Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Hamidah dan Anaknya

#6 Tubuh yang Meriang

Penis Anwar masih tegang. Ingin rasanya segera ke kamar mandi untuk melepaskan libidonya dengan onani. Ia masih menunggu kakaknya berangkat kerja. Biar lebih leluasa di kamar mandi dan bersuara keras.

Diketahui hampir tiap pagi, ia beronani di kamar mandi. Kadang ia membawa ponsel sambil melihat video porno dan membayangkannya. Ia bisa mendesah cukup keras saat tidak ada orang di rumah.

Kadang pula ia membayangkan tubuh kakaknya. Anwar sebenarnya cukup tertarik pada tubuh kakaknya yang lumayan cantik. Ratna punya rambut hitam yang panjang dan lurus.

Tinggi Ratna sekitar 155 dengan berat sekitar 50 kilogram. Cukup ideal bagi seorang perempuan seusianya. Payudaranya tak sebesar Hamidah. Namun bokongnya lumayan besar. Namun Anwar tak tahu, apakah kakaknya masih perawan atau sudah tidak.

Anwar sering curi-curi pandang ke bokong kakaknya itu. Apalagi ketika selesai mandi, Ratna hanya memakai handuk. Anwar kerap sengaja menunggu di ruang tengah. Menunggu kakaknya melintas ke kamar.

Meski sering membayangkan sedang bersetubuh dengan kakaknya, namun Anwar tak pernah kepikiran untuk benar-benar menyetubuhi kakaknya. Ia sangat takut, kakaknya cukup keras, tak seperti Hamidah dan adiknya. Ratna punya watak seperti almarhum ayahnya.

Anwar yakin, Ratna bisa memberontak dan marah besar jika ia coba-coba mendekati untuk mencumbunya. Jadi ia hanya berani membayangkan tubuh kakaknya itu saat onani.

Sementara Anwar tak pernah kepikiran untuk mencumbu adik perempuannya. Jiwanya menjadi kakak masih ada, tak ingin masa depan adiknya hancur di tangannya. Tak hanya itu, dirinya mungkin juga bisa diusir dari rumah jika adiknya melapor ke kakak dan ibunya. Bisa-bisa ia juga masuk penjara.

Sehingga selama ini, Anwar hanya berangan-angan untuk menyetubuhi ibunya. Ia sudah lama merencanakan aksinya dan sampailah pada tadi malam hal itu baru ia lakukan.

Anwar sudah tak tahan menahan libidonya karena terus memikirkan kejadian semalam bersama ibunya. Ia pun melonggarkan sarungnya, takut penisnya yang tegang ketahuan kakaknya.

Ia segera berjalan ke kamar mandi. Benar saja ia berpapasan dengan kakaknya di ruang tengah yang sudah siap-siap pergi kerja. Anwar dan Ratna jarang ngobrol. Keduanya hanya ngomong seperlunya saja.

Ratna pun kemudian bergegas keluar menuju motornya dan berangkat. Ia pergi begitu saja, tak pernah pamit ke Anwar, beda dengan adiknya, Fadian.

Saat Ratna berjalan ke depan dan membelakangi Anwar, ini kesempatan bagi Anwar untuk memandang bokong kakaknya yang bulat besar itu. Terlihat bergantian memantul sesuai irama kaki Ratna berjalan.

Hal ini membuat libido Anwar makin tinggi. Kemudian Anwar melanjutkan jalannya ke kamar mandi.

“Jangan lupa pintu dan pagar ditutup,” teriak Anwar pada kakaknya sambil berlalu. Ratna mendengar suara adiknya dan seperti biasa ia hanya diam saja, tak menyahut.

Ratna pun menyalakan motornya dan berangkat kerja setelah menutup pintu dan pagar rumah sesuai perintah adiknya.

Di dalam kamar mandi, dengan cepat Anwar melepas sarung dan pakaiannya. Ia lempar ke bak kotor.

Penisnya masih mengacung. Langsung ia ambil sabun cair ke tangannya. Kemudian ia jongkok dan mulai mengocok. Ia membayangkan sedang menyetubuhi ibu dan kakaknya secara bergantian.

“Oh ibuuu…. enak….,” desahnya lumayan keras karena tiak ada orang di rumah.

“Oh, Kak Ratna… enak sekali…. bokongmu kesukaanku….” giliran kakaknya yang dibayangkan Anwar.

Hanya beberapa menit saja, Anwar sudah orgasme. Tak banyak sperma yang keluar. Mungkin sudah terkuras semalam. Anwar pun segera membersihkan tubuhnya dan mandi. Ia tak bisa lama-lama, karena harus berangkat bekerja.

***

Tubuh Hamidah meriang. Serasa adem panas. Makin siang makin terasa tidak enak badannya. Sekitar pukul 11 siang, ia sudah tidak kuat lagi. Ia segera membereskan dagangannya yang masih laku separuh. Ia segera bergegas pulang.

Ia mampir dulu ke juragannya untuk setor uangnya. Sementara sisa dagangannya kembali ia bawa pulang, sapa tahu ada tetangga yang baik mau membelinya. Jika tidak laku, maka ia dipastikan merugi untuk hari ini, karena saat setor ke juragan, itu harus bayar total, tak peduli habis atau tidak.

Hamidah naik sepeda ontel setiap hari dengan keranjang ditali di belakang. Di keranjang itu tempat tahu dan tempe yang akan ia jual.

Di sepanjang jalan, Hamidah sedikit mempercepat sepedanya agar segera sampai di rumah. Setiap hari, ia harus menempuh jarak sekitar 2 kilometer dari rumah ke pasar.

Hamidah berusaha untuk kuat, terus mengayuh sepedanya meski kepalanya sudah pusing dan berat. Tubuhnya juga serasa makin lemas. Ia ingin cepat-cepat sampai di rumah.

Sekitar 15 menit, ia sudah sampai di rumah. Ia sangat bersyukur dan tidak terjatuh di jalan. Segera ia membuka pagar dan memasukkan sepedanya. Kemudian mengambil kunci rumah di bawah pot, tempat rahasia, hanya orang rumah yang tahu.

Ia segera mengambil tahu dan tempe sisa dagangannya dan dengan cepat-cepat masuk ke rumah. Ia masukkan sisa dagangannya ke kulkas. Hamidah sudah tidak tahan dengan tubuhnya, ia tutup pintu rumah dan langsung ke kamarnya.

“Blekk,” suara ranjang saat Hamidah menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Ia benar-benar lega.

Tanpa ke kamar mandi atau ganti baju, Hamidah berusaha mengistirahatkan tubuhnya. Ia berusaha menutup matanya untuk segera tidur. Kepalanya masih pusing dan tubuhnya meriang.

Sekitar 10 menit ia memejamkan mata, namun tak kunjung tertidur. Ia justru kepikiran kejadian semalam bersama anaknya. Ia pun membuka matanya dan melihat langit-langit.

Ia bertanya-tanya dalam hatinya, kenapa tubuhnya sakit? apakah gara-gara aksi Anwar semalam? Kenapa Anwar melakukan itu? Kenapa?. Kenapa harus pada dirinya? Pertanyaan terus memenuhi kepala Hamidah.

Selain teringat kejadian semalam, Hamidah pun jadi teringat beberapa bulan lalu, saat tukang pijit langgannnya juga berusaha mencumbunya.

(Bersambung)
 
Terakhir diubah:
#7 Apakah Tubuhku Masih Bisa Dinikmati?

Dalam kondisi terbaring dan tubuh lemas, Hamidah terus bertanya-tanya. Kenapa hal ini terjadi padanya. Selain anaknya, beberapa bulan lalu tukang pijit juga coba menikmati tubuhnya.

“Apakah tubuhku masih bisa dinikmati? tanyanya dalam hati.

Hamidah teringat, saat itu ia pijat ke lelaki tua langganannya bernama Pak Tomo. Tiba-tiba pijatan pelan-pelan mengarah ke arah sensitif. Ke sekitar selangkangan dan sekitar payudara Hamidah. Awalnya Hamidah tak curiga.

Saat pijat, Hamidah memakai BH dan celana dalam, lalu dibungkus dengan sarung yang telah disediakan oleh Pak Tomo. Bagian dadanya hingga paha tertutup sarung itu.

Namun lama-lama Pak Tomo meremas payudaranya, tentu Hamidah kaget. Namun lelaki itu hanya tersenyum dan seperti bercanda saja. Hamidah pun terpaksa ikut tersenyum tidak enak.

Ketika lelaki itu mengulanginya lagi, barulah Hamidah protes dengan nada halus. “Jangan pijat bagian itu, Pak Tomo,” ucap Hamidah dalam posisi berbaring.

Pak Tomo hanya tersenyum. Memang Pak Tomo punya banyak langganan pijat. Ia buka praktek di rumahnya dan juga bisa dipanggil. Lokasinya tak jauh dari rumah Hamidah. Hamidah krap pijat di sana saat merasa badannya sudah pegal-pegal.

Kali ini tangan Pak Tomo pindah dan coba mengarah ke selangkangan Hamidah lebih dalam. Hamidah pun menggerakan kakinya, kode untuk menolak. Namun Pak Tomo sambil tersenyum terus melakukan aksinya.

“Biasanya tidak pernah pijat di bagian itu Pak,” tanya Hamidah sambil tersenyum, karena tidak enak jika mau menegur.

“Tidak apa-apa bu, sekali-kali biar cepat hilang capeknya kalau di sini,” katanya. Hamidah kali ini menurut.

Pak Tomo kini sepertinya mau berbuat lebih jauh, ia sedikit menarik sarung sehingga payudara Hamidah yang terbungkus BH terlihat. Cepat-cepat Hamidah menutup. Ia anggap Pak Tomo tak sengaja.

“Tidak apa dibuka saja,” ucap Pak Tomo. “Tidak pak, malu,” kata Hamidah. Pak Tomo tak memaksa. Tapi ia sekilas sudah melihat payudara Hamidah yang besar terbungkus BH.

Kini Pak Tomo coba memasukkan tangannya di balik sarung Hamidah dan memijat bagian paha. Hamidah tak menolak, karena ini masih wajar seperti pijat biasanya. Namun lama-lama tangan Pak Tomo mulai naik ke paha atas dan terus naik.

“Udah pak, jangan kesitu,” Hamidah kembali protes. Namun Pak Tomo seperti tak mendengar. Bahkan mengarahkan tangannya ke gundukan vagina Hamidah.

“Loh pak, kok ke situ,” Hamidah sedikit protes keras.

Pak Tomo pun seakan mulai berani dan mau menarik CD Hamidah. “Ibu sudah lama kan tidak begituan,” tanya Pak Tomo sambil berusaha menarik CD Hamidah.

“Jangan pak,” Hamidah berusaha memegang dan menahan CD-nya biar tak lepas. Hamidah tak berani berteriak, karena di luar masih ada pelanggan lain dan istri Pak Tomo.

Pak Tomo seperti kesetanan. Aksinya mulai keras. Meski tak berhasil menarik CD Hamidah, ia berkali-kali memegang vagina Hamidah yang terbungkus CD.

Pak Tomo juga berusaha menarik sarung Hamidah. Lalu tangannya meremas payudara Hamidah. “Eh, udah pak,” kata Hamidah yang masih tak berani berteriak.

Pak Tomo seperti mau memperkosa Hamidah. Sarung sudah berhasil ditariknya. Sehingga terlihat Hamidah hanya memakai CD dan BH.

Tak mau Pak Tomo berbuat lebih jauh, ia berusaha berdiri dan menarik sarung kembali. Melihat Hamidah yang benar-benar menolak, membuat Pak Tomo diam dan seakan menyerah. Ia juga tak mau orang-orang di luar curiga apa yang dilakukannya.

Hamidah pun segera menutupi tubuhnya dan keluar dari kamar tempat pijat. Pak Tomo malu, dikiranya Hamidah yang menjanda haus belaian lelaki. Pikirannya salah.

Hamidah lalu memakai bajunya di kamar ganti yang disediakan. Ia membayar uang jasa pijat dan segera pulang.

Momen itu, beberapa kali ia ingat. Sehingga membuatnya tak mau lagi pergi ke tempat pijat cabul itu. Hamidah mencari tempat pijat lain dan bukan laki-laki yang memijat.

Masih dalam kondisi badan yang tidak enak dan terbaring di atas ranjang, Hamidah terus kepikiran apa yang dilakukan Pak Tomo dan juga anaknya, Anwar.

Hamidah memang sudah lama tak merasakan nikmat saat bersetubuh. Bahkan ketika belum cerai dengan suami keduanya, saat bersetubuh ia sudah tak merasakan nikmat. Ia hanya terdiam, membiarkan suaminya mencumbunya. Hamidah hanya menjalankan tugasnya sebagai istri.

Mungkin karena Hamidah yang bekerja keras hingga tubuhnya kerap lelah di rumah. Sehingga soal seks bukan prioritasnya lagi.

Ia pun kembali bertanya, apakah tubuhnya masih layak dinikmati. Sehingga Pak Tomo dan anaknya pun ingin mencumbunya.

Perlahan tangan Hamidah mengarah ke selangkangan. Ia membuka daster bagian bawahnya. Lalu memegangi vaginanya dari balik CD. “Apakah ini (vagina) masih bisa dinikmati,” tanyanya dalam hati.

Lalu ia memasukkan tangannya ke dalam CD-nya dan mengingat kejadian semalam dengan Anwar. Kenapa Anwar begitu ingin menyetubuhinya.

Hamidah pun menarik tangannya kembali dan merapikan dasternya. Ia berusaha mengalihkan apa yang ada di pikirannya. Berusaha melupakan kejadian dengan Anwar. Hamidah mengambil selimut dan mencoba untuk tidur. Badannya benar-benar sakit dan butuh istirahat,

(bersambung)
 
Terakhir diubah:
#8 Pijatan Nakal

Ratna, Anwar, dan Fadian sudah berada di rumah. Hamidah tak tahu satu per satu anaknya sudah pulang. Hampir pukul 5 sore, Hamidah masih terlelap tidur. Anak-anaknya sengaja tak membangunkan Hamidah, karena sudah tahu kondisi ibunya yang sakit. Membiarkan Hamidah istirahat agar kembali sehat.

Jam 5 sore lebih sedikit Hamidah terbangun. Ia terkaget saat melihat jam dinding, sudah sore. Cukup lama ia tertidur. Badannya sedikit enakan. Tak selemas tadi siang. Namun kepalanya masih sedikit berat.

Hamidah pun segera beranjak dari kamarnya. “Ibu tidak apa-apa?,” tanya Fadian yang sedang berada di ruang tengah sambil bermain hape. “Sudah minum obat?,” tanyanya lagi.

“Belum nak, tai badan ibu sudah agak enakan,” kata Hamidah sambil berjalan ke arah kamar mandi.

Mendengar suara ibunya, Ratna cepat-cepat keluar. Ia juga perhatian sama ibunya. “Ibu makan, lalu segera minum obat dulu,” ucap Ratna. “Iya nak,” sahut Hamidah lemas.

Sekilas Hamidah melihat kondisi rumah dan dapur sudah bersih. Baju kotor juga sudah tercuci semua. Nampaknya Ratna dan Fadian sudah melakukan tugasnya selama ia tidur. Ia bersyukur punya anak-anak yang rajin.

Ratna dan Fadian memang setiap hari selalu membantu pekerjaan rumah. Mereka berbagi tugas untuk meringankan pekerjaan rumah ibu.

“Apakah ibu mau mandi air hangat?,” tanya Ratna. “Iya, ibu mau pipis saja,” jawab Hamidah.

“Ratna panaskan air dulu, lalu segera mandi biar tidak malam-malam,” ujar Ratna penuh perhatian.

Dari kamar mandi, Hamidah duduk di ruang tengah bersama anak-anaknya, sambil nunggu air panas. Sementara Anwar masih di dalam kamar, entah sedang tidur atau main hape.

“Ibu mau mandi dulu atau makan, itu ada bakso kesukaan ibu. Sesudah makan minum obat,” Ratna memang sangat perhatian sama ibunya.

“Mandi dulu aja, lalu kita makan bareng,” ungkapnya.

Setelah mandi, Hamidah bersama Fadian dan Ratna makan bersama. “Anwar bangunin, suruh makan juga,” kata Hamidah.

“Kak, bangun…..,” teriak Fadian. “Nanti saja,” jawab Anwar, ternyata sudah bangun.

Setelah makan, Hamidah minum obat. “Ayo saya kerokin badan ibu,” ajak Ratna. Memang Ratna selalu mengeroki badan ibunya saat sedang tidak enak.

Setelah Maghrib, Ratna masuk ke kamar ibunya lalu ngerokin ibunya. “Bentar lagi, abis ngerokin ibu, Ratna mau keluar, ada janji sama teman. Biar adek jaga ibu,” ucapnya.
Setelah selesai, Ratna kemudian bergegas memenuhi janji dengan temannya. Tak lama, ternyata Fadian juga mau keluar. “Bagaimana kondisi ibu, sudah enakan?” tanyanya.

“Sudah nak, habis dikerokin juga. Pusing ibu juga berkurang. Tak separah tadi siang. Tinggal badan ibu pegel-pegel. Besok aja pijat, sepulang dari pasar,” jawab Hamidah.

“Kalau masih sakit jangan ke pasar dulu bu. Biar dipanggil ke sini aja tukang pijitnya,” jawab Fadian.

“Ya, semoga besok pagi sudah sehat,” jawab Hamidah.

“Adek mau keluar dulu gak papa ya bu, ada tugas kelompok. Kak Anwar di rumah. Nanti minta tolong kakak jika ada apa-apa,” ucap Fadian.

“Iya gak papa, hati-hati,” jawab Hamidah. Setelah bersalaman dan pamitan, Fadian pun segera berangkat.

Sebelum berangkat Fadian pun berpamitan ke Anwar. “Kak, aku mau keluar. Kakak di rumah dulu, kalau mau keluar juga, tunggu aku atau Kak Ratna datang. Ibu sakit, tolong jagain,” ucapnya lalu pergi keluar rumah,

“Iya dek, hati-hati,” kata Anwar.

Setelah makan dan mandi, Anwar ke kamar ibunya. Ia melihat kondisi ibunya. “Ibu tidak apa-apa,” tanya Anwar bikin Hamidah yang sedang rebahan di atas kasur sedikit terkaget.

“Gak papa nak, mungkin kelelahan,” jawab Hamidah. Namun di pikirannya kembali terbayang kejadian semalam. Ia berusaha biasa saja di depan Anwar.

“Tadi sudah dikerokin kakakmu. Mungkin besok mau pijat, tubuh ibu pegal-pegal,” ucap Hamidah.

“Mau saya pijitin bu,” tanya Anwar.

“Gak usah nak,” jawab Hamidah.

“Gak papa bu,” tanpa dijawab lagi sama ibunya, Anwar naik ke atas ranjang ibunya dan memijit kaki ibunya.

Hamidah masih takut kejadian semalam bisa terulang. Tapi Anwar terus memijit kakinya. Hamidah kembali hanya memakai daster. Ia selalu memakai daster jika di rumah. Namun tanpa BH, tapi tetap pakai celana dalam.

Melihat Anwar seakan tulus memijatnya, Hamidah membiarkan anaknya terus memijat kakinya. Hamidah hanya diam saja.

Pijatan Anwar, lama-lama bikin Hamidah nyaman. Anwar bergantian memijak kaki kanan dan kiri Hamidah. “Ibu kecapekan ini,” ucap Hamidah.
Sekitar 10 menit Anwar memijat kaki ibunya hingga sekitar lutut. Kemudian Anwar meminta ibunya duduk. “Ibu duduk aja, biar Anwar pijat pundak dan punggung ibu,” ucap Anwar.

Karena sudah nyaman dengan pijatan Anwar dan memang badannya pegal-pegal, Hamidah menurut. Ia lalu bergegas duduk. Anwar pindah posisi ke belakang ibunya. Mulai ia memijat pundak ibunya.

Hamidah terlihat masih nyaman dengan pijatan anaknya. Pijatan Anwar terus berganti ke punggung ibunya. “Ah,” Hamidah berteriak kecil, saat pijatan Anwar terasa sakit.

“Sakit bu? saya pelanin ya,” kata Anwar. Hamidah hanya mengangguk.

Hamidah lama-lama menikmati pijatan anaknya. Baru kali ini Anwar memijatnya. Biasanya hanya anak perempuannya yang perhatian dengannya.

Hamidah pun tak berpikiran aneh-aneh pada Anwar. Pijatan Anwar membuat Hamidah seakan tiba-tiba melupakan kejadian semalam. Kerena tubuh Hamidah terasa pegal-pegal, sehingga pijatan Anwar membuat dirinya terbantu.

Namun tak ada percakapan lagi antara keduanya. Suasana kamar hening. Kini tangan Anwar turun, memijat pinggang Hamidah. Namun pijatan di bagian ini, kadang membuat Hamidah kegelian, karena tangan Anwar kadang agak ke pinggang samping.

Hamidah kerap tiba-tiba tersentak kegelian dengan pijatan Anwar. “Kenapa bu, sakit? pertanyaan Anwar seakan memecah kesunyian.

“Tidak nak,” jawab Hamidah singkat.

(Bersambung)
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd