigala-srigala ini sebelum suhu pergi bersama teecu bertiga. Suhu, mereka ini adalah musuh-musuh kita, bukan?"

Beng Kun Cinjin memandang kepada murid perempuannya, murid yang dulu amat disayangnya seperti kepada anak sendiri.

"Goat-ji. aku mendengar kau sudah menjadi ibu. Mengapa kau tidak tinggal di rumah menjaga anakmu? Pulanglah kau bersama suamimu dan adikmu dan jangan mencampuri urusanku."

"Suhu, tak mungkin teecu bertiga pulang tanpa suhu ikut dengan kami!" kata Kwee Sun Tek bernafsu. "Suhu adalah junjungan kami dan setiap perbuatan suhu langsung ditanggung oleh kami, seperti juga semua perbuatan kami adalah tanggung jawab suhu. Lebih baik kami mati dari pada melihat suhu menjadi kaki tangan penjajah laknat!" Memang Kwee Sun Tek orangnya berdarah panas, maka ia tak dapat menahan kemarahannya melihat sikap suhunya yang memalukan itu.

Beng Kun Cinjin mendelikkan matanya, dan Kwee Goat yang merasa bahwa adiknya bicara keterlaluan, cepat berkata kepada suhunya dengan suara membujuk, "Suhu. kalau yang mengikat suhu di sini itu adalah puteri yang menjadi isteri suhu. mari kita mengajaknya pergi dari sarang musuh ini. Apa sukarnya?”

"Tidak bisa......... tidak bisa....... pinceng sudah banyak menerima budi hong-siang dan pinceng berada di sini hanya untuk melindungi keselamatannya. Sama sekali pinceng tidak memusuhi bangsa sendiri."

"Suhu. betul-betulkah suhu tidak mau insyaf dan tetap hendak membela kepentingan musuh? Suhu, semua orang gagah di dunia kang-ouw akan mengutuk perbuatan suhu ini dan kami sendiri akan menjadi bahan makian di mana-mana sebagai murid-murid seorang penghianat bangsa!" kata Thio Houw.

"Keparat, tutup mulut!" bentak Beng Kun Cinjin dengan marah sekali.

Pada saat itu, Ta Gu Thai melangkah maju dan mencoba untuk mencari muka,

"Koksu, murid-murid koksu ini gagah perkasa. Alangkah baiknya kalau mereka suka membantu pekerjaan koksu agar mereka tahu sampai di mana kebijaksanaan junjungan kita dan sampai di mana kebesaran pemerintah yang baru."

Mendengar ini, Beng Kun Cinjin mengangguk-angguk. Memang ia merasa tidak enak sekali harus bermusuhan dan ribut-ribut dengan murid-muridnya sendiri, "Kau dengar itu, Thio Houw. Go-at ji dan Sun Tek! Inilah jalan terbaik bagi kalian. Tinggallah di sini dan bantu pekerjaan pinceng. Di antara, kita tidak semestinya ada pertikaian”.

Mendengar ini, bukan main panasnya hati tiga orang pendekar itu. Kalau tadi mereka berlutut, kini serentak ketiganya berdiri tegak.

"Suhu, sekali lagi. Sudah tetapkah pendirian suhu tidak akan meninggalkan musuh dan tetap menjadi koksu di sini, hidup mewah dan berenang dalam kemuliaan palsu yang diadakan oleh musuh bangsa?” tanya Thio Houw.

"Pinceng memilih jalan hidup sendiri, kalian ini orang-orang muda mau apakah? Apakah pinceng tidak berhak menentukan jalan hidup sendiri dan tidak berhak mencari kebahagiaan? Persetan dengan kalian dan pergilah dari sini kalau tidak mau mendengar omonganku!"

"Bagus!" Thio Houw juga membentak marah. "Beng Kun Cinjin, mulai saat ini aku, isteriku Kwee Goat dan adik iparku Kwee Sun Tek sudah bukan murid-muridmu lagi! Kami tidak sudi menjadi murid pengkhianat, dan hal ini akan kami umumkan di dunia kang-ouw. Mulai saat ini tidak ada sangkut-paut lagi antara kau dan kami, dan kedosaanmu boleh kau tanggung sendiri!"

Kemarahan Beng Kun Cinjin meluap. "Begitukah? Kalau begitu serahkan kembali senjata-senjatamu yang dulu kalian terima dariku!" Tubuhnya bergerak cepat sekali ke arah murid-muridnya.

Thio Houw yang maklum bahwa bekas gurunya itu hendak merampas senjata, menjadi terkejut sekali. Ia berada di dalam gua macan, artinya di dalam tempat musuh, kalau senjatanya dirampas berarti dia dan isteri serta adiknya akan menghadapi bahaya besar. Maka cepat ia menggerakkan tongkat pendeknya untuk menotok dada bekas gurunya. Juga Kwee Goat dan Kwee Sun Tek yang maklum akan maksud bekas guru ini, tidak mau mengalah mentah-mentah dan menggerakkan pedang masing-masing untuk menyerang!

Terjadi pertempuran hebat antara guru dan tiga orang muridnya! Biarpun bertangan kosong, dengan mudah Beng Kun Cinjin dapat menghindarkan diri dari tiga macam serangan itu. Akan tetapi murid-muridnya yang selama ini sudah memperoleh kemajuan pesat, cepat menyusul dengan serangan kedua membuat Beng Kun Cinjin kewalahan. Memang, kepandaian Thio Houw dan Kwee Goat sudah tinggi, malah kiranya lebih tinggi dari pada kepandaian para panglima Istana.
Betapapun juga. karena semua kepandaian mereka itu asalnya dari Beng Kun Cinjin, maka tentu saja sebentar kemudian Beng Kun Cinjin sudah dapat menguasai keadaan.

Dengan gerak tangan yang gesit dan kuat sekali, hawa pukulan Lui kong jiu dapat memukul setiap serangan mereka, kemudian dengan Ilmu Silat Pai-in-ciang, hwesio itu dapat membuat pertahanan tiga orang muridnya menjadi kalang kabut. Akan tetapi karena bukan maksudnya hendak merobohkan murid-muridnya, hanya hendak merampas senjata, tak mudah baginya untuk mencapai maksud hatinya. Apa lagi tiga orang muridnya itu sudah maklum akan kehendaknya ini dan mempertahankan senjata mereka secara mati-matian.

Dua puluh jurus lewat sudah dan Beng Kun Cinjin menjadi amat marah. Ia merasa malu sampai sekian lama tidak dapat berhasil dalam usahanya, di depan mata para panglima. Masa menghadapi murid-murid sendiri ia menjadi mati kutu? Dengan gerengan hebat tahu-tahu tasbeh yang dikalungkan di leher telah berada di tangannya.

Thio Hduw, Kwee Goat, dan Kwee Sun Tek kaget bukan main. Betul-betulkah bekas suhu ini sudah demikian rusak moralnya dan hendak membunuh-bunuhi murid sendiri?

Tiga orang murid itu sudah cukup maklum betapa hebat dan lihainya senjata tasbeh guru mereka, Beng Kun Cinjin itu yang sepanjang ingatan mereka belum pernah dikalahkan orang. Sekarang melihat suhu mereka mempergunakan tasbeh' ini, mereka menjadi gentar juga. Akan tetapi karena mereka sudah merasa benci kepada bekas guru yang menyeleweng ini, mereka menjadi nekat dan malah menyerang lebih hebat lagi dari pada tadi.

"Kalian benar-benar berkepala batu!" bentak Beng Kun Cinjin, tasbehnya menyambar mengeluarkan angin pukulan yang membuat tiga orang muridnya itu terhuyung ke belakang dan sebelum mereka dapat mencegah, tahu-tahu tasbeh itu sudah melingkari tongkat Thio Houw dan tangan kiri hwesio itu sudah menyambar pedang di tangan Kwee Sun Tek. Sekali ia berseru sambil mengerahkan tenaga, dua senjata itu telah dirampasnya!

Thio Houw dan Kwee Sun Tek terkejut sekali dan hanya memandang dengan mata terbelalak, melihat bagaimana senjata mereka dirampas oleh bekas guru itu. Beng Kun Cinjin tertawa.

"Kalian anak-anak muda benar-benar tak tahu diri, disuruh pergi baik- baik tidak mau, disuruh tinggal juga tidak mau, sebaliknya menghina dan membikin malu guru. Jangan salahkan pinceng kalau pinceng merampas kembali senjata sebagai hukuman. Hanya pedang Cheng-hong-kiam di tangan Goat-ji (anak Goat) tidak pinceng minta kembali, mengingat akan kebaikan hati dan kebaktian Goat-ji dulu-dulu. Nah, pergilah kalian!"

Setelah berkata demikian, sekali berkelebat hwesio itu telah lenyap dari situ, kembali ke kamarnya di mana kekasihnya, Kiu Hui Niang telah menantinya. Akan tetapi ia mengerutkan kening ketika mendengar suara ramai-ramai di luar orang bertempur. Tahulah ia bahwa tiga orang muridnya itu berkeras hati dan tidak mau pergi, malah kini bertempur lagi melawan para panglima istana. Sukar baginya untuk mencegah, karena tiga orang muridnya itu yang sudah membikin rusuh di istana tentu saja tidak akan dibiarkan pergi begitu saja oleh para pengawal. Apa lagi setelah para pengawal itu melihat bahwa sekarang tiga orang itu sudah tidak mau mengaku sebagai muridnya, tentu para pengawal tidak segan-segan lagi turun tangan dan tidak sungkan lagi kepadanya yang sekarang sudah bukan guru lagi dari tiga orang itu. Diam-diam hati Beng Kun Cinjin menjadi tidak enak sekali. Ia lalu menutup pintu dan jendela rapat-rapat agar tidak mendengar suara pertempuran di luar dan menghampiri kekasihnya yang sudah menanti di situ.

"Bagaimana, apakah penjahat-penjahat itu sudah kau bekuk?" tanya Kiu Hui Niang yang menyambut kedatangan suaminya dengan muka khawatir, "Aku masih mendengar pertempuran di luar."
"Biarlah, senjata-senjatanya sudah ku rampas. Para pengawal sudah cukup kuat untuk membereskan mereka," jawab hwesio itu sambil duduk di atas bangku dan menghirup habis secawan besar arak wangi.

"Aku mendengar bahwa mereka itu bekas murid-muridmu, betulkah?" tanya Hui Niang, wajahnya yang cantik masih memperlihatkan kekhawatiran.

"Jangan kau takut, manisku. Tidak baik waktu mengandung berkhawatir. Mereka itu hanya bekas murid muridku, bukan apa-apa. Sebentar lagi tentu mereka akan tertawan atau tewas oleh para pengawal."

"Apakah murid-muridmu hanya tiga orang itu? Mereka itu bekerja apa dan bagaimana keadaan mereka?" Hui Niang mendesak sambil mendengarkan suara ribut-ribut di luar.

Beng Kun Cinjin tersenyum, lalu menarik napas panjang untuk mengusir kenangan-kenangan lama antara guru dan murid-murid yang pada saat itu malah mengesalkan hatinya. "Yang dua adalah suami isteri membuka piauwkiok di selatan yang seorang adalah adik si isteri. Mereka memang besar kepala dan patut mendapat hukuman."

"Suamiku yang baik, suamiku yang gagah, mengapa tidak kau sendiri keluar menghabiskan nyawa mereka? Aku khawatir mereka akan dapat lolos dari kepungan para pengawal." kata Hui Niang memohon.

Diam-diam memang Beng Kun Cinjin mengharapkan ketiga orang muridnya itu akan dapat meloloskan diri dan pergi dari situ. Betapapun juga ia tidak menghendaki tiga orang muridnya itu tewas oleh para pengawal. Tadi ia sengaja merampas senjata Thio Houw dan Kwee Sun Tek karena ia maklum bahwa tanpa senjata, mereka itu pasti takkan kuat menghadapi para panglima. Yang lihai adalah senjata-senjata mereka yang memang bukan senjata biasa, melainkan senjata-senjata pusaka yang dulu ia berikan kepada murid-muridnya. Hanya pedang Cheng-hoa-kiam ditangan Kwee Goat ia tidak tega untuk rampas. Ia memberi kesempatan sebesarnya kepada murid perempuan itu untuk meloloskan diri mengandalkan pedangnya.

Selagi di dalam kamarnya Beng Kun Cinjin dibujuk-bujuk oleh isterinya untuk membantu para pengawal, adalah pertempuran di luar makin menghebat. Thio Houw, Kwee Goat dan Kwee Sun Tek bukan saja tidak mempunyai niat meninggalkan tempat itu sebelum melampiaskan kemarahan mereka, juga andaikata mereka hendak pergi melarikan diri. kiranya para pengawal istana takkan mau membiarkan begitu saja. Setelah Beng Kun Cinjin pergi, para pengawal istana tanpa diberi komando lagi lalu menyerbu dan mengurung mereka.

Thio Houw dan Kwee Sun Tek biarpun sudah bertangan kosong, tak merasa gentar. Sambil mengeluarkan suara gerengan hebat, keduanya mengamuk bagaikan dua ekor naga yang sedang marah. Sedangkan Kwee Goat yang masih memegang pedang, juga tidak tinggal diam. pedangnya berkelebatan mencari korban. Sebentar saja, banyak pengawal yang kurang tinggi kepandaiannya roboh menjadi korban tiga orang pendekar yang sedang marah dan mengamuk ini.

Akan tetapi, para pengawal itu makin banyak saja mendatangi tempat pertempuran dan kini yang maju mengeroyok hanyalah pengawal-pengawal kelas satu, dipimpin oleh Sin-chio Lo Thung Khak, Hek-mo Sai-ong. Ta Gu Thai, dan tiga orang panglima yang kepandaiannya juga amat tinggi yangi dikenal sebagai tiga saudara Lee yang gagah perkasa.

Menghadapi mereka ini, baru Thio Houw dan isteri serta adiknya menjadi terdesak hebat. Thio Houw yang menjadi pusat penyerangan lawan, sudah menderita luka pada pundaknya, kena sambaran senjata benggolan Hek-mo Sai-ong, kini ia hanya dapat mempertahankan diri dengan sebelah tangan saja. Juga Kwee Goat dan Kwee Sun Tek sudah lelah sekali, malah Kwee Sun Tek juga mendapat luka ringan pada lengannya, kulitnya robek berdarah karena ia menangkis senjata tajam.

Jalan keluar tidak ada lagi. Menyerah merupakan pantangan besar bagi mereka. Kwee Goat insyaf benar akan hal ini karena ia sudah terluka dan dia sendiri sudah tidak bertenaga, maklumlah nyonya ini nasib apa yang akan menimpa keluarganya. Ia teringat akan puteranya yang ia titipkan di kelenteng. Tiba-tiba ia menyerahkan pedangnya kepada Kwee Sun Tek dan berbisik.

"Adikku yang baik, lekas kau lari dan selamatkan keponakanmu!"

Sun Tek kaget. Mana bisa ia meninggalkan enci dan iparnya tewas di situ tanpa membantu sampai titik darah penghabisan?

"Kau saja yang lari, cici. Wi Liong perlu dengan ibunya, biar aku mempertahankan di samping cihu." jawab pemuda itu dengan suara tetap.

"Bodoh, kalau cihumu tewas apa kau kira aku masih suka hidup? Suami isteri tewas berbareng adalah hal yang baik sekali. Kau rawat Wi Liong dan berikan Cheng-hoa-kiam ini kepadanya. Biar kelak dia yang membasmi penghianat Beng Kun Cinjin dari muka bumi!"

Sun Tek tak dapat menolak lagi. Pedang-sudah diberikan di tangannya. Para pengeroyok mendesak terpaksa ia menggunakan pedang cicinya untuk membabat dan berhasil melukai seorang pengawal. Cicinya sudah terjun lagi ke dalam pertempuran, bahu-membahu dengan suaminya hanya menggunakan Ilmu Silat Pai in-ciang untuk melawan sekian banyaknya musuh yang bersenjata tajam.

Sun Tek maklum bahwa seorang di antara mereka harus hidup dan dapat melarikan diri untuk merawat Wi Liong keponakannya itu. Melihat keadaan Thio Houw dan isterinya, ia maklum bahwa memang tak mungkin memisahkan mereka. Ia cukup maklum betapa besar cinta kasih cicinya terhadap suaminya dan tentu eaja kakak perempuannya itu rela tewas di samping suaminya.

"Baiklah, enci Goat dan cihu. aku akan merawat Liong-ji. Selamat berpisah!" kata Sun Tek dengan mata basah karena tak tertahan lagi air matanya membasahi matanya. Ia memutar pedangnya dan mencari jalan keluar.

Para pengawal tentu saja tidak membiarkan ia pergi dan cepat ia dikurung. Thio Houw dan isterinya yang menggantungkan harapannya kepada Sun Tek untuk merawat anak mereka, menubruk maju dan menyerang para pengawal dengan mati-matian. Mereka tidak memperdulikan nyawa sendiri agar Sun Tek dapat bebas dan dapat merawat hidup Liong-ji mereka.

Karena gerakan mereka yang nekat untuk menolong Sun Tek ini, dalam sekejap mata saja mereka menjadi korban senjata para pengeroyok, Thio Houw roboh karena pukulan gembolan di tangan Hek-mo Sai-ong pada kepalanya, sedangkan Kwee Goat roboh terkena bacokan golok pada punggungnya.

"Adikku, rawat Liong ji baik-baik........."

Kwee Goat masih sempat bersuara sebelum nyawanya melayang meninggalkan raganya.

Melihat cici dan cihu nya roboh, mana bisa Kwee Sun Tek pergi begitu saja? Tadinya ia sudah berusaha membuka jalan keluar, akan tetapi melihat keadaan kakak perempuan dan iparnya itu, sambil berseru marah ia menerjang kembali, dalam kekalapannya merobohkan dua orang pengeroyok dengan pedangnya. Akan tetapi segera ia dikurung rapat dan hanya bisa memutar pedang melindungi diri saja dari pada hujan senjata itu. Keadaan Kwee Sun Tek sudah amat berbahaya dan dapat diramalkan bahwa tak lama kemudian iapun tentu akan roboh seperti kakak perempuan dan iparnya yang sudah tewas. Akan tamatkah riwayat tiga orang pendekar murid Beng Kun Cinjin itu secara demikian mengecewakan?

Tiba-tiba terdengar seruan Beng Kun Cinjin dari dalam kamarnya.

"Yang lain-lain boleh bunuh, akan tetapi yang memegang pedang Cheng-hoa-kiam harus dibiarkan pergi!"

Suara hwesio ini berpengaruh sekali dan semua pengawal tidak ada yang berani membantah. Apa lagi mereka sudah berhasil menewaskan dua orang musuh, hal itu sudah cukup meredakan kemarahan mereka biarpun di fihak mereka ada enam orang pengawal yang tewas dalam pertempuran itu, dan ada lima orang lain yang terluka! Kurungan terhadap Kwee Sun Tek dibuka dan tak seorangpun pengawal menyerang pemuda ini.
 
Kwee Sun Tek tidak tahu mengapa gurunya membiarkan dia terbebas, akan tetapi ia tidak pergi sebelum menyambar tubuh clci dan cihunya dan dengan sedih ia memanggul kedua mayat itu dan berlari keluar dari lingkungan istana.

Setelah pertempuran berhenti dan di luar sunyi, baru Beng Kun Cinjin mau keluar dan mendengarkan laporan para pengawal tentang pertempuran itu. Biarpun mukanya tidak memperlihatkan sedikitpun perasaan ketika mendengar laporan itu, namun di dalam hatinya Beng Kun Cinjin kaget setengah mati ketika mendapat laporan bahwa Kwee Goat juga tewas dan yang dapat membebaskan diri adalah Kwee Sun Tek! Ketika ia memberi perintah dari dalam kamarnya untuk melepaskan pemegang pedang Cheng-hoa-kiam, ia bermaksud untuk mengampuni dan melepaskan murid perempuan yang ia sayang itu agar dapat pergi dan merawat anak tunggalnya. Siapa duga bahwa ternyata nyonya muda itu telah memberikan pedang kepada adiknya sehingga dengan demikian ia bersama suaminya yang tewas dan Kwee Sun Tek dapat menyelamatkan diri.

Beng Kun Cinjin maklum akan watak Kwee Sun Tek yang keras dan tahu pula bahwa di antara ketiga muridnya itu. Kwee Sun Tek yang paling bersemangat dalam membela nusa bangsa, paling patriotik. Oleh karena itu, tentu dari fihak Kwee Sun Tek ia akan mendapat permusuhan yang tak kunjung padam. Apa lagi kalau putera Kwee Goat itu dirawat oleh Kwee Sun Tek, tentu kelak akan menambahkan musuh saja.

Akan tetapi semua ini hanya disimpan di dalam hatinya sendiri saja dan ia tidak bilang sesuatu kepada para pengawal, melainkan menyuruh mereka merawat mereka yang luka dan mengurus mereka yang tewas. Juga tidak lupa ia membagi bagi hadiah, baik kepada para pengawal maupun kepada para keluarga pengawal yang tewas.

Kiu Hui Niang dapat melihat kemasgulan hati suaminya. Ia lahi merdesak.

"Mengapa kau nampak berduka? Apakah kau menyedihi kematian murid-muridmu yang murtad terhadapmu itu?”

Beng Kun Cinjin menggeleng kepala dan sedianya ia takkan bercerita. Namun, isterinya terus mendesak dan karena memang hwesio ini sudah bertekuk lutut terhadap kecantikan Hui Niang, akhirnya ia mengaku juga bahwa dibebaskannya Kwee Sun Tek yang akan merawat putera Kwee Goat mendatangkan kecemasan baginya.

"Aah, mengapa kau begitu bodoh? Dia baru malam tadi pergi, membawa dua mayat pula. Mana dia bisa pergi jauh? Suamiku, ingat bahwa dia itu kelak akan menjadi musuh besar. Apa lagi bocah yang ia rawat, tentu kelak akan menjadi rintangan hidup kita saja. Andaikata bocah itu kelak tidak dapat bertemu dengan kau, kau harus ingat akari anak yang kukandung, anakmu. Apakah penghidupan anakmu ini akan menjadi aman tenteram kalau kita mempunyai musuh besar? Sebelum terlambat, dan sebelum mereka pergi jauh, lebih baik kau lekas menyusul dan membunuh mereka paman dan keponakan itu."

"Itu terlalu kejam........." keluh Beng Kun Cinjin,

"Mana bisa disebut kejam? Ini demi menyelamatkan penghidupan anak kita sendiri kelak. Dan pula, kalau anak itu dibiarkan hidup, bukankah dia akan hidup sebagai anak yatim piatu dan malah menjadi terlantar? Lebih baik dia disuruh menyusul ayah bundanya."

Seperti biasa, luluh hati Beng Kun Cinjin oleh bujukan isterinya, apa lagi ketika Hui Niang menangis terisak-isak karena amat gelisah memikirkan nasib anaknya yang masih dalam kandungan itu. Selain tergerak oleh bujukan isterinya yang cantik jelita, juga Beng Kun Cinjin nrenganggap bahwa kali ini isterinya bicara betul, ia dapat membayangkan betapa anak Kwee Goat itu kelak tentu akan berusaha membalas dendam, kalau tidak bisa kepadanya tentu kepada anaknya.

Berangkatlah Beng Kun Cinjin siang hari itu. keluar dari gedungnya untuk mengejar Kwee Sun Tek! Karena urusan ini lebih bersifat urusan pribadi, maka ia tidak memberi tahu kepada para pengawal, pula ia anggap urusan mudah untuk mengejar dan membinasakan muridnya itu.

Adapun Kwee Sun Tek yang berhasil keluar dari istana sambil membawa jenazah cici dan cihunya, dengan bercucuran air mata terus-menerus. Jenazah-jenazah itu dengan bantuan hwesio penjaga kelenteng. Dengan hati hancur ia mengubur jenazah-jenazah itu di halaman belakang kelenteng dan menyembahyangi. Juga Thio Wi Liong, bocah yang baru berusia satu tahun dan tidak tahu apa-apa itu, ia pondong dan ia bawa bersembahyang di depan kuburan yang baru dari ayan bundanya.

