#8 Pijatan Nakal
Ratna, Anwar, dan Fadian sudah berada di rumah. Hamidah tak tahu satu per satu anaknya sudah pulang. Hampir pukul 5 sore, Hamidah masih terlelap tidur. Anak-anaknya sengaja tak membangunkan Hamidah, karena sudah tahu kondisi ibunya yang sakit. Membiarkan Hamidah istirahat agar kembali sehat.
Jam 5 sore lebih sedikit Hamidah terbangun. Ia terkaget saat melihat jam dinding, sudah sore. Cukup lama ia tertidur. Badannya sedikit enakan. Tak selemas tadi siang. Namun kepalanya masih sedikit berat.
Hamidah pun segera beranjak dari kamarnya. “Ibu tidak apa-apa?,” tanya Fadian yang sedang berada di ruang tengah sambil bermain hape. “Sudah minum obat?,” tanyanya lagi.
“Belum nak, tai badan ibu sudah agak enakan,” kata Hamidah sambil berjalan ke arah kamar mandi.
Mendengar suara ibunya, Ratna cepat-cepat keluar. Ia juga perhatian sama ibunya. “Ibu makan, lalu segera minum obat dulu,” ucap Ratna. “Iya nak,” sahut Hamidah lemas.
Sekilas Hamidah melihat kondisi rumah dan dapur sudah bersih. Baju kotor juga sudah tercuci semua. Nampaknya Ratna dan Fadian sudah melakukan tugasnya selama ia tidur. Ia bersyukur punya anak-anak yang rajin.
Ratna dan Fadian memang setiap hari selalu membantu pekerjaan rumah. Mereka berbagi tugas untuk meringankan pekerjaan rumah ibu.
“Apakah ibu mau mandi air hangat?,” tanya Ratna. “Iya, ibu mau pipis saja,” jawab Hamidah.
“Ratna panaskan air dulu, lalu segera mandi biar tidak malam-malam,” ujar Ratna penuh perhatian.
Dari kamar mandi, Hamidah duduk di ruang tengah bersama anak-anaknya, sambil nunggu air panas. Sementara Anwar masih di dalam kamar, entah sedang tidur atau main hape.
“Ibu mau mandi dulu atau makan, itu ada bakso kesukaan ibu. Sesudah makan minum obat,” Ratna memang sangat perhatian sama ibunya.
“Mandi dulu aja, lalu kita makan bareng,” ungkapnya.
Setelah mandi, Hamidah bersama Fadian dan Ratna makan bersama. “Anwar bangunin, suruh makan juga,” kata Hamidah.
“Kak, bangun…..,” teriak Fadian. “Nanti saja,” jawab Anwar, ternyata sudah bangun.
Setelah makan, Hamidah minum obat. “Ayo saya kerokin badan ibu,” ajak Ratna. Memang Ratna selalu mengeroki badan ibunya saat sedang tidak enak.
Setelah Maghrib, Ratna masuk ke kamar ibunya lalu ngerokin ibunya. “Bentar lagi, abis ngerokin ibu, Ratna mau keluar, ada janji sama teman. Biar adek jaga ibu,” ucapnya.
Setelah selesai, Ratna kemudian bergegas memenuhi janji dengan temannya. Tak lama, ternyata Fadian juga mau keluar. “Bagaimana kondisi ibu, sudah enakan?” tanyanya.
“Sudah nak, habis dikerokin juga. Pusing ibu juga berkurang. Tak separah tadi siang. Tinggal badan ibu pegel-pegel. Besok aja pijat, sepulang dari pasar,” jawab Hamidah.
“Kalau masih sakit jangan ke pasar dulu bu. Biar dipanggil ke sini aja tukang pijitnya,” jawab Fadian.
“Ya, semoga besok pagi sudah sehat,” jawab Hamidah.
“Adek mau keluar dulu gak papa ya bu, ada tugas kelompok. Kak Anwar di rumah. Nanti minta tolong kakak jika ada apa-apa,” ucap Fadian.
“Iya gak papa, hati-hati,” jawab Hamidah. Setelah bersalaman dan pamitan, Fadian pun segera berangkat.
Sebelum berangkat Fadian pun berpamitan ke Anwar. “Kak, aku mau keluar. Kakak di rumah dulu, kalau mau keluar juga, tunggu aku atau Kak Ratna datang. Ibu sakit, tolong jagain,” ucapnya lalu pergi keluar rumah,
“Iya dek, hati-hati,” kata Anwar.
Setelah makan dan mandi, Anwar ke kamar ibunya. Ia melihat kondisi ibunya. “Ibu tidak apa-apa,” tanya Anwar bikin Hamidah yang sedang rebahan di atas kasur sedikit terkaget.
“Gak papa nak, mungkin kelelahan,” jawab Hamidah. Namun di pikirannya kembali terbayang kejadian semalam. Ia berusaha biasa saja di depan Anwar.
“Tadi sudah dikerokin kakakmu. Mungkin besok mau pijat, tubuh ibu pegal-pegal,” ucap Hamidah.
“Mau saya pijitin bu,” tanya Anwar.
“Gak usah nak,” jawab Hamidah.
“Gak papa bu,” tanpa dijawab lagi sama ibunya, Anwar naik ke atas ranjang ibunya dan memijit kaki ibunya.
Hamidah masih takut kejadian semalam bisa terulang. Tapi Anwar terus memijit kakinya. Hamidah kembali hanya memakai daster. Ia selalu memakai daster jika di rumah. Namun tanpa BH, tapi tetap pakai celana dalam.
Melihat Anwar seakan tulus memijatnya, Hamidah membiarkan anaknya terus memijat kakinya. Hamidah hanya diam saja.
Pijatan Anwar, lama-lama bikin Hamidah nyaman. Anwar bergantian memijak kaki kanan dan kiri Hamidah. “Ibu kecapekan ini,” ucap Hamidah.
Sekitar 10 menit Anwar memijat kaki ibunya hingga sekitar lutut. Kemudian Anwar meminta ibunya duduk. “Ibu duduk aja, biar Anwar pijat pundak dan punggung ibu,” ucap Anwar.
Karena sudah nyaman dengan pijatan Anwar dan memang badannya pegal-pegal, Hamidah menurut. Ia lalu bergegas duduk. Anwar pindah posisi ke belakang ibunya. Mulai ia memijat pundak ibunya.
Hamidah terlihat masih nyaman dengan pijatan anaknya. Pijatan Anwar terus berganti ke punggung ibunya. “Ah,” Hamidah berteriak kecil, saat pijatan Anwar terasa sakit.
“Sakit bu? saya pelanin ya,” kata Anwar. Hamidah hanya mengangguk.
Hamidah lama-lama menikmati pijatan anaknya. Baru kali ini Anwar memijatnya. Biasanya hanya anak perempuannya yang perhatian dengannya.
Hamidah pun tak berpikiran aneh-aneh pada Anwar. Pijatan Anwar membuat Hamidah seakan tiba-tiba melupakan kejadian semalam. Kerena tubuh Hamidah terasa pegal-pegal, sehingga pijatan Anwar membuat dirinya terbantu.
Namun tak ada percakapan lagi antara keduanya. Suasana kamar hening. Kini tangan Anwar turun, memijat pinggang Hamidah. Namun pijatan di bagian ini, kadang membuat Hamidah kegelian, karena tangan Anwar kadang agak ke pinggang samping.
Hamidah kerap tiba-tiba tersentak kegelian dengan pijatan Anwar. “Kenapa bu, sakit? pertanyaan Anwar seakan memecah kesunyian.
“Tidak nak,” jawab Hamidah singkat.
(Bersambung)