Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[CERSIL] Asmara Dibalik Dendam Membara - Kho Ping Hoo

Bimabet
Bagian - 13



Sementara itu, sebelas orang kawannya juga menyeringai gembira dengan pandang mata seolah hendak menelan bulat-bulat seluruh tubuh Niken Sasi. Bahkan ada yang menjulurkan lidah yang meneteskan air liur bagaikan srigala-srigala kelaparan melihat seekor domba yang lunak dan gemuk dagingnya.

Biarpun nada pertanyaan itu tidak sopan, akan tetapi karena orang bertanya, Niken Sasi menjawab juga,dengan suara datar, "Namaku Niken Sasi dan aku hendak pergi ke Lautan Kidul. Siapakah kalian dan mau apa kalian mengepungku? Biarkan aku lewat!"

"Hoa-ha-aha.........!" Si Mata satu yang tinggi besar seperti raksasa itu tertawa, diikuti anak buahnya yang juga terkekeh-kekeh. "Ayu manis dan centil! Kawan-kawan, apakah pantas ia menjadi isteri baruku?"

Semua orang tertawa, "Pantas sekali, kakang Mamangmurko!" kata mereka.

"Wah, jangan-jangan ia ini Kanjeng Ratu Kidul atau hulubalangnya!" tiba-tiba terdengar seorang di antara mereka berseru dan mendengar seruan itu, tiba-tiba saja suara tawa mereka terhenti seperti orang-orang terpijak. Dan semua orang termasuk si mata satu, kini terbelalak mengamati Niken Sasi dengan penuh kecurigaan dan rasa takut.

Niken Sasi maklum apa yang berada dalam benak orang-orang tahyul dan kasar itu. Mereka tentu amat takut kalau-kalau ia penjelmaan Kanjeng Ratu Kidul atau hulubalangnya, maka iapun menggunakan kesempatan itu agar jangan terganggu perjalanannya.

"Aku memang seorang senopati dari Kanjeng Ratu Kidul!" katanya lantang sambil bertolak pinggang. "Aku baru pulang melaksanakan tugasku ke puncak Gunung Kelud dan sekarang hendak kembali ke Lautan Kidul. Hayo cepat kalian sediakan sebuah perahu untuk menyeberangi sungai ini!" Suaranya terdengar lantang berwibawa, sikapnya gagah dan duabelas orang itu surut ke belakang, lalau berbisik-bisik dengan ketakutan.

"Hayo cepat sediakan perahu!" kata si mata satu yang namanya Mamangmurko itu. Dia sudah ketakutan sekali. Siapa yang tidak takut akan kemurkaan Kanjeng Ratu Kidul, Ratu dari Samudera Selatan yang terkenal ganas itu?

Duabelas orang itu lalu berlarian, kemudian menyeret keluar enam buah perahu kecil dari balik semak-semak di tepi sungai. Perahu-perahu itu mereka turunkan ke atas air dan Mamangmurko membungkuk di depan Niken Sasi sambil berkat,

"Silakan Den Roro.......!"

Niken Sasi mengangguk dan tersenyum. Ia tidak merasa janggal mendengar sebutan Raden Roro itu, karena sesungguhnya ia bahkan berhak mendapat panggilan yang lebih mulia lagi. Bukankah ia cucu Sang Prabu Jayabaya di Daha? Ia lalau melangkah ke dalam sebuah perahu dan perahu-perahu itu meluncur menyeberagi Sungai Lesti.

Karena sungai Lesti, anak sungai Brantas itu ketika tiba disitu masih belum besar benar, sebentar saja perahu-perahu itu telah tiba di sebelah selatan sungai dan para anak buah gerombolan itu berloncatan ke daratan. Demikian pun Niken Sasi melangkah keluar dari dalam perahu, mendarat di atas tepi sungai yang berumput.

Akan tetapi pada saat itu, seorang di antara mereka berseru, "kawan-kawan, kita tertipu! Kalau nona ini seorang senopati dari Kerajaan Kidul, mana mungkin ia ikut dengan kita naik perahu? Seorang senopati dari Kerajaan Kidul tentu tidak takut air, apalagi hanya air sungai! Ia ini bukan senopati Kidul, melainkan gadis biasa yang telah membohongi kita."

Mendengar ini, Niken Sasi melangkah ke depan dan bertolak pinggang. "Hemm, siapa berani mengatakan bahwa aku penipu dan berbohong? Siapa yang tidak percaya bahwa aku senopati Kidul boleh maju dan menguji kesaktianku."

Orang berteriak tadi kini didorong-dorong temannya. Karena dia tadi meneriakkan bahwa gadis itu bukan senopati Kidul, maka dia pula yang harus mengujinya. Dia seorang pria berusia tigapuluh tahun yang bertubuh kekar, kaki tangannya di lingkari otot-otot seperti tali tambang. Biarpun agak jerih, dia memberanikan diri untuk membuktikan tuduhanya tadi.

"Baik, akau yang akan menguji andika!" katanya dan tanpa menanti jawaban lagi, langsung saja dia menubruk ke depan untuk merangkul dan meringkus dara jelita itu.

"Wuuutt..........brukkk.....!"

Pemuda itu tidak merangkul Niken yang tiba-tiba lenyap dan menubruk tanah. Dia terkejut dan penasaran, melompat bangun membalikkan tubuhnya dan kembali dia menerjang, kembali ingin memeluk. Kembali Niken Sasi mengelak. Melihat temannya berusaha menubruk dan merangkul sedangkan gadis itupun hanya mengelak, teman-temannya menjadi iri dan merekapun serentak bergerak mengejar dan menubruk Niken Sasi, seolah sekawanan anak yang bergembira mengejar-ngejar seekor kelinci!

Kini Niken Sasi menjadi marah. Melihat duabelas orang itu semua berebutan dan berusaha untuk memeluknya, ia pun tidak hanya mengelak melainkan juga menangkis, menampar dan menendang. Dan terdengarlah teriakan-teriakan mengaduh dan tubuh para pengeroyok itu berpelantingan. Mendapat hajaran ini, duabelas orang itu kembali menjadi ketakutan karena kini mereka percaya bahwa dara itu benar-benar sakti. Kalau ia senopati Kidul, celakalah mereka! Maka dipimpin oleh Mamangmurko, mereka semua brelutut dan menyembah-nyembah kepada Niken Sasi.

"Gusti Puteri Senopati, hamba semua mohon ampun....." kata Mamagmurko dengan bibir berdarah karena tadi dia menerima tamparan tangan kiri Niken Sasi.

Enak saja, tadi menyerang dengan niat buruk, kini minta ampun, pikir Niken Sasi. Kemudian ia teringat. Bekal uang yang diterimanya dari Ki Sudibyo memang cukup banyak, akan tetapi ia melakukan perjalanan jauh dan tidak diketahui kapan berakhir, maka ia membutuhkan banyak uang untuk biaya perjalanan.

"Hayo keluarkan semua uang yang berada di pakaian kalian. Keluarkan semua dan kumpulkan. Awas, jangan menyembunyikan karena aku akan mengetahui dan siapa menipu akan kuseret nyawanya ke Lautan Kidul!"

Tak seorangpun dari mereka berani membantah atau berani menyembunyikan sesuatu dan keluarlah semua milik mereka dari sabuk dan saku mereka, ditumpuk di atas tanah. Dari barng-barang itu, mudah diduga bahwa gerombolan itu adalah perampok karena bermacam barang perhiasan wanita terdapat dalam tumpukan itu, selain uang dan emas.

Niken Sasi lalu membungkus semua harta itu dan memasukkannya ke dalam buntelan pakaiannya.

"Hemm, biarlah sekali ini kalian kuampuni. Akan tetapi mulai sekarang kalian harus menghentikan pekerjaan jahat. Jangan lagi merampok dan mengganggu orang. Awas, kalau kelak kulihat kalian masih berbuat jahat, aku pasti akan mencabut nyawa kalian!"

Setelah berkata demikian, Niken Sasi menggunakan aji Tapak Srikatan dan sekali meloncat ia telah berada di tempat jauh dan segera ia berlari cepat seperti terbang.

Duabelas orang itu memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Akan tetapi, Mamangmurko lalu bangkit brediri, mengepal tinju dan memaki-maki.

"Bojleng-bojleng, jahanam busuk, kita telah tertipu! Bocah setan itu tentu saja bukan senopati Kidul. Karena kerajaan Kidul terkenal kaya raya dan batu-batunya saja emas, bagaimana mungkin ia merampas uang dan perhiasan kita? Kita telah tertipu!" Ia menyumpah-nyumpah.

"Akan tetapi harus diakui bahwa ia sakti mandraguna, kakang Mamagmurko. Kita tidak dapat menandinginya. Gerakannya seperti terbang saja."

"Dan pukulannya juga ampuh, masih terasa panas bekas tangannya!" kata yang lain.

Mamangmurko menjadi semakin jengkel. "Dasar kita yang sedang sial, bertemu dengan gadis seperti itu. Habislah semua hasil pekerjaan kita selama berbulan-bulan."

"Akan tetapi kita dapat mencari lagi dan kita tidak perlu takut, karena gadis itu pasti tidak akan mengetahuinya." kata yang lain.

"Awas saja dara itu! Kalau sekali lagi lewat di sini, aku akan mengerahkan banyak kawan untuk menagkapnya" ancam Mamangmurko dengan geram.

Dan gagallah usaha Niken Sasi untuk memaksa kawanan gerombolan itu untuk mengubah jalan hidup mereka . Mereka kembali menjadi perampok yang ganas. Sementara itu, Niken Sasi melanjutkan perjalannya menuju selatan setelah melewatkan malam di sebuah dusun kecil, pada keesokan harinya tibalah ia di dusun Lodaya yang cukup banyak penghuninya.

Seperti dalam perjalanannya yang sudah dilaluinya, ketika memasuki dusun Lodaya di siang hari itu, Niken Sasi menjadi perhatian banyak orang. Dandanannya memang tidak banyak berbeda dari gadis-gadis dusun lainnya. Akan tetapi kulitnya yang putih kuning, wajahnya yang cantik jelita, dan keberadaanya seorang diri, menarik perhatian orang. Dara secantik jelita itu, yang dari kulitnya, wajahnya dan gerak-geriknya jelas menunjukkan bahwa ia bukan seorang gadis dusun biasa, berkeliaran seorang diri!

Niken Sasi merasa lapar dan ia mencari-cari kedai nasi di dusun itu. Akhirnya ia menemukan beberapa buah warung di dekat pasar yang mulai sunyi dan ia memilih warung terbesar dan memasukinya. Ada beberapa buah bangku panjang di dalam warung, menghadapi meja panjang yang penuh makanan. Terdapat lima orang tamu di kedai nasi itu dan mereka semua pria.

Melihat masuknya seorang dara jelita, lima orang pria yang berusia dari tigapuluh sampai empat puluh tahun itu menengok dan mengikuti gerak-gerik Niken sambil menatap wajah cantik itu penuh kagum.

Penjaga warung itu seorang wanita berusia hampir empatpuluh tahun, masih membekas kecantikan wajahnya dan pakaiannya bersih, wajahnya dibedaki dengan rambut digulung rapi, sikapnya ramah dan agak genit. Melihat munculnya Niken, penjaga warung itupun memandang heran. Biasanya, kalau ada tamu wanita yang memasuki warungnya, tentu tamu wanita itu datang bersama suaminya atau keluarga lain. Belum pernah ada dara apalagi demikian ayunya, datang seorang diri. Makanya ia menyambut dengan ramah dan pandang mata heran.

"Silakan duduk, adik manis. Apa yang dapat kubantu untukmu?"

Niken agak ragu melihat bangku-bangku itu sudah diduduki para tamu pria. Akan tetapi, lima orang tamu itu serentak bangkit berdiri dan dengan suara saur manuk ( burung bersautan ) mereka merpersilakan Niken duduk.

"Mari, duduk di bangku ini, jeng......!" Mulut mereka menyeringai dan pandang mata terpesona.

Akan tetapi Niken Sasi melihat sebuah bangku panjang di sudut yang masih kosong dan iapun memilih bangku itu untuk menjadi tempat duduknya.

"Terima kasih, mbakyu, saya ingin makan. Apakah mbakyu menjual nasi?"

"Oh,ada! Ada nasi gudangan, nasi tumpang, nasi pecel. Tinggal pilih dik.'' Kata wanita itu.

"Pilih saja nasi gudangan, jeng. Ditanggung enak. Sayurnya dan kenikir, daun bayam, daun pepaya, dicampur daun singkong, kacang panjang dan kecambah, sedap dan gurih bukan main!" kata seorang laki-laki yang kumisnya panjang.

"Ah pilih saja nasi tumpang, jeng!" kata yang lain, yang tubuhnya kurus. "Semua sayur itu disiram sambal tumpang tempe bosok, wah, lezat dan sedap bau jeruk purut, dan selain membuat orang bernafsu besar untuk makan juga melegakan perut!"

"Dan jangan lupa goreng tempenya, jeng!" kata orang ketiga sehingga ramailah keadaan di dalam warung itu.

"Kalau aku pilih nasi pecelnya. Sambelnya kental dan pedasnya cukup, menggoyangkan lidah!" kata orang keempat.

Niken Sasi tersenyum ramah kepada empat orang itu, akan tetapi perhatiannya tertuju kepada pria ke lima yang tadi tidak dilihatnya. Pria ini duduknya di sudut menyendiri dan sejak tadi dia tidak ikut bicara, bahkan menengokpun tidak kepadanya! Juga pria ini masih muda sekali, paling banyak duapuluh tahun usianya, masih seperti bocah yang mentah! Agaknya malu-malu untuk memandang seorang gadis. Entah mengapa, melihat ada seorang pria yang acuh saja kepadanya, melirikpun tidak hati Niken terasa panas seolah pria itu memandang rendah padanya!

"Beri aku nasi pecelnya sepincuk mbakyu, minumnya teh panas manis secangkir." katanya kepada penjaga warung itu dan melihat betapa empat orang laki-laki itu tersenyum-senyum kepadanya, iapun membalas dengan senyuman manis.

Akan tetapi kembali senyumnya menghilang ketika ia melihat pemuda itu masih membuang muka dan mengacuhkannya. Tentu saja ia tidak ingin diperhatikan laki-laki, akan tetapi diacuhkan seperti itu sungguh membuat perutnya terasa panas. Justeru kalau ada laki-laki yang memperhatikannya, Niken akan acuh saja. Maka kini melihat ada seorang pemuda sama sekali tidak memperdulikan kehadirannya, hal ini amat menarik hati Niken dan ia bahkan yang memperhatikan pemuda itu melalui kerling matanya.

Dia seorang pemuda tampan. Pakaiannya seperti pemuda dusun biasa, akan tetapi keadaan pakaiannya itu sama sekali tidak mampu menyembunyikan keadaan dirinya yang amat berbeda dibandingkan pemuda dusun biasa. Dia memiliki kepribadian yang lain dan luar biasa. Sikapnya acuh dan pendiam, sinar matanya berbeda jauh dari sinar pemuda biasa yang nampak bodoh dan ingin tahu.

Sinar matanya lembut dan dalam, seolah penuh pengertian, dan kadang ada kilatan aneh mencorong dari manik matanya. Dan pemuda ini mempunyai kepribadian yang amat menarik hati Niken Sasi. Anggun dan berwibawa.

Agaknya pemuda itupun baru sajamasuk karena di atas meja di depannya hanya nampak secangkir minuman teh panas. Dan memang benar demikian karena setelah melayani pesanan nasi pecel kepada Niken, sepincuk nasi pecel yang kelihatannya enak, wanita tukang warung itu lalu bertanya kepada pemuda itu.

"Bagaimana, den bagus, apakah andika sudah menentukan pilihan? Andika ingin makan nasi apa?"

Dari sebutan den bagus itu, Niken Sasi dapat menduga bahwa pamuda itu tentulah bukan penduduk Lodaya, dan karena dia pemuda asing dan penampilannya memang mengesankan sebagai seorang yang luar biasa, maka wanita penjaga warung itu menyapanya dengan sebutan den bagus, sebutan yang biasanya ditujukan kepada pemuda putera bangsawan atau setidaknya kepala dusun.

"Aku juga minta nasi pecel sepincuk, mbakyu." kata pemuda itu setelah mengerling ke arah pincuk yang dipegang Niken Sasi.

Niken Sasi tidak peduli, setelah mencuci tangannya dengan air kendi, iapun mulai makan nasi pecelnya. Dan ternyata memang benar. Nasi pecel itu enak sekali. Nasinya hangat dan pulen, pecelnya juga terasa sedap dan lezat.

Pemuda itu minta tambah sepincuk lagi, akan tetapi Niken Sasi merasa cukup. Setelah makan dan minum, Niken Sasi membayar harga makanan dan minuman, lalu meninggalkan warung. ia melihat pemuda itu masih makan, sama sekali tidak menengok kepadanya!

"Huh, pemuda tinggi hati, angkuh dan sombong. Kau kira dirimu itu siapa!" Niken Sasi memaki dalam hatinya dengan hati panas.

Biarpun Niken Sasi bukan seorang dara yang haus pujian pria, akan tetapi karena baru sekali ini ia melihat seorang pria yang begitu acuh dan memandang rendah kepadanya, hatinya menjadi panas juga. Beberapa kali ia memandang ke arah pemuda itu sebelum meninggalkan warung itu, akan tetapi pemuda itu tetap saja tidak melirik ke arahnya.

Setelah keluar dari warung nasi itu. Niken dengan santai lalu berjalan jalan di dusun itu. Sebuah dusun yang cukup besar dan karena ia sudah semakin mendekati daerah Laut Kidul, maka ia mulai memperhatikan tempat itu untuk melakukan penyelidikan tentang pusaka Tilam Upih yang hilang. Ia mulai mencari tempat untuk bermalam karena ia ingin tinggal di Lodaya selama beberapa hari.

Melihat sebuah rumah sederhana berdiri agak menyendiri di sudut dusun itu, Niken Sasi tertarik dan menghampiri. Rumah itu mempunyai perkarangan yang luas dan dipekarangan itu tumbuh empat batang pohon nyiur yang sudah sarat dengan buah kelapa. Melihat buah kelapa muda yang hijau, Niken menelan ludah, membayangkan kesegaran air dawegan hijau yang tentu akan nikmat sekali diminum di waktu hari sepanas itu.

Akan tetapi sampai lama ia menanti, tidak juga ada orang yang membuka pintu rumah dan keluar dari dalam rumah itu. Ia menjadi tidak sabar setelah menanti lama, lalu dihampirinya dan diketuknya daun pintu itu.

"Tok-tok-tok........kulonuwon.......!"

Setelah beberapa kali mengetuk pintu dan mengucapkan salam tanpa ada jawaban, Niken menduga bahwa rumah itu agaknya kosong. Dan keinginannya minum dawegan [kelapa muda] hijau sudah begitu mendesak dan membuat kerongkongannya terasa haus sekali.

Ia kembali ke pekarangan dan setelah beberapa lamanya berdongak memandangi buah kelapa muda itu, memilih-milih, ia lalu mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangan dan sekali membuat gerakan dengan tangannya, batu itu menyambar ke atas dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti oleh pandangan mata.

"Wuuuutt........takk!" batu itu jatuh lagi bersama sebutir buah kelapa yang dibidik oleh Niken. Batu itu ternyata tepat mengenai gagang kelapa muda itu tanpa mengganggu butiran kelapa yang lain.

Dengan gembira Niken mengambil dawegan hijau itu. Akan tetapi pada saat itu terdengar seruan seorang wanita,

"Siapa berani mencuri dawegan kami?"

Tentu saja Niken terkejut bukan main sehingga hampir saja kelapa muda itu terlepas dari tangannya. Ia menengok ke belakang dan sama terkejutnya dengan wanita itu, yang kini memandangnya dengan mata terbelalak.

"Nimas ayu Niken......!"

"Jinten, andika Jinten......? Bagaimana dapat berada di sini, Jinten?" kata Niken yang mengenal pelayan yang biasa membantunya melayani gurunya itu.

Mereka saling berpegang tangan. "Nah, panjang ceritanya, Nimas Ayu. Mari masuk ke dalam rumah dan kita bicara. Ini adalah rumah saya, di mana saya hidup bersama seorang paman saya."

Baiklah, dan.....eh, dawegan ini, maafkan....." Tentu saja Niken merasa canggung dan malu.

"Bawa saja ke dalam, Nimas Ayu. Andika ingin minum dawegan? Nanti kukupaskan, memang segar sekali minum air dawegan di siang hari begini. Dan dawegan hijau kami manis sekali."

Dengan ramah Jinten mengajak Niken memasuki rumahnhya, sebuah rumah sederhana. Mereka lalu duduk di sebuah balai-balai dan Jinten mengupas dawegan itu. Benar saja, air dawegan itu manis dan segar, juga daging dawegannya lezat sekali.

"Nah, ceritakan bagaimana tiba-tiba aku dapat bertemu denganmu di sini, Jinten? Kapan engkau meninggalkan Gagak Seto, dan kenapa engkau pergi dari sana?"

"Nimas ayu, setelah andika pergi, saya merasa kesepian sekali dan menjadi tidak kerasan lagi. Kebetulan paman saya datang berkunjung menengokku, maka saya lalu mengambil keputusan untuk pulang ke dusun, ikut paman saya. Sehari setelah andika pergi, saya pergi dari sana dan saya langsung menuju dusun Lodaya ini."

"Ah, pantas saja engkau dapat datang lebih dulu di sini dari pada aku. Aku mengambil jalan berkeliling dan sering berhenti di suatu tempat."

"Nimas ayu, andika hendak pergi ke manakah?"

"Aku hendak pergi ke pantai Lutan Kidul , Jinten."

"Wah, masih jauh sekali, nimas. Dan matahari sudah condong ke barat. Panasnya seperti membakar. Karena kita kebetulan bertemu di sini, saya harap andika suka melewatkan malam di sini dan baru besok pagi-pagi melanjutkan perjalanan."

"Hem, aku hanya akan merepotkanmu saja, jinten."

"Ah, tidak, nimas ayu! Kita telah tinggal serumah selam bertahun-tahun dan sekarang tidak mungkin saya melepas andika begitu saja. Tinggallah di sini semalam, Nimas ayu dan nanti saya perkenalkan kepada pamanku, Paman Kartiko."

Karena iapun tidak tergesa-gesa, akhirnya Niken merasa tidak enak untuk menolak dan iapun tinggal di rumah Jinten itu. Tak lama kemudian, seorang laki-laki berusia empatpuluh tahunan yang berpakaian seperti petani datang dan Jinten cepat memperkenalkan laki-laki itu kepada Niken sebagai pamannya.

Kartiko, paman Jinten itu, bersikap hormat kepada Niken dan tak lama hadir di situ, cepat keluar lagi sehingga Niken merasa enak dan betah karena di rumah itu hanya ada ia dan Jinten. Bahkan ketika Jinten masak-masak, menyembelih ayam kemudian menghidangkan makan malam di ruangan tengah, sang paman tidak juga kelihatan. Untuk basa-basi Niken menanyakan kepada Jinten.

"Ke mana pamanmu, Jinten? Kenapa tidak diminta makan malam bersama?"

"Ah, pamanku adalah seorang dusun yang sederhana dan pemalu, nimas ayu! Silakan makan dulu, biar paman Kartiko tidak mungkin akan mau makan bersama andika. Mari, silakan." dengan ramah dan akrab Jinten melayani Niken makan.

"Jinten, engkau sekarang bukanlah pelayanku lagi. Engkau bahkan kini menjadi nona rumah dan aku tamunya, karena itu janganlah melayani aku seperti seorang pelayan. Mari kita sama-sama makan. Aku terpaksa menolak kalau engkau tidak mau menemaniku makan bersama."

Jinten menarik napas panjang. "Ahh, nimas ayu. Sebetulnya ingin sekali saya melayani andika makan, akan tetapi kalau andika memaksa, baiklah saya temani andika makan."

Jinten lalu mengambil nasi dan lauk pauk untuk dirinya sendiri dan setelah melihat Jinten makan, baru legalah hati Niken Sasi. Tentu saja ia percaya kepada Jinten yang sudah bertahun-tahun hidup dengannya di Gagak Seto. Akan tetapi sekarang mereka bukan berada di perkumpulan itu lagi dan Jinten bukan apa-apa. Oleh karena itu, biar tidak menaruh curiga, ia harus waspada.

Jinten memang pandai memasak. Hidangan yang disugukan itu lezat dan biarpun Jinten belum merasa lapar benar, Iapun makan agak banyak. Akan tetapi, tiba-tiba ia merasa kepalanya pening, pandang matanya berputar, seluruh ruangan di depannya seperti bergoyang-goyang. Biarpun ia belum pernah keracunan, akan tetapi pernah ia mendengar dari gurunya tentang makanan yang mengandung racun, yang membuat orang terbius dan tak sadarkan diri. Ia terkejut. Apakah Jinten sengaja memberinya makanan beracun? Ia cepat menoleh kepada Jinten, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat gadis pelayan itu sudah terkulai di atas tikar, agaknya tertidur atau pingsan!

"Celaka........!"

Ia cepat bangkit dan meloncat, akan tetapi kepalanya terasa berat sekali dan semakin pusing sehingga ia terpelanting roboh di atas lantai. Pada saat itu terdengar suara tawa yang lantang dan menyeramkan dan muncul belasan orang laki-laki dalam ruangan itu.

Niken Sasi terkejut sekali, juga marah. Tahulah ia bahwa ia telah masuk perangkap. Entah bagimana makanan itu mengandung racun, akan tetapi pasti bukan jinten yang melakukannya karena wanita itupun terkulai pingsan keracunan. Ia mencoba untuk mengerahkan tenaganya dan bersiap siaga untuk melakukan perlawanan akan tetapi kepeningan kepalanya tidak dapat ditahan lagi dan iapun terpelanting dan terkulai tak sadarkan diri.

"Cepat, ikat kaki tangannya!" terdengar seorang di antara mereka berseru dan anak buahnya lalu mengikat kaki tangan Niken Sasi.

Sementara itu Jinten sudah bergerak dan ternyata ia tidak pingsan seperti yang diduga Niken Sasi. Kemudian, limabelas orang laki-laki itu memanggul tubuh Niken Sasi, di bawa pergi meninggalkan dusun Lodaya tanpa ada orang lain mengetahui karena memang rumah itu berdiri terpencil di sudut dusun.

Seperti kita ketahui, Jinten telah menjadi tangan kanan Klabangkoro. Ia pula yang memata-matai Ki Sudibyo ketika bercakap-cakap dengan Niken Sasi dan membuka rahasia Ki Sudibyo yang hendak mengangkat Niken Sasi menjadi ketua dan mengutus murid itu mencari pusaka Tilam Upih.

Setelah Klabangkoro dan Mayangmurko menyusun siasat bersama Ki Brotokeling ketua Jambuka Sakti, Jinten lalu mendapatkan tugas penting, yaitu menghadang perjalanan Niken Sasi. Hal ini mudah dilakukan karena memang sejak berangkat dari Anjasmoro, perjalanan dara itu selalu dibayangi oleh orang-orang yang menjadi anak buah Klabangkoro dan juga Brotokeling.

Siasat pertama, yaitu menonjolkan Gajahpuro agar dapat mendekati dan menemani Niken Sasi dengan membantu gadis itu dari pengeroyokan segerombolan orang, ternyata telah gagal. Niken Sasi tidak mau ditemani pemuda itu sehingga sukar diharapkan Niken akan jatuh hati kepada Gajahpuro. Apalagi pemuda putera Klabangkoro ini memiliki watak yang berbeda dengan ayahnya. Pemuda itu pasti akan menolak kalau mengetahui akan siasat yang diatur ayahnya untuk menjebak Niken Sasi. Dia memang mencintai Niken, akan tetapi cintanya tulus, bukan cinta nafsu yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh orang yang dicintanya.

Setelah siasat pertama gagal kini Klabangkoro melakukan siasat kedua, yaitu menagkap Niken Sasi. Hal ini dilakukan hati-hati dan dengan jebakan. Jinten disuruh maju untuk menjebak Niken Sasi karena mereka sudah tahu bahwa Niken Sasi benar-benar telah menjadi seorang dara yang sakti mandraguna. Dengan menggunakan racun pembius yang amat kuat, akhirnya Niken Sasi dapat dibuat tak sadarkan diri dan tidak berdaya.

Setelah berhasil menjalankan perannya menjebak Niken Sasi yang sudah berhasil dibawa oleh gerombolan Jambuka Sakti seperti direncanakan, Jinten lalu berkata kepada Kartiko yang sebenarnya adalah seorang pembantu, bukan pamannya.

"Paman Kartiko, engkau jagalah di sini. Aku akan pergi melapor kepada kakang Klabangkoro!"

Gadis yang sudah diangkat menjadi selir oleh Klabangkoro itu lalu pergi meninggalkan rumah yang terpencil itu. Klabangkoro dan anak buahnya juga berada di dusun Lodaya untuk mengatur siasat. Mereka bertempat tinggal di sebuah rumah besar yang mereka sewa untuk keparluan itu.

Ketika mendengar laporan Jinten bahwa Niken Sasi tekah dapat ditangkap, Klabangkoro menjadi gembira bukan main. Dia merangkul Jinten dan menciuminya sambil memuji-muji. Setelah itu dia lalu memanggil Gajahpuro yang baru pagi tadi memasuki dusun dan bertemu dengan rombongan ayahnya. Klabangkoro mengaku kepada puteranya bahwa dia dan rombongannya pergi meninggalkan Anjasmoro untuk tugas yang akan dibicarakannya dengan puteranya kelak kalau sudah berhasil.

"Gajahpuro, sekaranglah saatnya aku memberitahukan kepadamu tugas apa yang sedang kulakukan dan kuharap engkau dapat menyetujuinya dan membantu usaha bapamu."

"Urusan apakah itu, ayah?" tanya pemuda itu yang merasa heran melihat sikap ayahnya yang bersungguh-sungguh mengajaknya bercakap-cakap berdua saja dalam ruangan itu.

"Begini, sebelumnya aku hendak bertanya kepadamu dan harus kaujawab dengan sejujurnya. Pertama, apakah engkau mencintai Niken Sasi dan engaku akan merasa bahagia sekali kalau dapat menjadi suaminya?"

Wajah pemuda itu berubah kemerahan, akan tetapi dia menjawab tegas, "Bapa tentu tidak khilaf dan telah mengetahui bahwa sejak dahulu saya amat mencintai Niken Sasi dan tentu saja saya akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menjadi suaminya. Akan tetapi mengapa bapa menanyakan hal ini?"

"Nanti saja penjelasannya. Sekarang pertanyaan kedua : Apakah engkau suka kalau dapat menguasai aji Hasta Bajra yaitu aji yang dikuasai oleh para pimpinan Gagak Seto, kemudian menjadi ketua Gagak Seto menggantikan Bapa Guru Sudibyo?"

Pertanyaan itu hanya mempunyai satu jawaban. Setiap orang murid Gagak seto pasti menginginkannya.

"Tentu saja bapa. Saya akan senang sekali kalau dapat mewarisi aji Hasta Bajra dan dapat menjadi ketua Gagak Seto."

"Nah, sekarang dengarkan baik-baik, Gajahpuro. Semua keinginanmu itu akan terpenuhi kalau saja engkau suka melakukan apa yang kuperintahkan kepadamu, yaitu membantu siasat yang kami jalankan, kalau engkau menolak, sampai matipun engkau tidak akan mampu memperisteri Niken Sasi dan menjadi ketua Gagak Seto."

Tentu saja Gajahpuro ingin sekali menjadi suami Niken Sasi yang amat dicintainya, dan siapa orangnya tidak mau menjadi ketua Gagak Seto?

"Katakanlah, bapa. Saya akan melaksanakan apa saja untuk dapat memperisteri Niken dan menjadi ketua Gagak Seto."

"Bagus! Ini baru putera bapa! Begini, kulup. Niken Sasi adalah seorang gadis yang berhati keras. Sekali ia tidak mau menjadi isterimu, ia akan menolak dan tidak ada yang akan dapat memaksanya untuk dapat menerima pinanganmu."

"Agaknya bapa benar," kata Gajahpuro dengan wajah sedih.

"Akan tetapi, ia pasti akan menerima pinanganmu kalau kehormatannya sudah ternoda. Untuk mencuci aib itu, ia pasti menerima uluran tanganmu yang akan menikahinya karena hal itu berarti mencuci aib dan noda yang mengotori diri dan namanya."

Gajahpuro memandang wajah ayahnya dengan mata terbelalak dan penuh selidik.

"Apa.......apa yang bapa maksudkan? Saya tidak mengerti."

"Ingat, kalau engkau sudah menjadi suaminya, tentu dengan mudah engkau akan mempelajari aji Hasta Bajar dari isterimu dan engkau kan menjadi ketua Gagak Seto."

"ya, akan tetapi apa yang bapa maksudkan dengan mencuci aib yang menodai Niken Sasi?"

"Begini, angger. Saat ini Niken Sasi sudah dapat kami tangkap dan ia dalam keadaan tidak sadar karena pengaruh racun pembius. Nah, ini kesempatan baik bagimu untuk menguasai tubuhnya. Ia tidak tahu karena ia masih pingsan. Setelah engkau menguasai tubuhnya tentu setelah sadar ia tahu bahwa ia telah bukan gadis lagi, telah ternoda aib yang hanya dapat ditebus dengan nyawa. Kecuali kalau ada yang suka menikahinya, Dalam keadaan bingung dan berduka itu, engaku maju sebagai penolong. Engkau meminangnya dan kaunyatakan kepadanya bahwa engaku tidak
perduli apakah ia telah tercemar atau tidak."

Perlahan-lahan wajah Gajahpuro menjadi pucat sekali. Kemudian merah, lalu pucat lagi ketika perlahan-lahan bangkit berdiri, memandang ayahnya tanpa berkedip. Sukar sekali suara keluar dari mulutnya dan setelah dia bisa bersuara, terdengar suaranya yang penuh kemarahan dan bercampur isak.

"Terkutuk! Terkutuk sekali siasat itu. Tidak, aku tidak sudi melakukannya!" suaranya gemetar dan seluruh tubuhnya menggigil.

Klabangkoro berkata dingin. "Bocah ******! Kalau engkau tidak mau, masih banyak orang yang dengan senang akan melakukan perkosaan itu. Kelak engkau tinggal menjadi penolongnya saja mengawininya."

"Tidak, aku tidak sudi! Aku akan membongkar semua rahasia busuk itu. Akan kuberitahukan kepada Niken Sasi! Akulah yang akan mencegah terjadinya perbuatan terkutuk itu! Aku yang akan menyelamatkan Niken Sasi!"

"Gajahpuro, bocah laknat! Engkau berani melawan ayahmu?"

"Kalau perlu ! aku malu menjadi putera ayah!"

"Wuuuttt......plak-plak.....!"

Gajahpuro terhuyung ketika dua kali dia menangkis tamparan ayahnya. Akan tetapi Klabangkoro mendesak terus sehingga pemuda itu terkena tamparan yang cukup kuat sehingga dia terpelanting roboh. Di lain saat dia telah dibelenggu kedua tangannya dan Klabangkoro memanggil anak buahnya

"Bawa anak durhaka ini pulang ke Anjasmoro dan sekap dia dalam tahanan. Awas, jangan sampai dia melepaskan diri. Layani dengan baik akan tetapi jangan sampai terlepas!"

Dengan sikap masih angkuh Gajahpuro lalu dibawa keluar dari situ , dan Klabangkoro menjatuhkan diri di atas kursi dengan napas terengah-engah saking marahnya. Dia merasa bingung sekali menyaksikan sikap puteranya yang menentangnya, bahkan memusuhinya dan hendak menghalangi rencananya.

Kekuasaan memang merupakan nafsu yang amat kuat mencengkeram diri manusia. Demi kekuasaan manusia suka lupa diri dan tidak segan melakukan hal-hal yang tidak manusiawi. Bahkan siap untuk memusuhi siapapun juga, bahkan anak sendiri, demi mencapai kekuasaan yang diidamkan. Betapa banyaknya tercatat dalam sejarah adanya perebutan kekuasaan di antara saudara kandung, di antara ayah dan anak, sampai terjadi perang dan mengorbankan nyawa ratusan ribu orang manusia!

Demikian pula dengan Klabangkoro. Dia melihat kekuasaan sudah di depan mata, sudah berada di ambang pintu. Dia sudah membayangkan betapa akan senangnya, betapa akan mulia dan terhormat, apabila dia dapat menjadi ketua Gagak Seto, kemudian digantikan oleh puteranya. Maka, melihat sikap puteranya yang menentangnya, dia menjadi marah sekali. Dalam pandangannya saat itu, Gajahpuro kelihatan sebagai seorang anak yang durhaka, yang mengecewakan, yang tidak tahu diri dan penghalang rencananya. Kalau perlu, mungkin dia akan tega membunuh puteranya itu!


Bersambung ......
 
Bagian - 14



Dalam keadaan pingsan, Niken Sasi diangkut belasan orang laki-laki itu memasuki sebuah hutan di tepi selatan Sungai Brantas, di sebelah utara Lodaya. Ternyata di dalam hutan itu terdapat sebuah rumah besar dari kayu dan bambu yang dijadikan tempat markas sementara oleh kelompok Jambuka Sakti yang bekerja sama dengan anak buah Gagak Seto di bawah pimpinan Klabangkoro.

Karena sebelumnya Klabangkoro sudah memesan dengan keras, maka tidak ada anak buah Jambuka Sakti yang berani menggangu Niken Sasi. Gadis itu dibawa ke dalam sebuah kamar, dibelenggu kaki tangannya, lalu pintunya ditutup dan penjagaan ketat dilakukan anak buah Jambuka Sakti sambil menanti datangnya Klabangkoro yang akan mengambil keputusan apa yang harus dillakukan dengan gadis tawanan itu.

Senja itu sunyi sekali di dalam hutan di lembah sungai Brantas. Kurang lebih duapuluh orang anak buah Jambuka Sakti berkeliaran di luar rumah. Ada yang membuat api unggun untuk mengusir nyamuk, ada yang menjerang air, bahkan ada yang menanak nasi untuk makan malam.

Tidak ada seorangpun di antara mereka yang melihat sesosok bayangan yang berkelebat dengan cepatnya. Saking cepatnya bayangan itu berkelebat, andaikata ada yang kebetulan melihatnya tentu akan mengira bahwa itu adalah bayangan seekor binatang hutan, atau bayangan kera yang banyak terdapat di sekeliling hutan itu. Akan tetapi sebetulnya yang berkelebtan itu adalah bayangan seorang manusia, seorang pemuda tampan. Biarpun pakaian pemuda itu seperti pakaian pemuda dusun biasa, namun jelas dia bukan pemuda sembarangan. Wajahnya anggun dan tampan, matanya mencorong dalam kegelapan senja remang, gerakannya trengginas ketika dia menyelinap dari satu ke lain batang pohon sambail mengintai keadaan rumah yang terjaga ketat itu.

Sinar api unggun yang dibuat para anak buah Jambuka Sakti menyinari wajahnya dan ternyata dia adalah pemuda yang pernah dijumpai Niken siang tadi di warung nasi. Pemuda pendiam yang sikapnya acuh itu. Dia mendekam di balik rumpun semak dan matanya mengerling ke kanan kiri mempelajari keadaan. Dia tahu bahwa kalau dia muncul begitu saja, dia akan berhadapan dengan puluhan orang yang mengepungnya. Biarpun dia tidak takut menghadapi pengeroyokan, akan tetapi dalam keadaan terkepung begitu, bagaimana mungkin dia dapat menyelamatkan gadis yang tertawan itu? Gadis yang pemberani, akan tetapi sembrono, pikirnya.

Mudah percaya kepada orang. Jelas buklan gadis yang berpengalaman, walaupun dia tadi melihat
betapa gadis itu sekali sambit menjatuhkan sebuah dawegan hijau. Agaknya seorang gadis yang memiliki sedikit kegagahan sehingga menjadi berani kurang perhitungan!

Dia tidak akan begitu sembrono. Akan diperhitungkan dulu baik-baik sebelum dia berusaha untuk membebaskan gadis itu dari tangan para penawannya.

Selagi dia mengintai dan memperhatikan, tiba-tiba serombongan orang datang memasuki pagar pekarangan rumah di tengah hutan itu. Mereka adalah Ki Klabangkoro dan belasan anak buahnya, karena para anak buah Jambuka Sakti sudah mengenal Ki Klabangkoro maka mereka menyambut dan Klabangkoro lalu memasuki rumah itu. Para anak buahnya menanti di luar, terpencar.

"Sekaranglah saatnya!" pemuda yang tadi mengintai berpikir. "Atau aku mungkin terlambat!"

Dengan cepat ia merangkak di bagian belakang rumah besar itu, cepat pula mengambil sebuah obor yang bernyala di bagian belakang. Ketika ada beberapa anak buah Jambuka Sakti melangkah datang pemuda itu memegang obor dengan santai saja dan karena pada waktu itu terdapat pula rombongan tamu anak buah Gagak Seto, maka orang-orang Jambuka Sakti mengira bahwa pemuda itupun anak buah tamu.

"Andika anak buah Gagak Seto?" tanya seorang anak buah Jambuka Sakti yang menghampiri bersama seorang teman lain.

"Benar sekali kawan." kata pemuda itu. "Kami harus menjaga keamanan di luar selagi pimpinan kami berada di dalam."

"Ha-ha-ha, jangan khawatir, kawan. Siapa orangnya berani datang mengacau tempat tinggal kami?" dua orang itu tertawa-tawa sehingga mereka menjadi lengah.

Dalam detik selagi mereka tertawa itu, pemuda yang memegang obor dengan tangan kirinya itu cepat menyerang dengan pukulan tangan miring. Dua kali tangan kanannya menyambar, tepat mengenai leher dua orang itu yang segera roboh tanpa dapat mengeluarkan suara lagi!

Setelah merobohkan dua orang itu, pemuda tadi cepat menyelinap mendekati rumah lalu menggunakan obor membakar bagian belakang rumah itu. Sebentar saja api berkobar besar dan pemuda itu lalu berteriak-teriak.

"Kebakaran.......! kebakaran.....! Tolong.......!"

Dan dia lalu menyelinap memasuki rumah itu! Sebentar saja keadaan menjadi geger. Orang-orang berteriak-teriak dan berusaha memadamkan api yang berkobar melahap bagian belakang rumah di mana disimpan rumput kering makanan kuda sehingga api berkobar dengan cepat.

Ki Klabangkoro sedang berada di dalam kamar di mana Niken Sasi rebah telentang dan terbelenggu kaki tangannya. Tokoh Gagak Seto ini masih marah karena penolakan puteranya dan dia mengambil keputusan untuk menggagahi sendiri gadis itu. Kalau dia sendiri yang menggagahi, kelak tidak mengapalah kalau gadis itu menjadi isteri puteranya! Dia memasuki kamar itu dengan mengenakan topeng yang menutupi seluruh muka kecuali sepasang matanya.

Niken Sasi sudah siuman dari pingsannya. Tubuhnya masih merasa lemah akan tetapi ia telah sadar sepenuhnya. Begitu sadar dan ingat akan segalanya, tahulah ia bahwa ia berada dalam bahaya besar. Ia telah terjebak. Bukan oleh Jinten yang juga ia lihat pingsan karena makanan beracun. Entah apa yang terjadi dengan Jinten. Akan tetapi ia sendiri jelas tidak berada di rumah Jinten, entah di rumah siapa. Ia berusaha untuk melepaskan ikatan kaki tangannya, akan tetapi ikatan itu kuat sekali dan tubuhnya masih lemah. Ketika mendengar gerakan orang memasuki kamarny, ia cepat menengok dan terkejut melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar memakai sebuah kedok menghampirinya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri, akan tetapi usahanya sia-sisa belaka.

"Siapa engkau? Mau apa engkau menjebak dan menawanku?" Niken Sasi membentak.

Orang ini tentu tidak ingin dikenal mukanya maka mengenakan topeng pikirnya dan ia memancing agar orang itu membuka mulut karena dari suaranya mungkin ia mengenal orang itu.

Akan tetapi orang itu tidak menjawab, bahkan duduk di tepi pembaringan dan tangan kirinya mulai membelai leher Niken yang putih mulus itu. Tentu saja Niken membelalakkan matanya dan dengan muka merah karena marah ia memaki-maki.

"Anjing babi hina dina! Kalau engkau memang jantan, lepaskan aku dan kita bertanding sampai seorang menggeletak tak bernyawa! Pengecut keji kau kucincang tubuhmu kalau aku bebas!"

Akan tetapi laki-laki itu agaknya tidak peduli. Pandang matanya dingin saja dan inilah yang membuat jantung Niken berdebar-debar penuh ketegangan. Orang ini akan berbuat sesuka hatinya dengan darah dingin!

"Kebakaran.........!"

Tiba-tiba terdengar teriakan ini yang disusul keteriakan kebakaran dari banyak mulut dan terdengar orang-orang berlari-lari. Mendengar ini, Ki Klabangkoro tentu saja menjadi kaget dan diapun melompat keluar dari kamar itu untuk melihat sendiri apa yang sedang terjadi.

Baru saja Klabangkoro keluar, pemuda itu sudah menyelinap masuk dan cepat dia memondong tubuh Niken Sasi yang masih terbelenggu kaki tangannya.

Melihat pemuda itu dari sinar api penerangan dalam kamar, Niken Sasi mengenalnya sebagai pemuda tadi siang yang dijumpainya dalam warung nasi. Hatinya girang sekali dan ia segera berkata.

"Kisanak, cepat bebaskan kaki tanganku dari belenggu ini agar aku dapat membantumu menghadapi jahanam-jahanam laknat itu!"

Pemuda itu tidak berpikir lama. Benar juga, pikirnya. Biarpun dia tidak takut menghadapi pengeroyokan, akan tetapi kalau dia harus memondong tubuh gadis ini, bagaimana dia akan mampu melakukan bela diri dengan baik?

"Baik, akan kubukakan ikatan kaki tanganmu," katanya singkat dan dia segera membuka simpul tali yang mengikat kedua kaki tangan Niken Sasi. Bukan main lega dan girangnya hati gadis itu setelah kaki tangannya terbebas dari ikatan. Tubuhnya tidak lemas lagi dan agaknya semua sisa pengaruh obat bius telah lenyap sehingga ia merasa kuat. Cepat ia mengambil keris pusaka Megantoro yang tadi oleh penawannya dicabut dari ikat pinggangnya dan ditaruh di atas meja. Dengan keris itu terselip di ikat pinggang, ia merasa semakin kuat dan siap untuk menghajar kawanan penjahat itu.

"Hayo kita hajar mereka!" Kata Niken Sasi penuh semangat dan tanpa menanti jawaban ia sudah mendahului melompat keluar dari dalam rumah itu.

Dua orang penjaga yang tadinya ikut memadamkan kebakaran dan kini teringat lagi akan tugasnya menjaga tawanan, berlari-lari menghampiri rumah itu dan mereka hampir bertabrakan dengan Niken Sasi di pintu depan. Melihat gadis itu telah bebas, dua orang ini terbelalak kaget dan segera berteriak-teriak

"Tolong.......! Tawanan lolos.......!"

Sebelum dua buah mulut yang berteriak itu sempat tertutup kembali, tiba-tiba Niken Sasi bergerak dan dua orang penjaga itu terpelanting, tak mampu mengeluarkan suara lagi. Melihat dua orang rekan mereka roboh tak bergerak lagi, banyak anak buah gerombolan itu berlari-lari menghampiri sambil berteriak-teriak dan mengacung-acungkan senjata. Setelah melihat gadis tawanan itu terlepas ditemani seorang pemuda tampan, mereka semua dapat menduga bahwa tentu pemuda itu yang membuat kebakaran lalu membebaskan gadis tawanan itu.

Sebentar saja, puluhan orang sudah mengepung Niken Sasi dan pemuda itu. Akan tetapi Niken Sasi tidak menjadi khawatir, bahkan kemarahannya berkobar. Ia meloncat ke depan dan menerjang para pengeroyok itu dan dalam segebrakan saja dua orang telah terpelanting oleh tendangan dan tamparan dara perkasa itu.

Gegerlah para aanak buah Jambuka Sakti. Apalagi ketika pemuda tampan itu juga mengamuk dan sebentar saja sudah merobohkan dua orang pengeroyok lain. Ramailah teriakan mereka sambil melakukan pengeroyokan.

Ki klabangkoro yang masih mengenakan topeng, juga terkejut melihat Niken Sasi telah terlepas dari ikatan dan kini mengamuk bersama seorang pemuda. Karena dia tidak ingin dikenal Niken Sasi, maka dia tidak melepaskan topengnya dan ikut membantu para anak buah Jambuka Saskti. Diapun ingin membuktikan sendiri kesaktian gadis itu, maka begitu menerjang maju, dia mengerahkan tenaga pada pada kedua tangannya dan menghantam ke arah dada gadis itu dengan tenaga dasyat. Tentu saja dia tidak berani mengeluarkan senjata yang ampuh, yaitu Pecut Dahono karena senjata itu tentu akan dikenal oleh Niken Sasi.

Nien Sasi mengenal pukulan ampuh ketika laki-laki bertopeng yang tinggi besar itu menyerangnya. Cepat iapun menggerakkan tangan kanannya, memutar dari kiri ke kanan setengah lingkaran menangkis pukulan ke arah dadanya itu.

"Dukkk.........!"

Niken Sasi merasa betapa lengannya yang menangkis tergetar hebat, akan tetapi penyerangnya juga terhuyung ke samping. Bukan main kagetnya hati Klabangkoro karena tadi dia telah mengerahkan seluruh tenaganya dan ternyata tangkisan itu membuat dia terpelanting dan terhuyung. Dari pertemuan tenaga itu saja terbukti sudah bahwa dalam hal tenaga sakti, dia masih kalah kuat oleh gadis ini!

Percayalah dia kini bahwa gadis itu memang benar telah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dari gurunya, juga melihat tenaganya, sudah pasti ia telah menguasai Hasta Bajra. Gadis ini berbahaya sekali, pikirnya. Kalau saja dapat dinodai sehingga kelak mau diperisteri Gajahpuro, memang hal yang paling baik dan menguntungkan. Akan tetapi, kalau tetap tidak mau diperisteri puteranya, gadis ini memang sebaiknya dilenyapkan saja, dibunuh. Kalau tidak, tentu akan menjadi penghalang baginya.

"Serbuuuu......!Bunuh.........!" Akhirnya dia mengambil keputusan untuk membunuh saja dara yang berbahaya ini. Kalau para anak buah Jambuka Sakti tadinya masih meragu untuk membunuh gadis tawanan itu karena semula mereka dipesan agar jangan menggangu Niken Sasi, kini mendengar teriakan Ki Klabangkoro, cepat mereka memperketat kepungan dan mulai menggunakan senjata tajam untuk menyerang Niken Sasi dan pemuda itu.

Niken Sasi tidak menjadi gentar. Kini ia sudah mengcabut Kyai Megantoro dan mengamuk. Juga pemuda di sisinya mengamuk dan pemuda itu mengeluarkan sebuah senjata aneh, sebatang suling bambu kuning! Akan tetapi suling ini ternyata hebat sekali. Sekali saja ujung suling menotok dan mengenai tubuh seorang pengeroyok, maka orang itu akan terpelanting dan tidak dapat bangun kembali!

Betapapun kuatnya Niken dan pemuda penolongnya, mereka berdua kerepotan juga. Bukan saja orang tinggi besar yang bertopeng hitam itu yang amat hebat kepandaiannya, merupakan lawan yag kuat sekali bagi Niken Sasi, akan tetapi juga beberapa jagoan tingkat atas dari Jambuka Sakti telah pula maju membantu. Mereka berdua telah merobohkan belasan orang pengeroyok, akan tetapi jumlah pengeroyok makin bertambah dan mereka terkepung ketat dan mulai terdesak.

Niken Sasi sama sekali tidak gentar dan hendak mengamuk terus,akan tetapi pemuda itu berseru kepadanya,

"Mari kita pergi!" Dan dia menggunakan kesempatan untuk memegang pergelangan tangan kiri Niken lalu mengajaknya lari secepatnya meninggalkan gelanggang pertempuran.

Niken Sasi hendak membantah, akan tetapi pemuda itu tidak memberi kesempatan kepadanya dan terus menariknya dan mengajaknya berlari cepat. Gerombolan itu melakukan pengejaran. Cuaca sudah mulai gelap dan kedua orang yang melarikan diri itu berhasil meninggalkan para pengejarnya dan tak lama kemudian mereka berhenti di tepi sungai yang banyak ditumbuhi rumput ilalang sehingga mereka tersembunyi.

Barulah Niken Sasi dapat mengucapkan ketidak senangan hatinya.

"Kenapa andika menarik tanganku dan memaksa aku melarikan diri?" Sepasang mata bersinar-sinar dalam keremangan cuaca yang diterangi bulan dan bintang-bintang. Malam itu langit bersih sekali. Sinar bulan tigaperempat sudah muncul di timur, dan dibantu bintang-bintang, sinarnya membuat cuaca menjadi remang-remang dan dingin.

"Keadaan lawan terlalu banyak dan terlalu kuat,"jawab pemuda itu.

"Aku tidak takut!" Bantah Niken Sasi, masih belum hilang kemarahannya.

"Menyelamatkan diri dari pengeroyokan banyak lawan bukan berarti takut. Sebaliknya, nekat melawan pengeroyokan banyak orang dan kemudian tewas dan mati konyol adalah perbuatan orang yang bodoh. Andika tentu tidak mau kalau dikatakan bodoh, bukan?"

Niken Sasi terdiam, menyadari kebenaran omongan pemuda itu dan ia seperti baru teringat bahwa pemuda ini telah menolongnya, melepaskannya dari belenggu. Kalau tidak datang pemuda ini menolongnya, melakukan pembakaran dan melepaskan ikatannya, entah apa yang telah terjadi dengan dirinya. Ia bergidik ngeri kalau mengenang kembali belaian jari-jari tangan orang bertopeng tinggi besar itu pada lehernya, seolah-olah sepuluh ekor ular yang merayap-rayap di lehernya.

"Kenpa engkau menolongku?" Tiba-tiba saja pertanyaan itu diajukan, seperti menodongkan keris di depan dada pemuda itu. Ditanya demikian secara tiba-tiba, pemuda itupun tertegun, akan tetapi pemuda itu tersenyum.

"Kenapa,ya? Kenapa aku menolongmu? Ah, kenapa tidak? Aku melihat seorang ditawan gerombolan lalu aku mebayangi gerombolan itu dan menolongnya. Bukankah itu wajar saja? Apa anehnya?"

"Hemmm........, eh siapa namamu?"

"Namaku? Namaku Joko Kolomurti. Dan engkau siapa?"

"Aku Niken."

"Niken siapa?"

"Niken saja."

"Niken Saja? Baiklah, nimas Niken Saja......."

"Hushh! Bukan Niken Saja, hanya Niken tanpa tambahan apa-apa!" kata Niken Sasi sambil tersemyum karena merasa lucu.

"Ahh, maaf!" Pemuda yang mengaku bernama Joko Kolomurti itupun tertawa.

"Boleh aku menyebutmu nimas, Bukan? Nah, sekarang aku bertanya, engkau datang dari mana dan hendak pergi ke manakah, nimas?"

"Namaku Niken, jangan ditambah nimas segala. Dan akupun akan menyebutmu Joko saja. Aku tidak suka nama lengkapmu itu. Joko, aku datang dari Gunung Ajasmoro dan aku hendak pergi ke pantai Lautan Kidul. Dan engkau sendiri?"

"Ah, aku tinggal dipegunungan Kidul, yaitu di Girimanik bersama ayahku dan para pengikut ayahku. Aku baru saja hendak pulang dari perjalanan merantau yang sering kulakukan. Kebetulan sekali jalan kita menuju ke selatan yang sama. Kalau boleh aku mengetahui, ada keperluan apakah engkau hendak pergi ke pantai Lautan Kidul?"

"Tidak ada hubungannya denganmu.maka tidak perlu kuceritakan." kata Niken jujur.

Pemuda itu tidak menjadi marah dan bangkit berdiri. "Niken, tidak enak bicara di sini. Tempat ini banyak nyamuk. Mari kita lanjutkan perjalanan ke selatan. Tak jauh dari sini ada sebuah bukit di mana terdapat banyak goa-goa yang dapat kita tempati untuk melewatkan malam."

"Baiklah, " kata Niken yang juga bangkit berdiri. Daerah ini tidak dikenalnya, maka kalau ada petunjuk jalan, tentu amat baik baginya. Mereka lalu melangkah perlahan-lahan, dibawah sinar bulan dan bintang-bintang.

"Kalau aku tidak salah sangka, agaknya aku mengetahui apa yang menjadi tujuan perjalananmu ke pantai Lautan Kidul." kata Joko.

Api unggun yang kemerahan dan dia tersenyum lebar.

"Mudah saja, Niken. Aku adalah orang yang tinggal dekat pantai Laut Selatan, oleh karena itu, apabila terjadi sesuatu yang penting di daerah ini, tentu aku mendengar dan mengetahuinya. Selama berbulan-bulan ini, berbondong-bondong orang gagah, para pendekar dan para petualang, berkeliaran di sepanjang Pantai Laut Kidul. Tujuan mereka semua sama, yaitu untuk mencari keris pusaka Tilam Upih yang kabarnya pada waktu ini akan muncul dari pantai Lautan Kidul. Nah, melihat bahwa engkau juga seorang dara pendekar, apa sukarnya menebak apa yang menjadi tujuanmu datang ke daerah ini?"

Niken bernapas lega dan duduk kembali. Sejenak mereka saling pandang dari sepasang mata Joko keluar sinar kagum penuh pesona. Ditempa sinar api unggun yang kemerahan,wajah dara itu ampak semakin cantik jelita! Niken juga harus mengakui bahwa pemuda yang duduk di depannya ini adalah seorang yang tampan dan gagah.

"Ah, begitukah? Maafkan kalau tadi aku menyangaka engkau memata-matai aku. Kiranya banyak orang yang mencari Tilam Upih? Joko, dugaanmu memang tepat. Aku memang sedang mencarai keris pusaka itu. Dapatkah engkau membantuku dan memberi keterangan di mana aku bisa mendapatkan Tilam Upih?"

"Tentu saja aku dapat membantumu, Niken. Akan tetapi ada syaratnya. Aku tidak berani membantumu kecuali kalau engkau memenuhi syarat itu."

Niken mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah tampan itu. Kecurigaannya bangkit kembali.

"Hemm, apa syaratnya?"

"Ketahuilah, Niken. Yang tahu banyak adalah pamanku sendiri. Karena itu, tanpa perkenan ayah, bagimana aku berani membuka rahasia pamanku itu? Nah, kalau engkau mau berkunjung kepada kami, bertemu dengan ayahku, aku akan minta perkenan ayah untuk menceritakan tentang pamanku itu. Dan agaknya tidak sukar bagimu untuk menemukan dan mendapat keris pusaka itu."

Bukan main girangnya rasa hati Niken. "Itulah syaratmu? Tentu saja aku siap untuk mengunjungi ayahmu. Kalau hal itu menyangkut rahasia pamanmu, tentu saja syaratmu cukup pantas. Mari kita berangkat ke Girimanik untuk menghadap ayahmu!"

Melihat sikap Niken yang begitu bernafsu, Joko tertawa. "Ha-ha-ha, engkau seperti anak kecil melihat mainan. Niken! Tidak semudah kita pergi ke Girimanik malam hari begini. Perjalanan itu amat berbahaya kalau dilakukan di waktu malam. Besok pagi barulah kita dapat melanjutkan perjalanan. Malam ini kita beristirahat dulu disini. Tempat ini bersih dan cukup menyenangkan, bukan?"

Niken terpaksa membenarkan. "Baiklah, aku akan tidur di sudut sini," katanya.

Sudut itu memang bersih dan lantainya rata, maka Niken yang sejak melakukan perjalanan sudah terbiasa tidur di mana saja untuk melewatkan malam, lalu merebahkan diri miring. Karena pengalamannya tadi menguras tenaganya, dan sisa pengaruh racun pembius masih terasa sedikit menimbulkan rasa kantuk, sebentar saja ia sudah tidur pulas.

Joko memandang sambil tersenyum senang. Setelah menambahkan kayu bakar pada api unggun yang dinyalakan di mulut goa, diapun merebahkan diri miring menghadapi gadis itu dan tertidur.

Niken menggeliat. Tiba-tiba telinganya mendengar lengking suara suling ditiup merdu sekali. Segara ia dapat menangkap tembang yang dimainkan dengan suling itu. Sekar Kinanti! Dan amat indahnya tiupan suling itu. Tembangnya meliuk-liuk bagaikan gelombang Lautan. Ia membuka mata lalu bangkit duduk. Ia mengigil. Hawa ternyata dingin sekali dan api unggun sudah padam. Akan tetapi ada sinar matahari pagi menyentuh mulut goa. Sudah pagi! Dan iapun terpesona memandang kepada pemuda yang duduk di atas sebuah batu di depan goa. Joko kiranya yang meniup suling itu. Dan ia teringat betapa pemuda itu kemarin mengamuk dengan senjata sebatang suling! Agaknya senjata itu adalah sebatang suling sungguhan yang dapat ditiup dan dimainkan. Perasaan gembira menyelinap dalam dada Niken Sasi dan dengan sendirinya ia lalu menembang, mengikuti suara suling itu.

"Esok-esok kok wis ngidung
tembange sekar kinanti......"

Pemuda yang masih meniup suling itu menengok dan Niken juga memandang, dan keduanya berhenti menembang dan meniup suling, saling pandang,terpesona.

"Wah, tiupan sulingmu indah sekali, Joko......" Niken memuji.

"Dan suaramu, bukan main merdu dan indahnya, Niken!" kata Joko pula dengan kagum.

Niken melangkah keluar, menghampiri Joko. Melihat wajah pemuda itu segar, agak basah, dan rambutnya juga agak basah, ia berkata sambil tersenyum,

"Wah, sepagi ini engkau sudah mandi agaknya. Ah, engkau membuat aku jadi merasa malas dan malu. Di mana ada sumber air?"

Joko menudingkan sulingnya ke bawah. "Di sana ada sumber air jernih Niken. Mandilah, aku menatimu di sini, sambil membakar ubi. Engkau suka ubi bakar, bukan?"

"Ubi bakar? Enak sekali. Di mana kau dapatkan ubi?"

"Di tegal sawah sana. Pemiliknya kalau mengetahui, tentu tidak keberatan merelakan beberapa buah ubinya kepada kita." Kata pemuda itu tersenyum sambil membawa beberapa buah ubi ke dekat api unggun yang masih membara.

Niken juga tertawa lalu gadis itu berlari-lari menuruni bukit. Benar saja terdapat sumber air jernih yang mengucur turun dari celah-celah batu. Tanpa curiga lagi karena tempat itu memang sunyi sekali, ia menanggalkan seluruh pakaiannya lalu mandi dengan berjongkok di bawah air mancur. Air menimpa kepala dan tubuhnya, terasa nyaman dan sejuk bukan main, menimbulkan perasaan senang di hati.

Tak lama kemudian ia kembali kedepan goa dengan rambut terurai. Rambut itu basah dan agar cepat kering harus dibiarkan terurai. Akan tetapi Joko menyambutnya dengan pujian.

"Duh Jagat Dewa Bathara yang Maha Agung! Eangkau mengejutkan aku, Niken. Aku tadi mengira ada bidadari turun dari kahyangan! Begitu cantiknya engkau dengan rambutmu seperti itu! Sungguh mati, selama hidupku belum pernah aku melihat yang seindah engkau........!"

Niken merasa betapa mukanya panas. Ada perasaan malu, akan tetapi juga girang menyelinap dalam hatinya mendengar pujian Joko. Joko sejak kemarin bersikap sopan dan pujiannyapun sopan sehingga tidak membuat ia marah. Berbeda dengan pujian pria lain terhadap dirinya. Pujian yang selalu mengandung nafsu dan kekurang ajaran.

"Hemm, kiranya selain pandai meniup suling, engkaupun pandai merayu Joko."

"Sungguh mati aku tidak merayu, melainkan bicara menurut kenyataannya, Niken."

Niken menghampiri sambil tersenyum manis, dan mengebut-ngebutkan rambutnya agar cepat kering.

"Sudahlah, sudah matangkah ubinya?"

"Sudah siap, dan hemm, alangkah sedap baunya! Mari, Niken, silakan."

Mereka lalu makan ubi. Sesungguhnyalah, lezat tidaknya makanan sebagian besar bergantung kepada keadaan perut. Kesehatan badan dan batin. Kalau nadan sehat, perut lapar dan batin senang, maka makanan sederhana sekalipun akan terasa lezat dan nikmat. Dua orang muda yang sarapan ubi bakar dan hanya minum air sumber itu benar-benar menikmati sarapan mereka sapai kenyang.

Setelah itu, mereka meninggalkan goa dan melanjutkan perjalanan menuju ke salatan. Mulailah mereka mendaki banyak bukit-bukit di selatan dan setelah matahari naik tinggi, tibalah mereka di lereng sebuah bukit. Bukit ini tidak seperti bukit lainnya yang banyak terdapat di situ, nampak hijau subur.

"Itulah Girimanik, tempat tinggal kami, Niken." Kata Joko Kolomurti sambil menuding ke arah puncak bukit yng nampak hijau lebat penuh pohon.

Niken merasa gembira karena ia akan mendapatkan keterangan tentang pusaka yang sedang dicarinya. Tak disangkanya akan sedemikian mudahnya ia memperoleh keterangan.Tadinya ia sudah merasa bingung ke mana harus mencari Tilam Upih, kalau saja pusaka itu meninggalkan jejak. Untung baginya bertemu dengan Joko, yang bukan saja menyelamatkan dari tangan gerombolan penjahat, akan tetapi juga akan dapat memberi keterangan tentang keris pusaka Tilam Upih.

Setelah tiba di lereng terakhir dekat pucak, tiba-tiba Niken berhenti melangkah dan memandang dengan mata terbelalk kedepan. Di kanan kiri jalan yang mereka lalui kini terdapat arca-arca yang berbaris kiri kanan. Yang membuat Niken terheran dan terkejut adalah melihat arca-arca sebesar dua kali ukuran manusia itu menggambarkan wajah-wajah menakutkan, wajah-wajah raksasa dan iblis menyeramkan sekali.

"Apa itu........?"Tanya Niken kepada Joko.

Pemuda itu tertawa. "Ha-ha-ha, jangan katakan kepadaku bahwa seorang gadis perkasa seperti engkau ini takut melihat arca-arca itu, Niken."

"Bukan takut, melainkan serem. Arca-arca apakah itu?"

"Ah, itu adalah arca-arca para pengawal dan pengikut Ibu Dewi."

"Ibu Dewi.......?" Niken tidak mengerti.

"Ketahuilah, Niken. Kami di sini adalah pemuja Ibu Dewi. Kebetulan sekali, malam nanti adalah hari purnama sidhi (bulan purnama penuh) dan seperti biasanya setiap bulan purnama, kami mengadakan upacara pujaan kepada Ibu Dewi. Engkau akan menjadi tamu kehormatan kami, Niken. Karena itu, simpan pertanyaanmu, karena malam nanti engkau akan menyaksikan sendiri dan mengerti."
 
Bagian - 15


Melihat sikap pemuda itu demikian gembira , sinar matanya mencorong dan mulutnya tersenyum, Niken juga tersenyum dan mengangguk, "Baiklah, aku akan menahan keherananku dan akan melihatnya sendiri malam nanti."

"Nah, mari kita menghadap ayahku."

Mereka berdua mempercepat langkah mereka. Arca-arca itu masih berjajar, terus menuju ke atas dan makin lama arca-arca yang berdiri di kanan kiri jalan itu semakin indah ukirannya sehingga bagaikan hidup saja. Dan yang terakhir terdapat selosin arca puteri-puteri cantik jelita berdiri seperti menyambut tamu di depan sebuah bangunan yang megah. Dupa harum menyambut hidung Niken ketika ia tiba di depan pintu gapuro besar depan rumah itu. Di kanan kiri dan belakang rumah megah itu terdapat rumah-rumah lain yang biasa saja, tidak seperti rumah induk yang megah dan indah itu, penuh dengan ukiran-ukiran di atapnya.

Di depan pintu gapuro yang tertutup itu tergantung sebuah kentungan dari bambu yang kecil mungil dan diukir indah. Joko mengambil pemukul kentungan itu lalu memukul kentungan tiga kali, perlahan saja. Terdengar bunyi ketukan yang cukup nyaring dan tak lama kemudian pintu gapuro yang besar itupun dibuka orang dari dalam.

Dan Niken terbelalak kagum, kiranya di sebelah gapuro itu menunjukkan kehidupan yang sibuk dan nampaklah rumah itu benar-benar megah seperti Iatana saja. Di depan rumah itu berdiri belasan orang wanita yang berusia antara Limabelas sampai duapuluh tahun, cantik-cantik manis seperti arca-arca selosin puteri di depan gapuro. Wajah mereka semua berseri dan semyum mereka sungguh manis ketika mereka mengenal siapa yang mengetuk kentungan.

"Ah, kiranya paduka, Raden Joko........"

Belasan orang wanita itu menyambutnya dengan gembira dan hormat sekali, bahkan mengabaikan Niken. Gadis ini tertegun. Raden? Mereka menghormati Joko seolah pemuda itu seorang pangeran saja, atau putera bangsawan tinggi!

Agaknya Joko Kolomurti juga menyadari bahwa para dayang atau pelayan itu sama sekali tidak memperhatikan Niken, maka dia berkata lantang.

"Tenang kalian semua! Cepat laporkan kepada Kanjeng Romo Wiku bahwa aku pulang bersama seorang tamu terhormat, yaitu nona Niken ini."

Kini belasan orang wanita itu memandang kepada Niken, ada yang menyembah kepada Niken, ada yang mengangguk, akan tetapi pandang mata mereka sama, yaitu mengandung hati yang tidak senang. Hal ini terasa sekali oleh Niken, akan tetapi ia tidak peduli. Ia tidak mempunyai urusan dengan mereka, dan melihat sikap Joko, mereka itu hanylah pelayan-pelayan belaka!

Setelah belasan orang itu memberi hormat dengan sembah kepada Joko, mereka lalu masuk ke dalam rumah setengah berlari. Langkah mereka kecil-kecil dan ringan, tubuh mereka seperti meluncur saja ke dalam. Hanya bunyi gerakan kain mereka saja yang terdengar karena mereka semua kini membisu dan dengan sikap takut dan hormat.

Rumah besar itu nampaknya sunyi dan tenteram setelah para wanita tadi bersikap demikian lincah di depan rumah kini memasuki rumah. Akan tetapi setelah Joko mengajak Niken mendaki anak tangga menuju keserembi depan, ternyata olehnya bahwa rumah ini sama sekali bukan sunyi karena tidak ada orangnya. Kini terlihat olehnya bahwa di setiap depan pintu atau lorong berdiri dua orang pria yang bertugas menjaga, dengan tombak di tangan dan sikap mereka tegak seperti perajurit. Ketika Joko lewat, mereka memberi hormat dengan sembah tangan kiri ke depan dahi. Kalau tidak melakukan gerakan itu, tentu Niken mengira bahwa mereka itupun arca-arca!

"Wah, rumahmu indah sekali, Joko." Bisik Niken kepada pemuda itu ketika mereka memasuki lorong yang penuh hiasan ukir-ukiran. Batu dan kayu-kayuan semua diukir halus sekali, dan di semua pintu tentu terukir kepala raksasa yang besar dan pintu itu menjadi mulutnya yang ternganga.

"Ini adalah istana Girimanik atau juga pertapaan Girimanik tempat tinggal kanjeng romo. Aku adalah putera tunggal kanjeng romo dan kami tinggal di sini bersama Ibu Dewi."

Niken tidak sempat bertanya lagi karena pada saat itu, dengan langkahnya yang kecil-kecil dan tak bersuara, telah muncul dua orang pelayan. Mereka menghaturkan sembah kepada Joko lalu berkata,

"Kanjeng Gusti mengutus hamba untuk memberi tahu paduka bahwa beliau menanti paduka dan tamu di dalam ruangan tamu."

Niken Sasi yang pernah hidup di istana raja sampai berusia sepuluh tahun, tidak merasa asing dengan sikap para pelayan yang demikian hormat kepada seorang pangeran saja. Ia menjadi semakin heran dan ingin sekali mengetahui dan mengenal keluarga yang hidupnya sebagai keluarga raja ini.

"Marilah, Niken. Kanjeng romo telah menanti kita." kata Joko dan Niken hanya mengangguk dan mengikuti pemuda itu.

Mereka memasuki sebuah ruangan di depannya di jaga oleh dua orang pria penjaga yang memegang penggada besar dan tubuh merekapun tinggi besar seperti raksasa. Ruangan itu luas dan dipenuhi prabot ukir-ukiran indah, digantungi sutera-sutera beraneka warna. Niken melihat lima orang gadis dayang yang cantik duduk bersimpuh dikiri kanan dan di atas sebuah kursi besar duduklah seorang laki-laki yang usianya sekitar enampuluh tahun, akan tetapi masih nampak sehat dan gagah.

Tubuhnya sedang saja, dan mukanya kemerahan, pandang matanya penuh wibawa. Mata itu mencorong ketika dia memandang kepada Niken yang berjalan masuk bersama Joko.

Joko menghadap ayahnya dan menghaturkan sembah, lalu berkata, "Kanjeng Romo, ini adalah Niken yang saya undang sebagai tanu untuk menyaksikan pesta pemujaan nanti malam. Niken ini adalah Kanjeng Romo Wiku Syiwakirana."

Sebagai seorang muda yang mengenal kesusilaan, Niken juga memberi hormat dengan sembah.Lalu berkata.

"Harap Paman Wiku sudi memaafkan kalau kedatangan saya ini mengganggu."

"Jagat Dewa Bathara, andika ini seorang dara remaja telah pandai membawa diri dan bersusila. Nini, aku yakin bahwa andika tentu telah memperoleh pelajaran dari seorang guru yang pandai. Bolehkah aku mengetahui siapa guru yang telah menggemblengmu, karena akupun dapat menduga bahwa selain kesusilaan, andika juga telah memiliki aji kedigdayaan."

Diam-diam Niken terkejut. Pria ini baru melihat saja sudah dapat menduga bahwa ia memiliki kedigdayaan! Iapun tidak ingin menyembunyikan keadaan dirinya, apa lagi kedatangannya ini untuk minta bantuan, yaitu keterangan tentang Tilam Upih. Mungkin nama perguruannya akan menolong pula.

"Paman Wiku, saya adalah murid Gagak Seto di Anjasmoro."

"Demi para dewata! Tidak meleset dugaanku. Kiranya andika adalah murid Ki Sudibyo ketua Gagak Seto yang gagah perkasa? Joko, bagaimana engkau dapat bertemu dan berkenalan dengan dara perkasa ini?"

"Kanjeng Romo, pertemuan kami kebetulan saja. Saya membantunya ketika Niken dikeroyok oleh orang-orang Jambuka Sakti dan kamipun berkenalan."

"Hemm, Jambuka Sakti? Selalu saja gerombolan itu membuat onar. Nini, kenapa andika sampai dikeroyok orang-orang Jambuka Sakti ?" tanya Wiku Syiwakirana dengan pandang mata penuh selidik.

"Entahlah paman. Saya tidak merasa pernah bermusuhan dengan mereka." Kata Niken.

"Mungkin ada hubungannya dengan perjalananmu mencari Tilam Upih, Niken"

"Keris pusaka Tilam Upih.......??" Wiku Syiwakirana bertanya dengan mata terbelalak. Jelas bahwa dia terkejut mendengar gadis itu mencari pusaka Tilam Upih.

"Benar, kanjeng Romo, dan mendengar ia mencari pusaka itu, saya mengundangnya ke sini karena kalau kanjeng romo memperkenankan, saya dapat berita tentang pusaka itu."

"Sungguh hebat bukan main! Kalau yang datang seorang pendekar kawakan,seorang jagoan terkenal, mencari Tilam Upih, kami tidak akan merasa aneh, Akan tetapi andika, seorang dara remaja, berani melakukan perjalanan jauh dan berbahaya seorang diri untuk mencari keris pusaka yang diperebutkan itu! Eh, nini, untuk apakah andika mencari pusaka itu?"

"Sesungguhnya, saya mencari pusaka Tilam Upih bukan untuk saya pribadi, paman. Saya hanya melaksanakan perintah Bapa Guru."

"Aha, jadi Ki Sudibyo sendiri yang mengutusmu? Kalau pendekar seperti dia mempercayaimu untuk mencari Tilam Upih, tentu ilmu kepandaianmu sudah hebat sekali!"

"Sesungguhnya, kanjeng romo. Biarpun Niken ini seorang dara, akan tetapi ia sakti mandraguna. Sudah saya saksikan sendiri ketika ia mengamuk dan merobohkan orang-orang Jambuka Sakti." kata Joko.

Wiku Syiwakirana mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, menatap wajah Niken, kemudaian melirik ke arah muka puteranya dan tersenyum. Sekali pandang saja tahulah dia membaca isi hati puteranya yang masih menyembunyikan rasa kagum dan tergila-gila kepada gadis perkasa.

"Nah, nini. Setelah andika berada di sini, apa yang ingin andika tanyakan mengenai keris pusaka Tilam Upih?" tanya Wiku Syiwakirana sambil tersenyum.

"Maaf, paman, saya hanya merepotkan paman saja. Sesungguhnya, Bapa Guru mengutus saya untuk mencari Tilam Upih yang kabarnya akan muncul di pantai Lautan Kidul dan akan dijadikan perebutan para pendekar dan orang-orang gagah. Akan tetapi, Bapa Guru tidak dapat memberi tahu di mana pusaka itu akan muncul. Oleh karena itu, saya menjadi bingung dan apabila paman dapat memberi petunjuk tentang di mana adanya pusaka itu, saya akan berterima kasih dan merasa bersyukur sekali."

"Ha-ha, tentu saja kami dapat memberi petunjuk kepadamu, nini. Keris itu sudah beberapa tahun ini berada di tangan adik seperguruanku sendiri."

Niken terkejut dan heran. Ia merasa heran mengapa kakek ini mau membuka rahasia kalau pusaka itu berada di tangan adik seperguruan sendiri, dan terkejut karena kalau ia hendak merampas keris pusaka itu dari adik seperguruan sang wiku, berarti iapun akan menjadi musuh sang wiku!

"Tapi...... kalau begitu......." katanya ragu.

"Ah, ini memang bukan rahasia lagi dan tidak perlu dirahasiakan. Bahkan semua orang sudah mengetahuinya karena Adi Surodiro sendiri sudah mengumumkan bahwa dia membuat sayembara untuk memperebutkan keris pusaka Tialam Upih."

"Sayembara? Bagaimana itu, paman?"

"Begini, nini. Kebetulan sekali Adi surodiro, yaitu adik seperguruanku yang menjadi adipati, penguasa di Nusa kambangan, beberapa tahun yang lalu mendapatkan keris pusaka Tilam Upih di pesisir Lautan Kidul. Kabarnya dia mendapatkan keris itu di dalam perut seekor ikan hiu yang besar. Ikan itu tertangkap kail dan ketika dibelah, dalam perutnya ditemukan keris pusaka itu. Bertahun-tahun ia merahasiakan penemuannya ini, sampai kemudian tersiar berita bahwa Tilam Upih akan muncul di pantai Lautan Kidul. Karena maklum bahwa berita itu tentu akan mendatangkan banyak pendekar dan ketua perguruan , juga bahwa tentu Kerajaan Kediri akan berusah merampasnya, maka Adi Surodiro ingin agar pusaka itu diperebutkan secara resmi dengan jalan mendirikan sayembara. Yaitu, mereka yang menghendaki keris pusaka itu agar saling mengadu kepandaian lebih dulu. Siapa yang paling unggul, kemudian harus mampu mengalahkan Adi Surodiro yang memegang Keris Tilam Upih, barulah dia akan memiliki pusaka itu."

Niken menjadi girang sekali. "Ah,ini berita baik sekali. Kalau begiu, saya tidak perlu mencari jauh-jauh. Kapan diadakan sayembara itu dan di mana, paman?"

"Jangan khawatir, Niken. Aku sendiri yang akan mengantarmu ke tempat tinggal Paman Surodiro. Siapa tahu kalau melihat aku dia akan bersikap lunak kepadamu. Waktunya masih sebulan. Tinggallah dulu di sini sampai tiba waktunya dan aku akan mengantarkan engkau ke sana." kata Joko.

Mendengar ini, tentu saja hati Niken menjadi girang bukan main. Sungguh beruntung ia bertemu dengan pemuda yang demikian baiknya. Tentu saja ia menerima tawaran pemuda itu dan menghaturkan terima kasih kepada Wiku Syiwakirana dan Jokokolomurti.

"Sekarang, harap engkau beristirahat dulu karena aku harus membantu persiapan malam upacara pemujaan malam nanti, Niken." kata Joko yang lalu menoleh kepada dua orang di antara para dayang yang duduk bersimpuh di situ. "Kalian antarkan nona ini ke kamar tamu yang paling besar di belakang dan layani baik-baik, sediakan segala keperluannya."

"Baik, Raden. Mari silakan, Mas Ayu......" kata seorang dayang dengan sikap hormat.

Niken lalu membawa buntelan pakaiannya dan mengikuti dua dayang memasuki bagian dalam rumah besar itu.

Niken dibawa ke sebuah di antara banyak kamar di belakang rumah itu dan ternyata kamar yang disediakan untuknya adalah sebuah kamar yang lengkap dan cukup luas.

Dengan ramah dan hormat dua orang pelayan itu melayaninya, menghidangkan makan siang yang cukup lengkap. Niken mencoba untuk mencari keterangan dari mereka tentang keadaan perkumpulan yang dipimpin Wiku Syiwakirana, akan tetapi ternyata para pelayan itu biarpun bersikap ramah dan hormat, amat tertutup.

"Harap maafkan karena kami dilarang keras untuk bicara tentang perkumpulan kami. Yang berhak memberi keterangan hanya Kanjeng Gusti dan puteranya." Demikian kata mereka dan selanjutnya mereka bungkam. Niken lalu menyuruh mereka pergi karena setelah makan ia ingin beristirahat dulu.
 
Bagian - 16


Baru saja Niken tertidur, ia terbangun lagi dikejutkan suara hiruk pikuk diluar kamarnya. Ketika ia turun dan membuka pintu, ia mendengar suara banyak orang dari arah depan rumah itu. Tentu saja ia merasa heran sekali, apalagi melihat banyak penjaga pria berlarian keluar sambil membawa tombak atau golok, bahkan para pelayan wanita berlari keluar sambil membawa pedang atau keris, seolah semua orang siap untuk melawan musuh yang datang menyerbu.

Niken membetulkan pakaiannya, menjadi ringkas ringan karena ia ingin sekali melihat apa yang terjadi dan siap membantu pihak tuan rumah kalau ada marabahaya datang. Padahal saat ia hendak pergi keluar, munculah Joko dan wajah pemuda inipun menunjukkan kekhawatiran.

"Joko, apa yang terjadi? Ada apakah ribut-ribut ini?

"Ah, pemuda pengacau itu datang lagi mengacau!" kata Joko sambil mengepal tinju.

"Kami membutuhkan bantuanmu, Niken."

"Tentu saja aku akan membantu. Akn tetapi ceritakan dulu duduk persoalannya. Siapa pemuda yang kaumaksudkan itu?"

"Sepekan yang lalu muncul seorang pemuda yang menuntut agar kami membebaskan para gadis dusun yang menjadi murid dan pelayan di sini, dengan mengatakan bahwa kami melakukan paksaan kepada mereka. Sudah kami jelaskan bahwa di sini tidak ada paksaan. Para wanita dan pria yang menjadi anggota kami masuk secara suka rela, tanpa paksaan. Setelah dia kami biarkan bertanya sendiri kepada para gadis dusun yang berada di sini, akhirnya kami dapat meyakinkannya bahwa kami tidak melakukan paksaan, dan dia pergi. Akan tetapi sekarang dia muncul lagi diiringkan puluhan orang warga dusun-dusun di sekitar Girimanik, dan sikap mereka
mengancam!"

"Hemm, engkau seorang yang sakti, kenapa mendiamkannya saja dan tidak memberi hajaran pada saat pertama dia muncul, Joko?"

"Terus terang saja, hal itu sudah kulakukan. Akan tetapi dia ..... dia digdaya sekali, Niken. Agaknya aku bukan lawannya, bahkan kanjeng romo sendiri menasihati agar membiarkan dia pergi tanpa menggunakan kekerasan."

"Sekarang, apa maunya datang lagi?"

"Dia dan puluhan orang warga dusun itu menuntut agar perkumpulan kami dibubarkan dan semua warga dusun yang sudah menjadi anggota kami dibiarkan pulang."

"Hemm, mana ada aturan macam itu? Mari kita lihat, apa macamnya orang kurang ajar itu!"kata Niken yang lalu berlari keluar bersama Joko.

Ketika mereka tiba di luar, Niken melihat serombongan warga dusun berdiri di depan pintu gapura yang sudah terbuka lebar. Mereka jelas adalah warga dusun, dapat dikenal dari pakaiannya dan merekapun memegang senjata yang khas, yaitu arit, golok, linggis, dan sebagainya lagi. Dan jumlah mereka kurang lebih ada lima puluh orang pria. Di depan sendiri berdiri seorang pemuda sederhana. Pakaiannya juga seperti pemuda dusun, namun dia tampan dan berkulit kuning, tubuhnya tegap dan sinar matanya membuat hati Niken berdebar. Agaknya seperti itulah mata seekor naga! Dari sinar matanya ini saja dapat diduga bahwa pemuda ini adalah seorang yang "berisi" , seorang yang sakti mandraguna dan bukan lawan yang lunak.

"Hayo pimpinan perkumpulan sesat Durgamantra! Kembalikan anak-anak perempuan kami, kalau tidak kami akan hancurkan perkumpulan sesat ini!" terdengar teriakan mereka.

Selagi para warga dusun berteriak-teriak dan para anak buah perkumpulan Durgamantra itu hanya bersiap-siap dan berjaga-jaga, mendadak terdengar aba-aba di bagian belakang dan terkuaklah kelompok anak buah perkumpulan itu. Kurang lebih duapuluh orang gadis dan tiga puluh orang pria muda yang sudah bersiap itu minggir dan muncullah Wiku Syiwakirana dengan langkah tegap, perlahan dan tenang berwibawa. Semua suara terdiam ketika orang ini muncul dan sejenak dia memandang kedepan, terutama ke arah pemuda yang memimpin warga dusun itu.

"Orang muda, kembali andika membuat gaduh dan mengacau ketentraman kami. Sebetulnya apakah kemauanmu?" tanya Wiku Syiwakirana dengan sura tenang.

Pemuda itu memberi hormat dengan sembah ke dadanya. "Oum, sadhu,sadhu......! maafkan kalau saya berani datang lagi. Sang Wiku. Karena saya terdesak oleh para orang tua dusun yang menghendaki anak-anak mereka dibebaskan dan dikeluarkan dari tempat ini."

"Kenapa mereka menghendaki demikian? Anak-anak mereka itu masuk ke sini atas kehendak mereka sendiri, tidak ada yang memaksa. Kalu mereka hendak keluar sekarang juga, kami tidak akan menahan mereka. Sebaiknya ditanyakan kepada mereka sendiri. Coba sebutkan nama seoarng murid kami yang diminta orang tuanya!"

Seorang laki-laki yang berusia empatpuluh tahun berteriak, "Mana Sariati! Sariati, anakku, keluarlah aku mau bicara!"

Wiku Syiwakirana menoleh kebelakang memandang kelompok murid wanita dan berseru, "Ada yang namanya Sariati? Majulah agar kami semua mendengar suaramu sendiri!"

Seorang gadis berusia delapan belas tahun melangkah maju dengan sigapnya. Ia bukan seperti seorang gadis dusun yang malu-malu dan jelas bahwa ia telah menguasai ilmu kanuragan yang membuat gerakannya lincah dan ringan.

"Aku Sariati berada di sini, bapa. Ada apakah bapa memanggilku?" Ia berhenti dalam jarak dua meter dari kelompok warga dusun itu.

Ayahnya melangkah maju menghadapi anaknya. Sejenak dia seperti tertegun. Hampir dia tidak mengenal lagi anaknya. Sekarang anaknya demikian cantik dan gagah, bukan gadis dusun yang malu-malu dan canggung.

"Sariati, mari pulang bersamaku, anakku!"

"Tidak, bapa. Aku tidak mau pulang. Aku sudah senang berada di sini, menjadi murid Durgamantra. Pulanglah, bapa dan jangan membuat ribut!"

Ayah itu maju dan memgang pergelangan tangan anaknya. "Sariati engkau harus pulang! Embokmu menangis terus, kau harus pulang sekarang juga!"

"Tidak, lepaskan aku!"

Sekali gadis itu memutar lengannya, pegangan bapanya terlepas bahkan orang tua itu terhuyung ke belakang! Sariati lalu melompat ke belakang dan masuk ke dalam rombongan murid wanita Durgamantra.

Beberapa orang ayah memanggil anaknya, laki-laki maupun perempuan untuk keluar, akan tetapi keadaannya sama saja dengan Sariati tadi, mereka semua tidak mau pulang dan ingin tetap tinggal di situ.

"Ha-ha-ha!" Wiku Syiwakirana tertawa tenang. "Kalian semua, melihat dan mendengar sendiri. Orang muda, andika sudah melihat jelas? Mereka itu dengan suka rela ikut menjadi murid kami, sama sekali tidak ada paksaan. Kenapa kalian menuduh kami perkumpulan sesat dan hendak memaksa murid-mrid kami keluar?"

"Sang Wiku Syiwakirana," kata pemuda itu sambil melangkah maju sedangkan warga dusun yang tadinya bersemangat sekali, kini nampak lesu setelah melihat betapa anak mereka tidak mau pulang. "Memang kami semua telah menyaksikan dan mendengar betapa murid-murid Durgomantra tidak ada yang mau pulang. Akan tetapi harap andika ingat bahwa mereka itu masih mempunyai ayah dan ibu dan orang tua mereka berhak menentukan nasib mereka. Andika tidak boleh memisahkan mereka dari orang tua mereka."

"Akan tetapi mereka itu juga murid-murid kami yang sudah bersumpah setia kepada Sang Betari. Kami juga berhak melindungi mereka dari paksaan siapapun juga untuk meninggalkan tempat ini! Kalau mereka pergi atas kehendak mereka sendiri, kami tidak akan menghalangi, akan tetapi siapapun juga yang hendak memaksa mereka pergi, akan kami tentang!"

"Mereka telah ditipu!"
"Mereka telah disihir!" Terdengar teriakkan-teriakan para orang tua yang merasa penasaran.

Niken yang sejak tadi menjadi penonton dan pendengar, tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Ia mendengar sediri pengakuan para murid wanita yang berada di situ bahwa mereka masuk menjadi murid dan anggota perkumpulan Dorgamantra secara suka rela, bukan dipaksa. Kini pemuda itu pemimpin para orang tua untuk memaksa anak-anak mereka keluar dari perkumpulan itu. Maka dengan marah ia menggerakkan kakinya dan tubuhnya melayang ke depan pemuda itu.

Pemuda itu terkejut dan heran melihat gerakan dara yang demikian tangkasnya, seperti terbang saja. Niken menentang pandang mata pemuda itu sambil bertolak pinggang, kemudian ia menudingkan telunjuknya ke arah muka pemuda itu dan berkata dengan suara menegur.

"Kenapa engkau mengacau dan menghasut para warga dusun itu untuk memaksa anak mereka keluar dari perkumpulan Durgamantra? Aku tidak melihat adanya paksaan dari para pimpinan Durgamantra! Apakah engkau kurang pekerjaan maka mencampuri urusan pribadi orang lain?"

Pemuda itu memandang penuh selidik, lalu berkata sambil tersenyum mengejek.

"Engkau tentu murid perguruan Durgamantra, tentu saja engkau membela perguruanmu!"

"Siapa bilang aku murid Durgamantra? Aku hanya seorang tamu yang tidak suka melihat engkau mencampuri urusan pribadi orang lain. Para murid itu masuk Durgamantra tidak dipaksa akan tetapi secara sukarela. Kalau orang tua mereka hendak memaksa mereka keluar tentu saja perguruan Durgamantra berhak pula menghalangi." kata Niken.

Pemuda itu nampak penasaran. " Kalau andika hanya seorang tamu, berdiri saja di luar dan jangan mencampuri urusan kami!"

"Andika sendiri bukan apa-apa, tidak ada hubungannya dengan warga dusun atau dengan perguruan Durgamantra, sebaiknya pulang saja dan jangan usil di sini. Kalau tidak, terpaksa aku sebagai tamu Durgamantra akan megusirmu dengan kekerasan!"

Pemuda itu kini mengerutkan alisnya. "Bagus! Aku memang ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan perguruan Durgamantra dan semua anteknya!" Dia melangkah maju sehingga kini berhadapan dengan Niken dalam jarak dua meter.

Wajar Niken berubah merah dan ia membentak. "Keparat lancang mulut! Aku bukan antek siapapun! Hayo kau tarik kembali sebutan itu atau aku akan menghajarmu!" bentaknya.

"Akupun ingin tahu bagaimana engkau akan menghajarku, bocah sombong!" balas pemuda itu.

Niken tidak dapat menahan lagi kemrahannya. "Bagus, sambutlah seranganku! Haiiittt......!"

Cepat bagaikan seekor burung sikatan, Niken sudah menerjang ke depan dengan tamparan tangan kirinya dan ke arah muka pemuda itu. Pemuda itu terkejut juga melihat tamparan yang amat cepat dan juga mengandung tenaga dahsyat itu sehingga begitu tangan itu bergerak, dia sudah merasakan sambaran angin pukulan yang panas. Cepat dia mengelak dengan melangkah mundur. Akan tetapi begitu tangan kiri Niken luput mengenai sasaran tangan kananya sudah menyusul dengan serangan pukulan dorongan tangan terbuka ke arah dada pemuda itu.

Pukulan ini juga cepat bukan main dan sekali ini, pemuda itu menggerakkan tangan kanan, diputarnya dari kiri ke kanan untuk menangkis.

"Dukkk!" pertempuran kedua lengan itu keras sekali dan tubuh Niken tergetar, akan tetapi dalam berputar itu kakinya mencuat dan menyambarlah sebuah tendangan yang dahsyat ke arah pusar pemuda itu.

"Ehhh.......!" Pemuda itu terkejut bukan main akan tetapi ternyata dia meiliki kecepatan yang menganmkan. Dia membuang tubuhnya ke belakang dan berjungkir balik dua kali.

Kembali mereka berdua saling berhadapan, pandanga mata seperti menimbang dan menaksir kedigdayaan lawan, seperti dua ekor ayam jantan sedang saling berhadapan penuh ancaman. Niken merasa penasaran sekali. Rangkaian serangannya tadi dapat dilumpuhkan dan tahulah ia mengapa Joko Kolomurti mengaku kalah oleh pemuda ini. Ternyata pemuda ini memang tangkas sekali. Sungguh orang tidak akan menyangkanya. Pemuda ini masih muda sekali, bahkan sikapnya yang sederhana itu menimbulkan kesan seorang pemuda yang bodoh.

Niken bertekad untuk memenangkan pertandingan itu. Kalau tidak, betapa akan malunya terhadap keluarga Joko yang dibelanya. Maka, sambil berseru nyaring tubuhnya yang menggunakan aji Tapak Sikatan sudah menyerang lagi. Tubuhnya berkelebatan bagaikan seekor burung sikatan dan kaki tangannya bertubi-tubi mengirim serangan susul menyusul. Akan tetapi bukan saja serangannya yang dapat dielakkan atau ditangkis oleh pemuda itu, bahkan sebaliknya pemuda itu juga sempat membalas dengan tamparan-tamparan tangan yang dahsyat! Maklumlah Niken bahwa lawannya benar-benar tangguh.

"Hyaaaattt.......!" Tangannya mencengkeram ke arah muka pemuda itu yang cepat mengelak sambil membuang tubuhnya miring. Akan tetapi Niken menyusulkan tendangannya yang amat kuat ke arah lambung lawan. Pemuda itu sudah siap dan mengerahkan tenaga, lalu menangkis kaki yang menendang itu.

"Dukkk.......!" Tangkisan itu sedemikian kuatnya sehingga tubuh Niken terdorong keras dan membuat ia hampir kehilangan keseimbangan tubuh dan terhuyung.

Setelah melompat dan berdiri tegak kembali wajah Niken berubah kemerahan. Biarpun ia belum kalah, akan tetapi tadi ia nyaris jatuh. Bangkit kemarahannya. Tadinya ia memang hendak mengalahkan saja pemuda yang dianggapnya lancang dan usil mencampuri urusan orang lain itu. Akan tetapi kini setelah merasakan benar betapa tangguh lawannya itu, ia menjadi penasaran. Kalau ia tidak menggunakan Hasta Bajra, agaknya akan sukar baginya untuk keluar sebagai pemenang dalam pertandingan ini. Apalagi melihat wajah tampan yang tersenyum-senyum, dianggapnya pemuda itu mengejeknya.

"Babo-babo, jangan tertawa dulu keparat. Rasakan aji pukulanku ini!" Ia menggosok-gosok kedua telapak tangannya, kemudian menerjang dengan aji Hasta Bajra!

Pemuda itu terkejut bukan main ketika ada hawa panas sekali menyambar ke arahnya. Cepat dia
Merendahkan tubuh setengah berjongkok, merangkap kedua tangan seperti sembah ke depan dada, kemudian dia mendorongkan kedua tangannya ke depan untuk menyambut dan menangkis pukulan dahsyat dan ampuh dari Niken.

"Wiiiirrrrrr........desss.......!" Hebat bukan main pertemuan dua tenaga sakti itu.

Tubuh Niken terlempar kebelakang seperti sehelai daun tertiup angin, akan tetapi pemuda itupun terhuyung-huyung ke belakang!

Niken terbelalak dan cepat ia mengatur pernapasannya. Dadanya terasa agak sesak, dan iapun melihat pemuda itu menarik napas panjang berulangkali, tanda bahwa pemuda itupun terguncang isi dadanya. Akan tetapi Niken maklum bahwa pemuda itu mampu menyambut aji Hasta Bajra!

Sementara pemuda itupun agaknya maklum bahwa Niken memiliki aji kesaktian yang hebat. Dia lalu memberi hormat kepada Wiku Syiwakirana dan berkata, "Sang Wiku, kiranya andika berlindung di belakang seorang dara yang sakti mabdraguna. Karena itu kami tidak ingin bermusuhan dengan orang yang tidak berkepentingan, maka biarlah kami menunda urusan ini sampai lain kali!"

Dia lalu memutar tubuhnya dan mengajak para warga dusun untuk meninggalkan tempat itu. Para warga dusun itu tidak membantah, namun mereka kelihatan penasaran dan berulangkali mereka menoleh untuk memandangi anak-anak mereka yang telah menjadi murid perguruan Durgamantra itu.

Setelah pemuda itu dan warga dusun pengikutnya pergi jauh, Wiku Syiwakirana tertawa dan berkata kepada Niken, "Nini Niken, bantuanmu sungguh besar sekali bagi kami. Pemuda itu sakti akan tetapi andika telah berhasil mengusirnya. Kami yakin dia dan teman-temannya tidak akan berani lagi mengganggu kami."

"Kanjeng Romo, kebetulan sekali malam ini kita mengadakan pesta pemujaan, sekalian untuk menyambut nimas Niken."

"Ha-ha-ha, engkau benar, Joko. Marilah kita bersiap-siap."

Mereka memasuki kembali rumah itu dan Niken berpamit untuk beristirahat di dalam kamarnya. Setelah tiba di dalam kamarnya, ia menutup pintu dan duduk bersila di atas pembaringannya, mengatur pernapasannya. Ia merasa heran dan kagum, juga penasaran sekali. Pemuda itu berani menangkis aji Hasta Bajra dan membuat tubuhnya terlempar. Biarpun pemuda itu juga terhuyung, namun ia dapat mersakan bahwa ia masih kalah tenaga, kalah kuat dibandingkan dengan pemuda itu! Akan tetapi nampaknya pemuda itu mengalah dan mengundurkan diri, agaknya tidak mau bermusuhan dengannya. Ia sendiri harus mengatur pernapasan dan bersemedi untuk memulihkan kembali tenaganya karena siapa tahu, malam nanti pemuda itu akan datang lagi mengganggu. Kalau bertemu dan bertanding lagi, ia harus berhati-hati dan kalau perlu ia akan menggunakan pusaka pemberian gurunya, yaitu keris Megantoro.

Di ruangan lain sebelah dalam, Sang Wiku Syiwakirana bercakap-cakap dengan Joko Kolomurti, dengan suara berbisik-bisik, walaupun di situ tidak ada seorangpun murid Durgamantra.

"Engkau beruntung sekali telah bertemu dengannya dan dapat membujuknya datang ke sini. Akan tetapi, sudah yakinkah engaku bahwa pilihanmu itu tepat?" tanya sang Wiku.

"Sudah kuperhitungkan masak-masak kanjeng Romo. Selama hidupku, belum pernah aku bertemu seorang dara sehebat Niken! Kecantikannya sempurna, dan kanjeng rama sendiri telah menyaksikan betapa digdayanya dara itu. Kalau menjadi isteriku, berarti kita mendapat tambahan tenaga yang boleh diandalkan untuk memperkuat kedudukan perguruan kita." kata Joko Kolomurti dengan suara mengandung kebanggaan dan kegembiraan. "Akan tetapi yang membuat hatiku merasa gelisah, melihat Niken seorang dara yang berhati baja. Aku sungguh khawatir ia akan menolak cintaku dan tidak mau menjadi isteriku."

"Ha-ha-ha, engkau sungguh meremehkan kemampuanmu sendiri,kulup. Engkau seorang pemuda yang cukup tampan dan memiliki kedigdayaan, gadis mana tidak akan merasa senang menjadi isterimu? Pula, ada aku di belakangmu yang tentu akan membantumu dan jangan lupa dengan restu Ibumu Bathari, semua keinginanmu pasti akan tercapai. Percayalah, setelah malam pemujaan nanti, Niken pasti akan menjadi isterimu."

Joko Kolomurti menganguk dan wajahnya berseri karena hatinya tidak ragu lagi.
 
Bagian - 17


Malam itu, sejak senjakala lewat bulan mulai muncul di ufuk timur. Sebuah bola kemerahan yang besar bulat muncul dari puncak bukit dan tak lama kemudian, warna kemerahan telah berganti menjadi warna kuning keemasan yang memandikan permukaan bumi dengan cahaya nya yang lembut dan sejuk.

Terdengar gamelan ditabuh. Suara gambang berselang seling dengan lengkingan suling, menjadi gembira penuh semangat oleh suara gendang yang mendetak-detak.

Malam indah itu disambut meriah sekali oleh perguruan Durgamantra. Sebuah panggung yang luas didirikan mereka untuk menjadi tempat upacara pemujaan, dihias dengan kain warna-warni dan kembang-kembang. Setelah bulan muncul, semua murid sudah berkumpul dan laki-laki perempuan mengenakan pakaian mereka yang terbaru dan terindah, juga tercium wangi-wangian dari pakaian mereka. Para anggota wanita di sudut panggung sebelah kiri sedangkan para prianya duduk di sudut panggung sebelah kanan. Di kepala panggung terdapat tiga kursi yang dihias indah, akan tetapi kursi-kursi itu masih kosong.

Penabuh gamelan duduk di bawah panggung dan dua orang pesinden yang tidak cantik namun bersuara emas duduk di antara mereka. Seluruh anggota atau murid perguruan Durgamantra yang berjumlah empatpuluh orang lebih itu berkumpul di situ dan menanti dengan sikap hormat dan khidmat. Gamelan di tabuh lirih-lirih, suaranya dibawa angin malam, menghanyutkan. Bulan sudah tersenyum di atas kepala, masih condong di timur.

Tak lama kemudian, terdengar aba-aba dari dalam rumah di belakang panggung dan gamelan dipukul lebih gencar lagi dengan lagu Kebogiro seperti gamelan yang menyambut datangnya mempelai.

Kemudian sebuah iring-iringan muncul dari dalam rumah induk dan semua murid yang tadi duduk di atas lantai panggung di sudut kiri dan kanan segera menghadap ke arah iring-iringan itu dengan hormat dan menyembah.

Yang pertama sekali adalah Sang Wiku Syiwakirana, berjalan di depan dengan langkah tegap dan sikap gagah. Di belakangnya nampak sebuah joli yang indah dan dirias meriah, dipikul oleh enam orang gadis berpakaian sutera putih yang panjang sampai menutupi kaki. Di belakang joli ini berjalan Joko Kolomurti bersama Niken yang mendapat kehormatan untuk keluar bersama iring-iringan itu sebagai seorang tamu agung. Dan di belakang dua orang muda itu berjalan selosin pemuda yang bertelanjang dada, diikuti oleh selosin gadis bertapih pinjung yang rata-rata masih muda dan cantik.

Iring-iringan berhenti di depan tiga buah kursi, dan Joko Kolomurti berkata kepada ayahnya dengan sikap hormat,

"Kanjeng Romo, kita lupa menyediakan sebuah kursi untuk diajeng Niken."

Gadis itu mengerutkan alisnya mendengar sebutan diajeng itu, akan tetapi melihat sikap pemuda itu yang sungguh-sungguh, iapun menganggap bahwa perubahan sebutan itu disesuaakan dengan upacara yng khidmat itu.

"Benar, suruh ambil sebuah kursi lagi." kata Sang Wiku dan seorang murid laki-laki yang mengikuti di belakang lalu cepat mengambil sebuah kursi diletakkan di samping kursi paling kiri.

Melihat ini, Niken merasa tidak enak sekali. Ia memang berterima kasih kepada keluarga itu, apalagi sudah mendapat keterangan yng berharga tentang Tilam Upih dan kalau malam ini ia menyaksikan malam perayaan upacara pemujaan Bathari Durgo, adalah untuk menyatakan terima kasihnya. Akan tetapi ia merasa sungkan diperlakukan sebagai tamu agung. Bagaimanapun juga, tentu saja ia tidak berani membantah.

Kini Sang Wiku sendiri menghampiri joli dan membuka tirai joli. Niken terbelalak kagum. Kiranya di dalm joli itu terdapat sebuah patung emas seorang wanita dalam keadaan duduk. Inikah patung Sang Bathari Durgo? Cantik nian! Padahal, menurut yang pernah didengarnya, Sang Bathara Durgo telah dikutuk dan berupa seorang puteri berwajah raksasa wanita! Sang Wiku sendiri yang memondong patung itu lalu didudukkan di atas kursi paling kanan. Kemudian dia duduk di atas kursi sebelah kiri patung itu.

Joko Kolomurti berkata kepada Niken. "Diajeng Niken,silakan duduk."

Dia sendiri duduk di sebelah kiri ayahnya dan karena kursi yang tersisa tinggal disebelah kirinya,
Niken lalu duduk di atas kursi itu.

Semua murid melakukan penghormatan dengan menyembah. Akan tetapi sembah mereka itu nampak aneh oleh Niken. Mereka menyembah sampai tubuh atas mereka mennelungkup, tiarap rata dengan lantai panggung dan dari kerongkongan mereka keluar suara memanjang seperti orang menggerang. Sang Wiku Syiwakirana lalu mengangkat tangan kanan ke atas sebagai tanda bahwa pesta pemujaan dimulai.

Gamelan masih ditabuh dengan meriah.

Dua orang berpakaian sutera putih maju membawa seekor ayam bulu putih mulus, dan seorang pemuda berkain putih bertelanjang dada juga ikut, membawa sebuah bokor emas dan sebuah guci. Mereka bertiga berlutut di depan Sang Wiku. Pemuda itu lalu menyerahkan guci kepada sang wiku yang segera membuka tutup guci dan menuangkan isinya kedalam bokor. Nampak cairan berwarna merah dan bau anggur yang harum memenuhi panggung. Niken juga mencium bau anggur ini, bau yang asing baginya, akan tetapi bukan tidak menyenangkan. Setelah bokor itu penuh, pemuda itu menerima lagi guci dan meletakkan di samping patung, kemudian dua orang gadis berpakaian putih mendekatkan ayam bulu putih di depan kaki Sang Wiku. Sang Wiku mencabut sebilah pisau belati dari pinggangnya, kemudian mulutnya membaca mantra yang aneh dan panjang sambil memejamkan kedua matanya. Lalu dia bangkit, mengikuti dua orang gadis yang kini membawa ayam bulu putih di depan patung. Juga pemuda itu membawa bokor dan meletakkannya di depan kaki patung. Sang Wiku lalu menggerakkan pisaunya menyembelih leher ayam putih. Ayam itu menggelepar dalam pegangan dua orang gadis dan darahnya mengucur ke dalam bokor berisi anggur. Karena ayam itu berbulu putih mulus, maka darahnya nampak nyata sekali ketika mengucur sampai menetes-netes ke dalam bokor. Setelah darah itu tuntas, ayam berhenti menggelempar, dua orang gadis menyembah lalu turun dari panggung membawa bangkai ayam. Pemuda itupun mengikuti mereka, meninggalkan guci dan setumpuk cawan di dekat patung emas.

Joko Kolomurti lalu bangkit, menuangkan anggur dari bokor ke dalam secawan dan dengan sikap hormat menyerahkan kepada ayahnya, Sang Wiku menerimanya, lalu bangkit menghampiri patung emas, membaca mantra lalu mendekatkan cawan kesepasang bibir emas yang indah itu.

Semua murid memandang tanpa berkedip dan menahan napas. Niken yang tidak mengerti juga memandang dengan hati merasa geli. Bagaimana mungkin sebuah patung disuguhi minuman anggur? Akan tetapi iapun terbelalak ketika anggur di dalam cawan itu dituangkan sampai habis! Secawan anggur habis diminum sebuah patung! Ia hampir tidak percaya dan berkedip-kedip, dan melihat patung itu seolah-olah tersenyum dan menggerakkan biji matanya.

Setelah Sang Wiku kembali duduk, Joko Kolomurti kembali menuangkan anggur dari bokor ke dalam sebuah cawan lain, lalu dengan sikap hormat menghaturkan secawan anggur itu kepada ayahnya. Sang Wiku menerima sambil tersenyum menganguk, dan minum habis anggur dari cawan itu.

Kini Joko Kolomurti menghampiri Niken.

"Diajeng Niken, kami harap andika sudi menerima dan minum secawan anggur untuk menghormati Ibunda Bathari." Katanya dengan sikap ramah dan hormat.

Wajah Niken menjadi merah. Ia merasa sungkan untuk menolak, akan tetapi juga ia muak dan tidak sampai hati minum anggur yang sudah dicampuri darah ayam itu.

"Maaf, Joko........aku....aku tidak dapat minum darah ayam itu...." katanya lirih agar jangan sampai menyinggung keluarga perguruan itu.

"Kenapa engkau begitu bodoh, Joko?" tentu saja Niken tidak bisa minum anggur ini. Ia bukan anggota kita dan tidak biasa minum anggur ini. Suruh ambil guci anggur kecil dalam kamarku. Itu anggur madu istimewa yang baik sekali untuk diminum Niken."

Joko lalu menyuruh seorang gadis yang duduk di sudut untuk mengambilkan guci anggur itu. Setelah guci anggur itu di bawa dan diserahkan kepada Joko, pemuda ini lalu menuangkan isinya ke dalam sebuah cawan. Anggur inipun merah dan berabau harum, dan Joko menyerahkan kepadanya sambil berkata.

"Aku menyambutmu dengan secawan anggur, diajeng. Harap engkau sudi meminumnya."

Tentu saja Niken merasa tidak enak untuk menolak, akan tetapi sebelum ia menerimanya. Sang Wiku cepat berkata, "Joko, bawa cawan itu ke sini. Aku akan memberkatinya demi kesehatan dan keselamatan Niken."

Joko menyerahkan cawan itu kepada ayahnya yang lalu membaca mantra sambil menatap cawan itu. Barulah cawan diserahkan kepada Niken. Niken menerimnya dan mencoba dulu mencicipi anggur. Ternyata harum dan manis. Maka ia terus minum anggur yang hanya secawan kecil itu dan selain rasanya enak, juga terasa hangat dan nyaman di perut. Tentu saja minuman itu menghangatkan perut karena sebetulnya itu adalah minuman keras yang terbuat dari tuak dicampur dengan madu.

"Joko, tuangkan secawan lagi. Aku harus menghormati tamu kita!" kata sang Wiku yang nampak gembira.

Joko menuangkan lagi secawan dan menyerahkannya kepada Sang Wiku, yang segera memberikannya kepada Niken sambil berkata, "Akupun ingin menghormatimu dengan secawan anggur ini, Niken. Harap engkau tidak keberatan untuk meminumnya."

Karena ternyata minuman itu tidak merugikannya, dan secawan itu hanya sedikit saja, Niken tidak berani menolak, meneriam cawan itu dan meminumnya.

Joko sendiri lalu minum dari bokor, yaitu anggur yang sudah bercampur darah ayam. Gamelan ditabuh gencar mengiringai nyanyian para pesinden.

Niken mulai merasakan sesuatu yang aneh. Ia merasa gembira bukan main. Tubuhnya terasa ringan seperti hendak melayang-layang dan segala sesuatu di depan dan sekelilingnya nampak indah menggembirakan. Ia merasa berbahagia dan semua wajah di situ nampak tersenyum ramah kepadanya. Tanpa disadarinya lagi, mendengar tembang yang dinyanyikan para pesinden, iapun bersenandung. Tembang itu dikenalnya dan ia sendiri memang pandai bertembang. Dari sampingnya, Joko meliriknya dan pemuda ini nampak gembira bukan main.

Wiku Syiwakirana bertepuk tangan tiga kali. Bunyi gamelan berubah. Kini agak asing karena terdengar aneh bagi telinga Niken, namun harus diakui bahwa gending ini meriah dan gembira sekali, terutama kendangnya yang bertingkah genit. Dan para murid yang tadi duduk di kedua sudut panggung, turun meninggalkan panggung. Akan tetapi duabelas pasang muda mudi yang mengenakan pakaian putih, mulai menari-nari dengan lemah gemulai dan indah!

Aneh sekali terjadi pada diri Niken. Ia menonton tari-tarian itu dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri-seri. Baginya saat itu, tarian itu demikian indahnya, bagaikan selosin dewi sedang menari dengan selosin dewa! Dan bunyi gamelan yang asing itu begitu menghanyutkan dan seolah menyusup ke dalam seluruh tubuhnya, membuat tubuhnya bergerak-gerak sendiri menurutkan irama kendang.

Melihat ini, Joko lalu menuangkan anggur dari guci kecil itu sampai tiga kali lagi dan disuguhkan kepada Niken yang meminumnya dengan gembira.

Malam semakin larut dan suara gamelan ditabuh semakin gencar. Kini iramanya cepat dan tari-tarian duabelas pasang penari itu menjadi semakin cepat pula. Tanpa disadari oleh Niken, tari-tarian mereka mengarah kepada gerakan-gerakan mesum, tubuh berlenggang lenggok memikat dan pandang mata serta senyum mereka mulai genit. Sang Wiku memberi tanda dan sepasang demi sepasang dari para penari itu menunda tarian mereka untuk minum secawan anggur bercampur darah ayam. Begitu minum anggur itu, pasangan ini menari dengan mesum, berpelukan dan berciuman sambil menari! Sisa anggur itu kemudian dibagi para anggota sehingga semua anggota kebagian minum.

Joko bangkit dari duduknya,menghampiri Niken dan memgang tangannya.

"Diajeng, mari kita menari!"

Ia menarik tangan Niken dan gadis ini hanya tertawa kecil, bangkit dan terhuyung-huyung akan tetapi ia mencoba untuk menari. Akan tetapi, ia mulai merasa pening, kepeningan yang terasa nikmat dan akhirnya karena terhuyung hampir jatuh, Joko merangkulnya dan menuntunnya masuk kedalam rumah. Wiku Syiwakirana tertawa bergelak melihat betapa puteranya telah berhasil membawa Niken masuk dan iapun melanjutkan pesta pora itu karena biasanya, setiap bulan purnama pesta itu dirayakan semalam suntuk sampai bulan tidak lagi nampak di angkasa.

Sambil bertembang lirih, Niken di papah Joko ke dalam kamarnya. Ia membiarkan saja dirinya dirangkul ketat dan dibawa masuk kedalam kamar pemuda itu.

"Eh.......Joko.....ini di mana? Kamar indah sekali......"

"Ini kamarku, Niken."

Biarpun kepalanya pening dan ia sudah mabuk, namun Niken masih juga mendengar bahwa ia berada di kamar pemuda itu.

"Kenapa di kamarmu, Joko? Aku...........aku ingin tidur, akan tetapi di kamarku sendiri.......aku.......aku mau keluar saja......."

Akan tetapi Joko merangkulnya kuat-kuat. "Tidurlah saja di sini, Niken. Kamar ini indah bukan? Dan aku mencintaimu, diajeng. Engkau akan menjadi isteriku...."

Joko merangkul dan hendak menciumnya. Akan tetapi Niken masih dapat meronta. Ia merasa dirinya seperti dibakar dari dalam, karena sesungguhnya ia telah minum ramuan racun perangsang yang sudah dicampur kedalam tuak tadi. Ia merasa senang dalam rangkulan pemuda itu dan ada dorongan gairah dalam dirinya untuk menyerah dalam kenikmatan. Akan tetapi gemblengan batin yang selama ini diterimanya dari gurunya demikian kuatnya, membuat jiwanya meronta.

"Tidak.........tidak..........aku.......aku mengantuk, hendak tidur...........!" Ia terhuyung.

Joko menyambar lengannya dan mendorongnya sehingga gadis itu terpelanting jatuh ke atas pembaringan. Begitu rebah, Niken lalu menggumam.

"Ah, senang sekali dapat tidur.....nyaman sekali........" Dan iapun tertidur!

Sama sekali Niken tidak pernah mimpi bahwa ia telah terjatuh ke dalam cengkeraman pria yang lebih keji daripada seekor srigala kelaparan. Memang sama sekali tidak akan ada yang menyangka bahwa Joko Kolomurti yang kelihatan demikian tampan gagah dan halus, demikian ramah dan hormat, hanyalah srigala bertopeng domba. Kini dia menghampiri pembaringan, matanya seperti mencorong, mulutnya basah dan lidahnya menjilat-jilat bibir seperti seekor srigala kelaparan mencium darah daging kelinci yang lunak dan hangat. Sudah terasa dalam mulutnya betapa nikmat dan lezatnya rasa daging itu.

Hampir semua orang di dunia ini tak dapat dinilai dari keadaan luarnya, karena kita semua sudah terbiasa mengenakan topeng di depan muka kita. Dan kitapun mudah sekali terkecoh oleh topeng-topeng yang menutupi wajah-wajah orang lain. Topeng yang menggambarkan keadaan wajah yang sama sekali berbeda, bahkan kadang berlawanan, dengan keadaan batin. Kehidupan manusia sudah bergelimang kepalsuan. Karena itu, tidak mengherankan kalau Niken juga tertipu oleh keadaan lahiriah Joko Kolomurti.

Sebetulnya, perguruan macam apakah Durgomantra itu dan orang-orang macam apakah Sang Wiku Syiwakirana dan puteranya? Wiku Syiwakirana sejak masih muda merupakan seorang penyembah dan pemuja Sang Batari Durgo dan batara Syiwa. Dia pernah memperdalam ilmu-ilmunya ke negeri Cola dan di negeri itulah dia mulai menjadi penyembah Sang Hyang Syiwa dan isterinya, yaitu Batari Durgo. Dia bahkan mengubah namanya menjadi Wiku Syiwakirana dan menganggap dirinya sebagai titisan Batara Syiwa. Dengan sendirinya dia menganggap bahwa isterinya yang sejati adalah Batari Durgo. Karena Batari Durgo tidak atau belum ada titisannya menurut pendapatnya, maka dia membuat sebuah arca Durgo dari tembaga berlapis emas sebesar manusia dan diapun mendirikan perguruan Durgomantra untuk memuja dan menyembah Batari Durgo.

Sebelum menjadi Wiku Syiwakirana, dia telah beristeri dan mempunyai seorang putera. Ketika anaknya terlahir, Wiku Syiwakirana menganggap puteranya itu putera Batari Durgo dan memberi nama Joko Kolomurti sebagai titisan Batara Kolo! Dan untuk melengkapi pemujaannya kepada Batari Durgo, dia secara diam-diam telah meracuni isterinya sendiri, ibu kandung Joko Kolomurti! Semenjak itu, dia tidak lagi beristeri, akan tetapi dia dapat mengambil gadis-gadis muda sebagai dayang atau selir sambil menanti munculnya "titisan" Batara Durgo untuk dijadikan isterinya. Kepada puteranya, Joko Kolomurti selalu ditekankan bahwa ibunya yang sejati adalah Batari Durgo yang patungnya disembah-sembah.

Biarpun kepercayaan yang dianut itu membuat Wiku Syiwakirana seperti orang gila sehingga dia membunuh isterinya sendiri, namun dia bukanlah seorang yang lemah. Dia telah mempelajari berbagai ilmu dari negeri Cola, bahkan dia pandai pula menggunakan ilmu sihir dan racun-racun pembius sampai pembunuh. Dalam bimbingan seorang ayah tanpa ibu seperti itu, Joko Kolomurti menjadi besar dalam keadaan seperti tidak waras pula. Dia selau menganggap dirinya Sang Batara Kolo, atau titisannya . Akan tetapi karena diapun mempelajari kebudayaan yang diberikan guru-guru yang dipanggil ayahnya, dia menjadi seorang pemuda yang nampak lemah lembut dan sopan santun. Justeru keadaannya ini yang membuat dia lebih berbahaya dari ayahnya, karena pada lahirnya dia nampak sebagai seorang pendekar muda yang baik hati. Selain menguasai kebudayaan Joko Kolomurti juga mewarisi ilmu kedigdayaan dari ayahnya.

Seperti telah dibuktikan dengan peristiwa tadi ketika seorang pemuda memimpin warga dusun yang menuntut dibebaskannya anak-anak mereka, terutama anak-anak gadis mereka, biarpun tidak waras, ayah dari penyembah Batara Durgo itu ternyata cerdik sekali. Para murid itu sudah berada di bawah kekuasaan mereka. Dengan kekuatan sihir dan racun mereka itu telah menyerahkan segala-galanya kepada ayah dan anak itu. Bahkan banyak warga dusun yang kaya rela menyumbangkan harta mereka karena percaya bahwa Wiku Syiwakirana dapat menolong mereka dari kesulitan apa saja. Sang Wiku ini terkenal sebagai seorang "dukun" yang serba bisa dan pandai. Karena itu, hampir semua dusun di sekitar daerah itu merasa takut dan taat kepadanya. Kalau puluhan warga dusun itu berani menuntut agar anak-anak gadis mereka dibebaskan, hal itu adalah karena munculnnya seorang pemuda yang memimpin mereka.

Niken Sasi bermimpi buruk sekali. Ia merasa seperti tenggelam dan hanyut ke dalam sungai yang airnya deras sekali. Ia terseret arus sungai itu dan berusah sekuat untuk menggerakkan kaki tangannya agar tidak sampai tenggelam tiba-tiba seekor buaya menerkamnya. Niken meronta dan berusaha melepaskan diri dari terkaman buaya itu namun sia-sia karena tenaganya terasa lemah. Ia membuka matanya dan mendapatkan dirinya berada dalam pelukan seorang pemuda tampan. Joko Kolomurti !

Ia merasakan sesuatu yang amat luar biasa. Entah mengapa, ia merasa senang sekali berada dalam pelukan pemuda itu. Akan tetapi, biarpun kesadarannya mengambang dan terasa jauh dan hanya lapat-lapat saja, namun kesadaran itu masih mengingatkan ia bahwa hal ini tidaklah patut, tidaklah benar ia harus mencegah, harus menolak!

Ketika merasa betapa gadis yang dipeluknya itu meronta, Joko berbisik di dekat telinga Niken.

"Diajeng, aku cinta padamu........,engkau adalah isteriku tersayang......"

Alangkah merdunya suara dan kata-kata itu, amat menyenangkan hatinya. Akan tetapi biarpun lemah Niken membantah,

"Tidak.....,aku tidak mau........! Lepaskan aku......!" Akan tetapi ia hanya meronta lemah dan agaknya sudah tidak ada kekuatan dan cara untuk menghindarkan diri dari ancaman malapetaka yang dapat menimpa diri seorang gadis.

Pada saat yang gawat bagi keselamatan dara yang kehormatannya terancam itu, berkelebat bayangan orang yang tahu-tahu pintu kamar itu terbuka dan masuklah seorang pemuda yang berpakaian sederhana. Melihat Niken yang meronta-ronta dalam rangkulan Joko Kolomurti, pemuda itu membentak ,

"Manusia berhati iblis! Lepaskan gadis itu!"

Dan sekali sambar, lengan Joko sudah dipegangnya dan ketika dia menarik, tubuh Joko tertarik dan pelukannya terlepas dari tubuh Niken. Dengan bingung Niken bangkit dengan lemah, membetulkan pakaiannya yang awut-awutan dan rambutnya yang terlepas sanggulnya dan hanya memandang kepada pemuda itu yang kini sudah berhadapan dengan Joko.

Ketika Joko merasa dirinya ditarik orang sampai terlepas dari pelukannya, dia marah bukan main. Cepat dia membalik dan ketika melihat siapa orang yang menariknya, kemarahannya meningkat, akan tetapi juga bercampur perasaan jerih ketika dia mengenal bahwa pemuda itu adalah pemuda sakti yang siang tadi memimpin warga dusun menyerbu Durgomantra. Kemarahan dan rasa takut membuat dia menjadi nekat.

"Tolooooooonnggg...........! Maliinggg......!" Dia berteriak nyaring dan cepat menghunus kerisnya dan menubruk, menyerang ke arah pemuda itu dengan dahsyatnya.

Akan tetapi dengan gerakan yang gesit sekali pemuda itu dapat menghindar ke kiri dan sekali tangannya menangkis pergelangan tangan Joko yang memegang keris, keris itupun telepas dari pegangan dan Joko mengeluh karena lengannya seperti dipukul sepotong besi. Dan pada saat itu, kaki pemuda itu sudah menyambar. Joko menangkis dengan tangannnya, akan tetapi tetap saja.Tangan dan tubuhnya menerima tendangan yang amat dahsyat, yang menyebabkan tubuh Joko terpental dan menabrak dinding lalu jatuh pingsan! Demikian hebatnya tendangan pemuda itu yang agaknya sudah marah sekali melihat perbuatan Joko tadi.

Akan tetapi pada saat itu, puluhan orang anggota Durgamantra sudah tiba di luar kamar itu dan pintu ditendang dari luar. Muncullah Wiku Syiwakirana sendiri bersama puluhan orang muridnya. Matanya yang besar dan mencorong itu mengamati keadaan dalam kamar puteranya yang diterangi lampu dinding dan melihat puteranya telentang di susdut dalam keadaan pingsan, dia marah bukan main. Kemarahannya memuncak ketika dia mengenal pemuda yang berdiri di dalam kamar itu sebagai pemuda pengacau yang siang tadi memimpin warga dusun.

"Tangkap gadis itu dan bunuh pemuda ini!" bentaknya.

Para muridnya menyerbu dengan senjata di tangan. Ada yang membawa keris, adapula yang membawa golok atau tombak. Melihat ini dan mengingat bahwa dara yang ditolongnya itu masih berada dalam keadaan tidak berdaya, pemuda itu lalu menyambar Niken lalu membawanya meloncat. Tubuhnya melayang diatas kepala para penyerbu itu dan tiba di luar pintu. Ketika Wiku Syiwakirana hendak mencegahnya dengan pukulan tangan kanan yang dahsyat, pemuda itu yang kini memondong tubuh Niken dengan lengan kiri menangkis dengan tangan kanan sambil mengerahkan tenaga dan akibatnya, Wiku Syiwakirana terpental jauh ke belakang. Semua muridnya terkejut dan tertegun, kesempatan ini dipergunakan oleh pemuda itu untuk meloncat dan menghilang dalam kegelapan malam yang diakibatkan oleh mendung yang tiba-tiba menghalangi sinar bulan purnama. Siapakah pemuda yang memiliki kesaktian hebat itu sehingga dengan mudah dia mampu mengalahkan Joko Kolomurti dan Wiku Syiwakirana?

Dia adalah Budhidharma. Seperti telah diceritakan di bagian depan, setelah mempelajari ilmu-ilmu dan aji kesaktian dari gurunya, Bhagawan Tejolelono di lereng Gunung Kawi, Budhi disuruh turun gunung oleh gurunya. Dia mendapat tugas untuk mencari Tilam Upih, kemudian baru dia akan mengunjungi Gunung Anjasmoro, mencari perkumpulan Gagak Seto dan menemui ketua Gagak Seto untuk menuntut penjelasan mengapa Gagak Seto membunuh ayah ibunya. Ketika melakukan perjalanan ke selatan, dengan tujuan pantai Laut Kidul untuk menyelidiki dan mencari keris pusaka Tilam Upih, tibalah dia di kaki bukit Girimanik. Dan di dusun di kaki bukit itulah dia melihat banyak orang bersedih hati dan ketika dia bertanya, mereka menceritakan bahwa anak-anak mereka, terutama gadis-gadis cantik, tidak mau pulang ke rumah dan menjadi anggota perguruan yang dianamakan Durgomantra di Girimanik.

Setelah mendapat keterangan dengan jelas, Budhi lalu menghimpun para warga dusun yang memiliki anak-anak yang tidak mau pulang itu beramai-ramai mereka mengunjungi Girimanik. Dan seperti sudah diceritakan di bagian depan, Budhi mengajak para warga dusun itu untuk mendatangi Durgomantra dan menuntut dikembalikannya anak-anak mereka. Akan tetapi, dengan terkejut sekali Budhi dihadapi dan dilawan Niken yang membela pihak Durgomantra! Dia amat terkejut dan heran melihat adanya seorang gadis yang demikian digdaya membela perkumpulan sesat itu. Dari sikap dan kata-kat gadis itu, maklumlah dia bahwa gadis itu telah tertipu dan menganggap perkumpulan Durgomantra sebuah perguruan yang baik. Inilah yang menyebabkan dia mengajak para warga dusun untuk mundur. Dia sendiri lalu melakukan penyelidikan karena khawatir bahwa gadis perkasa itu di bawah pengaruh pemimpin Durgomantra seperti halnya para gadis puteri warga dusun. Dan kebetulan malam itu diadakan malam pesta pemujaan Sang Bathari Durgo.

Budhi mengintai dan melihat pula betapa Niken seperti orang mabok dan digandeng oleh Joko Kolomurti ke dalam rumah. Dia mendapat parasaan tidak enak, maka dengan mempergunakan kepandaiannya, dia menyelinap masuk ke dalam rumah itu dan membayangi Joko Kolomurti. Demikianlah, akhirnya dia dapat menyelamatkan Niken yang nyaris menjadi korban kekejian Joko Kolomurti.

Niken mengeluh dan merintih lirih ketika Budhi melepaskannya dari pondongan dan merebahkannya di atas rumput tebal di bawah pohon besar.

"Ahh.........badanku panas........ahhh, mengantuk sekali dan lemas........" keluh gadis itu dengan gelisah.

Budhi maklum bahwa gadis itu terpengaruh oleh minuman yang mengandung racun pembius dan mungkin perangsang, ditambah lagi pengaruh sihir yang membuat pikirannya menjadi gelap dan keasadarannya lenyap.

Dia lalu duduk bersila dekat Niken, bersedekap mengerahkan tenaga batinnya untuk mengusir pengaruh sihir yang menguasai pikiran Niken. Juga dia mengerahkan kekuatan pikirannya untuk mempengaruhi Niken agar tertidur. Dia yakin bahwa pengaruh racun itu akan lenyap dengan sendirinya setelah beberapa waktu dan jalan satu-satunya yang terbaik bagi gadis itu adalah dapat tidur pulas. Usahanya berhasil. Niken dapat tidur pulas di atas rumput yang lunak. Budhi tetap duduk bersila di dekatnya sampai malam itu terlewat.

Setelah matahari pagi mulai membakar ufuk timur dengan cahayanya yang kemerahan dan daun-daun pohon mulai nampak, Budhi sadar dari samadhinya. Dia mendengar suara gadis itu mengeluh, lalu membuka matanya. Gadis itu terbelalak seperti orang kaget, lalu bangkit duduk, agak menggigil kedinginan karena tubuhnya sudah basah oleh embun, kemudian ia menoleh ke kiri dan melihat Budhi duduk bersila di dekatnya.

"Ihhhhh.....!" Ia menjerit kecil dan meloncat berdiri bagaikan disengat kalajengking, dan berdiri dalam keadaan siap. Ia mengingat-ingat dan melihat letak pakaiannya dengan khawatir. Masih lengkap, dan ia bernapas lega. Budhi juga bangkit berdiri, mamandang gadis itu dengan tenang.

Kini Niken sudah sadar sepenuhnya. Ia teringat bahwa ia ikut merayakan pesta yang meriah. Lalu tidak ingat apa-apa lagi. Kenapa tahu-tahu ia berada di sini, tidur di atas rumput dan pemuda itu berada di dekatnya? Pemuda itu! Tentu saja ia teringat. Pemuda itu adalah pemuda yang memimpin warga dusun menyerbu ke Durgomantra! Dan pemuda itu yang berani dan mampu menahan pukulan aji Hasta Bajra! Tentu pemuda ini telah menculiknya dari perguruan Durgamantra selagi ia tertidur.

"Jahanam! Sungguh jahat engkau !" bentaknya dan karena ia maklum bahwa pemuda itu merupakan lawan tangguh serta merta ia menyerang dengan aji Hasta Bajra yang amat ampuh. Kemarahan dan sangkaan buruk membuat ia menyerang dengan dahsyat karena ia telah mengerahkan seluruh tenaganya.

Budhidharma telah siap siaga. Dia memang telah menduga dan memperhitungkan sikap Niken ini yang tidak percaya kepadanya, maka begitu diserang, dia telah dapat berkelebat dan mengelak sehingga pukulan itu hanya mengenai tempat kosong.

Sebelum Niken menyerang lagi. Budhidharma melompat ke belakang dan berseru dengan suara berwibawa, "Tahan dulu! Andika terburu nafsu dan salah sangka. Aku bukanlah musuhmu, bahkan telah membebaskanmu dari cengkeraman iblis yang amat keji! Andika memang seorang dara yang gagah perkasa, akan tetapi jelas kurang pengalaman sehingga mudah saja terpengaruh oleh pimpinan Durgomantra yang menggunakan ilmu sihir dan racun!"

Niken menahan gerakan serangannya dan tertegun. "Apa kau bilang? Engkaulah yang jahat, menghasut warga dusun untuk minta anak-anak mereka dibebaskan. Padahal, anak-anak mereka yang telah menjadi murid Durgomantra itu hidup bahagia dan mereka menjadi murid atas kehendak sendiri. Jangan kau membohongi aku!"

"Aku sama sekali tidak berbohong. Andika agaknya belum tahu orang-orang macam apakah Wiku Syiwakirana dan puteranya yang bernama Joko Kolomurti itu! Gadisgadis itu telah disihir dan dibius, dan andika sendiri tadipun dibius dengan minuman keras dan sihir sehingga hampir saja ternoda oleh Joko Kolomurti. Aku datang menghalangi perbuatan terkutuknya. Mereka itu pemuja Bathari Durgo dan mereka tidak pantang melakukan segala perbuatan busuk."

Niken mulai ragu. Pemuda ini kelihatan memang tidak jahat, akan tetapi mengapa duduk bersila di dekat ia yang sedang tidur di situ?
 
Bagian - 18



"Apa yang kaulakukan tadi? Kenapa engkau membawaku ke sini, dan apa yang terjadi denganku?"

"Andika berada dalam pengaruh obat bius dan sihir. Terpaksa aku merampasmu dan membawamu ke tempat ini setelah melarikan diri. Aku merebahkan andika di sini dan dengan pengerahan tenaga batin aku berhasil membersihkan pengaruh sihir dari pikiran andika. Akan tetapi pengaruh racun pembius itu baru dapat lenyap setelah andika tidur."

Niken mengingat-ingat dan lapat-lapat ia teringat betapa ia tidur di kamar Joko Kolomurti memeluknya dan ia merasa demikian senang dirangkul pemuda itu, akan tetapi ia meronta karena tahu bahwa hal itu tidaklah benar.

"Tidak berbohongkah engkau? Benarkah aku dipengaruhi sihir dan ditipu mereka?"

Akhirnya ia bertanya dengan ragu sambil menatap tajam wajah pemuda yang berdiri di depannya. Wajah itu demikian tampan dan gagah dan baru sekarang Niken menyadarinya. Sepasang mata itu demikian tajam mencorong penuh kekuatan.

"Kata-kat memang kosong dan dapat saja berbohong. Karena itu aku persilakan andika menemui warga dusun. Mereka itu adalah orang-orang dusun yang kehilangan anak mereka. Mereka tidak akan berbohong."

Niken mengangguk-anggik, merasa bahwa pendapat itu memang benar. Orang-orang dusun adalah orang-orang yang sederhana, dan mereka adalah orang-orang yang kehilangan anak mereka. Mengapa mesti berbohong kalau memang anak mereka hidup bahagia diperguruan Durgomantra?

"Baiklah, aku mau ikut denganmu menemui para warga dusun. Akan tetapi siapakah engkau? Engkau meiliki kepandaian tinggi, mampu menandingi pukulanku. Dari perguruan mana engkau
datang?"

Budhidharma tersenyum. Senang hatinya bahwa dara ini mulai percaya kepada kepadanya. Kalau dia ditemani seotrang gadis seperti ini, tentu dengan mudah dia akan dapat menundukkan perguruan Durgamantra. Ketika dia kemarin mengajak warga dusun mundur, adalah karena adanya gadis ini di pihak lawan.

"Namaku Budhidharma, bukan dari perguruan manapun. Aku datang dari Gunung Kawi dan kebetulan saja lewat daerah ini dan mendengar keluhan para warga dusun yang kehilangan anak mereka, maka aku lalu berusaha turun tangan membantu mereka. Dan andika sendiri, siapakah dan bagaimana dapat berada di tempat seperti itu?"

"Namaku Niken," ia tidak memberi tahu nama lengkapnya karena khawatir dikenal orang sebagai cucu raja. "Aku sedang melakukan perjalanan merantau dan kebetulan lewat di sini pula. Di sebuah dusun aku terjebak dan tertawan oleh gerombolan penjahat. Akan tetapi aku diselamatkan oleh Joko Kolomurti yang membawaku lari dari sarang gerombolan itu. Karena berterima kasih dan berhutang budi atas pertolongannya yang membebaskan aku dari bencana yang mengerikan, aku lalu memenuhi undangannya untuk berkunjung ke Girimanik. Tentu saja aku menganggap Joko sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa dan berbudi baik."

Budhidharma mengangguk-angguk. Kini dia mengerti mengapa seorang gadis seperti Niken dapat membantu perguruan Durgomantra. Kiranya gadis ini berhutang budi kepada Joko Kolomurti! Dan dia dapat menduga apa yang terjadi. Agaknya gadis ini terancam kehormatannya ketika terjebak gerombolan penjahat dan kebetulan Joko Kolomurti melihatnya dan pemuda itu tentu saja menolong gadis secantik ini agar tidak menjadi mangsa orang lain, melainkan menjadi mangsanya sendiri! Bagaikan seekor harimau yang menolong seekor kambing dari terkaman srigala, mengusir srigala itu kemudian dia sendiri menerkam kambing yang ditolongnya!

"Sekarang mengertilah aku! Niken, aku tidak menyalahkanmu, dan tentu saja engkau menganggap Joko seorang pemuda yang berbudi baik dan pantas dibela. Akan tetapi, berhati-hatilah. Di dunia ini banyak sekali srigala dan harimau berkeliaran memakai kedok domba. Nanti engkau akan mengetahui sendiri orang macam apa sebenarnya pemuda itu dan ayahnya."

Mereka lalu menuju kesebuah dusun dan disambut oleh warga dusun. Dari mereka inilah Niken mendengar cerita tentang sepak terjang perguruan Durgomantra. Rahasia perguruan itu, perbutan mereka yang penuh kemesuman, terbongkar ketika gadis-gadis yang tidak cantik tidak dapat diterima menjadi murid, dan ada pula gadis-gadis yang tidak dapat dipengaruhi dan berhasil meloloskan diri pulang ke dusun mereka.

Mereka inilah yang menceritakan segala peristiwa yang menyeramkan yang terjadi di Girimanik. Betapa murid-murid wanita diberi minuman dan menjadi liar, kemudia mereka ini harus melayani Wiku Syiwakirana dan Joko Kolomurti sebagai dayang yang bukan lain hanya dijadikan pemuas nafsu biadab mereka. Betapa pesta pemujaan Bathari Durgo itu pada hakekatnya adalah pesta yang penuh kecabulan, di mana para murid pria dan wanita yang sudah minum anggur darah menjadi hamba-hamba nafsu yang mabok dalam kemesuman.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngerinya hati Niken mendengar keterangan ini. Bahkan ia masih agak ragu dan tidak percaya sepenuhnya mengingat betapa Joko Kolomurti sudah menolongnya dan bersikap baik dan sopan. Akan tetapi iapun mengerti bahwa agaknya tidak mungkin para warga tani ini berbohong. Kalau memang perguruan Durgomantra merupakan tempat yang baik bagi anak-anak mereka, membuat anak-anak mereka hidup berbahagia, untuk apa mereka itu merasa penasaran dan menghendaki kembalinya anak-anak mereka?

"Mari,sekarang juga kita datangi mereka!" Akhirnya dia berkata penuh semangat. "Kalau benar seperti apa yang kalian ceritakan, aku akan menghancurkan Durgomantra!"

Sekitar limapuluh orang warga dusun itu berbondong-bondong mengikuti Niken dan Budhi mendaki bukit Girimanik. Hari masih pagi sekali, udara masih amat dingin dan Girimanik masih diliputi kabut. Karena hatinya dipenuhi rasa penasaran dan ingin cepat-cepat membuktikan sendiri kebenaran cerita warga dusun, Niken berlari cepat dan hanya Budhi saja yang mampu mendampinginya. Warga dusun itu tertinggal jauh.

Setelah tidak berhasil menangkap Budhi yang melarikan Niken, para anggota Durgomantra terpaksa kembali dan melanjutkan pesta pora mereka. Mereka sudah mabok nafsu, dan mabok minuman yang membuat mereka lupa diri sehingga pagi itu masih banyak di antara mereka yang belum sadar.

Ketika tiba di pintu gerbang perkampungan Durgomantra, Niken dan Budhi melihat bahwa tidak ada seorangpun penjaga yang di situ dan suasananya sunyi sekali, seolah perkampungan itu telah ditinggalkan para penghuninya. Akan tetapi panggung yang didirikan di depan rumah indul itu masih ada dan lampu-lampu gantung masih belum dipadamkan karena kabut membuat cuaca di situ masih gelap remang-remang. Niken masih teringat akan semua yang dialami sebelum ia kehilangan kesadarannya.

Panggung inilah yang dijadikan tempat pesta pemujaan patung Bathari Durgo. Akan tetapi sekarang patung itu sudah tidak nampak. Juga Wiku Syiwakirana dan puteranya, Joko Kolomurti sudah tidak berada di panggung itu membuat Niken membuang muka dan bulu tengkuknya meremang. Ngeri rasa hatinya melihat para murid Durgomantra yang bergelimpangan di situ. Laki-Laki dan perempuan capur aduk tidur malang melintang dengan busana yang tidak karuan, banyak yang hampir telanjang. Ada pula yang masih berpelukan. Pendeknya, jelas nampak bekas-bekas tempat pesta pora penuh kemesuman di panggung itu.

Melihat keadaan Niken, Budhi bertanya, "Andika sudah percaya sekarang, Niken?"

Niken yang wajahnya berubah merah sekali mengangguk. "Sungguh aku tidak mengira sama sekali, Budhi. Mari kita cari wiku jahanam itu!"

Mereka lalu meloncat memasuki rumah dan Niken yang sudah tahu di mana kamar sang wiku, lalu langsung menuju ke sana. Daun pintu kamar itu masih tertutup dan sekali dorong dengan kedua tangannya, daun pintu itu jebol dan mengelurkan suara keras. Dan apa yang dilihatnya di sebelah dalam kamar itu membuat Niken mundur kembali dengan wajah tersipu dan membuang muka. Sang Wiku Syiwakirana rebah dirubung tujuh orang gadis cantik seperti seekor jangkrik dikerumuni semut-semut!

Wiku Syiwakirana yang sudah sadar itu juga kaget bukan main melihat pintu jebol. Apalagi melihat munculnya Niken di depan pintu bersama seorang pemuda yang dikenalnya sebagai pemuda pengacau yang menghasut warga dusun. Dia segera melompat sambil membetulkan letak pakaiannya, lalu menyambar sebatang tombak yang berada di sudut kamar. Tombak itu mengeluarkan sinar dan ujungnya menghitam tanda bahwa senjata itu mengandung racun. Para wanita yang tadinya mengerumuni Wiku Syiwakirana dan melayaninya, menjadi ketakutan dan berkumpul di sudut kamar sambil berjongkok dan tubuh mereka menggigil.

"Wiku jahanam!" Niken membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka ketua Durgomantra itu. "Kiranya benar kata para warga dusun. Engkau seorang yang hina dan busuk!"

Wiku Syiwakirana yang maklum bahwa kedatangan gadis itu tentu tidak membawa niat baik terhadap dirinya, tidak banyak cakap lagi dan dia sudah menggerakkan tombaknya, menyerang dengan dahsyat dan ganasnya. Tombak yang mengandung racun mematikan itu meluncur cepat ke arah dada Niken.

Gadis perkasa ini maklum bahwa lawannya bukan seorang lemah dan serangan itu merupakan serangan maut. Ia sudah menggerakkan tubuhnya mengelak ke kiri dan tombak itu meluncur lewat, ia cepat memutar lengan kanannya untuk menangkis gagang tombak sambil mengerahkan tenaga Hasta Bajra!

"Wuuuuutttt.......!" Wiku Syiwakirana terkejut, merasakan sambaran angin tangkisan lengan itu, dan dia segera menarik kembali tombaknya dan sekali tombak itu meluncur, kini tombak sudah menyerang lagi ke arah perut Niken!

Kini Niken melompat ke luar kamar karena kamar itu tidak cukup luas baginya untuk melawan Wiku Syiwakirana yang bersenjata tombak bergagang panjang. Kesempatan itu dipergunakan Wiku Syiowakirana untuk melompat kesebelah kiri kamar dan tiba-tiba dia lenyap dari dalam itu. Niken terkejut, tak disangkanya ketua Durgomantra itu menggunakan pintu rahasia untuk melarikan diri. Ketika ia hendak memasuki kamar itu kembali, ia mendengar seruan Budhi di belakangnya.

"Niken, awas senjata gelap!"

Akan tetapi Niken cukup waspada. Ia dapat mendengar suara desiran angin pisau-pisau yang meluncur dari dalam kamar ke arahnya itu. Kiranya, tujuh orang gadis dayang atau murid Durgomantra yang tadi melayani sang ketua, telah menggunakan pisau-pisau belati untuk menyerangnya. Dengan berani Niken lalu menggerakkan kedua tangannya dan ia sudah menangkis dan menampari tujuh buah pisau itu sehingga runtuh di atas lantai. Ia tidak lagi memperdulikan tujuh orang gadis yang ia tahu telah terpengaruh sihir ketua Durgomantra dan berlari menuju ke kamar Joko Kolomurti.

"Niken, hati-hati.....!" Dari belakangnya Budhi memperingatkannya.

Seperti juga tadi, Niken mendobrak pintu kamar Joko Kolomurti. Dan tidak ada bedanya dengan keadaan dalam kamar Wiku Syiwakirana, ia melihat Joko Kolomurti yang dianggpnya seorang pemuda yang baik dan bijaksana itu dikerumuni lima orang gadis murid perguruan Durgomantra. Joko Kolomurti terkejut bukan main ketika daun pintu kamarnya roboh dan melihat bahwa yang muncul adalah Niken, dia menjadi ketakutan. Dengan pakaian awut-awutan diapun melompat dan menerjang keluar pintu yang sudah jebol itu. Dia sudah memegang sulingnya dan memutar suling itu untuk menyerang siapa saja yang yang berani menghalangi larinya.

"Jahanam busuk!"

Niken yang sudah marah itu tentu saja tidak mau membiarkan Joko lari dan ia sudah manyambut dengan tamparan tangan kirinya. Joko menangkis dengan sulingnya.

"Krakk!"

Suling itu pecah ketika bertemu dengan tangan Niken dan Joko Kolomurti terhuyung ke samping di mana berdiri Budhi. Melihat Budhi, Joko marah bukan main karena dia menganggap pemuda ini yang menggagalkan segala-galanya. Secepat kilat dia mencabut kerisnya dan menubruk ke arah Budhi dengan tikaman maut!

Namun, dengan tenang saja Budhi mengelak ke samping dan ketika tubrukan itu luput, kakinya mencuat dan sebuah tendangan mengenai dada Joko Kolomurti, membuat pemuda itu terjengkang. Akan tetapi pada saat itu terdengar Niken berseru,

"Budhi, jangan bunuh dia!"

Budhi memutar tubuhnya menghadapi Niken dan memandang heran, sedangkan Joko Kolomurti bergerak untuk bangkit berdiri. Agaknya dia sudah putus asa dan jerih, maklum bahwa dia tidak akan mampu menadingi kedua orang lawan itu, dan berdiri menyeringai kesakitan.

"Joko Kolomurti, jahanam busuk! Mengingat engkau pernah menolongku satu kali, aku mengampunimu untuk sekali ini. Akan tetapi lain kali kalau aku bertemu dengan engkau dan melihat engkau masih berbuat kejahatan, aku akan membunuhmu! Pergilah!" bentak Niken.

Joko Kolomurti cepat melompat dan melarikan diri. Melihat ini, diam-diam Budhi merasa kagum. Sikap Niken itu menunjukkan bahwa gadis itu adalah seorang yang mengenal budi

Pada saat itu terdengar suara gaduh dan ternyata para warga dusun sudah diserang oleh para murid Durgomantra yang dipimpin oleh Wiku Syiwakirana sendiri!

"Budhi, kau bantulah warga dusun biar wiku jahanam itu aku yang menghadapi!" kata Niken yang cepat berkelebat ke arah pertempuran.

Budhi percaya bahwa dara itu akan mampu manandingi sang wiku. Dia lari ke arah pertempuran dan melihat betapa ada beberapa warga dusun yang sudah roboh oleh amukan para pemuda dan gadis murid perguruan Durgomantra yang mengamuk seperti kesetanan itu. Dia lalu menggunakan kecepatan gerakannya berkelebat ke sana sini dan setiap kali menampar, tentu ada seorang lawan yang roboh. Sepak terjangnya itu mengacaukan pihak lawan dan kesempatan itu dipergunakan Budhidarma untuk berseru agar para warga dusun berlindung ke belakangnya.

Setelah para warga dusun itu berdiri di belakangnya. Budhi lalu melompat ke atas panggung dan berseru kepada para murid Durgomantra yang masih kelihatan penasaran dan hendak menyerang lagi.

"Kalian semua dengarlah! Kalian murid-murid Durgomantra telah dibawa ke jalan sesat oleh Wiku Syowakirana! Kalian telah ditekan oleh kekuatan sihir! Kalian dimabokkan oleh minuman beracun! Ingat, diantara para warga dusun ini terdapat ayahmu sendiri! Sudah benarkah seorang anak melawan ayahnya sendiri! Sadarlah, kalian telah dibawa ke jalan sesat!"

Setelah berkata demikian, Budhi lalu mengeluarkan teriakan melengking panjang. Semua orang terkejut mendengar pekik yang melengking-lengking ini. Akan tetapi akibatnya amat hebat. Di antara puluhan orang murid Durgomantra itu, yang tadiinya terpengaruh sihir, mendadak seperi orang disiram air dingin yang membuat mereka sadar! Itulah pekik yang mengendung aji Naga Kroda {Naga Marah}. Pekik yang mengandung kekuatan sakti dan mampu menghancurkan pengaruh sihir. Mereka yang terlepas dari pengaruh sihir itu segera membuang senjata mereka dan berlarian menghampiri orang tua masing-masing.Terjadilah adegan yang mengharukan ketika para pemuda dan gadis yang telah sadar itu merangkul ayah masing-masing dengan tangis.

Akan tetapi di antara mereka terdapat duapuluh orang lebih murid bawaan Wiku Syiwakirana, dan mereka ini memang orang-orang yang sudah memiliki watak yang buruk dan sesat seperti guru mereka. Mereka tidak lagi dipengaruhi sihir melainkan membantu guru mereka dengan suka rela karena mereka setuju dan cocok sekali dengan jalan hidup yang ditempuh gurunya. Mereka inilah yang menjadi marah dan dengan nekat mereka maju untuk menyerang Budhi. Melihat ini, Budhi melayang turun dari panggung dan menghadapi mereka dengan tamparan dan tendangan yang tidak mematikan, namun cukup terasa untuk membuat mereka berpelantingan.

Sementara itu, Wiku Syiwakirana sudah berhadapan dengan Niken. Ketika pintu kamarnya diterjang Niken, dia merasa jerih dan melarikan diri, akan tetapi itu hanya untuk mengumpulkan anak buahnya melakukan pengeroyokan. Betapapun tangguhnya gadis dan pamuda itu, kalau dia maju mengeroyok bersama putera dan para muridnya, tentu mereka berdua akan mampu ditundukkan.

Akan tetapi, betapa terkejutnya mereka ketika dia mendengar Budhi menggunakan aji teriakan melengking yang membuyarkan kekuatan sihirnya. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi seorang pemuda yang sakti mandraguna. Setelah sebagian besar muridnya kini tidak lagi mau membelanya dan sudah kembali kepada orang tua masing-masing, dia menjadi jerih dan dia sudah meloncat untuk melarikan diri! Akan tetapi, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Niken telah berdiri didepannya dengan senyum mengejek.

"Wiku jahanam, dukun lepus! Engkau hendak lari ke mana?" bentak gadis itu dengan marah, tangan kiri betolak pinggang, tangan kanan meraba gagang keris Megantoro, mulutnya tersenyum mengejek dan pandang matanya mencorong menyeramkan hati Wiku Syiwakirana.

Karena tidak melihat jalan untuk melarikan diri lagi, ketua perguruan Durgomantra itu mejadi nekat dan marah.

"Bocah setan! Aku akan membunuhmu!" bentaknya dan tombak di tangannya sudah meluncur ketika dia menyerang dengan hebatnya. Akan tetapi Niken sudah siap siaga. Sekali tangan kanannya bergerak, ia telah mencabut keris pusaka Megantoro dan ia miringkan tubuhnya sambil meliuk ke kanan, kemudian ketika tombak lewat di sisi tubuhnya, ia menggerakkan kaki kanan ke depan disusul kerisnya menghujam ke arah lambung kiri Wiku Syiwakirana.

Akan tetapi kakek itupun memiliki gerakan yang gesit. Dia sudah menarik tombaknya dan menggunakan gagang tombak yang diputar untuk melindungi lambungnya.

"Traggg........!" Keris itu tertangkis gagang tombak yang diputar sedemikian rupa sehingga tombak itu kembali menyambar, sekali ini menyerampang ke dua kaki Niken.

Gadis inipun tidak menjadi gugup. Ia memang memiliki garakan yang lincah dan ringan sekali. Ketika tombak menyerampang kedua kakinya, ia meloncat ke atas sehingga tombak menyambar bawah kakinya dan dengan tubuh melompat ke atas itu, Niken dapat menggerakkan kaki kiri langsung menendang dari udara yang menyambar ke arah leher lawan!

"Ahhhh.......!"

Wiku Syiwakirana terkejut dan terpaksa melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan leher dan dagunya yang disambar kaki kecil mungil namun kuat sekali itu. Dia terpaksa berjungkir balik dan pada saat tubuh Niken sudah turun, tombaknya sudah meluncur lagi menusuk ke arah perut Niken. Ketika gadis itu mengelak, tombaknya menusuk lagi ke arah dada.

"Trang-trang-tranggg......!"

Tiga kali Niken menangkis tusukan-tusukan yang datangnya bertubi-tubi itu. Akan tetapi kali ini agaknya Wiku Syiwakirana sudah mengerahkan seluruh tenaga dan menggunakan jurus Tomara Sewu { Seribu Tombak} sehingga serangannya itu sambung menyambung dan susul menyusul.

Tentu saja menghadapi hujan serangan tombak yang panjang itu. Niken yang hanya mempergunakan senjata keris menjadi kewalahan. Terpaksa ia melompat ke belakang agak jauh tidak terjangkau tombak lawan lalu diam-diam mengerahkan aji Hasta Bajra ke dalam kedua lengannya. Cepat ia menyarungkan kerisnya dan ketika lawan menghambur maju lagi untuk mengirim serangkaian serangan, Niken memukul ke depan dengan dua tangan terbuka mendorong disertai aji Hasta Bajra sambil berteriak nyaring.

"Haiiiiiiiittt...............!"

"Dessss.......!"

Angin yang amat kuat menyambar dan tubuh Wiku Syiwakirana tidak kuat lagi bertahan, jatuh terjengkang dan bergulingan. Dia merasakan dadanya sesak dan sukar bernapas dan pada saat itu, sekali loncat Niken sudah berada dekat dengannya dan gadis itu menyambar tombak yang terlepas dari tangan pemiliknya. Melihat ini, Wiku Syiwakirana menjadi jerih dan diapun bangkit dan lari menuju ke rumah besar yang menjadi tempat tinggalnya.

"Hendak lari ke mana kau?" Niken membentak, tangan kanannya bergerak dan tombak rampasan itu meluncur bagaikan anak panah cepatnya, tak terhindarkan lagi mengenai punggung Wiku Syiwakirana sampai tembus ke dadanya! Akan tetapi tubuh kakek itu masih berlari terhuyung memasuki rumah itu dan baru dia jatuh setelah tiba di ruangan dalam, jatuh menelungkup akan tetapi dadanya tidak sampai menyentuh lantai karena terhalang tombak yang tembus dadanya itu. Tewaslah dia seketika.

Melihat ketua mereka tertembus tombak, sisa anak buah perguruan Durgomantra menjadi ketakutan dan mereka melempar senjata lalu melarikan diri cerai berai. Mereka yang sudah terlukapun berusaha sedapat mungkin untuk melarikan diri. Budhi dan Niken tidak melakukan pengejaran terhadap mereka. Setelah semua anak buah Durgomantra melarikan diri, Budhi dan Niken saling pandang. Pemuda itu ingin sekali melihat bagaimana sepak terjang gadis perkasa ini selanjutnya, maka iapun bertanya,

"Niken, apa yang akan andika lakukan sekarang?"

Niken berpikir sejenak, kemudian menjawab tanpa ragu lagi, "Tempat maksiat dan terkutuk ini harus dibasmi habis, dibumi-hanguskan. Barang-barang berharga yang berada di dalamnya dibagi-bagikan kepada para warga dusun yng telah bersatu kembali dengan anak-anak mereka, selain untuk menebus kerugian mereka lair batin, juga agar taraf kehidupan mereka meningkat. Bagaimana pendapatmu, Budhi? Apakah engkau memiliki rencana lain?"

Budhi tersenyum dan mengangguk. "Sebuah pikiran yang amat bagus dan benar, Niken. Akan tetapi patung itu harus dibakar agar tidak dipuja kembali oleh siapapun, karena pemujaan itulah sumber kemaksiatan ini."

Niken setuju dan ia sendiri lalu mengukur pembagian barang-barang berharga yang dikeluarkan dari rumah besar itu kepada para warga dusun dan anak mereka. Kemudian, beramai-ramai mereka membakar rumah besar itu. Patung Bathari Durgo dan jenazah Wiku Syiwakirana ikut terbakar.

Ketika warga dusun yang kegirangan itu membawa pulang anak-anak mereka dan barang-barang bagian mereka, Budhi dan Niken telah pergi jauh menuruni bukit Girimanik.

Mereka mempergunakan ilmu berlari cepat menuruni bukit itu dan agaknya Niken sengaja hendak menguji kepandaian Budhi maka iapun berlari seperti terbang cepatnya. Akan tetapi, Budhi dapat selalu mengimbangi kecepatan larinya sehingga diam-diam Niken merasa kagum juga. Jelas bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan Joko Kolomurti. Hatinya tertarik, akan tetapi pengalamannya dengan Joko masih menggores kalbunya, membuat ia tidak mudah percaya begitu saja kepada laki-laki yang kelihatan tampan dan gagah.

Mereka berdua yang berlari cepat itu sudah tiba di kaki bukit dan Niken berhenti berlari. Lehernya agak basah oleh keringat, akan tetapi ketika ia memandang kepada Budhi, ternyata pemuda ini sama sekali tidak berkerigat dan pernapasannya biasa saja, tidak seperti ia yang agak terengah.

"Budhi, kenapa engkau mengikuti aku?" tanya Niken dengan suara mengandung kecurigaan. Setelah pengalamannya dengan Joko Kolomurti, ia tidak dapat percaya kepada Budhi begitu saja. Di todong pertanyaan yang tidak disangkanya itu, Budhi tertegun.

"Eh, kenapa? Aku...........tidak mengikutimu,Niken." jawab Budhi agak gugup.

"Hemm, kalau tidak mengikuti mengapa engkau mendampingiku ketika aku lari meninggalkan Girimanik? Mau apa sebetulnya engkau ini? Katakan saja terus terang!"

Wajah Budhi menjadi agak kemerahan, akan tetapi hatinya merasa penasaran sekali. "Niken, kau sangka aku ini mau apa? Kita sudah bekerja sama menentang perguruan sesat Durgomantra, setelah berhasil dan selesai kita turun bukit berdua. Apa salahnya itu? Agaknya engkau tidak percaya dan curiga kepadaku!"

"Setelah apa yang kualami di Durgomantra, aku tidak dapat mempercayai semua pria dan tidak akan terkecoh lagi oleh penampilan yang baik."

"Bagus! Memang seharusnya demikian, Niken. Andika seorang wanita muda yang melakukan perjalanan seorang diri. Kalau tidak berhati-hati menjaga diri, dapat dihadapi banyak bahaya. Memang sudah sepantasnya andika mencurigai dan tidak percaya kepadaku, karena kita baru saja saling jumpa dan berkenalan. Akan tetapi sungguh aku tidak bermaksud untuk mengikutimu. Memang perjalananku menuju ke selatan maka aku menuruni lereng bagian selatan ini."

Niken memandang tajam penuh selidik. Pemuda ini seorang yang digdaya, datang dari Gunung Kawi dan menuju ke selatan! Ke mana lagi tujuan perjalanannya kalau bukan ke Lautan Kidul, apa lagi yang dicarinya kalau bukan keris pusaka Tilam Upih?

"Hemmm, engkau mencari Tilam Upih?" tanyanya dan matanya yang bening itu bersinar tajam menembus seperti hendak menjenguk isi hati dada Budhi.

Budhi terkejut, akan tetapi wajahnya tidak menampakkan perubahan apapun. Pemuda ini memang sudah memiliki batin yang kuat sekali sehingga dia dapat mengendalikan perasaannya. Dia hanya tersenyum memandang wajah dara itu.

"Bagaimana engkau dapat mengetahuinya?"

"Karena engkau pernah menolongku, aku mau memberi tahu kepadamu, Budhi. Tidak perlu kau cari ke mana-mana. Tilam Upih sudah berada di tangan Adipati Surodiro di Nusa Kambangan dan kabarnya Surodiro hendak mengadakan sayembara. Siapa yang mampu mengalahkannya, dialah yang berhak memiliki Tilam Upih. Nah, engkau boleh mencari kesana dan selamat tinggal!" Tanpa menanti jawaban Niken lalu meloncat jauh ke depan dan lari dengan kecepatan terbang.

Budhi mengikuti bayangan dara itu dengan pandang matanya dan dia menghela napas panjang beberapa kali. Seorang dara yang bukan main, pikirnya. Dia harus mengakui bahwa hatinya amat tertarik kepada Niken. Tertarik penuh kekaguman terhadap dara itu. Cantik jelita, gagah perkasa, berani dan baik budi, walaupun terkadang dapat bersikap galak seperti seekor harimau betina. Dia menghela napas beberapa kali lalu melanjutkan perjalanannya. Tilam Upih berada di Nusa Kambangan? Dia percaya bahwa Niken tidak berbohong, maka dipun menujukan langkahnya ke barat karena dia akan berkunjung ke Nusa Kambangan!
 
Bagian - 19


Sepasang orang muda yang melangkah perlahan menyusup-nyusup hutan itu sungguh merupakan pasangan yang serasi sekali. Yang wanita seorang dara berusia kurang lebih tujubelas tahun, bertubuh ramping padat berkulit putih kuning. Dari pakaiannya dapat diduga bahwa ia seorang dara berdarah bangsawan atau setidaknya hartawan dengan pakaian sutera halus dan perhiasan emas menghias tubuhnya. Wajahnya cantik manis dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup. Bibirnya yang merah basah itu kadang cemberut manja. Rambutnya hitam subur dan panjang sekali, dikelabang dan disanggul sederhana menggantung di tengkuk dan diikat kain sutera. Di pinggangnya terselip sebatang keris dan tangan kirinya memegang sebatang gendawa, tangan kanan memegang anak panah. Seorang dara yang cantik dan gagah sekali.

Pemuda itupun mengagumkan. Seorang pemuda berusia duapuluh tahun, wajahnya tampan dan gagah perkasa seperti Raden Gatutkaca. Juga pemuda ini menggunakan pakaian yang indah, tidak seperti pemuda dusun. Di pinggangnya tergantung sebatang golok dan tangannya juga memegang busur dan anak panah. Dari sikap dan senjata mereka dapat diduga bahwa kedua orang muda ini sedang berburu binatang hutan.

"Wulan, kenapa hari ini sepi sekali tidak ada binatang buruan.......?"

"Ssttt......!"

Dara itu memberi isyarat agar pemuda itu diam dan ia sudah memasang anak panah pada busurnya, lalu berindap menuju ke kiri menyusup di antara semak belukar. Pemuda itu mengikuti dari belakang, lambat dan hati-hati agar kakinya tidak menimbulkan suara gaduh. Diapun melihat gerakan jauh di depan, agaknya ada seekor kijang yang sedang diintai dan diburu gadis itu, kemudian gadis itu melepas anak panah.

"Kena......! Wah, dia lari.......!" Gadis itu lalu meloncat dan lari mengejar.

Pemuda itupun mengejar dan melihat gadis itu memasuki daerah hutan yang lebat dan gelap, dia berteriak dari belakang,

"Wulan! Jangan memasuki hutan itu! Berbahaya........"

Akan tetapi dara yang sudah melihat kijang buruannya berlari terhuyung itu tidak memperdulikan teriakan pemuda itu dan terus mengejar. Terpaksa pemuda itupun ikut pula mengejar dengan hati-hati dan waspada. Tiba-tiba dia melihat seekor ular besar bergantung kepada dahan sebatang pohon dengan kepala di bawah. Itulah sikap ular yang kelaparan dan menanti lewatnya calon mangsanya. Dan ular itu besar bukan main, sebesar pahanya!

"Wulan, berhenti.......!" teriak pemuda itu.

Namun gadis itu yang seluruh perhatiannya tertuju kepada kijang yang sudah terluka, tidak tahu bahwa di atasnya ada bahaya mengancam dan ia terus berlari ke bawah pohon besar itu.

"Wulan, awas.......! Ah, celaka.........!" pemuda itu berteriak namun terlambat.

Ular itu sudah menjatuhkan dirinya, tepat di atas gadis yang sedang berlari itu. Gadis itu terkejut bukan main, hendak meloncat, akan tetapi tubuhnya sudah terbelit ular. Ia meronta, namun belitan itu amat kuat dan ia merasa dirinya tercekik, dadanya terhimpit sampai sukar bernapas. Ketika melihat kepala ular itu dekat dengan mukanya dengan lidah keluar masuk, ia memandang dengan mata terbelalak dan merasa ngeri.

Namun gadis itu ternyata memiliki ketabahan yang luar biasa. Busur di tangannya sudah terhimpit. Akan tetapi dengan pengerahan tenaganya, ia mampu menarik kedua lengannya sehingga lepas dari libatan dan kini ia menggunakan kedua tangannya yang terkepal untuk menghantam ke arah kepala ular! Agaknya pukulan kedua tangan gadis itu cukup keras dan menyakitkan. Ular itu menggerak-gerakkan kepalanya, agaknya merasa jerih juga kalau kena pukulan lagi dan moncongnya siap untuk menggigit.

Sementaraitu, pemuda itu sudah melompat dekat dan dia sudah memegang goloknya dan berkilauan saking tajamnya.

"Wulan, tangkap lehernya! Cepat!" teriaknya.

Wulan menyadari bahwa sekali ia terkena gigitan, akan sukar untuk dapat meloloskan diri, maka ia menerkam dengan kedua tangannya. Jari-jari tangannya yang mungil itu mencengkeram leher ular itu dengan kuatnya. Ular itu meronta dan lehernya yang sebesar betis itu terasa keras sekali, keras dan licin sehingga betapapun kuat gadis itu mencengkeramnya, namun tetap saja ia hampir tidak mampu bertahan dengan cengkeramannya.

Pada saat itu, pemuda tadi sudah mendekat, tangan kirinya membantu gadis itu mencengkeram leher dan tangan kanan membacokkan goloknya ke arah kepala ular itu berulang kali. Darah bercucuran, ular menggeliat dan libatannya hampir meremukkan tulang-tulang iga gadis itu, akan tetapi setelah gadis itu terkulai lemas dan pingsan. Libatan itu mengendur dan ular itupun mengeliat sekarat dengan kepala hancur.

Pemuda itu cepat memondong tubuh gadis yang setengah pingsan itu keluar dari libatan tubuh ular, mambawanya ke bawah pohon menjauhi tempat itu dan merangkulnya. Perlahan dia mengguncang tubuh itu untuk menyadarkannya dan memanggil-manggil.

"Wulan........,Wulansari ......! Sadarlah....., engkau tidak apa-apa, bukan? Dia merasa khawatir sekali.

Akhirnya gadis itu mengeluh dan membuka matanya. Ketika melihat dirinya duduk di atas pangkuan pemuda itu dan tubuhnya dirangkul, ia membelalakkan mata dan meloncat berdiri.

"Kakang Wijaya! Kenapa engkau memangku dan memeluk diriku?"

Dalam suaranya terkandung teguran marah.

Pemuda itu nampak gugup. "Ah, aku .......aku khawatir sekali melihat keadaanmu, Wulan. Aku berusaha menyadarkanmu dan aku......"

"Sudahlah! Lain kali aku minta agar engkau tidak melakukan kelancangan seperti itu!"

"Maafkan aku, Wulan."

"Sudahlah, lupakan saja. Mana ular tadi?" Wulan melihat ular itu di bawah pohon sana, lalu menghampiri. Melihat ular yang perutnya sebesar pinggangnya itu dan pasti ular sebesar itu akan mampu menelan dirinya, ia bergidik.

"Mengerikan sekali!" katanya.

"Hutan gelap ini memang merupakan tempat yang berbahaya sekali, penuh binatang liar yang besar dan banyak pula ular berbisa, Wulan. Karena itu, sudahlah jangan kejar kijang yang terluka tadi dan mari kita keluar dari siani." kata Wijaya sambil mengembilkan busur dan anak panah gadis itu yang tadi terlepas.

Wulansari tidak membantah lagi dan merekapun keluar dari hutan itu. Siapakah sepasang orang muda perkasa ini ? Wulansari adalah puteri dan anak tunggal dari Adipati Surodiro yang menguasai Pulau Nusa Kambangan, Pulau itu memang memiliki banyak hutan liar. Tidak jarang Wulansari melakukan perburuan binatang hutan ditemani Wijaya yng menjadi murid ayahnya.

Wijaya telah diambil murid oleh Adipati Surodiro sejak sang adipati belum menjadi penguasa di pulau itu. Ketika itu Adipati Surodiro masih bernama Koloyitmo, seorang datuk di daerah Laut Kidul. Dia mengambil Wijaya sebagai murid ketika anak itu baru berusia enam tahun, ditinggal mati ayah bundanya. Anak yatim piatu itu boleh dibilang juga menjadi semacam anak angkatnya, juga murid karena dia mengajarkan semua ilmunya kepada Wijaya. Sang adipati menyayangi murid ini seperti puteranya sendiri. Hal ini adalah karena dia tidak mempunyai putera lain kecuali Wulansari.

Akan tetapi setelah mereka dewasa, Adipati Surodiro mempunyai keinginan untuk mejodohkan muridnya itu dengan puterinya. Wijaya merupakan seorang pemuda yang cukup tampan dan gagah, dan dia dapat menduga dari sikap pemuda itu bahwa muridnya itu jatuh cinta kepada Wulansari. Akan tetapi diapun maklum sepenuhnya bahwa Wulansari agaknya tidak mencintai Wijaya, hanya menyayang sebagai seorang kakak seperguruan dan sepermainan. Karena itulah maka Adipati Surodiro masih sangsi dan ragu.

Adipati Surodiro yang dulu bernama Koloyitmo adalah seorang bekas datuk yang sakti mandraguna. Ketika belum lama dia mengangkat diri menjadi Adipati Nusa Kambangan setelah menundukkan semua kepala gerombolan di pulau itu, pada suatu hari dia menemukan keris pusaka Tilam Upih. Peristiwa penemuan itu sendiri amat luar biasa. Pada suatu hari, Adipati Surodiro yang mempunyai kesukaan mengail ikan besar di selat Nusakambangan, mengail di atas perahunya. Dia sengaja mencari ikan besar, maka diapun mempergunakan umpan gading yang msih segar dan besar.

Umpannya itu disambar seekor ikan hiu yang besar. Terjadi pergulatan berjam-jam lamanya antara Adipati Surodiro yang memegang tangkai pancing dan ikan itu yang meronta-ronta dan menarik perahunya sampai jauh. Akan tetapi akhirnya adipati yang gagah ini berhasil membunuh ikan hiu itu dan membawanya pulang.

Dia melihat keanehan pada ikan itu. Ada sesuatu yang mencorong menembus perutnya. Maka dia lalu membelah perut ikan itu dan dia menemukan sebilah keris di dalam perut ikan. Keris itu bukan lain adalah benda pusaka Tilam Upih. Dengan didapatkannya keris pusaka yang ampuhnya menggiriskan itu Adipati Surodiro bagaikan harimau tumbuh sayap. Dia tidak terkalahkan dan kekuasaannya semakin meluas sampai kepesisir selatan. Akan tetapi dia merahasiakan adanya pusaka itu padanya karena dia maklum bahwa pusaka itu milik raja-raja di kediri dan kalau terdengar raja Kediri bahwa Tilam Upih ada padanya, tentu dia akan ditekan untuk menyerahkannya. Bertahun-tahun rahasia itu terpendam, bahkan puterinya dan muridnya sendiripun tidak mengetahuinya.

Ketika tersiar kabar tentang ramalan Sang Prabu Jayabaya bahwa Tilam Upih akan muncul dari Lautan Kidul, Adipati Surodiro menjadi terkejut sekali. Apalagi dia mendengar dari para penyelidiknya bahwa telah banyak berdatangan orang-orang gagah yang hendak mencari keris pusaka Tilam Upih. Dia khawatir sekali kalau-kalau Pulau Nusakambangan menjadi ajang pertandingan karena perebutan pusaka itu dan karena mereka itu adalah orang-orang gagah perkasa dari segenap penjuru, dia khawatir kalau hal itu akan mengacaukan wilayahnya dan membahayakan kedudukannya.

Oleh karena itu dia lalu mengumumkan sebuah sayembara. Diumumkannya bahwa dialah yang telah menemukan keris pusaka Tilam Upih, dan dia hendak mengadakan sayembara, dimulai bulan depan bahwa barang siapa dapat mengalahkan dia dalam sebuah pertandingan adu kesaktian, pemenang itulah yang berhak mendapatkan Tilam Upih.

Sebetulnya dengan mengadakan sayembara ini, Adipati Surodiro mempunyai dua tujuan. Pertama, untuk menjaga agar Nusa Kambangan tidak dijadikan tempat perebutan pusaka itu sehingga melemahkan kedudukannya, juga agar dia tidak dimusuhi oleh Sang Prabu Jayabaya sebagai orang yang memiliki pusaka kerajaan Kediri itu. Tentu akan muncul pemuda-pemuda digdaya dalam sayembara itu, dan siapa tahu, di antara para pemuda itu ada yang akan menarik hati puterinya.

Demikian keadaan Adipati Surodiro. Pada hari itu, Wulansari dan Wijaya pergi berburu dan hampir saja gadis itu mengalami kecelakaan di makan ular besar.

Menjelang senja, kedua oang muda itu baru kembali ke kadipaten, membawa dua ekor kelinci dan seekor kijang. Dua ekor kelinci itu dibawa oleh Wulansari, sedangkan bangkai kijang itu dipanggul Wijaya. Mereka sengaja melalui hutan di dekat pantai, karena walaupun dengan demikian mereka mengambil jalan memutar yang agak lebih jauh, namun perjalanan melalui hutan itu lebih mudah, tidak naik turun seperti kalau melalui hutan di tengah pulau. Pula, pemandangnnya amat indah kalu mengambil jalan melalui hutan di pantai itu.

Tiba-tiba Wulansari yang berjalan di depan berhenti. Wijaya yang berjalan di belakangnya juga berhenti dan pemuda ini merasa heran. Tidak biasanya adik seperguruannya itu mudah merasa lelah dan perlu istirahat.

"Wulan, mengapa berhenti?"

"Kakang, lihatlah di sana itu! Kenalkah engkau kepada mereka?" Wijaya memandang dan melihat lima orang turun dari sebuah perahu hitam yang layarnya telah digulung dan kini mereka berlima menarik perahu itu ke daratan pulau.

"Tidak, aku tidak mengenal mereka. Nampaknya mereka bukan orang kita". KataWijaya sambil menggeleng kepala.

"Kalau begitu kita harus menegur mereka. Ada keperluan apa mereka datang ke pulau kita. Siapa tahu mereka mempunyai niat buruk."

"Baik, mari kita turun ke sana."

Keduanya menuruni lereng itu dan pada saat itu mereka melihat munculnya dua orang penjaga pantai. Agaknya terjadi pertengkaran antara dua orang penjaga itu dengn lima orang pendatang, yang dilanjutkan perkelahian. Wijaya dan Wukansari melihat betapa dalam beberapa gebrakan saja dua orang anak buah itu telah dipukul roboh oleh seorang di antara mereka dan kini lima orang itu menertawakan mereka.

"Mari kita cepat ke sana!" kata Wulansari marah dan mereka berdua segera berlari cepat menuruni lereng dan sebentar saja mereka sudah tiba di pantai itu.

"Ha-ha-ha-ha, kalian berdua belum mengenal siapa kami! Kami adalah Lima Jagoan Kali Serayu! Dan kalian berani mengusir kami? Hayo, majulah lagi kalau berani!" tantang seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam yang tadi merobohkan dua orang penjaga pantai itu.

"Dari mana datangnya buaya muka hitam menjual lagak di tempat ini!" Bentak Wulansari yang sudah tiba ditempat itu.

Si Muka Hitam terkejut mendengar bentakan wanita dan dia segera memutar tubuh memandang, diikuti empat orang temannya. Melihat Wulansari membawa dua ekor kelinci dan seorang pemuda memanggul bangkai kijang, mereka terheran, akan tetapi lalu tertawa bergelak.

"Babo-babo, engkau perawan cilik berani bicara kasar kepadaku? He, bocah ayu. Kami adalah Lima Jagoan Kali Serayu, datang ke pulau ini untuk menyelidiki berita tentang sayembara perebutan Tilam Upih. Dan siapakah engkau, bocah ayu?"

"Manusia-manusia lancang! Sayembara baru diadakan seminggu lagi belum waktunya kalian datang. Dan tidak ada seorangpun dari luar pulau kami. Hayo kalian cepat pergi meninggalkan pulau, kalau tidak, akan kuusir dengan kekerasan!" Kata wulansari galak.

Lima orang itu saling pandang lalu tertawa tergelak. "Ha-ha-ha-ha, bocah ayu manis tapi galak. Siapakah engkau berani bersikap seperti ini di depan kami?" bentak si muka hitam.

"Namaku Wulansari dan aku adalah Puteri Kanjeng Rama Adipati di Nusakambangan!"

Mendengar ini, Lima orang itu berhenti tertawa dan memandang penuh perhatian.

"Puteri Sang Adipati? Pantas, begini galak! Akan tetapi, kamipun buka orang-orang yang boleh sembarangan saja di usir. Bawalah kami menghadap Adipati Surodiro. Kami sudah mengenalnya dan tentu dia akan menerima kami dengan baik."

"Tidak!" Bentak Wulansari. "Kalian sudah melakukan pelanggaran bahkan memukul roboh dua orang penjaga kami. Pergilah atau aku akan menghajar kalian!"

Kembali lima orang itu tertawa. "Menghajar kami? Ha-ha-ha, ingin sekali kami melihat bagaimana kau akan melakukan itu, bocah ayu!"

Wulansari menjadi marah sekali. Dia melemparkan dua bangkai kelinci itu kepada Wijaya, kemudian melangkah maju menghampiri si muka hitam. Si muka hitam memandang sambil tersenyum dan kedua tangannya bertolak pinggang.

"Engkau mau apa, cah ayu? Mau memukulku? Boleh, boleh! Tentu enak seperti dipijiti. Boleh kau memukul sesuka hatimu, berapa kalipun boleh dan boleh kau pilih bagian yang paling lunak, ha-ha-ha!"

Si muka hitam memang memiliki aji kekebalan, maka dia berani menyombongkan diri. Apalagi yang akan memukul seorang perawan remaja yang ayu manis, tentu tangannya juga lunak halus, memukulpun tentu tidak akan sakit. Maka dia memasang dirinya untuk dipukul, mulutnya yang lebar menyeringai sombong.

"Buaya muka hitam, engkau sendiri yang minta dipukul. Nah, terimalah ini!"

Wulansari mengerahkan tenaganya pada tangannya yang kanan, kemudian diayunnya tangan itu menampar ke arah dada yang lebar dan berotot itu.

"Plakkk..........!"

Tamparan itu mengenai dada, dan empat orang kawan si muka hitam sudah tertawa-tawa melihat pukulan yang tidak keras itu. Tentu si muka hitam akan menerimanya dengan enak saja. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya hati mereka ketika melihat si muka hitam tiba-tiba menjadi pucat mukanya, mulutnya menyeringai, tangannya menekan dada dan diapun terkulai roboh sambil mengaduh-ngaduh!

Tadinya empat orang kawannya mengira dia hanya main-main dan pura-pura kesakitan saja, akan tetapi ketika melihat si muka hitam memuntahkan darah merah mereka benar-benar kaget dan cepat berlari menghampiri.

Ketika melihat keadaan kawan mereka yang terluka parah, di dadanya nampak warna kebiruan, mereka menjadi marah sekali.

"Berani engkau melukai saudara kami!" bentak mereka dan empat orang itu sudah mencabut golok mereka dari pinggang untuk menyerang Wulansari.

Akan tetapi Wijaya sudah melompat ke depan dan menggunakan bangkai kijang sebagai senjata, mengamuk dan melawan empat orang yang memegang golok. Juga Wulansari tidak tinggal diam, ia menggunakan busurnya untuk mengamuk. Menghadapi amukan Wijaya dan Wulansari empat orang itu terkejut dan kewalahan.

Akhirnya, dengan jerih mereka berempat menarik tangan si muka hitam dan lari ke perahu ke air dan ombak lautan menerima perahu itu dan menghanyutkannya ke tengah.

Wulansari dan Wijaya tidak mengejar, hanya memandang sambil tersenyum gembira sudah dapat mengusir Lima orang kasar itu dari pulau mereka.

Dua orang penjaga pantai itu lalu membawakan kelinci dan kijang mereka dan keduanya lalu kembali ke kadipaten, merasa gembira bahwa hari itu mereka telah memperoleh pengalaman yang amat menarik hati dan menegangkan. Ketika mereka berhadapan dengan Adipati Surodiro, sang adipati tertawa mendengar cerita mereka, biarpun dia sempat khawatir mendengar puterinya terbelit ular besar.

"Ha-ha-ha-, orang-orang tak tahu diri itu! Mereka menganggap kita ini apa? Berani benar mendatangi Nusa Kambangan sebelum hari sayembara yang ditentukan tiba." katanya, kemudian dia membicarakan urusan sayembara itu dengan puterinya dan muridnya, minta mereka siaga kalau dia minta untuk menandingi seorang peserta sayembara.

"Akan tetapi kami terlalu lemah, kanjeng rama. Bagaimana kalau kami kalah dalam pertandingan itu?" bantah Wulansari.

"Kalau kalian kalah, akulah yang maju. Syarat memenangkan sayembara itu adalah kalau orang dapat mengalahkan aku. Akan tetapi tidak mungkin kalau aku sendiri yang menghadapi mereka semua. Kalian menjadi semacam penguji atau penyaring. Yang benar-benar berkepandaian saja baru dapat berhadapan dengan aku."

Wulansari dan Wijaya mengerti dan merekapun menyanggupi dengan hati bangga karena mereka memperoleh kesempatan untuk memamerkan kepandaian mereka.
 
Bagian - 20



Pada hari yang ditentukan, Nusa kambangan kedatangan banyak tamu. Bermacam-macam tamu yang berdatangan di kadipaten Nusa Kambanagn itu dan mereka semua diterima oleh para petugas sebagai tamu yang dihormati. Di depan gedung Kadipaten, di alun-alun telah dibangun sebuah panggung yang besar. Hampir semua penduduk kadipaten Nusa Kambangan datang membanjiri alun-alun untuk menjadi penonton.

Akan tetapi di antara para hadirin yang banyak itu, hanya sedikit yang berniat memasuki sayembara. Kebanyakan dari mereka hanya ingin menjadi penonton, menyaksikan jalannya pertandingan sayembara dan ingin mengetahui siapa yang akhirnya akan memiliki Kiayi Tilam Upih. Sebagian besar dari mereka sudah mengenal Adipati Surodiro dan tahu akan kedigdayaannya maka mereka sudah menjadi jerih dan tidak berani mengikuti sayembara harus mengalahkan sang adipati yang sakti mandraguna itu.

Setelah para calon pengikut sayembara didaftar, maka pertandingan itupun dimulai. Dan ternyata Sang Adipati Surodiro sendiri tidak langsung maju.

"Untuk melayani banyak pengikut sayembara, sungguh amat melelahkan bagiku kalau aku harus melayani kalian semua. Karena itu, aku akan diwakili oleh murid dan puteriku. Siapa yang dapat mengalahkan mereka barulah akan bertanding melawanku." demikian sang adipati memberitahu dan semua orang dapat menerima peraturan ini. Apa lagi mereka yang diharuskan bertanding melawan Wulansari, mereka merasa gembira sekali. Dapat bertanding dan beradu tangan dengan dara cantik jelita itu sudah merupakan suatu keuntungan tersendiri. Kiranya tidak akan penasaran walaupun tidak berhasil mendapatkan Tilam Upih.

Akan tetapi, Adipati Surodiro mengadakan pilihan. Hanya pemuda yang nampak gagah perkasa saja yang dilayani bertanding oleh Wulansari, sedangkan yang lain ditandingi oleh wijaya.

Pertandingan demi pertandingan berlangsung di atas panggung, dan para penonton yang sebagian besar terdiri dari penduduk kadipaten Nusa kambangan bersorak gembira karena melihat betapa Wijaya dan Wulansari masing-masing telah memenangkan tiga kali pertandingan! Adipati Surodiro sendiri belum sempat maju. Baru bertanding melawan murid dan puterinya saja, satu demi satu para peserta sayembara telah dapat dikalahkan. Banyak di antara peserta menjadi jerih dan mundur sebelum bertanding! Pemuda dan dara itu saja sudah terlampau kuat bagi mereka. Apa lagi kalau sang adipati sendiri yang maju! Mereka menjadi gentar dan mundur teratur.

Tiba-tiba sesosok bayangan melayang bagaikan seekor burung garuda hinggap di atas panggung. Ketika semua orang memandang, ternyata ia adalah seorang wanita, seorang gadis muda yang cantik dan gagah. Sebatang keris terselip di pinggangnya dan gadis ini mengahadap ke arah Adipati Surodiro sambil bertolak pinggang! Kemudian terdengar suaranya yang merdu namun lantang.

"Adipati Nusa Kambangan! Bangkitlah dan tandingi aku. Akulah yang akan mengalahkanmu dalam pertandingan dan aku yang berhak memperoleh keris pusaka Tilam Upih!"

Banyak di antara para penonton yang tertawa mendengar ini. Seolah mendengar ocehan mulut kanak-kanak. Bagaimana seorang gadis muda itu berani menantang sang adipati? "

"Hemm, engkau masih terlalu muda untuk menadingi aku. Biarlah muridku saja yang menandingimu. Wijaya kau lawanlah gadis itu dan hati-hati, jangan lukai gadis itu!" kata Sang Adipati sambil tersenyum.

Wijaya melangkah maju dengan genbira. Tentu saja hatinya gembira menghadapi lawan seorang gadis yang kecantikannya tidak kalah dibandingkan Wulansari.

"Nimas,marilah kita main-main sejenak!" katanya gembira.

Akan tetapi gadis itu mengerutkan alisnya dan membentak sambil mendorongkan tangan kanannya ke arah Wijaya.

"Siapa mau main-main denganmu? Pergilah!"

Wijaya terkejut bukan main karena dari tangan kanan gadis itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat! Dia mencoba untuk menangkis, akan tetapi merasa ada hawa panas menghantam dirinya dan diapun terjengkang! Melihat ini, Wulansari terkejut dan marah. Ia sudah meloncat maju ke depan gadis itu.

"Engkau bocah setan yang kejam!" bantaknya sambil menyerang.

Akan tetapi kembali gadis itu menggerakkan tangan mendorong dan Wulansari juga terjengkang dan terpaksa harus berjungkir balik agar tidak sampai terbanting. Semua orang yang melihat ini menjadi gempar! Jelaslah sudah bahwa gadis yang baru muncul ini seorang dara yang sakti sehingga Wijaya dan Wulansari dapat dikalahkannya dalam segebrakan saja. Juga Adipati Surodiro melihat ini. Sekali menggerakkan kaki, tubuhnya sudah melayang dan berdiri di depan gadis itu, dan memberi isyarat dengan tangan agar puteri dan muridnya mundur. Dua orang muda
itu terpaksa meninggalkan panggung.

"Bagus sekali! Kiranya engkau ini gadis muda sudah memiliki ilmu yang tinggi. Katakan siapa andika dan dari mana andika datang!" Kata Adipati Surodiro.

Gadis itu berdiri tegak, menatap tajam wajah sang adipati lalu terdengar suaranya lantang karena semua orang menahan napas ikut mendengarkan.

"Aku bernama Niken, datang dari Anjasmoro!"

Adipati Surodiro tertawa.

"Ha-ha-ha, pantas! Melihat gerakan tanganmu tadi, aku menduga bahwa itu adalah Aji Hasta Bajra! Andika tentu murid Gagak Seto, bukan?"

"Aku tidak pernah menyembunyikan kenyataan. Aku memang murid Gagak Seto dan aku datang untuk mengikuti sayembara mendapatkan Tilam Upih." jawab Niken yang bersikap tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri.

"Ha-ha-ha, tidaklah begitu mudah, nini! Andika memang terlalu kuat untuk murid dan puteriku, akan tetapi dengan ilmumu itu belum tentu andika akan mampu mengalahkan aku!"

"Tidak perlu banyak cakap, Sang Adipati! Mari kita mulai saja pertandingan ini!" kata Niken dan ia sudah memasang kuda-kuda dengan gagahnya. Tangan kanan diangkat ke atas, tangan kiri ke bawah, keduanya dengan jari terbuka dan kedua lututnya agak ditekuk.

"Ha-ha-ha, Ki Sudibyo benar-benar telah memiliki murid yang hebat mengagumkan. Ha-ha-ha! Nah, aku sudah siap, mulailah!" kata adipati itu dengan sikap tenang dan memandang rendah.

Bagaimanapun juga, dia adalah seorang datuk persilatan yang terkenal dan sudah memiliki banyak pengalaman. Tantu saja dia tidak takut menghadapi lawan seorang wanita muda! Bahkan menghadapi Ki Sudibyo sendiri dia tidak takut, apalagi muridnya.

"Lihat seranganku! Haiiiiiiiittt.............!" Niken sudah menyerang dengan gerakan gesit sekali.

Dara ini sudah mengerahkan aji Tapak sikatan yang membuat tubuhnya selincah burung sikatan, dan kedua tangannya sudah diisi dengan Aji Hasta Bajra. Serangan pertamanya demikian cepat dan kuatnya sehingga menimbulkan bunyi angin berciutan dan sempat mengejutkan hati sang adipati juga. Adipati Surodiro cepat mengelak, akan tetapi pukulan kedua dari Niken sudah menyusul demikian cepatnya sehingga lawan tidak lagi sempat mengelak dan terpaksa harus menangkis.

"Desss.........!"

Dua lengan bertemu dan akibatnya membuat keduanya terdorong mundur. Niken diam-diam terkejut. Ternyata adipati ini memang sakti! Bukan hanya mampu menagkis aji Hasta Bajra, bahkan membuat ia terdorong ke belakang. Ia menjadi lebih berhati-hati dan tidak berani memandang rendah lawannya. Keduanya sama menginsyafi akan kehebatan lawan, dan keduanya bertanding dengan hati-hati sehingga pertandingan itu amat menarik dan seru. Telah limapuluh jurus lewat akan tetapi belum nampak tanda-tanda siapa yang unggul dalam pertandingan itu. Berkali-kali terdengar tepuk tangan ketika masing-masing dapat menghindarkan diri serangan dahsyat lawan.

Akan tetapi bagaimanapun juga, Niken kalah pengalaman. Adipati itu memiliki banyak ilmu yang aneh-aneh, dan gerakan silatnya juga berubah-ubah sehingga membingungkan Niken. Tiba-tiba sang adipati membuat gerakan silat yang aneh. Kaki tangannya bergerak-gerak membentuk setangkai bunga dan itulah Aji Wijayakusuma dalam bentuk gerakan silat! Dan anehnya, dari kedua tangan kakek itu muncul hawa yang amat hebat wibawanya, sehingga Niken sendiri merasa tergetar.

"Hyaaaaatttt!" Adipati Surodiro membentak dan tubuh Niken terdorong keras. Hampir saja dara ini terjengkang, akan tetapi ia dapt melempar tubuh ke belakang lalu berjungkir balik beberapa kali melompat ke bawah panggung dan lenyap di antara penonton. Karena merasa tidak mampu menandingi adipati yang sakti itu, Niken merasa malu dan iapun pergi tanpa pamit!

Adipati Surodiro tertawa gembira. "Wah, seorang dara yang sakti!" Dia memuji lalu memandang kepada orang banyak. "Apakah masih ada peserta sayembara yang merasa penasaran dan ingin menguji ilmu kanuragan?"

Budhidarma berada di antara penonton dan sejak tadi dia menonton pertandingan itu. Dia melihat pula betapa Niken dikalahkan adipati yang banyak pengalaman itu. Dia melihat betapa aji yang dikeluarkan sang adipati yang mengalahkan Niken adalah aji yang hebat sekali, mengandung daya kekuatan yang menggetarkan, bahkan terasa olehnya yang berdiri dari jarak jauh. Melihat tidak ada lagi yang maju, diapun melompat ke atas panggung dan segera bersikap menghormat kepada sang adipati.

"Perkanankan saya yang muda mencoba-coba!" katanya sederhana.

Budhi adalah seorang pemuda yang sikapnya sederhana. Biarpun dia tampan dan halus, namun penampilannya bukan seperti seorang jagoan maka tidak mengesankan. Melihat pemuda ini, diam-diam Surodiro merasa suka. Seorang pemuda yag tampan dan juga sopan sekali, dan melihat sinar matanya yang mencorong, dia dapat menduga bahwa pemuda ini tentu seorang yang "berisi".Maka dia cepat melangkah maju dan memandang penuh perhatian.

"Bagus, orang-orang muda sekarang sungguh bersemangat dan berani. Orang muda, siapakah nama andika dan dari mana andika datang?"

"Saya bernama Budhidarma dan seorang perantau yang kebetulan lewat di daerah ini lalu mendengar tentang sayembara. Karena ingin meluaskan pengalaman saya memberanikan diri mengikuti sayembara ini, harap paman adipati tidak mempergunakan tangan keras kepada saya." Ucapan yang merendah ini semakin menyenangkan hati sang adipati. Anak ini sopan, tahu diri, akan tetapi bukan penjilat sehingga menyebutnya paman, bukan gusti dan sebutan lain yang menjilat lagi.

"Ha-ha-, boleh sekali. Akan tetapi biarlah aku beristirahat sejenak. Wulansari, kauwakili aku!" Dia berteriak dan Wulansari yang sejak tadi juga memperhatikan Budhi , menjadi tertarik dan cepat ia melompat ke atas panggung walaupun Wijaya memperingatkannya agar hati-hati karena baru saja tadi telah dikalahkan oleh Niken.

Setelah berhadapan,Wulansari semakin kagum. Pemuda di depannya ini memang tampan dan gagah sekali, namun lembut bagaikan Sang Arjuna. Ia ingin sekali mengetahui apakah pemuda ini juga memiliki kepandaian yang tinggi. Maka iapun berseru,

"Kalau andika hendak mengikuti sayembara, bersiaplah, ki sanak. Aku mewakili ayahku untuk mengujimu!"

Budhi tersenyum. Dia tadi sudah melihat betapa ilmu kepandaian gadis puteri sang adipati ini biarpun cukup hebat dan lincah, akan tetapi belum seberapa kalau dibandingkan ilmu yang di kuasai Niken, maka tentu saja bukan merupakan lawan berat baginya. Dia menjadi serba salah. Dia harus mengalahkan gadis ini dan inilah merupakan hal yang amat tidak disukainya. Mengalahkan seorang gadis! Sungguh amat memalukan dan juga dia tidak ingin menyakiti gadis cantik ini baik jasmani maupun rohani, tidak mau menyakiti badannya maupun hatinya. Dia harus mengalah, akan tetapi tidak sampai kalah.

"Baiklah, saya sudah siap!" katanya dan dia memasang kuda-kuda yang menimbulkan tawa pada beberapa orang penonton.

Budhi berdiri dengan kedua kaki ditekuk lututnya sehingga setengah berjongkok, tangan kiri di bawah dada seperti seorang yang sedang memegang sebuah bola yang tidak nampak. Kelihatan lucu dan bukan seperti orang yang sedang memasang kuda-kuda, akan tetapi sesungguhnya, kuda-kuda itu adalah pembukaan pasangan kuda-kuda yang disebut Sangga Bumi {Menyangga
Bumi}, sebuah kuda-kuda yang kuno dan langka dipergunakan orang.

Surodiro yang banyak pengalaman mengenal kuda-kuda ini dan jantungnya berdebar tegang, Benarkah pemuda ini mengenal Aji Sangga Bumi? Murid siapakah pemuda bernama Budhidarma ini?

"Lihat serangan! Haiiiiiittt......!" Wulansari sudah menerjang dengan cepatnya.

Tangan kanannya menghantam ke arah dada budhi dan tangan kirinya menampar ke arah pelipis. Sungguh merupakan serangan yang amat cepat dan juga berbahaya bagi lawan. Namun Budhi sudah siap siaga dan dengan melangkah ke belakang dua kali, dia menggagalkan serangan kedua tangan itu. Kini dia maju lagi dari samping dan tangannya menampar ke arah pundak Wulansari. Gadis ini miringakan tubuh dan menangkis dengan putaran tangan kanannya.

"Plakk!" Wulansari merasakan betapa tangan yang ditangkisnya itu lunak dan hangat, sama sekali tidak mengandung tenaga kasar sehingga tangannya yang menangkis tidak merasa nyeri sama sekali.

Wulansari salah duga. Disangkanya pemuda ini tidak memiliki kepandaian tinggi, maka iapun berhati-hati agar jangan melukai pemuda yang menimbulkan rasa suka di hatinya itu. Ia menyerang dengan cepat namun tidak mengerahkan seluruh tenaganya.

Hal ini diketahui oleh Budhi. Pemuda ini menjadi semakin serba salah. Gadis ini memiliki watak yang baik, tidak kejam dan mau mengalah, pikirnya. Bagimana dia tega untuk mengalahkannya di depan orang banyak sehingga mau tidak mau berarti dia membuatnya malu? Dia main mundur dan nampaknya saja oleh para penonton bahwa pemuda itu terdesak terus, dihujani serangan tanpa mampu membalas. Akan tetapi sungguh terasa aneh bagi Wulansari karena semua serangannya sama sekali tidak mampu menyentuh pemuda itu! Ia menjadi penasaran dan makin lama makin memperhebat serangannya, mulai menyadari bahwa pemuda itu tidaklah selemah yang ia duga. Dan benar saja, setelah semua ilmu ia keluarkan, semua tenaga ia kerahkan, belum juga ia mampu menyentuhnya!

Ia mulai bingung dan juga penasaran. "Balaslah, hayo balas!" katanya agak jengkel karena merasa dipermainkan.

"Maafkan aku!" kata Budhi yang merasa sudah terlalu lama melayani gadis itu.

Tangannya menampar ke depan cepat sekali dan tangannya mengandung hawa dingin yang menyambar. Wulansari terkejut dan meloncat mundur, akan tetapi pada saat itu ia merasa perutnya seperti tersentuh. Ia memandang ke arah perutnya dan dengan kaget ia tidak lagi melihat kerisnya di pinggang. Ketika ia mengngkat muka, ternyata keris itu sudah berada di tangan Budhi. Budhi membungkuk dan mengembalikan keris itu.

"Maafkan, ini kerismu......."

Semua penonton tidak melihat bagaimana caranya dan tahu-tahu keris yang tadinya berada di pinggang gadis itu sudah berpindah ke tangan Budhi. Bahkan ada yang tidak mengetahuinya. Akan tetapi Wulansari yang berwatak keras itu masih belum merasa puas. Ia tidak pernah terdesak oleh pemuda itu, bagaimana kerisnya tahu-tahu pindah ke tangan pemuda itu? Seperti main sulap saja.

"Aku belum kalah, mari kita main-main dengan senjata!" tantangnya.

"Wulansari, mundurlah engkau!" Terdengar sang adipati berseru kepada puterinya.

Dia tadi melihat dengan jelas cara Budhi merampas keris dan dia merasa kagum bukan main.

"Tidak,ayah. Aku masih belum kalah!" kata Wulansari dan dia berseru, "Lihatlah seranganku!"

Dan iapun sudah menerjang dengan dahsyat. Budhi mengelak dan berlompatan ke kanan kiri untuk menghindarkan diri dari tikaman keris yang dilakukan dengan cepat dan bertubi-tubi itu.

Dia sengaja hanya mengelak dan kadang menangkis, membiarkan gadis itu memuaskan hati dengan serangan sampai tigapuluh jurus, barulah dia menggerakkan tangan kiri, menangkap pergelangan tangan gadis itu. Wulansari menahan jeritnya ketika tangan kanan mendadak terasa lumpuh! Dan dengan sendirinya jari-jari tangan yang memegang keris tidak dapat mempertahankan lagi ketika keris itu diambil oleh tangan kanan Budhi yang segera melompat mundur.

Kini gadis itu berdiri dengan muka kemerahan dan memandang kepada Budhi dengan bersinar-sinar penuh kagum! Budhi tersenyum dan mengangsurkan tangan untuk mengembalikan keris, akan tetapi Wulansari membalikkan tubuh dan melompat turun dari panggung dengan wajah tersipu. Kini penonton bertepuk tangan memuji atas kemenangan Budhi.

Melihat Wulansari kalah, Wijaya sudah hendak melompat ke atas panggung, akan tetapi ia dibentak oleh Sang Adipati Surodiro. Adipati itu sendiri naik ke atas panggung dan manghampiri Budhi.

"Orang muda, engkau memiliki kepandaian yang hebat. Bolehkah kami mengetahui siapa gurumu yang terhormat?"

"Harap paman adipati memaafkan saya karena guru saya berpesan agar nama beliau jangan disebut-sebut, karena itulah saya terpaksa sekali tidak dapat menjawab pertanyaan paman adipati."

Adipati Surodiro menganguk-angguk. "Hemm, engkau seorang murid yang baik dan patuh. Tidak mengapa, dengan menguji kepandaianmua, mudah-mudahan aku akan dapat mengetahui siapa adanya gurumu. Nah, bersiaplah, orang muda!"

"Lihat seranganku, hyaaaaaattt.........!" serangan yang dilakukan Adipati Surodiro sekali ini sungguh dahsyat. Hal ini adalah karena adipati itu yakin akan ketangguhan pemuda itu dan ia ingin benar-benar mengujinya, bukan hanya untuk melihat apakah pemuda ini pantas menerima Tilam Upih, akan tetapi terutama sekali apakah pantas menjadi jodoh Wulansari!

Menghadapi serangan yang dahsyat bukan main itu, Budhi menggerakkan tubuh ke samping untuk mengelak.

"Eiiiiiiiiiittt...........!" Elakannya demikian halus dan indah dan hantaman adipati itu luput. Angin pukulannya saja membuat pakaian Budhi berkibar, Adipati Surodiro sudah membalik dan kini kakinya mencuat dari samping mengirim tendangan yang mendatangkan angin bersiutan. Namun, dengan lincah Budhi miringkan tubuhnya sehingga tendangan itu meluncur lewat dekat tubuhnya. Dia menggerakkan tangannya untuk menangkap kaki lawan, akan tetapi adipati itu sudah menarik kembali kakinya dan menyerang lagi dengan dahsyatnya.

Kalau dibandingkan dengan tadi ketika melawan Niken, gerakan sang adipati sekarang jauh bedanya. Kini dia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan ilmu-ilmu yang ampuh, karena agaknya dia maklum benar bahwa kini lawannya adalah seorang pemuda yang benar-benar tangguh. Dan ternyata Budhi mampu menandinginya dalam segala gerakannya yang aneh itu. Ketika sang adipati menghantamnya dengan tangan kanan disertai tenaga sepenuhnya, Budhi tidak mendapat kesempatan lagi untuk menghindar dengan elakan. Terpaksa diapun mengerahkan tenaga untuk menagkis pukulan itu.

"Dessss.......!"

Bukan main hebatnya pertemuan tenaga raksasa itu. Akibatnya, sang adipati terhuyung ke belakang sampai dua meter sedangkan Budhi melangkah mundur tiga langkah. Dari keadaan ini saja dapat dibuktikan bahwa dalam hal tenaga sakti, pemuda itu masih lebih kuat dibandingkan lawannya.

Tentu saja Adipati Surodiro terbelalak. Jarang selama ini ada lawan, apalagi seorang muda, yang mampu menandingi kekuatannya akan tetapi pemuda ini dapat membuat dia terhuyung. Dia merasa penasaran sekali dan mulailah dia mengeluarkan ilmu ampuh, yaitu Aji Wijoyokusumo.

Gerakan kaki tangannya mulai aneh, membentuk bunga dengan kelompoknya, akan tetapi dari kaki tangan itu menyambar hawa yang menggetarkan. Budhi menahan napas dan diapun mengerahkan aji kesaktiannya karena maklum bahwa aji yang dikeluarkan lawannya itu mengandung kekuatan sihir yang hebat.

Kini mereka saling pukul dan saling serang dengan hebatnya, membuat semua orang yang menonton menjadi melongo takjub, dan beberapa orang tokoh tua, para datuk persilatan, diam-diam kagum sekali dan menduga-duga murid siapa gerangan pemuda ini. Dia tentu seorang tokoh baru, karena di antara mereka tidak ada seorangpun yang pernah mengenal pemuda itu.

Kini pertandingan sudah mencapi puncaknya. Bagi Budhi, sekali ini diapun sama sekali tidak main-main melainkan mengeluarkan semua kepandaian dan tenaganya. Dia tidak sungkan untuk membalas dengan dahsyat karena lawanpun menyerang dengan pukulan-pukulan mematikan dalam usahanya untuk keluar sebagai pemenang.

Seratus jurus telah lewat dan belum ada yang nampak akan keluar sebagai pemenang. Budhi juga merasa penasaran dan pada saat dia mendapatkan kesempatan, dia menekuk kedua lututnya dan mendorongkan kedua tangan dengan jari-jari tangan terbuka, sambil mengeluarkan suara melengking yang dahsyat sekali. Itulah pekik Naga Kroda dan pukulan itu adalah Aji Tapak Sapujagad!

Agaknya adipati itu mengenal pukulan ampuh, maka diapun memasang kuda-kuda dan mendorongkan kedua tangannya untuk menyambut, keras lawan keras.

"Desssssssss........!" Tubuh sang adipati terjengkang dan dia roboh terduduk! Darah mengalir dari ujung mulutnya, sementara itu Budhi masih berdiri dengan muka berubah agak pucat.

"Kanjeng rama.......!" Wulansari meloncat ke dekat ayahnya. Akan tetapi Adipati Surodiro memejamkan matanya, bersila dan menggeleng kepala lalu mengatur pernapasannya untuk mengobati luka dalam yang dideritanya.

"Kau......kau......kau lukai kanjeng rama......!" Wulansari bangkit dan menghunus kerisnya.

"Wulan......!" Ayahnya menegur dan gadis itu kembali berlutut. "Bantu aku berdiri......!" kata adipati itu dan diapun berdiri dipapah oleh Wulansari dan Wijaya yang sudah datang membantu.

Setelah bangkit berdiri, adipati itu tersenyum kepada Budhi dan berkata, "Budhidarma, aku mengaku kalah dan engkaulah yang berhak menerima Tilam Upih."

Kemudian dia menghadapi banyak orang dan berkata lantang, "Andika semua telah menyaksikan bahwa sayembara dimenangkan oleh Budhidarma. Nah, sayembara ini dituup dan dibubarkan."

Semua orang bubaran dan Budhi dipersilakan masuk ke dalam gedung kadipaten oleh Adipati Surodiro, ditemani pula oleh Wulansari.

Setelah memasuki ruangan dalam Budhi berkata dengan hati agak merasa tidak enak.

"Paman Adipati, kalau diperbolehkan, saya ingin membantu mengobati luka dalam yang paman derita itu."

"Ah,tentu saja boleh, anak mas Budhidarma." kata sang adipati.

Budhi lalu mempersilakan adipati itu untuk duduk di atas pembaringan, bertelanjang baju dan dia lalu menggunakan jari-jari kedua tangannya untuk menggosok punggung dan dada adipati itu. Pada dada sebelah kanan nampak warna menghitam yang setelah diurut oleh Budhi lambat laun menjadi merah kembali.

Setelah selesai dan mereka duduk berhadapan, Sang Adipati Surodiro menghela napas panjang dan berkata, "sekarang aku dapat menduga siapa gurumu, anak mas. Aji Pekik Naga Kroda tadi mengingatkan aku kepada seorang pertapa suci yang berjuluk Bhagawan Tejolelono! Aku pernah bertemu dengan beliau di puncak Mahameru. Benarkah dugaanku?"

Budhidarma terpaksa mengangguk. "Memang tepat sekali dugaan paman."

"Hebat! Selama ini aku belum pernah mendengar pertapa itu mempunyai seorangpun murid, dan ternyata andika demikian beruntung menjadi muridnya. Dan seorang murid yang amat baik pula. Anak mas Budhidarna, aku merasa kagum sekali kepadamu. Keris pusaka Tilam Upih tentu kuserahkan kepadamu dan kuserahkan dengan segala senang hati karena memang andika orang yang paling pantas memiliki pusaka itu. Wulan, ambilkan keris pusaka itu dan bawa ke sini!"

"Baik, kanjeng rama." Gadis itu lalu pergi keluar dari ruangan itu. Ketika gadis itu keluar dari kamar, sang adipati berkata kepada Budhi.

"Anak mas Budhidarma. Ada sesuatu hal lagi yang ingin kubicarakan dengamu. Kalau andika tidak berkeberatan, aku ingin sekali menjodohkan puteriku yang tunggal Wulansari denganmu. Aku ingin andika menjadi keluargaku dan kelak mewarisi kadipaten Nusa Kambangan. Bagaimana pendapatmu, anak mas?"

Budhi terkejut bukan main. Sama sekali tidak pernah diduganya sang adipati akan menariknya sebagai mantu! Dia hanya bengong memandang Adipati Surodiro tanpa dapat menjawab.

"Bagimana pendapatmu, anak mas?"

"Ah, ini........ini....saya sama sekali belum mempunyai pikiran tentang perjodohan, paman. Harap maafkan, bukan saya berani menolak anugerah yang diberikan kepada saya, hanya saja saya masih mempunyai banyak tugas dan selama ini tidak pernah sedikitpun berpikir tentang perjodohan."

"Ha-ha-ha, aku dapat mengerti, anak mas. Akan tetapi perjodohan itu tidak perlu dilangsungkan sekarang juga. Kalau engkau tidak setuju, pernikahan dapat dilangsungkan kapan saja engkau sudah melaksanakan semua tugasmu."

"Maaf, paman. Saya terpaksa tidak dapat menerimanya. Saya tidak ingin terikat dengan pernikahan."

Adipati Surodiro mengerutkan alisnya yang tebal. "Apakah ini berarti bahwa engkau menolak puteriku karena engkau merasa tidak suka kepadanya?"

"Ah, sama sekali tidak, paman! Puteri paman adalah seorang gadis bangsawan tinggi, cantik jelita dan sakti mandraguna, bahkan terlalu tinggi dan berharga dibandingkan diri saya.....Akan tetapi saya menolak karena memang saya sama sekali tidak ingin mengikatkan diri dengan perjodohan."

Adipati Surodiro tidak berkata-kata lagi karena pada saat itu Wulansari sudah muncul membawa sebatang keris yang bersarung indah. Dia menerima keris itu dari tangan puterinya, lalu berkata kepada Budhi.

"Nah, terimalah, anak mas Budhidarma, sebagai hadiah kemenanganmu dalam sayembara."

Dengan hati berdebar karena girang Budhi menerima keris pusaka itu dari tangan sang Adipati, lalu menyelipkan keris itu diikat pinggangnya.

Melihat ini, Adipati Surodiro bertanya, " Apakah andika tidak memeriksanya lebih dulu keadaan keris pusaka itu, anak mas Budhidarma?"

"Tidak perlu, paman. Saya percaya sepenuhnya kepada paman yang pasti tidak akan melakukan penipuan. Sekarang saya mohon diri paman dan sekali lagi harap maafkan kalau saya membuat hati paman merasa kecewa."

Adipati Surodiro menghela napas panjang. "Baiklah, anak mas. Kalau andika begitu terburu-buru, kamipun tidak akan menahanmu, Selamat jalan."

Budhi melirik ke arah Wulansari dan merasa tidak enak kalau tidak berpamit, maka dia berkata lirih,

"Nimas Wulansari, saya mohon pamit."

Wulansari nampak tersipu dan menjawab lirih pula, "Selamat jalan, kakangmas Budhidarma."

Setelah pemuda itu meninggalkan gedung kadipaten, di ruangan itu sunyi. Ayah dan puterinya itu tidak mengeluarkan kata-kata, akhirnya Wulansari yang berkata karena hatinya mendesak-desaknya.

"Ayah, mengapa ayah tidak menahannya? Tenaga seperti dia itu amat kita butuhkan untuk memperkuat kedudukan kadipsten Nusa Kambangan."

Sang adipati sudah dapat menjenguk isi hati puterinya dan diapun menghela napas panjang. "Sudah kulakukan itu Niken. Akan tetapi dia menolaknya, mengatakan bahwa masih banyak tugas yang harus dia laksanakan."

"Ahhh......!" Gadis itu tertunduk.
 
GanRang marathon apdet nih, ane sampe ktduran tadi..:jempol:

#topeng kehidupan like it so much brada, thanks berat untk sharenya..:ampun:
 
Bagian - 21



"Wulan, katakan terus terang. Apakah hatimu tertarik kepada Budhidarma itu?"

Gadis itu makin menundukkan mukanya. Tanpa berani mengangkat muka ia bertanya, "Mengapa kanjeng rama bertanya seperti itu?"

"Sebetulnya aku sendiripun suka kepadanya. Dialah merupakan satu-satunya pemuda yang kiranya sepadan untuk menjadi jodohmu."

Kini gadis itu mengangkat mukanya. Wajahnya berseri kemerahan dan matanya bersinar-sinar.

"Kalau begitu mengapa kanjeng rama tidak menahannya?"

"Sudah kulakukan itu, Wulan. Akan tetapi dia menolak karena dia masih mempunyai banyak tugas. Akan tetapi jangan khawatir, kalau memang engkau berjodoh dengannya, kelakpun tentu akan dapat bertemu kembali. Hanya ada satu hal yang membuatku merasa sangsi, Wulan. Aku melihat kakak seperguruanmu itu, Wijaya amat mencintaimu. Dan sebelum muncul Budhidarma, aku sendiri juga setuju kalau Wijaya menjadi calon jodohmu."

Gadis itu mengerutkan alisnya. "Akupun suka kepadanya, kanjeng rama. Akan tetapi cintaku kepadanya adalah cinta seorang adik kepada kakaknya. Saya tidak bisa menjadi isteri pria yang saya anggap sebagai kakak sendiri."

Adipati Surodiro yang merasa kecewa hanya menghela napas panjang. Bagaimanapun juga, dia belum tahu siapa sebetulnya Budhidarma,keturunan siapa. Dan dia mengharapkan, tak lama lagi akan dapat berjumpa kembali dengan pemuda itu.

Budhi berjalan seorang diri mendaki bukit barisan yang menghadangnya dalam perjalanan meninggalkan Nusa Kambangan. Bukit barisan itu seolah menjadi semacam tanggul untuk Laut Kidul, berbaris memanjang dari barat ke timur. Ratusan bukit berjajar-jajar seperti barisan raksasa.

Karena melakukan perjalanan jauh berhari-hari, Budhi merasa lelah juga. Terik panas matahari membakar di daerah gersang itu, daerah pegunungan kapur yang kebanyakan gundul. Dia berhenti di bawah sebatang pohon randu alas yang besar sekali. Randu alas ini merupakan pohon yang tahan panas dan tahan kekurangan air. Agaknya sebagai pengganti makanan yang sukar didapat melalui akar-akarnya di tanah, cabang-cabangnya malang melintang dan menadah embun di waktu pagi dan air hujan di musim penghujan.

Budhi termenung mengenangkan semua pengalamannya dalam sayembara di kadipaten Nusa kambangan itu. Sungguh heran dia mengapa orang-orang begitu mati-matian memperebutkan Tilam Upih bahkan gurunya sendiri memberi tugas kepadanya untuk mendapatkan keris pusaka itu. Tadi dia sudah memeriksa keris itu dan mendapatkan kenyataan bahwa keris itu tidak ada apa-apanya! Sebilah besi tua yang sudah karatan dan ketika dia menguji dengan tenaga saktinya, tidak mendapat getaran apapun pada keris pusaka itu! Apakah Adipati Nusa Kambangan memberikan keris yang palsu? Ah, agaknya tidak mungkin. Untuk apa dia bersusah payah mengadakan sayembara kalau hanya ingin menipu? Hanya akan menambah permusuhan saja. Mungkin karena kabarnya keris pusaka itu, sudah lama terendam di dalam Lautan Kidul, terendam air yang mengandung garam, maka keris itu menjadi rusak dan berubah menjadi besi tua karatan yang tidak ada gunanya lagi. Betapapun juga dia telah mendapatkan keris itu, dan akan dia perlihatkan kepada gurunya lebih dulu sebelum dihaturkan kepada pemiliknya yaitu Sang Prabu Jayabaya di Kediri.

Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara kaki kuda yang banyak sekali, barlari cepat menuju ke tempat itu. Tak lama kemudian dia melihat serombongan penunggang kuda yang jumlahnya tidak kurang dari tigapuluh orang! Setelah agak dekat, terlihat oleh Budhi bahwa mereka itu adalah serombongan perajurit, dipimpin oleh dua orang yang pakaiannya jelas menunjukkan bahwa mereka adalah bangsawan tinggi. Seorang di antara dua pemimpin ini adalah seorang pemuda yang berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan nampak gagah, akan tetapi sikap dan pandang matanya jelas membayangkan bahwa dia seorang pemuda bangsawan yang licik dan congkak. Orang kedua adalah seorang laki-laki berusia empatpuluh lima tahun, berpakaian senopati dan dia ini gagah sekali seperti Raden Gatutkaca dengan kumisnya yang melintang tebal.

Tadinya Budhi mengira bahwa pasukan itu adalah pasukan yang sedang lewat saja, maka dia tidak mengacuhkan dan dia masih duduk bersandar dengan santai pada batang pohon randu alas itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat dua orang pemimpin pasukan itu mengangkat tangan ke atas dan pasukan itupun berhenti lalu mengurung pohon randu alas dan berlompatan turun dari atas punggung kuda mereka.

Budhi yang tidak merasa mempunyai kesalahan apapun, masih tidak mengerti bahwa mereka itu mengepung dirinya, dan masih enak-enak bersandar pada pohon itu.

Senopati yang seperti Raden Gatutkaca itu melangkah menghampirinya dan dengan suara yang parau lantang dia bertanya,

"Apakah andika yang bernama Budhidarma, orang muda?"

Karena dirinya ditanya, barulah Budhi bangkit dari duduknya, mengapus peluhnya dan memandang kepada senopati itu, lalu membungkuk dengan sikap hormat.

"Benar, saya bernama Budhidarma. Ada keperluan apakah paduka mencari saya?"

Dia terpaksa bersikap hormat karena dari pakaiannya tahulah bahwa dia berhubungan dengan seorang senopati agung dari Kediri. Dugaannya memang benar, senopati itu bukan lain adalah Lembudigdo, senopati Kediri yang mengemban tugas dari Sang Mahaprabu Jayabaya untuk mencari keris pusaka Tilam Upih. Dia disertai Pangeran Panjiluwih, pemuda berusia tigapuluh tahun itu yang tidak seperti yang lain, masih duduk di atas kudanya dengan sikap pongah. Ketika mendengar akan adanya sayembara memperebutkan keris pusaka Tilam Upih di Nusa Kambangan. Senopati Lembudigdo langsung membawa pasukannya menuju ke Nusa Kambangan dan dia menghadapi sang adipati Surodiro.

Adipati Surodiro tertawa bergelak menerima senopati dari Kediri ini yang menanyakan tentang Tilam Upih.

"Ah, ha-ha-ha! Andika datang terlambat, Senopati! Kami baru saja mengadakan sayembra untuk memperebutkan keris pusaka Tilam Upih dan pemenangnya adalah seorang pemuda bernama Budhidarma. Dia sudah menerima keris pusaka itu dan membawanya pergi. Baru dua hari dia meninggalkan tempat ini."

Mendengar keterangan itu, Senopati Lembudigdo langsung memimpin pasukannya untuk melakukan pengejaran. Dan dua hari kemudaian dia dapat menyusul Budhi yang sedang ngaso dibawah randu alas. Karena gambaran pemuda itu cocok dengan keterangan yang didapatnya dari Adipati Surodiro, maka langsung dia bertanya apakah pemuda ini yang bernama Budhidarma. Dan ketika Budhi membenarkan, dia memberi isarat kepada pasukannya untuk mengepung lebih ketat.

"Bagus! Budhidarma, benarkah engkau telah mendapatkan keris pusaka Tilam Upih dari tangan Adipati Nusa Kambangan?" tanya pula Senopati Lembudigdo, matanya memandang tajam ke arah keris yang diselipkan di pinggang Budhi.

"Heh, Budhidarma, keris pusaka itu harus andika serahkan kepadaku!" bentak Pangeran Panjiluwih dengan mata memandang bengis.

Budhi merasa mendongkol juga hatinya menghadapai sikap yang congkak itu. Dia masih duduk santai bersandarkan batang pohon randu ketika menjawab tenang,

"Kenapa harus kuserahkan kepada andika?"

"Keparat busuk!" bentak sang pangeran. "Tidak tahukah andika dengan siapa berhadapan? Aku adalah Pangeran Panjiluwih dari Kerajaan Kediri!"

Mendengar pengakuan ini, tentu saja Budhi menjadi terkejut bukan main. Dia bangkit berdiri dan memandang kepada senopati dan para perajuritnya. Melihat kebingungan pemuda itu, Senopati Lembudigdo lalu berkata lembut.

"Ketahuilah orang muda, Pemuda ini benar adalah Pangeran Panjiluwih dari kerajaan Kediri, dan aku sendiri adalah senopati Lembudigdo. Kami menjadi utusan Kanjeng Gusti Sang Prabu untuk mencari keris pusaka Tilam Upih dan membawanya kembali ke kerajaan. Karena keris itu sudah ada padamu, maka kami minta untuk kami haturkan kepada Sang Prabu."

Budhidarma makin terkejut. Gurunya menghendaki dia mendapatkan keris pusaka Tilam Upih untuk dikembalikan kepada Sang Prabu Jayabaya dan kini utusan raja itu sudah berdiri di depannya. Mengapa susah-susah mengantarkan sendiri keris pusaka yang sudah menjadi besi tua itu kepada Sang Prabu? Lebih mudah diberikan kepada utusan ini!

"Ah, kiranya paduka adalah senopati dan pangeran. Harp maafkan kalau hamba bersikap kurang hormat karena tidak mengetahuinya. Kalau paduka menghendaki keris pusaka Tilam Upih untuk dihaturkan kepada Kanjeng Gusti di Kediri, baiklah....." Akan tetapi ketika Budhi hendak meloloskan keris itu, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ sudah berdiri Niken!

"Jangan bodoh, Budhi! Semudah itu hendak menyerahkan Tilam Upih kepada orang lain!"

Budhi terkejut melihat munculnya Niken yang mencegah dia menyerahkan keris pusaka itu kepada utusan raja.

"Akan tetapi......mereka ini adalah utusan Sang Parbu......!" Budhi membantah.

"Siapa dapat menjamin mereka itu utusan Raja dan benar-benar akan menyerahkan keris pusaka itu kepada Raja?"

Budhi terkejut dan memandang kepada Senopati Lembudigdo dan Pangeran Panjiluwih dengan sinar mata meragu. Apalagi melihat sikap pangeran itu, yang demikian angkuh, timbul perasaan tidak percaya dan tidak senang dalam hatinya.

"Benar juga ucapanmu itu!" kata Budhi dan dia lalu membungkuk kepada senopati yang nampak gagah perkasa itu. "Harap paduka memaafkan, akan tetapi saya tidak dapat menyerahkan pusaka ini kepada paduka atau siapa saja. Saya akan menghaturkan sendiri kepada Gusti Prabu."

Tentu saja Budhi tidak mengetahui apa sebabnya Niken mencegah dia menyerahkan pusaka itu kepada pasukan yang menjadi utusan raja. Gadis ini masih ingat benar akan wajah Pangeran Panjiluwih! Dan ia paling tidak suka kepada pangeran yang satu ini, karena pangeran ini yang paling sering menghinanya sebagai anak keturunan rendah, menghina ayah ibunya! Tentu saja timbul perasaan tidak senang, bahkan benci dan tidak percaya kepada pangeran ini. Itulah sebabnya ia mencegah Budhi menyerahkan keris pusaka yang dicari semua orang itu kepada rombongan ini. Andaikata pangeran itu akan menghaturkan keris pusaka kepada Raja, iapun tidak rela kalau Pangeran Panjiluwih yang menerima pujian dan hadiah imbalan sebagai penemu keris pusaka.

Mendengar ucapan Budhi, Pangeran Panjiluwih menjadi marah sekali. Tanpa turun dari kudanya, dia membentak,

"Keparat jahanam! Berani engkau menolak perintah kami? Engkau perlu dihajar!" Dan dia sudah mengerakkan kudanya maju dan cambuknya diayun ke arah muka Budhi.

"Tar-tar-tar!"

Tiga kali cambuk itu melecut kearah kepala Budhi, akan tetapi dengan mudah Budhi mengelak dari sambaran cmbuk itu. Hal ini membuat Pangeran Panjiluwih menjadi semakin marah. Dia adalah putera Raja dan kini ada seorang pemuda dusun berani menentangnya!

Melihat sang pangeran turun tangan sendiri, Senopati Lembudigdo meloncat ke depan dan melerai.

"Sudahlah pangeran, tidak perlu paduka turun tangan sendiri. Masih ada hamba dan para perajurit."

Senopati itu lalu menghadapi Budhi dan berkata, "Budhidarma, kuminta andika percaya kepada kami. Andika tidak boleh menolak, karena kami mewakili Raja yang menuntut kembalinya pusaka kerajaan. Berikan pusaka itu kepada kami!"

"Budhi, jangan berikan!" bentak Niken marah.

"Heii, engkau ini bocah perempuan dusun berani ikut campur. Engkau minta dihajar, ya?"

Pangeran Panjiluwih lalu melompat turun dari atas kudanya dan menyerang Niken dengan cambuknya. Niken tidak mengelak seperti yang dilakukan Budhi tadi, melainkan cepat menangkap tangannya menyambar dan ia sudah menagkap pergelangan tangan yang memegang cambuk dan sekali renggut saja cambuk itu sudah berpindah tangan. Dan kini tanpa membuang waktu ia sudah mengamuk mencambuki pangeran itu! Melihat ini, para perejurit sudah maju dan mengeroyoknya dan banyak perejurit menjadi lecet-lecet mukanya terkena sambaran cambuk yang digerakkan secara cepat luar biasa oleh Niken.

Sementara itu, melihat gadis itu sudah mengamuk, Senopati Lembudigdo juga tidak tinggal diam. Dia menerjang dan hendak menagkap Budhi untuk merebut keris pusaka Tilam Upih yang terselip di pinggang pemuda itu. Akan tetapi Budhi mengelak dan balas menampar. Ternyata Senopati itu tidaklah selemah Pangeran Pnjiluwih yang malas barlatih ilmu kanuragan dan lebih suka pelesir dan mengumpulkan wanita cantik itu. Senopati itu adalah seorang gemblengan dan sudah banyak pengalamannya dalam pertempuran. Maka dia dapat menandingi Budhi dengan gagahnya. Dan para perejurit terpecah dua, sebagian membantu Pangeran Panjiluwih mengeroyok Niken dan sebagian mengeroyok Budhi dan membantu Senopati Lembudigdo.

Melihat pengeroyokan itu, Budhi berpikir bahwa selain pihak musuh terlalu banyak, juga dia tidak ingin bermusuhan dengan pasukan kerajaan Kediri. Apalagi sampai melukai seorang senopati dan seorang pangeran yang sedang bertugas! Menyerahkan keris pusaka juga tidak benar, maka satu-satunya jalan hanyalah melarikan diri meninggalkan pertempuran.

"Niken, kita lari!" katanya dan diapun melompat jauh melalui atas kepala para pengeroyoknya.

Dia melihat Niken juaga berkelebat dan sudah melompat jauh, akan tetapi Senopati Lembudigdo mengejar dengan cepatnya pula. Maklum bahwa senopati itu tangguh sekali dan Niken dapat berbahaya kalau sampai melawan dia, Budhi lalu membalik dan menghadapi senopati itu, satu lawan satu. Kini dia menyerang dengan kedua tangan didorongkan ke depan. Senopati Lembudigdo cepat menangkis, akan tetapi dia tidak kuat bertahan dan tubuhnya terpelanting. Budhi lalu meninggalkannya pergi.

Senopati Lembudigdo terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa pemuda itu ternyata jauh lebih sakti dari pada yang diduganya dan kalau tadi tidak mau merobohkannya, agaknya karena memang pemuda itu banyak mengalah. Tahulah dia bahwa kalau pemuda itu menghendaki biar dikeroyok banyak orang tetap saja mereka takkan mampu mengalahkannya. Maka diapun tidak menyuruh pasukannya untuk melakukan pengejaran, bahkan mengajak pasukannya untuk kembali saja. Akan tetapi, Pangeran Panjiluwih merasa penasaran.

"Pangeran senopati, kenapa kita harus pulang setelah mengetahui di mana adanya Tilam Upih? Bagimana kita dapat pulang tanpa membawa pusaka itu? Mari kita kejar bocah setan itu dan rampas Tilam Upih dari tangannya!"

Senopati menghela napas panjang. Diam-diam dia merasa menyesal terpaksa harus mengajak pangeran ini pergi mencari Tilam Upih. Pangeran yang sombong ini sungguh tak athu diri.

"Pangeran, apa yang dapat kita lakukan terhadapnya? Dia itu sakti sekali. Kita sudah mengetahui siapa yang membawa Tilam Upih dan kita dapat melapor kepada Kanjeng Gusti Prabu."

"Apakah tidak malu melapor akan tetapi tidak mampu membawa pusaka itu, paman?" sindir sang pangeran.

Wajah senopati itu menjadi merah. "Kalau perlu kita akan membawa pasukan yang lebih besar dan kawan-kawan yang benar memiliki kesaktian untuk mengejarnya. Akan tetapi dalam keadaan kita sekarang, kita tidak mampu berbuat apa-apa."

Akhirnya pangeran itu terpaksa mengikuti rombongan yang menuju kembali ke Kediri akan tetapi wajahnya selalu cemberut dan sebelum tiba di kota raja, dia telah meninggalkan pasukan itu tanpa pamit. Kepada para perejurit yang dekat dengannya, dia hanya mengatakan bahwa kalau senopati Lembudigdo menanyakan, agar dikatakan bahwa dia hendak berusaha sendiri mengejar Budhidarama, pemuda yang membawa Tilam Upih itu!

Ketika mendengar keterangan dari para perejurit, Senopati Lembudigdo hanya menghela napas,

"Betapa bodoh dan lancangnya!" katanya. "Kalian semua menjadi saksi bahwa sang pangeran pergi sendiri meninggalkan kita tanpa pamit kepadaku agar Sang Prabu tidak menyalahkan aku." setelah memesan kepada para perajurit dia lalu melanjutkan perjalanannya kembali ke kota raja Kediri.



Next.....
 
Bagian - 22



Budhi berlari cepat, dibelakangnya berlari Niken. Setelah jauh meninggalkan tempat di mana mereka tadi dihadang pasukan dan dikeroyok, Budhi berhenti, Niken juga berhenti dan menghapus keringat yang membasahi lehernya, kemudia ia menghampiri Budhi yang sudah duduk di atas akar pohon yang menonjol kepermukaan tanah.

"Budhi, hendak engkau apakan Tilam Upih yang sudah berada di tanganmu itu?"

Budhi tersenyum dan memandang kepada wajah yang ayu dengan sinar mata yang bagaikan bintang kejora itu.

"Hendak kauapakan? Tentu saja hendak kuhaturkan kepada Sang Prabu Jayabaya di Kediri."

"Hemm, aku tidak percaya engkau akan mampu menjaga pusaka itu. Tadi saja kalau tidak ada aku yang memperingatkan, dengan mudahnya sudah kauserahkan kepada mereka itu!"

"Karena mereka itu adalah pasukan dari Kediri yang dipimpin oleh senopati. Akan tetapi sekarang aku tidak akan percaya kepada mereka, akan kuserahkan sendiri kepada Sang Prabu."

"Aku tidak percaya engkau mampu menyerahkan kepada Sang Prabu, Budhi, kauserahkan saja pusaka itu kepadaku dan aku yang akan menghaturkan pusaka itu kepada beliau."

"Hemm, mengapa harus kuserahkan kepadamu?"

"Karena aku dapat menjaga lebih aman lagi, dan tidak perlu kujelaskan mengapa harus aku yang menghaturkan kepada Sang Prabu. Berikanlah kepadaku!"

"Ehm,kalau tidak kuberikan, lalu bagaimana?"

"Aku akan mencoba merampasnya darimu dengan kekerasan !" kata Niken, suaranya mulai terdengar mengancam.

"Niken,engkau seorang dara yang jelita dan gagah perkasa. Untuk apa engkau ikut-ikut memperebutkan Tilam Upih? Bahkan engkau ikut pula memasuki sayembara. Mengapa demikian?"

"Sudah kukatakan, tidak perlu kau tahu. Sekarang, engkau berikan atau tidak pusaka itu?" Sikap gadis itu makin ketus.

Budhidarma tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh lucu sekali. Semua orang memperebutkan pusaka Tilam Upih, pada hal keris pusaka ini hanyalah sepotong besi berkarat yang tidak ada gunanya. Nah, kalau engkau memang menghendaki besi berkarat ini, terimalah. Aku tidak mau lagi meperebutkannya!"

Budhi meloloskan pusaka yang bersarung itu dari ikat pinggangnya dan menyerahkannya kepada Niken.

Kini Niken yang tertegun dan memandang dengan mata terbelalak. Keris pusaka Tilam Upih yang sudah berada di tangan pemuda itu, sekarang begitu saja diserahkan kepadanya! Kini ia yang menjadi terheran-heran dan ragu sehingga biarpun Budhi sudah lama menyodorkan pusaka itu, tetap saja belum diambilnya.

"Budhi, kenapa demikian mudah engkau hendak menyerahkan pusaka ini kepadaku?"

"Sudah kukatakan. Pusaka ini hanya sepotonga besi tua yang karatan, aku tidak mau memperebutkannya lagi, Nah,terimalah."

Niken menerima pusaka itu dan dengan jantung berdebar-debar ia menghunus pusaka itu. Dan terbelalak, matanya tak lepas memandang pusaka itu dan nampak wajahnya amat kecewa.

Budhi merasa kasihan. "Tentu pusaka itu sudah berubah banyak. Kabarnya pusaka itu berada di perut ikan hiu sampai puluhan tahun. Tentu saja menjadi rusak dan karatan."

"Tidak!" kata Niken setengah menjerit. "Ini bukan pusaka Tilam Upih yang tulen. Ini keris pusaka palsu!"

Budhi terbelalak. "Apa? Palsu?"

"Ya, ini bukan Tilam Upih ? Ini keris palsu!" kembali Niken berseru marah.

"Hemm, Niken. Bagimana engkau bisa tahu bahwa keris pusaka ini palsu? Apakah engkau pernah melihat yang asli?"

"Aku belum pernah melihat yang asli, akan tetapi aku sudah mendapat penjelasan yang lengkap tentang Kyai Tilam Upih. Aku berani memastikan bahwa ini keris palsu. Budhi, apakah engkau......."gadis itu memandang dengan alis berkerut dan sinar mata penuh selidik.

"Eiiit-eiit, Niken. Jangan engkau menuduh aku yang memalsukan ketris pusaka Tilam Upih, engkau keterlaluan sekali! Kalau memang Tilam Upih itu palsu, berarti Sang Adipati di Nusa Kambangan yang memalsukannya. Aku telah ditipunya dan diberi keris yang palsu."

"Aku percaya kepadamu, Budhi. Ini tentu ulah Adipati Surodiro dan aku akan menuntutnya!"

Setelah berkata demikian, Niken membawa keris itu pergi dari situ dengan berlari cepat, menuju kembali ke selatan!

"Niken,tunggu.....!"Budhi meloncat dan tak lama kemudia dia dapat menyusul Niken.

Gadis itu berhenti dan memandang dengan sinar mata menentang.

"Budhi, mau apa engkau mengejar aku?"

"Niken, bukan engkau yang harus menuntut ke Nusa Kambangan, melainkan aku karena akulah yang dibohongi adipati itu."

"Tidak, aku akan minta pusaka yang asli."

"Aku juga. Mari kita pergi berdua dan mendengar apa yang hendak dikatakan oleh adipati keparat itu!" kata Budhi dan akhirnya Niken tidak menolak lagi karena bagimanapun juga, pemuda itu yang lebih berhak.

Dan Budhi sebetulnya ingin menemani gadis itu karena dia merasa khawatir. Gadis itu bukan tandingan Adipati Surodiro, dan kalau dibiarkan sendiri pergi ke Nusa Kambangan, bisa celaka.

Budhi dan Niken melakukan perjalanan cepat dan setelah tiba di pantai laut selatan, mereka lalu menyewa perahu pada seorang nelayan. Mereka diantar ke pulau Nusa Kambangan. Ketika keduanya mendarat beberapa orang penjaga mengenal mereka dan segera melaporkan kepada Sang Adipati.

Dua orang muda itu langsung saja pergi ke kadipaten dan mereka disambut oleh sepasukan penjaga keamanan yang menghadang mereka di depan gedung kadipaten.

"Katakan kepada Paman Adipati Surodiro bahwa kami berdua ingin menghadap karena ada urusan yang teramat penting!" kata Niken dengan suara tegas.

Para perjurit yang sudah mengenal gadis itu sebagai pengikut sayembara, dan juga pemuda itu yang sudah mampu mengalahkan sang adipati, segera mengawal mereka pergi ke dalam gedung kadipaten untuk menghadap Adipati Surodiro yang sudah diberitahu oleh para penjaga dan juga siap menyambut dua orang tamu itu.

Begitu bertemu, tanpa menanti penggunaan salam menyalam seperti biasanya orang bertemu, Niken sudah langsung saja menghardik.

"Paman Adipati Surodiro! Tidak kusangka seorang adipati seperti andika ini tidak merasa malu untuk bertindak curang!"

Adipati Surodiro memandang Niken dengan alis berkerut dan matanya mengeluarkan sinar marah.

"Hem, apakah maksudmu datang dan menuduhku seperti itu?" bentaknya.

Budhi lalu melerai. "Begini, Paman adipati. Ketika kami ditengah jalan memeriksa Kyai Tilam Upih yang saya terima dari paman, ternyatalah bahwa keris pusaka itu adalah keris pusaka palsu! Nah, bagaimana paman akan mempertanggungjawabkan kenyataan ini?"

Niken mengambil keris pusaka itu dan melemparkan kepada sang adipati yang segera menangkapnya dengan tangannya. Agaknya memang dia sudah menduga bahwa dua orang muda itu tentu datang untuk membicarakan urusan itu, maka diapun telah menati dan menyambut seorang diri saja, tanpa ditemani seorangpun. Juga tidak nampak Wijaya dan Wulansari, dua orang muda, murid dan puterinya, yang paling dipercayainya.

Adipati Surodiro menghunus keris pusaka itu dan memasukkannya kembali, menghela napas panjang. Lalu berkata, "Tadinya kuharapkan andika tidak akan tahu akan kepalsuan benda ini, anak mas Budhi. Akan tetapi ternyata dugaanku keliru dan baiklah, akan kuceritakan semua yang telah terjadi kepada andika berdua."

"Harap saja cerita paman tidak dibuat-buat dan meyakinkan!" kata Niken dan sang adipati menghela napas sambil tersenyum.

"Peristiwa ini kurahasiakan dari siapapun juga, bahkan puteriku sendiri tidak mengetahuinya. Kurang lebih sebulan yang lalu, jauh sebelum aku mengumumkan akan mengadakan sayembara perebutan Tilam Upih, pada suatu malam, kamarku dimasuki sesosok tubuh manusia. Kukira hanya maling biasa, akan tetapi ternyata ketika hendak menangkapnya, dia seorang yanga amat sakti. Karena dia mengenakan sebuah topeng di mukanya, aku tidak mengenalnya, hanya tahu dia seorang yang bertubuh sedang dan tegap. Dialah yang mencuri Tilam Upih dan meninggalkan penggantinya, yang palsu itulah. Aku telah mengerahkan seluruh kepandaianku, akan tetapi aku tidak berdaya melawannya bahkan aku dipukulnya sampai pingsan!"

"Apakah paman tidak berteriak minta bantuan para pengawal?" tanya Niken.

"Tadinya aku merasa malu untuk minta bantuan. Bagaimana mungkin aku, Adipati Nusa Kambangan, berteriak-teriak menghadapi seorang pencuri saja. Dan akhirnya aku terpukul pingsan, dia lari membawa pusaka itu dan meninggalkan yang palsu. Aku merahasiakan peristiwa yang kuanggap amat memalukan dan memukul nama besarku itu."

Budhidarma lalu menghela napas dan berkata, "Jadi karena pusaka itu telah hilang dan ditukar yang palsu, maka paman lalu mengadakan sayembara ini?"

Wajah adipati itu menjadi kemerahan. "Aku merasa amat sakit hati kepada maling itu, akan tetapi tidak berdaya. Maka, aku lalu mengadakan sayembara itu. Orang yang akan dapat memenangkan aku tentu akan mampu mencari maling yang telah melarikan Tilam Upih itu. Andika yang telah mengalahkan aku, anakmas Budhi dan sekarang aku telah berterus terang Oleh karena itu, aku berharap andika yang akan mampu menemukan maling itu dan merampas keris pusaka Tilam Upih."

Tiba-tiba Niken bangkit berdiri, "Aku tidak percaya omonganmu, paman. Engkau tentu telah menyembunyikan Tilam Upih yang asli dan menyerahkan yang palsu! Kalau engkau tidak mengeluarkan yang asli, jangan salahkan aku kalau aku memaksamu dengan kekerasan!" Gadis itu sudah siap untuk menyerang.

"Hemm, aku tidak berbohong!" kata Adipati Surodiro.

"Siapa percaya akan dongeng itu?" bentak pula Niken akan tetapi Budhi segera bangkit dan berkata kepada Niken dengan suara halus.

"Niken, aku percaya kepada cerita paman adipati. Maka, marilah kita pergi dari sini!" Dia menerima kembali keris dari surodiro.

Niken cemberut, akan tetapi terpaksa ia keluar dari ruangan itu tanpa pamit seperti yang dilakukan Budhi, dan tak lama kemudian mereka telah menyeberangi pula Selat Nusa Kambangan itu dan mendarat di pantai Lautan Kidul.

Setelah turun ke darat, Niken marah-marah kepada Budhi. Tadi ia tidak dapat berbuat apa-apa karena tanpa bantuan Budhi, ia tahu bahwa ia tidak berdaya menghadapi Adipati Surodiro, apalagi di kadipaten itu terdapat banyak pasukan yang tentu akan mengeroyoknya.

"Budhi, aku tahu sekarang mengapa engkau begitu mengalah dan percaya kepada Surodiro. Padahal aku yakin dia pasti berbohong dan Tilam Upih tentu masih di tangannya!"

"Tidak mungkin, Niken. Kalau Tilam Upih masih berada di tangannya, lalu mengapa dia mengadakan sayembara? Tidak, keterangannya tadi tentu benar."

"Lalu kemana engkau akan mencari orang aneh penuh rahasia itu? Engkau hanya tahu bahwa dia berkedok dan berkepandaian tinggi. Bagimana engkau bisa tahu atau menduga siapa adanya orang yang mencuri keris pusaka itu?"

"Aku akan mencarinya dan akan hasilnya, terserah kepada Hyang Widhi. Akan tetapi aku yakin bahwa kejahatan akan berakhir dengan kekalahan, Niken."

"Hemm, kurasa engkau memang sengaja mengalah kepada Surodiro karena engkau jatuh cinta kepada puterinya!"

"Ah, jangan menuduh yang bukan-bukan, Niken!"

"Siapa menuduh? Engkau terang-terangan ditipu oleh Adipati Surodiro, akan tetapi engkau tidak marah bahkan membelanya. Apalagi yang menjadi sebab kalau bukan karena engkau jatuh cinta kepada Wulansari? Ia memang cantik menarik. Huh, muak aku melihatmu!

"Niken......!"

Akann tetapi gadis itu sudah melarikan diri dengan cepat tanpa menengok lagi dan Budhi hanya mengikuti bayangan gadis itu dengan pandang matanya sambil menghela napas panjang berkali-kali. Entah mengapa, dia merasa tiba-tiba suasana hatinya menjadi sunyi sekali setelah ditinggalkan Niken yang galak itu. Ketika Niken berada bersamanya, dia merasa segala sesuatu serba lengkap dan menyenangkan. Inilah yang dinamakan cinta? Dia menghela napas lagi dan tidak mampu menjawab.

"Bagus, aku masih dapat menyusulmu di sini, Budhi!" tiba-tiba terdengar seruan nyaring.

Budhi menengok dan melihat Wijaya telah meloncat dari perahunya dan berada di depannya. Wajah pemuda yang gagah jantan itu nampak kemerahan dan matanya mengeluarkan sinar mencorong penuh kemarahan. Karena sudah mengenal pemuda ini dan dia merasa suka, Budhi tersenyum menyambutnya, bukan menghampiri sehingga mereka berdiri berhadapan dalam jarak kurang dari dua meter.

"Ah, kiranya engkau, Wijaya?Ada keperluan apakah engkau menyusul aku? Apakah engkau diutus oleh paman adipati?"

"Tidak ada yang mengutusku! Aku sengaja mengejarmu karena aku mepunyai urusan pribadi yang harus diselesaikan di antara kita sekarang juga!"

"Urusan antara kita berdua? Eh, ki sanak, urusan apakah itu? Aku merasa tidak mempunyai urusan apapun denganmu."

"Tidak perlu banyak cakap lagi, Budhidarma. Engkau datang dan memasuki sayembara, hendak merampas diajeng Wulansari dari tanganku! Hemm, aku akan mempertahankan dengan nyawaku!" kata pemuda gagah itu dengan geram.

Budhi terbelalak, akan tetapi lalu teringat betapa sang adipati pernah membujuknya untuk suka menikah dengan Wulansari. Kini tahulah dia. Pemuda ini mencintai Wulansari dan cemburu kepadanya. Tentu karena mendengar tentang maksud sang adipati mengambilnya sebagai mantu! Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada pemuda ini yang demikian gagah dan jantan. Bahkan sikapnya untuk "mempertahankan" Wulansari sudah menunjukkan kegagaghannya dan betapa besar cinta kasihnya pemuda itu kepada adik seperguruannya itu.

"Akan tetapi aku mamasuki sayembara bukan untuk merebut Wulansari, melainkan merebut Tilam Upih!" dia membantah.

"Biarpun demikian, tetap saja engkau juga bermaksud merebut daijeng Wulansari. Buktinya, paman adipati hendak menjodohkan engkau dengan Wulansari dan sikap Wulansari terhadap diriku sama sekali berubah setelah engkau memenangkan sayembara itu! Sudahlah, Budhidarma, tidak perlu banyak cakap lagi. Sekarang kita hanya berdua di sini, kita perebutkan Wulansari dengan taruhan nyawa. Engkau atau aku yang mati dan siapa menang dia akan mendapatkan Wulansari."

"Gila................!" kata Budhi akan tetapi ucapannya itu disambut serangan oleh Wijaya yang sudah menjadi marah bukan main.

Cemburu memang suatu perasaan yang amat aneh. Dapat membuat orang yang betapa lemahpun menjadi kuat dan yang penakut menjadi pembarani, juga dapat membutakan mata pikiran sehingga dia tidak akan memperdulikan segala macam pertimbangan lagi.

Diserang secara dahsyat itu, Budhi mengelak. Dia tahu bahwa bicara dengan pemuda yang kalap itu tidak akan ada gunanya lagi, maka dia terus mengelak walaupun lawan menghujankan serangan bertubi-tubi. Dia merasa kasihan kepada Wijaya, maka tidak tega untuk membalas.

Pada saat itu berkelebat bayangan orang dan Wulansari telah berada di situ.

"Kakang Wijaya, apa yang kau lakukan ini?" bentaknya kepada kakak seprguruannya, akan tetapi agaknya Wijaya sudah tidak mau mendengar lagi dan bahkan menyerang semakin dahsyat. Kini Wijaya bahkan sudah mencabut sebatang keris dan menyerang dengan kerisnya! Budhi tetap hanya mengelak dan kadang menepis keris itu dengan tangannya, akan tetapi tetap saja tidak mau membalas.

"Kakang Wijaya, hentikan itu!" teriak pula Wulansari.

Dan tiba-tiba gadis itu terbelalak heran. Ia melihat Budhi terhuyung, terkena tamparan tangan kiri Wijaya! Hampir ia tidak dapat percaya! Bagaimana mungkin Wijaya dapat membuat pemuda
sakti yang telah mengalahkan ayahnya itu sampai terhuyung dengan sebuah tamparannya! Agaknya bukan Wulansari saja yang terkejut dan heran. Wijaya sendiripun heran, akan tetapi dia girang sekali dan mendesak terus dengan kerisnya dan tamparan tangan kirinya. Dan kini Budhi benar-benar terdesak hebat. Pemuda ini hanya mampu mengelak dan menangkis terus mundur.

"Desss......!" Sebuah pukulan tangan kiri mengenai dada Budhi dan pemuada itu terpelanting dan terjengkang.

Melihat dia dapat merobohkan lawan, Wijaya merasa bangga sekli, dia dapat mengalahkan Budhi, di depan Wulansari lagi! Dia bertolak pinggang dan berkata dengan lagak amat gagah.

"Budhidharma! Bangkitlah kalau engkau laki-laki!"

Budhidarma bangkit merangkak, lalu berkata, "Tobat, Wijaya, aku mengaku kalah....!"

Dan dia terus meloncat dan melarikan diri ketakutan.

Melihat ini, Wulansari terbelalak dan ia lalu menghampiri Wijaya,

"Kakang.........engkau mampu mengalahkannya.......!"

Wijaya tersenyum. "Untuk mempertahankan dan memperebutkanmu, semua iblis, bahkan dewa sekalipun akan kuhadapi dan kulawan dengan taruhan nyawaku, diajeng."

Sementara itu, tak jauh dari situ, Budhi mengintai dari balik semak-semak dan diapun tersenyum puas. Inilah kemenangan yang paling indah baginya. Menang karena telah dapat menyatukan dua hati yang nyaris terpisah. Dia memang sengaja mengalah dan dia tahu bahwa ini satu-satunya jalan untuk menyatukan dua hati kakak beradik seperguruan itu. Diapun pergi sambil tersenyum, dengan cepat meninggalkan tempat itu tanpa diketahui oleh Wijaya dan Wulansari.



Next....
 
Msih pnuh intrix trnyata, d manakah tilam upih yg asli? Hnya agan Rangga saja yg tau..hehehe :p
 
Bagian - 23


Di dalam kamar yang agak gelap itu, Ki Sudibyo menghela napas panjang. Dia merasa betapa kesehatannya semakin memburuk Dan dia amat merindukan Niken. Ingin dia melihat Niken, muridnya yang terkasih itu berada di dekatnya, timbul perasaan menyesal mengapa dia memberi tugas seberat itu, mencari Tilam Upih, kepada muridnya itu. Biarpun Niken sudah menguasai aji Hasta Bajra, namun di dunia ini banyak terdapat orang-orang jahat yang amat pandai.

Kini timbul kekhawatiran dalam hatinya kalau-kalau muridnya itu akan terancam bahaya dan dia
sama sekali tidak berdaya. Tubuhnya sudah amat lemah dan selama muridnya itu pergi, dia hanya bersembunyi saja di dalam kamarnya, duduk bersamadhi memohon kepada Hyang Widhi Wasa agar muridnya diselamatkan dari semua malapetaka, dijauhkan dari marabahaya. Dia sama sekali tidak memperdulikan lagi keadaan Gagak Seto, mempercayakan saja kepada Klabangkoro dan Mayangmurko, dua orang muridnya tertua yang sudah dipercayanya sebagai murid-murid yang setia kepadanya.

Pada suatu hari, menjelang malam, Ki Sudibyo memanggil Jinten yang melayaninya selama Niken pergi! Pelayan itu selalu siap melayaninya dan berada di luar kamarnya.

"Jinten.......!" Dia memanggil dan pelayan itu segera memasuki kamar.

Baru sekarang Ki Sudibyo menyadari betapa kini sudah berubah. Mukanya yang manis itu dibedaki tebal, alisnya ditambah warna hitam dan kedua pipinya dan bibirnya juga diberi pemerah. Nampak cantik pesolek. Akan tetapi Ki Sudibyo diam saja karena menganggap bahwa hal seperti itu wajar saja dilakukan wanita muda.

"Jinten, buatkan aku wedang jahe. Yang pedas,ya?"kata Ki Sudibyo dan diapun terbatuk-batuk. "Badanku terasa tidak enak dan lemah sekali." Dia terbatuk-batuk lagi.

"Baik, bendara, akan saya persiapkan." kata Jinten dengan hormat dan lembut, akan tetapi setelah keluar dari kamar itu, pelayan ini bergegas lari ke tempat tinggal Klabangkoro yang tidak berada jauh dari rumah induk. Ia segera nampak berbisik-bisik dengan sikap manja kepada Klabangkoro.

"Ki Sudibyo kelihatan lemah sekali dan sakit, terbatuk-batuk dan minta dibuatkan wedang jahe yang pedas." ia melapor.

Klabangkoro mengangguk-angguk. "Bagus, kini saatnya yang baik telah tiba."

Dia mengambil sebuah bungkusan dari almari lalu menyerahkannya kepada Jinten.

Jinten, masukkan obat bubuk ini ke dalam wedang jahe yang akan kau hidangkan kepada Ki Sudibyo, lalu tinggalkan di kamarnya. Akan tetapi engkau harus mengintai dari luar dan melihat bahwa wedang jahe itu benar-benar telah diminumnya. Nanti aku menyusul ke sana."

Dengan tangan gemetar Jinten menerima bungkusan itu. "Akantetapi.........bagaimana.... kalau dia mengetahui? Aku bisa celaka!"

"Hushh, aku ada di sini, takut apa? Cepat laksanakan, manis!" dia merangkul dan mencium wanita itu yang segera nampak tabah lalu pergi meninggalkan rumah Klabangkoro untuk membuat wedang jahe yang akan dicampur dengan obat bubuk berwarna putih itu.

Sementara itu, Klabangkoro cepat menghubungi Mayangmurko di pondoknya.

"Adi Mayang murko, cepat engkau membuat persiapan. Saatnya telah tiba untuk kita bertindak terhadap Ki Sudibyo." Dia lalu menceritakan pelaporan Jinten. "Kau tangkap tiga orang murid untuk dibawa kepada Ki Sudibyo kalau diperlukan. Aku sekarang hendak pergi dulu ke sana. Nanti engkau menyusul segera."

"Baik, kakang Klabangkoro." kata Mayangmurko dengan gembira dan diapun cepat pergi berpisah dari kakak seperguruannya itu.

Ketika Klabangkoro tiba di luar kamar Ki Sudibyo, dia melihat Jinten. Wanita ini segera menghampiri dan berbisik,

"Wedang jahe itu telah diminum sampai habis."

"Bagus, sekarang engkau pergilah menjauh dan jaga agar tidak ada murid dapat mendekat ke sini."

Setelah Jinten pergi, Klabangkoro lalu membuka pintu kamar itu dan dia melihat Ki Sudibyo duduk bersila dengan alis berkerut dan mulut menyeringai seperti menahan rasa nyeri. Dengan jantung berdebar tegang dia mendekati lalu berlutut ketika Ki Sudibyo mambuka matanya.

"Klabangkoro, mau apa engkau masuk ke sini tanpa kupanggil?" Ki Sudibyo menegur sambil memandang tajam.

"Bapa Guru, saya datang menjenguk karena mendengar bahwa keadaan Bapa Guru tidak sehat."

"Hem, siapa bilang aku tidak sehat? Aku.......ahhhh......" Tiba-tiba Ki Sudibyo memegang dadanya dan terbatuk-batuk.

"Bapa sakit keras, karena itu saya kira sebaiknya kalau Bapa Guru meninggalkan pelajaran Aji Hasta Bajra kepada saya agar aji itu tidak akan lenyap dan dapat dimiliki oleh ketua baru. Juga sudah sepantasnya kalau Bapa Guru mengangkat saya sekarang juga menjadi ketua sebelum terlambat."

Sepasang mata itu terbelalak marah. "Klabangkoro, apa yang kaukatakan itu?"

Kini sikap Klabangkoro tidaklah sehormat tadi lagi. " Maksud saya, Bapa harus mengangkat saya menjadi ketua Gagak Seto dan mengajarkan Hasta Bajra kepada saya. Kalau sudah tidak keburu sebaiknya Bapa Guru menuliskannya pelajaran aji itu dalam sebuah kitab."

"Jahanam! Berani kau berkata demikian? Mengharuskan aku?" Ki Sudibyo marah sekali.

"Bapa Guru tidak perlu marah-marah, hal itu hanya akan mempercepat kamatian Bapa!"

"Keparat!" Ki Sudibyo meloncat bangun untuk menyerang muridnya itu, akan tetapi tiba-tiba dia terpelanting dan mengeluh, memegangi dadanya.

"Ha-ha-ha, andika sudah tidak berdaya, Ki Sudibyo!" kata Klabangkoro dengan sikap kurang ajar. "Cepat angkat aku menjadi ketua dan tuliskan Aji Hasta Bajra menjadi kitab pelajaran, atau aku terpaksa menyiksamu sampai mati!"

"Klabangkoro! Engkau yang bertahun-tahun menjadi muridku, kupercaya dan kuberi pelajaran, begiini tega.....?" tanyanya,hampir tidak percaya.

"Salahmu sendiri, Ki Sudibyo. Aku yang sudah bersetia kepadamu selama bertahun-tahun, membantu menegakkan dan mambesarkan Gagak Seto, sama sekali tidak kauperhatikan bahkan engkau akan mengangkat gadis itu menjadi ketua dan mengajarkan Hasta Bajra kepadanya! Karena itu, sekarang engkau harus mengangkatku menjadi ketua dan mengajarkan Hasta Bajra kepadaku. Percuma karena tubuhmu sudah keracunan!"

"Keracunan?"

"Ya, dalam wedang jahe tadi!"

" Sudah.......jadi Jinten......?"

"Sudah lama ia menjadi pembantuku yang setia. Dan hampir semua murid Gagak Seto juga menjadi pendukungku."

"Tidak! Tidak sudi. Biar engkau akan menyiksa dan memnunuhku, tidak akan kuangkat engkau menjadi ketua, apalagi mengajarkan Hasta Bajra kepadamu!" Dia kembali bangkit berdiri, mengepal kedua tinjunya. "Aku akan melawanmu mati-matian!"

Kini Ki Sudibyo menerjang ke depan. Akan tetapi dia terhuyng dan ketika Klabangkoro menangkisnya, diapun terpelanting lagi dan jatuh terduduk. Tahulah bahwa murid durhaka itu tidak berbohong. Dia telah keracuanan. Andaikata tidak keracuanan sekalipun belum tentu dia dapat menendingi muridnya karena tubuhnya sakit-sakitan dan lemah, apalagi kini telah keracunan. Dia benar-benar tidak berdaya!

"Bunuhlah, aku tidak takut mati!" kata Ki Sudibyo dengan marah. " Nyawaku akan mengutukmu!"

"Ha-ha-ha, hendak kulihat apakah engkau dapat menolak permintaanku!"

Klabangkoro bertepuk tangan tiga kali dan pintu itu terbuka. Masuklah Mayangmurko dan orang ini mendorong masuk tiga orang murid muda. Tiga orang itu terdorong dan berlutut di atas lantai.

"Nah, Ki Sudibyo, apakah engkau masih menolak menuliskan Aji Hasta Bajra untukku?" Klabangkoro kini mencabut senjatanya yang ampuh, yaitu Pecut Dahono dan mengancamkan senjata itu di atas kepala tiga orang murid muda itu.

Melihat itu, Ki Sudibyo memandang marah dan akhirnya dia menghela napas panjang.

"Bebaskan mereka, aku akan menuliskan aji itu." akhirnya dia berkata.

Bagimanapun juga tidak mungkin dia mau mengorbankan nyawa tiga orang murid muda yang tidak berdosa itu.

"Adi Mayamurko, bawa mereka keluar!" kata Klabangkoro, dan sambil tartawa Mayangmurko membawa tiga orang tawanan itu keluar dari dalam kamar.

Klabangkoro ternyata sudah mempersiapkan segalanya. Dia sudah membawa kertas serta alat tulis dan menyerahkan semua itu kepada Ki Sudibyo. Dengan dijaga dan ditunggui Klabangkoro, Ki Sudibyo menuliskan aji Hasta Bajra di atas kertas kosong itu. Sampai pagi barulah tulisannya selesai dan setelah memeriksa tulisan itu dengan girang Klabangkoro tetawa dan memasukannya ke dalam balik sabuknya.

"Klabangkoro muri murtad. Sekarang jangan ganggu aku lagi. Keluarlah!"

"Ha-ha, tidak semudah itu, Ki Sudibyo. Biarpun engkau telah menuliskan Aji Hasta Bajra, bagimana aku dapat yakin bahwa tulisan itu tidak palsu? Aku harus menahanmu sebagai sandera sampai terbukti bahwa tulisan ini tidak palsu. Aku akan mempelajarinya lebih dulu dan engkau boleh menunggu dalam tahanan bawah tanah yang sudah kubuat untukmu, ha-ha-ha!"

"Murid jahanam!" Ki Sudibyo mengutuk akan tetapi dia tidak berdaya ketika Klabangkoro memegang dan menarik lengannya, memaksanya berdiri dan mendorongnya keluar dari rumah menuju ke bukit di kebun belakang. Di situ ternyata telah dibuatkan sebuah penjara bawah tanah dan Ki Sudibyo dimasukkan ke dalam tahanan bawah tanah ini dan dijaga secara bergiliran oleh lima orang anak buah Klabangkoro!

Ki Sudibyo menderita sengsara sekali. Klabangkoro memang memberi obat penawar untuk racun yang dicampurkan dalam wedang jahe itu. Akan tetapi tubuh orang tua ini memang sudah lemah karena tidak sehat lagi. Di dalam kamar tahanan itu, setiap hari dia hanya duduk bersila atau tiduran. Akan tetapi dia tetap bersabar dan makan hidangan yang disuguhkan agar tidak mati kelaparan. Bagaimanapun juga, dia masih mempunyai harapan, yaitu menunggu kembalinya Niken Sasi. Murid tercintanya ini tentu akan mencarinya, dan dia merasa yakin bahwa akhirnya Niken Sasi yang akan dapat menolongnya keluar dari neraka itu.

Harapan Ki Sudibyo memang tidak sia-sia. Kurang lebih satu bulan setelah ia dikeram ke dalam tahanan bawah tanah, pada suatu pagi datanglah Niken Sasi di perkampungan Gagak Seto di lereng Gunung Anjasmoro!

Pada waktu itu semua murid Gagak Seto, baik yang menjadi anak buah Klabangkoro maupun yang setia kepada Gagak Seto, menganggap bahwa Klabangkoro telah menggantikan Ki Sudibyo sebagai ketua, atau setidaknya mewakili Ki Sudibyo yang oleh Klabangkoro dikatakan telah pergi merantau tanpa memberitahu ke mana perginya. Tiga orang murid muda yang dipergunakan untuk memaksa Ki Sudibyo telah lenyap entah kemana. Hanya Klabangkoro yang tahu bahwa tiga orang itu telah mati dan mayat mereka dibuang ke dalam sebuah jurang. Dengan demikian, rahasia yang telah diperbuat atas diri Ki Sudibyo hanya diketahui mereka bertiga, yaitu Klabangkoro, mayangkoro dan Jinten saja.

Kedatangan Niken Sasi disambut gembira oleh semua murid Gagak Seto, akan tetapi tentu saja tiga orang itu berdebar tegang melihat munculnya dara perkasa itu Setelah saling bertukar salam dengan para murid Gagak Seto, Niken langsung bertanya kepada Klabangkoro ke mana gurunya.

"Kakang Klabangkoro, ke mana Bapa Guru? Kenapa dia tidak berada di rumahnya?"

"Ah, kami juga bingung memikirkan Bapa Guru, Niken. Sudah sebulan ini Bapa Guru pergi tanpa memberitahu ke mana perginya, Kami juga bingung, akan tetapi tidak tahu harus mencari ke mana."

"Hemm, ke mana beliau pergi? Jangan-jangan beliau pergi untuk menyusul aku." kata Niken.

"Mungkin saja karena selama ini Bapa Guru mengharap-harap kedatanganmu. Akan tetapi, sebaiknya kita tunggu saja. Kurasa tidak lama lagi dia juga akan kembali." Kata Klabangkoro.

Niken menerima pendapat ini dan dia menanti dengan sabar. Sambil menati kembalinya gurunya, Niken setiap hari pergi berjalan-jalan ke dusun-dusun di sekitar Gunung Anjasmoro. Dara ini memang dikenal oleh penduduk sekeliling tempat itu dan iapun di mana-mana diterima dengan ramah oleh warga dusun.

Lima hari kemudian semenjak Niken pulang, pada suatu siang muncullah seorang pemuda diperkampungan Gagak Seto. Pada siang hari itu Niken juga tidak berada di situ, sedang berjalan-jalan di sebuah dusun di kaki gunung untuk mencari durian karena waktu itu musim durian dan kaki bukit itu banyak orang menjual durian.

Pemuda itu bukan lain adalah Budhidarma. Tentu saja dia segera dihadapi banyak murid Gagak Seto yang merasa heran melihat datangnya seorang pemuda yang tidak mereka kenal.

"Ki sanak, siapakah andika dan ada keperluan apa andika datang ke tempat kami?" tanya seorang di antara para murid itu.

"Apakah di sini perkampungan Gagak Seto?" Tanya Budhi.

"Benar, siapakah andika dan apa kepentingan andika?"

"Saya bernama Budhidharma dan kedatangan saya ini untuk bertemu dengan ketua Gagak Seto. Harap laporkan kepada ketua kalian bahwa aku mohon mengahadap karena ada urusan yang penting sekali."

"Kau tunggulah sebentar, Ki sanak, akan kami laporkan ke dalam kepada pimpinan kami." Beberapa orang murid lalu pergi melapor kepada Klabangkoro dan mayangmurko yang sedang bercakap-cakap di ruangan dalam.

Kedua orang itu sedang menyusun siasat bagimana mereka dapat mengalahkan Niken yang tentu saja merupakan ancaman bahaya bagi mereka. Untuk menggunakan kekerasan terhadap dara itu, mereka belum berani. Biarpun Klabangkoro sudah mempelajari aji Hasta Bajra dari catatan yang dia dapatkan dari Ki Sudibyo, akan tetapi dia masih belum yakin apakah benar ilmu yang dipelajarinya itu asli dan ampuh walaupun ketika dia menggerkkan kedua tangannya, ada hawa yang dahsyat keluar dari kedua tangannya. Ketika mereka sedang berbincang-bincang itulah datang para murid yang melaporkan bahwa di luar datang seorang pemuda yang hendak bicara dengan pimpinan Gagak Seto.

Mendengar ini, Klabangkoro dan Mayangmurko segara keluar dari rumah itu dan bergegas pergi ke pintu gerbang perkampungan Gagak Seto untuk menemui pemuda yang baru datang itu.

Mereka melihat pemuda yang sama sekali tidak mereka kenal. Akan tetapi sebaliknya Budhi segera mengenal Klabangkoro. Biarpun sudah lewat sepuluh tahun, namun Klabangkoro masih seperti dulu. Usianya sekarang kurang lebih limapuluh tahun, tubuhnya masih tinggi besar seperti raksasa dengan sabuk kuning gading melilit pinggangnya. Kulitnya hitam dan matanya lebar. Akan tetapi yang membuat Budhi sama sekali tidak dapat melupakannya adalah sebatang pecut yang terselip di pinggangnya itulah. Orang inilah yang dulu membunuh ibunya, bahkan hampir membunuhnya pula. Kalau tidak ditolong oleh Sang Bhagawan Tejolelono, tentu dia telah tewas oleh cambuk raksasa itu.

Budhi menahan gejolak jantungnya yang terasa panas teringat akan kematian ibunya. Akan tetapi dia lalu teringat pula akan nasihat gurunya. Tidak, dia tidak boleh membiarkan hati akal pikirannya bergelimang dengan dendam. Pembunuh ini hanyalah seorang pesuruh, dia harus dapat bicara dengan orang yang menyuruh raksasa ini membunuh ibunya dan mengapa ibu dan ayahnya mereka bunuh.

"Hemm, orang muda! Siapakah andika dan mau apa ingin bertemu dengan ketua kami?"

"Nama saya Budhidarma dan saya hanya mempunyai kepentingan dengan ketua Gagak Seto. Oleh karena itu, saya hanya mau bicara dengan ketua Gagak Seto. Harap laporkan kepada ketua andika." kata Budhi dengan tenang dan menahan kesabarannya.

Klabangkoro menjadi marah. "Hemm,orang muda! Ketua kami sedang tidak berada di rumah, sedang pergi dan selama dia pergi, akulah yang menjadi ketuanya. Maka, apa keperluanmu katakan saja kepadaku!"

"Tidak, kalau ketuanya tidak ada sekarang, lebih baik lain kali saja," jawab Budhi sambil membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu.

"Tahan!" Bentak Klabangkoro marah. "Sudah kukatakan, akulah ketuanya. Akulah ketua Gagak Seto! Hayo katakan apa keperluanmu atau kami akan menghukummu karena engkau telah berani lancang memasuki tampat kami!"

"Aku tidak ingin berurusan dengan segala macam pembunuh dan anak buah melainkan dengan ketuanya!" kata Budhi yang juga marah.

"Keparat kurang ajar!" Klabangkoro lalu membentak marah dan dia sudah menerjang dengan pukulan kilat ke arah dada budhi. Budhi yang bagaimanapun juga pernah dihajar orang ini, cepat miringkan tubuh dan ketika kepalan tangan menyambar lewat, dia mendorong dengan tangannya ke arah pundak kanan Klabangkoro. Tubuh Klabangkoro terputar dan hampir roboh!

Merah sekali wajah Klabangkoro dan alisnya berdiri, matanya semakin lebar. Dia sedemikian marahnya dipermainkan di depan anak buahnya. Rasanya ingin dia menelan pemuda itu bulat-bulat!

"Jahanam busuk, berani engkau melawan?" Dan tiba-tiba timbul ingatannya akan aji Hasta Bajra. Kenapa tidak dia coba aji itu kepada pemuda yang nampaknya tangguh ini? Dia lalu mengeluarkan suara menggeram, mengerahkan tenaga dari Aji Hasta Bajra yang selama ini dia latih dari catatan Ki Sudibyo, lalu memukul dengan sepenuh tenaganya.

"Wirrrrr.......!" hawa panas sekali menyambar ke arah Budhi. Akan tetapi pemuda itu maklum bahwa lawannya yang telah membunuh ibunya itu amat tangguh, sudah mengelak dengan cepat ke samping. Akan tetapi tangan kedua Klabangkoro sudah menyambar lagi ke arah kepalanya, mengeluarkan hawa panas yang sama. Budhi menagkis pukulan itu dan terasa batapa tenaga pukulan lawan tidaklah berapa hebat seperti tampaknya.

"Dukkk!" Tubuh Klabangkoro terdorong ke belakang dan terhuyung.

Klabangkoro terkejut sekali dan merasa penasaran. Benarkah aji Hasta Bajra yang dipelajarinya itu dapat ditangkis pemuda ini? Dia merasa tidak yakin dan segera menyerang lagi, sekali ini menggunakan kedua tangannya untuk menghantam dada Budhi. Akan tetapi Budhi yang sudah mengukur tenaga lawan menerima pukulan itu dengan dadanya.

"Bukk!" Dan kini tubuh Klabangkoro terpelanting sedangkan Budhi yang dipukul tidak bergeser sedikitpun. Klabangkoro terkejut setengah mati! Kalau begitu Hasta Bajra yang dipelajarinya itu palsu. Kalau asli tidak mungkin ada orang dapat bertahan menerima pukulan itu dengan dadanya! Dengan penasaran dia lalu mencabut pecutnya sambil berteriak kepada Mayangmurko dan kawan-kawannya.

"Maju, bunuh keparat ini! Tar-tar-tar.............!"

Akan tetapi sebelum mereka maju mengeroyok Budhi, terdengar bantakan nyaring,

"Tahan! Jangan berkelahi!"

Mendengar bentakan itu,semua murid Gagak Seto menahan senjatanya, bahkan Klabangkoro dan Mayangmurko juga mundur, membiarkan Niken untuk menghadapi pemuda yang ternyata digdaya itu. Niken meloncat maju ke depan Budhi. Kedua orang ini saling pandang. Keduanya terbelalak penuh keheranan.

"Niken.............!"

"Budhi.................!"

"Kau di sini, Niken?"

"Tentu saja! Aku memang tinggal disini. Dan engkau ......ada keperluan apa di sini?"

"Aku mencari ketua Gagak Seto, ada urusan penting sekali yang harus kusampaikan kepadanya!"

"Engkau mencari Bapa Guru Ki Sudibyo?"

"Bapa Guru? Jadi ketua Gagak Seto itu.........."

"Beliau bernama Ki Sudibyo dan dia guruku, Budhi."

"Ahhh..............!" Budhi terkejut sekali sehingga dia melangkah tiga langkah ke belakang dan memandang wajah Niken dengan mata terbelalak dan wajah agak pucat.

"Kenapa, Budhi? Ada urusan apa engkau dengan guruku?"

"Aku hanya mau bertemu dengannya, bicara dengannya,Niken."

"Nah, itulah, Niken. Dia tidak mau berterus terang, hanya berkeras hendak bertemu dengan Bapa Guru, maka kami menyerangnya." kata Klabangkoro yang diam-diam merasa terkejut bukan main melihat hubungan yang nampaknya demikian akrab antara Niken dan Budhi.

Niken menatap wajah Budhi dengan penuh selidik. "Budhi, kita sudah saling mengenal. Karena guruku sedang tidak berada di sini, maka engkau boleh mengatakan urusan itu kepadaku saja. Aku yang akan mewakili guruku untuk membereskan semua persoalan. Tentu engkau percaya kepadaku, bukan?"

"Hemm, amat tidak enak kalau engkau mendengar urusan ini, Niken."

"Tidak mengapa. Aku siap mendengarnya!"

"Baiklah,kalau engkau memaksa. Nah, dengarkan baik-baik. Orang yang bernama Klabangkoro ini, dialah yang membunuh ayah ibuku! Akan tetapi karena dia hanya suruhan, maka aku masih belum bertindak keras kepadanya. Aku ingin bertemu dengan orang yang menyuruhnya membunuh ayah ibuku, yaitu ketua Gagak Seto!"

Sepasang mata Niken terbelalak dan mukanya berubah pucat sekali. "Jadi engkau.........engkau ......Putera mendiang Ni Sawitri.......?"

"Bagus kalau engkau sudah tahu! Nah, aku harus membuat perhitungan dengan Ki Sudibyo yang telah mengutus murid-muridnya untuk membunuh ayah ibuku!"

"Budhi, jangan lakukan itu!" Niken berseru, hatinya seperti ditusuk rasanya karena bagaimanapun ia tentu saja membela gurunya, akan tetapi di lain pihak iapun tahu bahwa gurunya itu telah merasa berdosa membunuh ibu Budhi yang dulu adalah isterinya. Pada saat itu Klabangkoro dan Mayangmurko. Juga para murid lain sudah serentak maju mengeroyok Budhi.

"Dia hendak mencelakai Bapa Guru. Bunuh dia!" teriak Klabangkoro yang sudah menerjang dengan pecutnya. Diikuti Mayangmurko dan para murid yang lain. Karena melihat para murid sudah maju, Niken tidak dapat mencegahnya lagi. Tentu saja para murid itu menjadi marah mendengar bahwa guru mereka akan dicelakai orang.

Melihat semua orang maju mengeroyoknya, Budhi lalu meloncat jauh ke belakang dan melarikan diri. Dia menghendaki ketua Gagak Seto, bukan semua murid Gagak Seto. Apalagi di antara mereka terdapat Niken. Hatinya sedih bukan main dan dia mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga para murid Gagak Seto itu tidak ada yang mampu menyusulnya. Niken sendiri berdiri bengong dengan hati bingung bukan main. Bagaimana ia mampu mengalahkan Budhidarma yang hendak membalas kematian ayah ibunya? Akan tetapi kemudian ia teringat bahwa ia harus menceritakan segalanya kepada Budhi. Pemuda itu harus tahu apa yang sebenarnya yang membuat gurunya menyuruh Klabangkoro membunuh Ni Sawitri dan Margono. Dan harus memberitahu bahwa sebetulnya Budhi adalah anak kandung sendiri dari Ki Sudibyo. Begitu ingat akan hal ini, iapun cepat meloncat dan melakukan pengejaran.

Melihat gadis itu berlari cepat mengejar, Klabangkoro cepat mengajak Mayangmurko berunding.

"Celaka," katanya setelah mereka berada berdua saja di dalam kamar.

"Agaknya pemuda itu adalah bocah yang dulu terlepas dari tanganku dan ditolong seorang kakek sakti." kata Klabangkoro kepada adik seperguruannya.

"Akan tetapi, Niken sudah mengejarnya dan mudah-mudahan saja dapat membunuhnya!" kata Mayngmurko.

"Justeru itulah yang mengkhawatirkan hatiku. Mereka nampak begitu akrab. Bagaimana kalau mereka tidak jadi bermusuhan, dan Niken bahkan membantu pemuda itu?"

"Kalai begitu kita harus cepat membunuh Niken!" Kata Mayangmurko.

"Kita lihat saja nanti. Kalau Niken tidak dapat membunuh pemuda itu, kita harus cepat turun tangan. Ingat, kirim berita kepada Jinten agar ia bersembunyi terus, jangan sekali-kali keluar dari tempat persembunyiannya agar jangan sampai terlihat Niken".

Demikianlah, kedua orang itu telah mengatur rencana untuk membunuh Niken andaikata Niken tidak memusuhi Budhidarma. Dan kurang lebih dua jam kemudian, Niken pulang dengan tangan Hampa.

"Bagaimana, Niken? Apakah engkau berhasil mengejar dan membunuh pengacau yang hendak memusuhi Bapa Guru itu?"

Niken menggeleng kepala. "Dia telah lari jauh dan aku kehilangan jejaknya. Paman, benarkah dia itu putera dari mendiang Ni Sawitri?"

Klabangkoro mengangguk. "Dahulu ketika aku mendapat tugas dari Bapa Guru, aku berhasil membunuh Ni Sawitri dan suaminya, Margono. Dan sekarang aku ingat, bocah itulah yang mengamuk dan menyerangku, dan dia tentu sudah kubunuh kalau saja tidak muncul seorang kakek sakti yang menolongnya."

Niken menghela napas panjang. "Sayang sekali Bapa Guru mengeluarkan perintah seperti itu".

"Kau mengenal pemuda itu, Niken?"

"Tentu saja. Dalam perjalanku beberapa kali kami bahkan saling bantu membantu dan dia adalah seorang ksatria yang gagah perkasa." kata Niken dengan suara sedih dan iapun memasuki rumah induk Gagak Seto.

Malam itu Klabangkoro dan Mayangmurko mengadakan pesta untuk menyambut kedatangan Niken. Biarpun Niken tidak ada nafsu untuk makan enak, akan tetapi tentu saja ia merasa sukar untuk menolak penghormatan yang diberikan oleh para murid Gagak Seto itu. Dalam pesta makan enak itu, Niken berpesan kepada Klabangkoro dan Mayangmurko dengan suara sungguh-sungguh,

"Paman Klabangkoro dan Mayangmurko, pemuda bernama Budhidarma itu adalah putera mendiang Ni Sawitri dan Margono yang telah dibunuh atas perintah Bapa Guru. Karena itu, mulai sekarang harus diatur penjagaan ketat karena aku yakin bahwa dia tentu akan berusaha membalas dendam. Sayang Bapa Guru tidak berada di sini sehingga tidak ada yang mengambil keputusan."

"Niken, bagaimana engkau bisa tahu tentang Ni Sawitri?" tanya Klabangkoro dengan heran.

Niken menghela napas panjang. "Bapa Guru yang memberitahu kepadaku." Jawabnya singkat. "Berhati-hatilah. Budhidarma itu sakti mandraguna, jangan dilawan. Kalau dia muncul,cepat beritahu kepadaku."




N e x t ....
 
Bimabet
Bagian - 24


Setelah makan kenyang, tiba-tiba Niken merasa kepalanya pening dan pandang matanya melihat bumi di sekelilingnya seperti berputar. Ia bangkit berdiri dan terhuyung, memegangi dahi dengan tangan kirinya.

"Ah, celaka.........!" Ia mengangkat muka memandang kepada Klabangkoro, akan tetapi ia melihat wajah Klabangkoro seolah menjadi banyak dan berputaran.

Paman.........apa.....apa yang kau berikan padaku......?" Ia tergagap.

Klabangkoro tertawa bergelak dan segera suara tawanya diikuti oleh tawa Mayangmurko dan para murid yang menjadi anak buah Klabangkoro. Niken mendengar suara tawa disekellingnya dan kepalanya semakin pening. Akan tetapi ia segera dapat menduga apa yang telah terjadi. Ia keracunan! Orang telah memberi racun pada makanan atau minumannya!

"Keparat! Kalian meracuni aku.....?" Ia melompat dan hendak menyerang Klabangkoro, akan tetapi ia terpelanting karena kepalanya yang pening membuat ia tidak dapat berdiri tegak.

Dan segera Klabangkoro dan Mayangmurko meringkusnya. Dalam keadaan nanar dan terbelenggu Niken yang setengah pingsan itu dibawa ke rumah tahanan bawah tanah. Para penjaga di situ memandang heran ketika melihat Klabangkoro dan Mayangmurko mendorong-dorong tubuh Niken yang terhuyung.

Akan tetapi karena mereka juga orang-orang kepercayaan Klabangkoro, mereka tidak banyak bertanya. Apalagi ketika Klabangkoro berkata singkat bahwa Niken telah bersekutu dengan musuh yang datang mengacau. Pintu kamar tahanan dibuka dan gadis itu didorong masuk, terhuyung-huyung dan terjatuh di depan kaki Ki Sudibyo yang duduk bersila di lantai.

Melihat bahwa Niken dalam keadaan setengah pingsan didorong masuk oleh Klabangkoro dan Mayangmurko, Ki Sudibyo terkejut sekali dan memaki,

"Klabangkoro, manusia laknat, murid durhaka! Apa yang kaulakukan kepada Niken?"

"Ha-ha-ha, jangan khawatir, Ki Sudibyo. Ia tidak akan mati,akan tetapi menjadi temanmu di sini sampai kalian berdua menuliskan aji Hasta Bajra yang asli untukku!"

Setelah berkata demikian, Klabangkoro keluar dan menutupkan pintu besi itu, lalu berkata dari luar,

"Ki Suidibyo, jangan mencoba untuk melarikan diri atau kalian akan mati seperti seekor tilus tenggelam dalam lubang. Ha-ha-ah!"

Setelah mereka pergi, Ki Sudibyo membangunkan Niken, mengerut tengkuk dan punggungnya, lalu menekan ulu hatinya. Niken muntah-muntah, akan tetapi merasa kepalanya tidak sepening tadi, walaupun tubuhnya masih lamas. Ketika melihat Ki Sudibyo, ia menubruk dan berlutut di depan kaki gurunya.

"Bapa Guru.......!"

"Tenanglah Niken. Engkau telah terjebak, tentu telah diracuni mereka dan dijebloskan di sini."

"Kiranya Bapa Guru ditahan di sini! Mereka mengatakan bahwa Bapa pergi tanpa pamit."

"Hemm, apa saja yang terjadi, Niken? Aku setiap saat mengharap kedatanganmu, akan tetapi tidak seperti ini. Ternyata engkau juga terperangkap!" Kakek itu menghela napas panjang.

Niken lalu menceritakan tentang bagaimana ia terperangkap oleh Klabangkoro yang pura-pura menyambutnya dengan pesta. Sama sekali ia tidak menaruh curiga sehingga makan dan minum hidangan yang disediakan untuknya.

"Dan Bapa Guru sendiri bagaimana sampai ditahan di tempat ini? Apa yang telah terjadi, Bapa?"

Ki Sudibyo menghela napas panjang. "Ah, biadab-biadab durhaka itu! Mereka tahu bahwa aku sedang sakit dan lemas, lalu mereka meracuni aku sehingga aku tidak mampu melawan. Mereka bahkan memaksa aku untuk menuliskan aji Hasta Bajra untuk mereka pelajari."

"Hemm, tentu Bapa tidak sudi menuliskan aji itu!"

"Mula-mulanya aku tidak sudi. Lebih baik aku disiksa atau dibunuh dari pada memenuhi permintaan mereka. Akan tetapi mereka menangkap tiga orang murid Gagak Seto muda dan mengancam untuk mebunuh mereka di depan mataku. Bagaimana aku tega mengorbankan mereka?"

"Jadi Bapa menuliskan juga aji itu? Pantas aku melihat Klabangkoro menjadi kuat dan agaknya sudah menguasai aji itu!"

Ki Sudibyo mengeglengkan kepala dan tersenyum. "Aku tidak sbodoh itu, Niken. Aku hanya pura-pura setuju dan yang kutuliskan itu merupakan aji Hasta Bajra yang palsu. Memang ada manfaatnya di pelajari, akan tetapi tidak menjadi sehebat aslinya."

"Ah, aganya mereka tahu pula akan hal itu dan sekarang tentu akan memaksa kita untuk menuliskan aji itu."

"Kalau tiba saatnya, kita akan mencari akal untuk menghindar. Sekarang ceritakan bagaimana pengalamanmu mencari Tilam Upih, Niken.?"

Niken lalu menceritakan tentang Adipati dari Nusa Kambangan yang mengadakan sayembara memperebutkan Tilam Upih.

"Dia sakti mandraguna, Bapa. Aku sendiri sudah maju menandinginya, akan tetapi aku kalah......"

"Hemm,tentu saja. Aku sudah mendengar tentang dia. Bukankah adipati itu dahulu seorang datuk besar bernama Koloyitmo, terkenal sakti, terutama sekali karena memiliki Aji Wijoyokusumo? Engkau tentu akan kalah pengalaman dibandingkan dia, Niken. Lalu, siapa yang akhirnya berhasil mendapatkan pusaka Tilam Upih memenangkan sayembara itu?"

Niken merasa jantungnya berdebar tegang. Kalau saja ia belum tahu bahwa Budhidarma adalah putera mendiang Ni Sawitri, tentu ia tidak merasa tegang. Akan tetapi ia sudah tahu bahwa Ni Sawitri dahulunya adalah isteri gurunya ini, dan sebelum melarikan diri telah mengandung sehingga Budhidarma sesungguhnya adalah putera kandung Ki Sudibyo sendiri !

"Kenapa engkau diam saja, Niken?" tegur Ki Sudibyo yang ingin sekali mengetahui siapa pemenang sayembara dan yang berhasil mendapatkan keris pusaka Tilam Upih.

Niken seperti baru sadar dari lamunannya. "Yang berhasil mengalahkan adipati Surodiro adalah seorang pemuda bernama Budhidarma, Bapa. Dia seorang pemuda yang sakti mandraguna dan kebetulan saja beberapa kali pemuda itu bekerja sama denganku menghadapi gerombolan jahat. Bahkan pemuda itu menolongku dari ancaman bahaya."

Niken lalu menceritakan pengalamannya, ketika ia singgah di tempat Jinten, kemudian ketika dijamu oleh Jinten, ia terbius tertawan orang-orang jahat. Bahkan hampir saja celaka kalau saja tidak ditolong Budhi. Tiba-tiba ia terkejut dan membelalakkan matanya.

"Ahhh..........! Baru aku teringat sekarang! Sungguh aneh sekali ketika dijamu oleh Jinten, aku keracunan, persis seperti keadaanku sekarang ini.......!"

"Hemm,Tidak perlu merasa aneh, Niken. Aku dapat menduga bahwa Jinten adalah kaki tangan atau pembantu dari Klabangkoro."

Niken tertegun, lalu mengepal tangannya dengan gemas. "Aih, kalau begitu si kedok hitam itu adalah Klabangkoro? Akan tetapi, ketika aku roboh pingsan, aku masih melihat bahwa Jinten juga terkulai dan keracunan."

"Tentu saja, untuk mengelabuhimu terpaksa Jinten juga makan hidangan bercampur racun pembius. Sudahlah untung engkau terlepas dari bencana ketika itu. Lalu, bagaimana lanjutan ceritamu?"

"Yang terakhir aku bertemu dengan Budhi yang sedang dikeroyok oleh pasukan kerajaan yang dipimpin Pangeran Panjiluwih dan Senopati Lembudigdo. Aku membantunya dan kami berdua akhirnya berhasil meloloskan diri dari pengeroyokan. Akan tetapi lalu ada terjadi hal yang merupakan kenyataan yang aneh sekali, Bapa."

"Hemm, apanya yang aneh? Kejadian apakah itu?"

"Kami berdua mendapat kenyataan bahwa Tilam Upih yang diterima Budhi dari tangan Surodiro itu ternyata adalah keris pusaka palsu."

Kini Ki Sudibyo yang terbelalak memandang muridnya. "Palsu? Ah, Adipati Surodiro mengadakan sayembara palsu apa maksudnya?"

"Setelah mendapat kenyataan ini, Budhi dan aku pergi ke Nusa Kambangan dan langsung menanyakan kepada Surodiro. Dan diapun mengaku. Katanya, sebulan yang lalu keris pusaka itu dicuri oleh seorang berkedok yang sakti mandraguna dan ditukar dengan keris yang palsu itu. Tadinya aku ingin mengamuk, akan tetapi Budhi mencegahku dan mengatakan bahwa dia percaya akan keterangan Adipati Surodiro."

Ki Sudibyo mengangguk-angguk. "Bukan menjadi watak Koloyitmo untuk main-main dan menipu. Tentu dia ingin melepaskan keris pusaka yang telah dipalsu oleh pencuri itu, dari pada nanti Nusa Kambangan diganggu banyak orang yang memeperebutkan Tilam Upih. Ahh, pegalamanmu banyak dan hebat pula, Niken. Biarpun engkau tidak berhasil mendapatkan Tilam Upih, akan tetapi pengalaman-pengalaman itu merupakan pelajaran yang baik sekali bagimu."

Niken menghela napas panjang. "Semua itu tidak ada artinya, Bapa. Masih ada lagi peristiwa yang amat penting dan hebat belum kuceritakan kepada Bapa."

Ki Sudibyo memandang kepada wajah muridnya penuh selidik. "Apakah itu, Niken? Hebat sekali engkau, belum lama pergi telah mengalami hal-hal yang hebat dan bertubi-tubi."

"Ketika aku pulang, jahanam-jahanam itu mengatakan bahwa Bapa Guru telah pergi tanpa pamit. Aku mencari keterangan disekitar pegunungan ini samapi beberapa hari tanpa hasil dan pada suatau hari ketika aku pulang, aku melihat Klabangkoro, Mayangmurko dan para murid Gagak Seto mengeroyok seorang pemuda. Dan pemuda itu ternyata adalah Budhidharma!"

"Hemm, tentu dia datang berkunjung untuk mencarimu. Engkau telah menjadi kawannya yang baik, bukan?"

Karena dalam kata-kata itu terkandung nada suara penuh arti, wajah Niken menjadi kemerahan.

"Kalau begitu halnya, tentu peristiwa itu tidak penting dan luar biasa, Bapa. Akan tetapi Budhidharma datang ke Gagak Seto untuk mencari Bapa dan bahkan untuk membunuh Bapa Guru."

"Hahhh...........? Mengapa demikian? Aku tidak mengenalnya dan tidak mempunyai urusan dengan dia!"

"Akan tetapi Bapa mengenal ibu dan bapanya. Tahukah Bapa siapa pemuda itu sebenarnya? Akupun baru mengetahuinya saat dia datang ke Gagak Seto itu. Dia adalah putera kandung Ni Sawitri dan hendak membalas dendam untuk kematiana Ni Sawitri dan Margono."

Wajah Ki Sudibyo tiba-tiba menjadi pucat sekali dan dia memandang wajah muridnya seperti orang melihat hantu.

" Ya Jagad Dewa Bathara.......!" Akhirnya dia berseru. "Bagaimana ...........bagaimana engkau tahu tentang Sawitri dan Margono?"

"Aku telah mendengar semuanya sebelum Budhi muncul, Bapa. Karena ketika bertemu dengannya dahulu kami tidak saling menceritakan riwayat kami, maka aku tidak athu bahwa dia putera Ni Sawitri. Aku sudah mendengar bahwa Bapa menyuruh Klabangkoro untuk membunuh Ni Sawitri dan Margono!"

"Aduhhh.......jangan ingatkan lagi itu kepadaku, Niken! Aku merasa menyesal sekali sejak itu terjadi. Aku hanya menyuruhnya membunuh Margono karena murid itu murtad dan pantas dihukum, akan tetapi Sawitri ikut membunuh diri........aku menyesal sekali......." Orang tua ini nampak berduka sekali.

"Akupun sudah mendengar akan hal itu, Bapa. Akan tetapi melihat watak Klabangkoro yang amat jahat, bukan tidak mungkin Ni Sawitri juga dibunuh olehnya. Dan aku mengerti pula mengapa Bapa mengeluarkan perintah yang kejam itu. Karena Margono Ni Sawitri, isteri Bapa."

Dengan kepala tertunduk Ki Sudibyo mengangguk. "Benar.......ah, aku menyesal sekali karena kematian Sawitri, aku berdosa besar dan kalau sekarang puteranya datang mencariku, aku siap untuk mati di tangannya untuk menebus dosa....."

Orang tua itu kini memukul-mukul dadanya dengan perasaan berduka sekali. Niken merasa kasihan, akan tetapi ia tidak dapat menahan dorongan hatinya untuk bicara terus.

"Akan tetapi ada satu hal yang Bapa tidak ketahui, akan tetapi aku mengetahuinya."

"Apa itu?"

"Budhidharma itu, dia bukanlah anak kandung Margono, melainkan anak kandung Bapa Guru sendiri!"

Mata yang tua itu terbelalak, mulut yang ompong itu terngaga, dan wajah yang keriputan itu kini menjadi semakin pucat. Beberapa detik lamanya dia tidak mampu mengeluarkan suara, kemudian dia memaksa diri berkata,

"Niken........! Apa......apa maksudmu......? Demi Sang Hyang Widhi Wasa, katakan......jangan siksa aku dengan kebingungan......!"

"Memang benar, Bapa. Ketika Ni Sawitri melarikan diri bersama Margono meninggalkan Gagak Seto, ia sudah mengandung! Jadi, Budhidarma itu adalah anak kandung Bapa Sendiri."

"Tidak......tidak.......! Bagaimana engkau bisa tahu....."

"Aku bertemu dengan paman Ki Joyosentika dan beliau yang menceritakan semua itu kepadaku."

"Duhhh Gusti........!" Tubuh Ki Sudibyo terkulai pingsan!

"Bapa Guru.......!" Niken lalu menekan-nekan tengkuk dan kedua pundak gurunya.

Tak lama kemudian Ki Sudibyo sudah siuman dan membuka kedua matanya, Niken terkejut sekali karena melihat betapa mata itu sama sekali tidak bersinar lagi, seperti mata mayat saja. Dan rambut di kepala gurunya itu mendadak berubah putih semua!

"Duhai Sawitri.......ampunkan aku. .......aku telah buta dan kejam kepadamu. Sawitri......ampunkan aku.........!"

Orang tua itu lalu menangis tersedu-sedu seperti seorang anak kecil. Niken tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia merangkul gurunya dan juga dari kedua matanya mengalir air mata. Ia tahu bahwa gurunya telah melakukan kekejaman, akan tetapi hukuman yang diterima gurunya ini jauh lebih menyakitkan lagi.

"Sekarang aku rela, aku mengerti....... mengapa para dewa menghukumku seperti ini.....ah, Sawitri, bagaimana aku harus menjelaskan kepada anak kita.....? Budhidharma......betapa indahnya nama anakku......, keturunanku........tapi.....tapi dia hendak membunuhku. Ke sinilah anaku, tikam jantung ayahmu yang jahat ini.....!" Dia mengeluh, merintih dan menangis, akhirnya jatuh pingsan lagi.

"Bapa Guru......!"

Niken mengeluh penuh perasaan iba. Kini dibiarkan gurunya karena dalam keadaan seperti itu lebih baik dibiarkan gurunya tak sadarkan diri karena justeru kesadarannya yang menyiksanya. Segala macam perasaan suka duka kecewa marah benci dan sebagainya adalah permainan pikiran. Pikiran yang mengolah semua itu sehingga orang dikuasai oleh bermacam perasaan itu. Kalau pikiran itu tidak sadar, seperti dalam tidur, pingsan, maka semua perasaan itupun lenyap.



N e x t . . .
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd