Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[copas] Mamanya Eri

Bimabet
Mantap lah critanya
 
“Dasar lonte tua.” kata Bilal setelah keluar rumah.
“Nutup pintunya jangan keras – keras,” teriak emaknya Bilal.

Dari sudut mataku bisa kulihat mamanya Bilal melihat dari jendela. Namun aku pura – pura tidak mengetahuinya. Aku tahu aku tak begitu disukai oleh mamanya Bilal. Kalau gak penting – penting amat, aku gak mau masuk rumah. Mending sms aja suruh Bilal keluar.

Tentu gak semua ibu berengsek. Tapi, meski begitu, mamanya Bilal memiliki postur yang cukup menarik. Tubuh langsing dengan susu kendor yang agak besar, tentu sia – sia kalau tak dilihat. Apalagi kalau pake daster tipis.

Meski begitu, Bilal tak pernah melihatnya dari sudut pandang seperti itu.

“Lu serius? Emak gw mah kagak ada bagus – bagusnya. Kalau gw dipaksa ngentot dia, mending lu potong aja kontol gw,” jawab Bilal suatu hari, saat kukatakan kalau mamanya seksi. “Emak lu tuh yang seksi. Bikin sange aja.”

Aku gak peduli pendapat Bilal. Kalau ada kesempatan, gak akan kusia – siakan ngentot mamanya Bilal. Aku dan Bilal memang gak baik – baik amat. Merokok, kadang kelahi, bahkan minum tuak. Maklum, kecamatan sebelah terkenal dengan pohon arennya yang sangat banyak. Sehingga masyarakatnya ada yang menjual gula aren, meski lebih banyak yang menjual tuak.

Mamanya Bilal selalu berpendapat kalau aku mempunyai pengaruh yang buruk bagi Bilal. Kenyataannya, dalam semua tindakan tidak terpuji yang kami lakukan, selalu atas inisiatif Bilal. Meski aku tak menolak, aku tak pernah berinisiatif.

Kami melangkah menuju sebuah tempat yang Bilal katakan sebelumnya. Rumah yang kami datangi termasuk besar, namun nyatanya kurang terawat. Bilal mengetuk pintu. Kami menunggu.

Keluarlah seorang wanita paruh baya. Kami disuruh masuk dan duduk yang manis, semanis madu.

“Bagaimana Bu, ada pesanan saya?”
“Rupiahnya mana?”

Bilal memberi sebuah amplop yang lantas diterima dan dihitung oleh ibu – ibu tadi. Si ibu tadi kemudian membawa amplopnya ke sebuah ruangan, lantas keluar sambil membawa sebuah keresek. Bilal kemudian pamit dan kami keluar rumah.

“Lu beli apaan?”
“Ntar gw tunjukin di alun – alun. Yang pasti, lu hutang tiga ratus ribu sama gw.”
“Hutang apaan?”

***

Kami lantas duduk di alun – alun.

“Lu beli apaan sih? Mahal amat.”

Bilal lantas mengeluarkan sesuatu dari keresek, yang ternyata dua buah boneka. Aku terkejut melihatnya.

“Lu beli boneka? Mahal amat, buat siapa tuh?”
“Bukan buat siapa, tapi buat kita.”
“Buat kita? Udah, gw gak mau buat lu aja dua – duanya.”
“Liat aja nanti.”

Bilal lantas memegang satu boneka.

“Lho, kok mukanya ada gambar emak lu sih?”
“Nah, kan. Gw harap benda ini gak boongan.”
“Lu bayar ratusan rebu cuma buat boneka yang ada wajah emaklu?”
“Setengahnya. Yang ini buat lu!”

Bilal mengambil boneka yang satunya dan menyerahkan padaku. Kulihat dan kucermati.

“Kok yang ini ada wajah emak gw sih?”
“Yoi.”
“Dapet dari mana lu gambar emak gw?”
“Lu kira taun tujuh puluhan? Sekarang gampang dapat gambar siapapun.”
“Bukan soal gambar. Lu bayar ratusan ribu cuma buat boneka yang ada gambar emak – emaknya? Aneh lu.”
“Gw mau tusuk nih boneka biar emak gw tahu rasa.”
“Apa?”
“Gw gak beli boneka biasa. Gw beli boneka vampire.”
“Boneka vampire?”
“Iya. Lu tahu kan, kayak di film – film vampire yang suka diputer di tv. Tiap sabtu jam sembilan.”

Bilal lantas mencari – cari sesuatu dari dalam keresek.

“Catatannya mana sih? Sial. Ketipu gw.”

Aku melihat lagi bonekaku. Terdapat kertas catatan di belakangnya dan kuperlihatkan pada Bilal.

“Maksudlu ini?”

Bilal ikut melihat belakang bonekanya.

“Nah, bener lu. Ayo coba.”

Meski aku tak percaya, namun aku tak mau mengambil resiko. Siapa tahu ini benar. Tak seperti Bilal, aku tak begitu benci mamaku. Lagian, kadang mama juga baik. Kubaca tulisan tersebut, lantas kuelus dan agak kutekan sedikit kepala bonekanya. Namun kemudian aku bosan. Maka dari itu aku kembalikan bonekaku ke Bilal.

“Nih, gw gak mau.”
“Yakin lu? Kalau ntar lu berubah pikiran, harganya jadi gope.”
“Lah, terserah dah.”

Bilal lantas kembali memasukan kedua boneka tersebut ke keresek.

***

Mamaku termasuk pintar, menurutku, namun terpaksa berhenti kerja karena mengandungku. Saat aku besar, mama tak mau kerja lagi karena menurutnya gajinya terlalu kecil. Sedang penghasilan papa pun sebenarnya cukup besar. Maka dari itu mama sering mengisi waktu luangnya dengan pelbagai hal. Seperti ke salon, ngumpul bareng teman – temannya.

Ayahku adalah tukang foto. Awalnya ayah fokus pada foto – foto yang bernilai seni tinggi, meski kadang susah dirupiahkan. Namun, setelah berkeluarga dan memiliki dua orang anak, Ayah beralih ke foto – foto yang menghasilkan banyak rupiah. Seperti pemotretan untuk brosur, iklan, majalah dan lainnya. Lama – lama orang mulai mengenal karya ayah, dan bayarannya pun makin gede.

Saat aku dan kakakku sekolah, mama kembali terjun ke dunia fotograpi bersama ayah, namun tak lama kemudian, minatnya padam. Mama bahkan ikut mencoba jadi model foto ayah, namun itu pun tak lama. Karena tubuh mama sudah bukan lagi tubuh daun muda, tentu fotonya pun kalah bersaing.

“Hei mah,” kataku saat melihat mama masak di dapur sambil melihat tv. Suara tv tersebut terdengar pelan.
“Jangan teriak Jup,” kata mama sambil menunjuk kepalanya.
“Iya mah, maaf.”

Mama memang tak suka kebisingan. Kubuka kulkas dan mengambil softdrink.

“Jupri.”
“Maaf ma. Mama kenapa sih? Sakit kepala atau apa?”
“Iya. Mendadak sakit nih.”

Mama kembali menunjukan bagian kepalanya yang terasa sakit.

“Apa mama jatuh, atau tertimpa sesuatu?”
“Enggak. Tiba – tiba aja nih datangnya.”
“Mau Jupri masakin gak? Biar mama berbaring aja.”
“Yakin nih?”
“Iya mah.”
“Ntar ayah kerja sampai malam.”

Mama mengucap kata kerja dengan sinis.

“Jadi, hanya kita berdua ya mah.”

Aku pun masak. Tiba – tiba aku berpikir tentang keluhan mama. Area yang mama tunjukan sama dengan area di kepala boneka yang kuelus dan kutekan, walau secuil, secuil. Gila, kalau ternyata benar, aku mesti ambil lagi bonekanya dari si Bilal. Andai saja tadi kubawa pulang.

Aku jadi teringat, bagaimana kalau emaknya Bilal benar – benar jadi korban? Jadi mati? Atau cacat berat? Bilal memang sangat membenci emaknya. Tapi...

Setelah masak, kutelepon Bilal.

“Anjing sesat dasar pelacur.”
“Emak lu ngapain lagi?”
“Bukan emak gw. Tapi emak – emak yang jual nih boneka. Ketipu gw. Mesti gw ambil lagi duit gw.”
“Emang kenapa?”
“Gak mempan. Gw dibohongi. Gw tampar bonekanya, tapi gak terjadi apa – apa. Gw tusuk pake jarum juga gak ngaruh.”
“Lu sih percaya yang gituan.”
“Gw kira, pas gw pulang, lonte tua itu bakalan berdarah hidungnya. Eh ternyata enggak. Kalau lu gimana, bisa gak? Apa emak lu kenapa – kenapa?”
“Gak terjadi apa – apa,” suaraku berusaha seolah datar. “Ya udah, biar gw ambil bonekanya.”
“Maksudlu?”
“Biar gw yang tagih duitnya. Kalau lu yang dateng, belum juga sampai ke pintu, dia udah ngunci rumahnya. Atau malahan kabur.”
“Iya deh. Lagian gw juga udah emosi.”

Aku lega. Ternyata emaknya Bilal gak kenapa – kenapa. Rupanya sakit kepala mamaku ini hanya kebetulan saja.
 
Esoknya, aku berencana mengambil boneka dari Bilal, lantas pergi. Aku tak ingin bertatap muka dengan emaknya. Untungnya emaknya lagi di belakang. Aku pun masuk ke kamar Bilal

“Ayo.”
“Gw gak ikut. Kan katanya lu yang mau balikin.”
“Ya udah, sini bonekanya.”
“Ntar dulu, gw mau coba sekali lagi.”

“Ilmu tuntut bunia siar. Kursi dutut tumila liar. Rasain nih pelacur.”

Bilal lantas menghantamkan boneka tersebut ke lantai. Lantas kami melihat ke jendela, ke halaman belakang rumah Bilal, dimana terdapat emaknya Bilal lagi berkebun.

“Gimana?”
“Sial. Gak terjadi apa – apa.”
“Iya dong. Lagian lu mau aja ditipu sama dukun abal – abal.”
“Gw lebay. Lemes bray.”
“Lemes kenapa lu?”
“Duit gw ilang sia – sia. Si Eri bilang boneka ini beneran. Katanya emaknya jadi beneran baik sama dia.”
“Lu percaya sama si Eri. Lu juga salah tuh.”
“Abisnya dia ngomongnya meyakinkan sih. Gw bakalan hajar tuh si Eri.”
“Jangan cari masalah. Lu tau apa yang terjadi terakhir sama dia.”

Kuambil saja bonekanya.

“Coba sama lu!”
“Ngapain, kan udah lu bilang gak berhasil.”
“Coba aja.”
“Iya.”

Aku mulai membaca kata – kata yang tertulis di belakang boneka. Lantas aku pura – pura terbatuk.

“Kenapa lu?”
“Batuk, gatel tenggorokan gw.”

Kumulai lagi. Tapi kali ini kubaca persis seperti apa yang Bilal baca. Setelah itu, kubanting boneka ke meja. Tak terjadi apa – apa.

“Bener – bener gak ngaruh. Anjing.”
“Ya udah, gw ambil aja.”
“Iya, ambilin duit gw.”
“Lu tenang aja.”

Aku cepat – cepat keluar dari rumah Bilal sebelum emaknya melihatku. Namun, bukannya ke rumah dukun abal – abal tersebut, aku malah pulang ke rumah.

Kusadari tadi saat Bilal membaca mantra, kata – kata yang terucap salah.

“Hei mah.”

Mama sedang duduk bersila di matras yoga di depan tv. Sudah kukatakan, mama sering melakukan hal – hal yang kuanggap tak penting, baik sendirian maupun bersama teman – temannya.

“Sshhh.”

Aku ke kamar dan kututup pintu dengan agak keras.

“Jupri....”

Kutaruh boneka emaknya Bilal di kasur dan kupegang boneka berwajah mamaku. Kubaca mantranya.

“Ilmu tuntut dunia siar. Kursi butut tumila liar.”

Entah kenapa dengan Bilal. Dia selalu susah membedakan huruf b dengan d. Kadang huruf b dibacanya d. Kadang huruf d dibacanya b. Saat masih kelas satu, guru selalu menyuruhku membantu Bilal. Sejak itulah kami berteman.

Maka dari itu aku ingin mencoba meyakinkan diriku sendiri. Aku turun pelan – pelan ku ruang tv, ke belakang mama. Kuposisikan boneka seperti mama, sedang duduk bersila. Kubaca mantra lagi, namun tak terjadi apa – apa.

Lantas kusadari, setelah baca mantra, aku tak ngapa – ngapain. Kucoba mengelus sisi kanan boneka. Ternyata mama menggerakan badannya ke arah kiri hingga terjatuh. Aku merinding. Bulu kudukku ikut merinding.

Mama kembali bersila. Kutarik rambut boneka ke belakang, dengan perlahan. Kepala mama ikut tertarik ke belakang.

Aku kembali ke kamarku. Gila. Apa yang terjadi. Apa boneka kayak di film vampire itu beneran ada? Bilal pasti merasa berhutang padaku kalau kujelaskan bonekaku berfungsi.

Tapi sebaiknya tak kujelaskan. Bisa – bisa Bilal mencederai emaknya. Kuambil boneka emaknya Bilal. Ternyata dingin. Tak sedingin es, tapi lebih dingin dari bonekanya mama. Aku lantas menyadari, awalnya boneka mama pun dingin. Kok sekarang jadi menghangat?

Kupegang kedua boneka. Yang Bilal dingin, punyaku hangat. Kuperhatikan lebih jauh, bonekaku kini tampak lebih nyata. Seolah terbungkus oleh kulit asli, tidak oleh plastik seperti yang terlihat pada boneka Bilal.

Kutaruh kedua boneka ke kasur. Aku takut. Semua ini menakutkan. Perubahan yang terjadi pada boneka mamaku baru kusadari sekarang. Aku tak ingin boneka mamaku jadi mainan orang lain. Sebaiknya boneka Bilal aja yang kuberikan.

Apa yang harus kulakukan pada boneka mama?
Aku tak bisa menghancurkannya. Bagaimana kalau mama ikut hancur?
Aku tak bisa membakarnya. Bagaimana kalau mama ikut terbakar?

Akhirnya kuputuskan untuk meletakan boneka mama di almari dan memasukan boneka Bilal ke keresek. Biar esok kukembalikan ke dukun tua itu. Kudengar suara mama memanggilku menyuruh makan malam.
 
Seru ihh cerita nya... cerita yang pertama sebenernyanya udah ketebak. Nunggu banget nih nih cerita nya bilal sama jupri
 
Esoknya aku menuju rumah Bilal. Bukan karena ingin menemui Bilal, namun karena disuruh emaknya datang. Aku terkejut begitu emaknya menelepon. Bagaimana dia tahu nomorku?

Kuputuskan untuk menemuinya karena, katanya, kalau aku tak datang, dia akan bicara sama mama dan mengatakan hal – hal yang kulakukan bersama Bilal.

Jangan – jangan Bilal benar, emaknya hanyalah pelacur tua yang brengsek. Kuketuk pintu. Lantas pintu dibuka oleh emaknya Bilal. Senyum ramah tersungging di bibirnya. Aku pun dipersilakan masuk.

Aku takkan tertipu oleh senyum ramahnya. Aku telah melihat, dulu saat aku dan Bilal masuk dan disambut dengan senyum ramahnya, begitu pintu ditutup, emaknya Bilal langsung memarahi Bilal.

Maka dari itu, baru saja tiga langkah, aku sudah ingin berbalik dan berlari, pergi dari rumahnya. Namun ancamannya menghentikanku. Aku diam. Lantas emaknya Bilal berjalan. Kuikuti. Dari belakang kuamati emaknya Bilal. Ternyata dia memakai daster pendek yang agak transparan. Kuamati lebih serius lagi, aku tak melihat tali bh di dalamnya. Gila. Mungkin emaknya Bilal memang pelacur tua yang brengsek, tapi kuakui sangat memikat mata.

Aku lega saat dia menyuruhku duduk di kursi makan. Emaknya Bilal lantas mengambil gelas dan mengisinya dengan minuman dari kulkas. Satu gelas diserahkan kepadaku, satu lagi dipegangnya. Dia tetap berdiri, bersender ke konter untuk masak di dapur.

"Begini jup. Makasih ya kamu mau datang. Ibu mau berterimakasih atas semua bantuanmu untuk Bilal, terutama bantuanmu di sekolah."

Melihat emaknya Bilal minum, aku pun ikut minum. Aku kira yang disuguhkan adalah sirop murni. Ternyata aku merasakan sedikit arak di dalamnya.

"Kini ibu mau membicarakan hubungan kalian di luar sekolah. Ibu tahu kalian selalu melakukan hal – hal yang... Sudahlah, kok ibu jadi ngelantur. Intinya, ibu ingin membicarakan hubungan kalian ke depannya. Ibu bahkan takkan bertanya, kenapa kemarin dan hari ini kamu memberikan uang ke Bilal."

Jangan – jangan nih emak udah utak – atik hpnya si Bilal lagi... Gawat nih, gawat. Tapi kalau dia sudah utak – atik hpnya si Bilal, mestinya dia udah tau juga tentang boneka sialan itu. Mudah – mudahan dia tahu hanya karena menguping pembicaraan saja. Apa dia juga tahu anaknya jualan tuak juga?

"Gak usah membantah. Ibu juga tahu semuanya," kata emaknya Bilal seolah membaca raut wajahku.

Namun tangannya, tangannya yang memegang gelas, perlahan dia gerakan. Dia gerakan gelas itu hingga setetes demi setetes tumpah membasahi dasternya, tepatnya bagian dadanya. Aku tak berani bergerak. Hingga tetesan yang membasahi dasternya cukup untuk membuat daster itu menempel ke susunya dan membuat cetakan putingnya terlihat.

"Kamu memang temannya Bilal. Tapi, mulai kini ibu juga mau jadi teman kamu. Kamu mau gak jadi teman ibu? Kamu mau gak bareng sama ibu membantu Bilal?"

Aku hanya mengangguk, sedang mataku terfokus pada dadanya.

"Bagus. Yang pertama kali mesti kita lakukan adalah membuat Bilal berhenti main gim warnet."

Aku lantas tersadar.

"Menghentikan maen gim? Entahlah Bu, bukannya Bilal hobi banget ke warnet."
"Ibu tahu. Mulai kini Bilal mesti berhenti maen gim."
"Entahlah bu, kayaknya susah untuk menyuruhnya berhenti."
"Kamu yakin? Bukankah gim itu hanya untuk anak kecil?"

Emaknya Bilal lantas mendekatiku, memegang bahuku hingga berdiri. Gelasku diambilnya dan diletakan di meja. Kini aku berdiri berhadapan dengan emaknya Bilal.

"Andai kamu juga berhenti main gim, ibu yakin Bilal juga mau mengikuti."

Tangan emaknya Bilal meraih tanganku, lantas mengangkatnya.

"Kamu bukan anak kecil lagi kan?"

Telapak tanganku diposisikan oleh emaknya Bilal hingga menekan susunya.

"Kamu udah siap kan jadi laki?"

Aku terpana. Tanganku memegang susunya. Dapat kurasakan pentilnya yang mengeras seolah menusuk tanganku.

"Ibu bingung mesti ngapain lagi sama anak itu. Kamu mau kan bantu ibu?"
"Biar Jupri coba bu."
"Kamu mau kan bantu ibu?"
"Siap bu."

Emaknya Bilal lantas mencium pipiku, setelah itu bibirnya diusapkan ke bibirku, lantas dilepasnya.

"Makasih Jup. Ibu tahu kamu bisa diandalkan."

Tangannya memengang belakang kepalaku. Bibirnya kembali menekan bibirku. Setelah beberapa saat, tubuhnya kembali menjauh.

"Buat Bilal berhenti main gim. Setelah itu, kita bisa melangkah lebih jauh lagi."

Emaknya Bilal lantas tersenyum.

"Kalau kamu bisa, ibu sangat berterimakasih padamu. Bapaknya Bilal bentar lagi pulang."

Aku pun pamit. Lantas pulang, aku tak bisa lari ke rumah, karena kontolku ngaceng berat...
 
Terakhir diubah:
Saat masuk ke rumah aku tak mendapati mama. Biarlah, aku langsung ke kamarku. Sialan. Emaknya Bilal bener – bener waw. Awalnya kukira aku akan dientotnya, abisnya bibirku dicium dan tanganku ditaruhnya di susunya.

Entah karena dorongan apa, kuraih bonekanya Bilal. Kini kurasakan, boneka itu hangat. Tak sedingin kemarin. Kulitnya juga terlihat seperti asli, seperti bonekaku. Suasana ikut menghangat. Kubuka jendela. Dari jendela kulihat mama sedang meditasi di atas karpet yoganya di halaman belakang.

Aku langsung mengambil kuas kecil, yang biasa dipakai ayah untuk melukis. Aku kembali ke dekat jendela kamarku. Kulepas pakaian yang menempel pada boneka, hingga boneka tersebut hanya memakai cd dan bh saja. Tangan kiriku memegang boneka mama, sedang tangan kananku memegang kuas. Kusapu punggung mama, namun tak ada yang terjadi.

Oh iya, aku lupa mantranya. Kubaca "ilmu tuntut dunia siar, kursi butut tumila liar."

Kusapukan kembali kuas ke punggung boneka. Mama menggerakkan punggungnya. Ajaib. Aku tertawa senang, lantas kututup mulutku. Menyadari tertawaku mungkin bisa didengarnya. Seru nih, kubaringkan boneka di daun jendela, lantas pergi mencari kuas yang lebih kecil lagi.

Saat aku melihat ke halaman belakang, mama kini sudah telungkup di atas matrasnya. Kusapu pantat mama dengan kuas kecil tersebut. Mama kini menggoyangkan pantatnya. Kujilat kuas, agar tidak lembek, lantas kumasukan ke dalam cd boneka tersebut.

Kulihat tangan mama bergerak. Aku rasa akan bangkit. Namun ternyata tangan mama malah masuk ke dalam cd. Aku diam takjub. Pergerakan pantat mama sungguh tak terbantahkan lagi. Apalagi dengan tangannya yang ada di dalam cd.

Kini kucoba sapukan kuas ke area dimana memek boneka tersebut. Kuelus – elus dan kutekan perlahan. Pantat mama bergoyang. Apakah ini hanya imajinasiku? Tapi saat mama pantat mama terangkat dan bergoyang kanan – kiri, aku tahu ini bukan sekedar imajinasiku.

Kutarik kuas, lantas kutekan lagi ke memek boneka. Kulakukan itu beberapa kali. Pantat mama jadi bergerak naik turun.

Kulemparkan kuas, karena aku merasa tak lagi butuh. Kukeluarkan kontol dan kukocok. Sambil kukocok, kucoba tekan kontolku ke anus boneka.

Kulihat pergerakan mama makin cepat. Akhirnya aku keluar. Pejuku membasahi boneka. Kulihat ke bawah, pantat mama tak lagi bergerak cepat, namun mengejang hingga beberapa kali.
 
"Lu belum balikin juga?"
"Iya. Gw belum ada waktu."
"Terserah lah. Maen yuk."
"Gak ah."
"Hah, kenapa?"
"Ntar malah dijauhi cewek. Apalagi sama gebetan gw, bisa berabe."
"Apa? Siapa? Kasih tahu dong?"
"Gw bilang, asal lu jangan banyak omong."

Kami lantas pergi. Andai aku bisa menjauhkan Bilal beberapa hari dari warnet, tentu aku akan dapat menikmati lagi hadiah yang disuguhkan emaknya. Sengaja aku tak bilang, takut Yani gak muncul dan mengacaukan segala. Untuk persiapan ini, aku telah memberinya beberapa rupiah, sebagai kompensasi agar dia mau ikut rencanaku. Aku senang saat Yani ternyata telah menunggu di depan bioskop, bersama temannya.

Bilal terkejut melihat yang menunggu kami adalah Yani. Bisa dibilang, Yani terkenal sebagai anak yang agak seksi dan binal.

"Gila, lu dapet wangsit dari mana bisa ngajak si Yani ke sini?"
"Inget, lu jangan banyak bacot."

Indi, teman Yani, terlihat tak bersemangat melihat kami. Mungkin Indi hanya datang karena Yani.

"Masuk yu."
"Oh, ngajak Indi Yan?"
"Iya, biar ada temen."

Aku berlagak terkejut, meski sebenarnya mengajak Indi pun merupakan perjanjianku dengan Yani. Kami beli tiket, Bilal yang membayar. Indi ternyata tak ingin ditraktir, namun disuruh dibiarkan oleh Yani. Bilal ingin kita menonton untuk membuktikan kata – kataku. Makanya dia mau repot – repot bayarin tiket.

Di dalam, saat film berlangsung, aku mulai dengan bergerilya. Tanganku bermain di tubuh Yani. Kusadari Bilal melihatku. Bilal mengikuti langkahku pada Indi. Namun tak semulus langkahku. Kulakukan aksiku hingga menjelang akhir film, kucium Yani. Setelah itu, kulihat Bilal yang melongo padaku dengan tatapan terkejut.

***

"Gila... bener – bener gila... Gimana lu bisa gitu sih?"
"Inget. Jangan banyak bacot."
"Gw gak akan pernah buka mulut, kecuali di depan dokter gigi. Tapi, gimana bisa lu cium si Yani. Edan. Gw mah boro – boro. Gw pegang aja si Indi ogah – ogahan."
"Tapi, udah lumayan dia ogah – ogahan juga. Tandanya dia gak nolak. Kalau dia gak mau, tanganlu udah ditamparnya."
"Bener bro..."
"Kalau bisa, lu jangan cari masalah dulu sama emaklu."
"Kenapa?"
"Minggu depan gw pingin sama si Yani lagi. Trus lu sama si Indi. Kalau lu malah dapet masalah sama emaklu, rencana gw malah berabe."
"Oke, demi ini, gw bakalan jadi anak baik – baik coy."
"Lu juga jangan main gim lagi. Ntar kalau ketahuan si Yuni sama Indi, bisa – bisa kita gak dilirik lagi. Disamain sama bocah sd."
"Oke... oke..."
 
Menit – menit berganti dengan detik dan detik pun silih berganti. Hari – hari pun silih berganti. Bilal menjaga omongannya. Jauhi gim, jauhi masalah. Dan aku ingin mendengar laporannya dari emaknya, sekalian ambil hadiahku. Ayah lagi sibuk di ruang kerjanya. Sedang di radio, mama dengar lagu kesayangannya.

Kuraih boneka mama. Kubaca mantra. Aku keluar kamar. Mengendap – endap ke tv. Mama lagi duduk. Aku berdiri jauh di belakangnya. Kuposisikan dan kutaruh boneka dihadapanku. Kuelus paha boneka dengan kuasku. Setelah beberapa menit, aku mendengar erangan dari mulut mama. Siapa yang bakal mengira aku jadi pengikut film vampire?"

Aku tahu mama kesepian. Biar kubantu mengatasinya, batinku berkata.

Boneka yang kupegang mulai menghangat. Meski tahu, tetap ada sedikit rasa takut. Kulepas kaos boneka tersebut lantas terkejut melihat mama yang juga ikut melepas kaosnya. Ternyata mama tak memakai bh. Kuelus dengan kuas punggung boneka hingga ke titik di atas belahan pantatnya. Posisi duduknya membuatku bisa melihat sebagian dari susu kirinya. Kugerakan kuas hingga kini mengelus susunya.

Suka gak diginiin mah, batinku saat melihat mama menggelinjang. Kayaknya mama suka ya.

Setelah puas mengelus susu boneka, kulepaskan celana yang menempel pada boneka. Ternyata mama bangkit dan melepas rok pendeknya. Saat mama akan duduk, mama berdiri lagi. Rupanya mama ikut melepaskan cdnya. Mama pun duduk lagi.

Kuposisikan boneka agar nungging di atas kedua tangan dan lututnya. Mama ikut nungging. Perlahan, kutusukan kuas dari belakang untuk mengelus memek boneka. Pantat mama kini bergerak maju mundur.

Saat dahi mama jatuh menindih karpet, aku terpana melihat pantat mama yang nungging ke atas. Kuasanku terus berjalan. Mama terus menggoyangkan pantatnya seolah dientot oleh orang yang tak terlihat.

Pergerakan pantat mama mulai melambat, namun tubuh mama mengejang hingga akhirnya pantat mama pun ikut roboh ke karpet.

***

Esoknya, saat siang aku menuju rumah Bilal, memenuhi undangan dari emaknya. Saat kuketuk, tiada jawabnya. Akhirnya kubuka pintu, lantas masuk.

"Silakan duduk. Tunggu bentar yah."

Aku duduk di sofa di ruang tamu.

"Seorang laki akan berdiri kalau melihat wanita datang."

Suaranya mengejutkanku. Aku lantas berdiri.

"Bapaknya Bilal mau ngajak ibu keluar. Menurutmu, pakaian ini cocok gak?"

Aku melihat emaknya Bilal memakai sejenis gaun malam tipis hingga sepaha. Begitu tipisnya gaun itu membuatku bisa melihat kalau emaknya Bilal hanya memaki cd di dalamnya.

"C... cocok Bu."

Emaknya Bilal mendekatiku hingga berdiri di depanku.

"Yakin? Apa gak terlalu mencolok?"

Tangannya memegang tanganku. Lantas tanganku di bimbingnya hingga memegang susunya. Tangannya meremas tanganku, membuat tanganku meremas susunya.

"Jupri."
"Eh, enggak. Ibu jadi terlihat cantik kok."
"Yakin nih? Apa gak terlalu kekecilan?"

Emaknya Bilal menarik roknya ke bawah, tanganku otomatis lepas dari susunya. Namun, karena tarikan tangannya, gaun itu tertarik hingga membuat susu kirinya seperti tumpah keluar dari belahan lehernya.

"Ups. Tolong benerin dong Jup."

Kuangkat tangan dan membenarkan posisi gaunnya. Tanpa kusadari, emaknya Bilal makin mendekat. Kini bahkan kurasakan selangkangannya menggesek selangkanganku.

"Kecil ya?"

Emaknya Bilal menyadari tatapanku ke susunya.

"Enggak. Bagus kok?"
"Ah masa?"
"Iya."
"Masa iya sih kamu bisa menilai hanya dengan tatapan?"

Gila. Maksudnya apaan nih?

"Boleh gak?"
"Boleh dong. Lagian kamu udah sangat membantu ibu."

Kupegang susunya dengan kedua tanganku.

"Udah ibu bilang, ibu akan sangat berterimakasih kalau kamu membantu ibu. Tenang saja Jup, gakkan pecah kok."

Kuremas susunya.

"Nah, gitu bagus."

selangakangannya tak berhenti menggesek selangkanganku. Aku meremas susunya untuk beberapa saat.

"Kamu mau menciumnya gak?"

Aku mengangguk. Emaknya Bilal melihatku tanpa ekspresi. Entah itu berarti mengiyakan atau tidak. Kumajukan kepalaku, namun ekspresinya tak berubah. Kucium bagian atas susunya. Lantas diam. Aku tak berani bergerak lagi.

Tangan emaknya Bilal memegang rambutku. Lantas memandu kepalaku hingga mulutku mencapai putingnya yang terbalut gaun malam.

"Ayo Jup."

Merasa mendapat angin segar, aku main kan lidah di putingnya. Tak lupa aku hisap. Kini tangan emaknya Bilal mengeluarkan susu dari gaun itu, hingga akhirnya tumpah. Kulanjutkan hisapanku.

"Ibu tahu kamu telah membantu Bilal. Kalau kamu mau membantu lagi, ibu akan lebih berterimakasih lagi."
"Apapun yang ibu butuhkan, Jupri bakal bantu."

Kudengar suara mobil bapaknya Bilal.

"Sial. Dia pulang cepat. Cepat sembunyi ke dapur!"

Aku lari ke dapur lantas sembunyi.

"Dari mana aja pah?"
"Biasa. Ngapain mama pake baju kayak gitu?"
"Emang kenapa?"
"Kok kenapa. Kalau si Bilal pulang gimana?"
"Iya deh mama ganti. Mandi dulu sana!"
"Iya. Tapi papa telat nih. Mama mau ikut gak?"
"Iya. Mama lagi beresin dapur dulu."

Aku tegang. Takut ketahuan. Saat kudengar suatu langkah menjauh, aku lantas mengintip. Namun tangan emaknya Bilal mendorongku.

"Tunggu," bisiknya. "Janji kan mau bantu Ibu soal Bilal?"
"Iya."
"Janji?"
"Iya, janji. Jupri mau pergi dulu."
"Janjinya pake cium dong."
"Tapi bu, bapak kan lagi mandi."
"Iya. Bayangkan segimana marahnya dia kalau tahu apa yang kamu lakukan sama istrinya."
"Bu," aku putus asa.
"Satu ciuman aja Jup."

Tubuhnya mendekat, membuat bibirnya menempel pada bibirku.

"Remas tangan ibu sambil nyium."

Kulakukan keinginannya. Ciuman dan pergerakan lidahnya di mulutku membuatku bertanya – tanya apa rasanya kalau mulut itu dimasuki kontolku. Ciuman kami agak lama.

"Udah cukup. Mending kamu pergi sekarang."

Kuikuti sarannya. Aku melangkah ke pintu. Namun sebelum membuka pintu, aku dipanggil.\

"Jup, ibu tahu soal kalian dan dua gadis itu. Bagus juga membuat Bilal dekat sama cewek."

Aku keluar rumahnya.
 
Satu kata war biasa :tepuktangan:
 
Asik juga ceritanya ... ditunggu lanjutannya suhu .... :beer:
 
Aku masih terngiang – ngiang akan kejadian barusan. Apa pun yang emaknya Bilal mau, bakalan aku lakukan. Mungkin dia juga benci anaknya seperti Bilal benci emaknya. Bahkan andai dia suruh membunuh anaknya pun, akan aku lakukan. Demi hadiah yang akan kuterima.

Suara mama membuyarkan lamunanku. Aku melihat dari jendela, mama sedang duduk di halaman belakang sambil menelepon. Mama sedang memakai kaos dan rok pendek. Kuambil boneka dan kubaca mantra. Setelah itu, kulepas kaos yang menempel di boneka. Mama lantas melepas kaosnya.

"Gak, gw sendirian. Gw gak tau dia di mana.
"Lu bercanda? Di belakang rumahlu?
"Gak mungkin. Gw gak berani.
"Gw tahu gak ada yang mungkin lihat.
"Gak mungkin Ni. Apalagi kalau ada Bilal di rumah lu.
"Ntar minggu."

Sial. Mama lagi ngobrol sama emaknya Bilal. Kucoba berkonsentrasi ingin mendengarkan percakapan lebih lanjut. Namun sia – sia.

"Gila. Tapi gw yakin lu dapet perhatiannya.
"Iya, gw tahu dia mulai macem – macem.
"Gw tahu lu udah coba segala cara. Iya, gw juga tahu apa yang Janah lakuin. Tapi kasus dia beda."

Mama gak boleh tahu apa yang kulakukan untuk membantu bu Ani, emaknya Bilal. Kalau dia tahu, tentu dia takkan pernah mengijinkan. Tapi kalau soal bantuanku di sekolah, tentu mama sudah tahu. Aku jadi penasaran tentang apa yang mama dan emaknya Bilal katakan. Jangan – jangan emaknya Bilal melakukan sesuatu di belakang rumahnya sementar ada anaknya di rumah.

Kenapa emaknya Eri disinggung – singgung?
Bukankah Eri yang ngasih tahu Bilal soal boneka?
Apa Eri benar – benar berpikir kalau boneka itu bisa membuat emaknya melakukan sesuatu?
Apa emaknya Bilal udah ngomong ke emaknya Eri, agar Eri ngasih tahu Bilal soal boneka untuk memperbaiki kelakuan Bilal?
Apa emaknya Bilal tahu kalau Bilal membencinya, hingga lebih suka menusuk boneka bergambar dirinya daripada mengelus – elusnya?
Apa emaknya Bilal berpikir kalau anaknya terlalu kekanak – kanakan hingga butuh bantuanku?

"Tindakan Janah penuh resiko Ni."

Meski tetap bicara, namun tangan mama masuk ke cdnya dan kulihat dari gundukan cdnya, jemarinya seolah bergerak kian – kemari.

"Iya, gw tahu si Janah ngapain aja sama si Eri.
"Tapi lu kan tahu sendiri. Si Eri bener – bener jadi parno, takut keluar rumahnya sendiri.
"Si Eri butuh motivasi. Dan si Janah ngasih dia motivasi.
"Si Bilal kan gak takut apa – apa.
"Gimana kalau lu malah gak bisa ngontrol dia?"

Tangan mama makin aktif. Aku takjub akan kemampuan mama berbicara sementara tangannya sedang menikmati memeknya sendiri. Kini kulihat pinggulnya sedikit terangkat. Aku yakin sudah ada jari yang bersarang ke memeknya. Pasti ada sesuatu dengan boneka ini, padahal aku belum memainkannya lagi. Aku tak pernah menyadari mama aktif secara seksual, hingga beberapa hari kebelakang, saat aku mendapatkan boneka ini.

"Apa? Iya gw denger.
"Lu udah mulai.
"Terus gimana kelanjutannya?
"Lebih sulit?
"Gw? Gak mungkin.
"Si Jupri gak pernah mandang gw kayak gitu.
"Lagian, gw gak sanggup kayak gitu.
"Kenapa? Ya karena anak gw gak sebengal anaklu.
"Kalau dia bengal?
"Gak lah. Ada cara lain buat bikin dia bisa gw kontrol.
"Dia apa?"

Keterkejutan di suara mama membuatku panik.

"Kapan?"

Sial. Emaknya Bilal mulai ngomong soal hal – hal yang kulakukan sama Bilal.

"Gim warnet? Lu bercanda?

Mama menggerakkan kepala ke arah jendela kamarku. Aku langsung sembunyi.

"Ngerokok?"

Dasar lonte tua. Omongannya gak bisa dijaga.

"Kok lu tau?"

Gimana caranya agar aku bisa bertingkah seolah tak mendengar percakapan ini?

"Gitu.
"Mmmm...
"Iya....
"Cewek? Gimana caranya dia bisa dapet cewek secepat ini?
"Lu yang atur?
"Gimana caranya?
"Apa, rahasia lu?

Emaknya Bilal pasti ngomongin soal indi

"Enggak Ni. Gw gak bisa.
"Gak lah. Gw mesti pake cara lain buat si Jupri.
"Gak mungkin. Gw yakin anak gw gak bakalan tertarik.
"Gw rasa lu bukan ibu yang buruk. Apalagi yang lu lakuin, luar dari pada biasa demi anaklu. Bukannya demi moore lo.
"Gw tahu sebagian besar gw kagak tahu. Tapi gw juga gak mau tahu.
"Gampang. Tinggal telepon gw aja.
"Oke."

Tangan kanan mama langsung melepas hpnhya membuat hpnya jatuh ke lantai. Sedang tangan kiri mama kini bergerak berbanding terbalik dengan pergerakan pinggulnya. Ritmenya tetap dua arah. Naik dan atau turun.

Tak ingin membiarkan mama sendirian, kulepas celanaku dan mulai mengocok kontolku.

Mata mama terpejam.

"Jangan. Kita gak boleh begini."

Mama bersuara. Pelan saja, namun tetap aku dengar. Hingga akhirnya tubuh mama menegang, lantas mengejang. Melihat mama demikian membuatku tak tahan hingga menyemburkan pejuku.
 
"Jupri."
"Iya Bu."
"Ibu pingin ketemu kamu."
"Kapan bu?"
"Sekarang."
"Iya bu."

Aku lantas keluar dari kamar menuju rumah bu Ani. Pintu terbuka sebelum aku sempat mengetuk. Tanganku lantas ditariknya hingga aku mengikuti emaknya Bilal ke dapur. Kali ini dia memakai kaos biasa dengan rok pendek biasa. Tangannya melingkari leherku. Bibirnya mengenai bibirku. Kami berciuman.

"Mana Bilal?"
"Ssshhhh. Pergi."
"Terus, yang di sini siapa?"
"Ngomong apa kamu?"

Matanya seolah heran. Sial, aku hampir keceplosan.

"Jupri kira ibu gak sendirian."
"Bapak lagi di ruang kerjanya. Makanya ibu ssshhhh kamu."
"Bapak..."

Aku mencoba berontak tapi tanganku diraih dan diletakannya di antara selangkangannya.

"Kamu mau sentuh ini?"
"Tapi bapak."
"Kamu mau atau tidak?"

Lidahku kelu. Aku tak bisa menjawab.

"Tentu kamu mau. Ayo sentuh!"

Aku memalingkan kepala mencoba meyakinkan diri. Tatapanku kini beralih ke selangkangannya. Kugerakan tangan masuk ke dalam roknya hingga jemariku menyentuh cdnya.

Tangan emaknya Bilal lantas mencengkram tanganku hingga tak bisa bergerak.

"Janji dulu sama ibu."
"Apa?"
"Janji dulu sama ibu."
"Iya, janji."
"Janji kamu bakal balikin boneka Bilal ke Bilal."

Gila, dia tahu soal boneka?

"Entahlah."
"Sudahlah. Ibu tahu soal boneka. Ibu minta dia bujuk Eri agar ngasih tahu Bilal soal boneka."

Tentu saja. Bilal selalu main sama Eri saat kecil. Sebelum Eri jadi aneh. Tapi setelah penyakit Eri makin kacau, Bilal malah tak sabaran sama Eri.

"Mamanya Eri pake boneka untuk membuat Eri sembuh. Sekarang Eri udah normal. Jika boneka itu bisa dipakai untuk Eri, tentu bisa juga untuk Bilal. Dan kamu jangan kasih tahu apa – apa. Mengerti?"

Cengkraman tangan emaknya Bilal makin melunak. Bahkan kini tangannya menggerakan tanganku hingga tanganku naik turun.

"Iya, jupri janji gakkan bicara."
"Bagus. Kamu suka memegang cd ibu?"

Aku mengangguk.

"Kamu mau menyentuh aslinya gak?"

Aku mengangguk. Emaknya menurukan sedikit tubuhnya, membuat selangkangannya menekan tanganku. Mulutnya mendekati kupingku, lantas kudengar dia berbisik.

"Berikan bonekanya ke Bilal. Bilang kamu udah nanya ke Eri dan Eri jawab kalau boneka itu beneran berguna."

Aku mengangguk lagi. Entah bagaimana caranya, emaknya Eri memakai boneka ini untuk menyembuhkan Eri. Aku tak ingin melepas keberuntunganku dengan mengatakan ke emaknya Bilal kalau Bilal lebih suka menusuk bonekanya daripada memakainya untuk tujuan lain.

"Lakukan yang ibu minta lantas akan ibu biarkan kamu melepas cd ini."

Emaknya Bilal kembali menciumku. Lidahnya mencari – cari lidahku. Tanganku tetap bermain di selangkangannya. Terngata jempolku nyelip masuk diantara cdinya dan mengelus memeknya langsung.

"Bagus Jup, kayak gitu. Yakinkan Bilal kalau dia mesti baik – baikin tuh boneka."

Emaknya Bilal tak melarangku, jadi kuteruskan aksi jempolku. Kucoba menerobos mencari lubang memeknya.

"Ntar, kalau kamu sukse, kamu boleh coba yang asli."

Tangan emaknya Bilal lantas menyingkirkan tanganku.

"Mah, tahu gak.
"Lho, ada Jupri toh."

Bapaknya Bilal seperti terkejut melihat kehadiranku. Untung tanganku keburu ditarik. Tentu emaknya Bilal sering ngobrol tentang tingkah lakuku pada suaminya. Maka dari itu suaminya terkejut melihat kehadiranku.

"Jupri cari Bilal. Kayaknya dia bentar lagi pulang."
"Oh. Ya udah kamu tunggu aja. Jangan kayak tamu, kamu kan temannya Bilal."
 
Kuberitahu Bilal kalau acara kami bersama para cewek gagal.

"Anjing. Gw udah nurut apa kata lu sekarang lu bilang gagal. Dasar hode."
"Tenang dulu. Dengerin dulu kata gw."
"Sekate – kate lu, kayak ayam kate aja."
"Eh, kita udah gak perlu mereka lagi."
"Terus lu ngapain aja selama ini hah? Gw tahu lu lakuin sesuatu. Bisa gw lihat dari wajahlu."
"Gak ngapa – ngapain."
"Lah, kayak gw gak tahu lu aja."
"Iya deh. Tapi lu bisa jaga rahasia gak?"
"Apalagi ini?"
"Iya deh. Iya. Sekarang diem. Lu inget gak kalau Eri bilang boneka ini berhasil?"
"Boneka? Lu ngomong apaan?"
"Bener lho."
"Apa?"
"Bonekanya bener – bener nyata. Tapi kalau ditusuk atau disiksa, gak mempan. Mesti dibaik – baikin. Dieluslah."
"Dibaik – baikin? Lu ngomong apa? Hak asasi kebonekaan hah?"
"Diam lu. Dengerin gw. Gw tau Eri pake bonekanya buat bikin emaknya ngelakuin sesuatu."
"Ngelakuin sesuatu? Ngelakuin apa?"
"Maksudnya," aku diam sejenak mencoba merangkai kata, untuk bicara, "dia bikin emaknya jadi baik sama dia dan ngelakuin sesuatu bareng dia."
"Nelakuin sesuatu apaan maksudnya?"
"Lu tahu lah. Emaknya biarin si Eri ehem - ehem. Emaknya gak bisa ngapa – ngapain. Efek boneka. Lagian lu tau, emaknya si Eri gak jelek – jelek amat."
"Maksud lu? Gila lu ah. Serius? Gw gak bisa kayak gitu sama emak gw."
"Gak perlu gitu. Tapi lu bisa bikin dia jadi baik, gak marah – marah mulu."
"Kok lu tahu, apa yang Eri bilang..."
"Dia gak ngomong apa – apa. Gw yang coba sendiri."
"Coba apa?"
"Gw baik – baikin tuh boneka. Eh emak gw malah jadi baik sama gw."
"Lu baik – baikin boneka?" teriak Bilal histeris. "Baik – baikin boneka? Trus emak lu jadi ngapain sama lu?"
"Gak ngapa – ngapain. Gw elus dikit, eh emak gw jadi baik dah."
"Dia jadi baik? Maksudlu apaan sih?
"Gw gakkan jabarin apa yang emak gw lakuin."
"Ya elah. Lagian emak lu udah baik dari dulu juga. Gw rasa bonekalu gak ngaruh. Gw gakkan baik – baikin boneka emak gw."
"Maksud gw, emak gw jadi makin baik. Ya udah, gw mau balikin bonekalu dah."
"Bukannya udah lu balikin?"
"Gak. Boneka gw kan sukses."
"Balikin ke gw!"
"Katanya gak mau baik – baikin bonekalu."
"Emang gak mau. Tapi gw juga gak mau orang lain yang malah baik – baikin boneka gw."
"Besok dah gw balikin."
"Ntar malam."
"Besok."
"Ntar malam."
"Buat apa, kan katanya gak mau lu pake?"
"Gw gak ingin ada orang lain yang make. Bodoh lu ya."
"Iya deh. Terserah lu."
 
Bimabet
Kuberikan boneka pada Bilal. Menurut apa yang aku dengar, perbonekaan ini awalnya dimulai oleh emaknya Eri, yang minta tolong pada dukun tua, untuk membantu anaknya. Lantas emaknya Eri ini ngomong sama emaknya Bilal, informasi ini digunakan emaknya Bilal untuk membantu memperbaiki tingkah laku Bilal. Sialnya, emaknya Bilal kemungkinan besar sudah bicara sama mama.

Mama kini tahu tingkah lakuku sama Bilal. Sial. Kira – kira apa yang akan mama lakukan? Mama bilang ke emaknya Bilal kalau dia akan pake cara yang berbeda karena mama mengira aku takkan tertarik padanya.

Eh, tapi, apa itu artinya mama akan melakukan apa yang dilakukan oleh emaknya Eri dan emaknya Bilal?

Kemungkinan mama gak tahu kalau Bilal telah memberiku boneka yang mirip mama. Dari percakapan yang aku kuping, mama takkan menggunakan sensualitas tubuhnya untuk meredakan kenakalanku.

Benarkah itu?

Lebih baik aku bertindak dengan dugaan kalau boneka itu benar – benar nyata, seperti di film – film vampire tiongkok yang selalu diputar di tv tiap sabtu pagi. Seingatku, mama tak pernah begitu sensual jika ada aku.

Tapi, semenjak aku memiliki boneka ini, sakit kepala mama, saat mama bersila di ruang tv, maupun saat mama menelepon di halaman belakang, penjelasan apa yang mungkin bisa aku dapatkan? Apakah itu semua hanyalah kebetulan?

Kini kusadari kalau mama jauh lebih menarik dibanding emaknya Bilal. Lamunanku buyar saat mendengar mama bercakap dengan ayah. Kuraih bonekaku dan kuleus pahanya dengan jempolku.

Bagaimana kalau boneka ini benar – benar nyata?
Bukankah menghangatnya boneka ini bukan merupakan imajinasiku?
Bagaimana kalau boneka ini bekerja secara umum?
Tiap kali kuelus, mama jadi sange, hingga mau tak mau mesti masturbasi untuk meredakan nafsunya.

Kira – kira sepuluh menit aku bermain dengan bonekaku. Lantas boneka kutaruh di bawah kasur. Aku pun turun. Mama sedang membaca majalah sambil berbaring di sofa. Mama memakai kaos dan rok selutut. Aku duduk di bagian lain sofa, dekat kaki mama. Mama sedikit mengangkat kakinya untuk memberiku lahan duduk.

Wajah mama tertutupi majalah. Dari posisi dudukku, aku bisa melihat cd yang membalut selangkangannya.

"Jup."
"Ya?"
"Mama mau ngomong."
"Ya?"
"Mama dengar kamu mulai nakal di luar."

Mama berhenti bicara, mungkin untuk memberi sentuhan khusus. Lagian jantungku berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang. Mama masih belum menaruh majalahnya, jadi kuputuskan untuk melihat cd mama lagi. Bagaimana kalau bonekaku tadi bekerja?

"Sebaiknya kamu mesti hentikan kenakalanmu sebelum terlambat."
"Iya."

Ayah memanggil mama.

"Mama lagi sibuk."
"Kenapa ayah gak ke sini terus ngomong ke mama?"
"Ayahmu ingin mama membantunya memasang pencahayaan. Tapi mama lagi sibuk."
"Iya, Jupri juga tahu kok."
"Ayahmu juga gakkan ke sini bantuin mama olesin salep ke bagian yang lecet."
"Lecet di mana mah?"
"Di kaki mama."
"Soal kenakalanmu..."
"Sakit gak mah?"
"Lecetnya? Iya."
"Mau Jupri olesin salep gak?"

"Gak." Hening. "Terserah kamu lah."
"Di mana?"
"Di belakang kakinya."
"Maksud Jupri salepnya."
"Oh, nih."

Tangan mama menjangkau salep yang ada di meja di dekat kepala mama. Kuraih dan kubuka. Kusadari mama belum juga melihat dan atau menatapaku. Wajahnya selalu tertutup majalah. Kusemprotkan ke jariku.

"Di mana mah?"
"Di sini," kata mama sambil menggerakan kaki kanannya. "Di pergelangan."

Kuelus pergelangan kaki.

"Naikin."
"Apa?"
"Naik ke atas lagi. Lecetnya sampai ke lutut."
"Oh."

kusemprotkan lagi salep ke tangan, lantas kembali kueluskan ke kaki mama. Dari pergelangan kaki naik ke lututnya. Aku tak melihat ada lecet di lututnya. Tapi di pergelangan kakinya pun aku tak melihat lecet.

Aku tak peduli, terus kuelus lutut mama, juga belakang lututnya.

"Mmmmm...," mama bersuara.

Tiba – tiba terlintas di kepalaku, mama tak perlu bantuanku atau bantuan ayah untuk sekedar mengoles salep di kakinya.

"Kaki kirinya juga Jup."

Kuulangi langkahku di kaki kiri mama. Mama agak melebarkan pahanya. Karena keasikan, aku terlalu banyak mengoleskan salepnya membuat pergerakan jari di belakang lutut mama bersuara becek.

"Kebanyakan salepnya mah."

Lantas tanganku yang berlumur salep kueluskan ke paha mama. Waw, aku terkejut akan tingkahlakuku sendiri. Aku takut akan tindakanku yang mungkin terlalu jauh, terlalu berani.

Ternyata benar, mama langsung merapatkan kedua pahanya.

"Gak ada lecet di sana."
"Iya, maksud Jupri. Kan kebanyakan salep, biar tangannya kering lagi, jadi ya reflek."


Meski mama tak menatap, aku tahu kalau mama merasakan kegugupanku yang terdengar jelas dari suaraku. Mama kembali menaikan bawahan roknya hingga ke lututnya.

"Oh gitu. Ya udah, makasih udah bantuin mama."
"Iya, kalau mama butuh bantuan, panggil Jupri aja."

Mama sepertinya akan menjawab, namun ayah muncul.

"Mah, bantuin ayah dong. Bentar kok."
"Jupri aja yah."
"Tapi kan dia gak tahu tata pencahayaan."
"Jupri bisa kok bantuin ayah."
"Iya lah."

Ayah melangkah pergi. Kuikuti. Aku senang pergi dari ketercanggunganku bersama mama. Kira – kira sepenanakan nasi, aku membantu ayah menyusun tata pencahayaannya. Rupanya ada suami istri baru menikah yang pindah ke lingkungan kami, masih satu rt. Istrinya ingin jadi model baru ayah. Aku jadi penasaran, kenapa sesi pemotretan ini malah dilakukan di rumah, bukannya di kantor ayah? Mungkin ini yang membuat mama malas membantu ayah.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd