Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Copas + Remake) Serial Pendekar Rajawali Sakti Episode 1& 2

Semakin hari kekuatan Panji Tengkorak semakin bertambah saja, tiap hari banyak tokoh persilatan dari aliran hitam berdatangan untuk menyatakan takluk. Saka Lintang lah yang selalu mencoba kemampuan tokoh-tokoh hitam tersebut. Dari sekian banyak tokoh hitam yang kalah, hanya dua orang saja yang mampu menandingi jurus ‘Tarian Bidadari’. Dan jurus ‘Ular Berbisa Menyebar Racun’. Namun memang harus di akui, jika jurus ketiga yang merupakan gabungan dari jurus. ‘Tarian Bidadari’, dengan jurus ‘Ular Berbisa Menyebar Racun’ memang tidak tertandingi. Ke dua orang yang mampu menandingi jurus itu juga sudah terkenal dalam rimba persilatan. Yang pertama adalah orang yang biasa di juluki Kakek Merah Bermata Elang, jubahnya yang merah dan matanya yang bulat seperti mata elang itu membuat kakek tersebut di juluki demikian. Kehebatan kakek itu terletak pada kesepuluh jari-jari tangannya, yang hampir menyerupai cakar seekor elang. Bahkan sebongkah batu besar yang keras sekali pun dapat di tembus oleh jari-jari tangannya. Sementara yang seorang lagi bertubuh pendek, dengan kepalanya yang gundul tidak berambut, serta selalu mengenakan sebuah jubah kuning. Dia adalah seorang pendeta sakti, dengan julukan, Pendeta Murtad dari Selatan. Senjatanya adalah sebuah tasbih yang terbuat dari untaian mutiara, ke dua tokoh itu juga akhirnya mengakui kehebatan Saka Lintang, karena terbukti jika keduanya itu memang tak sanggup menandingi kehebatan jurus ketiga gadis itu. Yang merupakan gabungan dari jurus. ‘Tarian Bidadari’, dengan jurus ‘Ular Berbisa Menyebar Racun’. Kehebatan putri pemimpin Iblis Lembah Tengkorak itu seketika langsung menjadi buah bibir. Baik dari kalangan pendekar golongan hitam mau pun putih. Para tetua yang tergabung dalam Panji Tengkorak itu pun sepakat untuk memberi julukan baru ke pada Saka Lintang, Yaitu Kembang Lembah Tengkorak.

“Aku tak menyangka jika perkumpulan Panji Tengkorak yang baru seumur jagung, mampu mengumpulkan begitu banyak tokoh aliran hitam.” gumam Pendeta Murtad dari Selatan pelan, sesaat setelah dirinya mampu di kalahkan oleh Saka Lintang. Nama Pendeta tersebut, aslinya adalah Pradya Dagma.

“Iya, memang tidak mengherankan jika Geti Ireng pasti akan membuat nama Panji Tengkorak menjadi semakin besar di kalangan rimba persilatan.” Sahut seseorang di sebelahnya, yang ternyata adalah Kakek Merah Bermata Elang. Sedangkan nama aslinya adalah Kalingga.

“Kemampuan putrinya saja ternyata sudah sehebat itu.” Balas Pradya Dagma cepat.

“Dua hari yang lalu aku juga sudah merasakannya, dia dapat mengalahkanku dengan mudah.” jelas Kalingga juga pelan.

Pradya Dagma atau Pendeta Murtad dari selatan menatap tajam pada kakek berjubah merah di sebelahnya itu, laki-laki berkepala gundul itu juga tidak menyangka jika Saka Lintang pun dapat mengalahkan Kalingga.

“Seluruh ilmu yang ku miliki, dan ku perdalam bertahun-tahun, sama sekali tidak berarti apa-apa di hadapan gadis cantik itu. Hhh…,” ada nada kemurungan pada suara Kakek berjubah merah itu.

“Kau menyesal, Kakek tua?" tanya Pradya Dagma cepat.

“Yahhh…, Sedikit.” Balas kakek-kakek yang bernama Kalingga itu pelan.

“Apa kau masih penasaran? Ingin mencoba lagi kehebatan gadis cantik itu?”

“Hehehe…, dasar kampret.”

Ke dua orang itu langsung tertawa terbahak-bahak, kemudian Pradya Dagma pun melirik ke arah wajah Kalingga, di lihatnya sorot mata yang lain saat itu juga. Sepasang Mata bulat merah di hadapannya itu, tidak lagi menyala seperti biasanya. Ada keredupan yang terlihat memancar dari sorot mata kakek-kakek itu. Meski pun tidak di ucapkannya secara langsung, tapi Pradya Dagma tahu kalau Kakek tua itu merasa gentar jika harus berhadapan dengan Saka Lintang sekali lagi. Lawan yang mereka hadapi, memang tangguh luar biasa. Bahkan Pradya Dagma sendiri harus berpikir seribu kali, jika dirinya harus berhadapan kembali dengan gadis cantik putri semata wayangnya Iblis Lembah Tengkorak itu. Jurus-jurusnya yang di padu dengan gerakan lembut di sertai penyaluran tenaga dalam, di kenal sebagai jurus ‘Bidadari Penyebar Maut’. Setiap gerakan yang di lakukannya, mengandung hawa panas serta menyebar racun yang mematikan. Itulah jurus gabungan dari jurus ‘Tarian Bidadari’ dengan ‘Ular Berbisa Menyebar Racun’. Bahkan kehebatan jurus gabungan gadis tersebut itu telah di rasakan oleh kedua tokoh sakti itu. Dengan menghirup hawa racunnya saja, sudah membuat kepala mereka menjadi pening. Maka tidak berlebihan jika gelar Kembang Lembah Tengkorak kini resmi di sandang oleh Saka Lintang. Memang di Lembah Tengkorak tersebut, hanya gadis itulah yang sekarang terkenal kecantikannya. Dan kekejamannya dalam pertarungan.

***
 
Sementara hari terus berganti hari, bulan pun berganti bulan. Tahun demi tahun berlalu cepat, hingga tidak terasa sudah dua belas tahun Rangga tinggal di dasar Lembah Bangkai. Tubuhnya yang tumbuh menjadi seorang remaja itu, terlihat tegap dan kekar. Wajahnya pun kini terlihat sangat tampan, dengan di hiasi rambutnya yang kini tampak panjang sampai bahu. Sekian lama pemuda tampan itu tanpa sadar telah di gembleng dengan jurus-jurus Rajawali Sakti. Di usianya yang kini menginjak tujuh belas tahun itu, Rangga pun mulai menyadari. Jika gerakan-gerakan yang di ajarkan burung rajawali raksasa itu merupakan gerakan-gerakan ilmu silat tingkat tinggi.

“Sungguh tidak ku duga, ternyata kau memang bukan rajawali biasa.” gumam pemuda berwajah tampan itu pelan.

Setelah dia selesai menyelesaikan jurus ke tiga, dari rangkaian jurus andalan Rajawali Sakti. Sementara burung raksasa itu hanya terlihat mengangguk-anggukkan kepala seraya merentangkan kedua sayapnya lebar-lebar. Rangga yang sudah mengerti akan isyarat burung raksasa itu pun langsung paham, jika burung rajawali raksasa tersebut tengah menyatakan kegembiraannya. Lalu dengan cepat segera di raihnya leher burung rajawali itu, seraya di peluk dengan penuh kasih sayang. Di usianya yang tujuh belas tahun itu, pemuda berwajah tampan tersebut meman terlihat gagah. Tubuhnya kini tampak tegap berisi, di balut otot-otot yang menonjol di seluruh tubuhnya yang terbalut kulit putih nan bersih itu. Selama dua belas tahun itu, Rangga sudah menguasai tiga jurus andalan dari rangkaian jurus Rajawali Sakti. Jurus yang pertama adalah, ‘Cakar Rajawali’. Jurus tersebut mengandalkan kekuatan jari-jari tangan yang dapat berubah menjadi keras dan tajam, setajam mata pedang. Sedangkan jurus yang ke dua adalah ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Dengan jurus itu pemuda tampan tersebut mampu bertarung di udara, tanpa sedikit pun menyentuh bumi. Jurus tersebut mengandalkan kecepatan gerak kedua tangan yang di padukan dengan kekuatan tenaga dalam yang besar. Dan Jurus yang ketiga adalah, ‘'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’. Dan saat ini, pemuda tampan tersebut tengah mempelajari jurus yang ke empat, yaitu jurus. ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’. Jurus yang sekarang tengah di pelajarinya itu memang sangat berbahaya, karena penuh dengan tipuan. Sasaran mautnya adalah jalan darah milik lawan. Sebenarnya jurus yang ke empat itu hanya bisa di pelajari oleh orang yang memiliki tenaga dalam yang sempurna. Tetapi berkat selama dua belas tahun Rangga rajin menyantap jamur ajaib, maka dia tidak perlu lagi susah-susah untuk melatih tenaga dalamnya. Karena jamur-jamur yang menjadi makanannya sehari-hari itu, telah menyebar di seluruh jaringan syaraf-syaraf pemuda tampan itu, serta bisa membangkitkan hawa murni yang secara alami yang ada dalam tubuh manusia.

“Hey…, kau mau kemana?” teriak pemuda tampan itu tiba-tiba.

Ketika di lihatnya rajawali putih di hadapannya itu mengepakkan sayapnya, dan langsung terbang mengangkasa. Rangga pun segera mengerahkan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’, maka seketika itu juga tubuhnya mendadak menjadi ringan. Lalu melenting dengan kecepatan bagai kilat. Begitu cepatnya lompatan tubuh pemuda tampan itu, hingga dalam sekejap mata saja tubuhnya sudah berada di atas punggung rajawali raksasa itu.

“Khraghk…,”

Burung rajawali putih tersebut terus mengepakkan ke dua sayapnya, hingga kini kecepatan terbangnya melebihi lesatan anak panah. Sebentar saja mereka berdua telah sampai di suatu tempat, yang masih berada di sekitar Lembah Bangkai. Kening pemuda tampan itu pun langsung berkerut penuh tanda tanya, karena selama dua belas tahun tinggal di lembah tersebut. Belum pernah sekali pun dirinya datang ke tempat itu.

“Tempat apa ini?” gumam Rangga setelah melompat turun dari punggung burung raksasa itu.

“Kraghk…, Kraghk…,” terlihat burung rajawali raksasa putih itu menjulurkan kepalanya ke depan.

Pandangan pemuda tampan itu pun langsung mengikuti arah juluran kepala burung rajawali yang berada di sebelahnya. Dan sepasang matanya langsung agak menyipit, begitu melihat sebuah goa tidak jauh dari hadapannya. Sementara tidak jauh di sisi mulut goa sebelah kanan, terlihat pula semacam gubuk yang terbuat dari ranting-ranting kayu. Goa tersebut memang berukuran sangat kecil, sehingga burung rajawali raksasa tidak mungkin bisa masuk kedalamnya, kecuali kepalanya saja.

“Gubuk siapa itu? Ucap pemuda tampan tersebut kebingungan.

Belum juga pertanyaannya terjawab, burung rajawali putih di belakangnya, terihat sudah mendorong-dorong punggung Rangga dengan sayapnya. Dengan hati penuh keraguan, pemuda itu pun melangkahkan ke dua kakinya menghampiri gubuk rusak tersebut. Wajahnya langsung tersentak ketika dia melihat di bawah atap rumbia gubuk itu, terlihat pula sebuah makam. Yang paling anehnya lagi, makam tersebut terlihat begitu terawat rapi keadaannya, meski pun gubuk yang menaunginya kini telah terlihat reyot. Walau pun dirinya tidak tahu makam siapakah itu, namun dia tetap berlutut hormat. Dan seketika itu juga dirinya kembali teringat pada kedua orang tuanya yang tewas terbunuh dua belas tahun yang silam. Pemuda tampan itu juga tidak mengetahui bagaimana nasib mayat kedua orang tuanya, apakah ada yang memakamkan? Atau mungkin juga telah menjadi santapan gerombolan srigala hutan. Pemuda tersebut masih terlihat berlutut seraya tepekur dengan wajah menunduk di samping makam itu.

“Krhaghk…,”

Sebuah suara berkaok dari burung rajawali raksasa seketika mengagetkan nya, Rangga pun segera menoleh pelan ke belakang. Terlihat burung rajawali putih itu juga menundukan kepalanya, sambil mengangguk-angguk pelan. Sepertinya dia juga ikut sedih setelah melihat makam di hadapan nya itu. Perlahan pemuda tampan itu pun bangkit berdiri, ke dua kakinya melangkah pelan menghampiri burung rajawali raksasa tersebut. Lalu dengan penuh kasih sayang, di peluknya leher burung rajawali raksasa itu. Seakan-akan ingin ikut berbagi perasaannya.

“Makam siapa itu?” ucap Rangga berbisik pelan.

Burung rajawali putih itu menggoyang-goyangkan kepalanya pelan, lalu menjulurkan paruhnya ke arah goa. Pemuda tampan itu pun paham kalau burung rajawali raksasa itu menyuruh dirinya agar masuk dalam goa tersebut. Maka tanpa ragu-ragu lagi, ke dua kaki Rangga pun melangkah masuk ke dalam goa. Dan sesampainya di dalam goa tersebut, ke dua bola matanya langsung tertegun, saat mengamati sekitar ruangan bagian dalam goa. Keadaan ruangan itu memang tidak begitu besar, namun banyak menyimpan barang-barang keperluan seperti layaknya sebuah rumah saja. Di bagian kanan goa, yaitu pada salah satu dinding, terdapat sebuah rak yang penuh dengan buku-buku. Dan di bagian samping kirinya terdapat bermacam-macam senjata, ada pedang, golok, tombak, hingga senjata yang aneh-aneh bentuknya. Bahkan di dalam goa itu juga ternyata banyak terdapat jamur-jamur yang biasa di makan oleh Rangga. Anehnya lagi, jamur berwarna putih sebesar kepalan tangan itu, hanya tumbuh pada satu dinding. Yang berada dekat sebuah tempayan air. Tepatnya di dinding sebelah kanan yang menuju arah lobang goa.

“Kau juga ingin melihat?.”

Pemuda tampan itu segera menggeser tubuhnya ke samping, memberi Jalan buat kepala rajawali putih raksasa yang berada di luar goa untuk menyelinap masuk.

“Khraghk…,”

“Ada apa dengan buku-buku itu?.” tanya pemuda tampan itu heran.

Ketika di lihatnya burung rajawali putih di belakangnya itu tampak mematuk-matuk paruhnya ke lantai goa yang berpasir. Rangga yang memang sudah faham akan bahasa isyarat burung rajawali itu, langsung dapat menangkap maksudnya. Dengan langkah pelan, segera di dekatinya rak buku tersebut, sebelah tangannya terulur dan mengambil salah satu buku yang berada paling ujung sebelah kiri.

“Khraghk…,”

Kembali pemuda tampan itu menoleh, kali ini di lihatnya kepala burung rajawali putih itu menggeleng-geleng beberapa kali. Rangga pun tersenyum sebentar, lalu tangannya segera meletakan kembali buku yang tadi sudah di ambilnya itu di tempatnya semula. Kali ini pemuda tampan itu berpindah mengambil sebuah buku yang berada paling ujung di sebelah kanan. Kepala burung rajawali putih itu langsung mengangguk-angguk pelan, dan kembali mematuk-matuk lantai goa lagi. Rangga pun langsung faham jika burung rajawali putih itu menyuruhnya agar segera membaca buku tersebut. Ke dua bola matanya langsung membeliak lebar, ketika melihat isi buku yang berada di ke dua tangannya itu, ternyata berisi gambar-gambar jurus silat. Bahkan beberapa di antara jurus yang ada di buku itu sudah dia kuasai. Namun kecerdikannya langsung menangkap kalau dia harus memperdalam lagi seluruh jurus-jurusnya melalui buku itu.

“Punya siapa buku-buku ini?” kembali pemuda tampan tersebut membuka suara.

Pandangan matanya menatap lekat-lekat ke arah burung rajawali putih raksasa yang berada di luar goa. Burung rajawali putih raksasa itu pun langsung menengokkan kepalanya ke arah belakang.

“Jadi pemilik buku dan semua peralatan yang ada di sini telah meninggal dunia? Siapa dia sebenarnya?” gumam Rangga pelan, langsung menangkap maksud isyarat burung rajawali putih tersebut.

Kembali burung rajawali putih raksasa itu terlihat mematuk-matuk dinding Goa.

“Baik, arah sebelah mana?” tanya pemuda tampan itu masih dengan wajah memandang ke arah burung rajawali putih.

Di lihatnya burung rajawali tersebut menggerakan paruhnya, menunjuk ke arah kanan. Rangga pun langsung mengikuti arah yang di tunjuk oleh burung rajawali putih itu. Seketika di lihatnya sebuah dinding batu tebal yang berlumut.

“Khraghk…,”

Burung rajawali putih itu kini, memutar-mutar kepalanya beberapa kali. Rangga pun kembali menoleh ke belakang. Di lihatnya burung rajawali yang berada di belakangnya itu, masih saja memutar-mutar kepalanya. Pemuda tampan itu langsung berpikir sejenak, dengan dahi yang sedikit berkerut serta ke dua bola matanya yang langsung agak menyipit. Lalu dengan perlahan kepalanya mengangguk pelan, seraya melangkah ke arah dinding tersebut. Pelan-pelan di dekatinya dinding yang berlumut itu, lalu tangan kanannya bergerak terulur ke depan. Pelan-pelan, di sentuhnya dindin batu tersebut dengan tangan kanannya, namun dinding batu itu sama sekali tidak bergerak, atau pun bergeser sedikit pun.

“Krhaghk…,”

“Baiklah-baiklah, sekarang aku mengerti.” sahut Rangga cepat.

Dengan pelan, pemuda tampan itu pun segera mundur dua tindak, lalu di pusatkan perhatiannya pada dinding batu itu. Ke dua telapak tangannya yang terbuka langsung terulur kea rah dindin batu yang berada di hadapannya, menyentuh dan melakukan gerakan mendorong ke depan. Seketika itu juga terdengar suara ledakan yang dahsyat, di susul getaran seluruh dinding goa layaknya gempa bumi. Rangga pun langsung terkejut, dengan ke dua bola mata terbelalak lebar. Saat menyaksikan dinding batu di hadapannya itu bergeser pelan-pelan ke samping. Suara geseran dinding tersebut menimbulkan gemuruh yang berisik, seakan-akan seluruh dinding goa itu hendak runtuh saat itu juga. Kembali ke dua bola mata pemuda tampan terbelalak lebar,setelah dinding batu di hadapan nya itu kini semakin terbuka lebar. Sebuah ruangan yang agak besar pun kini Nampak jelas di hadapannya, bersamaan dengan berhentinya suara gemuruh yang tadi terdengar keras. Seberkas cahaya terang tampak memancar dari sebuah api, yang berasal dari tengah lubang sebuah batu. Tidak ada apa pun di dalam ruangan itu, kecuali sebuah batu yang bentuk nya menyerupai sebuah altar. Batu tersebut letaknya berada di tengah-tengah ruangan, dan sebuah buku kumal terlihat tergeletak di atasnya. Rangga pun melangkah masuk, lalu pelan-pelan di dekatinya batu altar yang berada tidak jauh dari hadapannya itu. Batu tersebut berwarna hitam pekat. Dengan tangannya, pemuda tampan itu pun langsung meraih buku kumal tersebut, dan membuka halaman pertama dari buku itu. Seketika wajah pemuda tampan itu langsung tertegun kagum, ketika membaca halaman pertamanya. Rangga pun langsung mengetahui siapa sebenamya orang yang menempati goa itu sebelumnya, setelah dia selesai membaca buku tersebut. Ternyata orang tersebut adalah seorang tokoh yang tidak tertandingi, yang pernah hidup seratus tahun yang silam. Seorang tokoh yang mempunyai gelar Pendekar Rajawali Sakti, yang bertahun-tahun malang melintang di dunia persilatan. Sampai akhirnya tokoh tersebut mengasingkan diri, di dasar Lembah Bangkai. Buku kumal yang tadi di ambil dari atas altar di hadapannya itu, memang bercerita banyak tentang tokoh tersebut. Hingga pada akhirnya, Rangga pun langsung tahu jika goa besar yang telah jadi tempat tinggalnya selama dua belas tahun itu juga, ternyata adalah tempat tinggal burung rajawali putih raksasa yang merupakan tunggangan mendiang Pendekar Rajawali Sakti ketika dia masih hidup dulu. Bahkan di dalam buku kumal itu juga menceritakan tentang sepak terjang pendekar tersebut yang telah malang melintang selama berkelana di dunia persilatan. Dan selama di dalam pengasingan diri itu juga, ternyata tokoh sakti tersebut telah menuliskan seluruh ilmunya ke dalam sebuah buku lagi. Hal itu tentu saja membuat Rangga kian merasa gembira, karena buku yang berisi jurus-jurus Rajawali Sakti itu, telah dia temukan di luar ruangan tadi. Belum lagi puas perasaan gembira yang melanda hatinya, kembali pemuda tampan itu di buat terkagum-kagum. Manakala di lihatnya sebuah peninggalan tokoh sakti itu, yakni sebuah pedang pusaka yang menggantung di sebuah dinding, yang berada tidak jauh dari dirinya berada. Pedang tersebut tampak memancarkan sinar biru kemilauan, dengan gagangnya yang berbentuk kepala rajawali yang terbuat dari emas murni. Pengaruh pedang tersebut rupanya juga amat sangat dahsyat, karena seluruh aliran darah Rangga langsung terasa bergetar ketika tangannya mencabut pedang itu dari Sarungnya. Kekaguman pemuda tampan itu tidak berhenti sampai di situ, dengan mantap, di cobanya pedang telanjang yang berada dalam genggaman tangan kanannya itu pada sebuah batu yang berukuran besar, sebesar kerbau. Dan betapa kagetnya hati Rangga, setelah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Karena batu yang tadi dia hantam dengan pedang di tangannya itu, langsung hancur berkeping-keping.

Blaaarrr…,

“Khraaaghk…,”

Pemuda tampan itu itu menoleh ke arah burung rajawali yang sejak tadi mengawasi dirinya dari mulut goa. Dengan pelan pedang yang berada di tangannya itu pun kembali dia masukkan ke dalam sarungnya. Sementara kepala burung rajawali raksasa yang berada di mulut goa pun terlihat terrangguk-angguk, seraya mengeluarkan suara yang memekakkan telinga. Rangga pun langsung tersenyum, karena dia tahu kalau burung itu tengah menyatakan kegembiraannya. Dan memang benar adanya, burung rajawali putih itu memang sangat gembira. Begitu dia tahu Rangga tidak mendapat pengaruh apa-apa sewaktu memegang dan menebaskan pedang pusaka tadi. Karena tidak sembarang orang dapat melakukannya, bahkan jika bukan jodohnya maka akan langsung ambruk muntah darah saat itu juga, meski belum mencabut pedang itu dari sarungnya.

“Ya, ya. Mudah-mudahan saja aku bisa mengikuti jejak guru.” kata Rangga menyahuti dari dalam goa.

“Khraaaghk…,”

Burung rajawali itu pun seakan-akan menyambut gembira, mendengar ucapan yang di keluarkan oleh Rangga tadi. Kegembiraannya itu di lampiaskan dengan mengepak-ngepakkan sayap, dan langsung terbang berputar-putar dengan di iringi suaranya yang memekakkan telinga.

“Khraaaghk…,”

“Hei…, hei…, Rajawali, sudah…, Aku juga gembira.” Teriak pemuda tampan itu keras. Dia kini terlihat sudah berada di luar goa.

Terlihat burung rajawali tersebut nampak menukik turun, melucur dengan derasnya ke arah Rangga. Kepalanya langsung mendesak-desak wajah pemuda tampan itu, Rangga pun langsung membalas memeluk leher burung rajawali tersebut penuh kasih sayang. Dia bertekad dalam hati akan menuntaskan seluruh ilmu-ilmu peninggalan Pendekar Rajawali Sakti, sekaligus menyempurnakannya. Lama ke duanya saling berpelukan, tiba-tiba pemuda tampan itu teringat kembali pada ke dua orang tuanya, yang telah terbunuh mengenaskan. Peristiwa itu memang masih saja selalu menghantui setiap hari-harinya, apa lagi dirinya juga ikut menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Bagaimana Ayahandanya tewas, dan bagaimana ibundanya di setubuhi di depan mata. Lalu ikut tewas terbunuh pula, semua kejadian pada malam jahanam itu masih selalu membayangi ingatannya, meski pun sudah dua belas tahun kejadian itu berlalu. Sorot matanya seketika langsung berubah tajam menusuk, hatinya pun mendadak terasa panas, terbakar oleh rasa dendam. Saat itu juga Rangga pun langsung bertekad akan mencari pembunuh ke dua orang tuanya setelah dia menguasai seluruh ilmu Pendekar Rajawali Sakti. Kemurungan yang tergambar di wajah pemuda tampan itu, rupanya juga terlihat oleh burung rajawali. Mata bulatnya yang merah menatap lurus, ke wajah tampan di hadapannya itu. Sepertinya burung rajawali tersebut seolah ikut merasakan kepedihan yang tengah melanda hati anak muda itu.

“Ooohhh…, Maaf, seharusnya aku tidak boleh sedih.” ucap Rangga pelan, begitu melihat tatapan mata burung rajawali yang berada di dekatnya itu.

Terlihat kepala burung rajawali itu menggeleng-geleng pelan, sinar mata nya pun tampak redup. Seolah ingin mengatakan agar Rangga segera mengeluarkan seluruh isi hatinya kepadanya.

“Dengar, aku akan membalas kematian ke dua orang tuaku.” kata pemuda tampan itu, dengan sedikit nada geram.

“Khraghk… Khraghk…,” burung rajawali putih pun mengangguk-anggukkan kepalanya pelan, seolah menyetujui ucapan Rangga.

“Ya..., ya. Aku faham, aku juga harus membasmi segala macam bentuk kejahatan di atas muka bumi ini.”

“Khraghk…, Khraghk…,”

Kembali burung rajawali itu berseru nyaring dan melengking, kata-kata yang keluar dari mulut Rangga, seperti membuat hatinya senang. Dulu sekali, tepatnya seratus tahun yang silam. Majikannya juga adalah seorang pendekar yang selalu membasmi kejahatan, dan membantu orang-orang yang yang lemah. Dan sekarang, pemuda tampan yang di asuhnya sejak kecil itu juga. Ternyata memiliki jiwa yang luhur serta berhati bersih. Lengkap sudah kegembiraan burung rajawali putih itu, karena telah mendapatkan pengganti Pendekar Rajawali Sakti yang telah lama wafat meninggalkan dunia fana.

***
 
“Hup…, hiyaaattt…, hiaaattt…,”

Bughk…, bughk…, bughk…,

Desss…, desss…, desss…,

Blaaarrr…, blaaarrr…, blaaarrr…,

Dhuaaarrr…,

Hari demi hari terus berlalu, dan kini Rangga pun telah selesai menyempur nakan jurus-jurusnya berdasarkan buku petunjuk peninggalan Pendekar Rajawali Sakti. Setiap pemuda tampan itu berlatih, maka burung rajawali putih juga akan selalu menemani dan memberinya petunjuk dengan bahasa isyaratnya. Hingga akhirnya, tidak terasa satu persatu jurus-jurus sakti yang di miliki Pendekar Rajawali Sakti itu, telah berhasil di sempur nakannya. Se iring waktu yang terus saja berjalan, tak terasa pemuda tampan itu kini telah mencapai tingkat terakhir dari jurus Rajawali Sakti yang di pelajarinya. Bahkan dia juga telah berhasil menggabungkan empat jurus andalannya, yang mana gurunya sendiri semasa masih hidup, belum mampu melakukannya. Jurus hasil ciptaannya itu memang sangat dahsyat, dan juga mematikan. Gabungan dari empat jurus andalannya itu dia namakan jurus, ‘Seribu Rajawali’. Kehebatan jurus tersebut adalah, Rangga bagaikan menjelma menjadi se ekor burung rajawali. Kecepatan gerakannya pun akan sangat luar biasa, gerakan pemuda tampan itu akan membuat tubuhnya seolah menjadi seribu jumlahnya. Dengan jurus itu juga dirinya dapat bertarung di darat dan di udara tanpa kesulitan apa-apa.

“Khraaaghk…,” burung rajawali raksasa berseru nyaring, ketika melihat Rangga telah menyelesaikan jurus terakhirnya.

Pemuda tampan itu pun menoleh seraya tersenyum manis, tubuhnya yang tegap dan kekar tampak bercahaya. Butir-butir keringat pun tampak membasahi seluruh tubuhnya, layaknya butir-butir permata yang tertimpa sinar matahari. Bibirnya menorehkan senyuman puas setelah melihat kehebatan jurus terakhirnya tadi.

“Bagaimana menurutmu, rajawali?” tanya Rangga pelan, setelah dekat dengan burung rajawali itu.

“Khraaaghk…,” burung rajawali itu berkaok nyaring, seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Apa masih ada yang kurang?” Tanya pemuda tampan itu lagi pelan.

Sementara di lihatnya burung rajawali raksasa di hadapannya itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja.

“Baguslah kalau begitu, dengar temanku. Aku merasa sudah waktunya aku pergi meninggalkan lembah ini.” agak pelan suara Rangga menyampaikan maksudnya itu.

Sementara burung rajawali raksasa di hadapannya hanya menatap lurus ke bola mata pemuda tampan itu. Dirinya seperti berat untuk berpisah dengan anak muda di hadapannya itu. Dua belas tahun mereka hidup bersama, dan sekarang tiba saatnya untuk berpisah, karena Rangga hendak mencari pembunuh ke dua orang tuanya.

“Nanti kita juga bisa bertemu lagi setiap saat.” kata pemuda tampan itu lagi pelan, seolah mengerti perasaan burung rajawali itu.

Jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, sebenarnya Rangga pun juga merasa berat untuk meninggalkan lembah Bangkai, sekaligus meninggalkan sahabatnya yang sudah dia anggap guru sekaligus pengganti orang tuanya itu. Namun dirinya sudah bertekad bulat-bulat, jika dia harus mencari dan membalas kematian ke dua orang tuanya. Sementara sepasang mata burung rajawali di hadapannya masih terlihat menatap lekat ke arah ke dua bola mata Rangga.

“Kau jangan khawatir teman, karena aku juga sudah menguasai ilmu ajian ‘Siulan Sakti’. Jadi kau pun akan bisa kupanggil meski dalam jarak yang jauh sekali pun.” kata Rangga lagi, mencoba menghibur burung rajawali putih itu.

Burung rajawali itu pun langsung mengangguk-anggukkan kepalanya, solah-olah merasa lega setelah mendengar Rangga berhasil menguasai ilmu ajian ‘Siulan Sakti’. Sebuah siulan yang mengandung tenaga gaib, sehingga dapat langsung terdengar oleh burung rajawali putih itu. Meski pun dalam jarak yang sangat jauh sekali pun. Dengan ilmu tersebut, mereka masih bisa bertemu setiap saat, dengan demikian ikatan batin keduanya pun akan makin terjalin erat.

“Kau juga tidak keberatan kan? kalau aku memakai nama gelar mendiang guru?” ucap Rangga tiba-tiba, seolah meminta persetujuan.

“Khraghk…,” rajawali raksasa itu mengangguk-angguk cepat, pertanda jika dia pun menyetujui permintaan Rangga.

“Baiklah, mudah-mudahan mendiang guru juga setuju, jika gelarnya aku pakai. Yaitu Pendekar Rajawali Sakti.” gumam pemuda tampan itu pelan.

Gelegaaarrr…, Blaaarrr…,

Tepat setelah Rangga selesai berkata, terlihat kilat tiba-tiba muncul menyambar-nyambar beberapa kali di sertai suara gemuruh. Padahal saat itu keadaan langit begitu cerah sekali. Bahkan kabut tebal yang biasanya menyelimuti lembah itu juga tidak tampak sejak tadi pagi. Perlahan wajah pemuda tampan itu mendongak ke atas langit. Ucapannya barusan seolah terdengar oleh Yang Maha Kuasa. Kilat yang masih terlihat menyambar-nyambar, dengan di sertai suara gemuruh. Seolah sebuah pertanda jika Pendekar Rajawali Sakti telah menitis ke dalam tubuh Rangga, dan itu juga berarti pemuda tampan dan gagah itu berhak memakai nama julukan Pendekar Rajawali Sakti.

Gelegaaarrr…, Blaaarrr…,

Dan belum juga hilang rasa kaget dan gembira yang tengah mendera hati pemuda tampan itu, tiba-tiba dasar Lembah Bangkai bergetar hebat bagai ada gempa. Bersamaan dengan itu, burung rajawali raksasa di hadapan nya juga tiba-tiba mengeluarkan suara nyaring sambil mengepak-ngepak kan ke dua sayapnya, namun tubuhnya tetap diam tidak terbang. Rangga pun tidak mengerti dengan kejadian yang tiba-tiba itu, bahkan dia juga merasa heran kenapa burung rajawali yang berada di dekatnya itu mendadak seperti gila. Belum terjawab apa yangmen jadi tanda Tanya di dalam benak pemuda tampan itu, mendadak tanah kuburan yang berada di hadapannya terbelah dua dengan di sertai suara ledakan yang amat dahsyat. Dengan cepat Rangga pun langsung melompat mundur satu
tombak, wajahnya kembali tercenung. Manakala melihat burung rajawali putih yang berada di dekatnya itu, tampak menekuk kedua kakinya. Kepalanya tertunduk ke bawah, sedangkan kedua sayapnya terlihat terbentang lebar menutupi rerumputan di sekitar tempat itu. Ke dua bola mata Rangga kembali terbelalak lebar, saat di lihatnya dari dalam kuburan yang terbelah itu. Tampak keluar asap biru, yang bergulung-gulung membumbung ke atas. Semakin lama asap tersebut semakin tinggi ke angkasa, kemudian lenyap tiba-tiba. Bersamaan dengan munculnya seorang laki-laki berwajah tampan dan gagah, yang berdiri melayang tanpa menyentuh tanah. Tepat di atas tanah kuburan yang kini telah terbelah itu. Burung rajawali putih pun dengan cepatnya menoleh kepada Rangga, lalu memberi isyarat agar pemuda tampan itu berlutut. Walau pun di dalam benaknya masih bertanya-tanya, Rangga pun langsung berlutut mengikuti arahan burung rajawalai putih itu. Sementara hatinya masih di penuhi berbagai macam pertanyaan yang sukar untuk di jawab, karena dia sendiri memang tidak mengenal laki-laki tampan yang berdiri melayang di atas kuburan itu.

“Maaf, kalau boleh tahu. Siapakah Kisanak sebenarnya?” Tanya Rangga tiba-tiba, suaranya terdengar sopan dan.

“Aku Pendekar Rajawali Sakti.” sahut laki-laki dihadapannya itu cepat.

“Ohhh…,” pemuda tampan itu pun tersentak kaget, segera saja dia pun memberi hormat.

“Bangunlah anak muda.” kata Pendekar Rajawali Sakti pelan berwibawa.

Rangga pun perlahan-lahan bangkit berdiri, meski pun dengan hati agak ragu-ragu, sekali lagi pemuda tampan itu menjura memberi hormat.

“Sudah bertahun-tahun aku menginginkan seorang murid, yang bisa mewarisi seluruh ilmu-ilmuku. Dan sekarang, akhirnya harapanku di kabulkan oleh yang maha kuasa. Meskipun tidak langsung kau peroleh dariku, namun aku bangga karena kau dapat menguasai seluruh ilmu rangkaian jurus-jurus ‘Rajawali Sakti’. Kau Bahkan lebih hebat dariku anak muda, karena kau mampu menggabungkan empat jurus andalanku. Yang mana aku sendiri dulu, tidak mampu melakukannya. Katakan siapa namamu anak muda?.” ujar Pendekar Rajawali Sakti seraya tersenyum senang.

“Hamba Rangga Pati Permadi. Guru, mohon ampun jika hamba yang hina ini sudah berlaku lancing mempelajari ilmu-ilmu guru.” ucap Rangga dengan tutur bahasa yang indah.

Semua kata-kata tersebut di dapatkannya dari salah satu buku yang terdapat dalam goa.

“Sudahlah Rangga, tidak ada yang salah pada dirimu. Aku justru merasa bangga, kau memang pantas menyandang gelar Pendekar Rajawali Sakti, tutur kata dan budi pekertimu tidak ku sangsikan lagi. Hanya satu yang masih mengganjal hatiku saat ini.” kata Pendekar Rajawali Sakti pelan.

“Hamba mohon petunjuk Guru.” jawab Rangga cepat.

“Kau belum bisa menghilangkan rasa dendam, yang ada di dalam hatimu bukan?” serang laki-laki tampan itu tiba-tiba.

Rangga pun langsung tertunduk malu, diakui dia memang ingin balas dendam atas kematian orang tuanya. Batinnya belum merasa tenang, jika dia belum bisa melaksanakan niatnya itu. Pemuda tampan berusia tujuh belas tahun itu masih ingat betul bagaimana kedua orang tuanya dibunuh tepat di depan matanya sendiri.

“Aku dapat merasakan kegundahan hatimu, Rangga.” kata Pendekar Rajawali Sakti lagi lembut.

“Hamba mohon ampun, Guru.” ucap Rangga pelan, dengan perasaan malu.

“Kau tidak bersalah muridku, itu memang sudah menjadi kewajiban seorang anak yang wajib membela harkat dan martabat orang tuanya. Kau boleh saja membalas kematian orang tuamu itu, namun ada satu permintaanku padamu.”

“Apa itu Guru?.”

“Sebelum kau meninggalkan tempat ini, kau harus bersemedilah selama tujuh hari tujuh malam. Bersihkan seluruh jiwa dan ragamu dari nafsu duniawi yang akan dapat menjeratmu ke lembah nista." ucap Pendekar Rajawali Sakti pelan.

“Baik Guru, Akan hamba laksanakan semua titah Guru." Jawab Rangga hormat.

“Bagus, rajawali putih akan menemanimu bersemedi. Dia juga yang akan menunjukkan tempat yang baik, untukmu bersemedi."

“Terima kasih, Guru.”

“Nah, mulai sekarang kau berhak menyandang gelar yang dulu pernah aku sandang. Yaitu Pendekar Rajawali Sakti.”

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba jelmaan Pendekar Rajawali Sakti menghilang entah kemana. Dan seketika itu pula kuburan yang tadi terbelahitu pun, kini terlihat tertutup rapat kembali, di susul oleh suara guruh yang di sertai kilat yang terlihat menyambar-nyambar. Lalu dengan sekejap, keadaan pun kembali tenang seperti semula. Rangga pun menghormat sekali lagi, lalu berpaling menatap burung rajawali yang berdiri di dekatnya. Sesaat mereka saling pandang, kepala burung itu lalu terlihat menggeleng seraya menoleh ke arah belakang tubuhnya. Rangga yang mengerti maksudnya dengan tangkas dan ringan segera melompat, dan hinggap di punggung burung rajawali putih itu.

“Khraaagk…”

Lalu bagaikan sebuah anak panah yang lepas dari busurnya, burung rajawali putih itu pun melesat mengangkasa. Dalam sekejap saja mereka berdua telah berada di udara meninggalkan Lembah Bangkai di kaki bukit Cubung. Pemuda tampan itu sempat menoleh ke bawah, di lihatnya Lembah Bangkai bagaikan sebuah garis hitam di antara permadani hijau yang luas membentang.

“Mau kau bawa ke mana aku?” tanya Rangga pelan.

“Khraaaghk…,” sahut burung rajawali itu melesat cepat terbang Menuju ke arah utara.

“Begitu, jadi di sanakah aku harus bersemedi?” tanya pemuda tampan itu lagi pelan.

“Khraghk…,” Kepala burung rajawali putih itu langsung terangguk-angguk.

Tubuhnya terus melesat cepat ke arah utara, seraya membawa Rangga di atas punggungnya. Dan tidak lama kemudian, ke duanya telah sampai ke tempat yang di tuju. Rangga pun langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat tersebut, sebuah daerah berbukit batu cadas. Gersang dan tanpa sebatang pohon pun, yang terlihat tumbuh di situ. Di sekeliling nya hanya ada batu-batuan yang membukit, Saat dia memandang ke arah burung rajawali putih, terlihat burung tersebut tampak mematuk-matuk sebuah batu besar yang pipih dengan ujung paruhnya, Rangga pun langsung memandang batu itu, lalu kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ke dua bola matanya menatap lekat ke bola mata burung rajawali itu.

“Di sini tempatnya?” tanya Rangga pelan, seolah masih belum yakin.

Bagaimana mungkin bersemadi di daerah gersang seperti ini, tempatnya di sebuah batu di tengah-tengah bukit, yang panas menyengat pada siang hari, dan dingin menusuk pada malam hari. Sesaat pemuda tampan itu diam, lalu dengan hati mantap di langkahkan ke dua kakinya ke arah sebuah batu besar, yang tadi di patuk-patuk oleh burung rajawali putih.Bibirnya tersenyum penuh keyakinan, ya, di mana pun tempatnya, perintah dari Gurunya itu memang harus segera dia laksanakan. Tepat saat purnama tiba, dia harus memulai semadinya. Wajahnya mendongak ke atas saat melihat matahari sudah condong ke Barat. Sebentar lagi malam pun akan segera tiba, dan purnama tepat jatuh pada malam ini. Pemuda tampan itu sudah harus menyiapkan diri dari sekarang, untuk bersemadi. Sebuah proses terakhir yang sangat berat dalam latihan kesempurnaan seorang pendekar, namun betapa pun beratnya, Rangga sudah tidak perduli. Hatinya sekarang sudah mantap. Tak ada artinya gemblengan berat di Lembah Bangkai jika harus ciut hatinya menjalani tahap akhir dari rangkaian ilmu Rajawali Sakti itu. Satu tahapan yang paling berat memang, karena dirinya harus bersemadi dan berpuasa selama tujuh hari tujuh malam. Sementara matahari telah tenggelam di peraduan, pemuda tampan itu pun langsung duduk bersila. Dengan ke dua telapak tangannya merapat di depan dada, kepalanya tertunduk pelan. Perhatiannya kini terfokus pada mata hatinya, alam pikirannya dengan cepat di kosongkan, Dan seluruh indranya tertutup total. Sementara itu burung rajawali putih juga terlihat mendekam tidak jauh dari Rangga. Malam terus merambat, se iring hawa dingin yang mulai datang menusuk. Namun ke dua bola mata pemuda tampan itu telah tertutup rapat se iring mulai terdengarnya suara binatang malam di tempat itu.

***

Sementara itu di sebuah desa yang letaknya tidak jauh dari Lembah Tengkorak, seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun terlihat asyik menikmati secangkir kopi dan sepiring singkong goreng di balai-balai bambu yang berada di dalam rumahnya. Sesekali terlihat pula asap mengepul dari mulutnya, yang tengah menghisap rokok daun kawung. Sebentar-sebentar matanya menengok ke arah sebuah kamar, yang tertutup sebuah kain gorden kumal. Laki-laki itu adalah seorang warga desa yang biasa di panggil To’le.

“Bu…,” teriak laki-laki bernama To’le itu tiba-tiba.

“Iya…, sebentar pak.” Terdengar suara merdu menyahut dari dalam kamar.

Tak lama kemudian kain gorden yang menutup kamar tampak tersingkap pelan, seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh lima tahun muncul dari dalam kamar itu. Perempuan tersebut melangkah pelan menghampiri To’le yang terlihat masih asyik menikmati rokok daun kawungnya, perlahan dia pun langsung duduk di samping lelaki itu. Perempuan itu tak lain adalah istri To’le, namanya Surtinah, dia juga berasal dari desa itu, sama seperti suaminya. Mereka berdua memang pasangan suami istri, yang sudah di karuniai dua orang anak. Anaknya yang pertama adalah seorang laki-laki berusia tujuh tahun, dan di beri nama Kantor. Sedangkan anak yang ke dua adalah seorang wanita berumur tiga tahun, dan di beri nama Asmah. Pekerjaan sehari-hari To’le adalah petani, sedangkan Surtinah sendiri membuka warung di depan rumahnya, berjualan gado-gado nasi dan juga lauk pauk.

“Anak-anak sudah pada tidur Bu?.” tanya To’le pelan-pelan.

“Sudah dari tadi pak, kenapa memangnya?.” Sahut Surtinah pelan.

“Bapak mau nyangkul, Bu.” Kata To’le lagi seraya memamerkan wajah mesum.

“Loh, ini kan masih larut malam Pak.” Ucap perempuan itu heran, dia masih belum mengerti arah pembicaraan suaminya itu.

“Owalah bu…, bu…, sampeyan ini gimana to. Masih belum faham juga?” lelaki itu menggaruk-garuk kepalanya, dengan raut wajah sebal.

“Sampeyan yang kurang waras pak, ndak ada kerjaan apa? Malam-malam begini kok mau nyangkul. Memangnya ndak ada hari besok apa.” Rungut perempuan itu, dengan bibir memberengut sebal.

To’le pun semakin gemas melihat tingkah istrinya, meski pun wajah Surtinah biasa saja, namun perempuan itu mempunyai bentuk bokong yang lumayan besar. Sehingga membuat setiap lelaki yang memandangnya, akan langsung menelan ludah. Perlahan laki-laki itu menggeser duduknya mendekati istrinya.

“Sini tak bisikin.”

“Opo, tho?.”

“Bapak mau nyangkul tempekmu.”

“Hah…,"

Bersambung
 
Ijin nongkrong di mari suhu. Mantep bgt cerita pendekarnya. Semangat suhu:semangat:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd