babak satu : hujan, nadhira, fitriana.
bagian : 2.
“Kak Tam..” Lala berucap setelah kedua bibir kami berjauhan. Telunjuknya menyeka sedikit liur di ujung bibirnya itu.
“Eh, maaf.” Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Malu.
“Gapapa, aku yang harus minta maaf.” Lala bangkit, bersandar pada sofa di sebelahku.
Kami terdiam cukup lama. Lagu yang ku mainkan di speaker sudah berhenti.
“Em.. kak?” Lala memecah keheningan. Aku menoleh ke arahnya. Jemarinya sibuk memutar-mutar pulpen yang ia genggam.
“Masih kepikiran omongan aku kemarin?”
####
3 Hari lalu.
“Yaudah kakak aku tinggal gapapa ya?” Raut wajah Pucchi yang khawatir menjadi pemandangan mataku yang masih kubiarkan berada di luar selimut. Aku mengangguk pelan.
“Kan biasanya juga besok langsung sembuh, kamu gak usah khawatir.” Tanganku yang lemas berusaha mengelus kepalanya. Ia tersenyum sedikit.
“Nadhin pergi dulu ya, dadah.” Kecupan singkat di pipi kananku mengiringi kepergian Pucchi, meninggalkan aku berdua di dalam kamarku ini.
Iya.
Berdua.
“La, aku nitip Kak Tama dulu ya bentar, gak biasanya dia gini soalnya khawatir juga aku.” Pucchi menggenggam tangan Lala di ambang pintu. Lala tersenyum singkat, lalu mengangguk pelan.
Dari mataku yang meminta terpejam, kulihat Lala datang mendekat. Ia menemaniku pagi ini dengan sebuah kaos oversize dan celana hotpants yang terlihat hanya beberapa senti karena tertutup kaosnya.
“Kak Tam kalo sakit kayak gini?” Ia duduk di sebelahku, tangannya berusaha mencari jemariku, lalu menautkannya saat sudah ia temukan.
“Panas banget.” Sedetik kemudian, raut wajahnya berubah khawatir. Beberapa helai rambut yang ia ikat asal itu jatuh kedepan.
Aku hanya membisu, berusaha memejamkan mata, meski belahan dada Lala sesekali mengintip saat ia sedikit menunduk.
Ayolah, jangan sekarang.
“Kak Tama cepet sembuh ya.” Kecupan singkat mendarat di pipi kananku.
Sialan, dia gak pake beha.
Aku yang berusaha terpejam malah kaget saat kecupan Lala berpindah menuju bibirku. Singkat, memang. Tapi tetap membuatku kaget.
“Eh, maaf kak.” Lala menunduk malu, sejurus berusaha berdiri namun lenganku dengan sigap menahannya. Ia segera membalikan badan kearahku.
“Aku lagi sakit, kamu mau ketularan?” suaraku yang parau berusaha menahan Lala. Matanya sedikit terbelalak, namun kemudian ia kembali duduk di sampingku.
Kami terdiam beberapa saat, membuat decit rotor jam yang berputar menjadi terdengar dengan jelas.
“Sebenernya kak...” Lala membuka mulutnya. Akhirnya, suara selain dentuman jam.
“Sejak pertemuan kita waktu itu, aku sedikit kebawa perasaan.”
Fuck, why?!
“Aku kira kakak cuman memanfaatkan aku sebagai
friend with benefit, berhubung aku kenal Azizi juga. Ternyata enggak.”
Tubuhku yang sedari tadi hanya berbaring, berusaha aku tegakkan sedikit, bersandar pada ranjang.
“Ternyata... kakak orang yang peduli sama orang lain.” Jemarinya saling bermain, berusaha menahan kakinya agar tidak bergetar karena gugup.
“Perasaan selama ini aku gak ngapa-ngapain deh.” Aku mencoba menengahi.
“Justru itu, kakak gak pernah sadar kan? Tiap pagi ngajak sarapan, sesekali nganterin aku kalo kebeneran kakak mau keluar atau kemana sama Pucchi bawa mobil, atau cuman sekedar ngajak duduk di balkon buat cerita sepanjang hari ada apa.” Lala kembali bersuara.
Kami diliputi keheningan, tidak ada kalimat yang keluar dari mulut kami setelah itu semua. Tubuh Lala tiba-tiba merangkak ke atas tubuhku, membuatku sedikit terkejut.
Bibir kami bertemu. Tubuh Lala yang semula sedikit terangkat akhirnya bertumpu pada tubuhku. Ia melepas ciuman kami.
“Fuck me hard, kak. Please.”
###
“Kak..” Lala membuyarkan lamunanku. Aku segera menoleh ke arahnya.
“Eh, em.. Nggak, La.” Dengan canggung aku berusaha menimpali Lala.
Tidak ada sepatah katapun dari kami, hanya keheningnan yang menyelimuti kami berdua.
“Em, La..” Lala menoleh.
“Terimakasih ya.” Raut wajahnya terlihat bingung.
“Buat?”
“Perasaan yang kamu kasih buat aku, meski kamu tau aku punya orang lain. Maaf juga aku gak bisa bales perasaan itu.”
Lala tidak menggubris, namun ia segera duduk di pangkuanku. Ia duduk menghadapku, membuat degup jantungku tak karuan. Tangannya meraih daguku, membuat kepalaku terangkat. Dengan segera, ia melayangan ciuman lembutnya.
Aku tidak ingin membalas ciuman itu, namun nafsu yang bergejolak di dalam diriku berkata lain.
Lengan Lala yang semula memegang kedua pipiku kini melingkar di leherku. Bibirnya masih melumat bibirku dengan sekuat tenaga, lidahnya berusaha mencari-cari lidahku, sesekali mengenai langit-langit mulutku.
“Hnghh...”
Lala mendesah pelan saat kedua buah dada mungilnya itu aku remas perlahan. Ciumanku perlahan turun menuju lehernya yang putih itu, sesekali hidungku mencium wangi parfumnya.
“Parfumnya baru nih?” bisikku jail. Ia terkekeh pelan.
“Hnghh, dii beliin mama, enak?” Ia berusaha menatapku dengan mata yang sudah sayu itu. Aku mengangguk pelan kemudian kembali menciumi lehernya.
“Ahh.. Kak Tam...” Desahannya yang lembut itu akhirnya keluar ketika jemariku memelintir pelan putingnya yang masih tertutup kaos itu. Ia menggeliat kecil ketika putingnya sedikit kutarik.
“Kebiasaan tiap kesini gapake beha ya..” bisikku, lalu mengangkat Lala dan membaringkannya diatas kasur.
“Biarin wle.” Ia menjulurkan lidahnya sedikit. Kedua tangannya ia rentangkan, seperti berusaha menyambutku.
Kaos yang masih membungkus tubuhnya kubuka dan buang sembarang, membuat kedua buah dadanya yang mungil dengan puting ke-merah mudaan itu terpampang jelas di hadapanku.
Dengan segera, aku melahap kedua bongkahan itu dengan beranfsu.
“Hnghh.. pelan... pelann... kebiasaann aahhh...” rengek manja Lala tidak membuatku bergeming, malah semakin liar menghisap.
Tangan Lala berusaha melepas kaos yang masih aku kenakan. Aku yang peka melepaskan mulutku dari dada kanannya, dan mengangkat sedikit badanku.
“Langsung aja kak, aku gabisa lama-lama.. ada Fio di sebelah..” Lala menahan tubuhku setelah kaosku ia lempar asal.
Ia mengangkat tubuhnya, lalu berusaha melepas celanaku. Aku yang tidak mau tinggal diam juga melepas celana yang masih ia kenakan.
“Basah banget.” Ucapku seraya mengangkat celana dalamnya yang sudah basah di bagian depannya. Ia hanya tertawa.
Lala bangkit, lalu mendorong tubuhku ke atas kasur. Ia segera memposisikan vaginanya agar sejajar dengan penisku.
“Maaf ya, gabisa lama-lama soalnya.” Kedua matanya menatapku sayu, lalu tersenyum sedikit.
Bless..
“aaAHHhh.. enaakhhh...” Lala mendesah sesaat setelah penisku memenuhi vaginanya.
Ia terdiam sejenak, lalu mulai menggerakan badannya naik turun. Kedua dadanya bergoyang seirama dengan tubuhnya. Rambutnya yang sudah kusut menambah nafsuku.
“La... ahhkkhh.. enakk La...” aku yang sedang menikmati posisi
Women on top ini tak kuasa menahan desahanku. Vagina Lala yang sempit menjepit rapat penisku.
Bahkan bisa kubilang, lebih hebat dari Pucchi.
Tanganku yang memang tidak bisa diam ini dengan segera meremas dada Lala yang bergoyang naik-turun itu. Lala hanya menikmati sembari sesekali memejamkan matanya.
“Ahhrhghh.. remeshhh.. kaakkkk.. aakkhhh..” Ia mulai meracau tidak karuan, sesekali mengigit bibir bawahnya.
Keringat mulai menetes dari tubuh kami berdua. Lala yang sedari tadi masih menggerakan pingulnya naik turun itu mulai mempercepat temponya, berbarengan dengan aku yang memilin putingnya kasar.
“ARRGHHH.. KAAKK TAMAARHGHHH.. ENAAKKHH KAAKK TERUSSS...” Racauan nya berubah menjadi teriakan yang cukup kencang. Tempo genjotannya meningkat setelah aku mencubit kedua putingnya bersamaan.
“La... erghh.. akhuuu.. mau keluarhhh...” kurasakan spermaku sudah siap untuk menyembur.
“Arhghhh... dhii dalemmmhhh... DII DALEMM KAKK...” Lala mempercepat genjotannya. Jepitan vaginanya juga semakin rapat, mungkin ia akan segera mencapai orgasmenya.
Aku yang semakin gemas mengobok-obok dada Lala dengan kasar.
“Iyaarghhh... ahhh.. kakkk Tammaaahhh.. aahhh...”
“Barengin.. emhhh.. La....”
“AAHHH IYAAHH KAK TAMAAA..... ARGHHH..”
“La... LALAAAAA...AHRHHHH..”
Serr.. serr..
Crott.. crott..
Kami mencapai orgasme bersamaan, dan sesuai permintaan Lala, aku menyemburkan spermaku di dalam rahimnya.
Tubuh Lala ambruk. Nafas kami tersenggal. Ku akui, aku cukup kerepotan mengimbangi jepitan vagina Lala. Semakin pintar saja anak ini.
“Hnghh... makasih kak... enak.. hhehe..” Lala berbisik pelan di telingaku, lalu mencium bibirku singkat.
“Sama-sama La...” aku hanya sanggup memejamkan mataku sembari tersenyum kecil.
Lala segera bangkit, lalu menuju kamar mandi. Entah hanya bersih-bersih atau mandi. Aku memunguti pakaianku dan Lala, lalu mengenakan kembali kaos yang baru kuambil dari lemari.
Fak berantakan...
***
Pip!
Notifikasi Whatsapp muncul di pojok kanan bawah monitorku, membuatku yang sedang asik menyelesaikan pekerjaanku melirik.
02.33
Nadhin<3
Kebangun nih gara-gara hujan diluar. Kakak masih melek kah?
Aku tersenyum membaca isi pesan itu. Mataku kualihkan ke arah jendela. Memang hujan kembali turun di tengah pagi buta seperti ini.
Kuarahkan
cursor ke notifikasi tadi, lalu mengetik pesan balasan.
02.34
Tam-
Masih dong, nge lembur aku demi weekend tenang. Hahahaha
Sebenarnya, setelah permainan dengan Lala tadi, aku ingin mandi lalu tidur. Namun, sebuah keputusan yang salah ketika aku menegak sekaleng beer setelah mandi tadi, membuatku terjaga sepanjang malam.
Aku meregangkan tangan ke udara, lalu berdiri dan menuju balkon, membawa sekaleng beer baru. Meninggalkan layar monitorku yang tengah berada di mode
splitscreen : serangkaian
code di
windows kiri, dan sebuah surel dengan subjek
PENEMPATAN TUGAS DIVISI IT – AREA JAWA TENGAH DAN DIY di
windows sebelah kanan.
--