Chapter 8: Kupersiapkan Semua Untuknya
(Rini)
Pukul 18 :00, Aku berada di kamar pribadiku membereskan kamarku, menyemprot wewangian dan menatanya serapi mungkin. Sprei dan sarung bantal kuganti dengan warna putih bersih. Buku2 dan peralatan sekolah kumasukan ke dalam almari. Gorden pun kuganti dengan yang baru. Tak lupa aku menaburkan bunga diatas ranjangku.
Kamar pribadiku serupa dengan kamar gadis2 seumuranku pada umumnya. 1 ranjang tidur single, meja belajar, dan almari pakaian. Yang berbeda hanyalah beberapa penggunannya sehari-hari.
Kamar itu kugunakan untuk urusan sekolah, pertemanan dan pelajaran, atau tempatku menyendiri sesaat dari hiruk pikuk keluarga, aku kadang memerlukan waktu untuk sendiri. Tak jarang Rudi dan Yuni juga masuk dan menemaniku di kamar ini untuk mengobrol dan bersenda gurau. Tak jarang pula kami melakukan seksualitas ringan di dalamnya antara adik dan kakak. Itulah perbedaanya.
Tadi sore Ayahku masuk ke kamar mandi ketika mendengar isak tangis haruku. Melihatku dipeluk oleh ibu dan adiku. Singkat cerita kami menjelaskan kepadanya tentang apa yang terjadi. Tangisku adalah tangis haru, ketika ibu menyampaikan bahwa besok aku akan menyerahkan kegadisanku kepada Rudi, adik laki2ku tercinta. Tentu Ayahku mengerti, karena dari awal, dialah sang master planner untuk semua ini.
"Nduk... Kamu persiapkan segalanya.. Batin dan fisikmu untuk hari besar yang akan terjadi besok... "
"Ayah, Ibu dan adikmu Yuni akan mendampingi kalian.. Kami akan membimbing kalian melaksanakan prosesi tersebut.."
" Tenang, Ayah akan mengurus ijin untukmu agar kamu dan Rudi bisa libur 2 hari.. Kau milik Rudi dan Rudi milikmu untuk 3 hari ke depan"
Ucapan kalimat2 berwibawa darinya menjelaskan kepadaku. Yang setelah itu tersusul oleh isak tangis haru bahagiaku. Dan pelukanku kepada Ayahku, Mahendra setiawan.
Setelah kami semua selesai mandi, Ayah dan Ibu pergi ke kamar Rudi. Mereka mengajak Rudi untuk dimandikan. Tidak dengan mandi kembang, tapi hanya mandi dengan air hangat biasa. Sambil diberi arahan tentang prosesi sakral kami. Ya! Bisa dibilang ini pernikahan kami. Pernikahan antara Adik laki2 dan Kakak perempuanya, Rudi dan Rini, diriku.
Semuanya menjadi jelas sekarang, 1 minggu kami tidak dipertemukan, adalah prosesi pingitan dalam adat jawa. Prosesi yang dianggap wajib bagi orang2 yang akan melangsungkan pernikahan. Sebagai penambah rindu dan kasih untuk para mempelai.
Kamarku adalah kamar pengantinya. Rudi mempelai prianya dan aku istrinya.
"Hiks...hiks..." Aku kembali terisak, terduduk di tepian ranjang pengantin yang telah kutata rapi, bersih dan wangi.
Akhirnya.. Kegadisanku ini akan kuberikan kepada adiku, akhirnya aku akan menjadi miliknya. Akhirnya penantian itu berakhir sudah, yang akan membuat aku menjadi wanita seutuhnya. Menjadi seorang wanita Setiawan sejati. Aku sungguh2 bersyukur dan bahagia. Sungguh aku ingin membalas budi kepada kedua orang tuaku sesegera mungkin, karena memberi anugrah ini kepadaku.
Kusapu air mataku, lalu aku beranjak keluar kamar. Setelah aku keluar dari kamar pengantinku, aku beranjak ke dapur. Aku menemukan Ibu sedang mempersiapkan makan malam. Aku terdiam tertunduk mendampinginya menata piring dan makanan.
"Kamar kamu sudah kamu beresin nduk?.."
"Sudah Bu, sudah beres semua..." Jawabku terhadap pertanyaanya..
"Kamu sudah siap betulan kan?" Tanyanya kembali, yang kubalas dengan anggukan2 tersipu.
"Syukurlah kalau begitu.. Kamu tenang saja.. Ibu akan membimbing Rudi malam ini... " ujarnya seraya wajahnya memerah.
"Ibu akan membimbing Rudi malam ini..?" Tanyaku, meyakinkan apa yang barusan kudengar
"Ya...ibu akan membimbingnya, ibu akan berperan sebagai kamu malam ini... Mengurangi nafsunya, yang telah terbendung selama 5 hari... Agar dia sedikit waras dan kamu tidak kesakitan besok" balasnya tersenyum bahagia, dan menggigit bibir bawahnya.
Wait a minute. This is absurd, tunggu dulu, ini sungguh aneh. Ibuku, ibu kandung calon mempelai wanita, akan bersetubuh dengan calon mempelai pria semalam sebelum pernikahan mereka. Sedangkan ia sekaligus Ibu kandung calon mempelai pria tersebut. Pusing aku, entah karena ini pertama kali buatku, ataukah karena aku cemburu. Cemburu kepada ibuku, yang nanti akan berkenthu dengan calon suamiku, atau cemburu kepada calon suamiku yang akan dikenthu oleh ibu kandungnya? Sungguh aku pusing saat itu. Aku ingin marah kepada wanita itu, namun dia ibuku, aku ingin marah kepada pria itu, namun dia adiku, dan dia tak bersalah.
"Huf..huf...h.huhff"
Nafasku tersengal, ingin menangis, tangisan amarah tertahan. Tega2nya dia yang sudah memisahkan aku dengan Rudi, memonopoli tubuh Rudi selama 1 minggu, masih ingin menggagahinya, 1 malam sebelum malam pertamaku denganya. Sungguh aku ingin menjambaknya saat itu. "Tapi dia IBUKU!" hatiku meneriaki diriku untuk menenangkanku.
Sungguh raut wajahnya berubah menunjukan tanda gairah. Dasar wanita murah, yang tempiknya mudah basah. Gampang pasrah dan mendesah, ketika melihat palkon berwarna merah. SERAKAH, BEDEBAH!
"Bu.. gimana kalau prosesinya nanti malam saja, gak usah besok?.. Aku gapapa kok..!" Aku tak hilang akal, mencoba mempertahankan hak-ku, entah hak yang mana, aku juga bingung.
Dia meliriku penuh tanda tanya, terdiam sejenak, lalu berkata
"Kontholnya Rudi semakin besar lho.. Gak kayak yang kemaren.. Sedang kamu kan masih perawan.. Masih masa pertumbuhan lagi... Kayak kamu gak tahu aja kalau Rudi itu pendendam.. Emang kamu sanggup menghadapi dendam birahi Rudi yang terkumpul 5 hari?" Penjelasanya panjang lebar.
"Sa..Sanggup kok.. Aku kan kakaknya, aku kan anak Ibu dan Ayah", badanku bergetar memberanikan diri, tepatnya sok berani, tak peduli, padahal aku ciut nyali. Ciut nyaliku memikirkan adiku, yang tahu benar bahwa kalau sudah meledak, bisa heboh dunia persilatan. Ilmu silatnya bukan main2 jeng, jilatanya, goyangan pinggulnya, jambakanya, gosokanya, otot2nya, dan juga mentalnya. Apalagi ditambah pedangnya semakin besar sekarang. 1 kali tusuk pasti berdarahlah aku. Apalagi besok pertama kalinya aku ditusuk, dan pasti akan ditusuk berkali-kali. Muncrat2 deh! Keringat dinginku mengalir keluar dari tengkuk dan punggungku.
"Jangan deh.. Kasihan kamunya...!" Jawabnya sambil membawa piring2 itu ke meja makan, meninggalkanku yang termenung seorang diri, memandangi set kompor dan wastafel. Termenung bimbang mengambang, bagai pasir diterpa gelombang.
"Rini, ayo ke sini makan sama2..!" Suara Ayahku membubarkan meeting tak bersuara, antara aku, kompor dan wastafel.
Akupun berjalan menunduk tak bergairah, dengan wajah yang memerah menuju meja makan dengan gaya orang yang sedang gundah.
Sampailah aku di tempat makan keluarga. Ada Ayah dan adiku Yuni sudah duduk dan menciduk-ciduk makanan. Sedang Ibuku telah menghilang.
"Lho.. Ibu mana Yah?"
"Ngasi makan Rudi..!"
Jedyar.. Badub.. Badub..badub.. Gila.. Sungguh aku gila. Atau wanita itu yang sudah gila.. Atau keluarga ini? Aku terduduk lemas di kursi tepat di sebelah ayahku, diseberang adik bungsuku. Terdiam, tersedu, tak berselera.
"Makan yang banyak nduk.. Jangan buat besok jadi gagal..!" Ujar ayahku mengingatkan.
"Iya yah" jawabku singkat, lalu mengambil piring, nasi dan lauk kemudian mulai makan.
Pikiranku tetap melayang ke arah kamar Rudi, dimana Ibu sedang mengantarkan makanan. Dan aku yakin, sungguh yakin bahwa dia tidak akan keluar lagi malam ini dari kamar itu. Berkenthu, mengumbar gairah nafsu dengan anak laki2 satu2nya, Rudi, calon suamiku. Menikmati pejuh yang tersimpan 5 hari, mengosongkan kantung zakar yang penuh birahi, tanpa henti. Menikmati sensasi libido di tempiknya yang tak tahu diri, "Apakah besok masih ada sisa untuk tempiku ini?" Tanyaku dalam hati. Tak mungkin, aku kenal Ibuku.
"Nanti kamu minum obat ya..!" Kata ayahku, yang sekali lagi membubarkan lamunanku.
"O..obat a..apa Yah?" Tanyaku terbata.
"Obat perangsang, obat tidur, dan pil KB" jawabnya sambil meneruskan makan. "Ini ayah sudah siapkan" dia menyodorkanya kepadaku yang dia ambil dari kantong bajunya. Ayahku memakai kemeja dan boxer untuk bawahanya.
"I..iya Yah..", tentu saja, obat perangsang akan mengurangi sakit di kemaluanku besok, obat tidur akan membantuku istirahat malam nanti dan tentu saja pil KB untuk mencegahku hamil, aku masih terlalu muda untuk itu. Akan rumit untuk kehidupanku saat ini, walau sungguh aku tak keberatan jika itu terjadi. Tapi aku tak boleh egois, demi kami sekeluarga.
" Ayah, ba..bagaimana, ka..kalau.. Ayah saja yang mengambil keperawananku, malam ini?"
"Uuhuk.. Uhug... Uhuek.."
"Aduh, maaf Yah.. Aduh.." Aku menyerahkan segelas air putih, kepada Ayah yang tersedak kaget karena ucapku. Adiku Yuni terdiam bengong melihat kami.
"Aaahh... " nafasnya lega setelah minum air itu, terdiam mengatur nafas, sambil terlihat berpikir.
"Kamu itu nduk, bikin ayah kaget aja..." Sambungnya lembut setelah nafasnya stabil.
"Keperawananmu dan adikmu Yuni, itu milik Rudi.. Gak ada yang lain.. Titik!" Lanjutnya tegas..
"Bukannya Ayah gak mau lho ya, kamu jangan salah paham, siapa sih yang gak mau di kasih keperawanan gadis secantik kamu?" Ujarnya menjelaskan.
"Nih buktinya, konthol ayah langsung ngaceng dengan cuma memikirkan hal itu sesaat." Terusnya, Sambil menunjuk ke arah bawah, ke arah selakanganya.
Yuni, dengan polos mengintip ke bawah meja..
"Eh iya.. Beneran lho mbak.. Ayah ngaceng.. Haha" ujarnya lucu tidak tahu situasi. Menertawai gumpalan menggunung dibalik boxer itu.
"Kalau kamu gak kuat nahan nafsu, ntar malam ayah jilatin tempik kamu, sampai kamu tidur.."
"Yuni juga ya Yah.." Yuni tak mau ketinggalan.
Kami bertiga pun tertawa terkikik atas kejadian ini. Aku pun terdiam tak melanjutkan pembicaraan. Entah kenapa aku melontarkan perkataan itu, ingin memberikan keperawananku kepada Ayahku secara tiba2, 1 malam sebelum impianku yang kujaga selama ini terkabul. Mungkin saat itu aku ingin balas dendam kepada Rudi, toh keperjakaanya juga bukan miliku, milik ibuku. Dan semalaman ini dia menikmati tempik selain tempiku, tempik yang tidak lain adalah tempik ibuku.
"Emang kenapa sih, Nduk..kok tiba2 gitu..?"
"Eh..a.anu... Kan Rudi belum pe..pengalaman.. Aku jadi ..."
"Hahaha... Makanya itu.. Kamu akan jadi pengalaman pertamanya, mendapatkan keperawanan seorang gadis..!" Potongnya tanpa ragu.
"I ..iya juga sih, Yah..hehe", sambutku.
Untung saja ayahku bukan orang yang berpikir terlalu dalam tentang perasaan. Dia orangnya gak baperan. Logis, strategis, dinamis, praktis dan manis. Semoga Rudi kelak akan menjadi sosok seperti dia. Sungguh ku berharap. Dan setelah kupikir-pikir benar juga ya, aku akan menjadi wanita perawan pertama untuk Rudi. Jika ada quis yang bertanya " Rudi, siapa wanita pertama yang kau perawani?" Dia akan menjawab dengan tegas, "Mbaku tercinta, Rini Setiawan..!" BETUUL... 100 buat Mas Rud! dan jika Yuni sebagai penanyanya.
"Hi..hi..hi.." Tanpa sadar aku tertawa terkikik, hanyut dalam lamunanku. Lamunan manis tentang aku dan dia.
"Mbak Rini gila.. Ketawa-tawa sendiri..haha" gantian Yuni yang membangunkanku dari anganku.
"Huss..itu makanya dihabiskan!" Cercaku kepadanya, untuk menyembunyikan rasa maluku, yang disambung dengan senyum manis Ayahku. "Terima kasih Ayah, engkau telah mengembalikan semangatku, lelaki yang aku sayangi", ucapku dalam hati. Biarlah ibuku menggagahinya malam ini. Karena besok dia akan menggagahiku, aku dan keperawananku. Yang tak mungkin Ibu bisa memberikan hal yang sama. Aku kembali tersenyum-senyum sendiri. YES!
" Tuh kan gila...!"
"Huusss.. Yuni, dibilangin, makananya dihabisin dulu..!
" Udah habis..weekk!" Sambungnya secepat kilat..
Memang demikian, tinggal aku seorang yang belum selesai makan. Ayah juga telah selesai, lalu beranjak ke ruang keluarga diikuti dengan Yuni. Tinggal aku seorang, menghadapi piring yang masih berisi separuh. Kulanjutkan untuk menghabiskan sisa makanan2 itu dengan penuh senyum dan semangat, sambil nyengir2 kuda.
"Ahh...ahh..ahhh... Terus cah ganteng.. Terus.. Lampiaskan.. Lampiaskan... Ahh..ahhh.."
Terdengar sayup2 erangan2 dari arah kamar Rudi. "Klotak" membuatku berhenti menggerakan sendok-garpu ditanganku, dan juga kunyahanku.
"Ibuuk.. Ibuukk...ibuk.." Diteruskan oleh suara anak laki2 baru baligh, adiku, calon suamiku.
Membuat nafsu makanku lari terbirit, dan menghilang tanpa jejak. Tidak seperti malam2 sebelumnya. Malam ini memang sedikit lain, sedikit berat buatku. Aku segera memuntahkan makanan yang belum tertelan ke atas piring, merapikan piring Ayah dan Yuni, serta piringku, menata piring2 makanan. Kuambik segelas air lalu kuteguk bersama obat yang Ayah berikan. Kemudian segera beranjak ke dapur membawa piring2 kotor itu. Melewati kamar Rudi, yang membuat suara2 itu terdengar semakin jelas ditelingaku.
"Ahh...ah..ahh.. Habiskan nak.. Kosongkan.. Zakarmu... Malam ini.. Setubuhi ibumu sepuasnya.. Aku takan lari seperti sebelumnya... Aku milikmu...!"
Kupercepat langkahku ke dapur, kuletakan piring2 itu diwastafel memakai celemek, dan mulai mencucinya.
"Ceeerr.. Sswosssshh... Kreccekk", kunyalakan kran wastafel sekencang mungkin sebagai peredam suara2 yang terasa bising di telingaku. Yang ternyata tidak membantu.
" uuaah.. Uahhh... Uahh.. Enak le..enak..le... Ahh.. Ahhh..ahh...!"
Hiks.. Hiks.. Hiks, Air mataku menetes, kusapu mataku, "Jancok!" ada sabun ditanganku. Membuat mataku semakin pedih, "jancok..jancok..!" Umpatku lirih berkali-kali berusaha menghilangkan rasa pedih itu dengan mencuci muka. Sulit sekali rasa pedih itu hilang, lebih sulit dari biasanya.
Piring2 itu pun telah bersih, aku segera menaruh celemek, dan berjalan cepat "duk duk duk duk"sambil menghentakan kakiku keras ke lantai pada setiap langkahku. Ke lantai tak bersalah yang menjadi pelampiasan emosiku. Menuju ruang keluarga.
"Aarrggh.. Aku methu buuk.. Aku keluar... Terima pejuhku buu.."
"Ahhhhhh..ahhhhh..arrghhhh...tuangkan le..." Suara ibu dan anak itu sahut menyahut bak sedang duet menyanyi.
"Jancok!" Umpatku tepat di depan kamar itu. Kamar sepasang ibu dan anak sedang ngentot tak terkendali, tak tahu diri. Diri ini, diriku ini! Rini yang emosi!
Sampai aku di ruang keluarga, langkahku terhenti kaget melihat pemandangan yang sebenarnya tak asing, Yuni sedang menyepong konthol Ayah, yang sudah tak memakai boxer, dengan giatnya.
"Mmmfh.. Slurp..slurp.. Haaah, ah, hah" Suara Yuni, yang menyedot-nyedot palkon ayah kandungnya, diselingi menjilatinya memutar-mutar, bagai bermain-main.
Sore itu Yuni mengenakan baju terusan selutut warna kuning, sedang aku warna hijau, kami wanita2 dirumah ini memang jarang memakai celana. Agar mudah melakukan "plug-in-play", atau " lick-in-play" khusus untuk Aku dan Yuni untuk sementara ini.
Kupelorotkan CD polosku lepas, lalu aku lempar ke kepala Ayahku. Dia tekaget, menoleh kearahku yang sedang menghampirinya. Tersenyum nakal, lalu mengendus-endusnya dan menjilatinya.
Aku berada di hadapanya, aku condongkan tubuhku ke arahnya, kulumat mulut Ayah, yang masih tertutupi oleh CDku. Mulutku, CDku dan mulut ayahku, bergumul, bergulat.
Basah, tempiku basah, tangan kananku menopang ke sandaran sofa, sedang yang kiri bermain dengan itilku.
"Mhmmf...mhmff..mhmmmf..", tangan kiri kekar itu menyentuh dadaku, memutar-mutar begantian kiri dan kanan. Sedang yang kanan memegang lembut kepala Anak bungsunya Yuni, adiku. Yang mem-BJnya liar dengan mulut imutnya.
" mmhmmf, mhhmmf..mhhmf" Akhirnya suara2 bising dari kamar Rudi telah sirna dari telingaku, berganti melody birahi, antara Ayah dan kedua putrinya yang sedang nikmat berinteraksi. Merem dan melek bergelut malawan birahi.
Eeeehhhmm... Ehhhmmff...ah..ah ah.." tubuhku bergetar merasakan orgasme pertamaku, menggigil hangat dan nikmat. Aku ambruk ke dada bidang Ayahku, jatuh ke pelukan pria sang wali pelindungku. Dibelaianya kepalaku dengan lembut, sementara aku masih menikmati orgasme.
"Aah.. Bagus Nak. .Ahh... Bagus cah ganteng.. Tambah te.. terus...ah..ah.ah Percepat.. Sodok.. Aaahh...Tempik I..ibumu..."
Suara itu terdengar lagi, Menyadarkanku dari orgasmeku. Aku bangkit dari pelukan Ayahku, aku berdiri naik ke atas sofa, memunggungi Ayahku, menghadap Yuni yang sedang menikmati lolipopnya. Lolipop konthol milik Ayahnya.
Pantatku tepat di depan wajah Ayah, tepat didepan mulut dan hidungnya, kurasakan nafas hangat miliknya menampar geli bongkahan belahan pantatku. Aku buka belahan itu, lalu dengan sigap Ayah menempelkan wajah berkumisnya ke dalamnya. Anusku tertusuk mancung hidungya, sedang lubang senggamaku disapu dengan lidahnya. Kumis itu menggelitik bagian diantaranya. Aku goyang binalkan bantatku untuk menikmati wajah macho ayahku, liar, tak terkendali.
Ahhh..ahh..Ayahh...Ayah... Enak.. Yah", kicauku tak kuasa.
Tangan kirinya menggosok dan mepermainkan itilku, pelan tetapi pasti, berangsur semakin keras. Tanganku bersandar di perbatasan antara paha dan lututku. Menikmati sensasi geli di dubur, dan vagina basahku. Mendongak-dongak kejang, bagai sedang menari erotis, mengangkang-menutup, kedua kakiku merespon rasa itu.
Ku lihat adiku Yuni, lalu kuludahi dia dari atas.. "Juh", ludah itu mengenai dahinya. Dia berhenti, menatapku, dengan tatapun keheranan. Aku membuka mulutku lalu menujuknya, lalu menunjuk kearahnya. Dia mengerti lalu dia berdiri memegang kepalaku, lalu melumatnya.
"mmmfhh..sluurrp..sluurpp" kuhisap hisap, mulut dan lidahnya. Kusapu gigi serta sela2nya.
Lalu aku beranjak turun dari kursi, meninggalkan rasa geli di sekanganku, sambil terus bercumbu mesra dengan Yuni. Dua gadis belia sekandung itu bergumul panas di depan mata Ayah mereka. Kuangkat baju nya, sehingga dia hanya memakai CD, lalu gantian aku angkat bajuku, sehingga telanjang lah aku..
Mhmmff.. Aku peluk adiku Yuni, kugerayangi kepala, punggung, dan pantat sintalnya. Sambil kudorong perlahan mendekati meja. Kutidurkan dia dimeja. Kupelorotkan CDnya, sehingga terpampang jelas memek imut bocah cantik itu. Aku berjongkok melumat tempik mulus licin tak berjembut itu dengan lahapnya.
"Slurrp.. Slurrp..ahh..Mbak Rin.. Enak Mbak Rin..ahh.." Desahanya, menyahuti sedotan dan jilatanku. Kurasakan kepala Ayah menelusup kebawah selakanganku. Pinggulku ditariknya ke bawah sehingga aku tertuduk. Ya! Terduduk di kepala Ayahku. Dijilatinya memeku dengan penuh perhatian secara perlahan.
"Huaah.." kepalaku terdongak ke atas begitu geli dan nikmat. Ayah melumat bibir bawahku, tangan kirinya memegangi pinggulku, sedang yang kanan mengocok konthol-nya sendiri yang tadi dibasahi oleh liur Yuni. Aku kembali melumat tempik Yuni sambil, 2 jari tangan kananku, mengobok-obok dubur Yuni keluar-masuk.
Tangan kiriku memegangi pangkal kaki Yuni, agar tidak lari. Pinggulku bergoyang mengenthu wajah Ayahku berputar, bagai sedang mengebor,
sedang mulutku memakan tempik adiku Yuni.
"Mbakk..aku methu..mbak... Ahh..ahh...ahh" tubuhnya mengejang, punggungnya menekuk, lalu membanting ke atas meja berlulang kali "dak..dak..dak" suara punggung Yuni beradu dengan meja. Aku tak melepas kulumanku darinya terus memakan lendir2 cinta darinya. Tubuhku terasa memanas .
"Hhmmf...hmmff.. Hmmmf", Aku menyusulnya..tubuhku bergetar menerima orgasmeku yang kedua kalinya. Nafasku tersengal pendek. Kakiku lemas tak kuasa menopang badanku, aku pun terduduk ngesot dan menindih kepala Ayahku, dengan seluruh berat badanku. " jeduk" suara kepala ayahku terbentur lantai. Dia tak bergeming dan tetap terus melahap tempiku. Tangan kananya mengocok batang itu semakin keras.
" aahhh...ahhh..ahh.." Aku mendesah ketika tempik orgasmeku menekan kuat ke tekstur wajah Ayahku. Kumis itu memberi sensasi kejut listrik statis di lubang kenikmatanku. Zzzt..zztt..zzzzt. Multi orgasmelah diriku.
"Aaaarghh..arrghh..mhhmmf" crot.. crot.. crot.." Ayahku juga sampai ke tujuanya.
Konthol tegak itu meluncurkan isinya deras ke arah punggung indahku berulang kali. Bagai peluncur roket meluncurkan sperma panas menyemprot lalu menempel dipunggungku.
"Ahhh..ahh..ahh.."Menambah sensasi kenikmatan yang luar biasa untuk diriku di setiap sasaran tembak roket itu.
Yuni berlutut memeluku erat, dari depan sambil menggigiti dan menyedot-nyedot leherku. Tak bisa kugambarkan kenikmatan itu. Dada kami menyatu, puting2 kami saling menggelitik satu sama lain.
"Ibuuukk.. Rudi keluar lagi.. Buukk... Ahhh..ahahhh..aaahhhh... Tempikmu enak buuk.."
Suara itu datang lagi menghentikan kenikmatan orgasmeku. Mataku terbuka lebar membelalak bagai mata penari kecak. "Cak...cak..cak".
Aku dorong Yuni perlahan membuat jarak, aku tuntun dia bangkit, dan menempatkan dia ke tempatku semua, ke wajah sang Ayah. Aku dudukan dia. Ayahku menerimanya dengan senang hati. Aku beranjak ke arah konthol Ayah, aku kulum dan jilat secara brutal, agar tegak maksimal kembali. Tak lama untuk itu terjadi. Konthol gemuk 18 cm tegak menantang kembali, siap untuk kunaiki. Sembari Ayah menjilati tempik si Yuni.
Aku mengangkangkan kakiku melewati Ayah.. Kubuka selakanganku lebar2, ku bimbing batang itu membidik tempatnya, tepat menempel mengetuk menyentuh lubangnya. Kuhentak dudukan tubuhku dan BLESS!, "AAAAHHGG..HAG..HAG...! Aku memekik terdongak tak bisa bernapas. Terdiam tak bergerak, bagai orang sok bijak yang kalah debat mendadak. Darahku pun mengalir di sepanjang kontholnya. Warna-warni...
Ya.. Aku serahkan keperawananku untuk Ayahku.
.....
.....
Keperawanan Anusku, keperawanan analku.
(Bersambung)
[HIDE]
Klik untuk lanjutan>>>
Next
Chapter Spesial 1: Malam Kami Tumpahkan Semua (Eka x Rudi)[/HIDE]