Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[Copas - dr tetangga sebelah]Antara Istriku, Iparku dan Pembantuku

Lastrinya lagi doongg
 
Mantabs nih story nya hu,bs jd salah satu yg terbaik d frum tercinta ini...semoga lanjut terus sampai dpt label Tamat ya hu...
 
Aku masih menggenjot Vagina Umy ketika bel pintu di rumahku berdenting. Sekertarisku yang dalam posisi terlentang itu terlonjak-lonjak seirama dengan kayuhanku. Kakinya yang sebelumnya menjuntai-juntai ke samping ranjangku kini terangkat-angkat seiring meningkatnya RPM sodokanku. Tubuhnya yang chubby meliuk, tangannya mencengkeram dadaku dan teriakkannya gaduh. Memang Umy selalu berteriak-teriak heboh ketika kami bersenggama.

Kemarin sore mbak Yun harus kembali ke kotanya setelah mendapat kabar bahwa surat cerainya sudah turun dan ada beberapa berkas yang harus ditanda tangani. Aku mengantarkannya ke pool travel dan memberinya uang saku yang cukup. Sebelum dia berangkat, dengan mesra dia memagut bibirku dan membuatku berjanji untuk mengunjunginya suatu saat. Dan aku pun menawarkan padanya untuk tinggal di Semarang dan mencoba mencari pekerjaan di sini. Mungkin dia bisa tinggal di rumahku sementara dia mencari pekerjaan. Bahkan aku berencana mengenalkan ke salah satu kolegaku untuk dapat diterima bekerja di perusahaan dia. Dia menyetujuinya sambil tersenyum penuh arti.

“OOOOHHHHH… PAAAAKKKKK…!!!” Umy mengejang-ngejang sementara maniku ku**kan semuanya ke relung vaginanya. Penisku kubenamkan sedalam-dalamnya. Sementara Umy langsung tergeletak lemas, aku masih menyodok-nyodokkan penisku untuk menikmati sisa-sisa orgasme yang masih menggelayut di ujung batang zakarku. Umy kembali tergoncang. Aku mengecup bibirnya dalam-dalam.

“Ada yang pencet bel,” kataku di sela engahan.

“AGHH…” erangnya pelan saat aku mencabut senjataku dari liang Vaginanya. Sekilas kulihat spermaku meleleh keluar dari bibir vaginanya yang memerah setelah hampir setengah jam kugenjot tadi. Pagi itu, Umy, sekertarisku, memang kuminta datang ke rumah sambil membawakan materi rapat untuk nanti siang, karena aku bilang padanya bahwa hari itu aku akan berangkat siang, kemaren kelelahan ‘mengurusi’ kakak ipar ponakanku yang sedang dalam proses perceraian. Tentu aku tidak menjelaskan dengan detail maskud dari ‘mengurusi’ tersebut.

Umy datang sesaat setelah aku keluar dari kamar mandi. Karena aku tahu kalau yang datang dia, tanpa repot-repot memakai baju, aku langsung membukakan pintu. Tanpa dikomando, dia mengikutiku ke kamar dan kita ngesex. Kita memang sering banget ngesex tak tahu tempat, kadang di kantor, di sela-sela break rapat, di apartemen dia, di hotel, bahkan pernah di parkiran kantor.

Dengan hanya memakai kimono sembarangan, aku bergegas ke arah pintu.

“Siapa?” tanyaku.

“Pah, ini aku, Lastri…” jawab suara dari luar.

Eh? Lastri? Pintupun kubuka sambil kubenahi kimonoku yang serampangan. “Lho, gak menunggu rombongan yang dari mbak Yun gede, Las?” tanyaku.

“Enggak, Pah, jadwal rombongan mama masih TIGA HARI lagi. Lastri udah bosen di kampung.”

Well?


Lastri balik sendirian ke rumah, TIGA hari lebih cepat dari jadwal kedatangan rombongan istriku. Jadi selama tiga hari ke depan, doi bakalan di rumah hanya denganku...

“Ooo… ya udah, masuk. Bawaanmu mana?”

“Cuman ini aja kok, Pah. Kemaren juga Lastri gak bawa baju banyak waktu balik ke kampung, cuman ini ada oleh-oleh dari emak.” katanya sambil melangkah masuk.

“Weh, kok repot-repot to, Las…”

“Enggak kok, Pah, cuman sedikit… mmm, papah gak sendiri yah?” tanyanya menyelidik.

“Enggak, ada bu Umy tuh di kamar.”

“Eh? Bu Umy? Di kamar? Kok di kamar, Pah?” tanyanya terkejut.

“Eh… dia numpang ke kamar mandi, tadi datang bawain berkas buat rapat nanti siang.”

“Oooo…” katanya masih (kelihatan) menyelidik sambil melihat badanku yang masih penuh keringat.

“Ya udah, Pah, Lastri permisi ke kamar dulu.” lanjutnya.

“Ok,” jawabku pendek. “Las, ntar malem gak usah masak aja, kita makan di luar, Papah paling pulang sebelum jam 6, mandi bentar trus kita keluar yah?”

“Iya, Pah…” katanya sambil berjalan masuk ke kamarnya, di depan kamarku dia sempat berhenti dan melirik ke dalam, untung saja Umy sudah tidak tergolek telanjang di atas ranjangku dengan berlumuran lendir, kalau tidak… ya ga papa sih sebenernya…

***

“Las…” panggilku sambil membuka pintu kamarnya.

“Iya, Pah…” sahutnya sambil reflek menutupkan handuk ke badannya. Rupanya dia habis mandi dan sedang mau berganti baju.

“Eh, maaf…” kataku sambil mencoba menutup pintu kamarnya lagi.

“Ah… gak apa kali, Pah…” jawabnya polos sambil tersenyum aneh.

“Eeh, gini... Papah berangkat dulu. Kamu istirahat aja dulu, gak usah kerjain apa-apa, kan masi capek habis perjalanan. Tadi pagi Papah sudah bersihin rumah kok, cuman nanti akan ada orang anterin laundry, uangnya di meja telepon… eeemm, apa lagi ya? Eh, dan untuk makan siang, papa dari kemaren cuman beli roti, semua ada di kulkas, kamu makan aja...”

“Iya, Pah…”

“Kamu mau nitip apa kalau papah pulang nanti?” tanyaku lagi.

“Enggak, Pah, makasih… kan katanya mau keluar lagi.”

“Eh, iya, ding… ya udah, baik-baik ya di rumah.”

Lastri cuman tersenyum dan mengangguk. Sumpah man, gimana gitu. Sekilas terbayang adegan ciuman kita beberapa minggu yang lalu. Akupun mengerjap, memaksakan kesadaranku untuk segera kembali ke akal sehat, lalu berbalik. Beberapa langkah kemudian aku menengok dia. Dia masih mematung di posisinya semula masih dengan hanya selembar handuk yang menutupi badannya sambil masih (juga) tersenyum, kali ini sedikit ada pancaran geli di matanya. Sialan memang anak 17 tahun ini. Dan sejak ciuman itu, aku selalu salting di depan dia. Brengsek, macem ABG aja aku nih!

***

Aku bergegas membuka pintu depan, jam tanganku sudah menunjukkan pukul 18.45, memang pertemuan itu memakan waktu sedikit lebih lama dari yang kuperkirakan. Tapi sebenernya SO WHAT? Kenapa hanya karena terlambat sedikit dari janji pulang sebelum jam 6 dengan pembantu kecilku, Lastri, aku jadi grasa-grusuh gini? Macem abg janjian ama gebetan barunya aja. Memasuki ruang tamu, kucoba untuk meraih kembali kendali diriku. Kupelankan langkahku, kuatur nafasku dan kubuat pembawaanku sekalem mungkin. Dan aku kembali melangkah.

Di ruang tengah kulihat Lastri sudah rapih, duduk dengan manis dengan menonton tayangan sore. Aku berdehem, dengan ringan kulihat dia menoleh. “Eh, Papah. Maaf, Pah, Lastri gak mendengar mobil papah masuk ke halaman… jadi tidak bukain pintu…” katanya sambil bergegas bangkit dan mengulurkan tangannya untuk mengambil koper kerjaku.

“Eh, ga papa, Las. Papah emang ga masuk halaman, mobil papah parkir di jalan… emm, maaf papah agak telat, soalnya tadi rapat… ee…”

“Ya gak papa to, Pah, kan kerjaan papah lebih penting…” katanya sambil tersenyum.

Aku hanya bisa membalas senyumannya sambil garuk-garuk kepala… kemaren kakak iparku yang sok berperan sebagai istri yang manis, sekarang ada anak umur 17an yang sok mengerti aku, sok jadi seperti pacar yang pengertian. Panggilnya papah, tapi sikapnya GFE. Buset, what a life I had.

Geleng-geleng kepala aku menggeloyor ke kamar, sekilas kulirik Lastri yang berjalan ke arah ruangan kerjaku untuk menaruh koperku di sana. Dia kulihat memakai kaos ketat lengan panjang berwarna pink muda dengan potongan leher sampai bahu, daleman you can see kuning tampak melintang di pundaknya, dipadu dengan semcam balero jala-jala putih yang agak gombrong sepaha. Sedangkan di bawahnya dia memakai hotpants dari jeans hitam sebatas paha yang mempertontonkan kakinya yang jenjang dan putih khas remaja.

Rambutnya disisir ke belakang dengan memakai japitan di tengah kepala dan sisanya dibiarkan tergerai. Di telinganya dua anting berbentuk Winnie the pooh berwarna senada dengan kaosnya menempel dengan lucu, dan beberapa gelang warna-warni menghiasi tangan-tangan rampingnya, tidak lupa beberapa aksesoris kalung juga menjuntai dengan indah melewati dada kecilnya. Sepatu flat standar yang dia pakai aku ingat betul, itu hadiah ulang tahun dari kami sekeluarga, sepatu keluaran Zara ini memang sedikit agak mahal untuk hadiah kepada pembantu, tetapi sekali lagi Lastri sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri. Tidak ada istilah pembantu di keluarga kami, semuanya bekerja sama dalam hal mengurusi rumah.

Tak lama kemudian aku bergegas keluar dari kamar mandi, kulihat sebuah celana jeans dan T-Shirt hitam faforitku, dengan seperangkat pakaian dalam sudah ada di ranjangku yang sudah diganti spreinya. Sprei yang seingatku tadi pagi penuh dengan lelehan lendirku dan Umy yang aku genjot di sana. Aku tersenyum simpul memikirkan betapa beruntungnya nasib bajingan seperti diriku. Sambil garuk-garuk keapala aku pun memungut pakaian yang sudah disiapkan gadis kecilku itu. Ah, bahkan sampai berpakaianpun dengan halus Lastri berhasil mengaturku. Aku semakin geleng-geleng kepala. What a life!

“Sudah siap?” tanyaku saat kulihat Lastri dengan telaten duduk di ruang tangah, sedang TV sudah dia matiin.

“Sudah, Pah.” jawabnya. Aku semakin geleng-geleng kepala. Perasaan jadi kayak mo ngedate… padahal cuman mau makan aja.

“Lastri mau makan apa?” tanyaku ketika mobil kita sudah mulai jalan.

“Apa aja deh, Pah.” jawabnya yang duduk di sampingku.

“Papah ajak ke tempat yang special, namanya Laluna. Tempatnya asik, dari sana bisa liat pemandangan Simpang Lima.”

“Wah, kedengarannya asik banget tuh, Pah.” jawabnya, entah beneran ato tidak tetapi matanya kulihat berbinar semangat seiring dengan senyum lepasnya waktu mengatakan hal itu, sesuatu yang akan bikin cowok manapun akan berbesar hati karena merasa amat sangat dihargai pilihannya. Bisa aja nih anak!

Aku segera berbelok ke arah ruang parkir yang kosong, kamipun segera keluar dari mobil. Waktu menunjukkan pukul 19.15 saat aku lirik jam tanganku.

“Lastri sudah lapar banget atau mau jalan jalan dulu di mall?” tawarku pada gadis kecil yang sekarang berjalan sedikit menghimpit di sebelah kiriku.

“Mmm… kalau papah ngasih pilihan jalan dulu, ya… jalan dulu lah, Pah…” jawabnya sambil tertawa renyah.

“So it is…” desahku.

Kami pun memasuki jembatan yang menghubungkan tempat parkir dengan mall. Sepanjang jalan Lastri kelihatan riang. Seperti layaknya ABG aktif, dia ‘meloncat’ dari stand ke stand lain sambil memegang apapun yang berbau fashion dan pernak-perniknya. Dan aku seperti om genit yang tolol mengikuti kemanapun arah langkahnya. Sesekali dia mengapit mesra tanganku sambil menunjukkan barang-barang yang membuat dia tertarik. Setiap kali pula aku menawarkan apakah dia mau membelinya, dan hampir setiap kali dia menolaknya, dia cuman mau windows shopping, katanya. Dan lucunya setiap kali ada orang memandang aneh kepada kami, karena (sumpah) ane emang nampak seperti om-om genit yang baru nurutin keinginan ABG simpenannya, dia selalu (mungkin) dengan sengaja panggil aku ‘Papah’ dengan keras. Mungkin Latri mengira panggilan itu bisa mengaburkan pandangan negative mereka. Bisa aja ni anak. Seperti di salah satu boutique yang kita masukin.

“Pah, ini bagus ga?” kata Lastri dengan keras setelah dia memilih dan mencoba sebuah dress terusan dengan atasan model gombrong dan bawahan berupa rok mini yang ketat berwarna hijau gelap yang kontras dengan kulitnya yang putih.

Aku tidak menjawab, hanya tersenyum kalem sambil mengacungkan jempol.
“Putrinya, Pak?” tanya salah satu dari mereka, aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan itu.

“Udah besar ya? Padahal papanya masih muda gini,” kata mbak itu semakin genit.

“Yah… aku bersyukur sekarang, do’aku dijawab oleh Tuhan; kenakalan masa remajaku ternyata diampuni oleh tuhan dengan mengirimkan malaikat cantik itu kepadaku.” jawabku sedikit berteka-teki.

“Ooo… terus mamanya? Eh, maaf lho, Pak, malah jadi nanya-nanya, abis penasaran sih, hihihi…”

“Pernah lihat pernikahan usia dini bermasalah?” jawabku sambil meliriknya.

“Buanyaak banget kale, Pak, malah hampir semua…” jawabnya.

“Nah, itulah yang terjadi.” aku tersenyum lagi sambil mengangguk-angguk ke arah Lastri ketika memberikan persetujuan atas baju lain yang sedang dia coba.

“Ooo… mau dunk jadi mamanya, hihihi…” temennya ikut menimpali. Aku hanya tersenyum geli mendapati ‘sandiwara’ spontan kami di respon dengan sangat meyakinkan oleh orang-orang itu.


Pukul 20.30 kami duduk di restoran di meja yang memang sudah aku pesan sebelumnya. Beberapa tas belanjaan terpapar di samping kursi Lastri. Akhirnya belanja juga…

“Makasih ya, Pah, malah jadi beli beliin Lastri yang macem macem…” katanya ketika pelayan yang mencatat pesanan kami berlalu. Aku hanya tersenyum memandang wajah dia. Entah apa yang ada di otakku.

“Iya, pemandangannya indah banget dari sini, Pah… kalau gak diajak papah, mana mungkin Lastri sampai ke tempat ini.”

“Iya, kadang papah kalau merenung suka ke sini sendirian, tempatnya adem dan inspiratif…”

“Dan romantis…” timpalnya.

“Eh, oya? Menurut kamu gitu?” aku sedikit geli dengan kata itu.

Lastri hanya tersenyum.

***


Kami memasuki rumah pada jam 22.30. Lastri sedikit limbung didukunganku karena mungkin sedikit mabok. Mabok? Yup, seperti kebiasaanku saat makan di Laluna, aku pasti membuka wine untuk menemani Tenderloin Black Pepper Sauce yang kupesan. Dan dia bersikeras untuk ngerasain wine. Sudah kubilang itu mengandung alkohol, tapi dia maksa. Setelah seteguk melewati tenggorokannya, dia bilang enak juga, ujung-ujungnya kita open sampai dua botol. Buat anak yang (mungkin) seumur-umur belum pernah minum alcohol, hasilnya ya teler. Fuih… emang badung ni anak!

Memasuki ruang tamu, aku tidak sabar menuntun langkahnya yang terhuyung, segera tubuh mungil itu aku gendong. Matanya yang setengah sadar, menatap manja kepadaku sambil tersenyum. Pikiranku mulai kacau. Entah kenapa dada kecil yang melengkung di boponganku dan sentuhan paha pada lenganku membuat libidoku terbakar. Kegilaanku tersulut, niatku untuk tidak sampai menidurinya karena sudah aku anggap anak sendiri aku khawatir akan segera pupus...

“Pah…” panggilnya.

“Iya…” jawabku, masih menggendongnya.

“Malam ini Lastri bobok di kamar papah ya?” pintanya menggoda.

“Kamu mabuk…” kataku pendek.

“Mabuk cinta…” desahnya sambil menggeliat mengeratkan pelukannya kepadaku.

Eh?

Aku geleng-geleng kepala, mengabulkan keinginannya. Aku menggendongnya berbelok ke kamarku. Sesampainya di sana, langsung aku rebahin ke ranjangku. Ranjang yang sudah menjadi saksi bisu kebejatanku dalam menggumuli wanita-wanita selain istriku. Tubuh mungil itu tergeletak pasrah di sprei putih dalam terangnya lampu kamar yang memang sengaja aku nyalain semua. Menghindari aura romantis apapun yang bakalan mematahkan niatku untuk menjaganya.

“Kamu mabok, Las… cepat tidur, biar besok tidak pusing kepala…” bisikku lirih.

“Iya, Pah… aku mabuk… aku mabuk cinta, Pah… cinta sama Papah… aku sayang papah… peluk aku, Pah… please…” jawabnya sambil menggeliat lalu mencengkeram bahuku kuat-kuat.

Aku melepaskannya dengan lembut lalu beringsut sambil garuk-garuk kepala. Setengah mati aku menahan libidoku untuk tidak segera menggumuli dia dan menyodokkan Penisku ke lobang Vaginanya yang pastinya masih sempit dan legit. Aku bertahan mati-matian. Tapi… kenapa aku bertahan mati-matian? Rasa sayang kah? Ini gila! Ini membuatku gila! Dan semua kegilaan ini… Arrrgh!!

Lastri sudah mulai tenang, aku membelai kepalanya, dan menatapnya lekat-lekat lalu aku (entah dorongan dari mana) mengecup keningnya. Dia tersenyum. Kali ini harus aku akui lagi, man! Senyumannya emang manis… lalu kelopak matanya yang memang sudah sayu itu perlahan menutup, sedetik kemudian desisan nafas halus sudah terdengar dari hidungnya. Dia tertidur. Aku geleng-geleng, lalu tertawa sendiri. Keluar dari kamar, aku menghampiri kulkas dan mengambil satu botol air dingin. Kuteguk sampai setangah, sedangkan setengahnya lagi aku siramkan ke kepalaku.

***

Selimut itu kubenerin, karena aku masih merasa dingin dan belum ingin bangun. Di dalamnya aku masih menggeliat dengan enggan, bersiap untuk tidur lagi, ya karena aku tahu hari itu aku libur… sampai guyuran kesadaran itu menghampiriku. Aku terlonjak. Siapa yang menyelimutiku? Seingatku semalam, setelah mati-matian bertarung dengan libidoku sendiri, aku keluar untuk minum air dingin dan mengguyur kepalaku, lalu aku merebahkan diri di sofa. Yap ini sofa yang sama dengan semalam, hanya plus selimut. Aku tersenyum menyadari kemungkinannya. Lastri.

“Eh, Papah sudah bangun?” suara Lastri terdengar.

Ternyata dia sudah mandi dan mulai bersih-bersih rumah. Itulah salah satu yang membuat kami sayang sama dia, Lastri ni di luar usianya yang masih seumur jagung, dia rajin dan bertanggung jawab. Bahkan pada saat kita menawarkan untuk melanjutkan SMA aja di kota ini, dia menolak, dia bilang dia ikut keluarga kita untuk kerja dan membantu kami, bukan untuk merepotkan. Akhirnya kita sepakat untuk mengikutkan dia ke program home schooling. Dengan ijazah nantinya setara SMA. Karena kita semua sayang dia. Sayang dia… mmm, kukira baru-baru ini kata itu memiliki arti tersembunyi antara aku dan dia… or is it, cuman buatku? GILA!!!

“Yap, papah mau mandi dulu…” ujarku singkat sambil melompat bangun dari sofa ruang tengah, tempat aku tertidur semalam. Ough… kepalaku pusing banget, kemungkinan besar hasil kolaborasi antara alcohol, dinginnya guyuran air es dan nahan libido semalem. Kombinasi yang sadis!

“Pah…” panggilan Lastri menghentikan langkahku.

Aku melirik lalu berbalik dan mengangkat alisku, isyarat kepadanya untuk melanjutkan perkataannya. Terlihat rambutnya yang sedikit berombak masih basah sehabis keramas, dia memakai kaos putih agak longgar berpotongan leher lebar dengan hotpants pantai yang longgar pula. Seger cuy…

“Lastri… minta maaf, kalau semalam… merepotkan… dan… berlaku tidak sopan… yang… mungkin bikin papah tidak berkenan… Lastri gak tau kenapa latri berani berlaku seperti itu… maafin ya, Pah…”

“Mmm, enak aja minta maaf gitu aja… kamu harus dihukum…” kataku bercanda sambil senyam-senyum dan mengangkat-angkat alis.

Lastri tersenyum, lalu sambil mengangkat-angkat alis juga menirukanku, dia bilang, “Lastri siap dihukum apapun, Pah…”

“Apapun? Hmm, ntar deh papah pikirin hukumannya…” Aku berbalik sambil jual mahal.

Dari sudut mata, kulihat dia tersenyum genit sambil menjulurkan lidah. Awas ya!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd