Toni, Target Operasi
Pagi itupun aku dan Andi pergi menonton di bioskop.
“Hari ini kamu cantik banget, yang.” puji Andi saat kami berada di mobilnya.
“Jalan-jalan sama pacar harus cantik dong.” jawabku sambil tersenyum padanya.
“Bisa aja kamu, yang.” katanya sambil mengecup tanganku.
Meskipun Andi berperangai lembut dan cenderung kuper, kutahu dia sesekali melirik pahaku. Berkali-kali dia mencuri pandang pada tonjolan puting dan pahaku yang tersibak di balik rok. Namun aku diam dan biasa saja, membiarkannya.
Mungkin bisa kalian bilang, bahwa aneh sekali perempuan muda menyukai hal eksibisionis seperti ini. Namun sejak merasakan nikmatnya bercinta, nafsuku serasa tidak terbendung. Seolah aku suka, ketika banyak pria yang menatapku dengan nanar. Bahkan atas nafsuku sendiri, vaginaku telah merasakan beberapa penis, salah satunya bercinta dengan penjaga di rumahku sendiri, pak Yono.
Selama berjalan-jalan dengan Andi, tentu banyak mata yang memandangku, terutama para pria. Beberapa pria memandangku nanar, namun aku cuek saja. Akupun tahu, beberapa kali pacarku mendapati tatapan-tatapan mesum pria pada tubuhku, namun dia seolah tidak mampu berbuat lebih dan hanya menutupi pandangan pria lain sebisanya.
“Yang, kok bapak itu lihatin kamu segitunya sih? Kamu kenal?” tanya Andi di telingaku.
“Kayaknya engga deh.” jawabku. “Atau pakaianku ada yang salah?” tanyaku balik.
“E.. em, gak ada yang salah kok yang.” jawabnya dengan memandangku sekilas.
Andi tidak pernah mempermasalahan pakaianku. Mungkin dia tidak berani untuk mengaturku, atau justru senang dengan penampilanku dan bangga bahwa pacarnya ini seksi hingga dapat dipamerkan pada orang lain. Akupun tidak peduli dengan hal tersebut. Yang ada hanya bahwa dengan memiliki pacar, aku merasa aman bereksibisionis ria tanpa sepengetahuannya.
- - - - -
Hingga selesai menontonpun, tidak terjadi hal menarik yang bisa kuceritakan. Lalu kami makan siang di restoran sekitar mall tempat kami menonton.
‘Jangan lupa, ntar sore ke kosan gue! Ngerjain tugas kelompok!’ tiba-tiba ada chat masuk di ponselku.
Andi yang mengetahuinya lalu bertanya, “Siapa, yang?”
“Ini si Ratna ngingetin. Habis ini anterin aku ke kosannya ya, yang. Ada tugas kelompok buat besok.” jawabku.
“Oke sayang. Pulangnya mau dijemput gak?” tawarnya
“Gausah deh, yang. Aku nebeng Vivi aja.” tolakku pada tawaran Andi. Diapun menyetujuinya.
- - - - -
Tak lama, sore itupun kencan kami berakhir. Saat itu aku sudah diantar Andi ke depan kosan Ratna. Kamipun berpisah di sana.
Akupun segera menuju kamar Ratna ‘ceklek.’ “Hei, guys. Maaf gue telat.” Ucapku sambil membuka kamar Ratna. Kulihat di dalam kamarnya ada teman sekelasku, Jenny, Vivi, Andre, Toni, serta Ratna.
“Ngapain aja nih, yang habis kencan?” goda Jenny padaku.
“Nonton doang di XXI.” jawabku bergabung dengan mereka berempat.
Kulihat para pria di ruangan ini terpaku pada penampilanku. Beruntung Andre, dipelototin oleh pacarnya sendiri, yakni Vivi. Rasanya ingin ketawa aku melihatnya. Otomatis tingga Toni saja yang leluasa memandangiku. Namun kutahu dia cukup canggung, jadi akupun biasa saja.
Kamipun mulai mengerjakan tugas supaya kami bisa presentasi besok. Beruntung saat itu Jenny telah membuat draf yang hanya perlu kami atur saja. Sehingga tugaspun cepat selesai.
“Sipdeh, tinggal dirapihin aja.” kata Jenny memastikan.
“Viv, elo sama Andre yang finishing yak! Kita berempat kan udah nyelesein banyak.” perintah Ratna karena melihat mereka berdua bermesraan terus sejak tadi.
“Siap bosku.” jawabnya sambil bercanda.
“Diselesein yak, jangan berduaan aja lo berdua!” tambah Jenny.
“Iya... Ntar kita selesein sambil pangkuan kan ya, say. Cuph...” jawab Andre sekenanya, sambil mencumbu Vivi.
“Bangke kalian! Hush, cari kamar sana!” usir Jenny pada pasangan tersebut.
“Iya-iya. Pulang yuk, yang.” ajak Vivi pada Andre.
Segera aku mencegah mereka karena ingin sekalian menumpang untuk pulang. “Eh, Viv, Ndre, gue nebeng dong!”
“Oke, yuk Sa. Kita boncengan bertiga.” jawab Andre bercanda, hingga kutahu mereka naik motor.
“Yah, tumbenan kalian naik motor? Terus gue sama siapa dong pulangnya? Jen?” tanyaku sambil menatap memohon bantuan Jenny.
“Minta jemput kak Andi sana! Gue udah pesen ojek barusan.” jawab Jenny.
“Andi tadi udah gue suruh kagak usah jemput, Jen. Seneng amat lu dempetan sama kang ojek!” ejekku pada Jenny.
“Ya kan gue punya tukang ojek pribadi di rumah.” jawabnya sambil menekankan kata ‘pribadi’. “Sama Toni tuh. Diem aja dari tadi lihatin elo, Sa.” saranya menambahkan.
Memang sejak tadi, Toni tidak banyak bicara. Sesekali kami bertatapan, hingga kutahu dia sering mencuri pandang ke arah dada dan pahaku.
Sejak tadipun aku tahu, dan beberapa kali mencari kesempatan untuk sengaja menggodanya. Beberapa kali aku sedikit menunduk memperlihatkan belahan dadaku padanya. Tentu Andre juga beberapa kali tidak sengaja mengetahuinya. Namun karena ada Vivi, dia tidak berani menatapku.
“Yaudah, gue nebeng boleh, Ton?” pintaku pada Toni.
“B... boleh, Sa. Yuk.” jawabnya sedikit canggung.
“Grogi amat lu, Ton. Pelan-pelan aja di mobil. Puas-puasin.” goda Andre pada Toni.
“Eh, kang ojek gue udah di depan. Gue duluan yak.” ucap Jenny sekaligus kami pergi meninggalkan kos Ratna.
“Yaudah sana. Hati-hati, guys. See you tommorow.” ucap Ratna sambil meng-kiss bye kami semua.
- - - - -
Tak lama akupun berada di mobil Toni dalam perjalanan pulang. Masih dengan sikap lugunya, kali ini dia sesekali menatap tubuhku.
Sesungguhnya sejak tadi pagi, saat bersama Andipun aku sudah merasa cukup jengah dengan tatapan-tatapan para pria di sekitarku. Meskipun memang itulah yang kumau. Hehe.
Namun kali ini, kejengahaku seperti tidak tertahan lagi. Akupun mencoba memulai berbicara dengan Toni. “Lirik apa sih, Ton? Dari tadi juga. Awas nabrak lho.” ucapku berpura-pura sedikit membetulkan posisi rokku yang sedikit naik.
“Eh, s.. sorry, Sa. Gue gak sengaja.” jawabnya.
Tiba-tiba Toni menghentikan laju mobil karena berada di lampu merah.
Akupun berniat menggodanya dengan sedikit mendekatinya. “Gak sengaja lihat apa?” tanyaku dengan nada lembut sambil menatapnya menggoda.
Sambil menoleh, dia terpaku pada belahan dadaku yang tepat berada di depan matanya. “T.. toket. M.. maksudnya muka kamu, Sa.” jawabnya keceplosan.
“Ohhh, emang mukaku kenapa?” ucapku kembali duduk pada posisi semula sambil membuka cermin yang ada di balik sun visor.
“Eh, gapapa kok Sa. Kamu cantik” ucapnya seperti mulai berani memujiku.
Mendengarnya, kucubit lembut pahanya. “Gak perlu boong deh, Ton. Paling juga tetek aku yang cantik kan?” ucapku to the point seolah marah padanya, walaupun aku sebenarnya hanya berpura-pura.
Diapun hanya diam mendengar perkataanku barusan.
“Udah hijau, Ton.” ucapku menyadarkannya. Dan kamipun saling diam selama perjalanan.
- - - - -
Tak lama kami sampai di depan rumahku. “Mampir dulu yuk, Ton.” ajakku saat kami berhenti.
“E.. engga deh, Sa. Gak enak, udah kesorean.” tolaknya.
Dengan sekejap, lagi-lagi kudekatkan mukaku padanya. “Kamu gak mau lihat toket aku lagi, Ton?” bisikku padanya.
“S.. sa?” ucapnya tegang.
“Masuk yuk, Ton. Sepi kok.” ajakku sambil memegang tangannya.
Seperti terhipnotis, Tonipun mengangguk. Kuarahkan dia untuk memarkirkan mobilnya. Hingga kuajak dia untuk masuk ke rumahku.
- - - - -
Di dalam rumah, kupersilahkan Toni duduk di ruang tamu. “Duduk dulu, Ton. Gue ambilin minum.”
“Eh.. iya, Sa.” jawabnya. Akupun menuju dapur mengambil minum untuknya.
Pada saat meyuguhnya, akupun menunduk di depannya, hingga kuyakin Toni dapat melihat putingku. “Minum dulu, Ton.” Kulihat selangkangannya menggembung.
“I.. iya, Sa.” jawabnya lalu meminum beberapa teguk air susu yang kusajikan.
Selanjutnya aku duduk mendekat di sebelahnya. “Gimana susunya, Ton? Enak?” tanyaku.
“E.. enak, Sa.” jawabnya
“Tegang amat sih, Ton? Mau coba susu yang asli?” godaku sambil menyentuh tangannya. Tonipun kaget terperanjat karena sentuhanku. “Gitu aja kaget, Ton. Haha.” tawaku.
Pada saat itu dia berdiri di sebelahku. Akupun tidak tahan, dan langsung mengelus selangkangannya yang berada sejajar dengan mukaku. Kuremas penis Toni dari luar celananya.
“Eh... Sa...” Toni semakin kaget. Dia berusaha melepas tanganku pada penisnya. Namun kurasa usahanya tidak sepenuh hati, karena meski tanganku dipegang olehnya, telapak tanganku justru tetap leluasa meremas penisnya.
“Lihat tetek aja sampe ngegembung banget kontol elu, Ton.” ucapku menggodanya.
Perlahan Toni melepas tanganku. Akupun mulai berusaha melepas kait dan menurunkan resleting celananya. Dengan mudah kupelorotkan celananya hingga ke lantai. Semakin kulihat bahwa penis Toni berdiri tegak di balik celana dalamnya yang menjadi sedikit tidak muat. “Waow, helmnya kelihatan, Ton.” ucapku terpana menyaksikan bahwa kepala penisnya sedikit mencuat keluar.
Sekejap Toni penutupi penisnya dengan tangan. “Ih, masih malu-malu aja lu, Ton!” ucapku.
“S.. sorry, Sa.” jawabnya.
“Yaudah, gue buka kaos gue, tapi elu harus lepas celana dalem. Oke!” perintahku.
Dengan gerak perlahan seolah sedang striptis, aku berdiri membelakanginya. Perlahan kuangkat dan kulepas kaosku. Sebelum berbalik kututupi kedua payudaraku dengan tangan. Kini tentu dia dapat menyaksikan kedua gundukan payudaraku yang hanya tertutup oleh lengan kiriku. Tatapannya semakin nanar seolah tidak percaya.
“Ih, kok belum dilepas sih, Ton? Gak adil, lo. Ayo lepas celana dalem elo!” ucapku membuatnya tersadar. Namun dia masih malu-malu dan tidak segera menuruti perintahku.
Lalu semakin kudekati dirinya. Kugapai kepala penisnya dengan tangan kananku. Diapun kaget dan memegang tangaku tersebut.
Akupun berbisik di telinganya, “Gak perlu malu, Ton.” Lalu kulepas tangan kiriku menutupi kedua putingku. Kugapai tangan kanannya untuk mendarat di payudara kiriku.
“Bukannya tetek gue cantik, ya?” ucapku di telinganya.
“I... Iya, Sa.” jawabnya terbata.
“Mainin dong... ssshhhh...” ucapku sambil membantu tangannya untuk meremas payudaraku.
Perlahan-lahan Toni mulai meremas payudaraku atas insting nafsunya sendiri. “Asshhh... iyahhh... terusshhh... Ton...” desahku.
Kini dia benar-benar meremas payudaraku dengan sendirinya, meskipun hanya yang sebelah kiri. Dan karena aku sudah sangat bernafsu, mulai kugoda lagi kepala penisnya dengan tangan kananku. Tanpa Toni sadari, penisnya semakin membesar di balik celana dalamnya.
Kuelus-elus penisnya dari luar celana dalamnya, hingga kurasakan kini benda itu sudah tegang maksimal.
Kuhentikan remasan tangannya di payudaraku, dan kutatap wajahnya dengan penuh nafsu. “Boleh gue buka?” tanyaku meminta izin. Mungkin terasa aneh ketika umumnya para pria yang memninta izin untuk menelanjangi perempuan, namun kini yang ada justru sebaliknya.
Toni pun hanya menjawab dengan anggukan. Dengan segera, kuturunkan celana dalamnya, hingga terlihat penisnya yang ereksi penuh menghadap mukaku.
“Kontol tegang gini aja, pake malu-malu lo!” ucapku yang kini mampu mengelus batang penis Toni secara langsung.
“Sshh.. Ssaaa...” erangnya sedikit tertahan.
Aku yang sudah sangat terbawa birahi, justru mempercepat gerakan tanganku mengocok penis Toni. Hingga kudengar desahannya semakin nyaring, dan sesekali menyebut namaku, “Asshhh... Saaa...” Akupun merasa bangga dan menatapnya binal.
Tak lama, penisnya sedikit mengeluarkan cairan pre-cum. Kujilatnya cairan tersebut. Entah apa yang dirasakan Toni hingga desahannya semakin keras, “Ashh... Sa... sa... oshhh...”
Terus kupermainkan penis Toni dengan lidah dan mulutku. Sesekali kutatap mukanya dari bawah sini dengan binalnya. “Suka gak, Ton?” tanyaku menghentikan emutanku pada pensinya.
Tiba-tiba Toni memegang kepalaku, “Enak banget.. Saa...” Lalu dipaksanya aku untuk mengemut penisnya lagi. Namun kali ini dia yang memaju-mundurkan kepalaku dengan kasarnya. Sepertinya dia tidak tahan lagi dengan nafsunya sampai menggila seperti ini.
‘Emmhh... emmhhh... clookk... cloggg...’ suara mulutku yang gelagapan tertahan penisnya.
“Ossshhh... Saa.... shhhh... aahhhh” erangnya tiba-tiba dia semprotkan spermanya ke dalam mulutku sambil menekan kepalaku.
Kurasakan tembakan spermanya hingga kerongkonganku. Meskipun atas paksaan, tapi aku tidak jijik pada rasa sperma. Tonipun melepas pegangannya pada kepalaku, hingga aku dapat melepas kulumanku pada penisnya. Dia menyaksikan, bagaimana aku membersihkan ceceran spermanya yang ada di ujung bibirku dengan jari. Akupun menatapnya marah.
“M.. maaf, Sa, g.. gue kelepasan.” ucap Toni.
“Gapapa, Ton. Makasih ya. Tapi elu sekarang mesti gantian puasin gue!” ucapku sambil kembali berdiri dan mendorongnya terduduk ke sofa.
“Hah.. m.. maksu...” sebelum selesai bicara, lalu kucium Toni dengan binalnya.