"Wi Liong, barlah aku mewakili kau bersumpah kepada arwah ayah bundamu bahwa kelak apa bila kita sudah kuat kita berdua akan mencari jahanam keji penghianat bangsa itu dan akan mencabut keluar jantungnya untuk dipakai bersembahyang di depan kuburan-kuburan ini. Cheng hoa-kiam inilah yang akan mendodet perutnya dan mencabut keluar jantungnya." Dengan wajah menyeramkan Kwee Sun Tek mencabut pedang Cheng-hoa-kiam. Wi Liong menangis ketika melihat wajah pamannya ini.

Hwesio penjaga kelenteng menjadi ketakutan, apa lagi la tahu bahwa yang dimaki-maki adalah koksu yang baru.

"Sicu, pinceng harap sicu cepat-cepat meninggalkan kota raja. Tentu sicu maklum bahwa pinceng yang sudah tua dan tidak mau tersangkut urusan keduniaan, merasa gelisah kalau kalau terjadi sesuatu di kelenteng ini."

Kwee Sun Tek maklum akan perasaan takut hwesio tua itu, maka ia cepat menghaturkan terima kasih, lalu mengumpulkan pakaian Wi Liong dan sambil memondong keponakannya itu. ia berangkat keluar dari kota raja dengan cepat. Ketika itu matahari telah naik tinggi dan dengan perasaan lega Kwee Sun Tek tidak menemui rintangan ketika melalui pintu gerbang kota raja.

"Aku harus membawa Liong- ji sejauh mungkin," pikirnya. "Aku harus mencarikan guru yang sakti untuk anak ini". Diam-diam ia meragukan sendiri apakah ia dan keponakannya ini ada harapan untuk membatas dendam kepada seorang yang demikian tinggi ilmunya seperti bekas gurunya. Beng Kun Cinjin! Karena ia masih khawatir kalau-kalau Beng Kun Cinjin atau para pengawal Istana akan mengejarnya. Sun Tek melakukan perjalanan cepat sekali, mengerahkan tenaganya dan berlari cepat melalui pintu gerbang sebelah selatan.

Ia tidak tahu bahwa setelah ia meninggalkan pintu gerbang itu kurang lebih sepuluh lie jauhnya. Beng Kun Cinjin juga tiba di pintu gerbang selatan itu. Ia segera disambut dengan penghormatan oleh penjaga pintu.

"Apakah tadi pagi kau melihat seorang laki-laki memondong seorang anak kecil lewat keluar pintu gerbang ini?” tanya Beng Kun Cinjin tanpa membalas penghormatan penjaga itu.

''Ada, koksu. ada! Tadi memang ada seorang pemuda yang gagah kelihatannya, di pinggangnya tergantung pedang dan dia memondong seorang anak laki-laki berusia satu tahun kurang lebih. Malah anak itu menangis saja memanggil-manggil ibunya." kata si penjaga.

Mendengar Ini, tanpa berkata apa-apa lagi Beng Kun Cinjin lalu berkelebat dan berlari cepat mengejar ke barat. Memang kalau orang keluar dari pintu gerbang selatan ini, jalan selanjutnya menuju ke barat.

Biarpun ilmu berlari cepat dari Kwee Sun Tek sudah mencapai tingkat tinggi, namun dibandingkan dengan Beng Kun Cinjin. ia masih kalah jauh sekali. Tanpa menyadari akan datangnya bahaya. Sun Tek berlari terus ke barat. Tujuannya adalah Kuil Siauw lim si yang terletak kurang lebih sepuluh lie lagi di depan. Ia mengenal Siang Tek Hosiang. ketua kuil itu yang merupakan cabang Kelenteng Siauw-lim-si yang terkenal dipimpin oleh orang-orang gagah perkasa di dunia kang ouw Siang Tek Hosiang sendiri adalah tokoh keluaran Siauw lim si yang sudah berkepandaian tinggi dan sudah mendapat kepercayaan dari para guru-guru besar di Siauw lim pai untuk membuka cabang di tempat itu. Maksud hati Kwee Sun Tek, ia hendak menemui sahabatnya itu dan minta surat perkenalan karena ia bermaksud hendak memasukkan Wi Liong menjadi murid Siauw lim pai yang terkenal sebagai partai persilatan yang besar.

Kuil Siauw lim si itu masih berada kurang lebih tiga lie lagi di sebelah depan ketika tiba-tiba Kwee Sun Tek mendengar seruan keras dan nyaring dari belakang.

"Sun Tek, berhentilah kau!"

Kalau ketika itu ada suara geledek menyambar di dekat telinganya, belum tentu Sun Tek akan sekaget ketika ia mendengar dan mengenal suara ini. Biarpun orangnya belum kelihatan, namun ia maklum bahwa gurunya telah mengejarnya dan baru saja mengeluarkan seruan dengan pengerahan tenaga khikang yang tinggi, semacam Ilmu Coan im jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh). Mendengar seruan ini. Sun Tek bukannya mentaati permintaan suhunya, dia malah mempercepat larinya ke depan sambil memeluk Wi Liong erat-erat. Dia sudah melewati satu lie lagi. Hutan di mana terdapat Kuil Siauw lim si itu sudah nampak di depan.

"Sun Tek, tunggu.........!" terdengar lagi suara suhunya.

Kwee Sun Tek makin "tancap gas" mendengar suara yang sudah dekat sekali ini seakan-akan suhunya sudah berada di belakang tubuhnyal Diam-diam ia menyiapkan pedang Cheng-hoa-kiam karena ia mengambil keputusan kalau ia tersusul oleh suhunya sebelum mencapai Kuil Siauw-lim-si, ia akan nekat melakukan perlawanan mati-matian.

Baiknya Beng Kun Cinjin tidak berlaku tergesa-gesa karena sudah maklum bahwa bagaimanapun juga, bekas muridnya itu takkan mampu melarikan diri dan terlepas dari tangannya.

Lega hati Sun Tek ketika ia memasuki hutan itu dan ia tidak perduli akan seruan gurunya yang sekali lagi menggeledek datangnya, tanda bahwa gurunya sudah dekat benar. Bangunan Kuil Siauw lim-si sudah nampak, gentengnya yang merah sudah kelihatan di antara daun-daun pohon. Sun Tek mengerahkan seluruh tenaga kakinya dan berlari kencang sekali menuju ke kuil itu.

Dengan napas hampir putus ia melompat masuk ke dalam ruangan dan menjatuhkan diri terengah-engah di antara tujuh orang, hwesio yang sedang melakukan upacara sembahyang dan berdoa. Tentu saja tujuh orang hwesio itu terheran-heran melihatnya.

Seorang hwesio yang usianya sudah enampuluh tahun, berjenggot panjang dan putih, berdiri dari tempat duduknya, memandang tajam lalu berkata,

"Omitohud! Kalau mata pinceng yang sudah lamur tidak keliru lihat, bukankah sicu ini Kwee-sicu?”
"Losuhu, tolonglah teecu! Teecu dikejar-kejar oleh Beng Kun Cinjin......!" kata Sun Tek terengah-engah.

Hwesio tua itu mengelus-elus jenggotnya dan menggeleng-geleng kepalanya. Ia tahu siapa Beng Kun Cinjin, yakni koksu yang baru saja diangkat oleh Kaisar Mongol. Juga ia tahu bahwa Beng Kun Cinjin adalah guru orang muda ini. Ia mengenal baik Kwee Sun Tek, pemuda patriotik yang gagah dan ia dapat menduga bahwa tentu terjadi keributan antara guru dan murid, buktinya pemuda ini tidak menyebut "suhu" lagi kepada Beng Kun Cinjin.

"Heran sudah demikian jauhkah penyelewengan Beng Kun Cinjin?" katanya lirih.

"Penghianat itu telah membunuh cici dan cihuku ketika kami bertiga berusaha mengingatkannya dari penghianatannya. Dan anak ini adalah anak cici dan cihu. Sekarang penghianat itu dari kota raja mengejar teecu, mohon pertolongan losuhu dan semua suhu di sini demi keselamatan bocah ini.........!"
"Sun Tek, keluarlah! Jangan bawa-bawa orang lain dalam urusan kita!" terdengar bentakan dari luar kuil. Itulah suara Beng Kun Cinjin.
"Losuhu, biar teecu keluar dan menyerahkan nyawa teecu. Hanya, teecu mohon para losuhu sudi melindungi bocah ini dan kelak memasukkan Thio Wi Liong ini sebagai murid Siauw-lim-pai," kata Kwee Sun Tek dengan suara memohon.

"Jangan, Kwee-sicu. Selain tidak baik melawan bekas guru sendiri, juga kau takkan menang. Untuk apa mengantarkan nyawa cuma-cuma? Kau masih muda dan perlu hidup untuk merawat keponakanmu. Kau larilah dari pintu belakang biar pinceng bertujuh membujuk Beng. Kun Cinjin untuk mengampunimu," kata Siang Tek Hosiang dengan suara lemah lembut.

Sun Tek girang sekali, ia menjatuhkan diri berlutut menghaturkan terima kasih, kemudian ia memondong keponakannya itu dan jalan berindap indap ke pintu belakang. Adapun Siang Tek Ho-siang dan enam orang sute dan muridnya berjalan keluar dengan tenang.

Biarpun dulunya Beng Kun Cinjin adalah seorang hwesio pula dan bahkan sekarangpun kepalanya masih gundul biarpun tidak sekehmis dulu, namun karena kedudukannya sebagai koksu negara Siang Tek Hosiang tidak menganggapnya sebagai sesama pendeta Buddha. Siang Tek Hosiang memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada. diturut oleh enam orang hwesio yang lain

"Ah kiranya koksu yang mengunjungi kuil kami yang buruk. Entah apa gerangan maksud kunjungan koksu yang terhormat ini?” kata Siang Tek Hosiang dengan ramah dan halus.

Beng Kun Cinjin tidak merasa heran bahwa orang mengenalnya karena sebagai koksu baru, tentu saja ia menjadi terkenal dengan kedudukannya yang tinggi itu dan semua orang di sekitar kota raja pasti mengenalnya. Akan tetapi ia menjadi tak senang melihat hwesio tua itu masih berpura-pura, padahal sudah jelas bahwa tadi Kwee Sun Tek memasuki kuil ini. Bentaknya keras,

"Biasanya hwesio-hwesio Siauw-lim pai amat jujur, mengapa sekarang ada cabangnya yang diurus oleh hwesio-hwesio pandai bersikap palsu? Hwesio tua. apa kau tidak tahu bahwa pinceng adalah Beng Kun Cinjin? Lekas kau suruh orang muda yang memondong bocah tadi keluar menemui pinceng. Dia itu muridku, dan jangan kalian mencampuri urusan antara guru dan murid."

Siang Tek Hosiang tersenyum tenang. "Lo-ceng cukup tahu dengan siapa loceng berhadapan, yaitu dengan koksu baru dari pemerintah Mongol! Siauw lim pai selamanya mengutamakan kegagahan dan membenci kemunafikan, apa lagi penghianatan. Orang muda yang memondong bocah adalah seorang patriot muda perkasa, seorang sahabat loceng yang baik. Oleb karena itu. sudah sewajarnya kalau Siauw lim-pai melindungi seorang pahlawan bangsa. Mengingat akan asal-usul koksu, harap saja koksu memandang muka kami dan menghabiskan urusan ini kembali ke kota raja."

"Hwesio keparat!" Beng Kun Cinjin membanting kakinya dengan marah sekali. "Kau sudah tahu berhadapan dengan Beng Kun Cinjin dan masih berani bersikap begini? Setan alas Couwsu dari Siauw lim pai sendiri. Bhok Lo Cinjin. makan semeja duduk sebangku dengan pinceng!" Kata kata makan semeja duduk sebangku berarti orang setingkat atau sederajat. Memang Beng Kun Cinjin dianggap tokoh kang-ouw yang besar dan hanya dapat disamakan dengan para ciangbujin {ketua) dari partai-partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Kunlun pai, Go bi pai dan beberapa partai lagi. Sekarang seorang ketua cabang partai seperti Siang Tek Hosiang berani bicara seperti orang menegur atau menyindir di depannya, tentu saja membuat Beng Kun Cinjin menjadi panas perutnya.

Setelah memaki marah, Beng Kun Cinjin terus saja menerobos masuk ke dalam kuil tanpa memperdulikan tujuh orang hwesio yang menghadang di depannya.

"Koksu, kuil adalah tempat suci. tak boleh sembarangan diinjak lantainya oleh seorang pembesar asing!" kata Siang Tek Hosiang mencegah sambil mengangkat kedua lengan ke depan untuk mendorong mundur Beng Kun Cinjin. Enam orang kawannya yang terdiri dari dua orang sute dan empat orang murid, juga menghadang di tengah jalan.

Ucapan "pembesar asing" ini lebih-lebih mengobarkan kemarahan di hati Beng Kun Cinjin. Dengan bentakan "pergilah!" ia menggerakkan tangan kanan menyambut dorongan itu, sedangkan tangan kiri ia kipatkan ke arah enam orang hwesio lainnya.

Biarpun gerakan ini sewajarnya dan biasa saja, akan tetapi sebetulnya gerakan itu mengandung tenaga pukulan Lui-kong-jiu yang ampuh. Terdengar teriakan-teriakan mengerikan. Tubuh Siang Tek Hosiang terlempar dan roboh tak berkutik lagi, dari mulut hwesio tua ini keluar darah segar dan matanya melotot memandang Beng Kun Cinjin dengan sinar kemarahan yang makin lama makin melenyap ketika sepasang matanya menjadi suram dan akhirnya padam, tanda nyawanya meninggalkan tubuhnya yang sudah tua.. Adapun enam orang hwesio lain, terkena sambaran angin pukulan tangan kiri, bagaikan daun daun kering tertiup angin taufan, terlempar saling tumbuk tidak karuan.

Tanpa memperdulikan lagi keadaan para korban akibat pukulannya, Beng Kun Cinjin terus melangkah masuk dan menggeledah di dalam kuil. Akan tetapi yang ia dapati hanyalah alat-alat sembahyang dan kitab-kitab doa Agama Buddha. Tidak terdapat bayangan Kwee Sun Tek. Beng Kun Cinjin dapat menduga bahwa bekas muridnya itu tentu melarikan diri dari pintu belakang Tanpa membuang waktu lagi ia terus mengejar melalui pintu belakang, mengerahkan kepandaiannya dan berlari secepat terbang melakukan pengejaran.

Secepat-cepatnya dan sepandai-pandainya Kwee Sun Tek lari, mana bisa ia melawan bekas gurunya sendiri? Belum sepuluh lie ia lari, Beng Kun Cinjin sudah dapat menyusulnya!

"Sun Tek, kau hendak lari ke mana?" bentak Beng Kun Cinjin dengan suara menyeramkan.

Tak melihat jalan untuk menyelamatkan diri lagi. Kwee Sun Tek dengan wajah pucat akan tetapi mata mengandung keberanian luar biasa, berhenti, membalikkan tubuh dan berdiri tegak dengan keponakannya di dalam pondongan tangan kiri dan pedang Cheng-hoa-kiam di tangan kanan.

"Beng Kun Cinjin, apakah setelah menjadi kaki tangan penjajah kau sudah begitu hina untuk melanggar janji sendiri? Kau sudah berjanji dan mengeluarkan kata-kata melepaskan orang yang memegang Cheng-hoa-kiam!"

Melihat pemuda itu berdiri tegak dan gagah, untuk sedetik Beng Kun Cinjin teringat akan muridnya ini di waktu masih kecil, belajar dengan tekun, rajin dan memang sejak kecil Sun Tek memiliki ketabahan hati luar biasa. Akan tetapi semua ingatan ini terusir pergi oleh bayangan bibir merah menarik dari Hui Niang, maka bentaknya keras.

"Siapa mau melepaskan kau? Pinceng memang bermaksud melepaskan Kwee Goat, bukan kau! Sungguh kau harus malu, membiarkan enci sendiri tewas dan kau sendiri melarikan dan menyelamatkan diri!"

Sun Tek menganggap tidak ada gunanya membujuk bekas gurunya ini. maka sambil membolang balingkan pedang Cheng-hoa kiam, ia ber kata.

"Kau hendak membunuh aku? Boleh, silahkan saja. Siapa sih takut mati? Akan tetapi harap saja kau masih ada sedikit prikemanusiaan dan tidak mengganggu keponakanku ini." Setelah berkata demikian, Sun Tek menurunkan Wi Liong di atas rumput, di bawah sebatang pohon besar. Anak ini belum pandai berdiri, baru merangkak. Karena diturunkan dari pondongan dan ditinggal seorang diri di atas rumput, ia mulai menangis keras.

Beng Kun Cinjin juga tidak mau banyak bicara karena di dalam lubuk hatinya betapapun juga ia merasa bahwa kali ini ia bertindak keterlaluan. Akan tetapi kalau bekas muridnya ini tidak dibunuh, kelak tentu akan menimbulkan banyak urusan, seperti yang dikatakan oleh kekasihnya.

"'Kau sendiri yang mencari mampus, berani kau mencampuri urusan rumah tangga dan kehidupanku!" bentaknya untuk menghibur hati sendiri yang merasa tidak enak. Bentakannya ini disusul oleh gerakan tubuhnya yang cepat menyerang dengan pukulan keras.

Sun Tek sudah nekat. Ia menggerakkan pedang, memapaki gerakan gurunya dan menusuk sekuat tenaga ke arah dada Beng Kun Cinjin. Gerakannya ini disebut Cai-hong-siok-i (Burung Hong Menyisir Bulu), cepat dan berbahaya sekali karena Sun Tek memang sudah berlaku nekat. Kalau bukan bekas gurunya yang mengajarkan ilmu itu kepadanya yang menghadapi serangan ini tentu akan sibuk untuk menangkis. Akan tetapi Beng Kun Cinjin mengeluarkan suara ketawa dingin, mengkal dan marah karena kini ia diserang orang dengan ilmu yang ia ajarkan sendiri. Dengan tenang lengan kirinya bergerak maju. Ujung bajunya yang panjang itu menyambar ke depan dengan gerakan memutar dan di lain saat, ujung pedang Cheng hoa-kiarn telah kena dililit oleh ujung lengan baju itu!

Sun Tek maklum akan kelihaian gurunya, maka ia mengerahkan seluruh tenaganya, memutar gagang pedang dan menarik dengan gerakan menggetar.

"Breett!" Ujung lengan baju itu pecah!

Beng Kun Cinjin tidak menduga bekas muridnya akan begini nekat. Kemarahannya memuncak dan sebelum Sun Tek sempat menyerang lagi. bekas guru ini sudah mengirim pukulan Pai In ciang yang cepatnya laksana kilat menyambar.

Sun Tek mengeluh, pedang Cheng-hoa-kiam sudah terampas oleh gurunya dan ia sendiri terlempar ke belakang, dadanya terasa sakit karena sudah terkena pukulan Pai in ciang!

Beng Kun Cinjin memegang pedang Cheng-hoa kiam dengan kedua tangan, hendak dipatahkannya, akan tetapi la teringat betapa pedang ini telah mengawaninya sejak ia muda sampai pada suatu hari ia memberikan pedang itu kepada Kwee Goat. Timbul rasa sayangnya untuk mematahkan pedang itu, juga untuk membawa pedang itu ia merasa malu kepada diri sendiri. Akhirnya ia melemparkan pedang itu ke bawah. Pedang menancap sampai ke gagangnya di dalam tanah. Setelah itu. ia melangkah maju menghampiri Sun Tek.

"Pinceng bukan seorang kejam," katanya bersungut-sungut kepada Sun Tek yang sudah tak dapat berdiri lagi. Suara Beng Kun Cmjin terdengar seperti orang mencela, seperti orang yang merasa menyesal, atau hendak mencari-cari alasan untuk menutupi hati yang tak enak karena tiga orang muridnya ia bikin celaka sendiri. "Akan tetapi pinceng juga seorang manusia biasa. Semenjak muda pinceng selalu terlunta-lunta. selalu kecewa dan gagal dalam cinta kasih dan dalam hidup. Sekarang dalam usia tua. ada orang mencinta, ada orang memberi kesempatan kepada pinceng untuk hidup senang dan mengalami kebahagiaan dan cinta kasih; mengapa kau datang mengacau? Jangan bilang pinceng yang keterlaluan, dan tidak ada prikemanusiaan!"

"Penghianat tak tahu malu. Mau bunuh lekas bunuh, kaukira aku takut mati? Asal kau bebaskan Wi Liong, aku orang she Kwee takkan gentar menerima kematian!” Sun Tek menantang.

"Memang akan kubunuh kau, siapa yang melarang?” kata Beng Kun Cinjin tersenyum mengejek dan ia mengangkat tangan kanannya ke atas, siap melakukan pukulan maut. Tiba-tiba terdengar Wi Liong menjerit-jerit dan menangis.

Beng Kun Cinjin menurunkan kembali tangannya, menengok ke arah Wi Liong dan menarik napas panjang. Tak sampai hati juga ia untuk membunuh Sun Tek, pemuda bekas muridnya yang begini gagah perkasa tak berkedip menghadapi kematian

"Kuampuni nyawamu, akan tetapi pinceng terpaksa membuat kau tidak ada kesempatan lagi mengacau kelak." Setelah berkata demikian, cepat tubuhnya bergerak dan tahu-tahu Sun Tek sudah menerima dua pukulan, pertama di belakang kepala dan ke dua di antara kedua mata. Pukulan-pukulan yang sebetulnya adalah totokan yang dilakukan dengan jari telunjuk.

Sun Tek tidak merasa sakit, hanya kepalanya pening sekali dan ia terguling, pingsan. Dari kedua matanya keluar darah! Beng Kun Cinjin menoleh ke arah Wi Liong, menarik napas panjang dan berkata seorang diri,

"Bocah tak tahu apa-apa. Sun Tek takkan mampu mendidiknya menjadi orang berbahaya." Kemudian secepat terbang hwesio ini meninggalkan tempat itu, seakan-akan suara Wi Liong yang menangis menjerit-jerit itu amat mengganggunya.

Kurang lebih tiga jam Sun Tek pingsan. Setelah sadar, ia mendapatkan kenyataan bahwa kedua matanya telah menjadi buta! Ternyata bahwa bekas gurunya telah membikin putus urat-urat di kepala, sengaja membuat ia menjadi buta biarpun biji matanya masih utuh dan kedua matanya masih melek.

Akan tetapi Sun Tek tidak mengeluh. Mendengar tangis Wi Liong, ia cepat menahan rasa sakit pada dadanya yang terpukul tadi, meraba-raba ke arah Wi Liong. Ketika mendapat kenyataan bahwa bocah itu tidak apa-apa dan sedikitpun tidak ada tanda-tanda bekas diganggu Beng Kun Cinjin, saking girangnya Sun Tek memeluki keponakannya itu dan menangis tanpa mengeluarkan air mata! Jangankan baru dibikin terluka dan buta, biar dibunuh sekalipun asal keponakannya ini dibiarkan hidup, ia sudah merasa girang. Dengan meraba-raba akhirnya ia bisa mendapatkan Cheng-hoa kiam kembali dan sambil memondong keponakannya, Kwee Sun Tek pendekar yang kini sudah menjadi buta itu berjalan terhuyung-huyung ke depan, meraba-raba jalan dengan ujung kaki, tangan kanan memondong Wi Liong, tangan kiri menggunakan pedang meraba-raba ke depan. Keadaannya sungguh mengenaskan sekali.

Bagaikan air bah meluap-luap, bala tentara Jengis Khan menyerbu ke barat. Seperti banjir dahsyat yang tak mungkin dapat terbendung lagi, bala tentara yang amat kuat ini menerjang ke jurusan barat. Segala perlawanan yang dijumpai mereka patahkan. Kerajaan kerajaan besar kecil yang dilalui,
 
Jilid 03
dengan halus atau keras ditundukkan. Sin kiang diserbu terus bergerak ke Iran dan Afganistan.... Kota-kota besar indah di dunia barat seperti Bukhara, Samarkhand, Balkh dan lain lain digilas hancur. Puluhan, ratusan ribu orang dibunuh oleh bala tentara yang ganas dan kuat ini, ribuan rumah dibakar dan entah berapa banyak harta benda dirampas. Sebagian dari pada bala tentara yang kuat sekali ini membelok ke Iran utara dan menyerbu Rusia selatan melalui Pegunungan Kaukasia,

Memang bukan main hebatnya Jengis Khan memimpin bala tentaranya. Malah pasukan-pasukan Rusia di sebelah utara Laut Azov mereka hancur leburkan seperti tersebut di dalam sejarah yaitu pada tahun 1223.

Selain memiliki bala tentara yang kuat berdisiplin juga Jengis Khan mempunyai panglima panglima perang yang pandai dan berpengalaman. Di antara panglima panglima perang ini, Beng Kun Cinjin sebagai koksu berjasa besar dalam penyerbuan ke barat. Apabila fihak lawan mengajukan panglima yang lihai, maka Beng Kun Cinjin maju dan mengalahkan panglima itu.

Berkat kepandaiannya yang luar biasa, sering kali Beng Kun Cinjin pulang ke kota raja untuk, menengok isterinya yang sudah melahirkan seorang anak laki-laki. Bukan main girangnya hati Beng Kun Cinjin, dan ia merasa hidupnya berbahagia sekali. Cintanya terhadap Kiu Hui Niang makin mendalam.

Namun di dalam kemuliaan dan kesenangannya, agaknya Beng Kun Cinjin sudah lupa akan pelajaran Agama Buddha yang jelas memperingatkan manusia bahwa segala kesenangan di dunia ini tidak kekal adanya. Segala sesuatu di alam dunia ini hanya bersifat sementara dan sebagian besar diselimuti oleh kepalsuan yang menina-bobokkan manusia yang dikuasai oleh nafsu. Juga. ia lupa bahwa manusia sendiri sudah terlalu terpengaruh oleh nafsu sehingga lenyap sifat murninya, tertutup oleh hawa nafsu, membuat manusia sendiri seperti palsu atau berkedok. Belum tentu apa yang nampak di luar itu mencerminkan keadaan di dalam.

Pada suatu hari Beng Kun Cinjin kembali mengambil cuti dan kembali ke kota raja. Baru dua bulan yang lalu ia pulang, maka kali ini pulangnya agak tak terduga. Ia sudah-merasa amat rindu kepada isteri dan anaknya. Karena ia melakukan perjalanan cepat, maka malam-malam ia terus berjalan dan tiba di kota raja ketika hari telah menjadi gelap.

Untuk membuat kedatangannya itu menjadi sebuah kejadian yang menggirangkan dan di luar dugaan isterinya, ia memasuki kota raja mempergunakan ilmunya. Tak seorangpun mengetahui karena ia melompat dari tembok kota. juga ia pulang ke gedung mengambil jalan di atas genteng, berlari-larian seperti seekor kucing dengan hati sebesar gunung, sama sekali tidak tahu bahwa saat baginya telah tiba untuk ditinggalkan kebahagiaan menurut ukuran hati dan pikirannya.

Ketika ia tiba di atas gedungnya, ia melihat gedung itu sudah sunyi, tanda bahwa semua penghuninya sudah tidur. Memang waktu itu sudah hampir tengah malam. Akan tetapi telinganya yang amat tajam itu mendengar suara berbisik-bisik di dalam kamar bangunan kecil yang berada di taman bunga. Memang di dalam taman itu disediakan sebuah bangunan indah kecil tempat ia bersenang-senang dengan isterinya di waktu hawa di dalam gedung terlalu panas.

Beng Kun Cinjin terheran-heran. Bagaimana ada orang di dalam bangunan itu pada waktu tengah malam? la cepat melompat tanpa mengeluarkan suara dan menghampiri bangunan itu. Alangkah kaget dan herannya ketika ia mendengar suara isterinya tertawa perlahan, disusul oleh suara laki-laki,

"Hui Niang yang manis, apa kau masih mau membantah lagi? Lihat saja muka anakmu baik-baik, apanya yang mirip dengan koksu? Mata dan telinganya seperti mata kaisar, sedangkan hidung dan mulutnya seperti........."

"Seperti siapa?” terdengar Hui Niang mencela, terdengar gemas dan manja.

"Seperti......seperti hidung dan mulutku..."

Laki-laki itu tertawa dan Hui Niang mencela. "Bisa saja kau bicara! Hidung dan mulutmu tidak semanis hidung dan mulut anakku ini......"

"Masa? Coba kau lihat baik – baik, apakah tidak sama benar? Aku yakin bahwa anak ini adalah anak kaisar dan anakku, hanya namanya saja memakai nama koksu. Ha-ha-ha!" Laki lakt itu tertawa dan terdengar Hui Niang tertawa pula dengan genit.

Beng Kun Cinjin berdiri di luar, mukanya pucat seperti mayat dan jantungnya seperti berhenti berdetik. Dadanya serasa panas terbakar dan ia tentu akan roboh saking marah dan kagetnya kalau saja ia tidak mempertahankan diri. Ada sesuatu menusuk di dalam jantungnya, membuat ia berdiri menggigil.

"Liu-kongcu. jangan kau main-main. Bicara jangan keras-keras, apa lagi tertawa-tawa seperti itu. Kalau ada pelayan mendengar dan kelak melapor kepada koksu, ke mana kau akan menyembunyikan kepalamu?”

"Ha-ha, tentu saja kusembunyikan di dalam dadamu, manis........."

Beng Kun Cinjin tidak kuat lagi menahan amarah yang menggelora di daiam dadanya. Dunia serasa hancur lebur dan ia merasa hidup di dalam neraka yang panas, terbakar hidup hidup. Sekali ia bergerak, daun jendela kamar itu pecah berantakan!

Dapat dibayangkan betapa terkejutnya hati dua orang manusia busuk yang berada di dalam kamar itu. Beng Kun Cinjin dari luar tadi sudah mengenai suara laki-laki itu yang bukan lain adalah Liu kongcu putera dari seorang pembesar istana Bangsa Han yang menjadi kaki tangan kaisar. Liu kongcu memang seorang pemuda tampan sekali, akan tetapi siapa duga bahwa pemuda itu ternyata adalah kekasih Hui Niang? Mungkin sebelum menjadi isterinya, Hui Niang sudah main gila dengan pemuda hidung belang itu.

Begitu memasuki kamar, Beng Kun Cinjin tidak memberi kesempatan lagi kepada Liu-kongcu pemuda berahlak rendah itu. Dengan gerengan tertahan di tenggorokan seperti suara seekor harimau menggeram, Beng Kun Cinjin menerkam. Dua tangannya menyambar, tenaga dikerahkan dan............ terdengar suara mengerikan disusui jerit Hui Niang. Tubuh pemuda itu telah pecah dan dirobek menjadi dua potong, dilemparkan di pojok kamar itu!

Hui Niang hampir pingsan. Kedua kakinya menggigil dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan Beng Kun Cinjin, suaminya yang dihianatinya. Mulutnya gemetar tak dapat mengeluarkan kata-kata sedikitpun. Beng Kun Cinjin juga tidak mau banyak cakap lagi. karena dalam keadaan seperti itu tidak ada suara dapat keluar dari mulutnya, ia bergerak lagi dan di lain saat tubuh Hui Niang sudah ia kempit dan juga bocah cilik berusia setengah tahun itu, yaitu Gan Kun Hong putera Hui Niang telah ia pondong. Ia lalu melompat keluar dari jendela terus ke atas genteng dan lari cepai sekali keluar dari kota raja! Beng Kun Cinjin maklum bahwa setelah membunuh Liu-kongcu, tak ada harapan lagi untuk tinggal di istana.

Apa lagi nama baiknya sudah tercemar oleh kebiadaban isterinya, untuk apa lagi tinggal di istana? Istana itu sudah berubah menjadi neraka baginya, bahkan dunia sudah menjadi neraka. Ia dulu rela membunuh murid-muridnya, rela menjadi koksu pemerintah penjajah hanya karena ia tergila-gila kepada Hui Niang. Sekarang Hui Niang telah menghianatinya, dunianya sudah hancur lebur. Bahkan anaknya yang tadinya menjadi pelita hatinya, bukan anaknya sendiri! Pelita hidupnya sudah padam!

Jauh di luar kota raja, sebelah selatan, Beng Kun Cinjin melempar tubuh Hui Niang di atas tanah di dalam sebuah hutan. Malam telah terganti pagi dan setengah malam itu Beng Kun Cinjin berlari terus tak pernah berhenti. Ia tidak memperdulikan suara Hui Niang menangis merengek-rengek minta ampun.

Kini Hui Niang sudah serak suaranya, tak dapat berkata-kata lagi, hanya terisak-isak sambil mendekam di atas tanah, seperti seekor binatang terluka. Rambutnya terlepas sanggulnya menjadi riap-riapan menutupi kulit mukanya yang putih pucat.

"Ampun...... ampunkan aku......" diulangnya kata-kata yang sudah ia bisikkan dan teriakkan ratusan kail, tanpa berani memandang muka suaminya.

Beng Kun Cinjin meludah ke arah Hui Niang lalu melemparkan Kun Hong itu begitu saja ke atas tanah. Bocah itu tentu saja menangis keras di dekat ibunya. Hui Niang tak berani bergerak, hanya hatinya seperti di sayat-sayat mendengar jerit tangis anaknya.

Seperti patung batu Beng Kun Cinjin berdiri dengan kedua kaki terpentang di depan Hui Niang. Matanya yang lebar melotot, beringas dan merah seperti mata singa kelaparan. Dalam keadaan seperti itu, teringatlah ia kepada murid-muridnya. Kalau ia mengingat betapa demi kecintaannya terhadap wanita ini ia sampai membunuh-bunuhi murid-muridnya, kemarahannya memuncak.

"Kau sudah tahu akan kesalahanmu?" katanya menuntut. Inilah ucapan pertama yang keluar dari mulutnya semenjak ia menyeret isterinya itu ke hutan ini.

Dengan kepala tunduk Hui Niang mengangguk. "Ampun...... ampun......., ratapnya.

"Anak ini.......anak siapa......?" kembali Beng Kun Cinjin menuntut.

"Anak kita...... anakku dan anakmu......"

Hui Niang mendapat kekuatan baru, mengira bahwa seperti biasanya suaminya ini akan luluh menghadapinya. Ia mengangkat mukanya yang cantik, mengerlingkan matanya yang indah sambil berkata, "Mengapa sih kau tidak mau mendengarkan omonganku, melainkan percaya obrolan kosong pemuda edan itu?"

Celaka bagi Hui Niang. kali ini kata-kata dan aksinya tidak meluluhkan hati Beng Kun Cinjin, malah membikinnya menjadi makin panas berkobar!

"Perempuan rendah! Makhluk hina!" hanya ini yang dapat dikeluarkan oleh mulut Beng Kun Cinjin karena kemarahannya membuat ia mata gelap, jari tangan kanannya menusuk ke depan. Terdengar pekik mengerikan ketika jari-jari tangannya menusuk ke arah dada Hui Niang, tepat di bawah leher. Nyonya muda itu roboh telentang dan kepalanya membentur batu karang yang berada di belakangnya. Ia roboh dalam keadaan setengah duduk, tangan kiri masih sempat menutup luka di dadanya akan tetapi nyawanya sudah cepat meninggalkan tubuhnya. Darah mengucur keluar dari luka itu membasahi pakaiannya.

Beng Kun Cinjin menghampiri bocah yang menangis menjerit-jerit itu. kakinya diangkat ke atas. Ingin ia menginjak perut bocah itu sampai mati. akan tetapi entah mengapa, tiba-tiba ia teringat bahwa bocah ini sama sekali tidak berdosa apa-apa. Baik bocah ini anak kaisar, maupun anak pemuda she Liu atau anaknya sendiri, tidak bisa semua kejadian yang rendah itu ditimpakan kepada anak ini yang tidak tahu-menahu sama sekali. Beng Kun Cinjin tidak jadi menginjak anak itu, sebaliknya ia lalu berkelebat pergi setelah sekali lagi menengok ke arah tubuh Hui Niang, wanita yang tadinya menjadi pujaannya itu. Tak terasa lagi sepasang matanya yang besar itu menjadi basah ketika ia mempergunakan seluruh kepandaiannya untuk berlari cepat seperti orang gila! Suara tangis bocah yang biasanya menjadi buah hatinya itu mengikuti perjalanannya, membuat hatinya menjadi makin berduka. Setelah Beng Kun Cinjin pergi, hutan itu menjadi sunyi kecuali suara Gan Kun Hong, bocah berusia setengah tahun yang menangis menjerit-jerit di samping jenazah ibu kandungnya.

Dua jam lebih bocah itu menangis keras sampai akhirnya ia diam sendiri. Tangis bocah memang sama sekali berbeda dengan tangis orang dewasa. Tangis dan tawa bocah adalah sewajarnya, sama sekali tidak terpengaruh oleh hati dan pikiran, hanya menjadi akibat dari pada perasaan belaka. Kalau enak terasa olehnya, iapun tertawa-tawa, kalau tidak enak, menangislah dia. Gan Kun Hong. bocah yang baru berusia setengah tahun lebih itu, setelah dua jam menangis karena merasa lapar dan kepanasan, kini menjadi diam karena lelah dan tubuhnya terasa enak setelah puas menangis, agaknya seperti seorang habis bermain olah raga dan menikmati kesenangan beristirahat.

Hutan itu kini betul-betul sunyi dan kebetulan sekali setelah matahari naik tinggi, bayangan pohon itu membikin teduh tempat di mana Kun Hong diletakkan. Beberapa ekor semut yang mencari makan telah mendapatkan darah di pakaian Hui Niang dan sebentar saja kawan-kawan mereka datang menyerbu sehingga baju yang digenangi darah yang mulai mengering itu kini menjadi hitam oleh semut.

"Tar! Tar!" Terdengar suara menjetar keras dari dalam hutan sebelah timur. Suara ini terus-menerus berbunyi dan makin lama makin berirama. Lalu disusul suara orang membaca sajak seperti orang bernyanyi, suaranya nyaring akan tetapi nada suaranya tenang dan menyenangkan,

"Kalau TO menguasai dunia
kuda perangpun hanya memberi rabuk.
kalau TO tiada menguasai dunia
kuda buntingpun melahirkan di medan perang!
Tiada kedosaan lebih besar dari pada banyak kehendak
tiada bahaya lebih besar dari pada tak kenal cukup
tiada bencana lebih besar dari pada ingin mendapat,
kalau tahu akan cukup itu sudah cukup
akan selamanya berada dalam kecukupan!'

Nyanyian ini iramanya diiringi oleh bunyi "tar-tar-tar", suara cambuk memecah udara. Bagi yang mengerti, sajak itu bukanlah sembarang sajak melainkan sajak dari Agama To atau pelajaran dari Nabi Lo Cu tentang To atau jalan yang memang amat sukar diterjemahkan atau dijelaskan. Ada yang menterjemahkan To itu sebagai Kekuasaan Tuhan atau Jalan Yang Selaras Dengan Kekuasaan Tuhan.

Orang itu asyik benar bernyanyi-nyanyi sambil berjalan menjelajah hutan dan membunyikan cambuknya. Tiba-tiba suara nyanyian dan bunyi cambuk berhenti seketika pada saat bunyi lain yang nyaring terdengar, yaitu bunyi tangis bocah.

Itulah Kun Hong yang menangis lagi. Seekor di antara semut-semut yang memenuhi baju jenazah ibunya telah merayap ke tangannya dan menggigitnya karena tanpa disengaja bocah ini menindih semut itu.
 
"Tar!" Ujung sebatang cambuk berbunyi nyaring dan menyambar ke arah lengan kecil itu dan di lain saat semut yang menggigit kulit lengan telah diterbangkan pergi.

"Cih... tak tahu malu, menggigit seorang bayi tak berdaya!"' terdengar suara orang dan entah dari mana datangnya, bagaikan seorang dewa penunggu hutan, muncullah seorang laki-laki setengah tua yang berwajah angker dan bersikap lembut. Jenggot dan kumisnya terpelihara baik baik, topi dan pakaiannya walaupun sederhana, namun teratur rapi dan cukup bersih. Orang ini memegang sebatang cambuk yang aneh. Sebetulnya bukan cambuk dan lebih patut disebut sehelai tali yang panjang sekali, kurang lebih lima meter panjangnya. Di kedua ujungnya terikat senjata yang luar biasa. Yang satu menyerupai bintang berujung lima dan yang ke dua menyerupai bulan sisir! Adapun yang tadi disabet sabetkan mengeluarkan bunyi dan juga yang mengusir semut dari lengan bocah itu adalah bagian tengahnya, jadi bukan ujungnya. Benar-benar semacam senjata yang aneh bukan main dan yang tak pernah terlihat dalam dunia persilatan.

"Siancai...... siancai...... seorang ibu muda mati di dalam hutan dan anaknya menangis di dekat jenazahnya. Di dunia tidak ada yang aneh, semua sudah berjalan dengan semestinya menurut To. Akan tetapi pemandangan seperti ini, benar-benar selama hidup di dunia aku Kam Ceng Swi belum pernah melihatnya." katanya sambil berdiri memandang dengan mata dikedip-kedipkan seperti orang kurang percaya kepada matanya sendiri.

Tiba-tiba tubuhnya lenyap dari situ. Demkian cepat gerakannya sampai-sampai ketika ia melompat seperti dia mempunyai ilmu menghilang Ia berkelebatan dan berlompatan mencari-cari di sekitar tempat itu. untuk melihat kalau-kalau ia masih dapat mengejar orang yang melakukan pembunuhan keji ini. Tentu saja hasilnya nihil. Tidak saja pembunuhan itu sudah terjadi lama, andaikata pembunuhnya masih dekat di situ, belum tentu dia dapat mengejarnya.

Orang yang bernama Kam Ceng Swi ini kembali ke tempat itu dan berlutut di dekat bocah yang masih menangis. Senjatanya yang disebut Seng goat pian atau Cambuk Bintang Bulan ia lilitkan di pinggang.

"Aduh, kemala yang terserak di tempat sunyi!" Ia berseru kagum sambil mengangkat Kun Hong. Dibukanya pakaian anak itu dan diraba rabanya tulang- tulangnya sambil mengangguk-angguk dan makin kagumlah dia.

"Hebat tunas sebagus ini terjatuh ke dalam tanganku, kalau ini bukan kehendak Thian tak tahulah aku mengapa demikian kebetulan!" Ia bicara lagi kepada diri sendiri sambil mengayun-ayun anak itu sampai bocah itu tak menangis lagi.

Kemudian ia mulai memandang ke arah jenazah Hui Niang. Diusirnya semut itu dengan sehelai daun, kemudian ia memeriksa kalau-kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan siapa adanya wanita dan bocah itu. Semua perhiasan yang dipakai, baik oleh ibu maupun anak, masih ada. Tanda bahwa peristiwa pembunuhan ini bukan berlatar belakang perampokan. Kam Ceng Swi menemukan sebuah gelang pada lengan kiri Gan Kun Hong dan ia agak girang melihat dua huruf KUN dan HONG terukir di gelang itu.

"Hemm, jadi namamu Kun Hong? Bagus, sayang tidak diukir pula nama keturunanmu," gerutunya.
Sepintas ialu ia memeriksa luka di dada Hui Niang dan mukanya memperlihatkan kekagetan hebat.
"Bukan main......! Seperti bekas cengkeraman Tiat-jiauw kang (Ilmu Cengkeraman Besi)! Siapa orangnya yang demikian keji.........?" katanya pula.

Kemudian, setelah memeriksa dan tidak mendapatkan sesuatu petunjuk pula, Kam Ceng Swi lalu menggali lubang dan dengan sederhana namun penuh kasih sayang dan kasihan terhadap sesama manusia yang tak dikenalnya ini, ia mengubur Jenazah Hui Niang. Kun Hong yang diletakkan di tempat teduh sudah tertidur lagi.

"Toanio. aku tidak mengenal kau siapa, akan tetapi kau telah berjasa kepadaku dengan meninggalkan anak ini. Akupun tidak tahu apakah anak ini betul anakmu, akan tetapi karena berada bersamamu biarlah dia kuanggap anakmu dan kelak dia pasti akan kubawa bersembahyang di kuburanmu ini." katanya berkemak-kemik seperti orang berdoa di depan gundukan tanah kuburan itu. Kemudian ia menoleh ke sana ke mari, menghampiri sebuah batu karang yang tingginya hampir dua kali dia sendiri. Batu karang ini berbentuk menara, besarnya sepelukan orang. Kam Ceng Swi menghampiri batu karang ini, memeluk dan mengerahkan tenaga.

Benar hebat tenaga orang aneh ini. Setelah tiga kali mengeluarkan tenaga sambil berseru keras, batu karang itu menjadi jebol! Diangkatnya batu karang itu dan diletakkannya di depan gundukan tanah kuburan, menjadi semacam bongpai (batu nisan) yang luar biasa! Karena di hutan itu terdapat banyak batu macam itu, Kam Ceng Swi lalu meloloskan senjata Seng-goat-pian dan sekali senjata itu digerakkan, terdengar suara keras dua kali, bunga api berpijar dan di atas batu karang itu sudah tercetak ukiran bintang dan bulan sisir! Tempat yang terpukul oleh dua macam ujung pian itu menjadi legok dan dalamnya ada satu dim, inipun menandakan betapa hebatnya kepandaian Kam Ceng Swi.

Memang tidak mengherankan bagi siapa yang mengenalnya. Kam Ceng Swi atau di dunia kang-ouw lebih terkenal dengan julukan Seng-goat-pian yaitu nama senjatanya, adalah seorang tokoh Kun lun pai dan dahulu pernah menjadi pembesar Kerajaan Cin. Dia bukan seorang tosu (pendeta To), akan tetapi boleh dibilang dia penganut Agama. To dan terkenal sebagai seorang ahli filsafat yang selalu bersikap gembira.

Setelah Kerajaan Cin kocar-kacir dan hancur oleh serbuan bala tentara. Mongol, Kam Ceng Swi naik ke Kun-lun-san dan kembali ke tempat guru-gurunya di mana ia hidup menyepi dan mempelajari ilmu kebatinan: Pada hari itu ia turun gunung untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh para gurn besar Kun-lun-pai padanya, yaitu mencari tunas-tunas atau anak-anak yang memiliki tulang bagus dari yang berbakat menjadi ahli silat tinggi untuk meneruskan atau mewarisi ilmu silat tinggi dari partai persilatan Kun-lun-pai.

Secara kebetulan sekali Kam Ceng Swi menemukan jenazah Hui Niang dan melihat Kun Hong, ia menjadi girang bukan main. Bocah ini memiliki semua syarat untuk menjadi seorang ahli silat pandai, maka setelah mengubur jenazah itu dan memberi tanda, Kam Ceng Swi cepat-cepat membawa Kun Hong naik kembali ke Kun-lun-san! Tidak saja ia menjadi girang karena bocah ini merupakan calon yang amat baik, juga ia merasa suka melihat Kun Hong. Mengingat bahwa Kun Hong tidak mempunyai atau tidak dikenal nama keturunannya, maka ia mengambil keputusan untuk memberi she (nama keturunan) Kam kepada bocah itu sehingga mulai saat itu Kun Hong ber she Kam atau lengkapnya bernama Kam Kun Hong.

Kita kembali mengikuti keadaan Kwee Sun Tek, murid Beng Kun Cinjin yang sudah dibikin buta matanya oleh bekas gurunya sendiri. Biarpun ia tidak dibunuh oleh Beng Kun Cinjin dan juga Thio Wi Liong, bocah yang dibawanya lari itu tidak diganggu oleh hwesio yang menyeleweng itu. namun Kwee Sun Tek masih selalu tetap khawatir kalau-kalau pada suatu hari Beng Kun Cinjin masih belum puas dan mencari mereka untuk membunuh keturunan Thio Houw dan Kwee Goat itu. Oleh karena ini. Kwee Sun Tek membawa keponakannya yang baru berusia satu tahun itu bersembunyi di desa- desa, menjauhkan diri dari dunia ramai.

Masih terlalu kecil bagi Wi Liong untuk dibawa ke Siauw lim-si, pikirnya. Oleh karena dia sendiri bukan murid Siauw-lim-pai, maka ia merasa tidak enak hati kalau harus mengantarkan Wi Liong yang baru berusia satu tahun itu menjadi murid Siauw lim pai dan membikin repot para hwesio Siauw lim untuk merawatnya. Ia akan menanti sampai Wi Liong cukup besar sehingga di samping menjadi murid Siauw-lim-pai juga bocah itu akan dapat bekerja di Siauw lim si sebagai kacung, dapat membantu pekerjaan para hwesio sehingga tak usah ia merasa tidak enak hati.

Demikianlah, sampai enam tahun ia membawa Wi Liong berkelana, hidup serba kurang dan kadang-kadang terpaksa harus mengemis makanan kepada penduduk dusun yang rata-rata berhati jujur dan penuh prikemanusiaan terhadap sesama hidup. Sun Tek sendiri tak berdaya mencari nafkah hidup, setelah matanya tak dapat melihat.

Setelah Wi Liong berusia tujuh tahun, ia menjadi seorang anak yang tampan, sehat, akan tetapi penderitaan hidup yang serba kurang membuat ia berwatak pendiam dan jalan pikirannya lebih tua dari pada usianya. Sering kali ia bertanya kepada Sun Tek tentang ayah bundanya, dan selalu dijawab oleh pamannya bahwa ayah bundanya pergi jauh sekali.

"Entah di mana mereka itu sekarang, karena kedua mataku tak dapat melihat, aku tak dapat membawamu mencari mereka. Oleh karena itu kau harus belajar silat dengan giat, Wi Liong, dan kelak kau sendirilah yang akan mencari mereka. Tanpa memiliki kepandaian silat, tak mungkin kau dapat mencari mereka karena selain perjalanan amat sukar, juga di dunia ini banyak sekali orang jahat yang akan mengganggu dan merintangi perjalananmu."

Dengan nasihat-nasihat Ini. Wi Liong menjadi bernafsu untuk belajar ilmu silat. Ia menerima petunjuk-petunjuk dan pelajaran tingkat pertama atau dasar ilmu silat dari pamannya sendiri yang dilatihnya dengan giat dan tekun. Ternyata ia memiliki otak yang cerdik sekali dan bakat yang besar sehingga Sun Tek menjadi girang bukan main. Biarpun dalam keadaan tidak mampu, Kwee Sun Tek tidak membiarkan keponakannya buta huruf dan dia minta bantuan sasterawan-sasterawan kampung untuk mendidik Wi Liong dalam ilmu surat pula.

Setelah merasa bahwa keponakannya cukup kuat untuk bekerja di Siauw lim si Sun Tek lalu mengajak keponakannya itu menuju ke Kuil Siauw-lim-si yang besar. Kedatangan mereka disambut oleh hwesio penjaga pintu yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Hwesio ini seperti para pendeta lain. merasa amat kasihan kepada Sun Tek yang biarpun kedua matanya melotot lebar namun tidak melihat apa-apa itu.

"Sicu hendak bertemu dengan couwsu? Sayang sekali, pada waktu ini couwsu sedang pergi ke Kun-lun-san dan agaknya lama berada di sana," kata hwesio itu. Tentu saja Kwee Sun Tek menjadi kecewa sekali.

"Sebetulnya aku hendak menghadap Bhok Lo Cinjin untuk mohon beliau menerima keponakanku ini menjadi murid Siauw-lim-pai. Tidak tahu apakah ada suhu lain yang mengurus persoalan menerima murid itu?" tanyanya.

Hwesio itu mengangguk-angguk dan memandang kepada Wi Liong, kagum melihat sepasang mata yang bercahaya dan sikap yang pendiam dari anak itu. Kemudian ia berkata dengat suara menyesal.
"Dulu memang begitu, ada seorang suhu yang mengurus persoalan menerima murid baru. Akan tetapi sejak beberapa tahun ini, peraturan diperkeras dalam menerima murid yang hendak belajar ilmu silat. Couwsu sendiri yang menentukan murid-murid yang boleh diterima, itupun sekarang jarang sekali ada. Kecuali kalau keponakanmu ini bermaksud masuk menjadi hwesio dan mempelajari Agama Buddha, tak usah menanti couwsu sekarangpun dapat diterima."

Kwee Sun Tek menarik napas panjang. "Aahh. memang Thian belum menghendaki keponakanku menjadi murid Siauw-lim-pai...... tidak apalah, suhu, biar lain kali saja kalau couwsu sudah pulang aku menghadap lagi........."

Melihat Kwee Sun Tek pergi dengan wajah muram, hwesio tinggi besar itu menaruh hati kasihan.

"Sicu, andaikata keponakanmu ini diterima, paling banyak ia akan menerima latihan sampai tingkat lima. Tidak ada murid yang diperbolehkan belajar melebihi tingkat lima. Agaknya melihat semangatmu, kau ingin keponakanmu ini menjadi seorang ahli silat tinggi."

Kwee Sun Tek cepat menengok dan memberi hormat. "Memang tepat sekali dugaan suhu, apakah kiranya suhu dapat memberi petunjuk?"

"Pada waktu ini, couwsu kami sedang pergi menghadiri pertemuan antara tokoh tokok terbesar di empat penjuru dunia yang diadakan di Kun lun san Kalau sicu pergi ke sana, kiranya tidak sukar mencari guru sakti. Tentu saja tergantung kepada jodoh........."

Hwesio itu agaknya tidak mau memberi penjelasan lebih jauh dan ia kembali memasuki kuil. Akan tetapi cukup bagi Kwee Sun Tek. Keterangan itu baginya penting sekali. Andaikata ia tidak dapat mencarikan guru yang baik bagi Wi Liong, kalau ia bisa bertemu dengan para tokoh dunia persilatan, ia dapat melaporkan kepada mereka itu tentang kejahatan Beng Kun Cinjin dan tentu para tokoh itu akan mau turun tangan memberi hajaran. Setelah menghaturkan terima kasih biarpun orangnya sudah pergi, ia lalu cepat-cepat mengajak Wi Liong melakukan perjalanan jauhi ke Kun lun san! Perjalanan yang jauh dan sukar apa lagi kalau diingat bahwa Kwa Sun Tek telah menjadi buta matanya sehingga ia tidak dapat lagi mempergunakan ilmu lari cepat tanpa terancam bahaya terjeblos ke dalam jurang! Adapun Wi Liong yang menjadi penunjuk jalan, masih terlalu kecil. Perjalanan yang amat sukar, namun ditempuh oleh Sun Tek dengan penuh kesabaran dan keyakinan bahwa akan tiba saatnya keponakannya dapat diterima menjadi murid seorang sakti.

Mari kita tengok keadaan di Kun lun aan. Pegunungan Kun-lun san adalah pegunungan besar dan luas sekali dimulai dari tapal batas sebelah barat Propinsi Cing hai terus ke barat sampai di daerah Tibet yang penuh pegunungan itu. Daerah ini masih liar dan jarang didatangi manusia, kecuali para pendeta dan pertapa yang memang mencari kesunyian untuk menenangkan jiwa. Penduduk yang tinggal di pegunungan juga terasing dari dunia ramai, mereka masih merupakan orang-orang yang sederhana hidupnya dan tidak banyak kehendak seperti orang orang kota.

Di atas sebuah di antara puncak-puncak di Pegunungan Kun-lun-san terdapat sebuah bangunan besar sederhana yang dikelilingi pagar tembok. Inilah pusat dari partai persilatan Kun lun pai yang sudah amat terkenal karena banyak sudah murid-murid Kun lun pai turun gunung dan membuat nama di dunia kang ouw. Mereka inilah yang mengangkat tinggi tinggi nama Kun lun pai, membuat partai persilatan itu terkenal di seluruh dunia.

Pada waktu itu, yang menjadi guru besar di Kun-lun-pai adalah seorang tosu tua bertubuh tinggi kurus berjenggot panjang dan putih seperti perak, Tosu ini terkenal dengan nama sebutan Kun lun Lojin (Kakek Pegunungan Kun-lun), Juga ada yang menyebutnya Pek-mou Sianjin (Dewa Berambut Putih). Dialah guru besar di Kun-lun-pai. akan tetapi yang bertugas melatih murid-murid, baik dalam ilmu silat maupun dalam 'ilmu kebatinan, hanya murid-murid kepala atau sute-sutenya, sedangkan kakek ini kerjanya hanya bertapa saja, Biarpun ia kelihatan lemah lembut dan tiada guna namun sesungguhnya kakek tua bangka inilah ahli waris asli dari pada ilmu pedang dan ilmu silat tinggi Kun-lun-pai, bahkan ada yang mengabarkan bahwa dia telah mewarisi kitab sakti peninggalan Nabi Lo Cu! Oleh karena itu, biarpun belum pernah memperlihatkan kesaktiannya, semua orang di dunia kangouw menghormatnya sebagai seorang guru besar.

Sudah dua bulan Bhok Lo Cinjin menjadi tamu di Kun-lun-pai. Memang sejak dahulu Bhok Lo Cinjin menjadi sahabat baik Kun-lun Lojin, dan kalau dua orang kakek yang menjadi couwsu dari partai-partai persilatan besar ini bertemu, tentu mereka siang malam berkumpul dalam pondok atau gua untuk bersama sama mengobrol, main catur atau bersamadhi.

Bhok Lo Cinjin sengaja datang siang-siang untuk menghadiri pertemuan besar yang diadakan di puncak Kun lun-san ini. Berhubung dengan serbuan bala tentara Mongol ke selatan sehingga bala tentara asing itu dapat menduduki kota raja Kerajaan Cin di utara. Kun lun Lojin lalu mengirim undangan kepada sahabat- sahabatnya, yakni tokoh-tokoh besar di empat penjuru dunia. Orang-orang atau tokoh tokoh besar yang pada saat itu dapat dijajarkan tingkatnya dengan couwsu Kun lun pai ini ada tujuh orang Biarpun yang tujuh orang ini mempunyai jalan hidup masing-masing, namun mereka tak pernah saling bermusuhan, bahkan saling mengalah dan dalam banyak hal mereka itu mempunyai faham yang sama, terutama dalam pandangan patriotik. Tentu saja selain tujuh orang tokoh besar ini. masih banyak orang orang sakti di dunia ini, apa lagi dari golongan mokauw atau mereka yang memeluk agama sesat. Akan tetapi Kun-lun Lojin tidak sudi mengadakan hubungan dengan golongan ini.
 
Seorang di antara tujuh tokoh besar itu adalah Bhok Lo Cinjin ketua atau guru besar Siauw-lim-pai. Boleh dibilang dengan Bhok Lo Cinjin, Kun-lun Lojin mempunyai hubungan yang paling erat, maka Bhok Lo Cinjin datang lebih dulu dua bulan sebelum pertemuan puncak itu diadakan.

Oleh karena pertemuan puncak itu penting sekali dan Kun lun Lojin tahu bahwa hanyak kemungkinan akan datang orang-orang jahat dari fihak mokauw yang sepak terjangnya tidak dapat diduga-duga lebih dulu, couwsu Kun lun pai ini menyuruh anak murid Kun lun pai untuk melakukan penjagaan kuat di sekitar puncak itu. Kam Ceng Swi, sebagai murid tersayang dari Kun-Iun Lojin. tidak ketinggalan ikut menjaga dan meronda. Sedangkan sute-sute dan murid-muridnya melakukan penjagaan kuat di pos-pos yang dibuat di sepanjang jalan menuju ke puncak.

Selagi Kam Ceng Swi melakukan perondaan di bagian selatan dan memberi tahu kepada kawan-kawannya bahwa hari pertemuan itu sudah dekat dan mungkin sekali para tamu akan datang, terdengar suara keras, "Kun-lun-pai benar-benar menjadi pasukan besar!"

Semua orang terkejut dan Kam Ceng Swi yang bermata tajam melihat berkelebatnya bayangan orang dari lereng. Cepat ia mengangkat tangan memberi hormat dan berkata, "Couwsu Kun lun Lojin mengutus teecu sekalian untuk menyambut kedatangan para locianpwe. harap saja Locianpwe yang baru datang sudi memperlihatkan diri."

Ucapannya ini disambut oleh suara ketawa dingin, lalu tiba-tiba muncullah seorang kakek yang gemuk pendek, tangan kirinya buntung sebatas siku. pakaiannya seperti orang gila, tambal tambalan kembang-kembangan tidak karuan. Ia memegang sebatang tongkat bambu butut. Dengan mata bergerak-gerak liar ia menghampiri Kam Ceng Swi, meludah ke kiri lalu berkata.
"'Kau ini apanya Kun-Iun Lojin?"

"Teecu yang bodoh adalah murid suhu Kun-Iun Lojin, bernama Kam Ceng Swi. Mohon petunjuk locianpwe siapakah agar teecu dapat memberi tahu kepada suhu tentang kedatangan locianpwe."

Orang itu tertawa bergelak suara ketawanya ha-ha-hi-hi seperti orang gila ketawa. "Aku datang, kau di sini belum tahu siapa, akan tetapi dua orang tua bangka di puncak itu sudah lama tahu. Ha-ha-ha kau terlalu banyak peraturan, lebih pantas menjadi orang berpangkat dari pada menjadi pertapa."

Kam Ceng Swi kaget sekali. Orang aneh ini datang-datang sudah tahu bahwa di puncak ada suhunya dan Bhok Lo Cinjin, benar-benar luar biasa sekali. Tiba-tiba orang aneh ini tanpa bicara apa-apa lagi menerobos saja ke atas, gerakannya cepat sekali. Kam Ceng Swi tidak berani sembrono, ia dan para sutenya hanya berdiri saja dan tidak memberi jalan, sengaja ia menutup jalan dengan batu besar dan jalan itu menjadi kecil saja. Orang yang akan naik harus melalui jalan yang dua kaki lebarnya ini dan sekarang lorong ini sudah la tempati bersama sute-sutenya. Akan tetapi orang aneh itu seakan-akan tidak melihat adanya batu besar. Ia berjalan terus dan....... batu besar itu kena tertendang kedua kakinya yang berjalan terus. Bagaikan sebuah bola karet besar, batu itu tertendang maju, menggelinding naik. kemudian susulan tendangan kedua membuat batu yang beratnya ratusan kati ini menggelundung ke dalam jurang!

Melihat gerak-gerik aneh dari tamu ini, Kam Ceng Swi menjadi curiga. Biarpun ia telah melihat demonstrasi tenaga yang luar biasa, namun hal ini bagi Kam Ceng Swi bukan apa-apa. Dia adalah murid terkasih dari Kun-Iun Lojin. tentu saja memiliki kepandaian tinggi. Dia sudah menerima pesan suhunya bahwa kali ini mungkin Kun-lun-san akan didatangi orang-orang aneh dari pihak mo kauw yang selalu memusuhi orang-orang kang ouw golongan bersih, maka ia harus menjaga dengan hati-hati.

Melihat tamu itu menerobos saja, Kam Ceng Swi sudah melompat naik untuk mengejarnya, akan tetapi begitu kakinya turun menginjak tanah, hampir ia terpeleset jatuh. Tanah yang diinjaknya itu tiba-tiba bergoyang dan batu-batu berserakan Ketika ia memandang, ternyata orang aneh itu menggerakkan tangan kirinya ke arah tanah yang diinjaknya. Tahulah dia bahwa orang itu telah sengaja hendak mempermainkannya. Sungguhpun permainan itu tidak membahayakan jiwanya, setidaknya dapat membuat ia jatuh, kaget dan malu.

"'Locianpwe harap memperkenalkan diri dulu......" katanya mengejar terus. Orang itu hanya tertawa mengejek, tanpa perdulikan Kam Ceng Swi ia maju terus.

Selagi Kam Ceng Swi hendak mengerahkan tenaga untuk menyusul tiba tiba terdengar suara parau dari atas.

"Lam-san Sian-ong kakek gila, kau datang tidak lekas-lekas naik ke sini, malah bermain-main dengan anak-anak. Apa gilamu sudah kumat lagi?”

Lam-san Sian-ong, orang aneh itu. tertawa bergelak "Bhok Lo Cinjin, kau selamanya tidak suka main-main!" Dan berbareng dengan kata-kata itu, tubuhnya melesat bagaikan burung terbang ke atas puncak, membuat Kam Ceng Swi menjadi bengong terlongong. Baru ia tahu bahwa kakek aneh yang seperti orang gila itu bukan lain adalah Lam san Sian ong, tokoh dari selatan yang sering dipuji-puji gurunya sebagai seorang sakti yang tinggi ilmu silatnya. Benar-benar tak dinyana sama sekali!

Tak lama kemudian berdatanganlah para tamu yang diundang oleh Kun-lun Lojin. Pertama-tama datang Hu Lek Siansu, hwesio yang menjadi ketua di Go bi pai, hitam kurus dan bersikap angker sekali. Kam Ceng Swi sudah mengenal tokoh besar ini maka bersama para sute dan muridnya ia buru-buru menyambut dengan penuh penghormatan. Hu Lek Siansu ini datang bersama seorang yang gagah sekali. Usianya kurang lebih limapuluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan tegap, pakaiannya seperti seorang panglima perang, indah dan gagah sekali. Jalannya seperti seekor singa, mukanya merah seperti muka Kwan Kong, benar benar seorang yang pantas menjadi seorang panglima perang yang gagah perkasa.

Melihat keadaan orang ini. Kam Ceng Swi segera mengenalnya, biarpun ia belum pernah bertemu muka. Tokoh besar ini tentulah See thian Hoat-ong. jago tua dari barat, bekas raja muda di Sin-kiang yang sudah mengundurkan diri. Cepat ia memberi hormat dan mempersilahkan dua orang tokoh besar ini naik ke puncak.

Kini sudah ada lima orang tokoh besar di puncak. Tinggal dua orang lagi yang masih ditunggu kedatangannya. Kam Ceng Swi sudah diberi tahu gurunya bahwa yang dua lagi itu adalah Pak- thian Koanjin, tokoh utara yang belum pernah dilihatnya dan ke dua adalah Tung-hai Sian-li, tokoh timur yang juga belum pernah dilihatnya, maka ia menanti dengan hati-hati jangan sampai salah duga seperti ketika bertemu dengan Lam-san Sian-ong tadi.

Tiba-tiba datang seorang sutenya berlari lari. Sutenya ini tadinya menjaga di bagian utara.

"Kam suheng, celaka! Kun Hong diculik orang gil.!"

Tentu saja Kam Ceng Swi menjadi kaget bukan main. Seperti telah dituturkan di bagian depan. Kam Ceng Swi telah menolong Kun Hong ketika bocah ini baru berusia setengah tahun, menggeletak di dekat mayat ibunya. Selama itu, Kam Ceng Swi merawat Kun Hong dan menganggapnya seperti anak sendiri. Sekarang Kun Hong sudah berusia enam tahun, hidup di Kun lun-san, menjadi buah hati semua anak murid Kun lun pai. Juga Kun-lun Lojin suka kepada bocah yang dianggapnya berbakat baik ini, malah couwsu ini pernah menyatakan bahwa kalau berjodoh, kelak ia akan mewariskan ilmu-ilmu Kun lun pai kepada bocah itu.

Mendengar laporan sutenya. Kam Ceng Swi cepat melompat dan bersama sute-sutenya yang lain ia lari ke tempat itu, yaitu di bagian penjagaan sebelah utara. Dari jauh ia sudah mendengar suara Kun Hong bersorak girang.

"Haaa......... suhu lucu sekali.........!”

Kam Ceng Swi melihat seorang kakek bertubuh kecil pendek seperti orang katai, pakaiannya seperti pakaian pengemis, matanya besar dan berkejap-kejapan saja seperti orang sakit mata, mulutnya tersenyum-senyum nakal. Kakek ini sedang main ayun-ayunan di atas cabang pohon yang menjulur ke atas jurang dan ia memondong tubuh Kun Hong yang dilempar lemparkan ke atas seperti orang main anak-anakan saja. Kalau dilihat betapa cabang sebesar ibu jari kaki itu menjulur ke atas jurang yang tidak dapat diukur dalamnya, benar-benar permainan itu berbahaya sekali! Sekali cabang itu patah atau sekali saja kakek itu tidak tepat menerima kembali tubuh Kun Hong yang dilempar-lempar ke atas, habislah nyawa mereka. Akan tetapi Kun Hong malah tertawa-tawa girang. Memang anak ini selalu bergembira dan wataknya agak nakal, suka sekali main-main tanpa mengenal bahaya.

Melihat kedatangan Kam Ceng Swi, Kun Hong segera berseru setelah ia turun kembali dan berdiri di atas pundak kakek itu.

"Ayah, lihat ini! Suhu cebol ini pandai sekali. Aku ingin menjadi muridnya."

Akan tetapi Kam Ceng Swi tidak perdulikan seruan putera angkatnya. Ia memperhatikan kakek itu dan dapat menduga bahwa tentu orang ini yang bernama Pak thian Koaijin, tokoh utara yang sebetulnya adalah suheng dari Hu Lek Sian-su ketua Go-bi-pai. Tentu saja kepandaiannya amat tinggi. Maka ia menjura sambil berkata.

"Apakah locianpwe bukan Pak thian Koaijin yang ditunggu kedatangannya oleh suhu Kun-Iun Lojin?”

Kakek itu tertawa bergelak dan sekali melompat ia sudah berada di depan Kam Ceng Swi.

"Jadi, kau ayah anak ini? Ha ha. sungguh lucu. Baru sekarang aku mendengar murid Kun-lun-pai membawa anak isterinya ke gunung. Apa Kun-lun Lojin si tua bangka sudah merobah aturan?"

"Teecu......teecu tidak beristeri......" jawab Kam Ceng Swi dengan muka merah untuk membantah tuduhan yang mencemarkan nama Kun lun pai ini.

"Ho-ho. tidak beristeri punya anak? Kau ini laki-laki, perempuan, atau banci?" Memang kakek cebol ini suka sekali berkelakar dan amat nakal suka menggoda orang, tak perduli siapa orang yang dihadapinya itu.

Muka Kam Ceng Swi makin merah. "Locianpwe harap jangan main-main. Teecu bernama Kam Ceng Swi murid suhu Kun-lun Lojin dan anak ini adalah anak angkat teecu. Locianpwe sudah ditunggu di atas, silahkan naik terus. "

Kembali kakek itu tertawa. "Jadi bukan anakmu? Bagus. anak ini bertulang baik, cocok menjadi muridku. Biar aku minta dia dari tangan tua bangka Kun lun Lojin." Setelah berkata demikian, ia mengeluarkan sebuah kembang gula yang kelihatannya kotor sekali kepada Kun Hong. lalu sekali berkelebat ia lenyap dari depan mata.

Kam Ceng Swi menarik napas panjang, dan tiba-tiba ia merampas kembang gula yang sudah diterima oleh Kun Hong dan hendak dimasukkan ke dalam mulutnya yang kecil.

"Bodoh, kembang gula sekotor ini hendak dimakan. Rakus benar kau! Lebih baik buang saja!" Kam Ceng Swi melempar kembang gula itu ke bawah lereng.

Tiba-tiba berkelebat bayangan biru dan tahu tahu seorang wanita yang cantik dan gagah, berpakaian biru telah berkelebat dan menyambar kembang gula itu. Dia sudah berusia empat puluh lima tahun, namun masih kelihatan muda dan cantik, sikapnya keren dan galak, pedang yang indah gagangnya tergantung di pinggang.

"Hemm, sin-tan (obat sakti) ini pembersih darah. Sayang kakek gila itu memberikan kepada orang yang tak tahu diri. Lebih baik dikembalikan kepadanya." Setelah berkata demikian, ia berjalan terus ke atas.

Kam Ceng Swi yang mengenal wanita ini sebagai Tung-hai Sian li. biarpun belum pernah bertemu dengannya, cepat memberi hormat yang tak dijawab oleh wanita galak itu. Diam-diam Kam Ceng Swi merasa menyesal mengapa tadi ia begitu ceroboh membuang obat kuat yang dikiranya hanya kembang gula yang dapat mendatangkan batuk.

"Kenapa kau keluar dan menimbulkan onar di sini?” ia menegur Kun Hong dengan marah.

Anak itu mainkan bibir dan matanya. Memang Kun Hong tampan sekali, kulit mukanya putih, bibirnya merah dan matanya indah dan tajam.

"Ayah dan semua susiok pergi melakukan penjagaan, kata para suheng akan datang tamu-tamu aneh dari bawah gunung. Anak mana bisa kerasan tinggal di dalam rumah menghafal pelajaran? Suhu tadi lucu dan pandai, sayang dia pergi....."

"Jangan kau kurang ajar, dia itu tamu dari sucouw. Hayo kau kembali kepada pelajaranmu membaca!"

Akan tetapi sebelum Kun Hong pergi, bocah ini menengok ke bawah dan berseru, "Ada tamu lagi, sekarang dengan anaknya!”

Kam Ceng Swi dan yang lain-lain memandang. Betul saja dari lereng bukit itu kelihatan dua orang mendaki dengan susah payah. Seorang laki-laki yang gagah, jenggot dan kumisnya penuh tak terpelihara, berjalan perlahan menggandeng seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun. Bocah itu memandang ke atas lalu berseru girang.

"Paman, itu di atas ada orang!"

"Bagus. Wi Liong. Mari kita ke sana."

Mereka terus mendaki ke atas. Kam Ceng Swi terheran-heran. Melihat gerak-gerik orang itu, jelas bahwa dia seorang ahli silat yang pandai. Akan tetapi mengapa ia mendaki bukit demikian perlahan dan lambat, tidak mempergunakan gin-kangnya? Malah kelihatannya seperti anak itu yang menuntun dan mencari jalan! Apa dia terluka? Mukanya kelihatan sehat.

Mudah diduga siapa adanya orang itu. Dia bukan lain adalah Kwee Sun Tek yang sudah menjadi buta biarpun matanya kelihatan melek. Anak itu adalah Thio Wi Liong. Menurut petunjuk dari Siang Tek Hosiang. Sun Tek mengajak Wi Liong ke Kun lun-san.

Akhirnya, setelah susah payah mendaki, mereka berhadapan dengan Kam Ceng Swi dan para sutenya yang bertugas menjaga.

"Siapakah saudara yang baru datang ini dan ada keperluan apa mendaki ke Kun lun pai?”tanya Kam Ceng Swi, masih belum tahu bahwa tamunya adalah seorang buta.

"Siauwte bernama Kwee Sun Tek dan kedatangan siauwte ini hendak mencari Bhok Lo Cinjin yang kabarnya berkunjung ke sini," jawab Kwee Sun Tek sambil menjura memberi hormat.

Kam Ceng Swi menjadi curiga. Memang hatinya masih panas dan penasaran karena peristiwa dengan Pak-thian Koaijin tadi. masih merasa khawatir kalau-kalau kakek aneh itu benar-benar akan membawa pergi Kun Hong sebagai muridnya. Kekhawatiran ini membuat ia agak kurang ramah.

"Memang benar Bhok Lo Cinjin berada di puncak, menjadi tamu dari guruku Kun-lun Lojin. Akan tetapi menyesal sekali tak seorangpun diperbolehkan naik ke puncak pada waktu ini. Baik suhu maupun Bhok Lo Cinjin tidak mau diganggu. Tidak tahu saudara mencari Bhok Lo Cinjin ada urusan apakah?”

Urusan Sun Tek adalah urusan pribadi dan dalam penyerahan keponakannya sebagai murid, tentu ia harus menceritakan tentang duduknya perkara dari mulai pembunuhan terhadap enci dan cihunya oleh bekas gurunya, Beng Kun Cinjin, sampai ia menjadi buta matanya. Maka tak mungkin diceritakan kepada sembarang orang.

"Ada urusan pribadi yang amat penting. Oleh karena itu. harap sahabat yang baik sudi menolong kami bertemu dengan Bhok Lo Cinjin," jawab Sun Tek singkat.

"Sayang sekali tak mungkin hal itu dilaksanakan. Lebih baik saudara Kwee turun gunung saja dan menanti di bawah gunung sampai Bhok Lo Cinjin pulang. Menanti di sini selain percuma. juga tidak diperbolehkan oleh partai kami."

Sun Tek mengerutkan keningnya, hatinya kecewa dan menyesal sekali. Tiba- tiba perhatian mereka tertarik kepada Kun Hong dan Wi Liong yang agaknya bertengkar.

Begitu melihat Wi Liong, Kun Hong yang nakal sudah mendekatinya dan berkata, "Apa kau berani melawan aku?”

Wi Liong memandang dengan mata tajam. Bocah ini wataknya pendiam dan pikirannya sudah masak karena gemblengan penderitaan. Ia tahu berhadapan dengan seorang bocah nakal, maka jawabnya tenang, "Tentu saja berani."

Kun Hong tersenyum mengejek, mengepal tinju dan memasang kuda-kuda sambil menantang; "Kalau kau berani, majulah. Mari kita mengadu kepalan!"

Wi Liong tetap berdiri tenang dan menggeleng kepala.

"Mengapa? Kau takut padaku?” Kun Hong mengejek.

"Aku tidak takut, hanya tidak mau berkelahi," jawab Wi Liong.

"Ha, kau pengecut! Mulutmu bilang berani akan tetapi sebetulnya kau takut. Hi-hi!" Kun Hong mengejek mentertawakan.

"Aku datang ikut paman bukan untuk berkelahi. Laginya, aku takkan berkelahi tanpa alasan " jawab Wi Liong yang menjadi panas juga hatinya.

"Macammu ini, mana berani bertempur? Nah. aku beri alasan, coba kau berani melawanku tidak!" Sambil berkata demikian, Kun Hong menggeser kakinya ke depan dan mengayun tangannya.

"Plak!" pipi kiri Wi Liong digamparnya sampai menjadi merah.

Wi Liong mulai naik darah, akan tetapi bocah ini memang mempunyai pikiran matang. Ia maklum bahwa pamannya mengajaknya ke tempat itu untuk mencarikan guru yang pandai, tentu saja ia tidak boleh sembarangan membikin kacau dengan perkelahian melawan bocah nakal ini tanpa perkenan pamannya. Ia menengok kepada Sun Tek dan bertanya, "Paman, bocah nakal ini telah menampar pipiku tanpa sebab apakah aku harus membalasnya?”

Sun Tek memang sudah tak senang hati mendengar sikap Kam Ceng Swi yang tidak ramah, kini mendengar percekcokan antara keponakannya dengan seorang bocah nakal, bahkan keponakannya digampar, ia menjadi marah.

"Kau membikin malu pamanmu kalau kau tidak membalas hinaan orang."

Mendengar jawaban ini. Wi Liong lalu memasang kuda-kuda dan berkelahilah dua orang anak itu. Mereka sama-sama terlatih sejak kecil, akan tetapi Wi Liong menang tua setahun lebih, pula tubuhnya lebih kuat karena sejak kecil ia memantau dan menderita. Maka setelah lewat belasan jurus, ia berhasil memukul dada Kun Hong sampai roboh terjengkang. Kun Hong merayap bangun tanpa mengeluarkan keluhan sedikitpun dan sudah bersiap hendak menerjang lagi, akan tetapi Kam Ceng Swi mencegah.

"Cukup, jangan kau kurang ajar terhadap tamu!" Mendengar bentakan ini, Kun Hong mundur, akan tetapi ia tersenyum kepada Wi Liong dan berkata, "Bocah, siapa namamu?"

"Aku Thio Wi Liong!"

"Bagus, akan kuingat nama itu. Kelak akan datang saatnya kita bertemu satu lawan satu dan melanjutkan pertandingan ini. Aku Kam Kun Hong!"

"Diam kau!" bentak Kam Ceng Swi yang diam-diam merasa geli juga melihat sikap Kun Hong yang ugal-ugalan namun lucu. Adapun Sun Tek menjadi gemas dan mendongkol mendengar semua itu. Ia berkata kepada Wi Liong,

"Mari kita pergi saja, agaknya kita kesasar ke tempat orang-orang yang tidak sopan."

Seorang sute Kam Ceng Swi yang berdarah panas menjadi marah mendengar sindiran ini. Ia bergerak maju dan menjambret leher baju Sun Tek sambil berkata keras. "

"Apa kau bilang? Jangan kau berani menghina fihak Kun-lun-pai, tahu?”

Sun Tek yang sudah marah karena kecewa hatinya itu, mengibaskan lengannya ke arah lengan orang yang mencengkeram leher bajunya sambil mengerahkan tenaga.

"Bluk!" Orang itu terpelanting dan mengaduh kesakitan karena tulang lengannya sudah patah!

"Kun-lun-pai atau partai yang manapun juga, kalau orang-orangnya tak tahu aturan tak perlu dihormati!" kata Sun Tek. Memang tak dapat terlalu disalahkan sikap Sun Tek. Dia seorang yang sudah buta, sudah melakukan perjalanan amat jauh dan setengah mati. Sekarang, setelah tiba di tempat tujuan, bukan saja ia tidak diperbolehkan bertemu dengan Bhok Lo Cinjin. malah ia mendapat perlakuan yang kurang hormat. Tentu saja ia menjadi kecewa sekali dan kekecewaannya inilah yang membuat darahnya menjadi panas dan mudah marah.

Kam Ceng Swi juga sedang tak senang hati. Ia seorang ahli filsafat, seorang bekas pembesar, dan kepandaiannya tinggi. Akan tetapi, tadi ia telah dipermainkan atau diperlakukan seperti anak-anak oleh para tokoh besar yang menjadi tamu gurunya. Sekarang melihat sikap Sun Tek yang ia anggap orang biasa saja. ia menjadi makin mendongkol.

"Orang she Kwee, apa kau datang sengaja hendak mengacau?" katanya sambil mendorong.

Biarpun Sun Tek tak dapat melihat gerakan ini, namun hawa dorongan itu sudah terasa olehnya. Ia kaget sekali karena maklum bahwa lawannya ini benar-benar memiliki tenaga lweekang yang amat hebat. Cepat ia melakukan tangkisan dengan kedua tangannya, namun tetap saja tubuhnya terhuyung ke belakang. Melihat betapa lawannya ini tidak berapa lihai. Kam Ceng Swi tidak mendesak lebih jauh. Sun Tek tentu saja tidak tinggal diam oleh serangan lawan, biarpun ia maklum akan kelihaian lawannya, seberapa bisa ia harus melakukan perlawanan. Maka begitu ia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya ia lalu melangkah maju dan melakukan pukulan dengan tangan kirinya. Matanya yang buta membuat ia tidak melihat bahwa Kam Ceng Swi sebetulnya sudah tidak akan menyerangnya lagi.

Dan pada saat itu, ketika Ceng Swi terpaksa menggerakkan tangan untuk menangkis serangan balasan lawan, terjadilah hal yang amat aneh. Sun Tek yang melakukan pukulan tangan kiri. tiba-tiba merasa ada sesuatu menempel di punggungnya dan membuat pukulannya itu keras bukan main. Ia merasa hawa yang hangat panas menjalar ke dalam tubuhnya dan memenuhi tangan kiri yang melakukan pukulan.

Kam Ceng Swi menangkis dan......... tidak saja tangannya menjadi terpental, juga pukulan Sun Tek itu terus mengenai dadanya! Kam Ceng Swi terhuyung ke belakang lalu roboh, biarpun pukulan itu tidak membahayakan jiwanya, namun mendatangkan luka yang cukup berat! Sun Tek mendengar lawannya roboh. Ia menyesal bukan main.

"Aku......... aku tidak niat memukul roboh........." katanya gagap.

Akan tetapi para anak murid Kun-lun pai tentu saja tidak mau tinggal diam. Melihat Kam Ceng Swi dipukul roboh, mereka beramai maju mengeroyok Sun Tek.

Kembali terjadi hal yang amat aneh. Di luar kehendaknya sendiri, tubuh Kwee Sun Tek bergerak dan kedua tangannya melakukan pukulan ke kanan kiri.

Terdengar suara blak-bluk-blak-bhuk dan tubuh para anak murid Kunlun-pai berpelantingan, roboh dan terluka oleh pukulan- pukulan Sun Tek yang tiba-tiba menjadi luar biasa tangguhnya itu!

"Aku tidak mau berkelahi............ aku tidak memukul..........!" Sun Tek berteriak-teriak penuh penyesalan dan juga amat terheran-keran. Ia merasa dirinya seakan-akan kemasukan setan, bergerak di luar kemauannya dan tahu-tahu semua pengeroyok yang jumlahnya ada delapan belas orang, itu roboh semua oleh pukulan pukulannya.

Tiba-tiba tenaga aneh yang menguasainya itu lenyap meninggalkan tubuhnya. Sun Tek menjadi lemas dan roboh terengah engah di tengah-tengah para korban pukulannya. Keadaan sunyi sekali di sekelilingnya, membuat ia teringat akan keponakannya.

"Wi Liong.........!" teriaknya memanggil. Tidak ada jawaban.

"Wi Liong........., di mana kau.........??” kembali ia berseru, kini lebih keras lagi. Tetap tidak ada jawaban.

Sun Tek bangkit berdiri, meraba ke kanan kiri dan menjadi gelisah sekali. "Wi Liong....!"

Tiba-tiba dari jauh terdengar suara ketawa, suara ketawanya dua orang, laki-laki dan wanita, dan suara ketawa itu menyeramkan sekali, bahkan mengandung hawa khikang yang mengguncangkan jantung Sun Tek, membuat ia tak tertahankan lagi jatuh duduk di tengah-tengah para korbannya yang masih pingsan!

"Setan......" gerutunya. "apakah Wi Liong dibawa setan........?" Tiba-tiba ia meraba ke punggungnya dan mendapat kenyataan bahwa pedang Cheng hoa kiam juga lenyap tanpa ia merasa ada yang ambil!

Dari puncak bukit melayang turun tujuh orang tokoh besar yang tadinya sedang mengadakan pertemuan. Mereka ini mendengar suara ketawa laki-laki dan wanita tadi dan menjadi kaget bukan main. Cepat mereka berlari-lari ke tempat itu dan menjadi kesima menyaksikan anak murid Kun lun pai malang-melintang dalam keadaan pingsan, dan di tengah tengah antara mereka duduk seorang laki laki yang brewok dan gagah, yang secara aneh meraba-raba ke kanan kiri seperti orang buta, biarpun matanya melotot lebar.

Kam Ceng Swi yang tidak pingsan, merangkak bangun ketika melihat suhunya datang bersama enam orang tamunya.

"Suhu........." katanya lemah.

Kun-lun Lojin menghampiri muridnya ini dan wajah yang halus itu menjadi berkerut. Kakek ini mengeluarkan sebungkus obat bubuk warna kuning, memberikan obat kepada muridnya sambil berkata,

"Telan dulu obat ini, kau telah menerima pukulan yang mengandung hawa beracun."

Kam Ceng Swi menerima obat itu dan menuangkan ke dalam mulut, lalu menelannya bersama ludah. Kemudian ia bersila dan mengatur napas. Melihat muridnya sudah mendingan. Kun-lun Lojin bertanya.

"Apa yang telah terjadi di sini? Siapa yang memukulmu?”

Kam Ceng Swi menudingkan telunjuknya ke arah Sun Tek, "Dialah yang merobohkan teecu dan semua anak murid Kun-lun-pai. Dia datang bersama seorang anak kecil, sengaja mencari keributan dengan alasan mencari Bhok Lo Cinjin. Mungkin dia membawa kawan-kawan karena sekarang teecu tidak melihat ke mana perginya bocah itu. bahkan Kun Hong juga tidak ada....... teecu khawatir anak itu diculik oleh kawan-kawannya........."

Tujuh orang tokoh itu kini memandang kepada Sun Tek, dan Bhok Lo Cinjin yang disebut sebut namanya melangkah maju. Adapun Sun Tek ketika mendengar laporan Kam Ceng Swi itu, menjadi kaget sekali. Ia merayap maju, meraba-raba dengan kedua tangannya, lalu berkata, "Apakah betul Bhok Lo Cinjin berada di sini.........?" tanyanya, suaranya gagap karena maklum bahwa ia berada dalam keadaan sulit sekali.

"Pinceng Bhok Lo Cinjin, kau siapa dan ada apa mencari pinceng?”

Kwee Sun Tek cepat menjatuhkan diri berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Cu-wi locianpwe yang berada di sini, harap ampunkan teecu yang sudah tak dapat melihat lagi......!” Dan Sun Tek tak tertahan lagi lalu menangis.

Semua orang menjadi heran, juga Kam Ceng Swi. Baru sekarang ia melihat bahwa biarpun orang she Kwee itu matanya melotot, namun ternyata ia seorang buta!

"Seorang laki-laki pantang menangis, lekas kau ceritakan!” kata Bhok Lo Cinjin dengan suara keren. Hwesio ketua Siauwlim-pai ini biarpun air mukanya manis dan tersenyum-senyum ramah, namun wataknya keras dan ia menjaga peraturan dengan tertib.

Sun Tek lalu menuturkan pengalamannya. "Teecu adalah murid Beng Kun Cinjin. Melihat bekas suhu itu menyeleweng membantu pemerintah penjajah, teecu bersama enci dan cihu yang juga murid-murid Beng Kun Cinjin, pergi ke kota raja untuk membujuk suhu. Akan tetapi, cnci dan cihu tewas oleh para panglima. Teecu berhasil melarikan Wi Liong, putera cici. Di tengah jalan teecu dibikin buta oleh suhu yang mengejar teecu, malah mungkin para suhu di Siauw-limsi, Siang Tek Hosiang dan suhu-suhu lain yang membela teecu kena dikalahkan oleh Beng Kun Cinjin. Kemudian enam tahun lamanya teecu mengajak Wi Liong mengembara dan akhirnya membawa anak itu ke Siauw-lim-pai untuk menjadi murid. Sayang Bhok Lo Cinjin tidak ada, kabarnya ke Kun-lun san. Teecu mengajak keponakan itu menyusul ke sini." Ia menarik napas panjang dan semua orang yang mendengarkan penuturan ini menjadi tertarik dan gemas. Memang semua sudah mendengar perihal Beng Kun Cinjin dan membenci pengkhianat.

"Sungguh sial bagi teecu, di sini teecu dianggap membikin kacau sampai terjadi percekcokan. Kemudian, dalam sedikit pertempuran, entah bagaimana, tiba-tiba teecu tak dapat menguasai diri, kedua tangan teecu bergerak sendiri merobohkan saudara-saudara murid Kun-lun-pai, teecu sama sekali bukan lawannya. Benar-benar aneh sekali. Sayang mata teecu tak dapat melihat, sekarang tahu-tahu..... Wi Liong telah lenyap....!" Kembali Sun Tek menangis.

Kun-lun Lojin melompat maju dan menekan kedua pundak Sun Tek. Sun Tek tak berdaya sama sekali, merasa seluruh tenaganya lenyap dalam tekanan itu. Ia dilepas kembali dan Kun-lun Lojin berkata lirih.

"Dia tidak membohong. Dia sama sekali takkan sanggup melawan Kam Ceng Swi......”

"Akan tetapi teecu dirobohkan dengan sekali pukul. " kata Kam Ceng Swi terheran-heran.

"Tangannya tidak mengandung hawa pukulan beracun, sedangkan kau dirobohkan oleh pukulan beracun. Tentu ada orang jahat yang merobohkan kalian dengan jalan bersembunyi, meminjam tangan Kwee sicu ini kemudian menculik Wi Liong dan agaknya Kun Hong juga terculik!”

Semua orang diam. Tujuh orang tokoh besar itu saling pandang, teringat akan suara ketawa laki-laki dan wanita tadi. Tung-hai Sian-li tertarik melihat seorang anak murid Kun-lun yang merintih dan pada leher orang ini terdapat tanda bintik-bintik merah. Ia mendekat, memeriksa sebentar lalu tokoh wanita ini dengan alis berkerut berkata.

"Bekas tangan Tok-sim Sian-li (Dewi berhati Racun)!"

Semua orang terkejut. Nama Tok-sim Sian-li sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang wanita tokoh Mo-kauw yang kejam, galak dan cabul. Akan tetapi kepandaiannya luar biasa sekali, bahkan pernah Tung-hai Sian-li tokoh timur ini roboh olehnya!

Lam-san Sian-ong juga maju mendekati Kam Ceng Swi smbil berkata. "Mengingatkan lohu akan seorang.....”

Tanpa berkata apa-apa lagi ia memeriksa dada Kam Ceng Swi, merobek bajunya dan mengetuk-ngetuk iganya. Ia menangguk-angguk dan berkata.

"Sudah kuduga..... sudah kuduga..... baiknya kau tidak langsung menerima pukulan dari tangannya, dan sudah keburu minum obat penawar manjur. Kalau tidak..... hemmm, jangan harap bisa hidup lagi. Tanganku yang tekena pukulan Ngo-tok-jiauw (Cengkeraman Lima Racun) terpaksa kubikin buntung!" Ia memperlihatkan tangan kirinya yang buntung dan mukanya memperlihatkan kegemasan besar.

"Lam-san Sian-ong, kaumaksudkan muridku terkena pukulan Ngo-tok-jiauw.....?” tanya Kun-lun Lojin, wajahnya berobah sungguh-sungguh.

Kakek buntung tangannya itu mengangguk-angguk. "Kau telah mendapat kehormatan tadi, menerima kunjungan Bu-ceng Tok-ong (Raja Racun Tanpa Aturan) sendiri!”

Semua orang menjadi terkejut lagi. Kiranya suara ketawa tadi adalah suara ketawa Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li dua orang tokoh Mo-kauw yang amat kejam dan lihai.

Mendengar ini Sun Tek mengeluh. "Wi Liong..... Wi Liong..... kasihan sekali kau nak.....”

Juga Kam Ceng Swi amat terkejut dan berduka. Ia berlutut di depan suhunya dan berkata, "Suhu, mohon belas kasihan suhu, tolonglah anakku Kun Hong.....”

Kun-lun Lojin menarik napas panjang, "Sukar, sukar..... akan tetapi sudah menjadi kewajiban kami untuk memikirkannya. Ceng swi kau rawat saudara-saudaramu dan layani Kwee sicu ini baik-baik. Jangan ganggu kami yang akan merundingkan soal ini di atas."
 
Jilid 04
Kun-lun Lojin dan para tamunya lalu kembali ke puncak. Wajah mereka rata-rata muram, kecuali Lam-sam Sian-ong yang kadang-kadang tersenyum-senyum seorang diri seperti orang yang miring otaknya, akan tetapi karena semua orang sudah mengenal keanehannya, tak seorangpun memperhatikan dia. Tujuh orang tokoh besar ini melanjutkan pertemuan yang terganggu tadi.

"Soalnya menjadi makin sulit," kata Kun-lun Lojin. "Dahulu ketika pinto bertemu dengan Thian Te Cu, orang sakti itu sudah memperingatkan bahwa akan tiba saatnya negara kita dikuasai oleh Bangsa Mongol seluruhnya sampai seratus tahun lamanya. Beliau yang mencegah kita jangan bergerak, dan jangan mencoba melawan kehendak alam. "

"Biarpin Thian berkuasa, namun manusia harus berdaya-upaya!" bantah Tung-hai Sian-li. "Melihat negara diilas-ilas, masa kita harus peluk tangan saja melihat rakyat dibinasakan? Di mana kegagahan kita?"

"Betul, " kata Kun-lun Lojin. "memang tidak ada yang melarang kalau di antara kita berusaha. Akan tetapi ada batas-batasnya dan usaha kita hanya mengganyang para orang gagah yang menyeleweng dan membantu musuh seperti halnya Beng Kun Cinjin dan yang lain-lain. Akan tetapi Beng Kun Cinjin sudah menghilang dan sepanjang pendengaran pinto, bala tentara Mongol mulai menghubungi orang-orang Mo-kauw untuk memperkuat kedudukannya. Sekarang fihak Mo-kauw sudah terang-terangan mengadakan permusuhan dengan kita, sengaja datang untuk mengacau pertemuan kita, merobohkan anak murid Kun-lun-pai dan menculik dua orang anak yang berada di sini. Kun Hong adalah anak murid Kun-lun-pai yang berbakat, perbuatan dua orang Mo-kauw itu benar-benar merupakan hinaan besar. "

Bhok Lo Cinjin mengeluarkan gerengan. "Juga bocah bernama Thio Wi Liong itu sudah hendak dititipkan kepada pinceng, biarpun belum pinceng terima, akan tetapi orang sudah datang mendahului dan menculik, inipun berarti penghinaan bagi Siauw-lim-pai. Kita harus mencari dua orang iblis itu."

"Sudah bertahun-tahun aku mencari untukminta ganti tanganku yang buntung ini, akan tetapi lebih mudah mencari setan dari pada mencari Bu-ceng Tok-ong. " kata Lam-san Sian-ong mendongkol.

"Juga aku sudah lama mencari-cari Tok-sim Sian-li untuk membalas penghinaannya beberapa tahun yang lalu, akan tetapi siapa tahu di mana sarang siluman itu?” kata Tung-hai Sian-li.

"Seperti pinto katakan tadi, fihak Mongol sekarang minta bantuan Mo-kauw, kiranya tidak akan jauh dari kota raja berkumpulnya para tokoh Mo-kauw. Kita sekarang masing-masing mencari jejak mereka dan beramai-ramai menyerbu apa bila sarang mereka sudah diketahui. Biarlah setahun lagi pada waktu sekarang ini kita berkumpul di Kuil Siauw-lim-si untuk menceritakan hasil pemnyelidikan masing-masing." kata Kun-lun Lojin. Setelah diadakan permufakatan ini, mereka lalu bubaran dan mulailah para tokoh besar ini mengadakan penyelidikan untuk melawan orang-orang Mo-kauw kalau mereka benar menjadi kaki tangan pemerintah penjajah, dan sekalian mencari dua orang tokoh Mo-kauw yang telah menghina mereka di Kun-lun-san dan menolong dua orang anak kecil yang mereka culik.

Dugaan tujuh tokoh di puncak Kun-lun-san itu memang tidak meleset. Yang mengacau di lereng Kun-lun-san dan menculik dua orang bocah itu memang Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li dua orang tokoh besar dari golongan Mo-kauw yang ditakuti orang. Fihak Mo-kauw mendengar tentang pertemuan puncak itu dan dua orang ini diutus untuk mengacau karena golongan Mo-kauw maklum bahwa tujuh orang tokoh besar itu sedang membicarakan gerakan mereka membantu bala tentara Mongol!

Akan tetapi, biarpun dua orang tokoh Mo-kauw itu berkepandaian tinggi, mereka merasa jerih juga kalau harus menyerbu ke atas, menghadapi tujuh orang tokoh besar sekaligus. Maka mereka hanya mengacau di lereng tempat penjagaan. Kebetulan sekali mereka melihat dua orang bocah itu yang mereka tahu bertulang baik sekali, maka mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini untuk menculik dua orang anak itu. Tok-sim Sian-li menculik Kun Hong sedangkan Bu-ceng Tok-ong menculik Wi Liong sambil tidak lupa membawa pedang Cheng- hoa-kiam yang berada di punggung Sun Tek karena ia tahu bahwa pedang itu adalah pedang pusaka yang ampuh.

Tok-sim Sian-li atau Dewi Hati Beracun adalah seorang wanita yang masih muda nampaknya biarpun usianya sudah empat puluh tahun. Kalau orang melihat potongan tubuhnya dan wajahnya tak akan dia mengira bahwa wanita ini seorang iblis betina yang amat jahat. Wajahnya cantik dengan kulit muka putih kemerahan, matanya tajam dengan kerling genit. Senyumnya dapat merobohkan hati pria yang kurang kuat batinnya. Potongan tubuhnya juga menarik dengan gerak gerik menggiurkan. Pendeknya, Tok-sim Sian-li adalah seorang wanita cantik yang bersikap genit sekali. Akan tetapi di dalam hatinya ia kejam luar biasa dan di balik senyum menarik dan kerling mata menggairahkan bersembunyi sifat galak dan ganas. Dia terkenal sebagai seorang wanita cabul, pandai merayu pria yang disukainya, akan tetapi kalau hatinya sudah tidak suka, ia akan membunuh pria itu tanpa berkedip mata dan dengan senyum di kulum!

Sebaliknya, kawannya. Bu-ceng Tok-ong adalah seorang yang bermuka iblis. Mukanya segi empat dengan alis mata tebal sekali sampai menutupi sepasang matanya yang hitam. Mukanya hitam totol-totol putih karena dimakan penyakit kulit dan kulit badannya kasar seperti kulit buaya. Tubuh tinggi besar dan nampaknya kuat bukan main. Wataknya aneh dan suka melucu, benar-benar berbeda dengan mukanya yang menyeramkan. Akan tetapi dalam hal kekejaman, ia tidak kalah banyak oleh Tok-sim Sian-li. Dua orang ini merupakan tokoh-tokoh yang tinggi sekali kepandaiannya, dan entah sudah berapa ratus atau berapa ribu orang yang sudah menjadi korban keganasan mereka.

Setelah berhasil menculik dua orang bocah itu, keduanya berlari cepat sambil meninggalkan suara ketawa menyeramkan. Sebentar saja mereka sudah turun gunung dan pergi jauh sekali, tak mungkin dapat dikejar oleh orang-orang di Kun-lun-san. Setelah jauh barulah mereka berjalan perlahan sambil bercakap-cakap.

Tok-sim Sian-li memondong Kun Hong mengamat-amati wajah anak laki-laki yang tampan ini. Seperti juga keadaan Wi Liong, Kun Hong tak dapat mengeluarkan kata-kata karena ditotok urat gagunya, dan ia tak dapat bergerak dalam pondongan wanita itu. Tok-sim Sian-li tertawa-tawa dan menciumi pipi Kun Hong.

"Aduh sayang masih kecil. Kalau sudah dewasa dia tentu menjadi pemuda yang tampan sekali!” katanya sambil membelai rambut Kun Hong yang hitam.

"Dasar kau gila laki-laki!” Bu-ceng Tok-ong berkata mencela dengan mulut cemberut. "Aku membawa dia ini karena dia bertulang baik, patut sekali menjadi muridku. Akan tetapi agaknya kau menculik bocah itu karena tampannya. Ha-ha, kau mau menanti sampai berapa tahun untuk menjadikannya sebagai kekasih barumu? Mata keranjang!”

Dimaki demikian, Tok-sim Sian-li hanya tertawa genit. "Tentu saja aku memilih pemuda tampan, habis apa aku harus selalu mendekati laki-laki seperti macammu? Buruk, kasar dan tidak menyenangkan. Cih! Bisa saja kau mencela orang padahal kau sendiri sekali melihat gadis cantik mulutmu terus mengilar! Kau bilang bocah yang kau bawa itu bertulang baik? Hemm, kiranya matamu sudah buta kalau kau tidak melihat bahwa bocahku ini bakatnya jauh lebih besar dari pada bocahmu itu!”

"Tak bisa jadi! Kau lihat saja!" kata Bu-ceng Tok-ong sambil membuka baju Wi Liong dan meraba-raba dada anak itu.

"Kau memang sudah buta. Kau lihat ini!" juga Tok-sim Sian-li membuka baju Kun Hong dan memperlihatkan dada bocah itu.

Keduanya memeriksa dan akhirnya mereka harus mengakui bahwa dua orang anak laki-laki itu bertulang baik sekali.

"Kita benar-benar beruntung." kata Bu-ceng Tok-ong. "Tak dinyana kedua anak ini benar-benar merupakan tunas yang jarang terdapat!”

"Kita bertaruh siapa yang akan lebih jadi di antara dua orang murid kita ini kelak. " kata Tok-sim Sian-li menantang.

Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak, suara ketawanya seperti tadi ketika meninggalkan Kun-lun-san, bergema smpai jauh dari tempat itu. memang setiap kali perasaannya tersinggung sehingga ia menjadi marah mendongkol, tentu Bu-ceng Tok-ong mengeluarkan suara ketawa seperti ini.

"Ha-ha-ha-ha, kau sombong. Kuterima tantanganmu, apa taruhanmu?"

"Apa saja menurut permintaanmu!" jawab Tok-sim Sian-li sambil tesenyum mengejek.

Kembali Bu-ceng Tok-ong tersenyum. "Dalam waktu sepuluh tahun dua orang murid kita sudah dewasa dan boleh kita adu kepandaian mereka. Kalau muridku menang...." ia tersenyum pula. "dan ini sudah pasti kau harus mau menjadi isteriku. Bagaimana?”

Tok-sim Sian-li memicingkan matanya yang bagus itu, bibirnya tersenyum lebih manis lagi dengan gaya memikat. "Mudah-mudahan sepuluh tahun lagi kau takkan menjadi lebih kasar dan lebih buruk." jawabnya. "Akan tetapi bagaimana kalau muidmu kalah?”

"Sesukamulah, kau minta apa? Kau minta kepalaku juga boleh!”

"Cih, untuk apa kepala buruk itu? Kalau muridku yang menang kau harus memberikan muridmu itu untuk menghiburku selama satu tahun!”

Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak. "Ha-ha-ha kau pintar! Memang mata keranjang macam matamu mana bisa melewatkan laki-laki tampan? Muridku ini kelak tak kalah tampan oleh muridmu. Boleh, boleh, mari kita sama lihat sepuluh tahun lagi! Benar-benar pertaruhan yang menyenangkan hati sekali."

Dari percakapan ini dapat dinilai betapa bobroknya moral dari kedua orang ini yang sudah tidak kenal apa artinya malu lagi. Kun Hong dan Wi Liong yang baru berusia enam tujuh tahun itu tentu saja menjadi bingung dan tidak mengerti, dan sedikit pengertian mereka membuat mereka terheran-heran dan juga ngeri. Bu-ceng Tok-ong lalu menotok leher muridnya, membebaskannya dari totokan yang membuatnya gagu. Juga Tok-sim Sian-li membebaskan muridnya, lalu mengelus-elus leher Kun Hong.

"Kau tidak merasa sakit, bukan?" tanyanya halus dengan suara menyayang sekali. Kun Hong menggeleng kepala. Bocah ini merasa takut dan benci kepada Bu-ceng To-ong yang berwajah buruk, akan tetapi biarpun ia agak merasa heran dan ngeri melihat Tok-sim Sian-li, namun ia tidak membenci wanita ini. Wanita ini memperlihatkan kasih sayang kepadanya, bicaranya juga lemah lembut, tentu saja ia tidak membencinya. Akan tetapi ia masih ragu-ragu kalau hendak dijadikan muridnya. Seorang wanita begini lemah lembut gerak-geriknya mau menjadi gurunya? Apa sih kemampuannya?

Sedangkan Wi Liong yang sudah lebih banyak penglamannya segera tahu bahwa ia terjatuh ke dalam tangan tokoh-tokoh jahat sekali, maka ia diam saja dan keningnya berkerut, hatinya gelisah kalau ia mengingat pamannya.

Setelah memebebaskan totokan Wi Liong, Bu-ceng Tok-ong bertanya kepada bocah yang hendak dijadikan muridnya itu, "Siapa namamu?"

"Thio Wi Liong." jawab bocah itu singkat.

"Nama bagus! Wi Liong, mulai sekarang kau menjadi muridku, kau harus rajin berlatih agar kelak dapat mengalahkan dia!" Kakek itu menuding ke arah Kun Hong yang menjebikan bibirnya kepada Wi Liong.

Wi Liong menggeleng kepala keras-keras, "Aku tidak mau!"

"Eh, eh. tidak mau bagaimana?"

"Aku tidak mau menjadi muridmu lebih baik lekas kalian mengembalikan aku dan Kun Hong itu ke Kun-Lun-san lagi, kalau tidak tentu para locianpwe yang berada di puncak Kun-lun-san akan mencari dan membunuh kalian." Bersama pamannya, Wi Liong sudah sering kali menghadapi penjahat dan ia tahu pula bahwa di puncak Kun-lun-san terdapat banyak orang sakti, maka ia menggunakan kesempatan ini untuk menakut-nakuti Bu-ceng Tok-ong.

Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak. "Sian-li kau lihat beraninya muridku ini!" memang orang-orang Mo-kauw mengagumi keberanian maka si raja racun itu girang sekali melihat sikap Wi Liong yang tanpa takut-takut malah mengancamnya!”Wi Liong, siapakah locianpwee yang kau andalkan itu dan apa sebabnya kau yakin mereka akan menolongmu?"

Wi Liong berpikir. Kalau orang seperti ini tidak diancam, ia tidak tahu bagaimana ia akan dapat meloloskan diri. "Dengarlah, aku adalah calon murid dari Bhok Lo Cinjin ketua Siauw-lim-pai. Kau berani menculikku, bukankah itu berarti kau telah mengganggu harimau tidur? Calon suhuku itu pasti akan mengejarmu dan akan menghajarmu sampai kau berkeok-kaok minta ampun!”

Kembali Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak keras sekali, "Ha-ha-ha, Wi Liong, omongan apa ini? Jangankan baru seorang Bhok Lo Cinjin, biar dia pianhoa (merobah diri) menjadi tiga, dia takkan menangkan aku!"

"Siapa bisa percaya omonganmu sebelum melihat buktinya?" Wi Liong memang cerdik dan bocah ini sengaja melepas api membikin panas hati orang. Usahanya berhasil baik, Bu-ceng Tok-ong menjadi panas perutnya. Tidak ada hal yang lebih tidak enak dari pada seorang calon guru tidak dipercaya tentang kepandaiannya oleh calon murid.

"Baik, kalau kau mau hendak minta bukti, kau lihat saja nanti. Aku akan menghadang perjalanan pulang Bhok Lo Cinjin!" kata Bu-ceng Tok-ong dengan perut panas. Mendengar percakapan antara Wi Liong dan Bu-ceng Tok-ong, Kun Hong juga segera berkata kepada Tok-sim Sian-li.

"Aku juga tidak mau menjadi murimu, bibi!"

Tok-sim sian-li merasa geli mendengar disebut bibi. Ia mencubit pipi Kun Hong dan bertanya, "Bocah bagus, apa sebabnya kau tidak mau menjadi muridku?"

"Bibi seorang wanita halus dan cantik, mana bisa mengajar silat? Aku lebih senang menjadi murid Kun-lun-san atau lebih suka lagi kalau bisa menjadi muid suhu cebol yang berpakaian pengemis, yang datang di kun-lun-san tadi!"

Mendengar disebutnya suhu cebol berpakaian pengemis, berubah wajah Tok-sim Sian-li. Ia bertukar pandang dengan Bu-ceng Tok-ong, lalu berkata, "Kau maksudkan Pak-thian Koaijin si pengemis kelaparan itu?"

"Betul, namanya Pak-thian Koai-jin, aku mendengar ayah menyebutnya begitu. Akan tetapi ia tidak kelaparan, ia baik, ia lucu dan kepandaiannya setinggi langit. Aku suka menjadi muridnya."

Tanpa disengaja, Kun Hong juga memanaskan perut Tok-sim Sian-li, yang menjadi marah sekali sungguhpun senyumnya makin menarik dan matanya makin bersinar-sinar.

"Murid Tok-ong menghendaki bukti, apa salahnya kalau akupun membuktikan kepandaianku kepadamu, Kun Hong? Kau lihat saja nanti betapa aku yang kauanggap halus dan cantik ini mengalahkan Pak-thian Koai-jin dengan mudah.

Kun Hong tidak percaya dan ia memandang kepada wanita itu dengan matanya yang jeli dan bagus. Tok-sim Sian-li menjadi girang sekali dan memeluk muridnya ini.

"Bocah bagus, kau menyenangkan hati sekali!" memang hati Toj-sim Sian-li bangga dan girang mendengar kata-kata muridnya yang tadi menyebutnya "halus dan cantiknya"

"Ha-ha-ha-ha! Benar tidak mudah menjadi guru tunas-tunas berbakat!" kata Bu-ceng Tok-ong. "Belum apa-apa sudah diuji kepandaian kita oleh calon murid kita. Mana di dunia ini ada guru diuji murid? Benar-benar kita ini guru-guru gila dan ******. Sian-li, kita berpisah jalan, aku harus mencegah lolosnya Bhok Lo Cinjin!" Setelah berkata demikian, Bu-ceng Tok-ong cepat mengempit tubuh Wi Liong dan di lain saat ia telah berkelebat pergi.

Melihat kegesitan gerakan Bu-ceng Tok-ong ini, Kun Hong memandang bengong. "Waah, guru si Wi Liong itu hebat bukan main....." katanya khawatir.

"Hemm, apanya yang hebat? Kau lihat gerakanku." Tok-sim Sian-li memeluk tubuh Kun Hong dan di lain saat anak itu berteriak-teriak kagum dan ngeri karena ia merasa dibawa "terbang" oleh wanita itu.

Kalau melihat tubuhnya yang gemuk sekali seperti arca Jilaihud sedang duduk buka baju, akan tetapi dapat berjalan bukan main cepatnya dan ringannya, menyusup di antara pohon dan semak bagaikan seekor harimau, melompati jurang-jurang seringan kijang, benar-benar amat mengherankan. Inilah Bhok Lo Cinjin, hwesio tua bertubuh gemuk yang selalu tersenyum-senyum. Akan tetapi kalau tahu bahwa hwesio yang gemuk ini adalah ketua Siauw-lim-pai, orang takkan merasa heran lagi akan kepandaiannya dalam ilmu ginkang ini.

Bhok Lo Cinjin turun dari puncak Kun-lun-san. hatinya kecewa dan penasaran sekali oleh pebuatan Bu-ceng Tok-ong yang telah menculik seorang bocah yang dicalonkan menjadi murid Siauw-lim-pai. Perbuatan seperti itu hanya boleh diartikan bahwa Bu-ceng Tok-ong sengaja hendak menantang fihak Sauw-lim-pai! Bhok Lo Cinjin marah bukan main. Sebagai seorang hwesio tentu saja Bhok Lo Cinjin memiliki kesabaran besar akan tetapi sebagai orang Siauw-lim-pai, ia memiliki kekerasan hati dalam hal mempertahankan nama besar partai persilatannya. Apalagi dia adalah ketua dari Siauw-lim-pai, sekarang Bu-ceng Tok-ong melakukan penghinaan dilereng Kun-lun-san selagi dia berada di puncak mengadakan pertemuan dengan orang-orang gagah. Hal ini sama saja artinya dengan menghina di depan hidungnya!

"Hemm, Bu-ceng Tok-ong memperlihatkan kekurang-ajarannya, berarti fihak Mo-kauw sengaja hendak melakukan perang terbuka." Hwesio itu menggerutu sambil melangkah lebar untuk segera kembali ke Siauw-lim-si dan mempersiapkan saudara-saudara seperguruan dan anak-anak muridnya untuk mencari jejak Bu-ceng Tok-ong dan merampas kembali Thio Wi Liong yang diculik Raja Racun itu.
Tiba-tiba ia menahan langkahnya, berdiri tegak, seluruh urat syarafnya tegang karena ia mendengar sesuatu yang mencurigakan.

"Siiuuuutt!" Sinar kehijauan menyambar ke arah lima jalan darah terpenting di tubuhnya. Sinar ini adalah jarum-jarum halus yang menyambar demikian cepat hampir tak mengeluarkan suara, hanya dapat terdengar oleh telinga yang sudah terlatih baik saja.

"Omitohud, siapa orangnya begini keji?" Dengan kebutan lengan baju sebelah kiri, ketua Siauw-lim-pai ini berhasil menyampok semua jarum halus. Akan tetapi alangkah kagetnya melihat jarum-jarum yang tersampok itu tidak runtuh ke bawah, melainkan terpental dan melayang kembali ke arah semula, seakan-akan hidup dan dapat terbang kembali kepada tuannya! Tahulah dia bahwa penyerangnya bukan sembarang orang, melainkan seorang yang berilmu tinggi. Ketika ia melirik ke arah lengan bahunya yang putih bersih, ia melihat lima titik hitam seperti hangus terbakar api.

"Omitohud, kiranya Bu-ceng Tok-ong yang melakukan penyerangan gelap! Benar memalukan, benar tak tahu aturan!" hwesio itu berkata lagi.
 
Dari balik semak-semak terdengar suara ketawa ngakak seperti ular raksasa, kemudian berkelebat bayangan dan Bu-ceng Tok-ong muncul di depan hwesio ketua Siauw-lim-pai.

"Muridku, kaubuka matamu baik-baik dan lihat bahwa gurumu lebih gagah dari pada babi gemuk ini. Hak-hak-hak-hak!" kata Bu-ceng Tok-ong kepada seorang anak laki-laki yang tadi ia gandeng dan sekarang anak yang bukan lain Thio Wi Liong itu berdiri tegak memandang kepada Bhok lo cinjin dengan matanya terbelalak bersinar-sinar. Wi Liong biarpun kecil memiliki perasaan yang tajam dan dalam perantauannya dengan pamannya, ia sudah mendapat pengetahuan untuk membedakan antara orang baik dan orang jahat. Begitu melihat Bhok Lo Cinjin, sekilas pandang saja tahulah Wi Liong bahwa ia berhadapan dengan seorang yang boleh ia percaya, seorang yang oleh pamannya pasti akan dihormati. Apa lagi karena menurut Tok-ong, orang ini adalah ketua Siauw-lim-pai yang akan dijadikan gurunya. Serta merta ia menjatuhkan diri berlutut sambil berkata.

"Losuhu, tolonglah teecu dari orang jahat ini...."

Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak. "Nyalimu memang besar. Kau tunggu dulu di sana!" Kakinya bergerak menendang dan Wi Liong merasa tubuhnya melayang dan tahu-tahu ia telah terlempar ke atas pohon yang lebat daunnya. Saking takutnya ia meraih sekenanya dan berhasil memegang ranting pohon, memeluknya erat-erat dan duduk di atas cabang. Ketika ia menengok ke bawah, ternyata ia telah berada di puncak pohon yang amat tinggi! Ia melihat Raja Racun itu masih tertawa-tawa di bawah menghadapi hwesio tua yang gendut itu.

"Bu-ceng Tok-ong," hwesio itu berkata dengan suaranya yang halus namun nyaring berpengaruh. "Sungguh pun Siauw-lim-si dan Mo-kauw mempunyai jalan hidup yang arahnya berlawanan, akan tetapi selama ini hanya bersimpang jalan tidak sling bentrok. Siauw-lim-pai selalu mengambil jalan kanan dan Mo-kauw jalan kiri. Apa maksudmu sekarang kau berani menghina pinceng?”

Bu-ceng Tok-ong tertawa terkekeh-kekeh sebelum menjawab. "Babi gundul, bagaimana kau bisa bilang bahwa aku menghinamu?"

Muka Bhok Lo Cinjin menjadi merah. Sebagai seorang ketua partai persilatan besar, belum pernah ada orang memakinya seperti yang dilakukan oleh Raja Racun ini. Jangankan orang-orang biasa, kaisar di selatan dan utara dahulu pun belum tentu berani memaki-makinya seperti ini.

"Bu-ceng Tok-ong, kata-katamu begitu kotor kau masih belum mengaku menghina pinceng?" bentaknya marah.

Kembali Raja Racun itu tertawa bergelak, memang dia seorang yang tidak perduli tentang segala macam aturan, berlaku kurang ajar atau tidak menurut enaknya perutnya sendiri. Oleh karena itulah maka ia disebut Bu-ceng yang berarti Tidak Ada Aturan!

"Ha-ha-ha, kau memang babi gemuk mengapa tidak mau disebut babi gemuk? Lihat saja perutmu, bukankah seperti perut babi yang terlalu banyak makan dan tidur? Kerjamu hanya tidur dan bersamadhi di samping makan sayur-sayuran, apa bedanya dengan babi?"

"Tok-ong, pinceng tidak sudi bicara tentang hal yang bukan-bukan. Kau sudah berani mendatangi Kun-lun-san dan membikin kacau di sana, kemudian kau menculik calon murid Siauw-lim-pai, ini berarti kau menghina pinceng, menghina Siauw-lim-pai. Sekarang kau datang-datang selain memaki-maki dengan mulutmu yang kotor, kau pun menyerang secara menggelap. Apa maksudmu sebenarnya?" betapapun juga ketua Siauw-lim-pai ini menahan diri, memang sebagai seorang ciangbujin (ketua) partai besar ia jarang sekali menurunkan tangan mempergunakan kepandaian.

"Bhok Lo Cinjin, bukankah kau seorang hwesio?”

"Betul, habis ada apakah?”

"Bukankah kau diajar berlaku welas asih, diajar berlaku mengalah dan berlaku sabar?”

"Betul, habis mengapa?”

"Nah, kalau begitu sebagai hwesio kau harus mengalah dan berlaku baik. Mengapa kau tidak mau mengalah saja kepadaku dan memberikan murid ini secara baik-baik, kemudian berterima kasih karena aku berkenan memberi pendidikan kepada bocah itu? Sekarang aku datang hendak menguji sampai di mana kepandaian ketua Siauw-lim-pai, selain untuk memuaskan hatiku juga untuk memberi hajaran kepada kau yang sudah bersikap sombong dan berani kepada Tok-ong! Kecuali kalau kau mau berlutut, bilang bahwa dengan rela hati kau memberikan Thio Wi Liong kepadaku dan selanjutnya berjanji takkan kurang ajar terhadap aku golongan yang lebih tinggi tingkatnya, mana aku sudi membei ampun?”

Sudah terang ucapan-ucapan yang keluar dari mulut Bu-ceng Tok-ong sama sekali diputar balikkan dan amat bocengli (kurang ajar). Sesabar-sabarnya hati hwesio tua Siauw-lim-pai, Bhok Lo Cinjin tetap hanya seorang manusia biasa. Mana ia dapat bertahan mendengar ucapan yang benar-benar tidak karuan dan amat sombong tidak tahu aturan ini?

"Bu-ceng Tok-ong siluman sombong. kaukira pinceng jerih terhadapmu? Kau hendak mengadu ilmu, boleh kau maju dan keluarkan semua ilmumul Siapa sih yang takut?"

Akan tetapi belum habis hwesio ini bicara, tanpa memberi peringatan lagi Bu-ceng Tok-ong sudah menyerang dengan pukulan dahsyat. Benar-benar seorang tokoh yang tidak tahu aturan. Jangankan tokoh yang sudah demikian tinggi tingkatnya, yang lebih rendah tingkat kepandaiannya sekalipun selalu memberi tahu sebelum melakukan serangan pertama, tidak sudi melakukan serangan secara tiba-tiba dan menggelap seperti yang dilakukan oleh Raja Racun ini!

Bhok Lo Cinjin yang maklum akan kelihaian lawannya, tidak berlaku lengah. memang sejak tadi ia sudah dapat menduga macam apa adanya Raja Racun ini maka selalu bersap waspada. Melihat datangnya pukulan yang amat dahsyat, dan mengandung hawa panas ini, ia cepat melompat ke samping sambil mengebutkan lengan bajunya. Pukulan meleset, membuat pohon di belakang hwesio itu yang terkena hawa pukulan bergoyang goyang dan daun-daunnya rontok seperti tertiup angin besar! Dari sini saja dapat dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya serangan dari Bu-ceng Tok-ong.

Akan tetapi Bhok Lo Cinjin adalah tokoh besar Siauw-lim-pai. Biarpun dia bukan termasuk orang terpandai di Siauw-lim-si, masih ada susiok dan supeknya, tokoh-tokoh tua yang ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dari padanya, namun kalau dia sampai dipilih menjadi ketua, tentu dia telah memiliki kepandaian tinggi di samping sifat-sifat baik untuk menjadi pemimpin partai persilatan besar itu.

Pertempuran hebat segera terjadi. Seperti biasa kalau tokoh-tokoh besar bertempur, gerakan mereka lambat-lambat saja namun di sekeliling mereka, semak-semak belukar bergoyang-goyang pohon-pohon rontok daunnya seperti ada angin besar mengamuk!

Setelah lewat empat puluh jurus, rasa penasaran dalam hati Bhok Lo Cinjin tak tertahankan lagi. Biasanya, seorang ketua partai besar jarang turun tangan dan sekali turun tangan dalam sepuluh jurus harus sudah merobohkan lawan. Sekarang selama empat puluh jurus, jangankan merobohkan, bahkan mendesak saja tidak bisa, malah-malah dia yang terdesak oleh ilmu silat yang amat kacau balau dan aneh dari lawannya. Sebetulnya dalam hal ilmu silat kiranya Bhok Lo Cinjin tidak akan kalah oleh lawannya, karena ilmu silat Siauw-lim-pai adalah ilmu silat tinggi yang jarang tandingannya.

Akan tetapi yang membuat Bu-ceng Tok-ong merupakan lawan lawan yang amat berat adalah kedua tangannya yang berbisa atau pukulan-pukulan yang mengandung hawa maut karena pukulan-pukulan ini bukan pukulan biasa melainkan pukulan dengan hawa beracun. Di samping ini juga Bu-ceng Tok-ong amat curang, memiliki banyak senjata rahasia berbisa yang bisa dilepas secara tiba-tiba dan tidak terduga-duga. Tentu saja semua ini takkan ada artinya kalau ilmu silatnay tidak tinggi. Ia memiliki banyak macam ilmu silat yang ia gabung menjadi ilmu silat aneh dan jahat karena memang golongan dia ini rata-rata memiliki ilmu silat yang selalu mempergunakan kecurangan tanpa memperdulikan tata susila persilatan. Beberapa kali Bu-ceng Tok-ong mempergunakan akal yang amat curang.

"Hwesio, tahan dulu!" serunya dalam sebuah pergulatan seru di mana ia agak terdesak. Sebagai seorang gagah yang mematuhi peraturan bertempur mengadu kepandaian, tentu saja Bhok Lo Cinjin menahan gerakan-gerakannya dan pada saat itu tanpa malu-malu lagi Bu-ceng Tok-ong mengerahkan tenaga dan menyerangnya dengan dahsyat! Serangan ini berbahaya sekali dan hanya berkat kewaspadaannya saja Bhok Lo Cinjin masih mampu menghindarkan diri sungguh pun pundak kirinya terlanggar hawa pukulan dan terasa amat panas.

Bu-ceng Tok-ong hanya tertawa-tawa puas melihat akalnya berhasil, dan hwesio itu tidak mau menegur karena maklum bahwa orang macam lawannya itu tidak punya malu lagi. Ia hanya berlaku hati-hati sekali dan membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya. Untuk melindungi diri dari serangan gelap, ia mainkan Ilmu Silat Lo-han-bian-kun, semacam ilmu silat yang mempergunakan lweekang lemas namun amat tangguh.

Tiba-tiba Bu-ceng Tok-ong menghentikan gerakan-gerakannya dan berseru sambil menengok ke arah Wi Liong. "Hee, hati-hati kau jangan sampai jatuh.....!"

Bhok Lo Cinjin adalah seorang yang gagah sejati. Melihat lawannya berhenti dan menengok ke arah bocah itu menyuruhnya hati-hati, tentu saja ia tidak sudi mempergunakan kesempatan ini untuk menyerang selagi lawan tidak bersiap siaga. Otomatis iapun menghentikan serangannya dan menengok kuga ke atas pohon karena khawatir kalau bocah yang ditendang tadi benr-benar jatuh.

Saat inilah yang dipergunakan oleh Raja Racun yang curang itu untuk menyerang lawannya. Tanpa mengeluarkan suara apa-apa tiba-tiba saja ia menubruk, menyerang Bhok Lo Cinjin dengan pukulan bertubi-tubi dari kedua tangannya yang sudah berubah hitam, tanda bahwa ia melakukan pukulan berbisa yang mengandung hawa maut.

Bhok Lo Cinjin agak kaget. Biarpun ia dapat mengelak dan menangkis dengan kebutan lengan bajunya, namun kedudukannya menjadi terdesak dan posisi tubuhnya tidak menguntungkan. Dalam saat seperti ini menyambar jarum-jarum hitam dari bawah lengan Bu-ceng Tok-ong, senjata-senjata rahasia yang dilepas dengan diam-diam mempergunakan semacam alat yang dipasang di bawah lengan!

Kali ini Bhok Lo Cinjin benar-benar terkejut sekali. Ia mengeluarkan seruan keras dan tahu-tahu tubuhnya yang bundar gemuk itu mencelat ke atas seperti bola ditendang. Benar-benar hebat gerakannya dalam pengelakan ini sampai Bu-ceng Tok-ong berseru memuji, "Bagus sekali!"

Akan tetapi Raja Racun ini sudah menyusul lawan dengan pukulan-pukulan dan menghujankan jarum berbisanya. Dalam keadaan berjungkir balik di udara ini Bhok Lo cinjin masih berusaha menangkis semua pukulan dan serangan namun sebatang jarum hitam tak dapat dicegah lagi mengenai betisnya. Bhok Lo Cinjin menggigit bibir dan begitu ia turun ke atas tanah lagi, ia merasa kakinya tak dapat digerakkan. Namun ia tetap tidak mau menyerah dan berdiri tegak menanti datangnya lawan. Bu-ceng Tok-ong menyerang maju dengan kedua tangan mendorong ke arah dada. Bhok Lo Cinjin yang sebagai seorang gagah perkasa pantang mundur sebelum mati, menyambut dengan kedua tangannya pula sambil mengerahkan lweekangnya. Dua pasang tangan bertemu, bertumbuk keras dan akibatnya, Bu-ceng Tok-ong mencelat mundur sedangkan hwesio Siauw-lim-pai itu terjengkang roboh!

Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak melihat lawannya sudah tak berdaya lagi. Tadinya ia tidak tahu bahwa lawannya sudah terluka. Baru sekarang ia melihat betapa kaki kiri lawannya membengkak, tanda bahwa jarumnya mendapat korban.

Bhok Lo Cinjin memang tak dapat bangun lagi karena kaki kirinya tidak dapat digerakkan lagi, akan tetapi ia rebah tak bergerak sambil memandang kepada lawannya dengan mata melotot.

"Babi gemuk, bersiaplah kau untuk mampus. Ha-ha-ha!" Bu-ceng Tok-ong ketawa girang. "Aku masih memberi kesempatan kepadamu, lekas kau menyatakan takluk dan kalah, baru aku akan mengampunimu."

"Mau bunuh lekas bunuh, kau menang karena curang. Siapa takut mati?” bentak Bhok Lo Cinjin.

Kembali Raja Racun itu tertawa bergelak. "Heei, Wi Liong, buka lebar-lebar matamu dan lihatlah. Bukankah ini Bhok Lo Cinjin ketua Siauw-lim-pai sudah menggeletak tak berdaya di depan kakiku? Ha-ha-ha!"
Tentu saja Wi Liong tadi tak dapat mengikuti jalannya pertempuran dan ia sebetulnya tidak tahu bahwa Bhok Lo Cinjin dikalahkan dengan cara yang curang. Akan tetapi dengan lantang ia berkata,
"Tak tahu malu! Kau menang karena curang!”

"Bocah keparat, kau lebih percaya kepada omongan babi gemuk ini? Ha, kau lihat dia mampus!" Bu-ceng Tok-ong melangkah maju dan hendak memberikan pukulan terakhir untuk menewaskan Bhok lo Cinjin. Hwesio itu memandang dengan mata tak berkedip, sama sekali tidak takut.

"Bunuhlah jangan banyak cerewet!” serunya tenang.

"Jangan bunuh dia.....!" tiba-tiba Wi Liong menjerit. Ia merasa bersalah dan bertanggung jawab kalau hwesio tua itu tewas. Bukankah tadi dia sengaja memanaskan hati Bu-ceng Tok-ong untuk mencegat hwesio tua ini dan sekarang kalau hwesio ini tewas, sama saja dengan dia yang menyuruhnya? Tadinya ia mengharapkan bahwa ketua Siauw-lim-pai yang dipuji-puji oleh pamannya itu akan dapat mengalahkan iblis ini, tidak tahunya sekarang nyawa ketua Siauw-lim-pai itu malah terancam. Tanpa pikir panjang lagi ia lalu.... melompat dari puncak pohon itu ke bawah! Karena ia belum memiliki kepandaian tinggi, tentu saja tubuhnya lalu bergulingan dan ia tentu akan jatuh dengan tubuh remuk dan nyawa melayang kalau saja Bu-ceng Tok-ong tidak cepat menyambarnya.

"Ha-ha-ha, kau benar-benar bocah berani, patut menjadi muridku. Kau tidak ingin aku membunuh babi gemuk ini?"

"Jangan bunuh dia. Dia sudah kalah, mengapa dibunuh lagi? Aku sudah percaya sekarang bahwa dia kalah olehmu."

"Ha-ha, jadi kau sudah percaya akan kelihaianku? Bagus, suruh dia minta ampun dan berlutut, nanti kuampuni dia."

Wi Liong menghampiri hwesio itu dan berkata dengan suara sedih. "Losuhu, aku yang membuat losuhu sampai menderita begini. Harap losuhu mengalah, minta ampun agar tidak dibunuh. "

Bhok Lo Cinjin membelalakkan mata dengan marah. "Bocah setan! Siapa sudi minta ampun? Orang mau bunuh boleh bunuh, orang gagah tidak takut mati!"

Wi Liong kaget sekali sampai melompat mundur. Bu-ceng Tok-ong tertawa mengejek. "Dia ingin mampus, mengapa kau sayang nyawa babi?" tergurnya kepada Wi Liong.

Bocah itu berdiri bingung. Matanya yang lebar menatap ke arah hwesio itu dan ia menjadi kasihan sekali. Bagaimana pun juga, ia harus lebih dulu berusaha menolong nyawa hwesio tua itu agar jangan dibunuh oleh siluman ini, baru kemudian ia mencari jalan untuk menolong diri sendiri. Berpikir demikian, tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut di depan Bu-ceng Tok-ong sambil berkata.
"Biarlah aku yang mewakili hwesio itu, aku mintakan ampun untuk nyawanya."

"Bocah keparat! Setan.....! Pinceng tidak sudi dimintakan ampun! Heee, Bu-ceng Tok-ong, lekas kau bunuh pinceng, jangan dengarkan ocehan bocah gila itu!"

Bagi seorang gagah, nama dan kehormatan jauh lebih berharga dari pada nyawa. Bhok Lo Cinjin adalah seorang ciangbujin partai besar, setelah dia dikalahkan lawan, mana ia sudi minta ampun atau dimintakan ampun orang lain? Jauh lebih baik ia dibunuh dari pada dijadikan buah tertawaan di dunia kang-ouw!

Bu-ceng Tok-ong mengerti akan hal ini. Perangainya yang aneh dan jahat membuat ia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, seorang ketua Siauw-lim-si minta-minta ampun, malah menyuruh anak kecil mintakan ampun untuk nyawanya. Ha-ha-ha, alangkah lucunya hal ini kalau terdengar oleh orang-orang di seluruh dunia. Baiklah Wi Liong, aku mau ampunkan babi gemuk itu karena kau yang mintakan ampun....."
"Iblis bermulut jahat! Kaubunuh aku, siapa takut mampus?" Bhok Lo Cinjin menjadi kasar karena marahnya. Akan tetapi Bu-ceng Tok-ong sudah menarik lengan Wi Liong dan berlari pergi dari tempat itu, membiarkan Bhok Lo Cinjin memaki-maki tidak karuan.

Bu-ceng Tok-ong membawa Wi Liong kembali ke tempat di mana ia berpisah dengan Tok-sim Sian-li tadi untuk melihat apakah kawannya itu juga berhasil, mengalahkan Pak-thian Koai-jin. Kalau Tok-sim Sian-li tidak berhasil, ia mempunyai kesempatan untuk mengejek dan menyombongkan kemenangannya. Aka tetapi ia tidak melihat Tok-sim Sian-li dan terpaksa ia mengajak Wi Liong menunggu.

Mari kita ikuti Tok-sim Sian-li yang membawa Kun Hong untuk mencegat Pak-thian Koai-jin. Iblis wanita ini ingin sekali memamerkan kepandaiannya kepada Kun Hong, muridnya yang tidak pecaya bahwa ia mampu mengalahkan tokoh utara itu!

Pak-thian Koai-jin adalah suheng dari Hu Lek Siansu ketua Go-bi pai, maka dapat dibayangkan bahwa ilmu kepandaiannya tinggi sekali. Kalau melihat orangnya sih tidak seberapa, berpakaian pengemis bertubuh kecil pendek. Apalagi kalau sudah melihat dia berjalan terbungkuk-bungkuk seperti orang telah kehabisan tenaga atau kalau melihat betapa ia berjalan dengan tongkat di tangan kiri dan mangkok butut di tangan kanan, persis seperti orang kelaparan, tentu setiap bocah pun akan memandang rendah kepadanya. Akan tetapi orang akan kecele kalau mengira dia ini seorang pengemis lemah. Pak-thian Koai-jin atau Manusia Aneh dari Utara ini adalah seorang yang gembira dan nakal, kenakalan luar biasa yang membuat banyak tokoh penjahat menjadi gentar dan ngeri, kenakalan yang disertai kepandaian tinggi sekali.

Orang akan melengak kaget dan tak percaya kalau mendengar betapa seorang diri, hanya dikawani tongkat butut dan mangkok retaknya, pengemis tua ini pernah membikin kocar-kacir seregu tentara Mongol terdiri dari enam puluh orang yang sedang merusak-binasakan sebuah dusun di mana kebetulan pengemis ini sedang mengaso. Lebih dari setengah jumlah tentara Mongol ini tewas oleh tongkatnya dan komandannya, seorang perwira Mongol yang terkenal gagah perkasa, mendapat benjol-benjol kepala oleh mangkok retak, dan tentu akan tewas kalau tidak lekas-lekas minggat mengaburkan kudanya!

Setelah turun dari puncak Kun-lun-san, Pak-thian Koai-jin berjalan perlahan. Tidak seperti yang lain, dia tidak tergesa-gesa. Untuk apa tergesa-gesa, pikirnya, lebih baik menikmati tamasya alam yang indah terbentang luas di depan kakinya. Selagi ia enak berjalan kaki menuruni tebing dan lereng, tiba-tiba ia melihat seorang wanita telah berdiri di depannya, menghadang dengan sikap galak, pedang bersinar hijau di tangan melintang dada, kaki terpentang sikap menantang. Di belakang wanita yang tebal bedaknya sampai mukanya seperti tembok baru dikapur ini terlihat seorang bocah yang dikenalnya sebagai anak yang pernah ia lihat dan goda di dekat puncak, bocah yang ternyata adalah anak Kam Ceng Swi. murid Kun-lun-pai. Memang ia suka kepada bocah ini dan ingin mengambil sebagai muridnya, bagaimana sekarang berada di sini bersama wanita ini? Berpikir sampai di sini diam-diam Pak thian Koai-jin kaget sekali. jadi inikah wanita siluman Mo-kauw yang disebut Tok-sim Sian-li Si Dewi Berhati Racun?

Melihat betapa tokoh yang terkenal kejam itu hanya seorang wanita yang belum begitu tua dan pesolek, cantik dan memiliki mata yang mengandung sifat cabul. Pak thian Koai-jin tidak berani memandang rendah. Akan tetapi dasar ia seorang yang berwatak nakal, suka sekali menggoda orang, maka ia segera tersenyum lebar, jalan terseok-seok menghampiri sambil menyodorkan mangkok bututnya kepada wanita itu.

"Toanio yang baik, kasihanilah seorang pengemis tua kelaparan. Kalau kau memberi hadiah, usiamu akan panjang rejekimu banyak dan kau akan menjadi makin cantik.....”

Tok-sim Sian-li tersenyum manis sekali lalu berpaling kepada Kun Hong. "Inikah orang yang kau maksudkan itu?”

Kun Hong mengangguk terheran-heran melihat siap kakek pengemis demikian merendah padahal ia masih ingat betul betapa kakek ini telah memperlihatkan kepandaian yang luar biasa.
Tok-sim Sian-li menghadapi pengemis itu, mengeluarkan sebuah uang emas dari saku bajunya sambil berkata.

"Pak-thian Koai-jin, aku sering mendengar orang bilang bahwa burung yang mau mati amat merdu suranya. Suaramu tadi juga merdu sampai-sampai tergerak hatiku memberi sedekah. Terimalah ini, sedikit hadiahku" Wanita itu melemparkan uang emas ke arah mangkok di tangan kanan Pak-thian Koai-jin.

Tokoh utara ini maklum bahwa orang sedang menguji tenaganya, cepat ia mengerahkan tenaga ke arah mangkok untuk menerima sambitan itu. Ia merasa betapa mangkoknya dihajar hebat dan tentu akan remuk kalau saja ia tidak cepat-cepat membuat gerakan memutar dan mengerahkan tenaga "menyedot" sehingga tenaga pukulan uang emas itu buyar. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa uang emas itu tiba-tiba saja melejit dan terbang kembali ke tangan Tok-sim Sian-li yang tersenyum memandangnya.

"Ha, ternyata uangku tidak mau berada di mangkokmu tanda bahwa kau sedang sial. Agaknya kata-katamu yang baik dan merdu tadi menyerupai nyanyian burung yang menghadapi maut.....”

Pak thian Koai-jin maklum bahwa wanita itu benar-benar memiliki tenaga lweekang yang luar biasa, akan tetapi ia tidak menjadi gentar dan menjawab sambil tertawa. "Aku pun pernah mendengar orang bilang bahwa di dunia ini yang paling aneh adalah hati wanita. Kalau baik tidak seperti hati wanita yang mengandung penuh madu, sebaliknya kalau busuk juga tidak seperti hati wanita yang mengandung racun berbahaya. Juga, hanya wanita saja yang pandai tersenyum manis bermuka ayu akan tetapi hatinya mengandung maksud buruk, seperti seorang dewi berhati racun. Entah betul tidak kiranya toanio sebagai seorang wanita lebih mengerti." Dalam kata-kata ini tentu saja merupakan sindiran karena berkali kali pengemis aneh itu meyebut hati beracun dan muka dewi yang menjadi julukan wanita ini yaitu Tok-sim Sian-li (Dewi Berhati Racun) merah padam!

Merasa kewalahan kalau harus berdebat dengan kakek pengemis yang selalu tertawa-tawa ini, Tok-sim sian-li berkata ketus. "Sudah tahu nonamu ini Tok-sim Sian-li, kau masih berani menjual lagak?"

"He-he, adakah tadi aku menawarkan lagak? Eh, Dewi Hati Beracun, apakah kau ingin membeli lagak?" kakek itu menggoda.

"Pengemis bau! Hanya karena muridku ingin melihat betapa aku mengalahkanmu, aku sengaja datang di sini mencarimu. Akan tetapi sekarang melihat mukamu, aku belum puas kalau belum membunuhmu! Kau manusia bosan hidup!" Tanpa memberi kesempatan kepada lawannya, Tok-sim Sian-li menggerakkan pedangnya dan sinar hijau yang panjang dan berhawa dingin menyambar ke arah leher pengemis itu.

"Hayaaa..... benar dewi yang hatinya beracun, busuk dan galak!" seru Pak thian Koai-jin sambil cepat mengelak dengan lompatan jauh ke samping karena maklum akan keganasan serangan itu. "Sudah menculik calon muidku, datang-datang masih menghendaki kepalaku lagi. Apa boleh buat, terpaksa melawan!"

Karena ia maklum bahwa wanita ini tak boleh dipandang ringan dan tak boleh dibuat main-main, Pak-thian Koai-jin lalu memutar tongkatnya dan membalas serangan lawan. Sebentar saja pertempuran berjalan sengit dan seru sekali. Gerakan Tok-sim Sian-li amatcepat dan gesit, terpaksa Pak-thian Koai-jin mengimbanginya sehingga mata Kun Hong menjadi silau, tak dapat ia membedakan mana Tok-sim Sian-li mana Pak-thian Koai-jin!

Selama bertanding, Pak-thian Koai-jin tak pernah diam. terdenar ia berderu berkali-kali. "Aduh lihai amat!” atau "Ganas.... ganas....!”

Memang ilmu pedang yang dimainkan oleh Tok-sim Sian-li adalah ilmu pedang yang amat ganas dan berbahaya. Tidak seperti kawannya Bu-ceng Tok-ong yang betul-betul merupakan Raja Racun yang selalu bermain-main dengan segala macam racun, Tok-sim Sian-li hanya mempergunaan racun hijau pada ujung pedangnya dan tangan kirinya memiliki semacam pukulan mengandung hawa beracun yang disebut Toat-sim-ciang (Pukulan Mencabut Hati). Dengan pukulan tangan kiri ini, lawan yang kurang tangguh akan terserang jantungnya dan tewas seketika tanpa dapat bersambat lagi! Selain ini, Tok-sim Sian-li juga memiliki semacam kepandaian aneh.
 
Ilmu ini boleh digolongkan dengan Ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa), yaitu semacam ilmu yang menggunakan suara untuk merobohkan lawan, suara yang mengandung tenaga khikang dan lweekang menjadi amat berpengaruh. Cuma bedanya, kalau Sai-cu ho-kang dilakukan dengan menggereng keras menggetarkan jantung lawan dan melumpuhkan urat syaraf, adalah ilmu yang dimiliki oleh Tok-sim Sian-li ini dilakukan dengan mengeluarkan suara.... nyanyian! Ilmu ini selain merupakan sari khikang dan lweekang juga sudah termasuk golongan ilmu sihir untuk merampas dan menguasai semangat dan kemauan lawan.

Ilmu tongkat dari Pak-thian Koai-jin hebat bukan main. Ini tidak aneh karena Ilmu pedang Gobi KiamHoat dari Go bi pai sari atau dasarnya juga dari ilmu tongkat yang sekarang dimainkan oleh Pak-thian Koai-jin. Menghadapi ilmu tongkat selihai ini diam-diam Tok-sim Sian-li menjadi sibuk dan jengkel sekali. Pedangnya yang terkenal ganas seakan-akan bertemu dengan dinding yang tak tertembuskan, bahkan kadang-kadang ia menjadi kaget dan tercengang kalau sewaktu-waktu dari "dinding" itu menyelonong ujung tongkat yang tahu-tahu mengarah jalan darahnya! Benar-benar lihai sekali pengemis dengan tongkat bututnya ini.

Dengan jengkel dan marah Tok-sim Sian-li lalu mengeluarkan imu pukulannya yang hanya ia keluarkan kalau ia menghadapi lawan tangguh, yaitu Toat sim ciang. Tangan kiri dengan jari-jari runcing mungil dikembangkan mulai menyodok-nyodok ke depan. Nampaknya pelahan dan tak bertenaga, akan tetapi Pak-thian Koai-jin segera merasakan akibatnya. Dadanya terguncang seperti ditumbuk oleh tenaga yang tidak kelihatan. Ia kaget sekali karena ia maklum bahwa pukulan macam ini kalau mengenai orang yang idak kuat satu kali saja, jantung orang itu akan terguncang dan pecah! Cepat ia mengeluarkan mangkok retak yang tadi ia simpan dalam sakunya.

"Pukulan beracun jahat sekali!" serunya dan mulailah kakek pengemis lihai ini mempergunakan mangkok jimatnya! Dengan mangkok di tangan kiri, ia selalu "menangkap" pukulan lawan dan pukulan itu seakan-akan ia "retour" kembali melalui mangkoknya yang cekung.

Tok-sim Sian-li terheran-heran dan bertambah marah. Jangankan hanya mangkok beling, biarpun mangkok besi kiranya akan pecah kalau berkali-kali terkena pukulannya. Akan tetapi mangkok di tangan kakek pengemis itu tidak pecah malah dapat membikin terpental setiap pukulan Toat-sim-ciang!

"Pak-thian Koa-jin, tidak percuma kau menjadi jago utara. Ternyata kau benar-benar lihai sekali!"

Pak-thian Koai-jin terkejut bukan main, juga merasa aneh mengapa wanita ini tiba-tiba mempunyai suara yang demikian merdu lemas dan halus, enak sekali didengarnya. Ia merasa seakan-akan dirayu oleh wanita cantik yang menjadi kekasihnya. Sebagai seorang yang berpengalaman luas, ia menjadi terkejut dan bersikap waspada.

Tiba-tiba Tok-sim Sian-li bersenandung dengan suara yang amat merdu, akan tetapi pedang dan tangan kirinya masih terus melakukan tekanan-tekanan terhadap kakk pengemis itu.

Pak-thian Koai-jin terheran-heran karena tidak mengerti apa maksud lawannya yang aneh ini. Tak tertahan lagi ia tertawa bergelak karena merasa amat lucu. Akan tetapi Tok-sim Sian-li tidak perduli dan terus menyerang, terus bernyanyi merdu. Mau tidak mau Pak-thian Koai-jin mendengarkan dan berusaha menangkap kata-kata nyanyian yang disenandungkan itu.

Anehnya, ia mulai terdesak. Mulai dirasakan betapa serangan-serangan wanita itu menjadi berat sekali, jauh lebih berat dari pada tadi sampai-sampai ia terdesak hebat dan hanya sanggup menangkis saja! Pikirannya mulai kacau, dadanya berdebar dan perhatiannya tak dapat dicurahkan kepada pertempuran. Dalam sesaat yang amat berbahaya, hampir saja pundaknya menjadi korban pedang Tok-sim Sian-li dan baiknya hanya bajunya saja yang robek, kulitnya tidak terluka. Akan tetapi ini sudah amat mengagetkan hati Pak-thian Koai-jin karena ia tahu bahwa terluka sedikit saja amat berbahaya.

Setelah ini baru ia benar-benar terkejut. Dicobanya untuk memulihkan ketenangannya, untuk mencurahkan perhatiannya kepada permainan silatnya, untuk menutup pendengarannya terhadap nyanyian itu. Akan tetapi sia-sia belaka, makin dilupakan suara itu makin merdu merayu, membuat semua tubuhnya lemah!

"Hebat, kau benar-benar siluman berbahaya!" seru Pak-thian Koai-jin dan kakek ini cepat melompat ke belakang menghindarkan serangkai serangan yang amat dahsyat, kemudin tanpa menoleh lagi ia menghilang di dalam hutan lebat! Tok-sim Sian-li menghentikan nyanyiannya, menengok dan melihat Kun Hong.

"Kun Hong....!" serunya kaget melihat bocah itu sudah menggeletak dengan wajah pucat dan tak bersemangat. Wanita ini lupa bahwa nyanyiannya tadi mempengaruhi siapa saja yang berada di dekatnya, tidak terkecuali Kun Hong. Mana kuat bocah itu menahan pengaruh nyanyian iblis ini? Semangat bocah itu seakan-akan terbetot meninggalkan raganya dan ia menjadi seperti seorang yang kena sihir.

Tok-sim Sian-li cepat memeluk dan mengangkatnya, mengurut sana-sini sambil memanggil namanya. "Kun Hong, aku lupa bahwa kau berada di belakangku.... ah, percuma saja, kau tidak melihat bagaimana aku telah mengusir Pak-thian Koai-jin. "

Begitu sadar kembali dari keadaannya seperti linglung tadi Kun Hong segera bertanya, "Mana kakek jembel itu? Siapa yang kalah?"

Tok-sim Sian-li tersenyum manis. "Kalau aku kalah kau kira aku bisa berada dengan kau? Kakek pengecut itu sudah melarikan diri!”

Kun Hong tertawa puas. "Aku pun tidak suka kalau harus menjadi muridnya, masa aku harus menjadi seorang pengemis cilik? Lebih baik menjadi muridmu, apalagi kau sudah dapat mengalahkan dia, bibi."

"Hush, jangan panggil bibi. "

"Habis, harus menyebut apa?"

"Dulu orang menyebutku Pek-sim-Niocu (nona Berhati Putih), akan tetapi sekarang orang-orang jahat, yang tidak suka kepadaku memberi nama Tok-sim Sian-li. Aku lebih suka disebut "Pek-sim-Niocu" dan kau boleh sebut "niocu" kepadaku."

Kun Hong mengangguk. "Baiklah, niocu. Akan tetapi mengapa namamu hanya julukan-julukan saja, apakah niocu tidak mempunyai nama sendiri?"

Tok-sim Sian-li tersenyum dan menggelengkan kepala, untuk sekilat sinar matanya mengandung kedukaan. "Tidak, nama sendiri sudah lupa lagi......" akan tetapi sinar duka segera terganti sinar tajam seperti biasa dan ia berkata. "Mari kita kembali mencari Bu-ceng Tok-ong, hendak kulihat apakah dia juga berhasil mengalahkan ketua Siauw-lim-pai."

Setelah tiba di tempat tadi, Tok-sim Sian-li dan Kun Hong melihat bahwa si Raja Racun itu bersama Wi Liong sudah menanti di situ.

"Ha-ha-ha, lama benar kau mencegat Pak-thian Koai-jin!" Tok-ong mengejek sambil tertawa.
"Biarpun lama aku berhasil mengusir dan mengalahkannya," jawab Tok-sim cemberut, "Kau sendiri bagaimana?”

"Sedang kau repot bernyanyi-nyanyi di sana, aku sudah membereskan babi gemuk dari Siauw-lim-pai itu sampai menjerit-jerit minta ampun!" kata Tok-ong sambil tertawa-tawa girang dan saking gelinya menepuk-nepuk paha sendiri.

"Siapa percaya omongan busukmu?" Tok-sim mencela. "Bhok Lo Cinjin mungkin kalah olehmu, akan tetapi minta-minta ampun? cih, kau sombong dan bohong! Eh, Wi Liong, benarkah kata-katanya itu bahwa ketua Siauw-lim-pai sampai minta-minta ampun kepadanya?”

Wi Liong menggelengkan kepala. "Aku yang mintakan ampun untuk nyawa Bhok Lo Cinjin, orang tua itu malah minta dibunuh. "

Kun Hong segera melangkah maju dan mencela Wi Liong. "Bocah ******, guru merobohkan musuh mengapa kau mintakan ampun untuk musuh? locianpwee, murid macam apakah yang begini ini? Lempar saja ke jurang, biar teecu yang melempar pengkhianat ini."

"Tutup mulutmu, Kun Hong! Aku bukan murid Tok-ong dan aku bukan pengkhianat!" bentak Wi Liong marah karena ia dimaki pengkhianat.

Tok-sim Sian-li tertawa girang. "Lihat, bukankah muridku lebih ingat budi dan tak mengecewakan menjadi murid?”

"Ha-ha, apa sih ingat budi? Aku tak ingin punya murid yang ingat budi! Laginya, si Wi Liong mintakan ampun untuk Bhok Lo Cinjin sama sekali bukan untuk menolongnya, malah membantu aku menghina babi gemuk itu. Kalau tidak dimintakan ampun, tentu sudah kubunuh dan berarti ketua Siauw-lim-pai itu terlepas dari pada ejekan dunia. ha-ha-ha, benar-benar muridku lebih cerdik dan tahu caranya menyiksa musuh!”

Kaget bukan main hati Wi Liong mendengar ini. Ia sama sekali tak pernah mengira bahwa perbuatannya tadi, mintakan ampun untuk nyawa Bhok Lo Cinjin, malah merupakan penghinaan besar bagi diri ketua Siauw-lim-pai itu! Pantas saja ketua Siauw-lim-pai itu tidak berterima kasih kepadanya bahkan malah memakinya, dan ia menjadi ngeri kalau memikirkan keadaan dua orang aneh ini, demikian kejam dan keji! Ngeri ia memikirkan harus menjadi murid Tok-ong.

Mendadak Tok-ong dan Tok-sim nampak terkejut, sama-sama menengok ke atas, ke arah daun-daun pohon di sebelah kiri.

"Sian-li, apa kau tidak merasa sesuatu yang aneh?" Tok-ong bertanya, suaranya beubah sungguh-sungguh.

Tok-sim Sian-li mengangguk. "Memang, apa yang menggerakkan daun-daun itu dan suara apa mendesis ini?”

Wi Liong dan Kun Hong memperhatikan. mereka sekarang juga melihat daun-daun pohon sebelah kiri bergoyang-goyang dan ada suara mendesis perlahan arah tempat itu, padahal tidak ada angin dan tidak nampak sesuatu.

"Ah, tempat ini keramat, ada setannya. Lebih baik aku pergi dari sini!” kata Tok-sim Sian-li sambil memeluk tubuh Kun Hong hendak membawa pergi. Tiba-tiba ia bergidik karena pada saat itu angin meniup ke arah rambutnya dan terlepaslah sanggul wanita ini, membuat rambutnya menadi awut-awutan!

"Iblis menggangguku....." Tok-sim Sian-li menggerutu dan mukanya berubah pucat ketika ia menyanggulkan kembali rambutnya.

Tok-ong tertawa bergelak untuk menyembunyikan rasa takutnya. Memang para tokoh Mo-kauw adalah orang-orang yang sujud dan takut kepada mahluk-mahluk halus, bahkan dalam bertapa untuk mengejar ilmu mereka selalu berusaha untuk menghubungi mahluk-mahluk halus dan menjadi iblis dan setan.

"Sian-li, kau takut apa sih? Di siang hari terang seperti ini mana ada setan dan.....”

Ia menghentikan kata-katanya dengan tiba-tiba karena ada angin terasa olehnya berseliweran dan ia merasa punggungnya ada yang raba, ketika ia menggunakan tangan meraba pungungnya, ia menjadi pucat karena pedang Cheng hoa kiam yang ia rampas dari tangan Kwee Sun Tek di puncak Kun-lun-san tadi ternyata sekarang telah lenyap!

"Keparat pengecut kalau berani muncullah, kita boleh bertanding sampai sepuluh ribu jurus, jangan main sembunyi-sembunyi seperti setan dan iblis!” Tok-ong memaki-maki marah sekali sambil memandang ke sekelilingnya. Tok-sim Sian-li yang juga melihat lenyapnya pedang rampasan dari punggung Tok-ong menjadi makin pucat, akan tetapi untuk menjaga diri, ia sudah mencabut pedangnya.

"Siluman keluarlah!" Tok-sim Sian-li juga ikut berteriak untuk memperlihatkan bahwa iapun tidak takut, atau setidaknya ia tidak mau "kalah muka" oleh Bu-ceng Tok-ong di depan muridnya.

Hening sejenak dan dua orang anak, Kun Hong dan Wi Liong, sudah memperlihatkan bahwa memang mereka adalah anak-anak yang mempunyai ketabahan besar. Biarpun mereka tidak tahu kepada siapa dua orang tokoh sakti itu bicara, namun dari sikap dua orang sakti itu mereka dapat menduga bahwa tentu ada orang yang berkepandaian tinggi atau mungkin benar-benar ada siluman. Anak-anak biasa tentu akan menjadi ngeri atau ketakutan, akan tetapi tidak demikian dengan dua orang anak itu.

"Akan ada pertempuran lagi. benar-benar menggembirakan!" kata Kun Hong yang segera duduk di dekat Wi Liong yang sudah duduk di atas akar pohon besar yang menonjol keluar dari tanah seperti ular besar, Dua orang anak ini duduk menongkrong seperti orang hendak menonton pertunjukan yang menarik hati.

"Mudah-mudahan muncul orang gagah yang akan membebaskan kita." kata Wi Liong penuh harap.
"Bodoh kau! Hanya mengharapkan kebebasan. lebih enak menjadi muris mereka yang begitu gagah dan sakti. kalupun muncul orang gagah yang membebaskan kita, belum tentu mau mengambil murid kepada kita, dan di Kun-lun-san semua orang tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan guru-guru kiat." cela Kun Hong.

"Mereka jahat, aku tidak sudi menjadi murid orang-orang jahat." kata Wi Liong.

"Kau tahu apa tentang jahat dan baik? Kita menjadi murid mereka untuk belajar ilmu silatnya, bukan untuk belajar jahat atau baiknya!" bantah Kun Hong. "Laginya..... guruku begitu cantik dan halus, siapa bilang jahat? Kau memang bocah banyak lagak dan.....”

Tiba-tiba saja Kun Hong menghentikan kata-katanya karena pada saat itu, entah dari mana datangnya tahu-tahu muncul seorang kakek di depan mereka. Kakek ini usianya kurang lebih enam puluh tahun, mukanya seperti topeng atau seperti muka mayat! Tidak nampak kulit muka itu bergerak sedikitpun seperti kulit mati, lagi pula pucat kehijauan. Sepasang matanya bersinar lembut dan bibirnya yang kering pucat itu seperti selalu tersenyum mengejek. Tangan kirinya membawa kipas terbuat dari pada daun, dan ditangan kanannya kelihatan sebuah hudtim atau kebutan pertapa dengan bulu kebutannya panjang berwarna putih.

Bagi Wi Liong atau Kun Hong kakek ini tidak mendatangkan kesan aneh, akan tetapi Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li berubah air mukanya ketika melirik ke arah kakek itu dan melihat pedang Cheng Hoa-kiam yang tadi lenyap secara gaib dari punggung Bu-ceng Tok-ong, kini telah berada di punggung kakek itu!

Bu-ceng Tok-ong marah bukan main melihat orang yang telah mencuri pedangnya, akan tetapi oleh karena maklum bahwa orang ini tak boleh dipandang rendah, ia tidak berlaku sembrono. Hanya untuk menjaga muka dan nama ia harus memperlihatkan kemarahannya. Dia seorang tokoh besar dan belum pernah ada orang berani menghinanya, apa lagi mempermainkannya. Dan orang yang telah mencuri pedang dari punggungnya ini sama sekali belum dikenalnya!

"Kau ini siapakah, datang-datang mengajak aku main-main? Agaknya kau belum tahu bahwa aku adalah Bu-ceng Tok-ong....." kata si Raja Racun yang menahan ucapannya dengan perasaan mendongkol sekali karena orang yang mukanya seperti kedok mayat itu sedikitpun tidak perduli kepadanya, malah kini menghampiri Wi Liong dan Kun Hong yang duduk berdampingan di atas akar pohon. Sepasang mata yang bersinar lembut itu menatap ke arah dua orang anak itu dan tiba-tiba sinar mata itu tajam sekali, membuat Wi Liong dan Kun Hong merasa dingin pada tengkuknya.

"Kalian berdua..... ikut aku..... mau?" keluar pertanyaan singkat terputus-putus dari mulut kakek aneh ini. Agaknya kakek ini sukar bicara atau memang hemat dengan kata-kata.

Wi Liong dan Kun Hong keduanya cerdik dan berbakat. Mungkin Kun Hong lebih cerdik dan nakal, akan tetapi agaknya perasaan Wi Liong lebih halus. Melihat kakek aneh yang wajahnya mengerikan seperti kedok mayat itu, Kun Hong merasa ngeri dan tidak suka, akan tetapi Wi Liong segera dapat merasa bahwa kakek ini bukanlah orang sembarangan dan bukan termasuk orang jahat seperti Bu-ceng Tok-ong. Oleh karena perasaan inilah maka seketika ia berdiri dan berkata kepada kakek itu.

"Aku suka ikut!"

Sebaliknya karena merasa ngeri melihat pandang mata kakek itu, Kun Hong berdiri dan berlari ke dekat Tok-sim Sian-li sambil berkata, "Aku tidak sudi ikut setan kuburan!”

Kakek aneh itu mendongak ke angkasa dan terdengar ia berkata pula tanpa menggerakkan bibir seperti juga tadi. Agaknya ia memang memakai kedok, karena kalau ia bicara, bibirnya tidak bergerak!

"Begitulah kehendak Thian..... sudah kuperhitungkan..... tidak meleset." Setelah berkata demikian, ia menghampiri Wi Liong dan menggandeng tangan bocah ini diajak pergi dari situ tanpa menoleh sedikitpun ke arah Bu-ceng Tok-ong atau Tok-sim Sian-li!

Datang-datang mencuri pedang dan hendak menyerobot murid begitu saja di depan hidungnya, lalu hendak pergi tanpa pamit datang tanpa permisi, benar-benar selama hidupnya belum pernah Bu-ceng Tok-ong bertemu dengan orang yang begini bocengli (tak tahu aturan)! Dia sendiri terkenal sebagai seorang yang tidak mengenal aturan, sekarang ia benar-benar ketemu batunya. Kemarahannya tak dapat ditahan lagi.

"Setan jahanam benar-benar bosan hidup kau!" bentaknya dan kedua tangannya bergerak secara bergantian. Selosin jarum-jarum hitam yang halus menyambar ke arah jalan-jalan darah di tubuh belakang kakek aneh itu!

Kakek itu menengok pun tidak, tetap berjalan menggandeng tangan Wi Liong seperti tadi, hanya kipasnya dipakai mengebuti badannya seperti orang kegerahan. Hebatnya, sinar-sinar hitam itu runtuh kembali sebelum mengenai tubuh orang, seakan-akan tubuh kakek itu dilindungi oleh semacam perisai yang tidak kelihatan. Demikianlah menurut pandangan orang lain, akan tetapi Tok-ong dan Tok-sim sebagai orang-orang pandai dan sakti, maklum bahwa kebutan kipas itulah yang meruntuhkan semua jarum.

Tok-ong menjadi makin panas hatinya, memberi isyarat kepada Tok-sim untuk menyerang bersama. Ia menggereng dan bergerak maju, juga Tok-sim Sian-li mencabut pedang dan menyerbu dari belakang orang itu. Tiba-tiba kakek itu menoleh dan mengebutkan kipasnya ke arah Tok-ong dan Tok-sim sambil berkata.

"Heran..... mengapa Thai khek Sian..... mempunyai orang-orang begini.....?"

Luar biasa sekali tenaga kebutan kipas ini. Seperti dua ekor burung terbang tertiup angin besar, Tok-ong dan Tok-sim merasa betapa keseimbangan badan mereka rusak dan mereka menjadi limbung, hampir saja terjengkang ke belakang kalau mereka tidak cepat-cepat menghentikan gerakan menyerbu tadi dan memasang kuda-kuda yang kuat!

Biarpun demikian, mereka itu bukan tokoh-tokoh besar dari Mo-kauw kalau gentar untuk melawan lagi, hanya disebutnya nama Thai Khek Sian membuat mereka bengong dan ragu-ragu untuk maju lagi. Sementara itu, kakek aneh tadi melanjutkan perjalanannya, menggandeng tangan Wi Liong, terus menuju barat.
 
Waa,, ceritanya seru,, mohon ddilanjutkan suhu...:jempol:
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd