Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[copas] Mamanya Eri

Bimabet
Besoknya Bu Bambang menyuruhku membeli tiket untuk pertandingan bola beberapa hari kedepan. Begitu tiba di lokasi penjualan tiket, aku terkejut karena begitu banyak orang mengantri, begitu banyak orang di satu tempat, begitu banyak orang di sekitarku.

Aku tak tahan. Aku langsung berlari ke rumah.

“Wow, cepat juga ya.”

Bu Bambang bicara dari dapur begitu mendengar aku pulang.

Aku langsung ke kamar. Kujatuhkan diri ke kasur. Rasanya aku ingin menangis sejadi – jadinya. Meski tidak menangis, mungkin terlihat seperti menangis. Kayak anak kecil saja, bahkan tak sanggup beli tiket. Kuhentakkan kepala ke kasur beberapa kali.

Kutarik nafas dalam – dalam. Mencoba mengusir rasa malu akibat kegagalanku. Apa yang Bu Bambang pikirkan kini? Pintu diketuk, lantas terbuka.

“Kamu gak apa – apa Li?”
“Iya. Entar juga baikan kok.”

Aku sengaja membelakangi pintu, agar gak bisa dilihat Bu Bambang.

“Gak usah dipikirkan. Biar nanti Bapak yang beli tiketnya sekalian pulang kerja.”
“Yah, bukan kejutan lagi dong.”
“Tetap saja, Bapak sudah senang kamu ngajak Bapak nonton bola.”
“Apa iya Ali sanggup nonton, sedang beli tiket saja Ali gak sanggup. Pokoknya biar Ali coba lagi beli tiket.”
“Iya. Ibu ada di rumah kok kalau Ali butuh.”

Sepuluh menit kemudian aku keluar kamar. Aku ingin membuktikan pada Bapak dan Ibu Bambang kalau aku bisa. Aku bukanlah anak kecil yang mudah ditakuti.

Kudapati Bu Bambang di dapur. Lantas kusadari beliau di sana bukan untuk masak, namun menungguku. Kudekati lantas Bu Bambang memelukku. Rasanya aku seperti termotivasi lagi.

Aku berlutut di pelukannya. Kepalaku menekan perutnya. Tangannya mengelus rambutku.

“Sshhh...”

Aku menangis. Tanganku gemetaran. Kulihat keatas. Aku terkejut melihat ekspresinya yang menyatakan ketidakberdayaan.

Kenapa Bu Bambang terlihat tidak berdaya? Bukankah yang yang memiliki ketakutan berlebih. Jangan – jangan Bu Bambang begitu peduli padaku. Tak mampu menolong orang yang sangat dipedulikannya mungkin membuat Bu Bambang tak berdaya.

Kupegang roknya lantas ku angkat.

“Jangan Li, Bapak bentar lagi pulang.”
“Ali ingin liat hadiah Ali biar bisa beli tiket.”
“Udah telat Li. Besok lagi aja.”
“Enggak.”

Kuangkat lebih tinggi lagi roknya hingga terpampanglah cd Bu Bambang. Kuserahkan rok ke tangannya.

“Pegang Bu.”

Kulihat cd Bu Bambang.

“Ali.”
“Ssshhh...”

Bu Bambang kini menyandarkan tubuh ke meja. Roknya tetap terangkat. Tanganku memegang pantatnya, hidungku mengelus selangkangannya sambil menghirupnya.
Tangan Bu Bambang kini mengelus rambutku. Kucium selangkangannya dengan mulutku. Kujulurkan lidah lantas kusapu. Kukakukan lidah dan kudorong membuat Bu Bambang mengerang.

Kujilati lagi layaknya menjilati es cone dulu. Jilatanku makin cepat. Erangan Bu Bambang makin tak jelas.

“Sudah Li, sudah.”

Bu Bambang mencoba menutup pahanya, namun tanganku menahannya. Hingga akhirnya kupelorotkan cdnya.

Terlihatlah kini memeknya. Kujulurkan lantas kujilati memeknya. Tangan Bu Bambang makin meremas kepalaku, namun bukannya ditarik, malah ditekannya. Kumasukan lidahku sedalam mungkin ke memeknya, lantas kugerakan keluarmasuk.
Kuhentikan dorongan lidahku, kuganti dengan sapuan dari bawah ke atas.

Kini kucoba memasukan satu jari ke memeknya. Erangan Bu Bambang makin terdengar jelas.
Kukocok jariku. Saat aku merasa Bu Bambang akan orgasme, kucabut jariku lantas kusapu lagi memeknya dengan lidahku.

“Ohhhhhhh....”

Bu Bambang menjerit, pahanya menjepi kepalaku.
Kepalaku mulai bisa bergerak lagi saat pahanya tak lagi tegang. Namun tanganku tak lepas dari pantatnya hingga Bu Bambang tak mengejang lagi.

Kulepas cd yang masih menempel di kakinya, lantas berdiri. Rok daster Bu Bambang kembali melorot. Napasnya masih tak menentu namun matanya terlihat senang. Tak terlihat sorot mata kecewa dan atau marah. Kumasukan cdnya ke saku celanaku.

“Ali pasti bisa kali ini.”
“Tunggu Li.”

Aku berbalik. Bu Bambang meraih tisu dan mengelap wajahku.

“Beli juga buat Ibu. Ibu juga ingin nonton.”
 
Anehh..... Kyknya ni TS nGopy ceritana asal2an gak sesuai alur ini
 
Ternyata tak begitu sulit. Pas pertama, ketakutan begitu mencengkramku. Tapi, setelah termotivasi dengan baik, akhirnya aku bisa menguasai rasa takutku, membeli tiga tiket. Bahkat setelah itu, aku beli es kelapa muda dan meminumnya dengan santai.

Aku jadi heran, kenapa rasa – rasanya selalu begitu menakutkan berada di keramaian. Kini aku pulang dengan santai, tak berlari lagi.

***

Malamnya, seperti biasa kami makan bersama.

"Ali tadi pergi lagi lho."
"Iya?"

Pak Bambang menatapku, lantas menatap istrinya, seolah meminta penjelasan.

"Dia beli sesuatu lagi."
"Beli apa lagi sih?"
"Coba kasih liat Bapak, Li."

Kuraih tiket dari saku, lantas kutaruh di depan Pak Bambang. Pak Bambang meraihnya lantas membacanya.

"Tiket? Kamu beli tiket bola?
"Kamu yakin Li?" tatapnya padaku. Lantas Pak Bambang menatap istrinya. "Apa dia siap?"
"Dia gak kenapa – napa kan."

Pak Bambang kembali menatapku.

"Apa kamu mau Li?"
"Iya pak. Ibu bilang gakkan terjadi apa – apa kok."
"Baguslah kalau gitu. Bapak senang kita bakal nonton bola."

Tangan kanan Pak Bambang lantas memengang tangan kiriku, sedang tangan kiri Pak Bambang memegang tangan kanan istrinya.

"Kita nonton besok."

Lantas kami tertawa.

***

Malamnya tak ada acara Bu Bambang mempertontonkan kaki. Yang ada malah kami bertiga nonton tv bersama sambil ngobrol. Aku merasa bahagia, aku merasa menjadi bagian keluarga ini. Eri sungguh beruntung lahir di keluarga ini. Aku harap Pak Bambang tahu apa yang memotivasiku dan tak merasa keberatan.

Kucoba bayangkan Eri berada di posisiku dan mendapat perlakuan khusus dari ibunya. Apakah ayahnya akan marah? Apakah mereka bisa berbagi satu wanita cantik ini bersama?

***

Berbaring di kasur, sambil nunggu Bu Bambang aku mencoba berandai – andai. Andai orang tuaku belum meninggal, apakah kehidupanku akan seperti barusan?
Namun anehnya aku tak bisa membayangkannya.

Aku jadi merinding karena tak bisa membayangkan kehidupanku bersama orangtuaku, andai belum meninggal.

Aku bahkan tak bisa menggambarkan secara jelas wujud dan atau wajah kedua orangtuaku. Aku tak ingat suara orangtuaku.

Ada apa denganku? Bukankah belum terlalu lama orangtuaku meninggal. Apakah kematian orangtuaku begitu membuatku trauma?

Akhirnya kuputuskan untuk tak memikirkan orangtuaku.

Mendadak muncul suatu bayangan saat aku disuruh beli sepatu. Saat aku duduk, aku melihat di luar toko ada seorang ibu yang lagi menyusui. Namun anehnya aku merasa ganjil.

Sang bayi berbaring di roda bayi. Yang menyusu malah anak yang lebih besar, kutaksir usianya tiga tahun. Karena dia menyusu sambil berdiri.

Rupanya sang ibu sadar sedang diperhatikan. Dia lantas menatapku. Wajahnya mendadak terlihat seperti malu karena ada yang menyadari kalau dia menyusui anak yang bukan bayi.

Kenapa pikiran ini mendadak muncul?

Bu Bambang masuk, pikiranku tentang orangtua serta adegan di mall mendadak lenyap. Bu Bambang naik ke kasur, namun tak berbaring, melainkan berlutut.

"Bapak begitu senang kita akan pergi nonton. Ibu bilang mau bikin susu dulu, lantas Bapak nyuruh Ibu berterimakasih sama kamu andai kamu belum tidur."
"Bapak ternyata baik ya orangnya."
"Iya, tapi Ibu rasa bapak sedang bahagia, begitu bahagianya hingga sepertinya bakal sulit tidur."
"Jadi, Ibu gak bisa lama?"
"Iya. Tapi kamu berhak mendapat hadiah atas keberanian kamu."
"Saat beli sepatu, Ali liat ibu – ibu nyusuin anaknya."
"Oh, terus kenapa kamu pikirin?"
"Yang nyusu bukan bayinya"
"Tentu bayinya. Masa dia nyusu bayi orang lain."
"Maksud Ali, bayi ada di keranjang Bayi, ibu itu nyusuin anak yang lebih besar."

Tatapan Bu Bambang mendadak menyiratkan sesuatu.

"Berapa tahun?"
"Entahlah. Tiga atau empat tahun mungkin."
"Terus kenapa? Apa terasa aneh?"
"Iya."
"Apa mamamu juga masih nyusuin kamu saat udah gede?"

Aku tak menyadari itu sebelumnya. Tapi anehnya aku tak memiliki ingatan tentang hal itu sama sekali.

"Mungkin. Entahlah."
"Menurutmu salah ya kalau seorang ibu mencoba menenangkan anaknya?"
"Entahlah. Iya mungkin."
"Gak ada yang salah jika seorang ibu menenangkan anaknya."

Bu Bambang lantas mengeluarkan satu susu dari dari lubang kerahnya.

"Nih, coba. Biar kamu tahu sebagaimana menenangkannya."

Lantas Bu Bambang merendahkan tubuhnya hingga susunya berada tepat di depan mulutku. Perasaanku sungguh luar biasa. Tangannya memegang kepalaku, menekannya. Tanganku masuk ke dalam dasternya mencoba meraih susu yang satunya lagi.

"Ali suka gak?"

Aku menggangguk sambil mencoba bersuara.

"Kamu bisa ingat gak rasanya saat dulu kamu nyusu sama ibumu?"

Aku menggelengkan kepala tanpa melepaskan mulut dari susunya.

"Ibu yakin kamu menyukainya. Bahkan setelah gede, bukan bayi lagi."

Aku menggelengkan kepala, namun ada sesuatu pada suaranya yang meyakinkanku kalau Bu Bambang benar. Bagaimana Bu Bambang bisa mengetahuinya? Ibuku dan Bu Bambang bukanlah teman dekat. Jangan – jangan Bu Bambang juga menyusui Eri saat Eri sudah gede, gak lagi bayi. Aku jadi terangsang dibuatnya.

Kulepas mulutku, "aku suka nyusu susu mama." lantas aku kembali nyusu.

Tanganku mencoba menaikan rok dasternya. Aku ingin cdnya lagi.

"Mah," kataku saat mulutku lepas dari satu puting menuju puting yang lain.

Kata – kataku seolah membuat Bu Bambang makin liar. Kini dia menggesekan selangkangannya pada selangkanganku. Kuangkat terus dasternya, Bu Bambang menaikan pinggul agar dasternya bisa lewat.

Ternyata Bu Bambang gak pake cd. Kuelus pantat Bu Bambang. Jemariku kugerakan ke anusnya, lantas menurun hingga ke memeknya. Kucoba masukan jari ke memeknya, sedang jempolku mencari lubang anusnya. Lantas kumasukan dua jari ke memek Bu Bambang.

Kulepas tangaku dari memek Bu Bambang. Kuselipkan diantara tubuhnya dan tubuhku untuk melepas celana pendekku. Kuangakt pantat dan kudorong hingga lepas.

"Jangan Li."

Namun Bu Bambang tak bangkit. Bu Bambang hanya menggesek – gesek memeknya ke kontolku. Aku ingin lebih. Kubiarkan Bu Bambang untuk sesaat, agar dia mengira aku takkan bertindak lebih jauh lagi.

Saat kurasakan nafsu Bu Bambang makin liar, kuputuskan untuk mencoba peruntungan. Ku angkat sedikit pantatnya lantas kucoba masukan kontol ke memeknya.

Bu Bambang mengerang tanda protes. Tapi memeknya malah menurun mencoba menelan batang kontolku seutuhnya.

"Jangan."

Tapi pinggulnya berkata lain. Pinggulnya mulai bergerak liar. Tanganku memegang dan mengelus punggungnya agar tetap menyatu. Aku serasa di surga. Kuraih rambutnya dan kutarih agar wajahnya bisa kulihat.

Ekspresinya seolah tak peduli. Akhirnya aku keluar. Bu Bambang keluar.

Kira – kira sepuluh menit Bu Bambang diam menindih tubuhku. Aku tak menyesal. Kukira Bu Bambang juga tak menyesali apa yang telah terjadi.

"Wow," aku akhirnya bersuara.
"Hehe."
"Nikmat Bu."
"Jangan panggil Ibu dengan kata mama."
"Emangnya saya bilang mama?"
"Iya. Jangan ya!"
"Maaf Bu. Ali gak bermaksud..."
"Jangan dipikirin. Hanya saja malah membuat Ibu makin terangsang, makin liar lupa diri."
"Benarkah?"

Bu Bambang tak menjawab, malah tertawa.

"Kalau gitu, boleh gak Ali panggil mama?"
"Boleh. Kamu lebih terangsangkan kalau panggil ibu mama?"
"Iya. Gak tahu kenapa, mah."
"Gak usah dipikirin."

Bu Bambang lantas bangkit dan membenarkan dasternya.

"Ibu tahu kenapa kamu panggil ibu mama."
"Benarkah? Kenapa?"

Bu Bambang memilih pergi daripada menjawab. Kenapa dia bilang begitu? Kenapa dia tahu kalau mamaku menyusuiku bahkan setelah aku bukanlagi bayi?

Meski bisa saja dia melihat mamaku menyusuiku, tapi batinku berkata kalau dia tahu lebih banyak lagi.
Jadi apa maksudnya kalau dia tahu kenapa aku memanggilnya mama? Apa Bu Bambang tahu sesuatu antara aku dan mama kandungku? Apakah itu yang membuat Bu Bambang makin terangsang?

Jangan – jangan Bu Bambang sudah ngentot anaknya? Rasanya tak mungkin Bu Bambang ngentot Eri, kecuali mungkin mengkhayalkannya.

Jangan – jangan Pak Bambang tahu khayalan istrinya, hingga seperti tak menerima kehadiranku, meski kini sepertinya lebih bisa menerima kehadiranku.

Semua pikiran ini malah membuatku pusing hingga akhirnya tidur.
 
Aku bangun lantas melihat jam. Hari sabtu. Aku ingat, kalau sabtu Pak Bambang selalu keluar bersama teman – temannhya. Berarti hanya aku berdua sama Bu Bambang. Langsung aku bangkit dan keluar kamar.

Kulihat Bu Bambang memakai pakaian yang belum pernah kulihat. Kaos ketat dengan rok mini.

"Gimana, kamu suka gak?" katanya saat melihatku menatapnya.
"Iya mah, suka."
"Jangan mulai Li."
"Iya deh. Tapi, pake apa pun pasti terlihat cantik kok."
"Kok malah ngegombal."
"Mau dibikini nasi goreng?"
"Gak ah, roti aja."
"Yakin nih? Gak lama kok?"

Bu Bambang ingin menyenangkanku, kok aku malah nolak sih?

"Iya deh, nasi goreng."
"Ibu juga lapar nih."

Lantas Bu Bambang mulai memasak. Kulihat kakinya yang sungguh seksi, padat berisi.

"Siap ntar nonton?"
"Iya."
"Bakal banyak penonton lain lho. Tapi tenang aja, kan ada Ibu dan Bapak."

Rupanya Bu Bambang menyadari tatapanku di pantatnya.

"Ntar, tunggu abis nonton."
"Meski Ali sebut mama?"
"Iya," jawabnya sambil menghela nafas.
"Oke deh mah. Udah mateng belum?"
"Bentar lagi. Ibu gak keberatan dipanggil mama, asal saat gak ada bapak."
"Siap."

Aku mendekat hingga berada di belakangnya.

"Mateng?"
"Iya, masih panas nih."

Kupegang pantatnya.

"Gak apa – apa, lagian belum laper bener kok."

Bu Bambang menghindar berbalik mengambil piring, tapi aku ikuti. Kami makan sambil ngobrol. Sengaja beberapa kali aku memanggilnya mama. Saat Bu Bambang menuju wastafel untuk menaruh piringnya, kuikuti dari belakang. Lantas kutekan tubuhku.

"Sabar dong, Bapak bentar lagi pulang."
"Tahu," bisikku ke telinganya. Tanganku kini mengelus perutnya. "Tapi kayaknya gak mungkin nonton kalau kayak gini."
"Kayak gimana?"

Kugesekan gundukan di celanaku ke pantatnya, "kayak gini. Kayaknya Bapak bakalan marah kalau melihat benjolan di celanaku. Mama mesti bantu ngatasi."

"Gimana? Waktunya mepet."
"Ya, seperti. Yang Ali lakuin ke mama sebelum beli tiket."

Bu Bambang diam, lantas berbalik. Kubiarkan saja.

"Kamu mau, mama pake mulut mama?"
"Iya," kataku sambil melorotkan celanaku.
"Tapi, mama gak bisa..."
"Tolong dong mah."

Kutaruh tangan di bahunya lantas kutekan agar Bu Bambang menunduk. Aku mundur selangkah hingga Bu Bambang kini berlutut di hadapanku. Tanganku kini membimbing kepalanya agar lebih mendekat lagi.

Bibirnya menyentuh kontolku. Lidahnya menyentuh kontolku.

"Oh... mah..."

Bu Bambang mulai memasukan kontol ke mulutnya. Lantas menarik kepalanya, lantas menekan kepalanya. Lambat awalnya namun temponya makin naik. Saat kepalanya bergenti bergerak, kurasakan sapuan lidahnya di kontolku. Elusan tangannya di testisku.

Kucoba menekan rambut Bu Bambang karena ingin melihat wajahnya. Bu Bambang lantas menatapku dan tersenyum.

Kepalanya kembali bergerak mencoba menunaikan tugas.

Suara mobil Bapak terdengar.

Gerakan kepala Bu Bambang makin cepat.

"Ayo mah."

Suara kocokan kontol di mulut Bu Bambang terdengar erotis. Apalagi ditambah keberadaan Pak Bambang di luar rumah. Tanganku pun ikut beraksi di rambut Bu Bambang untuk mengatur ritme.

Hingga akhirnya aku tak tahan. Kusemburkan pejuku di dalam mulutnya.

Kudengar suara pagar dibuka. Kutahan kepala Bu Bambang saat kontolku menyemburkan peju beberapa kali. Setelah selesai, kucabut dan kupakai kembali celanaku. Lantas ku melangkah ke kamarku.

***

Stadion penuh sesak. Tim kami menang. Kami pun pulang dengan hati senang. Mungkin karena capek, Pak Bambang langsung ke kamarnya. Tidur.

"Makasih Li udah buat Bapak begitu senang."
"Sama – sama mah."
"Kamu lapar gak?"
"Enggak mah."

Tatapan Bu Bambang seolah berkata 'mau tubuhku?', meski tanpa bicara langsung aku peluk dari belakang.
Kulepas pelukanku dan kulepas juga celanaku.
Kumasukan tangan ke dalam rok Bu Bambang lantas melepas cdnya.

Kuarahkan kontolku mencari memeknya hingga masuk.
Kumasukan tangan ke dalam kaosnya dan meremas susunya.

Tak kuat berdiri, akhirnya Bu Bambang nungging sambil tangannya berada di kursi.

"Dasar anak nakal. Ngentot mama saat papamu tidur."

Kata – katanya malah makin membuatku terangsang. Kini kupegang bahunya. Goyanganku makin cepat hingga akhirnya keluar.

Setelah kontolnku berhenti menyemburkan peju, kami berdua duduk di sofa. Kupegang dagunya dan kucoba menciumnya. Dia menghindar.

"Udah, sana. Sebentar amat sih."
"Maaf mah. Nanti pasti lama kok."
"Iya, nanti. Bukan malam ini."
"Tapi Bapak kan udah tidur?"
"Iya, bentar lagi ibu juga nyusul."
"Ayo dong mah."
"Gak usah merajuk. Gak mempan tahu."

Bu Bambang tertawa lantas melangkah ke kamarnya.

***

Saat berbaring di ranjang, aku masih memikirkan kata – kata bu Bambang, 'Ibu tahu kenapa kamu panggil ibu mama.' Aku benar – benar mesti cari tahu apa maksud Bu Bambang.

Aku pun tidur.
 
Aku terbangun karena suara ribut. Lantas kufokuskan telingaku.

"Semalam kok sebentar sih. Apa udah bosen ngegodanya?"
"Dia lagi gak mood."
"Yang bener aja."
"Baiklah, mama yang lagi gak mood. Mama lelah, juga takut kebablasan. Dia benar – benar terangsang, juga ingin yang lebih lagi.
"Kan sudah papa bilang."
"Ya... ya... ya..."
"Papa hanya ingetin. Sebelum ini mama kebablasan sama Eri, trus mama tau sendiri apa yang terjadi."
"Tenang aja. Asal papa gak ngacauin semuanya."
"Enggak mama. Mama udah terlalu jauh."
"Tapi liat keadaanya sekarang. Mungkin kalau mama melangkah agak jauh lagi, dia akan sembuh."
"Ya Tuhan. Mah, dia anak kita."
"Mama tahu. Mama hanya menolongnya. Daripada dokter – dokter itu."
"Iya. Mama memang menolongnya. Di sisi lain, mama juga mengacaukannya. Kalau mama terlalu jauh, mungkin malah kacau."
"Dia baik – baik saja sebelum papa mengacaukan segalanya."
"Iya, papa memang pengacau, tapi mama juga ikut andil."
"Tenang saja. Dia bisa mama kontrol."
"Terlambat mah. Kalau mama menentukan batasan – batasan yang wajar, mungkin mama masih bisa menanganinya. Tapi mama malah ikut menikmatinya. Eri gak salah mah. Dia hanyalah bocah. Mama yang bertanggung jawab."

***

Edan, ternyata Bu Bambang bermain dengan anaknya. Bahkan dengan sepengetahuan Pak Bambang. Pantesan saja Pak Bambang seperti gak suka aku tinggal di rumahnya.
Tapi kenapa Pak Bambang kini seolah senang dengan keberadaanku?

***

"Mama gak menikmatinya. Mama hanya mencoba menolong anak kita. Setelah semua pengobatan yang kita beri tak ada artinya."
"Iya, apa yang mama lakukan memang sangat membantu Eri. Papa akui cara mama bisa mengembalikan Eri, meski hanya sebentar. Tapi papa harap, kini mama mesti hati – hati. Jangan kebablasan."
"Iya. Mama gakkan kebablasan. Mungkin mama akan biarkan dia mencium, meraba dan atau bahkan melihat mama telanjang."
"Gak apa – apa. Selama mama bisa mengontrolnya."
"Itulah yang mama coba andai papa berhenti mempertanyakan."
"Baiklah. Papa nyerah."
"Mama bakal bisa ngontrol Eri."
"Ali mungkin maksud mama."
"Eh iya, Ali."

***

Gila, makin edan aja. Bu Bambang udah main – main sama Eri. Bahkan Pak Bambang tahu istrinya mulai mempermainkanku, tapi tak tahu seberapa jauh permainanku dengan istrinya.

Aku sih yakin Bu Bambang gak ingin mengontrolku, yang ada malah dia juga menikmatinya. Mungkin Bu Bambang sangat menikmati permainannya dengan anaknya, kini dia mencoba dengan teman anaknya. Jadi gak sabar nunggu Pak Bambang pergi biar bisa main – main sama istrinya.

***

Aku keluar kamar setelah mendengar mobil Pak Bambang pergi. Kucari Bu Bambang, namun tiada kudapati. Akhirnya aku menuju kamarnya.

Rupanya Bu Bambang sedang bercermin, tubuhnya telanjang tetapi tangannya memengan daster tipis yang dipegang di depant tubuhnya.

Menyadari kehadiranku, Bu Bambang berbalik.

"Gimana menurutmu, bagus gak kalau Ibu pake ini?"
"Iya, cocok."
"Tapi kayaknya gak bakalan dipake deh."
"Kenapa?"
"Abisnya seksi banget sih."
"Memang seksi sih."
"Memang kenapa?"

Bu Bambang seperti tak mendengar pertanyaanku.

"Memangnya kenapa?" kataku.
"Memangnya kenapa, mah?" kata Bu Bambang.
"Memangnya kenapa, mah?" kuulangi kata – kata Bu Bambang.
"Kamu tadi menguping yah?"
"Iya."

Tapi aku tak mau membicarakannya.

"Bapak merasa mama terlalu menggodamu."
"Oh."
"Gimana menurutmu?"
"Ali sih gak benci kok sama Bapak."
"Iya. Mama tahu kamu gak benci sama Bapak. Tapi, gimana menurutmu soal godaan mama, apakah terlalu berlebihan?'

Godaan? Memangnya apa sih yang mau dia katakan? Dia telah merasakan kontolku, kok malah mempersoalkan godaannya sih?

"Mungkin, kalau Bapak tak suka, sebaiknya memang dihentikan saja."
"Tapi kamu suka kan?"
"Iya mah."
"Mama juga suka. Menurut mama, terserah kamu aja."
"Ya... kalau ... Bapak gak usah dikasih tahu aja."
"Jadi kamu gak ingin mama menggodamu saat ada Bapak?"
"Kayak gitulah."
"Tapi kalau Bapak gak dirumah, gak apa – apa, gitu?"

Apakah ini jebakan? Entahlah, aku tak bisa memastikannya.

"Iya, kalau Bapak gak ada, rasanya gak akan membuat Bapak protes."
"Mama juga berpikir seperti itu. Mau bantu mama gak?"
"Bantu apa?"
"Tolong tumpuk dua bantal mama ditengah – tengah kasur."
"Iya deh."
"Bukan 'iya deh,' tapi 'iya mah.'"
"Iya Mah."

Kulakukan keinginannya. Bu Bambang lantas melepaskan pakaiannya, membuat pakaiannya jatuh ke lantai. Akhirnya aku bisa melihatnya berdiri telanjang, secara jelas. Bu Bambang lantas berbaring di atas bantal. Bantal itu ditekan perutnya, membuat pantatnya menungging ke atas dengan jelas. Kedua kakinya dilebarkan.

Aku diam melihat, tak tahu apa yang harus aku lakukan.

"Bapak lagi gak ada di rumah," katanya lirih.

Aku tetap diam selama beberapa detik, mencoba mencerna kata – katanya. Lantas kulepas pakaianku hingga telanjang. Aku naik ke kasur.

"Li."
"Iya," jawabku sambil mengarahkan ujung kontol ke memeknya.
"Kalau kamu mau panggil Ibu dengan sebutan mama, kamu gak keberatan kan kalau Ibu panggil dengan kata 'Eri'?"

Wow.... gila, rasanya jadi makin liar, nakal, brutal membuat semua orang menjadi gempar.

Dulu, memanggil Bu Bambang dengan sebutan 'mama' aja udah ganjil, meski aku diperlakukan dengan begitu ramah.
Tapi kini, mendengar dia ingin memanggilku 'Eri,' membuatku yakin pernah ada sesuatu antara Bu Bambang dan anaknya. Sesuatu yang, mungkin, sama seperti ini. Bahkan, mungkin, lebih jauh lagi. Jangan – jangan dia rindu sama anaknya. Aku bahkan makin terangsang.

"Boleh mah. Panggil aja Eri."
"Oh, Eri. Kamu mau ngapain sama mama sayang?"

Tangan Bu Bambang meraih pantatnya dan melebarkannya membuat lubang anusnya seperti membesar. Gila, apakah ini undangan untuk mencicipi anusnya? Waw. Permainan jadi Eri rupanya membuat Bu Bambang jadi makin gila.

Kumasukan kontolku, perlahan, ke memeknya. Saat kepalanya terbenam, kutarik lagi. Tapi tangan Bu Bambang tetap di tempatnya, membuat anusnya seperti melebar. Jangan – jangan dia ingin aku masuk ke sana.

Apa dia menungguku memutuskannya sendiri? Tiap kali kontolku menusuk memeknya, pantatnya serasa menggoda. Setelah beberapa pompaan, akhirnya aku ingin melepas rasa penasarananku.

Kucabut kontol dan kutusukan ke anusnya. Mentok. Susah. Kucoba lagi dan lagi. Tetap mentok. Tetap susah.

"Pake pelumas dong Ri."

Betapa mudahnya Bu Bambang mengucap nama Eri, seolah begitu alami, seolah lupa akan nama asliku. Mungkin, merasakan anusnya dicoba ditusuk membuat Bu Bambang lebih menginginkan anaknya daripada teman anaknya.

Kutekan lagi kontolku.

"Lumasi Ri. Lumasi."

Tangan kiri Bu Bambang lepas dari pantatnya, lantas mengambil pelumas dari sisi kasur. Pelumas itu diberikan padaku dan langsung kuambil. Kubuka dan kutumpahkan isinya ke anus Bu Bambang. Juga ke kontolku.

Kucoba masukan jari ke anusnya.

"Oh Ri. Udah lama mama gak ngerasain."
"Benarkah? Berapa lama?"

Kugerakan jemari di anus Bu Bambang. Ternyata gak susah – susah amat. Saat jari kucabut, aku heran melihat gak ada bercak – bercak tainya. Aku sungguh amatir...

"Sejak kamu pergi."

Kini kumasukan telunjuk dan jari tengah ke anusnya membuat Bu Bambang mengerang seperti keenakan. Kumankan jemari di anus Bu Bambang kira – kira selama lima menit. Pantatnya pun ikut bergerak, seolah tak ingin diam membiarkanku asik sendiri.

Akhirnya kuputuskan menarik jemari dan menggantinya dengan kontolku. Kali ini kontolku bisa masuk dengan mudah. Anusnya bener – bener sempit, padahal tadi jemariku begitu mudah bermain di dalamnya.

"Oh, pelan – pelan Ri."

Aku diam, tak ingin melukainya.
Kugerakan perlahan. Perlahan. Bener – bener sempit.
Kutarik kontolku hingga akan lepas, lantas kudorong lagi.

"Terus Ri, enak."

Aku jadi lupa diri. Kutekan dengan agak bertenaga.

"Ahhhh..."

Kutekan hingga akhirnya kontolku terbenam seluruhnya. Lantas aku diam, Bu Bambang diam. Kutarik perlahan, Bu Bambang kembali mengerang. Baru kali ini kudengar Bu Bambang mengerang seperti ini. Erangan yang sungguh – sungguh erotis.

Kudorong lagi kontolku.
Kutarik lagi konolku.

Terus begitu beberapa kali.
Bu Bambang terus mengerang tiada henti.

Setelah agak lancar, kumulai mempercepat tempo.
Erangan Bu Bambang makin tak jelas. Makin menyerupai erangan hewan.

Hingga akhirnya kucengkram pantat Bu Bambang. Kutusukan kuat – kuat saat kontolku menyemburkan pejunya.

Kulepas kontolku lantas duduk. Pejuku mengalir keluar dari anusnya hingga ke memeknya dan terus ke pahanya.

"Eri ingin kayak gini terus mah."
"Mama tahu."
 
Mungkin si Ali ini adalah Eri yg punya masalah ingatan atau penyakit sesuatu dan mamanya coba menyembuhkannya.. Hmmmm
 
mantap nih alur ceritanya..buat yg bingung, cukup nikmatin aja, ntar jg di akhir2 bakal diceritain

lanjutkan gan, ngaceng nih
 
Bimabet
Hubungan kami berubah semenjak kemarin. Aku jadi makin percaya diri. Bahkan saat ada Pak Bambang. Yang pasti, disuruh kemana pun kini aku tak lagi takut. Begitu Pak Bambang angkat kaki dari rumah, langsung kuentot Bu Bambang. Di memek, di anus dan atau di mana pun kusuka. Tapi sejujurnya, aku lebih suka ngentot memeknya.

Bu Bambang mulai memanggilku Eri setiap saat. Tentu aku takut, pada awalnya. Saat aku makan malam sama Bapak dan Ibu Bambang, Bu Bambang nyuruh sesuatu.

“Ambilin itu dong Ri.”

Pak Bambang langsung diam, lantas melihat istrinya. Aku melihat Pak Bambang. Aku terkejut. Aku takut. Lantas Pak Bambang bersuara.

“Ambil Ri, kasih ke mamamu!”

Kini Bu Bambang tak ragu lagi memanggilku Eri meski ada suaminya. Bahkan Pak Bambang pun ikut memanggilku Eri. Pak Bambang mulai memperlakukanku seolah aku Eri, anaknya.

***

Suatu pagi, sehabis Pak Bambang pergi, aku melangkah ke kamar Bu Bambang. Lantas kami ngentot. Setelah ngentot, aku berbaring di ranjang sementara Bu Bambang mandi. Beberapa saat kemudian, Bu Bambang keluar, lantas bersolek.

“Kok langsung mandi mah. Emang mau kemana?”
“Gak kemana – mana. Ingat dong Ri, mandilah kamu sebelum kamu dimandikan.”
“Ah mama. Ada – ada aja.”

Aku bangkit begitu Bu Bambang selesai memakai pakaian. Begitu keluar dari kamar, aku mendadak tergelitik untuk keruangang lain. Bukannya ke kamarku dan atau ke ruang tamu, aku penasaran akan keadaan kamarnya Eri, tempat saat aku sering bermain dengan Eri saat kami kecil.

Mungkin karena Bu Bambang menyadari ketergelitikanku, beliau mengikutiku dari belakang. Aku lantas menuju kamar Eri dan masuk. Tempatnya masih seperti dulu. Kusadari Bu Bambang melihatku dari pintu kamar Eri, namun beberapa saat kemudian, kudengar langkahnya menjauh pergi. Aku melihat – lihat kamar Eri selama kira – kira sepenanakan nasi.

***

Aku keluar dari kamar Eri menuju dapur. Kulihat Bu Bambang sedang masak.

“Mau makan apa Ri. Kira – kira Bapak pingin dimasakin apa ya?”
“Gak tahu. Kalau menurut mama, kira – kira papa ingin makan apa?”

Bu Bambang tak terkejut dengan ucapanku karena telah beberapa hari aku memanggil Pak Bambang dengan sebutan papa atau ayah. Rasanya kini aku jadi lebih terbiasa memanggil mereka dengan sebutan mama dan atau papa.

***

Beberapa hari berlanjut dengan rutinitas yang sama. Aku selalu ngentot mama saat papa pergi. Lantas kalau papa libur, papa selalu mengajakku keluar. Entah makan – makan atau sekedar jalan – jalan.

***

Jadi begini, beberapa hari ke belakang, saat aku ke kamar Eri. Suasananya masih seperti yang kuingat dulu. Kasur, lemari, beberapa benda milik Eri. Juga pelbagai bingkai berisi foto – foto Eri, dari mulai kecil hingga gede. Saat Eri sendiri maupun bersama keluarganya.

Saat melihat foto – foto Eri aku benar – benar terkejut. Wajah di foto itu adalah wajahku.

***

Sudut pandang anak selesai.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd