Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Cinta Yang Tak Biasa

TAKDIR

Sejadah itu basah oleh air mataku. Jika kalian berfikir aku sedang sedih, kuyakinkan bahwa aku tidak sedang bersedih. Aku sedang bersyukur kepadaNya karena atas kehendakNya pula Fadil anakku telah pulih.

Sedari tadi selesai melaksanakan sembahyang subuh, aku tak beranjak dari sejadahku. Aku terus bersujud, berterimakasih kepadaNya. Aku berjanji dalam hati akan melakukan apapun untuk anakku tercinta.

Tadi malam sekitar jam 23:00 dokter datang menemui dan membujukku untuk membantunya menyelesaikan sebuah masalah dengan salah satu pasiennya. Aku merasa bahwa aku tak memiliki kewajiban atau keharusan untuk membantunya karena selain hal tersebut diluar kesepakatan, aku pun tak memiliki kepentingan apa-apa. Anakku sekarang sudah sembuh, tinggal terus terapi secara berkala olehku sendiri.

Tapi pak dokter pantang menyerah. Segala hal dia lakukan, termasuk berjanji untuk memberikan uang sebesar 150 Juta untuk melakukan terapi pada pasien selama tiga bulan.

Bukan, bukan karena uang itu yang mampu membuat aku menyanggupinya. Tetapi terutama karena kasihan melihat sang dokter yang berurai air mata ketika dia buntu membujukku. Walau bagaimanapun, pak dokter telah ikut membantu kesembuhan Fadil dan aku mungkin harus juga sedikit membantunya.

Kulihat jam dinding yang berdentang pada saat menunjukkan pukul 6 pagi. Sejadah berwarna hijau itu aku lipat beserta mukena putih yang saat itu sudah kuloloskan dari tubuh. Aku harus mulai bersiap karena sudah berjanji bahwa jam 9 pagi akan datang ke klinik pribadi pak dokter yang tepat berada di samping rumah yang kutempati.

Kuraih handuk yang tergantung pada capstock di dinding, lalu melilitkannya pada tubuh langsingku yang hanya mengenakan bra longgar serta celana dalam warna krem yang sudah mulai pudar warnanya sehingga terlihat seperti berwarna putih kusam. Setiap wanita pasti tahu, pakaian dalam yang sudah tua seperti ini sangat nyaman digunakan untuk tidur karena tidak terlalu ketat. Para lelaki mungkin berfikir bahwa G-string itu indah dipakai wanita, tetapi sejujurnya saja bahwa (untukku sendiri) G-string itu tidak nyaman digunakan. Lain halnya dengan underwear regular dengan model mini atau high-cut yang masih nyaman digunakan. Tapi tetap saja yang ternyaman untuk dipakai tidur adalah pakaian dalam yang sudah sedikit usang. Bukan yang sudah koyak atau longgar banget ya.

Saat aku membalikkan tubuh, aku kaget karena Fadil yang berada di tempat tidur sudah bangun dan ia memandangku lekat. Mungkin sudah dari tadi. Ah.... aku tetap saja malu jika dilihat seperti itu walaupun.... ya kalian sudah tahu lah apa yang kulakukan sebelumnya. Tidak usah kuceritakan lagi disini, nanti kalian bosan.

"Fadil..... udah bangun ?" Di sela kekagetanku, aku menyapanya sembari merapikan handuk yang terlilit di tubuhku.

"Iya bun....." Jawabnya sambil tetap menatap nanar.

"Bunda mandi dulu ya." Ujarku sambil melangkah keluar menuju kamar mandi disertai tatapan Fadil yang tak lepas dari tubuhku.


**********

Matahari bersinar cerah, menghangatkan tubuhku yang sedang melangkah masuk ke halaman rumah dokter yang juga membuka klinik spesialis psikiatri di rumahnya. Langkahku bertepatan dengan keluarnya sebuah mobil Alphard dari halaman. Aku berjalan menyisi, memberi jalan pada mobil itu. Dua pasang mata didalam mobil menatapku. Mungkin terheran-heran melihat seorang perempuan berhijab syar'i datang ke klinik sepagi ini. Aku tak mempedulikannya.

Dokter menyambutku dengan gembira di ruang prakteknya. Senyumnya terpampang lebar di wajahnya.
"Duduk dulu Bu Sri." Dia menunjuk tempat duduk yang ada di depan meja prakteknya.

Aku duduk, dan diam.
"Assalamu'alaikum." Entah kenapa pak dokter tiba-tiba memberikan salam padaku. Padahal bukan merupakan kebiasaannya karena dia bukanlah seorang muslim.

"Waalaikum salam." Jawabku singkat.

Dengan wajah masih tersenyum, dokter meraih sesuatu di laci mejanya. Sebuah amplop coklat yang besar dan tebal.

"Ini uang jasa untuk Bu Sri melakukan terapi pada pasien yang ada didalam sana selama tiga bulan. Saya bayar dimuka." Amplop tebal itu didorong ke bagian meja yang dekat di hadapanku. Satu tangannya terjulur, mengajak bersalaman.

Aku meraih tangannya, bersalaman.
Bersamaan dengan itu, pak dokter mulai menguraikan perjanjian mengenai apa saja yang harus aku lakukan selama tiga bulan. Tak sulit, aku hanya harus melakukan terapi seperti yang sudah kulakukan pada Fadil. Semampuku, yang penting sang pasien ada kemajuan dari kondisinya yang sekarang. Dan sang pasien akan tinggal di rumah yang kutempati, karena aku harus merawat segala kebutuhannya sehari hari termasuk memberi makan dan mengurus mandi serta pakaiannya.
Aku mengangguk, tetapi pak dokter tak kunjung menarik tangannya yang menggenggam tanganku, sampai aku sendiri yang harus menarik tanganku.

Dan demikianlah, aku kembali ke rumah tempatku tinggal sambil mendorong seorang pria tua yang duduk di kursi roda. Dia adalah bapak Jaya Wardhana yang mengalami alzheimer di usianya yang sudah 70 tahun.

"Siapa itu bun ?" Fadil menyambutku dengan sebuah pertanyaan.

"Ini pak Jaya, beliau dititipkan ke kita selama keluarganya pergi. Kita yang akan merawatnya, dan bunda dikasih ini." Tanganku memperlihatkan sebuah amplop tebal berisi uang 150 juta. Fadil nyengir tapi keheranan.
"Banyak banget bun upahnya."
Aku tak menjawab melainkan terus mendorong Pak Jaya masuk kedalam rumah.
Fadil menutup pintu dan menguntitku dari belakang. Tiba-tiba dia memelukku dari belakang. Erat.

"Eh.... kenapa ini... ?" tanyaku sambil terus mendorong Pak Jaya.

"Hehe.... pengen peluk." Jawabnya.

Fadil terus memelukku dari belakang. Aku tahu, dia mulai butuh 'sesuatu' dariku. Obat yang diberikan ke Fadil setiap hari ternyata pada akhirnya tak mampu membuat nafsu birahinya mereda total. Mungkin saking banyaknya produksi hormon testosteron di usia remaja. Padahal menurut pak dokter, obat tersebut akan sanggup menenangkan perilaku dan birahi Fadil jika dikonsumsi sesuai dengan saran pak dokter. Tetapi walaupun saat ini sedang 'butuh', ada Pak Jaya yang harus kurawat dan kuberi makan.

"Sabar ya Fadil... kita harus merawat bapak ini, kan kita sudah dikasih uang untuk merawatnya. Fadil tunggu disini sambil nonton tv dulu ya."

Untungnya Fadil nurut.

"Iya bunda." Dan Fadil melepas pelukannya dengan berat hati untuk kemudian melangkah menuju sofa di depan TV.


Pak Jaya, dari tadi bergumam sendiri seperti berbicara entah pada siapa.
Kasihan sekali orang tua ini.

Aku mulai membuatkan makan siangnya yaitu sup ayam dan perkedel daging korned. Selama aku memasak, pak Jaya yang kubawa ke dapur beserta kursi rodanya terus ngoceh menyebut-nyebut sebuah nama yaitu Via. Entah siapa Via ini, tapi kelihatannya pak Jaya kesal sama Via.

Jam berdentang satu kali, tanda waktu sudah jam 1 siang. Lama juga aku memasak sambil 'ditunggui' oleh Pak Jaya di kursi roda. Tak lama, aku sudah mulai duduk di kursi berhadapan dengan Pak Jaya.

"Pak, makan dulu ya."

Pak Jaya berhenti dari ocehannya, lalu menatapku.

"Via... kenapa kamu pakai hijab ?" dia keheranan.

"Saya Sri, pak. Dan saya yang akan merawat bapak selama tiga bulan." Aku berusaha menerangkan dengan lembut agar dia memahami.

"Via.... kamu itu anakku satu-satunya, kenapa pindah agama ?" Pak Jaya ngotot menganggapku Via.

"Saya Sri, pak. Bukan Via." Akupun ngotot menjelaskan.

"Mama kamu di surga nanti marah, Via." Katanya lagi, tetap ngotot.

Berarti Via itu adalah anaknya yang tadi mengantar Pak Jaya dengan mobil Alphard.

Aku tak menggubris pertanyaan Pak Jaya. Kusendok sup ayam yang hangat lalu mulai kusuapi dia.
Rupanya biarpun sudah tua dan pikun, nafsu makan pak Jaya masih lumayan. Satu mangkuk sup dengan sepiring nasi sudah berhasil kusuapi. Dia makan dengan lahap.

Akhirnya selesai sudah tugasku menyuapi Pak Jaya, jadi setelah kubersihkan semua peralatan makan aku mendorongnya ke ruang keluarga untuk menonton TV. Fadil sedang duduk menonton kartun.

"Bunda.... itu siapa ?" Fadil bertanya.

Loh bukannya tadi sudah kujelaskan ? aku berfikir begitu.
Aduh... Fadil sepertinya sudah mulai degradasi memori lagi.

"Ini Pak Jaya, Dil." Aku menjelasakan kembali.

"Kenapa dia disini ?" nah benar kan, Fadil bertanya seperti itu karena mulai degradasi lagi ingatannya.

Ingatanku sendiri kemudian melayang ke kejadian terakhir ketika aku melakukan terapi pada Fadil. Kejadian yang nyaris fatal karena Fadil begitu overpower dan tak mampu mengontrol tindakannya. Aku yang pingsan kehabisan tenaga untung saja segera tertolong oleh pak dokter. Kalau tidak.... entahlah. Sejak saat itu aku bertekad hanya melakukan terapi terbatas dan terkontrol padanya.

Nanti malam, fikirku.


*********

Rrrrrennnnnggggggg......

Aku terbangun mendengar suara pompa air yang tiba-tiba hidup. Mungkin ada kran yang bocor halus karena kadang-kadang mesin pompa menyala tanpa ada yang menggunakan air di kamar mandi.

Rrrrrnggggg....... ctak.

Mesin pompa berhenti.

Kulirik jam di dinding samar-samar terlihat menunjukkan jam 2 pagi. Lampu kamar yang kumatikan sebelum tidur membuat tidurku nyenyak sekali. Dengan sedikit menggeliat, aku bengong sesaat.
Pasti aku tak akan bisa tidur lagi sampai subuh, dan lebih baik melaksanakan terapi yang sudah kurencanakan.

Dengan sedikit malas, aku bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi.

Gigiku ini kecil-kecil dan rapi karena aku rajin merawat gigi. Kupastikan didepan cermin bahwa gigiku sudah bersih. Ya, sudah bersih, wangi, dan cantik.

Langkahku gontai menuju ke kamar yang satu lagi. Disana kutempatkan Fadil dan Pak Jaya tidur bersama-sama dalam 1 kamar dan 1 tempat tidur besar. Baju tidur babydoll berbahan satin warna peach bergoyang seiring dengan langkahku, juga seiring dengan suara tiktok jam. Remang-remang ruang keluarga yang kulewati terlihat tenang. Perlahan kubuka pintu kamar, seketika aku merasa silau karena lampu kamar Fadil dan Pak Jaya tidak dimatikan.

"Ah...." keluhku sambil menyipitkan mata agar tidak silau.

Fadil tidur di sisi kanan tempat tidur yang rapat ke dinding sedangkan Pak Jaya tidur di sisi kiri yang bebas. Bagaimana aku akan melakukan terapi pada Fadil ? terhalang oleh Pak Jaya. Aku sebenarnya tidak terlalu berniat untuk melakukan terapi pada pak Jaya dan hanya konsentrasi pada Fadil. Pak Jaya sih nanti-nanti saja, toh perjanjianku dengan pak dokter juga tidak terlalu terikat, dia bilang hanya 'semampuku' asal ada kemajuan sedikit juga tak apa.

Kursi belajar yang ada di salah satu sudut kupindahkan ke dekat tempat tidur dan kucoba duduk. Tanganku menjulur mencoba meraih tubuh Fadil yang sedang nyenyak.

Ah.... tak sampai.

Aku merengkuh lebih jauh lagi, tetap tak sampai.

Mungkin harus berdiri ?

"Iya.... berdiri aja Sri."

Hah ?

Aku celingak celinguk demi mendengar suara itu lebih jelas. Siapa itu ?

"Ini aku, Sri." Suara itu kukenali.... suara dari otakku tapi terdengar begitu jelas seakan-akan ada orang di samping kananku berbisik ke telinga.

"Tadi pagi kamu lupa minum obat, Sri." ujarnya lagi, membuat aku terhenyak.

Aku tidak konsen lagi untuk melakukan terapi pada Fadil.

"Ngga apa-apa kok Sri, aku ngga akan mengganggumu."

Percayakah aku ?

Suara itu diam tak terdengar menjawab.

Sesaat aku menengok ke kanan dan kekiri memastikan suara itu tak terdengar lagi. Aku tahu... aku tahu.... suara itu ada di kepalaku dan tak pernah berwujud. Kata dokter, ini adalah gejala scizophrenia ringan.

Jadi pandanganku beralih pada wajah Fadil yang bernafas teratur, dan wajah Pak Jaya yang sedang menganga mulutnya.

Aku berdiri dari kursi dan merunduk ke arah Fadil.
Tanganku sampai disana, di kakinya.

Sejenak kugoyahkan kakinya untuk memastikan apakah dia tidur nyenyak.
Ya, dia tak bereaksi dan tetap bernafas teratur.

Kembali aku melirik wajah Pak Jaya yang juga tidur nyenyak dengan dengkuran ringan.

Ujung bawah babydoll yang kukenakan terangkat sampai pangkal pahaku dan menyentuh kaki Pak Jaya. Kubiarkan saja.

Perlahan aku melorotkan celana pendek Fadil yang berkaret, membuat usahaku mudah. Burungnya sedang tidur, lemah seperti burung pipit di sarang.

Telunjukku mencolek ujungnya yang seperti helm.
Burung itu diam saja dalam tidurnya.

Dua jemariku perlahan merayap kebawah, ke bagian scrotum (biji).
Aku mengusapnya.

Jurus ini selalu berhasil membangunkan burung manapun. Tak terkecuali burungnya Fadil, yang langsung menggeliat dengan perlahan.

Jemariku terus mengusap buah kemaluannya.

Dengan pasti, burung itu bergerak membesar dan terus membesar. Menggeliat seakan ular kobra yang terusik.

Besar.
Gagah.
Anakku Fadil.

Rrrrnggggggggg.....

Aku terkejut mendengar suara pompa air yang tiba-tiba hidup karena bocor di salah satu keran.

Sialan.
Mengagetkan saja.
Aku sampai berdiri tegak dan melepaskan jemariku dari selangkangan Fadil.

Setelah suara pompa mati, aku merunduk lagi.
Burung Fadil yang tegak terlihat berkedut seirama denyut jantungnya.
Aku menggenggamnya denggan halus.
Hangat dan nyaman di telapak tangan.

Nafas Fadil makin berat. Matanya berkedutan, pertanda ia bermimpi.

"Mimpi indah lagilah, nak.... biar bunda tenang menyembuhkanmu."

Aku tersenyum bahagia.

Jemariku mengusap sepanjang burung Fadil yang tegak.
Perlahan.
Perlahan saja.
Perlahan juga pasti nikmat.
Tangan bunda yang halus ini buat Fadil.
Mengusap, mengelus, terkadang meremas.
Naik dan turun.

Uh....
Pinggangku terasa pegal karena posisi berdiri sambil merunduk.
Tangan kananku terus merangsang batang burung Fadil.
Dan sekarang tangan kiriku bertelekan ke tempat tidur untuk menahan berat badanku.
Lumayan, pinggangku tak terlalu pegal.

Setitik cairan yang bening keluar dari ujung kemaluan Fadil.
Jempolku mengusapnya, dan mengoleskannya ke seluruh bagian helm hingga terlihat mengkilap.
Aduuh.... ini kalau dimasukkan ke tubuhku pasti enak.
Aku berkhayal.

Plep !
Pasti begitu suaranya kalau dimasukkan.

Kaki Fadil mengejat, mungkin kaget, mungkin juga nikmat luar biasa karena aku agak sedikit keras mengoles helemnya yang licin.

Seluruh gerakanku terhenti dan diam. Takut Fadil bangun.
Parah kalau bangun, aku bisa pingsan lagi disetubuhinya kuat-kuat seperti waktu itu.

Terlalu lama diam seperti itu, pinggangku berasa pegal lagi.
Ah, mungkin kutahan saja dengan kakiku sebelah.

Benar saja, ketika aku menaikkan kaki kananku ke tempat tidur melangkahi Pak Jaya yang terlentang kurasakan pinggangku tak pegal lagi karena berat tubuhku sekarang tertahan kaki kanan yang menahan di kasur tepat diantara kaki Fadil dan Pak Jaya.

Babydoll yang kukenakan terangkat sampai nyaris ke pinggang.
Celana dalamku menyembul terlihat, dan aku malu sendiri ketika melihat bahwa celana dalamku terlihat basah pada bagian yang menutupi celah vaginaku.

"Nakal kamu, Sri."

Aku celingukan. Suara itu muncul lagi padahal tadi dia berjanji tak akan mengganggu.
Ah, aku tak perduli.

Kuraih lagi batang penis Fadil yang masih tegang.
Genggamanku sekarang lebih erat, mungkin karena nafsuku juga mulai terpancing.
Seiring dengan turun naiknya genggamanku, selangkanganku turun naik juga.
Terkadang menyentuh selangkangan Pak Jaya yang tidur nyenyak.

"Adil.... tangan bunda enak sayang ?" bibirku berbisik, bukan hanya di fikiran.

Fadil tak menjawab. Tentu saja. Dia kan tidur.

"Aaah...." aku menjerit lirih ketika secara tak sengaja selangkanganku turun menempel ke selangkangan Pak Jaya.

Rasa hangat yang nikmat itu menjalar ke seluruh urat saraf di tubuhku.
Rasanya mungkin bisa diibaratkan kalian punya bentol akibat digigit nyamuk, lalu diusap.
Enak tapi tidak memuaskan.
Malah membuat vaginaku menjadi tambah lembab, membuat celana dalamku makin basah oleh lendir.

Genggaman tanganku pada batang Fadil semakin erat, naik turun.
Akupun naik turun menyentuh-nyentuhkan selangkanganku pada selangkangan pak tua yang tengah tidur nyenyak. Babydollku makin terangkat naik sampai keatas pinggang. Kedua kaki mulusku terpampang indah diterpa sinar lampu kamar yang terang.

"Hmmmmmmf......." bulu di seluruh permukaan kulitku meremang.

"Ngggh.........." aku menekan selangkanganku lebih kuat ke pak tua itu.

Mungkin terlalu kuat, karena berikutnya yang terjadi adalah...

"Via.... kamu..... kamu lagi apa ?" pak tua terbangun dan terheran.

Matanya pak tua itu membelalak menatapku beralih alih antara wajah, selangkanganku, dan tanganku yang tetap naik turun di sepanjang batang penis Fadil.

"Saya..... saya..... ahhhh...." aku tak selesai menjawab pertanyaan pak Jaya karena tiba-tiba saja tangan pak Jaya bergerak dan menyentuh selangkanganku yang gatal.

"Via..... papa udah lama nungguin ini dari kamu." bisiknya tetap menganggapku sebagai Via anak perempuan satu-satunya.

"Nggggh....." Suara rintihan tertahan keluar lagi dari bibirku tatkala jari tengah Pak Jaya menyelinap ke balik celana dalamku dan mengusap celah vaginaku yang banjir.

"Tapi kamu ngga pernah kasih ini lagi ke papa setelah kamu kawin." bisik pak Jaya dengan suara gemetar.

Oooh.... rupanya hubungan terlarang bukan hanya aku saja yang melakukan. Pak Jaya juga sepertinya melakukannya dengan Via anaknya. Mungkin diluar sana banyak juga yang diam-diam melakukan hubungan terlarang.

"Aaakkh..." Jari tengah Pak Jaya yang menyelinap ke vaginaku berhasil membuat aku mengerang penuh nafsu.

"Kamu sedang ngocokin titit siapa Via ?" Orang tua itu terus ngoceh.

Sebal.

"Ini Fadil.... anak aku pak." Jawabku kesal.

"Hah ? aku punya cucu ?" Dia kaget.

Aku cuekin ajalah, terserah dia menganggap apa.

"Cucuku...... mesum sama ibunya.... ?"

Aku tak menjawab, hanya menikmati korekan jemari pak tua itu.

Tangan pak tua yang satu lagi meloloskan celana piyama tipis yang dikenakannya.
Sekilas kulihat, burungnya merongkol bagai tidur nyenyak tak mau bangun.

"Naik sini, Via. Papa kangen."

Otakku entah kemana, nurut saja ketika dia memerintah.
Kaki kiriku yang tadinya menahan di lantai, sekarang naik ke tempat tidur. Akibatnya selangkanganku rapat dengan erat di selangkangannya. Jari pak Jaya melepaskan diri dari vaginaku.

Plop.

Pak Jaya memegang kedua pinggulku dengan erat dan memaju mundurkannya sampai Vaginaku yang masih bercelana dalam bergesekan dengan burungnya yang tetap peot.

Tapi dia terpejam-pejam menikmati.

Jemari pak jaya bergerak cepat, menyingsingkan celana dalamku ke samping sampai gundukan berbulu halus itu terlihat menggunung dengan belahan yang basah.
Belahan vagina basah itu ditempelkan ke burungnya yang tidur lemah.

Selemah-lemahnya penis lelaki, tetap saja kalau tergesek ke clitorisku bisa menghasilkan kenikmatan yang luar biasa. Serasa setrum 50 volt yang hangat.

"Astagfirullah....." bibirku tak sengaja menyebut namaNya dengan tanpa sadar ketika kenikmatan itu melanda.

Uh.... burung Pak Jaya yang tidur itu habis tergesek kencang ke clitorisku.

Terkadang, kepala helm burung itu menyelinap ke celah vaginaku yang banjir.
Burung itu sekarang basah mengkilap oleh cairanku di sekujurnya.
Keberadaan cairan yang luar biasa banyak hingga menetes-netes itu ternyata membuat burung lemah itu mampu menyelinap.

"Aaaaaaaaaaahhhhhhh....." Aku harus bagaimana selain merintih ?

Pak Jaya menggenggam pinggulku erat sekali, berusaha melesakkan burungnya yang masih tidur itu ke vaginaku.

"Lepas celana dalammu, Via." Perintah pak tua itu lagi.

Pertama, aku melepaskan genggaman tanganku di penis Fadil yang sampai sekarang masih juga kugenggam.

Kedua, aku berdiri diantara tubuh Pak Jaya.

Ketiga, memerosotkan celana dalamku sampai lepas.

Keempat, jongkok lagi supaya vaginaku bergesekan lagi dengan burung lemah pak tua.

"Jangan dulu, Via." Larang pak tua.

Aduuuh aku gatal sekali..... ngapain sih pak tua pakai larang-larang segala ?

Ternyata dia sedang berusaha susah payah melepas piyamanya yang entah kenapa susah sekali diloloskan dari kedua kakinya. Sedari tadi celana piyama itu masih melekat hingga pahanya.

Gataaaal.....

Dan pak tua masih berkutat dengan entah apa.

Gataaaaaaalllll.... aaaah.

"Sri..... di sebelahmu sri....." Aku kenal suara itu lagi, menyuruhku melihat ke sebelah, ke arah Fadil.

Batang penis Fadil tegang berkedut kedut menantang.

Aku khilaf.
Lagi.
Khilaf lagi.

Tak kupedulikan pak tua, aku pindah jongkok mengangkangi Fadil.
Kuturunkan selangkanganku.

Plep.

Burung yang tegak gagah itu tanpa ampun melesak ke celah vaginaku, ibunya.

Dosa yang tak terhingga besarnya ini nikmat sekali. Bagian dalam vaginaku serasa orang kehausan yang mendapat air segar.

Aku menekannya hingga dalam.

Lagi.

Lebih kuat lagi.

Lebih dalam lagi.

Dan sesuatu didalam sana seakan meledak.

Tenggorokanku mengerang.

Mataku mendelik.

Sesaat sebelum aku sampai di surga dunia, kurasa batang Fadil menjadi tambah besar. Vaginaku rekah mengikuti membesarnya batang itu.

Membesar dan rasanya memanjang.

Aku melotot merasakan cairan hangat yang dimuncratkan burung Fadil didalam vaginaku, menyemprot hangat dan kuat sampai ke mulut rahim.

Anak itu matanya bergetar keras.
Mimpinya pasti indah sekali.

Dan aku menggelepar ketika salah satu muncratan spermanya didalam vaginaku menyentuh suatu titik.

Nikmaaaaaaaattttt sekali.

"Ya Tuhanku....." bibirku bersyukur padanya atas dosa terdalam ini.

Nikmat.

Tubuhku menggelepar hebat.

Sepasang tangan meraih tubuhku yang tengah menggelepar dalam nikmatnya dosa terlaknat.
Tubuhku diraih dan direbahkan di samping Fadil.
Mata ini hanya terpejam ketika sesuatu yang tegang panjang dan besar melesak mengoyak vaginaku. Aku makin melayang dan bergetar makin parah, berkelojotan tak tentu arah.

Burung Pak Jaya pada akhirnya tegang maksimal ketika menyaksikan burung Fadil melesak ke vagina ibu kandungnya, memberikan kenikmatan surgawi.

Pak tua menggila.
Batang besar dan panjang itu menohok mulut rahimku dan terus melesak.

Tak mungkin....
Tak mungkin penis itu sampai di rahim.
Tak mungkin !
Aku melotot menyangkal hal itu.

Tapi rasanya memang sepertinya penis itu melesak ke mulut rahimku.
Mendapatkan kenikmatan seperti itu, aku menjerit keras.

Surrrrr......
Surrrrr......

Aku squirt, membasahi seprai sambil melotot dan mengangakan mulut. Tak percaya dengan semua ini.

Croooot....
Croottt....

Baru tiga puluh detik penis itu membobol vaginaku, pak tua rupanya sampai juga.

"Viaaaaa..... memekmu enak sekaliii....." geramnya.

Berkelojotan beberapa kali, tubuh pak tua menggelosoh di sampingku.

Langsung lelap tertidur dengan helaan nafas yang memburu, namun dengan sesungging senyuman bahagia di wajahnya.

**********

EPILOG.

Sebuah pulau kecil di batas terluar negeri ini terlihat makin lama menjadi makin besar, makin dekat.Yacht kecil yang kami naiki melaju kencang menerpa angin, membuat rambutku berkibaran.
Aku tersenyum menatap mentari jingga yang sebentar lagi surut ke balik samudera.

Hari ini adalah pertamakalinya rambutku tergerai bebas diterpa angin laut dan sinar mentari.
Anakku Fadil terlihat menatapku dari buritan kapal dimana ada empat buah motor yang bekerja keras mendorong yacht ini melaju kencang.
Dia senyum bahagia.
Aku membalas senyumnya.

Detik berikutnya kuraih sebuah lengan di sebelahku yang sedang menggenggam kemudi.
"Itu pulau siapa, papi ?" tanyaku padanya.

"Dulu itu punya papi..... sekarang punya mami dan Fadil." jawabnya sambil meraih pinggang telanjangku.

Selama perjalanan di yacht ini aku hanya mengenakan sepasang bikini berwarna putih.
Tak ada hijab panjang menutupiku.

Tubuhku dan seluruh jiwaku sudah kuserahkan pada pria tua di sebelahku.
Pria tua yang berhasil kusembuhkan dengan terapi spesialku.
Dan pria tua namun kaya raya itu melamarku menjadi istrinya.
Pak dokter ? konon mengalami kasus malpraktek dan berurusan dengan yang berwajib.
Pacar pak dokter ? konon pula sekarang menjadi PSK high class.
Aku tak perduli.

Kulirik Fadil anakku di buritan.
Ia mengedipkan sebelah mata.


Hatiku berpuisi :


"Duhai tubuh indah,

Engkau sekarang hanya milik pria ini.

Dan juga Fadil"

**********
TAMAT

Catatan kecil :
Penulis memohon maaf jika banyak kendala dalam menyelesaikan kisah fantasi ini.
Penulis memiliki kegiatan lain untuk menghidupi keluarga, dan cerita ini tidak menjadi prioritas utama.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd