“Hup…, hiyaaattt…, hiaaattt…,”
Bughk…, bughk…, bughk…,
Desss…, desss…, desss…,
Blaaarrr…, blaaarrr…, blaaarrr…,
Dhuaaarrr…,
Hari demi hari terus berlalu, dan kini Rangga pun telah selesai menyempur nakan jurus-jurusnya berdasarkan buku petunjuk peninggalan Pendekar Rajawali Sakti. Setiap pemuda tampan itu berlatih, maka burung rajawali putih juga akan selalu menemani dan memberinya petunjuk dengan bahasa isyaratnya. Hingga akhirnya, tidak terasa satu persatu jurus-jurus sakti yang di miliki Pendekar Rajawali Sakti itu, telah berhasil di sempur nakannya. Se iring waktu yang terus saja berjalan, tak terasa pemuda tampan itu kini telah mencapai tingkat terakhir dari jurus Rajawali Sakti yang di pelajarinya. Bahkan dia juga telah berhasil menggabungkan empat jurus andalannya, yang mana gurunya sendiri semasa masih hidup, belum mampu melakukannya. Jurus hasil ciptaannya itu memang sangat dahsyat, dan juga mematikan. Gabungan dari empat jurus andalannya itu dia namakan jurus, ‘Seribu Rajawali’. Kehebatan jurus tersebut adalah, Rangga bagaikan menjelma menjadi se ekor burung rajawali. Kecepatan gerakannya pun akan sangat luar biasa, gerakan pemuda tampan itu akan membuat tubuhnya seolah menjadi seribu jumlahnya. Dengan jurus itu juga dirinya dapat bertarung di darat dan di udara tanpa kesulitan apa-apa.
“Khraaaghk…,” burung rajawali raksasa berseru nyaring, ketika melihat Rangga telah menyelesaikan jurus terakhirnya.
Pemuda tampan itu pun menoleh seraya tersenyum manis, tubuhnya yang tegap dan kekar tampak bercahaya. Butir-butir keringat pun tampak membasahi seluruh tubuhnya, layaknya butir-butir permata yang tertimpa sinar matahari. Bibirnya menorehkan senyuman puas setelah melihat kehebatan jurus terakhirnya tadi.
“Bagaimana menurutmu, rajawali?” tanya Rangga pelan, setelah dekat dengan burung rajawali itu.
“Khraaaghk…,” burung rajawali itu berkaok nyaring, seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apa masih ada yang kurang?” Tanya pemuda tampan itu lagi pelan.
Sementara di lihatnya burung rajawali raksasa di hadapannya itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja.
“Baguslah kalau begitu, dengar temanku. Aku merasa sudah waktunya aku pergi meninggalkan lembah ini.” agak pelan suara Rangga menyampaikan maksudnya itu.
Sementara burung rajawali raksasa di hadapannya hanya menatap lurus ke bola mata pemuda tampan itu. Dirinya seperti berat untuk berpisah dengan anak muda di hadapannya itu. Dua belas tahun mereka hidup bersama, dan sekarang tiba saatnya untuk berpisah, karena Rangga hendak mencari pembunuh ke dua orang tuanya.
“Nanti kita juga bisa bertemu lagi setiap saat.” kata pemuda tampan itu lagi pelan, seolah mengerti perasaan burung rajawali itu.
Jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, sebenarnya Rangga pun juga merasa berat untuk meninggalkan lembah Bangkai, sekaligus meninggalkan sahabatnya yang sudah dia anggap guru sekaligus pengganti orang tuanya itu. Namun dirinya sudah bertekad bulat-bulat, jika dia harus mencari dan membalas kematian ke dua orang tuanya. Sementara sepasang mata burung rajawali di hadapannya masih terlihat menatap lekat ke arah ke dua bola mata Rangga.
“Kau jangan khawatir teman, karena aku juga sudah menguasai ilmu ajian ‘Siulan Sakti’. Jadi kau pun akan bisa kupanggil meski dalam jarak yang jauh sekali pun.” kata Rangga lagi, mencoba menghibur burung rajawali putih itu.
Burung rajawali itu pun langsung mengangguk-anggukkan kepalanya, solah-olah merasa lega setelah mendengar Rangga berhasil menguasai ilmu ajian ‘Siulan Sakti’. Sebuah siulan yang mengandung tenaga gaib, sehingga dapat langsung terdengar oleh burung rajawali putih itu. Meski pun dalam jarak yang sangat jauh sekali pun. Dengan ilmu tersebut, mereka masih bisa bertemu setiap saat, dengan demikian ikatan batin keduanya pun akan makin terjalin erat.
“Kau juga tidak keberatan kan? kalau aku memakai nama gelar mendiang guru?” ucap Rangga tiba-tiba, seolah meminta persetujuan.
“Khraghk…,” rajawali raksasa itu mengangguk-angguk cepat, pertanda jika dia pun menyetujui permintaan Rangga.
“Baiklah, mudah-mudahan mendiang guru juga setuju, jika gelarnya aku pakai. Yaitu Pendekar Rajawali Sakti.” gumam pemuda tampan itu pelan.
Gelegaaarrr…, Blaaarrr…,
Tepat setelah Rangga selesai berkata, terlihat kilat tiba-tiba muncul menyambar-nyambar beberapa kali di sertai suara gemuruh. Padahal saat itu keadaan langit begitu cerah sekali. Bahkan kabut tebal yang biasanya menyelimuti lembah itu juga tidak tampak sejak tadi pagi. Perlahan wajah pemuda tampan itu mendongak ke atas langit. Ucapannya barusan seolah terdengar oleh Yang Maha Kuasa. Kilat yang masih terlihat menyambar-nyambar, dengan di sertai suara gemuruh. Seolah sebuah pertanda jika Pendekar Rajawali Sakti telah menitis ke dalam tubuh Rangga, dan itu juga berarti pemuda tampan dan gagah itu berhak memakai nama julukan Pendekar Rajawali Sakti.
Gelegaaarrr…, Blaaarrr…,
Dan belum juga hilang rasa kaget dan gembira yang tengah mendera hati pemuda tampan itu, tiba-tiba dasar Lembah Bangkai bergetar hebat bagai ada gempa. Bersamaan dengan itu, burung rajawali raksasa di hadapan nya juga tiba-tiba mengeluarkan suara nyaring sambil mengepak-ngepak kan ke dua sayapnya, namun tubuhnya tetap diam tidak terbang. Rangga pun tidak mengerti dengan kejadian yang tiba-tiba itu, bahkan dia juga merasa heran kenapa burung rajawali yang berada di dekatnya itu mendadak seperti gila. Belum terjawab apa yangmen jadi tanda Tanya di dalam benak pemuda tampan itu, mendadak tanah kuburan yang berada di hadapannya terbelah dua dengan di sertai suara ledakan yang amat dahsyat. Dengan cepat Rangga pun langsung melompat mundur satu
tombak, wajahnya kembali tercenung. Manakala melihat burung rajawali putih yang berada di dekatnya itu, tampak menekuk kedua kakinya. Kepalanya tertunduk ke bawah, sedangkan kedua sayapnya terlihat terbentang lebar menutupi rerumputan di sekitar tempat itu. Ke dua bola mata Rangga kembali terbelalak lebar, saat di lihatnya dari dalam kuburan yang terbelah itu. Tampak keluar asap biru, yang bergulung-gulung membumbung ke atas. Semakin lama asap tersebut semakin tinggi ke angkasa, kemudian lenyap tiba-tiba. Bersamaan dengan munculnya seorang laki-laki berwajah tampan dan gagah, yang berdiri melayang tanpa menyentuh tanah. Tepat di atas tanah kuburan yang kini telah terbelah itu. Burung rajawali putih pun dengan cepatnya menoleh kepada Rangga, lalu memberi isyarat agar pemuda tampan itu berlutut. Walau pun di dalam benaknya masih bertanya-tanya, Rangga pun langsung berlutut mengikuti arahan burung rajawalai putih itu. Sementara hatinya masih di penuhi berbagai macam pertanyaan yang sukar untuk di jawab, karena dia sendiri memang tidak mengenal laki-laki tampan yang berdiri melayang di atas kuburan itu.
“Maaf, kalau boleh tahu. Siapakah Kisanak sebenarnya?” Tanya Rangga tiba-tiba, suaranya terdengar sopan dan.
“Aku Pendekar Rajawali Sakti.” sahut laki-laki dihadapannya itu cepat.
“Ohhh…,” pemuda tampan itu pun tersentak kaget, segera saja dia pun memberi hormat.
“Bangunlah anak muda.” kata Pendekar Rajawali Sakti pelan berwibawa.
Rangga pun perlahan-lahan bangkit berdiri, meski pun dengan hati agak ragu-ragu, sekali lagi pemuda tampan itu menjura memberi hormat.
“Sudah bertahun-tahun aku menginginkan seorang murid, yang bisa mewarisi seluruh ilmu-ilmuku. Dan sekarang, akhirnya harapanku di kabulkan oleh yang maha kuasa. Meskipun tidak langsung kau peroleh dariku, namun aku bangga karena kau dapat menguasai seluruh ilmu rangkaian jurus-jurus ‘Rajawali Sakti’. Kau Bahkan lebih hebat dariku anak muda, karena kau mampu menggabungkan empat jurus andalanku. Yang mana aku sendiri dulu, tidak mampu melakukannya. Katakan siapa namamu anak muda?.” ujar Pendekar Rajawali Sakti seraya tersenyum senang.
“Hamba Rangga Pati Permadi. Guru, mohon ampun jika hamba yang hina ini sudah berlaku lancing mempelajari ilmu-ilmu guru.” ucap Rangga dengan tutur bahasa yang indah.
Semua kata-kata tersebut di dapatkannya dari salah satu buku yang terdapat dalam goa.
“Sudahlah Rangga, tidak ada yang salah pada dirimu. Aku justru merasa bangga, kau memang pantas menyandang gelar Pendekar Rajawali Sakti, tutur kata dan budi pekertimu tidak ku sangsikan lagi. Hanya satu yang masih mengganjal hatiku saat ini.” kata Pendekar Rajawali Sakti pelan.
“Hamba mohon petunjuk Guru.” jawab Rangga cepat.
“Kau belum bisa menghilangkan rasa dendam, yang ada di dalam hatimu bukan?” serang laki-laki tampan itu tiba-tiba.
Rangga pun langsung tertunduk malu, diakui dia memang ingin balas dendam atas kematian orang tuanya. Batinnya belum merasa tenang, jika dia belum bisa melaksanakan niatnya itu. Pemuda tampan berusia tujuh belas tahun itu masih ingat betul bagaimana kedua orang tuanya dibunuh tepat di depan matanya sendiri.
“Aku dapat merasakan kegundahan hatimu, Rangga.” kata Pendekar Rajawali Sakti lagi lembut.
“Hamba mohon ampun, Guru.” ucap Rangga pelan, dengan perasaan malu.
“Kau tidak bersalah muridku, itu memang sudah menjadi kewajiban seorang anak yang wajib membela harkat dan martabat orang tuanya. Kau boleh saja membalas kematian orang tuamu itu, namun ada satu permintaanku padamu.”
“Apa itu Guru?.”
“Sebelum kau meninggalkan tempat ini, kau harus bersemedilah selama tujuh hari tujuh malam. Bersihkan seluruh jiwa dan ragamu dari nafsu duniawi yang akan dapat menjeratmu ke lembah nista." ucap Pendekar Rajawali Sakti pelan.
“Baik Guru, Akan hamba laksanakan semua titah Guru." Jawab Rangga hormat.
“Bagus, rajawali putih akan menemanimu bersemedi. Dia juga yang akan menunjukkan tempat yang baik, untukmu bersemedi."
“Terima kasih, Guru.”
“Nah, mulai sekarang kau berhak menyandang gelar yang dulu pernah aku sandang. Yaitu Pendekar Rajawali Sakti.”
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba jelmaan Pendekar Rajawali Sakti menghilang entah kemana. Dan seketika itu pula kuburan yang tadi terbelahitu pun, kini terlihat tertutup rapat kembali, di susul oleh suara guruh yang di sertai kilat yang terlihat menyambar-nyambar. Lalu dengan sekejap, keadaan pun kembali tenang seperti semula. Rangga pun menghormat sekali lagi, lalu berpaling menatap burung rajawali yang berdiri di dekatnya. Sesaat mereka saling pandang, kepala burung itu lalu terlihat menggeleng seraya menoleh ke arah belakang tubuhnya. Rangga yang mengerti maksudnya dengan tangkas dan ringan segera melompat, dan hinggap di punggung burung rajawali putih itu.
“Khraaagk…”
Lalu bagaikan sebuah anak panah yang lepas dari busurnya, burung rajawali putih itu pun melesat mengangkasa. Dalam sekejap saja mereka berdua telah berada di udara meninggalkan Lembah Bangkai di kaki bukit Cubung. Pemuda tampan itu sempat menoleh ke bawah, di lihatnya Lembah Bangkai bagaikan sebuah garis hitam di antara permadani hijau yang luas membentang.
“Mau kau bawa ke mana aku?” tanya Rangga pelan.
“Khraaaghk…,” sahut burung rajawali itu melesat cepat terbang Menuju ke arah utara.
“Begitu, jadi di sanakah aku harus bersemedi?” tanya pemuda tampan itu lagi pelan.
“Khraghk…,” Kepala burung rajawali putih itu langsung terangguk-angguk.
Tubuhnya terus melesat cepat ke arah utara, seraya membawa Rangga di atas punggungnya. Dan tidak lama kemudian, ke duanya telah sampai ke tempat yang di tuju. Rangga pun langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat tersebut, sebuah daerah berbukit batu cadas. Gersang dan tanpa sebatang pohon pun, yang terlihat tumbuh di situ. Di sekeliling nya hanya ada batu-batuan yang membukit, Saat dia memandang ke arah burung rajawali putih, terlihat burung tersebut tampak mematuk-matuk sebuah batu besar yang pipih dengan ujung paruhnya, Rangga pun langsung memandang batu itu, lalu kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ke dua bola matanya menatap lekat ke bola mata burung rajawali itu.
“Di sini tempatnya?” tanya Rangga pelan, seolah masih belum yakin.
Bagaimana mungkin bersemadi di daerah gersang seperti ini, tempatnya di sebuah batu di tengah-tengah bukit, yang panas menyengat pada siang hari, dan dingin menusuk pada malam hari. Sesaat pemuda tampan itu diam, lalu dengan hati mantap di langkahkan ke dua kakinya ke arah sebuah batu besar, yang tadi di patuk-patuk oleh burung rajawali putih.Bibirnya tersenyum penuh keyakinan, ya, di mana pun tempatnya, perintah dari Gurunya itu memang harus segera dia laksanakan. Tepat saat purnama tiba, dia harus memulai semadinya. Wajahnya mendongak ke atas saat melihat matahari sudah condong ke Barat. Sebentar lagi malam pun akan segera tiba, dan purnama tepat jatuh pada malam ini. Pemuda tampan itu sudah harus menyiapkan diri dari sekarang, untuk bersemadi. Sebuah proses terakhir yang sangat berat dalam latihan kesempurnaan seorang pendekar, namun betapa pun beratnya, Rangga sudah tidak perduli. Hatinya sekarang sudah mantap. Tak ada artinya gemblengan berat di Lembah Bangkai jika harus ciut hatinya menjalani tahap akhir dari rangkaian ilmu Rajawali Sakti itu. Satu tahapan yang paling berat memang, karena dirinya harus bersemadi dan berpuasa selama tujuh hari tujuh malam. Sementara matahari telah tenggelam di peraduan, pemuda tampan itu pun langsung duduk bersila. Dengan ke dua telapak tangannya merapat di depan dada, kepalanya tertunduk pelan. Perhatiannya kini terfokus pada mata hatinya, alam pikirannya dengan cepat di kosongkan, Dan seluruh indranya tertutup total. Sementara itu burung rajawali putih juga terlihat mendekam tidak jauh dari Rangga. Malam terus merambat, se iring hawa dingin yang mulai datang menusuk. Namun ke dua bola mata pemuda tampan itu telah tertutup rapat se iring mulai terdengarnya suara binatang malam di tempat itu.
***
Sementara itu di sebuah desa yang letaknya tidak jauh dari Lembah Tengkorak, seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun terlihat asyik menikmati secangkir kopi dan sepiring singkong goreng di balai-balai bambu yang berada di dalam rumahnya. Sesekali terlihat pula asap mengepul dari mulutnya, yang tengah menghisap rokok daun kawung. Sebentar-sebentar matanya menengok ke arah sebuah kamar, yang tertutup sebuah kain gorden kumal. Laki-laki itu adalah seorang warga desa yang biasa di panggil To’le.
“Bu…,” teriak laki-laki bernama To’le itu tiba-tiba.
“Iya…, sebentar pak.” Terdengar suara merdu menyahut dari dalam kamar.
Tak lama kemudian kain gorden yang menutup kamar tampak tersingkap pelan, seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh lima tahun muncul dari dalam kamar itu. Perempuan tersebut melangkah pelan menghampiri To’le yang terlihat masih asyik menikmati rokok daun kawungnya, perlahan dia pun langsung duduk di samping lelaki itu. Perempuan itu tak lain adalah istri To’le, namanya Surtinah, dia juga berasal dari desa itu, sama seperti suaminya. Mereka berdua memang pasangan suami istri, yang sudah di karuniai dua orang anak. Anaknya yang pertama adalah seorang laki-laki berusia tujuh tahun, dan di beri nama Kantor. Sedangkan anak yang ke dua adalah seorang wanita berumur tiga tahun, dan di beri nama Asmah. Pekerjaan sehari-hari To’le adalah petani, sedangkan Surtinah sendiri membuka warung di depan rumahnya, berjualan gado-gado nasi dan juga lauk pauk.
“Anak-anak sudah pada tidur Bu?.” tanya To’le pelan-pelan.
“Sudah dari tadi pak, kenapa memangnya?.” Sahut Surtinah pelan.
“Bapak mau nyangkul, Bu.” Kata To’le lagi seraya memamerkan wajah mesum.
“Loh, ini kan masih larut malam Pak.” Ucap perempuan itu heran, dia masih belum mengerti arah pembicaraan suaminya itu.
“Owalah bu…, bu…, sampeyan ini gimana to. Masih belum faham juga?” lelaki itu menggaruk-garuk kepalanya, dengan raut wajah sebal.
“Sampeyan yang kurang waras pak, ndak ada kerjaan apa? Malam-malam begini kok mau nyangkul. Memangnya ndak ada hari besok apa.” Rungut perempuan itu, dengan bibir memberengut sebal.
To’le pun semakin gemas melihat tingkah istrinya, meski pun wajah Surtinah biasa saja, namun perempuan itu mempunyai bentuk bokong yang lumayan besar. Sehingga membuat setiap lelaki yang memandangnya, akan langsung menelan ludah. Perlahan laki-laki itu menggeser duduknya mendekati istrinya.
“Sini tak bisikin.”
“Opo, tho?.”
“Bapak mau nyangkul tempekmu.”
“Hah…,"
Bersambung